Anda di halaman 1dari 17

CHRONIC KIDNEY DISEASE

BY:

Annisa Suci M. G2B 009 004


Sitha Ramadani G2B 009 031
Dwi Nur R.P.S. G2B 009 036
Destiya Dwi P. G2B 009 044
Eva Dwi Mayrani G2B 009 063
Rani Arnasari G2B 009 101

NURSING SCIENCE

FACULTY OF MEDICINE

DIPONEGORO UNIVERSITY

2010
1st CHAPTER

INTRODUCTION

A. BACKGROUND
B. GOALS
2nd CHAPTER
LITERATURE REVIEW

A. DEFINITION
Gagal Ginjal Kronik (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel.
Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan
cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min.
(Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia.
(Smeltzer & Bare, 2001)
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian penyakit ini merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada saluran kemih juga dapat
menyebabkan gagal ginjal kronik.

B. ETIOLOGI
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain (Price & Wilson, 1994):
 Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
 Penyakit peradangan (glomerulonefritis): penyakit peradangan ginjal
bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai
proteinuria dan/atau hematuria.
 Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
 Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis
sitemik): penyakit sistemik yang manifestasinya terutama mengenai jaringan
lunak tubuh.
 Kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal.)
 Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
 Nefropati toksik: ginjal rentan terhadap efek toksik, obat-obatan, dan bahan
kimia
 Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)

C. PATOPHISIOLOGY
Dua pendekatan teoritis yang biasanya diajukan untuk menjelaskan
gangguan fungsi ginjal pada Gagal ginjal Kronis:
1. Sudut pandang tradisional
Mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun
dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian spesifik dari nefron yang
berkaitan dengan fungsi –fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau
berubah strukturnya, misalnya lesi organic pada medulla akan merusak susunan
anatomic dari lengkung henle.
2. Pendekatan Hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh
Berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya
akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia
akan timbul bila jumlah nefron yang sudah sedemikian berkurang sehingga
keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.
Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami
hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal,
terjadi peningkatan percepatan filtrasi, beban solute dan reabsorpsi tubulus
dalam setiap nefron yang terdapat dalam ginjal turun dibawab normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang
rendah.
Namun akhirnya kalau 75 % massa nefron telah hancur, maka kecepatan
filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi sehingga
keseimbangan glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas
baik pada proses ekskresi maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.

D. PERJALANAN KLINIS
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 atadium
Stadium I (Fase Berkurangnya cadangan ginjal)
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % – 75 %). Tahap inilah
yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini
belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal
masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan
kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan
memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama
atau dengan mengadakan test GFR yang teliti. Fase ini disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah yang menuju ke ginjal atau oleh kondisi-kondisi yang
menyebabkan kerusakan pada ginjal, seperti gagal ginjal akut yang tidak diberi
perawatan.
Stadium II (Fase Gangguan Ginjal)
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita
dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal
menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi
kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan
pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah
langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk
ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi
telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada
stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita
dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL
menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi
kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan
pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah
langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk
ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi
telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada
stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang
terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih
dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal
ginjal diantara 5 % – 25 % . Faal ginjal jelas sangat menurun. Manifestasi klinis
yang nampak adalah lelah, sakit kepala, mual, pruritus, kekurangan darah,
tekanan darah akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu, pasien juga
mungkin mengalami nocturia, dan polyuria yang disebabkan oleh penurunan
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin.
Stadium III (Fase Penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease–ESRD))
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah
jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas
sehari hair sebaimana mestinya.. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari
massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang. Manifestasi klinis ESRD
adalah defisit neurologis, defisit hematologis, gangguan sistem gastrointestinal
(GI), gangguan pernapasan, gangguan pada cairan dan elektrolit, keseimbangan
asam basa, mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit
kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, dan kerusakan pada integritas kulit.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat
dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus
ginjal, kompleks menyerang tubulus gijal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal
kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

E. METABOLISME PROTEIN
Transport Protein:
o Protein diabsorpsi di usus halus dalam bentuk asam amino → masuk darah
o Dalam darah asam amino disebar keseluruh sel untuk disimpan
o Didalam sel asam amino disimpan dalam bentuk protein (dengan
menggunakan enzim)
o Hati merupakan jaringan utama untuk menyimpan dan mengolah protein
Penggunaan Protein untuk Energi:
o Jika jumlah protein terus meningkat → protein sel dipecah jadi asam amino
untuk dijadikan energi atau disimpan dalam bentuk lemak
o Pemecahan protein jadi asam amino terjadi di hati dengan proses: deaminasi
atau transaminasi
o Deaminasi: proses pembuangan gugus amino dari asam amino
o Transaminasi: proses perubahan asam amino menjadi asam keto
Pemecahan Protein:
1. Transaminasi:
o alanin + alfa-ketoglutarat → piruvat + glutamate
2. Diaminasi:
o asam amino + NAD+ → asam keto + NH3
o NH3 → merupakan racun bagi tubuh, tetapi tidak dapat dibuang oleh
ginjal → harus diubah dahulu jadi urea (di hati) → agar dapat dibuang
oleh ginjal
Deaminasi maupun transaminasi merupakan proses perubahan protein → zat
yang dapat masuk kedalam siklus Krebs
Zat hasil deaminasi/transaminasi yang dapat masuk siklus Krebs adalah: alfa
ketoglutarat, suksinil ko-A, fumarat, oksaloasetat, sitrat
F. PERUBAHAN METABOLISME PROTEIN
G. CLINIC MANIFESTATION
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi,
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin –
aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan
berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh
toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi
• Pitting edema
• Edema periorbital
• Pembesaran vena leher
• Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
• Krekel
• Nafas dangkal
• Kusmaull
• Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
• Anoreksia, mual dan muntah
• Perdarahan saluran GI
• Ulserasi dan pardarahan mulut
• Nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal
• Kram otot
• Kehilangan kekuatan otot
• Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
• Warna kulit abu-abu mengkilat
• Pruritis
• Kulit kering bersisik
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
• Amenore
• Atrofi testis

H. DIASNOTIC TEST
 Urine : Volume ,Warna ,Sedimen ,Berat jenis ,Kreatinin ,Protein
 Darah : Bun / kreatinin,Hitung darah lengkap ,Sel darah merah ,Natrium
serum ,Kalium, Magnesium fosfat , Protein ,Osmolaritas serum
 Pielografi intravena: Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
Pielografi retrograd: Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
Arteriogram ginjal: Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, massa.
 Sistouretrogram berkemih: Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter, retensi.
 Ultrasono ginjal: Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa,
kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
 Biopsi ginjal: Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis
 Endoskopi ginjal nefroskopi: Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ;
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
 EKG: Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

I. PENATALAKSANAAN
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki
abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan
membantu penyembuhan luka.
2. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal
akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada
gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui
serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI :
5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat
tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi
dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat
[kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang
hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan
parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi
dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan

J. HEMODIALISIS
Mesin dialisis eksternal terdiri dari sebuah coil yang berfungsi sebagai
membran semipermeable (tembus air). Darah pasien mengalir keluar dari tubuh
melalui coil dan kembali ke dalam tubuh. Selain coil, terdapat juga solusi hipertonic
yang disebut dialysate yang menarik produk-produk buangan dari darah yang
melintasi membran semipermeable.
Selama hemodialisis, darah dipindahkan melalui piranti akses vena dan
alternatif peritoneal. Jika pasien memiliki alternatif arterivena atau fistula arterivena,
perawat harus melakukan auskultasi untuk mendeteksi bruite dan melakukan palpasi
untuk mendeteksi denyut pada tempat akses dan tidak adanya denyut pada tube
selama dialisis. Tempat akses harus diperiksa karena kemungkinan mengalami
pendarahan, pembentukkan hematoma, perubahan warna kulit, kekeringan, dan rasa
sakit. Pembuluh darah tidak boleh mengalami penyempitan karena dapat mendorong
pembekuan pada piranti sehingga harus hindarkan penggunaan pakaian ketat pada
bagian akses. Hindari pula pemeriksaan tekanan darah dan pengambilan spesimen
laboratorium pada lokasi tempat alat akses.
Jika pasien memiliki alat akses vena femoral atau subklavian, perawat harus
melakukan palpasi denyut pada cannulized area dan memonitor pembentukkan
hematoma dan pendarahan. Jika kateter tidak diletakkan dengan baik sehingga terjadi
kebocoran maka akan banyak darah yang hilang karena aliran deras melalui alat ini.
Kateter perlu perawatan pada tempatnya dan pakaian harus selalu diganti setiap 24-
72 jam. Alat ini harus dibilas dengan saline heparinis setiap penggunaannya.
Sebelum dilakukan hemodialisis, pasien harus melakukan urinasi dan perawat
memeriksa tanda-tanda vital, termasuk penimbangan berat badan. Dokter biasanya
menghentikan pemberian obat hipertensi, sedatif, dan vasodilator sebelum terapi
karena akan ada perubahan kardiovaskular selama dialisis. Selama hemodialisis,
tanda-tanda vital harus diperiksa setiap 30 menit. Pasien harus tetap istirahat di
tempat tidur tetapi harus sering berubah posisi dan diberikan makanan.
Setelah hemodialisis, perawat menimbang berat badan pasien dan pasti terjadi
reduksi berat badan setelah terapi dialisis. Perawat harus melakukan pemeriksaan
terhadap pasien dengan komplikasi syok hipovolemik dan sindrom disequilibrium.
Sindrom disequilibrium adalah kondisi terjadinya perpindahan urea darah lebih cepat
daripada urea dari otak. Manifestasi klinisnya adalah mual, muntah, hipertensi,
disorientasi, kram kaki, dan paresthesia peripheral. Perawat menjaga agar pasien
tetap tenang dan memberikan analgesik ringan untuk mengontrol rasa sakit kepala.
3rd CHAPTER
DISCUSSION

CASE
Tn M didiagnosa CKD. Dan dilakukan Hemodialisa cito.Tn M dirawat di ICU selama 4
hari. Setelah di hemodialisa dedua kali, Tn M stabil dan dirawat di ruang penyaki
dalam. Tn M mengeluh sangat merasa haus karena Tn M tidak diperbolehkan minum
sesuai keinginannya. Tn M juga merasa bosan dengan diit yang diberikan oleh rumah
sakit.
Pertanyaan:
1. Jelaskan perubahan metabolisme protein pada klien dengan gagal ginjal kronik
2. Jelaskan intervensi keperawatan nutrisi kurang dari kebutuhan pada Tn M!
3. Bagaimanakah nutrisi yang sesuai untuk Tn M!
4. Demonstrasikan kolaborasi diit pada Tn M!

DISCUSSION
1. Perubahan metabolisme pada klien dengan gagal ginjal kronik:
Perubahan metabolisme terjadi pada jumalah protein yang akan di proses. Tubuh
kekurangan protein karena sebagian besar protein terbuang melalui urine, hal ini
menandakan adanya gangguan pada sisitem glomerolus (penyaringan) dan tubulus
(penyerapan). Proses anabolismen pada pasien gagal ginjal akan terganggu karena
kurangnya asupan protein tubuh yang berfungsi sebagai zat pembangun, regenerasi
sel yang rusak.

2. intervensi keperawatan nutrisi kurang dari kebutuhan pada Tn M :


a. Tn. M mempunyai Resiko tinggi teradap perubahan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh : katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan
metabolisme, anoreksi, mual, muntah sehubungan dengan pembatasan intake
(Diit) dan effect uremia yang mengakibatkan malnutrisi protein – calori.
Tujuan : mempertahankan status nutrisi adekuat
Kriteria hasil : berat badan stabil, tidak ditemukan edema, albumin dalam batas
normal.
Intervensi :
1) Kaji terhadap adanya Mual, muntah dan anorexia.
Rasional : Keadaan – keadaan seperti ini akan meningkat kehilangan kebutuhan
nutrisi.
2) Monitor intake makanan dan perubahan berat badan ; Monitor data laboratorium
: Serum protein, Lemak, Kalium dan natrium.
Rasional : Untuk menentukkan diet yang tepat bagi pasien.
3) Berikan makanan sesuai diet yang dianjurkan dan modifikasi sesuai kesukaan
Klien.
Rasional : Meningkatkan kebuthan Nutrisi klien sesuai diet .
4) Bantu atau anjurkan pasien untuk melakukan oral hygiene sebelum makan,
berikan penyegar mulut.
Rasional : Menghilangkan rasa tidak enak dalam mulut sebelum makan.
5) Berikan antiemetik dan monitor responya.
Rasional : Untuk mengevaluasi kemungkinan efek sampingnya
6) Kolaborasi denga ahli diet untuk pemberian diit yang tepat bagi pasien.
Rasional : Kerjasama dengan profesi lain akan meningkatan hasil kerja yang
baik. Pasien dengan GGK butuh diit yang tepat untuk perbaikan keadaan dan
fungsi ginjalnya.
b. Tn. M merasa haus karena kekurangan volume cairan dan kehilangan cairan
berlebihan (fase diuretic)
Hasil yang diharapkan : klien menunjukkan keseimbangan intake & output,
turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, nadi perifer teraba, BB dan TTV
dalam batas normal, elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
a. Ukur intake & output cairan , hitung IWL yang akurat
b. Berikan cairan sesuai indikasi
c. Awasi tekanan darah, perubahan frekuansi jantung, perhatikan tanda-tanda
dehidrasi
d. Kontrol suhu lingkungan
e. Awasi hasil Lab : elektrolit Na
3. Syarat Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB,
dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
 Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
 Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak
sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein dapat
diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih rendah dari
kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet Rendah Protein.
Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani hingga ≥ 60
%, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat
dapat disubstitusi dengan protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai
lauk pauk untuk variasi menu.
 Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak
tidak jenuh.
 Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah
IWL ± 500 ml.
 Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan
dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-
3000 mg Na/hari.
 Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
 Fosfor yang dianjurkan ≤ 10 mg/kg BB/hari
 Kalsium 1400-1600 mg/hari

Bahan Makanan yang Dianjurkan


 Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti, kwethiau, kentang,
tepung-tepungan, madu, sirup, permen, dan gula.
 Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam. Bahan Makanan
Pengganti Protein Hewani. Hasil olahan kacang kedele yaitu tempe, tahu, susu
kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti protein hewani untuk pasien
yang menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian asalkan
kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan kelemahan
sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal kronik akan dibahas.
 Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedele, margarine
rendah garam, mentega.
 Sumber Vitamin dan Mineral
Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami hipekalemi perlu
menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu
dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah
itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir
dan untuk buah dapat dimasak menjadi stup buah/coktail buah.

Bahan Makanan yang Dihindari


 Sumber Vitamin dan Mineral
Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien mengalami hiperkalemi. Bahan
makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam, gambas, daun singkong, leci,
daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan nangka.
Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites.
Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap
rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.

4. Kolaborasi ;
Awasi hasil laboratorium : BUN, Albumin serum, transferin, Na, K
Konsul ahli gizi untuk mengatur diet
Berikan diet ↑ kalori, ↓ protein, hindari sumber gula pekat
Batasi K, Na, dan Phospat
Berikan obat sesuai indikasi : sediaan besi; Kalsium; Vitamin D dan B kompleks;
Antiemetik
4rt CHAPTER
CLOSING

A. CONCLUSION
Gagal Ginjal Kronik (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Gagal
ginjal kronis disebabkan oleh infeksi saluran kemih, Penyakit peradangan,
penyakit vaskular hipertensif, Gangguan jaringan penyambung, kongenital dan
herediter, Nefropati toksik , penyakit metabolik, Nefropati obstruktif.
Patofisiologi penyakit gagal ginjal kronis adalah bahwa semua unit nefron telah
rusak atau berubah strukturnya sehingga ginjal tidak bisa mengabsorbsi dengan
sempurna. Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi dalam tiga stadium. Stadium I
yaitu Fase Berkurangnya cadangan ginjal, Stadium II yaitu Fase Gangguan
Ginjal, dan Stadium III yaitu Fase Penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal
Disease–ESRD). Terjadi perubahan metabolisme protein sehingga kadar protein
dalam urin tinggi dan mengakibatkan pasien kekurangan kebutuhan protein
karena itu pasien gagal ginjal kronis perlu diberikan kolaborasi diit nutrisi.
Apabila gagal ginjal kronis telah parah maka perlu dilakukan hemodialisa dua
sampai tiga kali dalam seminggu.
B. RECOMENDATION
Penyakit ginjal kronis bersifat progresif dan irreversibel yang berarti
telah berkembang (memburuk) dan tidak dapat kembali ke fungsi normal.
biasanya gagal ginjal kronik diawali dengan hipertensi ataupun diabetes melitus.
Oleh karena itu sebaiknya kita menjaga pola hidup yang sehat sehingga
terhindar dari resiko penyakit hipertensi, diabetes melitus, dan gagal ginjal.
Apabila seseorang telah menderita gagal ginjal kronis maka ia perlu diberikan
diit nutrisi dan melakukan hemodialisa.
BIBLIOGRAPHY

Brown, Colin B. 1991. Manual Ilmu Penyakit Ginjal. Terj. Moch. Sadikin dan Winarsi
Rudiharso. Jakarta: Binarupa Aksara.
Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Terj. Petrus
Andrianto. Jakarta: EGC.
Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, jilid 2.
Jakarta: EGC.
Reeves, Charlene J, Gayle Roux, and Robin Lockhart. 2001. Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi Pertama. Terj. Joko Setyono. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai