POHON BIDARA
(Kajian Kualitas Sanad Hadis dan Pemahaman Hadis)
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
AHMAD BAIHAQI
NIM: 1112034000134
ا a a ط ṭ ṭ
ة b b ظ ẓ ẓ
د t t ع ‘ „
ث ts th غ gh gh
ج j j ف f f
ح ḥ ḥ ق q q
ر kh kh ك k k
د d d ه l l
ذ dz dh ً m m
ر r r ُ n n
ز z z و w w
ش s s ٓ h h
ظ sy sh ء , ,
ص ṣ ṣ ي y y
ض ḍ ḍ ح h h
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
أ ā ā
إى ī ī
أو ū ū
iv
Abstrak
v
KATA PENGANTAR
Segala puji beserta syukur kepada Allah SWT., Tuhan semesta alam yang
salam bagi baginda Rasulullah SAW., sebagai sebaik-baik contoh dan teladan
Sebagai karya tulis yang jauh dari kata sempurna, tentunya di dalam
skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan
tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian
ini.
objek yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai
menebang pohon bidara”. Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya dapat
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya. Tak lupa, penulis ucapkan rasa terima kasih kepada seluruh
vi
terselesaikannya karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih ini penulis sampaikan
kepada:
Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor
jajarannya; Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas
Kaltsum, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir
2. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah
3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang
ini yang sekaligus sebagai dosen penguji proposal penulis. Semoga Ibu
selalu sehat, diberi kelancaran dalam segala urusan dan selalu berada
Qur`an dan Tafsir yang telah memberikan ilmu serta motivasi, bimbingan
vii
dan pengalamannya kepada penulis. Dan tidak lupa pula kepada seluruh
Untuk saat ini hanya ini yang mampu anakmu berikan. Dan tak lupa
ini.
Zuyin, Aldi, Adnan, Sayid, Jajang, Sahlan, Pandi, Ipeh, putri dan yang
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala
viii
Azmi, Zakariya, Ais, Farha, Fuji, Ayu sam setia, dan masih banyak
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, tetapi yakinlah
bahwa hal ini tidak mengurangi rasa terimakasih penulis atas kebersamaan,
dan persaudaraannya..
9. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
Ahmad Baihaqi
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Persetujuan Pembimbing .......................................................................... i
Lembar Pengesahan Panitian Ujian ......................................................... ii
Lembar Pernyataan Orisinalitas .............................................................. iii
Pedoman Transliterasi ............................................................................... iv
Abstrak ........................................................................................................ v
Kata Pengantar .......................................................................................... vi
Daftar Isi ..................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 7
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 8
E. Metodologi Penelitian ...................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ...................................................... 11
x
D. Signifikansi dan Relevansi Hadis Larangan Menebang
Pohon Bidara .................................................................... 55
E. Islam dan Lingkungan Hidup: Refleksi Atas Hadis
Larangan Menebang Pohon Bidara .................................. 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 63
B. Saran-Saran ...................................................................... 64
xi
BAB I
PENDAHULUAN
berbagai macam sarana kebutuhan hidup seperti kebutuhan pangan, sandang dan
papan yang terdapat di laut dan gunung. Allah Swt. menegaskan di dalam al-
Qur‟an, surat al-Baqarah [2] ayat 29; bahwa semua yang diciptakan-Nya di muka
bumi tak lain untuk kelangsungan hidup umat manusia dan makhluk lainnya.
Semua itu sebagai bentuk karunia dan manifestasi kasih sayang Tuhan terhadap
makhluk-Nya.
macam kerusakan di muka bumi. Allah Swt. dalam surat al-Rūm [30] ayat 41; pun
menegur dan menegaskan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan ulah perbuatan manusia. Senada dengan teguran di atas, pada Surat al-
Baqarah [2] ayat 12, Allah Swt. juga menegaskan bahwa sesungguhnya manusia
Padahal, Allah Swt. telah memberikan mandat kepada manusia agar selalu
Secara historis, kerusakan di muka bumi ini juga telah dikhawatirkan oleh
para malaikat tepatnya pada saat awal mula penciptaan manusia itu sendiri. Hal
itu, terekam jelas dalam al-Quran Surat al-Baqarah [2] ayat 30, di mana Allah
Swt. berfirman:
1
ض َخيٍِفَخً قَبىُىا أَرَجْ َع ُو فٍِهَب ٍَ ِْ ٌُ ْف ِط ُد فٍِهَبِ ْل ىِ ْي ََ ََلئِ َن ِخ إًِِّّ َجب ِع ٌو فًِ ْاْلَر َ َُّوإِ ْذ قَب َه َرث
)03( َُل اى ِّد ٍَب َء َوَّذْ ُِ ُّ َطجِّ ُخ ِث َذ َْ ِدكَ َوُّقَدِّشُ ىَلَ قَب َه إًِِّّ أَ ْعيَ ٌُ ٍَب ََل رَ ْعيَ َُى
ُ َوٌَ ْط ِف
dasarnya seorang yang akan diangkat sebagai khalifah tersebut akan membuat
oleh makhluk Allah yang lain seperti malaikat. Seorang makhluk Allah yang akan
diangkat menjadi khalifah menurut para ulama adalah Adam atau manusia.1
Prediksi yang tercatat jelas dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat
30 di atas memiliki relevansi dengan kerusakan yang sering kali terjadi di muka
bumi ini oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab dan selalu
1
Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr (Kairo: Dār al-Ṣābūnī, 1997), h. 41.
2
Kebakaran hutan misalnya, hampir selalu terjadi setiap tahun dibeberapa
isinya secara bebas dan tak terbatas, sehingga berakibat pada perubahan
yang diakibatkannya.3 Hal ini, tentu akan sangat berdampak pada hilangnya
dibenahi dan dicarikan solusi untuk menyelamatkan keadaan bumi ini supaya
tetap lestari.
Berbagai fenomena kerusakan alam yang banyak terjadi dewasa ini, pada
biasa disebut dengan istilah go green. Maksud dari istilah go green ialah upaya
2
Banyak korban kebakaran hutan yang hampir selalu terjadi setiap tahun di negeri ini.
Pada tahun 1997-1998, telah terjadi kebakaran utan yang sangat dahsyat sehingga merusak sekitar
9,7 juta hektar hutan dan lahan di tanah air. Kebakaran terjadi diseluruh pulau. 6,5 juta hektar di
Kalimantan, 1, 75 hektar di Sumatera, 100 ribu hektar di Jawa, 400 ribu hektar di Sulawesi, dan 1
juta hektar di Papua. Selengkapnya, lihat Fakhrudin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam
Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 39.
3
Sukandamuri, Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pemanasan Global (Yogyakarta: Andi,
2010). Pemanasan global ialah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan
daratan bumi. Pemanasan global terjadi akibat ada peningkatan kadar gas rumah kaca. Lihat
Mukono, Aspek Kesehatan Pencemaran Udara (Surabaya: Airlangga University Press, 2011), h.
54.
4
Selengkapnya, lihat Suhendri Cahya Purnama, Islam dan Go Green. Artikel diakses dari
http://www.daaruttauhiid.org/artikel/read/global/226/islam-dan-go-green.html. Pada 17 Agustus
2017.
3
Kejadian-kejadian yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam merusak
ekosistem di muka bumi ini dan membuat kerusakan di berbagai tempat ini tentu
Apabila kita merujuk pada doktrin teologis yang terdapat di dalam ayat suci
al-Qur‟an, maka akan kita dapatkan bahwa Allah Swt. memberikan teguran keras
kepada umat manusia agar tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini yang
sendiri bagi kehidupan umat manusia ke depannya. Allah berfirman dalam Surat
memiliki tujuan untuk usaha penghijaun bumi ini mendapatkan legitimasi dari
hadis Nabi Saw. dalam riwayat al-Bayhaqi dalam Sunan al-Kubra, sebagai
berikut:
ْ أَو، « ٍَب ٍِ ِْ ٍُ ْط ِي ٌٍ ٌَ ْغ ِرشُ غَرْ ضًب:ٌَ َّصيَّى للاُ َعيَ ٍْ ِٔ َو َضي ِ َّ قَب َه َرضُى ُه: قَب َه،ص
َ للا ٍ ََّع َِْ أ
5 ٌ
َ ََُٔذ ى
»ص َدقَخ ٌ أَوْ إِ ّْ َط،ٌ فٍََأْ ُم ُو ٍِ ُْْٔ طَ ٍْر،ع زَرْ عًب
ْ ّ أَوْ ثَ ِهٍ ََخٌ إِ ََّل َمب،ُب ُ ٌَ ْس َر
Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi saw telah bersabda: Tidaklah seorang
Muslim menanam suatu tanaman, kemudian hasil tanamannya dimakan oleh
burung, manusia dan hewan, melainkan akan menjadi shadaqah bagi
pemiliknya.
5
Aḥmad bin Ḥusayn bin „Alī bin Mūsā‟ al-Bayhaqī, Sunan al-Kubrā (Mekah: Dār al-Bāz,
1994), 6, 137.
4
Hadis di atas memiliki pemahaman bahwa seorang yang menanam pohon
akan dihitung oleh Allah sebagai amalan baik baginya. Ini menunjukkan bahwa
dalam hadis di atas secara eksplisit Nabi Saw. menganjurkan supaya setiap
individu menanam pohon apa pun yang berguna untuk usaha pelestarian
yang menanam pohon, kemudian hasil tanamannya tersebut dimakan oleh burung,
manusia atau hewan, maka hal itu akan menjadi ṣadaqah bagi orang yang
menanamnya. Tak hanya itu, pada hadis di atas, Nabi saw juga seolah hendak
keuntungan. Hal itu, karena pahala menanam pohon akan terus mengalir kepada
pemiliknya selama pohon tersebut masih ada. Selama pohon yang ditanam oleh
seseorang, walaupun orang yang menanam pohon tersebut telah meninggal dunia,
bisa memberi manfaat kepada orang lain, atau bahkan untuk binatang sekalipun,
maka seorang yang menanam pohon akan tetap menuai pahala atas perbuatan baik
yang pernah dikerjakan tersebut. Dari sini, dapat dikatakan bahwa semangat go
green dalam bentuk anjuran penanaman pohon mendapat legitimasi langsung dari
Nabi Saw.
Semangat go green juga dapat dijumpai dalam hadis lain riwayat Abu
Dawud dalam Sunan Abi Dawud di mana Nabi Saw. pernah mengancam
sahabatnya yang menebang pohon bidara dengan suatu ancaman yang dapat
5
berujung pada siksaan kelak di akhirat.6 Hal itu, sebagaimana terekam pada hadis
berikut.
َ " ٍَ ِْ قَطَ َع ِض ْد َرح:-ٌصيى للا عئٍ وضي- قبه رضى ُه للا: قبه،ًئ
ٍّ ثِ ُدج ِْش
ِ عِ عج ِد للا
7
."اىْبر
ِ ًص َّىة للاُ رأ َضُٔ ف
َ
Dari Abdullah bin Hubsyi ia berkata, "Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa menebang pohon bidara, maka Allah akan membenamkan
kepalanya dalam api neraka."
pohon bidara. Bahkan, Nabi Saw. memberi ancaman keras bahwa siapa saja yang
dalam api neraka. Oleh karenanya, hadis ini kian menegaskan terkait pentingnya
hubungan antara manusia dan alam, sekiranya sudah saatnya hubungan di antara
(simbiosis mutualisme). Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari manusia
sebagai makhluk yang diamanati oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini
untuk selalu menjaga alam lingkungan dan tempat huni bagi mereka dengan
Dalam penelitian ini, penulis akan menyuguhkan bentuk doktrinal dari Nabi
Saw. terkait dengan usaha pelestarian lingkungan sebagai mana hadis yang
6
Bidara atau widara (ziziphus mauritiana) adalah sejenis pohon kecil penghasil buah yang
tumbuh di daerah kering. Tanaman ini dikenal pula dengan nama daerah seperti widara (Jawa),
Kok (Rote), Kon (Timor), bedara (Alor), kalanga (Sumba) dan rangga (Bima). Lih. K. Hayne,
Tumbuhan Berguna Indonesia (Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya, 1987), Jld. 3, h. 1270.
7
Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār al-Kutub al-„Arabī, 2009), Jld. 4,
h. 530.
6
diriwayatkan oleh Abū Dāwūd di dalam kitab sunannya tentang larangan
berkaitan dengan hadis ini ialah, bagaimana kualitas hadis tersebut? kemudian,
apa yang dikatakan para ulama terkait substansi hadis tersebut. Hal ini menarik
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini akan dibatasi pada hadis
yang mendukung usaha pelestarian lingkungan atau go green. Dalam hal ini hadis
riwayat Abū Dāwūd dalam kitab sunannya tentang larangan memotong pohon
Sunannya?
7
Kedua, untuk menjelaskan kehujahan hadis tersebut kepada masyarakat
secara luas
komprehensif
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa tulisan yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis yang berpusat pada usaha penghijauan dan penyelamatan
Penelitian (skripsi) yang ditulis oleh Nur Istikhomah yang berjudul „Go
Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks 1387‟.8 Penelitian ini
dengan nomer indeks 1387 tanpa ada analisis dan memahami muatan makna dari
hadis yang dikajinya tersebut. Padahal memahami muatan hadis merupakan salah
satu kajian yang sangat urgen untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat
8
Nur Istikhomah, „Go Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks 1387‟,
Skripsi (Surabaya: UIN Sby, 2014).
8
tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, bukan semata menilai kualitas
Selanjutnya ada artikel dari Fadl Ihsan tentang „Pahala Bagi Seorang yang
berbagai macam hadis yang berkaitan dengan anjuran menanam pohon dan
menilai kualitas dan kehujahan hadis di atas, tetapi ia tidak mengekpos tentang
beberapa bagian hadis yang sama dengan penelitian yang penulis angkat namun
berbeda dengan Fadl, penulis akan mengekpos cara memahami hadis tersebut
Adapula buku yang ditulis oleh Erni Misran, dkk yang berjudul Think Green
konteks kekinian.10 Di dalam buku ini sempat mengutip penjelasan hadis riwayat
Abu Dawud tentang larangan menebang pohon bidara sebagai dasar legitimasi
pencantuman kualitas dan kehujahan hadis tersebut. Terlebih buku ini tidak
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
9
Fadl Ihsan, „Pahala Bagi Seorang yang Menanam Pohon di Dunia‟, dalam buletin al-
Tauhid, edisi 121, tahun 2011.
10
Erni Misran, dkk, Think Green Go Green (Jakarta: Pustaka Jingga, 2013).
9
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menjadikan sumber buku
pustaka sebagai kajian utama (library reseach), yaitu meneliti sejumlah buku-
buku kepustakaan dan sejumlah literatur lainnya yang berkaitan dengan obyek
pembahasan.
Sebagai data primer, penulis akan merujuk langsung pada literatur hadis,
terutama sejumlah kitab induk hadis semisal al-Kutub al-Sittah (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,
Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan Ibn Mājah, Sunan al-Nasā’ī, Sunan al-Tirmidzī dan Sunan
Abī Dāwūd). Tak hanya itu, penulis juga akan merujuk pada kitab Rijāl al-Hadīts
seperti kitab Siyar A‘lām al-Nubalā karya al-Dzahabī, Tahdzīb al-Kamāl karya
al-Mīzzī, Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibn al-Ḥajar al-„Asqalānī dan lain sebagainya.
banyak kitab-kitab induk hadis yang merekam keberadaan hadis terkait larangan
metode takhrij hadis. Adapun metode takhrij yang digunakan dalam penelitian ini
atas, penulis akan menelaah pendapat para kritikus hadis terkait kredibilitas dan
10
dengan cara merujuk langsung pada Kitab Rijāl al-Hadīts sebagaimana yang telah
disebutkan.
penulis akan coba melakukannya melalui beberapa hal, yaitu: 1). Memahami
hadis melalui petunjuk al-Quran, 2). Memahami hadis melalui riwayat yang
semakna, dan 3). Memahami hadis melalui perkataan para ulama. Yang terakhir
ini dilakukan dengan cara merujuk pada sejumlah kitab syarah hadis.
Karya Ilmiah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda. Adapun
transliterasi dalam penulisan skripsi ini akan mengacu pada transliterasi yang
berasal dari ketentuan Jurnal Ilmu Ushuluddin tahun yang diterbitkan oleh
F. Sistematika Penulisan
Penelitian yang penulis lakukan akan dibagi ke dalam lima bab pembahasan.
Bab kedua adalah kerangka teori. Kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan teori yang menjelaskan cara memahami hadis yang
11
dikemukakan oleh Yūsuf al-Qarḍawī. Menurutnya, suatu hadis dapat dipahami
kandungan makna yang sama dan ketiga, adalah memahami hadis berdasarkan
Bab ketiga berisi tentang takhrij hadis tentang larangan menebang pohon
larangan menebang pohon bidara. Kemudian akan disertakan pula kajian sanad
Selanjutnya adalah akan dihukumi status dari hadis yang ditakhrij apakah ṣaḥīḥ,
memahami hadis larangan menebang pohon bidara. Pada bab ini akan
dengan larangan menebang pohon bidara. Kemudian akan digali nilai-nilai yang
Bab lima merupakan penutup. Pada bab ini penulis akan menjawab
pertanyaan masalah dalam penelitian hadis yaitu seputar kualitas dan kehujahan
hadis larangan menebang pohon bidara. Selain itu juga pada bab ini akan
12
BAB II
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan secara ringkas terkait cara atau
metode dalam memahami hadis Nabi Saw. Hal ini dilakukan sebagai kerangka
teori untuk memaknai hadis larangan menebang pohon bidara. Dalam hal ini,
makna atau pesan inti yang terkandung dalam hadis larangan menebang pohon
bidara. Adapun beberapa metode yang menurut penulis relevan dan akan
Nabi Saw ialah memahaminya berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Hal itu, karena
13
sendiri. Al-Qarḍāwī juga menegaskan bahwa jika ada seseorang yang menduga
adanya hadis Nabi saw yang bertentangan dengan naṣ al-Quran, maka dapat
dipastikan bahwa hadis tersebut tidaklah ṣaḥīḥ, atau pemahamannya lah yang
keliru. Bahkan, boleh jadi adanya dugaan pertentangan tersebut hanyalah bersifat
semu dan bukan hakiki.12 Sebagai legitimasi terkait pentingnya memahami hadis
berdasarkan petunjuk al-Qur‟an ini, al-Qarḍāwī mengutip ayat al-Quran surat al-
para ulama lainnya juga telah melakukan hal yang sama. Dalam beberapa kitab
syaraḥ hadis misalnya, para ulama pada umumnya mengutip ayat al-Qur‟an
terlebih dahulu sebelum menjelaskan makna atau substansi hadis. Hal ini untuk
melihat dan memastikan tentang sejauhmana suatu hadis memiliki basis legitimasi
dari ayat-ayat al-Qur‟an. Bahkan, jika menelisik lebih jauh ke belakang, hal
semacam ini sesungguhnya telah dilakukan oleh Umm al-Mu’minīn „Ā‟isyah Ra.
pada saat mengkritik hadis yang disampaikan oleh seorang sahabat lantaran
12
Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 93.
13
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.tn), Jld. 2, h. 81., Muslim bin al-
Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2010), Jld. 2, h. 620.
14
landasan Abdullah melarang menangisi mayat merujuk pada hadis Nabi Saw.
bin „Umar yang dinilai kurang tepat. „Ā‟isyah menilai bahwa Abdullah bin „Umar
pada saat bertemu dengan orang Yahudi yang sedang menangis di kuburan. Nabi
Saw. mengatakan; “mereka menangisinya dan dia (mayat) akan diadzab di dalam
larangan menangisi mayat tersebut bertolak belakang dengan surat al-Najm [53]
ْ أًََّل تَ ِزُر َوا ِزَرةٌ ِوْزَر أ. Ayat tersebut mempunyai arti bahwa
ayat 38, yang berbunyi ُخَرى
langkah dalam melakukan kritik matan ialah dengan cara menguji validitas matan
Qur‟an, maka secara otomatis dapat dipastikan bahwa ia bukanlah hadis ṣaḥīḥ,
hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Mālik tentang keberadaan orang
14
Muḥammad bin „Alī al-Syawkānī, Nayl al-Awṭār min Asrār al-Muntaqā’ al-Akhbār
(Mekah: Dār Ibn al-Jawzī, 1427 H.), Juz. 4, h. 111-2.
15
Muḥammad al-Ghazālī, Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīts
(Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣhr, 2012), h. 169.
15
ال إِ َّن أَِِب
َ ال ِِف النَّا ِر فَلَ َّما قَفَّي َد َعاهُ فَ َق ِ ول
َ َاهلل أَيْ َن أَِِب ق َّ َع ْن أَنَس أ
َ َن َر ُجال قال يا َر ُس
اك ِِف النَّا ِر
َ ََوأَب
Dari Anas bin Mālik diceritakan, ada seorang lelaki bertanya, wahai
Rasulullah saw, di manakah bapakku berada? Nabi saw menjawab,
(bapakmu) di neraka. Ketika ia berpaling, Nabi saw memanggilnya dan
berkata, sesungguhnya bapakku dan bapakmu di Neraka.16
Saw. di neraka, baik ditinjau secara matan dan sanad adalah valid, benar. Hal ini
karena hadis tersebut terdapat di dalam kitab Ṣaḥīḥ Muslim yang dinilai sebagai
salah satu kitab hadis paling valid selain Ṣaḥīḥ al-Bukhari. Dengan demikian,
secara kualitas, ia masuk dalam katagori hadis Ṣaḥīḥ yang dapat dijadikan sebagai
ini, maka akan diketahui bahwa hadis ini diucapkan oleh Nabi Saw. sebagai
jawaban atas pertanyaan seorang sahabat tentang keberadaan bapaknya. Nabi saw
orang tua Nabi Saw berada di neraka. Pertanyaannya, benarkah orang tua Nabi
Saw berada di neraka? apa yang menyebabkan orang tua Nabi Saw berada di
neraka? Dalam hal ini, al-Qarḍāwī mencoba memahami hadis di atas berdasarkan
petunjuk al-Qur‟an. Yang menjadi permasalahan utama dalam hadis ini ialah
terkait makna redaksi ًِ إِ َُّ أَث. Apakah kata ( أةayah/bapak) di sana bermakna
16
Al-Ḥusayn Muslim bin al-Ḥajjāj bin Muslim al-Qusyairī al-Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim,
(Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, t.th.), Vol. 1, h. 191.
16
Menurut al-Qarḍāwī, kata أةpada hadis di atas tertuju kepada pamannya
Nabi Saw yaitu Abu Thalib, yang telah merawat Nabi Saw setelah ditinggal wafat
merupakan hal yang lumrah dalam bahasa Arab, bahkan dapat dijumpai dalam al-
Qur‟an. Ia kemudian mengutip surat al-Bāqarah [2] ayat 133 sebagai berikut.17
ال لِبَنِ ِيو َما تَ ْعبُ ُدو َن ِم ْن بَ ْع ِدي قَالُوا نَ ْعبُ ُد
َ َت إِ ْذ ق
ُ وب الْ َم ْو َ أ َْم ُكْنتُ ْم ُش َه َداءَ إِ ْذ َح
َ ضَر يَ ْع ُق
اح ًدا َوَْْح ُن لَوُ ُم ْسلِ ُمو َن
ِ اق وي ع ُقوب إِ ٰلا و ِ ِ ِ ك إِبْر ِاى
َ ً َ ْ َ َ َ يم َوإ ْْسَاعي َل َوإ ْس َح
ِ ِٰ َ إِ ٰل
َ َ َ ك َوإلوَ آبَائ َ
Adakah kamu hadir ketika Ya‟qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika
ia bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu
dan Tuhan bapak moyangmu, Ibrahim, Isma‟il, dan Ishak, (yaitu) Tuhan
Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.
Pada ayat di atas, makna kata آثبءyang merupakan bentuk jamak dari kata
pamannya. Akan tetapi, dalam hal ini al-Qur‟an menggunakan kata أةdan bukan
kata ٌ ع. Dengan adanya bukti normatif dari al-Qur‟an yang menunjukkan makna
kata أةbukan semata memiliki arti tunggal sebagai bapak kandung, maka kata
tersebut pada dasarnya memiliki kemungkinan lebih dari satu kata atau
Sementara itu, anggapan bahwa makna kata أةpada hadis di atas ialah
tertuju kepada Abū Ṭālib (paman Nabi Saw.), didasarkan pada fakta historis
Kejadian tersebut banyak direkam di dalam hadis ṣaḥīḥ seperti Ṣaḥīḥ Muslim
yang menyatakan bahwa pada akhir hayat wafatnya Abū Ṭālib, Nabi Saw.
17
Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 117.
17
memintanya untuk mengucapkan kalimat tauhid supaya ia (Nabi) dapat
Ṭālib tidak mengucapkan kalimat yang dikehendaki Nabi Saw. Maka dengan
ke dalam orang yang tidak beriman dan akan dimasukkan ke dalam neraka. Tatapi
hukuman yang akan diterimanya di neraka kelak, merupakan hukuman yang tidak
seberat orang-orang kafir musyrikin yang memusuhi dan membenci Nabi Saw.18
hadis Nabi ialah menghimpun atau memadukan hadis-hadis ṣaḥīḥ yang berkenaan
dengan tema tertentu. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan yang
menafsirkan yang „am (umum) dengan yang khāṣ (khusus). Sehingga, makna
yang dimaksudkan dapat diketahui dengan jelas dan tidak bertentangan satu
Ya‟qub. Ia berkata:
18
Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 117.
18
Nabi yang tidak jelas maknanya, mesti ditafsirkan dengan hadis yang jelas
maknanya”.19
secara tematik ini, pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari kaidah yang
dikemukakan oleh Aḥmad bin Hanbal bahwa “hadis akan terasa sulit dipahami
jika periwayatannya tidak dikumpulkan dalam satu tema, karena hadis saling
menafsirkan satu dengan yang lainnya”. (al-Ḥadīts Idzā Lam Tajma‘ Ṭurūqahu
bawah mata kaki sebagaimana tercatat di dalam Sunan al-Kubrā karya al-Nasā‟ī,
ثََالثَةٌ ًَل يُ َكلِّ ُم ُه ُم اللَّوُ يَ ْوَم الْ ِقيَ َام ِة: صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِ
َ ال َر ُس ْو ُل اهلل َ ََع ْن أَِ ِْب ذَر ق
َ َال ق
ِ ِ ِ ِ وًَل ي ْنظُر إِلَي ِهم وًَل ي َزِّكي ِهم وَلم ع َذ
ُ َوالْ ُمْنف ُق س ْل َعتَو،ُ َوالْ ُم ْسبِ ُل إَِز َاره، الْ َمنَّا ُن ِبَا أ َْعطَى:يم ٌ اب أَل
ٌ َ ُْ َ ْ ُ َ ْ ْ ُ َ َ
ب ِ ِاْلل
ِ ف الْ َك ِاذ ِ
َْ ب
Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari
kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Mereka
bertiga akan mendapatkan siksa yang pedih. Pertama, orang yang
mengungkit-ungkit pemberian (sedekah), kedua, orang yang isbal
(menjulurkan pakaian di bawah mata kaki), dan ketiga, orang yang
melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.21
Secara tekstual, hadis ini memberi ancaman keras salah satunya kepada
orang yang menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki (musbil). Hadis ini
19
Ali Mustafa Yaqub, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ciputat:
Maktabah Darussunnah, 2016), h. 119.
20
Khaṭīb al-Baghdādī, al-Jāmi‘ li Akhlak al-Rāwī wa Ādab al-Sāmi‘ (Riyaḍ: Maktabah
al-Ma„ārif, t.tn). h. 212.
21
Aḥmad bin Syu„ayb al-Nasā‟ī, Sunan al-Kubrā’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1991), Vol. 5, h. 588.
19
pakaian di bawah mata kaki. Bahkan, sebagian golongan berani memberikan
stigma negatif terhadap orang yang menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki
sebagai orang yang tak paham agama karena dinilai menyalahi sabda Nabi Saw.
Padahal, jika hadis tersebut dipahami secara utuh, yaitu dengan cara
mereka akan terhindar dari sikap ekstrim semacam itu. Menurut al-Qarḍāwī,
meriwayatkan hadis yang berasal dari sahabat Abdullah bin „Umar sebagai
berikut.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:
“Allah Swt. tidak akan memandang kepada orang yang menjulurkan
pakaiannya karena sombong”.23
(isybal). Keberadaan kata خٍَلءyang bermakna “sombong” pada hadis ini, menjadi
penjelas bagi hadis sebelumnya. Artinya, ancaman keras yang ditegaskan oleh
mesti digaris bawahi dalam hal ini bukanlah menjulurkan pakaian di bawah mata
22
Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 123.
23
Al-Bukhārī. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭauq al-Najah, t.tn.), Vol. 7, h. 141.
20
kaki, melainkan adanya sikap sombong dari orang atau kelompok yang
bersangkutan.
Selain dua perangkat yang telah dijelaskan di atas, hal lainnya yang mesti
yang melatari munculnya suatu hadis. Hal itu, karena suatu hadis tidaklah muncul
dengan sendirinya. Ia tidak muncul dalam ruang yang kosong, melainkan dilatar
belakangi oleh sebab dan tujuan.24 Sebagai contoh ialah hadis terkait larangan
yang berasal dari Abū Ma„bad, bekas budak dari Ibn „Abbās, sebagai berikut:
tersebut dikemukakan oleh „Adil Mursyid, pentahqiq kitab Musnad Aḥmad bin
24
Pada dasarnya, memahami hadis berdasarkan konteks sosio historis merupakan
pengembangan dari sabab al-wurūd al-hadīts. Terkait sabab al-wurūd ini, Ibn Taimiyah
menegaskan bahwa sebagaimana pentingnya sabab al-nuzūl dalam konteks kajian al-Quran, maka
dalam konteks kajian hadis, pengetahuan menyangkut sabab al-wurūd juga sangat dibutuhkan oleh
seorang ahli fiqh ataupun mujtahid sehingga tak terjebak pada sebuah pemahaman yang keliru.
Selengkapnya, lihat „Alī Nayif al-Syuhūd, al-Mufaṣṣal fī ‘Ulūm al-Hadīts (t.tp.: Hay‟at al-„Ilmiyah
wa al-Khairiyah, 2008), h. 132.
25
Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 145.
26
Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal (Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 2001),
Jld. 3, h. 408., , Abū al-Qāsim, al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Kabīr (Mosul: Maktabah al-Ulum wa al-
Hikam, 1983), Vol. 11, h. 425.
21
Hanbal, bukan diartikan sebagai usaha pengekangan bagi seorang perempuan.
Bahkan hal ini dilakukan sebagai usaha melindungi perempuan dari segala
tindakan yang tidak baik. Kondisi ini diambil karena mengingat kondisi bangsa
Arab pada saat itu tidak aman dan memungkinkan bagi seorang perempuan
Oleh karena itu, seorang perempuan mendapat larangan bepergian baik itu
satu hari, dua, hari atau bahkan tiga hari tanpa didampingi oleh suami, bapak atau
hadis Nabi di atas sangat disebabkan dan dipengaruhi oleh kondisi sosial dan
yang relatif lebih aman dan tenteram dibandingkan dengan pada masa dulu
cara dan metode seperti mempertimbangkan kondisi sosial pada masa itu sehingga
Arab yang sangat rawan. Di mana seseorang yang hendak berpergian mesti
melewati gurun pasir dengan mengendarai unta atau keledai. Situasi gurun pasir
pada saat itu sangatlah gersang dan sepi dari kehidupan. Hal ini, tentu akan sangat
27
„Adil Mursyid, dalam komentar taḥqīq kitab Musnad Aḥmad bin Hanbal. Aḥmad bin
Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal, Jld. 3, h. 408.
22
sangatlah wajar jika Nabi saw melarang seorang perempuan untuk berpergian
Tak hanya itu, bahkan para ulama telah membolehkan bagi perempuan
untuk pergi menunaikan haji meskipun tanpa ditemani mahram atau suaminya.
Hal ini, sebagaimana pernah dilakukan Aisyah Ra. ketika menunaikan haji
bersama istri-istri Nabi lainnya tepatnya pada masa khalifah „Umar bin Khaṭṭab.
Pada saat itu, tak seorang pun yang ditemani mahramnya, melainkan ditemani
28
Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 149. Bandingkan
dengan Muḥammad Azīz „Ābidīn, al-Tsawābit wa al-Mutaghayyirāt fī al-Qur’ān wa al-Sunnah
(Damaskus: Dār al-Mahabah, 2011), h. 14.
29
Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 149.
30
Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Awsaṭ (Kairo: Dār al-
Haramain, 1415 H), Vol. h. 357. Lihat juga Abū Ya„lā al-Muṣīlī al-Tamīmī, Musnad Abī Ya‘lā,
(Damaskus: Dār al-Ma‟mūn, 1984), Vol. 6, h. 321.
23
Secara tekstual, hadis di atas hendak menegaskan bahwa mengangkat
pemimpin di luar golongan Quraisy. Dengan mengacu pada makna literal hadis
ini, kelompok ektrimis seperti Islamic State Irak and Suriah (ISIS) meyakini
sebuah keharusan. Sehingga, pada tahun 2014, mereka mengangkat Abū Bakar al-
muncul kemudian ialah, bagaimana substansi atau pesan moral dari hadis
tersebut? Dalam konteks sosio-historis seperti apa hadis tersebut diucapkan oleh
Nabi Saw.?
Dalam hal ini, al-Qarḍāwī mengutip pendapat Ibn Khaldun bahwa alasan
utama Nabi Saw. mensyaratkan pemimpin dari golongan Quraisy lantaran mereka
merupakan suku terkuat dan memiliki ‘aṣabiah yang tinggi pada saat itu.
Sehingga, kiranya logis jika Nabi memilih suku Quraisy sebagai pemimpin.
Dengan perkataan lain, yang menjadi prinsip utama bukanlah karena faktor
oleh golongan Quraisy pada saat itu. Jika demikian alasannya, menurut al-
Qarḍāwī, maka pengamalan hadis di atas tak dapat digeneralisasi dalam konteks
sekarang.32 Kiranya logis jika Nabi Saw. pada saat itu mensyaratkan pemimpin
kuat dan ‘aṣabiah yang tinggi, konon mereka juga merupakan suku yang paling
24
Sejarah juga telah mencatat, bahwa mereka merupakan suku terkemuka
Selain dari pada itu, dalam konteks sekarang, sangat sulit jika mengangkat
memimpin harus selalu dari golongan Quraisy. Terlebih, umat Islam telah tersebar
pengamalan makna hadis di atas dalam konteks sekarang sangatlah irasional dan
tidak relevan.
meletakkan pada konteks historisnya tak lain merupakan sikap yang arif dan
dapat mendapatkan bentuk pemahaman hadis yang holistik dan komprehensif dan
33
Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 93.
25
BAB III
Pada bab ini, penulis akan menguji kualitas sanad hadis larangan
menebang pohon bidara. Sebagai langkah awal, penulis terlebih dahulu akan
melakukan takhrij hadis. Hal ini penting dilakukan, bukan hanya untuk dapat
mengetahui letak atau sumber keberadan hadis tersebut, melainkan juga untuk
beberapa kitab induk hadis. Sekurang-kurangnya, ada tiga kitab induk hadis yang
merekam keberadaan hadis tersebut yaitu Sunan Abī Dāwūd karya Abū Dāwūd,
Sunan al-Nasā’ī karya al-Nasā‟ī dan Mu‘jam al-Awsaṭ karya Abū al-Qāsim al-
Ṭabrānī. Ketiga sumber tersebut merekam hadis larangan menebang pohon bidara
dengan redaksi matan yang sama persis tanpa dijumpai adanya perbedaan sedikit
26
1. Riwayat Abū Dāwūd
ص ٍر بْ ِن َعلِى أَ ْخبَ َرنَا أَبُ ْو أُ َس َامةَ َع ْن ابْ ِن ُجَريْ ٍج َع ْن عُثْ َما َن بْ ِن أَِب ُسلَْي َما َن َع ْن َح َّدثَنَا نَ ْ
صلَّى اهللُ َعلَْي ِو ِ سعِي ِد ب ِن َُم َّم ٍد ب ِن جب ٍي ب ِن مطْعِ ٍم عن عب ِد ِ
اهلل بْ ِن ُحْب ٍشى قَ َ
ال َر ُس ْو ُل اهلل َ -ال قَ َ َ ْ َْ َ ْ ْ َ ْ َُ ْ ْ ُ
1
ب اللَّوُ َرأْ َسوُ ِِف النَّا ِر ». ِ
َو َسلَّ َمَ « -م ْن قَطَ َع س ْد َرةً َ
ص َّو َ
1
Abū Dāwūd Sulaimān bin Asy„ats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār al-Kitab
al-„Arabī, tt), Vol. 4, h. 530.
2
Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu„aib bin „Alī al-Nasā‟ī, Sunan al-Nasā’ī (Beirut:
Mu‟assasah al-Risālah, tt), Vol. 8, h. 21.
3
Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Awsaṭ (Riyaḍ, Dār al-
Haramayn, tt), Vol. 5, h. 182.
27
B. Skema Sanad
Nabi Saw.
Ibn Juraij
bidara masuk dalam katagori hadis gharīb al-muṭlak4 yang merupakan bagian dari
hadis ahad. Hal itu, karena pada fase (ṭabaqat) sahabat, tak seorang pun yang
pula pada dua fase setelahnya, hadis tersebut juga masing-masing hanya
diriwayatkan oleh satu orang periwayat, yaitu Sa„īd bin Muḥammad dan „Ustmān
4
Yang dimaksud dengan gharīb al-Muṭlak ialah hadis yang ketersendirian (gharabah)nya
terjadi pada awal sanad. Dengan kata lain, pada fase sahabat, hanya ada satu orang sahabat yang
meriwayatkan. Selengkapnya, lihat Maḥmūd al-Ṭaḥḥān, Taysīr Musṭalaḥ al-Ḥadīts (Beirut: Dār
al-Fikr, t.tn), h. 28.
28
bin Abī Sulaimān. Penyebaran hadis tersebut baru terjadi tepatnya oleh Ibn Juraij.
Melalui Ibn Juraij ini, hadis tersebut kemudian tersebar kepada tiga jalur sanad,
Dalam hal ini, penulis akan membagi pembahasan berdasarkan jalur sanad
Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān
dan Ibn Juraij. Keempat periwayat tersebut hanya akan dijelaskan pada
Secara keseluruhan, di dalam jalur sanad Abū Dāwūd ini terdapat tujuh
periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin
Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Abū Usāmah, Naṣr bin „Alī dan
terakhir ialah Abū Dāwūd. Di bawah ini, akan dijelaskan secara spesifik terkait
ialah Abū Qatīlah. Ia merupakan seorang sahabat Nabi Saw. yang tinggal di
29
Mekah. Ia meriwayatkan beberapa hadis dari Nabi Saw., salah satunya ialah hadis
terkait larangan menebang pohon bidara5 sebagaimana yang sedang penulis kaji.
sahabat Nabi Saw, maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa ia merupakan
seorang yang „adil (‘adl), tanpa harus melacak komentar ulama mengenai
kredibilitasnya. Hal itu, berdasarkan kaidah populer dalam ilmu hadis bahwa
2. Sa‘īd bin Muḥammad bin Jubair bin Muṭ‘im (w. 120 H.)
Nama lengkapnya ialah Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair bin Muṭ„im al-
Nawfalī, al-Madanī. Ia meriwayatkan hadis langsung dari para sahabat Nabi Saw.
di antaranya Abdullah bin Ḥubsyi, Abū Hurairah, dan juga dari kakeknya, yaitu
Jubair bin Muṭ„im. Sementara itu, beberapa muridnya yaitu „Utsmān bin Abī
Terkait Sa„īd bin Muḥammad ini, penulis tidak menemukan komentar para
5
Abū „Amr Yūsuf bin „Abdullah al-Qurṭubī, al-Isti‘āb fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb (Beirut: Dār
al-Jīl, 1412 H.), Vol. 3, h. 887., Lihat juga Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar al-„Asqalānī, al-Iṣābah fī
Tamyīz al-Ṣaḥābah (Beirut: Dār al-Jīl, 1992), Vol. 4, h. 52.
6
„Abd al-Raḥmān bin Abū Ḥātim al-Rāzī, al-Jarh wa al-Ta‘dil (Beirut: Dār Iḥyā‟ Turāts
al-„Arabī, 1952), Vol. 4, h. 57.
7
Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad al-Tamīmī, al-Tsiqāt (Beirut: Dār al-Fikr,
1975),Vol. 4, h. 290.
30
Nama lengkapnya ialah „Utsmān bin Abī Sulaimān bin Jubair bin Muṭ„im
bin „Adī bin Naufal, al-Qurasyī al-Makkī. Al-Mīzī mengutip pernyataan Ibn
Ḥibbān bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān merupakan seorang Qaḍī di Mekah.8
Muḥammad bin Jubair bin Muṭ‘im, Nāfi„ bin Jubair bin Muṭ„im, Syu„aib bin
Khālid al-Khats„amī dan lain-lain. Adapun muridnya ialah Ibn Juraij, Ismā„īl bin
Sementara itu, sejumlah ulama hadis semisal Aḥmad bin Hanbal, Yaḥyā
bin Ma„īn dan Abū Ḥātim al-Rāzī menilai bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān
nama „Utsmān bin Abī Sulaimān dikutip oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya.9
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān
periwayatannya.
Nama lengkapnya ialah „Abd al-Mālik bin „Abd al-„Azīz bin Juraij al-
Qurasyi.10 Ia memiliki dua kunyah yaitu Abū Khālid dan Abū al-Wālid.11
Beberapa guru Ibn Juraij yaitu „Ustmān bin Abī Sulaimān, Yaḥyā bin
Abdullah, Ya„lā bin Hākim, Zayd bin Aslam, Isḥāk bin Abī Ṭalḥah, Ṣāliḥ bin
Kaisān, A„ṭa bin Abī Rabāh, dan lain-lain. Adapun murid-muridnya, yaitu Abū
8
Yūsuf bin al-Zakī „Abd al-Raḥmān Abū al-Ḥajjāj al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl (Beirut:
Mu‟assasah al-Risālah, 1980), Vol. 19, h. 384.
9
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 19, h. 384.
10
Sulaimān bin Khalāf bin Sa„d, al-Ta‘dīl wa al-Tajrīḥ (Riyaḍ: Dār al-Liwā, 1986), 2,
904.
11
Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥammād al-Daulabī, al-Kunā wa al-Asmā (Beirut: Dār Ibn
Ḥazm, 2000), Vol. 2, h. 505.
31
Usāmah, Yaḥyā bin Sa„īd al-Umawī, Yaḥyā bin Sa„īd al-Anṣārī, Hisyām bin
Yaḥyā bin Ma„īn menilai bahwa Ibn Juraij merupakan seorang yang
tsiqah. Ulama lainnya semisal Yaḥyā bin Sa„īd menilai Ibn Juraij sebagai seorang
yang jujur (ṣadūq).13 Kredibilitas Ibn Juraij juga dapat dipastikan karena ia
termasuk periwayat yang tercantum dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, salah satunya pada
saat meriwayatkan hadis terkait dzikir setelah shalat.14 Dari sini, dapat dikatakan
Kunyahnya ialah Abū Usāmah al-Kūfī.15 Abū Usāmah meriwayatkan hadis dari
sejumlah ulama yaitu Ibn Juraij, Abū Isḥāk al-Fazarī, Aḥwaṣ bin Hākim al-
Syāmī, Bisyr bin Khālid al-Kūfī, Ajlah bin Abdullah al-Kindī, Bahz bin Hākim,
Usāmah bin Zayd al-Laitsī, Sa„d bin Sa„īd al-Anṣārī dan sejumlah ulama
lainnya.16
12
Ahmad bin Ali bin Ḥajar Abu al-Fadhl al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Dar
al-Fikr, 1984), Vol. 6, h. 357.
13
Ahmad bin Ali bin Ḥajar Abu al-Fadhl al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Vol. 6, h. 358.
14
Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
(Beirut: Dar Thauq al-Najah, tt), Vol. 1, h. 168. Adapun hadis yang dimaksud ialah sebagai
berikut:
32
Adapun muridnya yaitu Naṣr bin ‘Alī, Yaḥyā bin Ma„īn, Aḥmad bin
Hanbal, Abū Khaitsamah bin Zuhair bin Ḥarb, Sufyān bin Waqi„ bin Jarrāḥ, „Alī
bin al-Madīnī, Utsmān bin Muḥammad bin Abī Syaibah, Muḥammad bin Idrīs al-
ulama yang tsiqah dan ṣaduq.18 Bahkan, ketika Aḥmad bin Hanbal ditanya oleh
anaknya, siapakah yang lebih tsiqah dalam bidang hadis antara Abū „Āṣim dan
Abū Usāmah? Beliau menjawab, Abū Usamāh jauh lebih tsiqah sekalipun
dibandingkan dengan seratus orang semisal Abū „Āṣim (Abū Usāmah atsbat min
Tak hanya itu, Abū Usamāh juga merupakan periwayat yang namanya
Usamāh sebagai salah seorang periwayat dalam Ṣaḥīḥ Muslim menunjukan bahwa
ia merupakan seorang yang sangat tsiqah. Hal ini berdasarkan pandangan umum
dalam ilmu hadis bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim
Nama lengkapnya adalah Naṣr bin „Alī bin Naṣr bin „Alī bin Ṣaḥbānī bin
17
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 7, h. 220.
18
Syams al-Dīn bin Abī Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin „Utsmān bin Qaimaz al-
Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā )Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 1985), Vol. 9, h. 277.
19
Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 9, h. 277.
20
Aḥmad bin „Alī bin Manjawaih al-Aṣbihānī, Rijāl Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-
Ma‟rifah, tt),Vol. 1, h. 158 .
33
Naṣr bin „Alī berguru pada sejumlah ulama hadis di antaranya Abū
Usāmah, Aḥmad bin Mūsā al-Khazā‟ī, Ismā„īl bin „Ulayah, Ismā„īl bin
Muḥammad bin Jahadah, Bisyr bin al-Mufaḍḍal, Bisyr bin „Amr al-Zahrānī,
Adapun murid-muridnya terdiri para imam besar dalam ilmu hadis yaitu
al-Bukhārī, Muslim, al-Tirmidzī, Abū Dāwūd, al-Nasā‟ī, Ibn Mājah, Ibn Abī al-
Dunyā, Abdullah bin Aḥmad, Ibn Khuzaimah, Ibn Sa„īd, Abū Ḥāmid al-Haḍramī
menilai bahwa Naṣr bin „Alī adalah seorang ulama yang tsiqah.23 Tak hanya itu,
dengan melihat beberapa nama besar muridnya di atas, yang sebagian besarnya
merupakan para imam ahli hadis semisal al-Bukhāri dan Muslim, menunjukan
bahwa Naṣr bin „Alī merupakan seorang yang sangat tsiqah. Hal itu, karena al-
Bukhārī dan Muslim tidak mungkin meriwayatkan hadis kecuali dari seorang
yang tsiqah. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa Naṣr bin „Alī merupakan
intelektualitas.24
Nama lengkapnya ialah Sulaimān bin Asy‟ats bin Iṣḥāk bin Basyīr bin
merupakan seorang ulama besar dalam ilmu hadis, sekaligus sebagai penulis kitab
21
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, h. 355.
22
Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 12, h. 133.
23
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, 355.
24
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, 355.
34
Sunan yang selama ini dikenal dengan sebutan Sunan Abī Dāwūd. Ia dikenal
Sanad al-Nasā’ī
periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin
Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Mikhlad bin Yazīd, „Abd al-Ḥāmid
bin Muḥammad dan terakhir ialah al-Nasā‟ī. Di bawah ini, akan dijelaskan terkait
1. „Abdullah bin Ḥubsyi, profil dan penilaian para ulama terkait beliau
2. Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, profil dan penilaian para ulama
3. „Utsmān bin Abī Sulaimān, profil dan penilaian para ulama terkait
4. Ibn Juraij, profil dan penilaian para ulama terkait beliau telah
Kunyahnya ialah Abū Yaḥyā. Ada pula yang mengatakan Abū al-Ḥusein.
Ia berguru kepada Ibn Juraij, Yaḥya bin Sa„īd al-Anṣārī, Yūnus bin Abī
25
Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar al-„Asqalānī, Taqrīb al-Tahdzīb (Suriah: Dār al-Rasyid,
1986), 1, 250.
35
Muḥammad, Aḥmad bin Hanbal, Isḥāk bin Rahawaih, Aḥmad bin Bakar al-
Yaḥya bin Ma„īn, Abū Dāwūd dan Ya„qūb bin Sufyān menilai bahwa
Mikhlād bin Yazīd merupakan seorang yang tsiqah. Sementara itu, Abū Ḥātim
menilainya sebagai seorang yang jujur (ṣadūq). Dengan mengacu pada komentar
Nama lengkapnya ialah „Abd al-Ḥāmid bin Muḥammad bin al-Mustam bin
Beberapa gurunya dalam bidang hadis yaitu Mikhlād bin Yazīd, „Abd al-
bin Sufyān dan lain-lain. Adapun murid-muridnya yaitu al-Nasā’ī, Abū „Awānah
Nama lengkapnya ialah Aḥmad bin Syu‟aib bin „Alī al-Nasā‟ī. Kunyahnya
26
Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Tahdzīb al-Tahdzīb, Vol. 10, h. 69.
27
Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Tahdzīb al-Tahdzīb, Vol. 6, h. 110.
36
Beberapa gurunya yaitu Isḥāk bin Rahawaih, Hisyām bin „Ammār, Suwaid
bin Naṣr dan lain lain. Adapun murid-muridnya yaitu Abū Basyar al-Daulabī, Abū
dalam bidang hadis. Ia juga merupakan penulis kitab Sunan al-Kubrā atau yang
Sanad al-Ṭabrānī
periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khat„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin
Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Abū „Āṣim, Abū Muslim dan
terakhir ialah al-Ṭabrānī. Di bawah ini, akan dijelaskan terkait profil masing-
masing periwayat.
2. Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, profil dan penilaian para ulama
3. „Utsmān bin Abī Sulaimān, profil dan penilaian para ulama terkait
4. Ibn Juraij, profil dan penilaian para ulama terkait beliau telah
28
Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 14, h. 125.
37
5. Abū ‘Āṣim (w. 212 H.)
Nama lengkapnya ialah Ḍaḥḥāk bin Mikhlād bin Ḍaḥḥāk bin Muslim bin
Beberapa gurunya dalam bidang hadis yaitu Ibn Juraij, Abān bin Ṣam„ah,
Bakar bin „Abd al-Azīz bin Bakrah dan beberapa ulama lainnya.29 Adapun murid-
muridnya yaitu Abū Muslim al-Kājī, Muḥammad bin „Abd al-Mālik al-Daqīq,
Ḥārīts bin Abī Usāmah, Abdullah bin Munīr, Ibrāhīm bin Ya„qub al-Jawzanī dan
Yaḥyā bin Ma„īn dan „Abdullah al-„Ījli menilai bahwa Abū „Āṣim
merupakan seorang yang tsiqah. Sementara itu, Abū Ḥātim al-Rāzī menilainya
sebagai seorang yang jujur (ṣaduq).31 Oleh karenanya, dengan melihat kredibilitas
dipertanggungjawabkan.
Nama lengkapnya ialah Ibrāhīm bin Abdullah bin Muslim bin Mā„iz bin
29
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol.13, h. 281.
30
Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 9, h. 480.
31
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol.13, h. 281.
38
yaitu Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī, Ismā„īl al-Ṣaffār, Abū Bakr al-Najad, Farūq al-
Muslim merupakan seorang yang tsiqah. Beliau juga merupakan seorang yang
dapat ditegaskan bahwa Abū Muslim merupakan seorang yang kredibel dan dapat
diterima periwayatannya.
Nama lengkapnya ialah Sulaimān bin Aḥmad bin Ayūb bin Maṭīr bin al-
Ia meriwayatkan hadis dari Abū Muslim al-Kajī, Isḥāk bin Ibrāhīm al-
Miṣrī, Idrīs bin „Abd al-Hākim al-Ḥaddād dan lain-lain. Adapun murid-muridnya
populer ialah Mu‘jam al-Kabīr, Mu‘jam al-Awsaṭ dan Mu‘jam al-Ṣaghīr. Al-
32
Syams al-Dīn Abū 'Abd Allah Muḥammad bin Aḥmad bin „Utsmān al-Dzahabī, Tārīkh
al-Islām wa-Wafayah al-Masyāhir wa al-A‘lām (Beirut: Dār al-Gharb al-Islamī, 2003), Vol. 6, h.
911.
33
Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 13, h. 423.
34
Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 16, h. 119.
35
Al-Dzahabī, Tadzkirah al-Huffāẓ (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1998), Vol.3, h.
87.
39
D. Tabel Sanad
Abdullah bin
1. 72 H Nabi Saw Bertemu
Ḥubsyi
Sa„īd bin
Abdullah bin
2. Muḥammad bin 120 H Bertemu
Ḥubsyi
Jubair
Sa īd bin
„Utsmān bin Abī
3. 130 H Muḥammad bin Bertemu
Sulaimān
Jubair
40
Sanad al-Nasā’ī
Abdullah bin
1. 72 H Nabi Saw Bertemu
Ḥubsyi
Sa„īd bin
Abdullah bin
2. Muḥammad bin 120 H Bertemu
Ḥubsyi
Jubair
Sa„īd bin
„Utsmān bin Abī
3. 130 H Muḥammad bin Bertemu
Sulaimān
Jubair
„Abd al-Ḥāmid
7. al-Nasā‟ī 303 H Bertemu
bin Muḥammad
41
Sanad al-Ṭabrānī
1. Abdullah bin
72 H Nabi Saw Bertemu
Ḥubsyi
Sa„īd bin
Abdullah bin
2. Muḥammad bin 120 H Bertemu
Ḥubsyi
Jubair
Sa„īd bin
„Utsmān bin Abī
3. 130 H Muḥammad bin Bertemu
Sulaimān
Jubair
E. Hukum Hadis
Setelah melacak komentar dan penilaian para ulama kritikus hadis terkait
bahwa sejumlah periwayat yang ikut andil dalam meriwayatkan hadis larangan
menebang pohon bidara terdiri dari para periwayat yang “tsiqah”. Seluruh
42
periwayat di atas terbukti sebagai orang-orang yang memenuhi kriteria keṣaḥīḥan
suatu hadis. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seluruh
sanad atau jalur periwayatan hadis di atas, baik sanad Abū Dāwūd, al-Nasā‟ī
standar ilmiah ilmu hadis. Dengan kata lain, hadis larangan menebang pohon
bidara dapat dijadikan sebagai dalil dan hujjah sekaligus sebagai landasan dalam
kelestarian lingkungan.
43
BAB IV
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan secara spesifik terkait pemahaman
hadis larangan menebang pohon bidara. Beberapa pertanyaan yang diajukan pada
bab ini ialah, bagaimana makna atau substansi hadis larangan menebang pohon
bidara? sejauh mana hadis tersebut mendapat legitimasi dalam al-Qur‟an? adakah
hadis lain yang secara substansial melegitimasi hadis tersebut? dalam konteks apa
tiga langkah yang akan penulis lakukan. Pertama, penulis coba memahami dan
menjelaskan hadis tersebut berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Hal ini bukan hanya
melainkan juga untuk menunjukkan bahwa hadis tersebut selaras dengan isi
antara satu dengan yang lainnya. Ketiga, atau yang terakhir ialah penulis coba
Tak hanya itu, pada bagian terakhir dari bab ini, penulis akan menjelaskan
44
terutama kaitannya dengan penghijauan lingkungan (Goo Green) sebagai bagian
dari upaya pencegahan terjadinya pemanasan global (global warming) yang saat
Bidara
hadis larangan menebang pohon bidara dapat dijumpai dalam beberapa kitab
induk hadis seperti Sunan Abī Dāwūd, Sunan al-Nasā’ī, dan Mu‘jam al-Awsaṭ,
namun, sejauh pengamatan penulis, tak dijumpai adanya literatur hadis ataupun
keterangan para ulama yang secara ekplisit menjelaskan terkait sabab al-wurūd
hadis larangan menebang pohon bidara. Tentu hal tersebut akan berdampak pada
bentuk pemahaman atas hadis tersebut. Apakah larangan tersebut berlaku secara
Dengan perkataan lain, hadis tentang larangan menebang pohon tak dapat
Walaupun demikian ada sedikit keterangan yang dikemukakan oleh Abū Dāwūd
ketika ditanya tentang pemahaman hadis larangan menebang pohon bidara. Abū
Dāwūd menjelaskan bahwa pohon bidara yang dimaksud dalam matan hadis
tersebut ialah pohon bidara yang tumbuh di daerah Padang pasir. Abū Dāwūd
صٌر يَ ْع ِن َم ْن قَطَ َع ِس ْد َرًة ِف ِ ْ ال ى َذا ِ ِ ْ سئِل أَب و داود عن مع ٰن ى َذا
َ َث مُْتَ ْاْلَدي َ َ اْلَديْث فَ َق ْ َ ْ َ َ ُ َ ُْ َ ُ
ِ ِ َّ فَ َال ٍة يَ ْستَ ِظل ِبَا ابْ َن
ب اهللُ َرأْ َسوُ ِف النَّا ِر
َ صوَ السبِْي َل َواْلبَ َهائ ِم َعبَثًا َوظُْل ًما بِغَ ِْي َحق يَ ُك ْو ُن لَوُ فْي َها
Abū Dāwūd ditanya tentang makna hadis larangan menebang pohon
bidara. Ia menegaskan bahwa hadis tersebut cukup ringkas. Artinya,
45
barangsiapa yang menebang pohon bidara yang tumbuh di Padang Pasir,
yang merupakan tempat berteduh para musafir dan hewan ternak tanpa ada
kemaslahatan sedikitpun, maka Allah swt akan menuangkan air panas ke
atas kepalanya di neraka nanti.1
menebang pohon bidara sesungguhnya terikat oleh konteks, yaitu pohon bidara
yang tumbuh di daerah padang pasir. Pernyataan Abū Dāwūd di atas juga
mengisyaratkan bahwa di daerah padang pasir saat itu, pohon bidara merupakan
tempat berteduh bagi para musafir dan binatang ternak. Sehingga, menebang
bagi para musafir dan binatang ternak. Keduanya akan kehilangan tempat
berteduh jika pohon bidara ditebang. Oleh karenanya, sangatlah wajar sekiranya
Nabi Saw. melarang bahkan memberi ancaman keras kepada orang yang
menebangnya.
pohon bidara tidak berlaku mutlak pada setiap keadaan, melainkan terikat oleh
konteks yang mengitarinya. Dengan perkataan lain, menebang pohon bidara tentu
lainnya.
pohon) bidara yang sedang tumbuh kokoh di padang pasir. Pada umumnya orang-
padang gurun nan gersang akan mencari tempat untuk berteduh supaya keletihan
1
Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 361.
46
dalam dirinya hilang. Dengan adanya pohon bidara di tengah padang gurun pasir
itu, seorang musafir akan berteduh untuk sementara waktu di pohon tersebut.
tengah gurun bukan hanya sebatas pada manusia saja. Namun binatang ternak
yang dibawa para mufasir atau binatang yang hidup di padang pasir pada
sangat sejuk. Sehingga wajar apabila Nabi Saw. memberikan peringatan keras
terhadap sahabat dan umat Islam untuk tidak menebang pohon yang tumbuh di
padang pasir yang digunakan sebagai tempat untuk berteduh tanpa adanya unsur
kemaslahatan lainnya. Apabila ada orang yang melanggar aturan dan sabda Nabi
Saw. tersebut maka Allah Swt. akan menuangkan air panas ke atas kepalanya
kelak di neraka atau dalam pengertian lain orang yang melanggar aturan Nabi
Pernyataan mansukh dari al-Ṭaḥāwī didasarkan pada pendapat „Urwah bin Zubair
Abū Dāwūd mengabadikan kisah dan pendapat „Urwah bin Zubair dalam
Sunnannya. Ia meriwayatkan hadis dari Ḥasan bin Ibrāhīm bahwa „Aku pernah
bertanya kepada Hisyām bin „Urwah bin Zubair tentang hukum menebang pohon
2
Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 361.
3
Abū Ja„far al-Ṭaḥāwī, Syarḥ Musykil al-Ātsār (Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, 2008),
Jld. 6, h. 425-7.
47
bidara. Pada saat ia bersandar di pintu ia berkata; „apakah engkau perhatikan
bahan pintu dan kusen ini?‟. Pintu dan kusen ini terbuat dari pohon bidara milik
„Urwah. Dahulu „Urwah bin Zubair menebang pohon tersebut yang tumbuh di
tersebut hanya dimaksudkan untuk pohon bidara yang tumbuh di tanah haram.
Adapun pohon yang tumbuh di daerah dan wilayah lain tidak ada larangan untuk
telaah mendalam atas riwayat Abū Dāwūd dan al-Ṭabrānī di dalam kitab Raf‘u al-
hukum dan semangat merawat lingkungan ikut terhapus pula. Apalagi klaim
Sedangkan susbtansi ucapan Nabi dalam hadis tersebut sangat jelas dan
dan tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Berbeda keadaan dan
48
tumbang dan sebagainya. Maka dalam kasus-kasus tertentu seseorang boleh
dimanfaatkan kayunya, atau untuk ditanam pohon lainnya, atau dengan tujuan
ditemukan dalam sejarah ketika Nabi Muḥammad Saw. menebang pohon untuk
ِ ِ ِض ب ع َد إ ِ
َ َص َالح َها َو ْادعُوهُ َخ ْوفًا َوطَ َم ًعا ۚ إِ َّن َر ْْح
ٌ ت اهلل قَ ِر
يب ِّم َن ْ ْ َ ِ َوًَل تُ ْفس ُدوا ِِف ْاأل َْر
الْ ُم ْح ِسنِني
6
Ibn Mulqin al-Anṣārī, al-Tawḍīḥ li Syaḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ (Qatar: Wizārat al-Awqāf wa
al-Syu‟ūn al-Islāmiyah, 2009), Jld. 4, h. 261.
49
) أًََل إِنَّ ُه ْم ُى ُم الْ ُم ْف ِس ُدو َن11( صلِ ُحو َن ِ َوإِذَا قِيل َلُ ْم ًَل تُ ْف ِس ُدوا ِِف ْاأل َْر
ْ ض قَالُوا إََِّّنَا َْْح ُن ُم َ
َوٰل ِك ْن ًَل يَ ْشعُُرو َن
ض الَّ ِذي َع ِملُوا ِ ِ ِ ظَهر الْ َفساد ِِف الْب ِّر والْبح ِر ِِبا َكسبت أَي ِدي الن
َ َّاس ليُذي َق ُه ْم بَ ْع ْ ْ ََ َ ْ َ َ َ ُ َ ََ
لَ َعلَّ ُه ْم يَ ْرِجعُو َن
)536( َّس َل واهللُ ًَل ُُِيب الْ َف َس َاد ِ ِ ِ ِ وإِ َذا تَوََّل سعى ِِف ْاألَر
ْ ث َوالن
َ اْلَْر
ْ ك َ ض ليُ ْف ِس َد ف َيها َويُ ْهل ْ ََ َ َ
konklusi besar bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tidak boleh
50
(dilarang) berbuat keonaran, kerusuhan, kerusakan dan perbuatan merusak lainnya
di muka bumi. Bahkan, pada ayat terakhir di atas, Allah Swt. secara eksplisit
mengatakan bahwa Dia tidak menyukai kerusakan dan kebinasaan, baik berupa
Senada dengan beberapa ayat di atas, pada surat al-Hūd [11] ayat 61; Allah
swt berfirman.
„Dia telah menjadikan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampun kepada-Nya, kemudian
bertaubatlah kepada-Nya‟.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dari
Melalui ayat ini, dapat dipahami bahwa di samping menjadikan manusia sebagai
penguasa (khalīfah), Allah Swt. juga memberikan mandat kepada umat manusia
dalam hadis Nabi Saw., sesungguhnya mendapat legitimasi dalam al-Quran dan
selaras dengan prinsip universal ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemashlahatan.
51
Sebagai mana telah disinggung di atas, bahwa larangan menebang pohon
bidara, dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya merawat lingkungan. Jika
menelaah literatur hadis, dapat dijumpai bahwa hadis larangan menebang pohon
bidara, juga mendapat legitimasi dari sejumlah hadis lainnya. Al-Baihaqī dalam
kitab Sunan al-Kubrā meriwayatkan hadis yang berasal dari sahabat Anas bin
Senada dengan hadis di atas, dalam riwayat Muslim bin Ḥajjāj dalam
pohon. Bahkan, pada hadis tersebut Nabi Saw. mengatakan bahwa seorang
Muslim yang menanam pohon, kemudian hasil tanamannya tersebut dimakan oleh
burung, manusia atau hewan, maka hal itu akan menjadi pahala sadaqah bagi
7
Aḥmad bin Ḥusain bin „Alī bin Mūsā al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā (Mekah: Dār al-Bāz,
1994), Vol. 6, h. 137.
8
Muslim bin Ḥajjāj bin Muslim al-Qusyairī al-Naysabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār
al-Jil, tt), Vol. 3, h. 1189.
52
pemiliknya. Di samping itu, pada hadis di atas, Nabi Saw. juga seolah hendak
menegaskan bahwa menanam pohon merupakan bagian dari ibadah, karena pahala
menanam pohon akan terus mengalir kepada pemiliknya selama pohon tersebut
Tak hanya itu, hadis terkait larangan menebang pohon bidara, juga
mendapat legitimasi dari hadis lainnya yang secara substansial menjelaskan terkait
anjuran menanam pohon. Aḥmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang bersumber
Hadis di atas menarik untuk diamati. Pada hadis di atas, Nabi Saw.
memerintahkan bahwa pada hari kiamat kelak, jika ada seseorang yang memiliki
bibit pohon yang belum ditanam, maka hendaknya ia menanam bibit pohon
tersebut sekalipun kiamat telah terjadi. Padahal, pada hari kiamat kelak, Allah
Swt. akan membinasakan bumi beserta segala isinya.11 Sehingga, menanam pohon
dalam situasi seperti itu tentu merupakan sesuatu yang sia-sia. Namun, alih-alih
9
Jenis ibadah semacam ini dapat dikatagorikan sebagai bentuk ibadah sosial. Pasalnya,
manfaat menanam pohon tidak hanya dirasakan oleh pemiliknya secara individual, melainkan juga
oleh orang-orang disekitanya bahkan oleh burung sekalipun. Dalam konteks ilmu fiqh, ibadah
sosial lebih utama dibandingkan dengan ibadah individual. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh
bahwa al-Muta‘ādī Afḍal min al-Qāṣir. Penjelasan spesifik terkait kaidah tersebut, dapat dilihat
dalam Muḥammad Yāsīn bin „Īsā‟ al-Fadānī, Fawā’id al-Janiyyah (Beirut: Dār al-Mahjah al-
Bayḍā, 2008), h. 514.
10
Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal (Kairo: Mu‟asasah al-Risālah, 1999),
Vol. 20, h. 296.
11
QS. al-Nazi‟at, [79] : 6. Lihat juga QS. al-Haqqah [69]: 13-17.
53
memerintahkan hal lain, dalam situasi genting seperti itu, Nabi Saw.
mendalam. Pada hadis tersebut, Nabi Saw. seolah ingin menegaskan betapa
bibit pohon yang ia punya sekalipun dalam situasi yang amat genting semisal hari
mukhālafah) dari hadis di atas ialah adanya larangan untuk menebang pohon
Hadis lainnya yang juga menarik diamati ialah hadis terkait larangan
menebang pohon pada saat perang. Al-Baihaqī meriwayatkan hadis tersebut yang
صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ُم َشيِّ ًعا ِأل َْى ِل ُم ْؤتَةَ َح ََّّت ِ ِ
َ َخَر َج َم َع َر ُسول اهلل:ال َ َ ق،َع ْن َخالِ ِد بْ ِن َزيْ ٍد
ِ اهلل و َع ُد َّوُكم بِالش ِ ِ ِ ِ
،َّام ْ َ اس ِم اهلل فَ َقاتلُوا َع ُد َّو ْ ِ " ا ْغُزوا ب:ال َ فَ َق،ُف َوَوقَ ُفوا َح ْولَو َ َ فَ َوق،بَلَ َغ ثَنيَّةَ الْ َوَد ِاع
َو َستَ ِج ُدو َن،ضوا َلُ ْم ِ ني ِم َن الن ِ ِ َّ ] وستَ ِج ُدو َن فِي ِهم ِرج ًاًل ِِف166:[ص
ُ َّاس فَ َال تَ َعَّر َ الص َوام ِع ُم ْعتَ ِزل َ ْ ََ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ آخ ِر
َوًَل،ضَر ًعا َ صغ ًيا َ َوًَل، َوًَل تَ ْقتُلُوا ْامَرأًَة،وىا بِالسيُوف َ ص فَافْل ُق ُ ين للشَّْيطَان ِِف ُرءُوس ِه ْم َم َفاح َ َ
ِ ِ ِ
" َوًَل تَ ْهد ُموا بَْيتًا، َوًَل تَ ْعقُر َّن ََنْ ًال، َوًَل تَ ْقطَعُ َّن َش َجَرًة،َكبِ ًيا فَانيًا
Dari Khālid bin Zayd berkata: Suatu ketika ia keluar bersama Nabi Saw.
untuk memerangi penduduk Mu‟tah. Setibanya di bukit Wada‟, Nabi Saw.
dan pasukannya berhenti lalu Nabi saw berkata: Berperanglah dengan
nama Allah Swt. Perangilah musuh Allah dan musuhmu di Syam. Dan
kalian akan menjumpai sekelompok orang di suatu tempat yang
memisahkan diri dari manusia. Maka janganlah menyerang/menghalangi
mereka. Dan kalian juga akan menjumpai sekelompok orang yang
kepalanya menjadi tempat berdiam setan, maka pukulah dengan pedang.
Dan janganlah membunuh perempuan, anak kecil dan orang yang sudah
tua renta. Jangan pula menebang pohon, merusak pohon kurma dan
merusak rumah.12
12
Aḥmad bin Ḥusain bin „Alī bin Mūsā al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā, Vol. 9, h. 194.
54
Hadis di atas, menjelaskan terkait kisah Khālid bin Zayd bersama Nabi
Saw. dan para sahabat lainnya ketika hendak melakukan peperangan. Pada saat
itu, Nabi Saw. mengingatkan terkait larangan-larangan yang mesti dihindari dalam
terjadinya pemanasan global (global warming) yang saat ini tengah mengancam
Sebagaimana telah disinggung pada bab awal, bahwa dewasa ini telah
terjadi pemanasan global yang diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya
di atas rata-rata yang pada akhirnya dapat berdampak pada terjadinya beberapa
bencana alam semisal tanah longsor, gempa bumi, banjir dan lain sebagainya.
ini telah mengundang perhatian serius dari berbagai pihak. Mereka dituntut untuk
55
mampu menghadirkan sebuah solusi sebagai tindakan preventif dalam mencegah
global.
Berkaitan dengan problem tersebut, kiranya apa yang pernah Nabi saw
katakan terkait larangan bahkan ancaman keras bagi seseorang yang menebang
dan beberapa hadis lainnya, hadis larangan menebang pohon bidara tersebut dapat
menjadi landasan teologis sebagai bentuk peringatan bagi sejumlah kalangan yang
Oleh karenanya, dalam konteks ini, peran agamawan tentu akan sangat
terkandung di balik hadis tersebut. Oleh karenanya, sekali lagi, dengan berpijak
pada hadis tersebut, dapat ditegaskan bahwa larangan menebang pohon secara liar
Larangan dalam hadis Nabi Saw. tentang menebang pohon bidara dalam
manusia di bumi sebagai khalifah Allah. Allah telah menyerahkan bumi ini
manusia dan tidak kepada makhluk Allah lainnya. Ini berarti bahwa manusia
sebagai seorang khalifah di bumi memiliki peran sangat penting dalam usaha
pelestariannya.
56
Sudah diketahui bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai
akal pikiran. Dengan akalnya, manusia dapat melakukan apa yang dikehendaki
perbuatan yang menjurus pada hal yaang baik (positif). Sedangkan apabila
manusia dikendalikan oleh nafsu yang buruk maka ia akan melakukan hal-hal
yang buruk (negatif). Dalam konteks pelesatrian dan penghijauan lingkungan (go
green), maka manusia hendaknya terus untuk bisa melakukan hal-hal yang
bersifat positif untuk menjadikan bumi ini menjadi damai dan tenang.13
mengubah keadaan alam atau bumi ini. Nasib bumi ke depan ada di tangan
manusia. Manusia dapat mengubah keadaan alam baik secara positif maupun
negatif. Bahkan diera postmodern seperti sekarang ini, di mana manusia tengah
13
Ulfah Utama, Konservasi Sumber Daya Alam Perspektif Islam dan Sains (Malang: UIN
Malang press, 2008), h. 69-70.
57
yang rusak akibat bencana atau yang ditimbulkan oleh kekhilafan manusia.
alam yang kondusif, indah, sehat dan segar untuk kelangsungan manusia dan alam
sekitarnya.14
Salah satu prinsip ajaran Islam dalam kaitannya dengan usaha pelestarian
keseimbangan dan harmoni antar anggota alam semesta seperti manusia, binatang,
tersebut terletak pada manusia sebagai khalifah di bumi ini. Selain itu manusia
Unsur keseimbangan juga tercatat dalam surat al-Raḥmān [55] ayat 5-8;
14
Syamsul Bahri, Humanisasi Lingkungan, Merajuk Pemikiran Islam (Makasar: UIN
Makasar Press, 2011), h. 34-5.
58
„Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Bintang dan pohon
tunduk kepada-Nya. Allah meninggikan langit dan dan meletakkan
neracanya‟.
manusia telah menjadi khalifah dengan baik karena sedari awal alam semesta ini
adalah wajib dan merusaknya adalah haram. Apabila doktrin ini dikaitkan dengan
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, maka pemeliharaan atas
lingkungan.
agama. Menjaga shalat adalah salah satu bentuk perwujudan dari memelihara
juga merupakan salah satu faktor yang menentukan sah atau tidaknya shalat
seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa air untuk berwudhu‟ atau
tempat untuk melaksanakan shalat kotor dan sebagainya, maka secara otomatis
15
Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan
Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 33-34.
16
Al-Ghazālī, al-Muṣtasyfā’ (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tn), h. 286.
59
pemeliharaan terhadap agama pun sudah terabaikan Dalam konteks keberadaan
lingkungan sebagai pra syarat pemeliharaan tujuan pokok agama dapat dibaca dari
kaidah fiqih yang menjelaskan “mā-lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa al-
wājib” (sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia juga
memelihara agama.
manusia. Sehubungan dengan perintah ini, Allah Swt. melarang untuk melakukan
pembunuhan dan eksploitasi lingkungan. Dalam surat al-Maidah (5) ayat 32:
اىا فَ َكأَََّّنَا
َ ََحي
ْ َّاس ََج ًيعا َوَم ْن أ
َ َ ِ س أ َْو فَ َس ٍاد ِِف ْاأل َْر
ِ ض فَ َكأَََّّنَا قَتَل الن ٍ َم ْن قَتَل نَ ْف ًسا بِغَ ِْي نَ ْف
َ
َِ أَحيا النَّاس
َج ًيعا َ َْ
“Siapa yang membunuh seorang manusia dan membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya Dan
siapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakan-akan ia telah
memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.
kesehatan akal sangat terkait dengan kondisi tubuh yang sehat (al-aqlu al-sālim fī
jism al-sālim/ akal yang baik terletak pada tubuh yang sehat). Jawaban praktis
adalah lingkungan yang bersih. Kondisi lingkungan yang bersih, baik dan tidak
tercemar adalah faktor utama dalam membentuk kesehatan yang baik. Dengan
60
begitu kewajiban atas pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan kewajiban
yang diwajibkan kepada manusia. Kewajiban itu sekaligus dengan bentuk kualitas
yang terjamin. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisā‟ [4] ayat 9;
daya) ekonomi, tidak memiliki lingkungan yang baik dan sebagainya. Lingkungan
dengan segala sumber daya yang dimilikinya merupakan potensi besar untuk
memelihara keturuanan.
harta sebagai tujuan pokok agama kelima, karena alam adalah karunia Allah untuk
dan segala jenisnya menjadi harta kekayaan yang tak terhingga dan diberikan
untuk kebutuhan makhluk-Nya. Nabi Muḥammad Saw. dalam salah satu sabdanya
haji. Demikian juga larangannya terhadap tanah yang diterlantarkan: maka orang
61
yang menggarapnya diperbolehkan mengambil jadi hartanya (konversi tanah).
sendiri. Karena bagaimanapun alam memiliki masa dan kapasitas yang terbatas.
Meskipun ada asumsi bahwa alam itu akan kembali membangun ekosistemnya
kembali menjadi baik, namun harus disadari bahwa alam juga bersifat
telah memberi dampak negatif bagi ekosistem alam dan berdampak secara
hadis Nabi Saw. tentang larangan menebang pohon bidara seperti yang penulis
maslahat bagi manusia dan justeru merusak ekosistem alam yang sudah mapan,
maka hal ini yang dilarang dalam aturan normatif dalam Islam.
17
Abrar, „Islam dan Lingkungan‟, dalam Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, No.1, Vol. 1,
2012, h. 22.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
hadis larangan menebang pohon bidara, menunjukkan bahwa seluruh sanad atau
jalur periwayatan hadis tersebut berkualitas Ṣaḥīḥ, baik sanad Abū Dāwūd, al-
Nasā‟ī maupun al-Ṭabrānī. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sanad hadis
Kedua, terkait aspek matan. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada
bab IV, bahwa secara substansial, hadis larangan menebang pohon bidara terikat
oleh konteks, yaitu pohon bidara yang tumbuh di Padang Pasir tempat berteduh
63
legitimasi dalam sejumlah teks-teks keagamaan, baik al-Qur‟an maupun hadis
Nabi Saw.
B. Saran
Penelitian ini hanyalah bagian kecil dari beberapa persoalan lainnya yang
berkaitan dengan hadis-hadis goo green. Penulis menilai, masih ada celah untuk
menanam pohon pada hari kiamat sebagaimana yang telah disinggung pada bab
memberikan hukuman yang seberat beratnya kepada individu atau kelompok yang
secara jelas merusak lingkungan. Kepada masyarakat juga dihimbau untuk tetap
64
Daftar Pustaka
Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd. Beirut: Dār al-Kutub al-„Arabī, 2009.
Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal. Kairo: Mu‟assasah al-Risālah,
2001.
Al-Aṣbihānī, Aḥmad bin „Alī bin Manjawaih, Rijāl Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-
Ma‟rifah, ttn.
Al-„Asqalānī, Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar, Tahdzīb al-Tahdzīb. Beirut: Dār al-Fikr,
1984.
Al-Baihaqī, Aḥmad bin Husain bin „Alī bin Mūsā‟, Sunan al-Kubrā. Mekah: Dār
al-Bāz, 1994.
Al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā„īl bin Ibrāhīm bin Mughīrah, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Beirut: Dār Ṭuq al-Najah, ttn.
Al-Dzahabī, Syams al-Dīn bin Abū Bakar, Siyar A‘lām al-Nubalā. Kairo:
Mu‟assasah al-Risālah, 1985.
Hayne, K., Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya,
1987.
Ibn Mulqin al-Anṣārī, al-Tawḍīḥ li Syarḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ. Qatar: Wizārat al-
Awqāf wa al-Syu‟ūn al-Islāmiyah, 2009.
65
66
Ihsan, Fadl, „Pahala Bagi Seorang yang Menanam Pohon di Dunia‟, dalam buletin
al-Tauhid, edisi 121, tahun 2011.
Istikhomah, Nur, „Go Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks
1387‟, Skripsi. Surabaya: UIN Sby, 2014.
Mangunjaya, Fachruddin M., dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan
Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Misran, Erni, dkk, Think Green Go Green. Jakarta: Pustaka Jingga, 2013.
Al-Mīzī, Yūsuf bin al-Zakī „Abd al-Raḥmān Abū al-Ḥajjāj, Tahdzīb al-Kamāl.
Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 1980.
Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 2010.
Al-Nasā‟ī, Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu„aib bin „Alī, Sunan al-Nasā’ī.
Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, ttn.
Al-Rāzī, „Abd al-Raḥmān bin Abū Ḥātim, al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl. Beirut: Dār Iḥyā
Turāts al-„Arabī, 1952.
Al-Syawkānī, Muḥammad bin „Alī, Nayl al-Awṭār min Asrār al-Muntaqā al-
Akhbār. Makah: Dār Ibn al-Jawzī, 1427 H.
Al-Tamīmī, Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad, al-Tsiqāt. Beirut: Dār al-Fikr,
1975.
Al-Ṭabrānī, Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad, Mu‘jam al-Awsaṭ. Riyaḍ, Dār al-
Ḥaramayn, tt.
Utama, Ulfah, Konservasi Sumber Daya Alam Perspektif Islam dan Sains.
Malang: UIN Malang press, 2008.