Anda di halaman 1dari 27

SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan THT

REFERAT
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

DIFTERIA
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan THT

Satria Dananjaya 1810029003


Ridha Eka D 1810029008

Pembimbing:
dr. Soehartono, Sp.THT-KL

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan hidayah-Nya referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari pembelajaran
kami. Referat ini secara khusus membahas tentang penyakit Difteri.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya referat ini. Pertama-tama kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Soehartono, Sp. THT-KL selaku pembimbing klinik laboratorium ilmu
kesehatan THT, sekaligus pembimbing dalam penulisan referat ini.
2. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu memberikan informasi
dan sumber bacaan.
Kami sengaja menyelesaikan referat ini untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik. Tentunya kami selaku penyusun juga mengharapkan agar
referat ini dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun bagi pembaca di
kemudian hari.
Tentunya referat ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta
kritik yang membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan
dari isi laporan referat ini.

Samarinda, 13 Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I .......................................................................................................................1

PENDAHULUAN ...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB 2 ......................................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................3

2.1 Definisi .......................................................................................................... 3

2.2 Epidemiologi ................................................................................................. 3

2.3 Etiologi .......................................................................................................... 4

2.4 Patogenesis .................................................................................................... 6

2.5 Manifestasi Klinis.......................................................................................... 7

2.5.1 Difteria Hidung ........................................................................................7

2.5.2 Difteria Tonsil Faring ..............................................................................8

2.5.3 Difteria Laring .........................................................................................9

2.5.4 Difteria Kulit ............................................................................................9

2.6 Diagnosis ..................................................................................................... 10

2.7 Diagnosis Banding ...................................................................................... 10

2.7.1 Difteria Hidung ......................................................................................10

2.7.2 Difteria Faring........................................................................................11

2.7.3 Difteria Laring .......................................................................................11

2.7.4 Difteria Kulit ..........................................................................................11

2.8 Penatalaksanaan ........................................................................................... 11

2.8.1 Umum ....................................................................................................11

ii
2.8.2 Khusus ...................................................................................................11

2.9 Komplikasi .................................................................................................. 15

2.10 Prognosis ................................................................................................... 16

2.11 Pencegahan ................................................................................................ 16

BAB III ..................................................................................................................21

PENUTUP ..............................................................................................................21

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 21

3.2 Saran ............................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Difteria adalah penyakit saluran pernafasan yang di sebabkan oleh


corynebacterium diphtheriae. Infeksi ini sering mengenai saluran pernafasan atas.
Indonesia termasuk negara yang endemik difteria dengan insidens tertinggi pada
usia 2-5 tahun. Faktor sosial ekonomi, permukiman yang padat, nutrisi yang
kurang, terbatasnya fasilitas kesehatan merupakan faktor yang berperan untuk
timbulnya prnyakit ini.1
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala
lokal dan sistemik. Efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5
hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.2
Pemeriksaan yang khas menunjukkan pseudomembran yang khas yang terdapat
pada daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran
tampak kotor dan berwarna putih yang dapat menyebabkan penyumbatan karena
peradangan tonsil. Perdarahan dapat terjadi jika dilakukan pengangkatan
membran.3
Diagnosa dibuat lebih awal dan penanganan dimulai segera ketika
diketahui bahwa terjadi epidemik difteria. Sediaan apusan nasofaring dan tonsil
diperoleh dan diletakkan dalam medium transport yang kemudian dibiakkan pada
agar MacConkey atau media Loeffler. Strain yang diduga kemudian diuji untuk
toksigenitas.3
Penanganan penyakit terdiri dari dua fase : I. Penggunaan antitoksin
spesifik dan II. eliminasi organisme penyebab dari orofaring. Sebelum antitoksin
diberikan, sebaiknya dilakukan uji sensitivitas terhadap serum.1 Komplikasi bisa
dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara
timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin. Terdiri dari Infeksi sekunder
(biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus), Infeksi Lokal (obstruksi
jalan nafas akibat membran atau oedema jalan Nafas), Infeksi Sistemik (efek

1
eksotoksin yang terjadi antara lain kerusakan jantung yang bisa berlanjut menjadi
gagal jantung).2

1.2 Tujuan
Penulisan tugas ini bertujuan umtuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan THT
khususnya untuk penyakit difteria. Selain itu juga sebagai salah satu syarat dalam
menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan THT.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteria
faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada
kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema
dileher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat
terjadi obstruksi jalan napas.4

2.2 Epidemiologi
Difteria tersebar diseluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok serta penggunaan tosoid difteria secara meluas. Umumnya tetap terjadi
pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak
mendapatkan imunisasi primer). Setiap insidens menurut usia tergantung pada
kekebalan individu. Serangan difteria yang sering terjadi, mendukung konsep
bahwa penyakit ini terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat
berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian
umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.5
Karier manusia yang asimtomatik dilaporkan menjadi reservoar untuk C.
diphteriae. Infeksi oleh C. diphteriae didapat melalui kontak dengan pembawa
atau penderita aktif dari penyakit ini. Bakteri ini bisa ditransfer melalui droplet
ketika batuk, bersin, atau berbicara.
Menurut laporan WHO, difteria tersebar luas di seluruh dunia dan menjadi
endemik di beberapa daerah berkembang di dunia, termasuk Asia, Afrika,
Amerikka Selatan, dan daerah Mediterania. Episemik terakhir dimulai pada 1900
di Federasi Rusia, Ukraina dan beberapa daerah di Uni Soviet.6

3
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih
dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah
15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja
yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering
terjadi adalah infeksi subklinis dan difteria kulit. Difteria merupakan penyebab
kematian yang umum pada bayi dan anak-anak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia
dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit
ini. Dilaporkan 10% kasus difteria dapat menyebabkan kematian.6
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (diphtheria, Pertusis dan tetanus)
penyakit difteria mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi bakteri diberikan pada
anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan
terhadap penyakit ini dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksin.5

2.3 Etiologi
Penyebab difteria adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-
Loeffler) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak
membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling
mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang
menghambat pertumbuhan organism lain (telurit).koloni-koloni api
corneybacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loffler.

4
Gambar 2.1 Morfologi Corynebacterium diphteriae

Pada media telurit dapat dibedakan tiga tipe koloni:

a. Koloni mitis yang halus, bewarna hitam dan cembung


b.Koloni gavis yang bewarna kelabu dan setengah kasar
c. Koloni intemedius berukuran kecil,halus serta memiliki pusat bewarna
hitam.

Gambar 2.2 Tipe Morfologi C.diptheriae berdasarkan hasil kultur (a) gravis (b) mistis
(c) Intermediate

Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin


baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi
toksin in vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik
imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan.
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak

5
tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)
dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk
atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisaa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.2

2.4 Patogenesis

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta


berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom.
Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation faktor-2) yang aktif.4
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran

6
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan.2
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bisa
terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus.
Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap
organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh
pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis.2

2.5 Manifestasi Klinis


Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi
serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin), dan
lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria
mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC
dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.4

2.5.1 Difteria Hidung


Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat.1

7
Gambar 2.3 difteria hidung

2.5.2 Difteria Tonsil Faring

Pada difteria tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal
yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise
atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat
berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan
membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda
mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis.
Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan
gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin
dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan bisaanya terjadi
penyembuhan sempurna.2

8
Gambar 2.4 Membran Bewarna Putih Kelabu yang Menutup Tonsil dan Palatum

2.5.3 Difteria Laring

Difteria laring bisaanya merupakan perluasan difteria faring. Penderita


dengan difteria laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membrane yang menutup jalan nafas bisaa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala
yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.1

2.5.4 Difteria Kulit

Difteria kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteria kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteria kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan

9
mereka bisaanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteria kulit.3

2.6 Diagnosis
Diagnosis dini difteria sangat penting mengingat keterlambatan
pengobatan akan mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinis tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Penentuan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara langsung
kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa
hari.4,5 Cara yang lebih akurat dapat dilakukan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
adalah dengan melakukan isolasi C. diptheriae menggunakan teknik biakan pada
media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan
in vitro (tes Elek).5
Adanya membrane pada tenggorokan sebenarnya tidak terlalu spesifik
untuk difteria, karena ada beberapa penyakit yang juga memberikan gejala yang
sama. Namun membrane pada difteria sedikit berbeda dengan membrane pada
penyakit lain, warna pada membrane difteria lebih gelap dan lebih keabu-abuan
dengan fibrin yang lebih banyak dan melekat pada mukosa di bawahnya, dan bila
diangkat angkat terjadi perdarahan. Bisaanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke
uvula.6

2.7 Diagnosis Banding


2.7.1 Difteria Hidung

Penyakit yang menyerupainya adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis,


adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).3

10
2.7.2 Difteria Faring

Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan


oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa,
tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, monooliasis,
blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.3

2.7.3 Difteria Laring

Gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat juga menyerupai


infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada
laring, dan benda asing dalam laring.3

2.7.4 Difteria Kulit

Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.3

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang


belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.4,5

2.8.1 Umum

Isolasi pasien sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan


tenggorokan negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Perhatian khusus diberikan kepada
penderita dengan difteria laring agar jalan nafas tetap bebas serta terjaga
kelembaban udaranya dengan menggunakan humidifier.2

2.8.2 Khusus

Antitoksin: Anti Diptheriae Serum

Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosia difteria ditegakkan.


Pemberian antitoksin pada hari pertama menunjukan angka kematian pada

11
penderita kurang dari 1% sementara penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan
angka kematian meningkat sampai 30%.2 Sebelum pemberian ADS harus
dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, karena pemberian ADS dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
1:1000 dalam semprit.5,7
Uji kulit dilakukan dengan menyuntik 0,1 mL ADS dalam larutan
fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Jika dalam 20 menit terjadi indurasi >10mm
maka hasil uji kulit positif. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1:10 dalam garam fisiologis. Jika dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi maka hasil uji mata positif. Bila hasil uji
kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut negative, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena.5.7
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, berkisar antara 20.000 – 120.000 KI dan tidak bergantung pada berat badan
pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 glukosa
5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian
pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).5

12
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian
(KI)

Difteria Hidung 20.000 Intramuskular

Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular atau


intravena

Difteria Faring 40.000 Intramuscular atau


intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular atau


intravena

Kombinasi Lokasi di atas 80.000 Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-120.000 Intravena

Terlambat pengobatan (>72 jam), 80.000-120.000 Intravena


lokasi di mana saja

Tabel 2.1 Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit.5

Antibiotika

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk


membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin.4,5 Pengobatan difteria yang
digunakan yaitu Eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO
atau IV, max 2g/hari), penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari, atau Penisilin
prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM), terapi
diberikan untuk 14 hari. Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya
hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil
24 jam setelah terapi selesai. Apabila hasil kultur didapatkan C. diphteriae, terapi
ulang dengan pemberian eritromisin.8,4,7

13
Kortikosteroid

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala:5

 Obstruksi jalan nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
 Bila terdapat penyulit miokarditis

Prednisone 2 mg/kgBB/hari dapat diberikan selama 2 minggu kemudian


diturunkan dosisnya bertahap.5

Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap


baik. Trakeostomi dilakukan bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif.5,7

Pengobatan Kontak dan Karier

Anak yang melakukan kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi.


Dilakukan biakan hidung dan tenggorok, pemeriksaan serologi dan observasi
harian serta gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlampaui. Pada anak
dengan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.4,5,7
Karier adalah mereka yang tidak menunjukan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari PO/IV, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama 1 minggu. Mungkin perlu dilakukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.4,7

14
Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier: penisilin 100 mg/kgBB/hari PO/IV,


atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari PO/IV, atau eritromisin 40


mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status


imunisasi

Tabel 2.2 Pengobatan terhadap Kontak Difteria 5

2.9 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat inflamasi local atau aktivitas


eksotoksin, maka dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan nafas, dampak
eksotoksin terutama terhadap otot jantung, saraf, dan ginjal, serta infeksi sekunder
oleh bakteri lain.4

Obtruksi jalan nafas

Disebabkan karena jalan nafas tertutup membrane difteria atau karena


adanya edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.4

Dampak toksin

Dampak toksin pada jantung dapat berupa miokarditis yang terjadi pada
difteria ringan maupun berat dan bisaanya terjadi pada pasien dengan
keterlambatan pemberian antitoksin. Umumnya miokarditis terjadi pada minggu
ke-2 (tidak menutup kemungkinan pada minggu ke-1), atau lebih lambat pada
minggu ke-6. Manifestasi yang tampak berupa takikardi, suara jantung redup,
terdengar bising jantung, aritmia, bahkan gagal jantung. Kelainan pada EKG
dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.4

15
Dampak toksin pada saraf umumnya terjadi lambat, bilateral, mengenai
saraf motoric dan dapat sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum
molle, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, dan sukar menelan.
Paralisis otot mata bisaanya terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis
ekstermitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon reflex,
peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma sebagai
akibat neuritis saraf frenikus. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat
terjadi hipotensi dan gagal jantung.9,2

Infeksi sekunder bakteri

Penggunaan antibiotic secara luas, penyulit seperti infeksi sekunder sudah


sangat jarang terjadi.2

2.10 Prognosis

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik


daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah yang belum terjamah imunisasi
masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.9 Menurut Krugman,
kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh:2
 Obstruksi jalan nafas mendadak akibat terlepasnya membrane difteria
 Adanya miokarditis dan gagal jantung
 Paralisis diafragma akibat neuritis nervus frenikus

2.11 Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan


pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah anak
menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu
imunisasi.9
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai
antibody terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap
organismenya. Keadaan ini memungkinkan seorang menjadi pengidap difteria
dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria ringan.3.

16
Imunisasi dasar:
Bayi usia 2,3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib (vaksin
kombinasi mencegah Difteria, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan Meningitis serta
Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus influenza tipe B) dengan interval
1 bulan. 10

Imunisasi lanjutan: 10
 Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
 Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT (Difteria Tetanus) pada
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BISA).
 Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td (Tetanus Difteria)
pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BISA).
 Wanita usia subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksid Td.

Imunisasi pada Anak

Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal


terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan
selama 2-3 minggu. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif
yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunitas
terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.2
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan seseorang terhadap difteria.
Dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan secara
intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin
akan menimbulkan nekrosis jaringan, maka hasil tersebut disebut positif.2
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap produk
bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan
toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul
eritema >10 mm, yang berarti seseorang telah mempunyai “pengalaman” dengan
basil difteria sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas dan pemberian
toksoid difteria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.2
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis
pada usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4

17
harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi
toksoid difteria dan tetanus (DT) dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertussis.2

Usia Jenis Imunisasi Vaksin yang Diberikan

2 bulan Imunisasi Dasar DPT-HB-Hib

3 bulan Imunisasi Dasar DPT-HB-Hib

4 bulan Imunisasi Dasar DPT-HB-Hib

18 bulan Imunisasi lanjutan 1 DPT-HB-Hib

Kelas 1 SD Imunisasi lanjutan 2 DT

Kelas 2 SD Imunisasi lanjutan 2 Td

Kelas 5 SD Imunisasi lanjutan 2 Tdap/Td

Tabel 2.3 Jadwal imunisasi difteria lengkap pada anak.1,2

Imunisasi pada Dewasa

Indikasi pemberian imunisasi pada orang dewasa didasarkan pada riwayat


paparan, resiko penularan (baik individual maupun komunitas), usia lanjut,
imunokompromise, serta adanya rencana berpergian seperti ibadah atau wisata.11
Imunisasi dewasa dianjurkan bagi mereka yang berusia di atas 12 tahun
dan ingin mendapat kekebalan. Pada usia lanjut juga dianjurkan untuk diimunisasi
karena pada usia di atas 60 tahun akan terjadi penurunan system imun non-
spesifik, seperti penurunan produksi air mata, mekanisme batuk tidak efektif,
gangguan pengaturan suhu, serta perubahan fungsi sel system imun, baik seluler
maupun humoral.11,12
Pencegahan penyakit difteria pada dewasa itu sendiri digunakan jenis
vaksin tetanus dan difteria, pertusis aselular (Td/Tdap). Jenis vaksin: toksoid,
sediaan: Tdwp (pediacel®), Tdap (tripacel®, infanrix®, infanrix-Hib®).13,12

18
Indikasi: wanita post partum, orang yang kontak erat dengan bayi, petugas
kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, orang dengan usia di atas 65
tahun yang belum pernah mendapat imunisasi Tdap. Kontraindikasi: adanya
reaksi alergi pada pemberian sebelumnya.14
Jadwal pemberian: pada orang dewasa yang tidak mempunyai riwayat
imunisasi primer lengkap, diberikan sejumlah 3 dosis. Dua dosis pertama
vaksinasi diberikan dengan jarak 4 minggu, dosis ketiga diberikan 6-12 bulan
setelah dosis kedua. Tdap digunakan pada salah satu dosis dari imunisasi primer
tersebut, dua dosis yang lain menggunakan Td. Setelah imuniasi primer, dosis
booster diberikan setiap 10 tahun sekali. Pada orang dewasa yang telah menerima
imunisasi primer lengkap, hanya menerima 1 dosis booster dengan interval 10
tahun sejak pemberian vaksin booster. Cara pemberian dengan Intramuskular (IM)
daerah deltoid dengan dosis 0,5 mL.14

Edukasi yang dapat diberikan untuk masyarakat adalah: 5


 Kenali gejala awal difteria.
 Segera ke puskesmas atau rumah sakit terdekat bila anak mengeluh nyeri
tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor), khususnya
anak dibawah 15 tahun.
 Anak harus segera dirawat di Rumah Sakit apabila dicurigai menderita
difteria agar segera menndapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan apakah benar menderita difteria
 Untuk memutus rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus
diperiksa oleh dokter apakah mereka juga menderita atau karier difteria
dan mendapat pengobatan (eritromisin 50 mg/kgBB selama 5 hari).
 Anggota keluarga yang dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT
o Apabila belum pernah mendapatkan DPT, diberikan imunisasi
primer DPT 3x dengan interval masing-masing 4 minggu.
o Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan,
tidak perlu diulang).
o Apabila telah lengkap imunisasi primer (<1 tahun) perlu ditambah
imunisasi DPT ulangan 1x.

19
 Masyarakat harus mengetahui dan memahami bahwa setelah imunisasi
DPT, kadang timbul demam, bengkak dan nyeri di tempat suntikan DPT,
yang merupakan reaksi normal dan akan hilang dalam beberapa hari.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan


oleh bakteri Corynebacterium diphteriae suatu basil gram positif tidak teratur,
tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.
Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau
mukosa. Manifestasi yang timbul dapat bervariasi yang umumnya pasien datang
dengan keluhan sistemik. Diagnosa dini menjadi sangat penting karena
penanganan yang terlambat akan mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa
pasti dapat ditegakkan dengan melakukan isolasi C. diptheriae dengan tenik
pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas.
Pengobatan ditujukan untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal serta
mengeliminasi C. diptheriae agar tidak terjadi penularan, mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria. Pengobatan menggunakan antitoksin (Anti
Diptheriae Serum) harus segera diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Selain itu
juga dapat diberikan antibiotik (Penisilin prokain atau Eritromisin), kortikosteroid,
dan pengobati penyulit untuk menjaga hemodinamik tetap baik. Prognosis
tergantung dari seberapa cepat pengobatan diberikan, semakin terlambat
pengobatan diberikan pronosis penderita akan semakin buruk. Pentingnya
pencegahan dengan menjaga kebersihan memberikan pengetahuan bahaya difteri
bagi anak, dan imunisasi lengkap sangat membantu mengurangi angka kematian
oleh penyakit difteria.

3.2 Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan atas penyusunan referat ini,


diharapkan sekali kepada rekan-rekan sekalian atas kritik dan saran yang
membangun demi bertambahnya ilmu pengetahuan bersama.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Mark A, Preeti N, Michael S. Approach to the Diagnosis and Mangement of


Acute Bacterial Rhinosinusitis. Cummings Ham. 2005;: p. 210-225.

2. Rampengan T, Laurentz I. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak ; Difteri. 6th ed.
Jakarta; 2010.

3. Feign R, Stechenberg B, Nag P. Pediatric Infections Disease. 6th ed.


Philadelpia; 2009.

4. E Stephen B. Diphtheria in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Chapter 186


USA: Saunders; 2007.

5. IDAI. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21 Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010.

6. Adams G. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring, Boies. 6th ed. Jakarta:


EGC; 2012.

7. Garna H. Difteri. 2nd ed. Jakarta: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak; 2000.

8. Wharton M. DIphtheria in Krugman's Infectious Disease of Children. 11th ed.


USA: Mosby; 2004.

9. Sudoyo A, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Setiyohadi B. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

10. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri Jakarta:


Kemenkes RI; 2017.

11. CDC. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). Recommended


Immunization Schedules for Persons Aged 0 Through 18 Years and Adults
Aged 19 Years and Older. 2019;: p. 1-6.

12. Loucq C. Vaccines today, vaccines tomorrow: a perspective. Clin Exp Vaccine
Res. 2013;: p. 4-7.

13. Siegrist C. Vaccine Immunology. In Plotkin S, Orenstein W, Offit P.


Vaccines. Philadelphia: Sauders ElSevier; 2008. p. 17-36.

22
14. Saragih RH. Imunisasi pada Orang Dewasa. Divisi Penyakit Tropik dan
Infeksi. FK USU. 2016;: p. 10.

15. Sumarmo S, Herry G, Sri R, Hindra I. Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
6th ed. Jakarta: IDAI; 2012.

16. Soedamo S, Garna H, Hadinegoro S. Infeksi dan Pediatrik Tropis. 2nd ed.
Jakarta: IDAI; 2008.

23

Anda mungkin juga menyukai