REFERAT
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
DIFTERIA
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan THT
Pembimbing:
dr. Soehartono, Sp.THT-KL
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan hidayah-Nya referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari pembelajaran
kami. Referat ini secara khusus membahas tentang penyakit Difteri.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya referat ini. Pertama-tama kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Soehartono, Sp. THT-KL selaku pembimbing klinik laboratorium ilmu
kesehatan THT, sekaligus pembimbing dalam penulisan referat ini.
2. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu memberikan informasi
dan sumber bacaan.
Kami sengaja menyelesaikan referat ini untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik. Tentunya kami selaku penyusun juga mengharapkan agar
referat ini dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun bagi pembaca di
kemudian hari.
Tentunya referat ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta
kritik yang membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan
dari isi laporan referat ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
BAB I .......................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
BAB 2 ......................................................................................................................3
ii
2.8.2 Khusus ...................................................................................................11
PENUTUP ..............................................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
eksotoksin yang terjadi antara lain kerusakan jantung yang bisa berlanjut menjadi
gagal jantung).2
1.2 Tujuan
Penulisan tugas ini bertujuan umtuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan THT
khususnya untuk penyakit difteria. Selain itu juga sebagai salah satu syarat dalam
menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan THT.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteria
faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada
kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema
dileher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat
terjadi obstruksi jalan napas.4
2.2 Epidemiologi
Difteria tersebar diseluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok serta penggunaan tosoid difteria secara meluas. Umumnya tetap terjadi
pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak
mendapatkan imunisasi primer). Setiap insidens menurut usia tergantung pada
kekebalan individu. Serangan difteria yang sering terjadi, mendukung konsep
bahwa penyakit ini terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat
berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian
umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.5
Karier manusia yang asimtomatik dilaporkan menjadi reservoar untuk C.
diphteriae. Infeksi oleh C. diphteriae didapat melalui kontak dengan pembawa
atau penderita aktif dari penyakit ini. Bakteri ini bisa ditransfer melalui droplet
ketika batuk, bersin, atau berbicara.
Menurut laporan WHO, difteria tersebar luas di seluruh dunia dan menjadi
endemik di beberapa daerah berkembang di dunia, termasuk Asia, Afrika,
Amerikka Selatan, dan daerah Mediterania. Episemik terakhir dimulai pada 1900
di Federasi Rusia, Ukraina dan beberapa daerah di Uni Soviet.6
3
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih
dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah
15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja
yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering
terjadi adalah infeksi subklinis dan difteria kulit. Difteria merupakan penyebab
kematian yang umum pada bayi dan anak-anak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia
dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit
ini. Dilaporkan 10% kasus difteria dapat menyebabkan kematian.6
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (diphtheria, Pertusis dan tetanus)
penyakit difteria mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi bakteri diberikan pada
anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan
terhadap penyakit ini dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksin.5
2.3 Etiologi
Penyebab difteria adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-
Loeffler) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak
membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling
mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang
menghambat pertumbuhan organism lain (telurit).koloni-koloni api
corneybacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loffler.
4
Gambar 2.1 Morfologi Corynebacterium diphteriae
Gambar 2.2 Tipe Morfologi C.diptheriae berdasarkan hasil kultur (a) gravis (b) mistis
(c) Intermediate
5
tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)
dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk
atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisaa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.2
2.4 Patogenesis
6
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan.2
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bisa
terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus.
Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap
organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh
pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis.2
7
Gambar 2.3 difteria hidung
Pada difteria tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal
yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise
atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat
berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan
membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda
mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis.
Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan
gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin
dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan bisaanya terjadi
penyembuhan sempurna.2
8
Gambar 2.4 Membran Bewarna Putih Kelabu yang Menutup Tonsil dan Palatum
Difteria kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteria kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteria kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
9
mereka bisaanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteria kulit.3
2.6 Diagnosis
Diagnosis dini difteria sangat penting mengingat keterlambatan
pengobatan akan mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinis tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Penentuan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara langsung
kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa
hari.4,5 Cara yang lebih akurat dapat dilakukan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
adalah dengan melakukan isolasi C. diptheriae menggunakan teknik biakan pada
media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan
in vitro (tes Elek).5
Adanya membrane pada tenggorokan sebenarnya tidak terlalu spesifik
untuk difteria, karena ada beberapa penyakit yang juga memberikan gejala yang
sama. Namun membrane pada difteria sedikit berbeda dengan membrane pada
penyakit lain, warna pada membrane difteria lebih gelap dan lebih keabu-abuan
dengan fibrin yang lebih banyak dan melekat pada mukosa di bawahnya, dan bila
diangkat angkat terjadi perdarahan. Bisaanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke
uvula.6
10
2.7.2 Difteria Faring
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.3
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Umum
2.8.2 Khusus
11
penderita kurang dari 1% sementara penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan
angka kematian meningkat sampai 30%.2 Sebelum pemberian ADS harus
dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, karena pemberian ADS dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
1:1000 dalam semprit.5,7
Uji kulit dilakukan dengan menyuntik 0,1 mL ADS dalam larutan
fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Jika dalam 20 menit terjadi indurasi >10mm
maka hasil uji kulit positif. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1:10 dalam garam fisiologis. Jika dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi maka hasil uji mata positif. Bila hasil uji
kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut negative, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena.5.7
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, berkisar antara 20.000 – 120.000 KI dan tidak bergantung pada berat badan
pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 glukosa
5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian
pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).5
12
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian
(KI)
Tabel 2.1 Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit.5
Antibiotika
13
Kortikosteroid
Obstruksi jalan nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
Bila terdapat penyulit miokarditis
Pengobatan Penyulit
14
Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
2.9 Komplikasi
Dampak toksin
Dampak toksin pada jantung dapat berupa miokarditis yang terjadi pada
difteria ringan maupun berat dan bisaanya terjadi pada pasien dengan
keterlambatan pemberian antitoksin. Umumnya miokarditis terjadi pada minggu
ke-2 (tidak menutup kemungkinan pada minggu ke-1), atau lebih lambat pada
minggu ke-6. Manifestasi yang tampak berupa takikardi, suara jantung redup,
terdengar bising jantung, aritmia, bahkan gagal jantung. Kelainan pada EKG
dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.4
15
Dampak toksin pada saraf umumnya terjadi lambat, bilateral, mengenai
saraf motoric dan dapat sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum
molle, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, dan sukar menelan.
Paralisis otot mata bisaanya terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis
ekstermitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon reflex,
peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma sebagai
akibat neuritis saraf frenikus. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat
terjadi hipotensi dan gagal jantung.9,2
2.10 Prognosis
2.11 Pencegahan
16
Imunisasi dasar:
Bayi usia 2,3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib (vaksin
kombinasi mencegah Difteria, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan Meningitis serta
Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus influenza tipe B) dengan interval
1 bulan. 10
Imunisasi lanjutan: 10
Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT (Difteria Tetanus) pada
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BISA).
Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td (Tetanus Difteria)
pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BISA).
Wanita usia subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksid Td.
17
harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi
toksoid difteria dan tetanus (DT) dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertussis.2
18
Indikasi: wanita post partum, orang yang kontak erat dengan bayi, petugas
kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, orang dengan usia di atas 65
tahun yang belum pernah mendapat imunisasi Tdap. Kontraindikasi: adanya
reaksi alergi pada pemberian sebelumnya.14
Jadwal pemberian: pada orang dewasa yang tidak mempunyai riwayat
imunisasi primer lengkap, diberikan sejumlah 3 dosis. Dua dosis pertama
vaksinasi diberikan dengan jarak 4 minggu, dosis ketiga diberikan 6-12 bulan
setelah dosis kedua. Tdap digunakan pada salah satu dosis dari imunisasi primer
tersebut, dua dosis yang lain menggunakan Td. Setelah imuniasi primer, dosis
booster diberikan setiap 10 tahun sekali. Pada orang dewasa yang telah menerima
imunisasi primer lengkap, hanya menerima 1 dosis booster dengan interval 10
tahun sejak pemberian vaksin booster. Cara pemberian dengan Intramuskular (IM)
daerah deltoid dengan dosis 0,5 mL.14
19
Masyarakat harus mengetahui dan memahami bahwa setelah imunisasi
DPT, kadang timbul demam, bengkak dan nyeri di tempat suntikan DPT,
yang merupakan reaksi normal dan akan hilang dalam beberapa hari.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
2. Rampengan T, Laurentz I. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak ; Difteri. 6th ed.
Jakarta; 2010.
5. IDAI. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21 Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010.
7. Garna H. Difteri. 2nd ed. Jakarta: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak; 2000.
12. Loucq C. Vaccines today, vaccines tomorrow: a perspective. Clin Exp Vaccine
Res. 2013;: p. 4-7.
22
14. Saragih RH. Imunisasi pada Orang Dewasa. Divisi Penyakit Tropik dan
Infeksi. FK USU. 2016;: p. 10.
15. Sumarmo S, Herry G, Sri R, Hindra I. Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
6th ed. Jakarta: IDAI; 2012.
16. Soedamo S, Garna H, Hadinegoro S. Infeksi dan Pediatrik Tropis. 2nd ed.
Jakarta: IDAI; 2008.
23