Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini

2.1.1 Pengertian

Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban

sebelum waktunya melahirkan / sebelum inpartu, pada pembukaan

< 4 cm ( fase laten ). Hal ini terjadi pada akhir kehamilan maupun

jauh sebelum waktu melahirkan. Ketuban pecah dini (KPD)

pretem adalah ketuban pecah dini (KPD) sebelum usia kehamilan

37 minggu.Ketuban pecah dini (KPD) merupakan komplikasi yang

berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan mempunyai

kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi

kurang bulan (Sarwono, 2010).

2.1.2 Etiologi

Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui

dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan

menyebutkan ada faktor -faktor yang berhubungan erat dengan

ketuban pecah dini, namun faktor faktor mana yang lebih berperan

sulit diketahui, adapun yang menjadi penyebab ketuban pecah dini

menurut Sarwono (2010)

2.1.2.1 Infeksi Korioamnionitis

Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil

dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi


bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius

bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis .

2.1.2.2 Infeksi Vagina

Menurut Sarwono (2010) persalinan preterm terjadi tanpa

diketahui penyebab yang jelas, infeksi diyakini merupakan

salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini dan

persalinan preterm. Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik

akibat pargantian laktobasilus penghasil H2O2 yang

merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam

konsentrasi tinggi seperti gardnerella vaginalis, yang akan

menimbulkan infeksi. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan

kejadian ketuban pecah dini, persalinan preterm dan infeksi

amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari

5,04 yang normalnya nilai pH vagina adalah antara 3,8-4,5.

Abnormalitas pH vagina dapat mengindikasikan adanya

infeksi vagina.

2.1.2.3 Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi

(inkompetensia)

Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi

(inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan

serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi

serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada

trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan

kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis.


Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah

pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop

elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi

kehamilan atau laserasi obstetrik (Sarwono, 2010).

2.1.3 Faktor Resiko

2.1.3.1 Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu kegiatan atau aktivitas responden

sehari-hari, namun pada masa kehamilan pekerjaan yang berat

dan dapat membahayakan kehamilannya hendaklah dihindari

untuk menjaga keselamatan ibu maupun janin. Kejadian

ketuban pecah sebelum waktunya / KPD preterm dapat

disebabkan oleh kelelahan dalam bekerja. Hal ini dapat

dijadikan pelajaran bagi ibu-ibu hamil agar selama masa

kehamilan hindari/kurangi melakukan pekerjaan yang berat

(Abdul, 2010).Menurut penelitian Abdullah (2012) Pola

pekerjaan ibu hamil berpengaruh terhadap kebutuhan energi.

Kerja fisik pada saat hamil yang terlalu berat dan dengan lama

kerja melebihi tiga jam perhari dapat berakibat kelelahan.

Kelelahan dalam bekerja menyebabkan lemahnya korion

amnion sehingga timbul ketuban pecah dini. Pekerjaan

merupakan suatu yang penting dalam kehidupan, namun pada

masa kehamilan pekerjaan yang berat dan dapat

membahayakan kehamilannya sebaikny dihindari untuk

mejaga keselamatan ibu maupun janin.


Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Huda

(2013) yang menyatakan bahwa ibu yang bekerja dan lama

kerja ≥40 jam/ minggu dapat meningkatkan risiko sebesar 1,7

kali mengalami KPD dibandingkan dengan ibu yang tidak

bekerja. Hal ini disebabkan karena pekerjaan fisik ibu juga

berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi.Pada ibu yang

berasal dari strata sosial ekonomi rendah banyak terlibat

dengan pekerjaan fisik yang lebih berat.

2.1.3.2 Paritas

Multigravida atau paritas tinggi merupakan salah satu dari

penyebab terjadinya kasus ketuban pecah sebelum waktunya.

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut

kematian. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3)

mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi, risiko pada

paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik,

sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi/ dicegah

dengan keluarga berencana (Wiknjosastro, 2011).

Menurut penelitian Fatikah (2015) konsistensi serviks pada

persalinan sangat mempengaruhi terjadinya ketuban pecah dini

pada multipara dengan konsistensi serviks yang tipis,

kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini lebih besar dengan

adanya tekanan intrauterin pada saat persalinan. konsistensi

serviks yang tipis dengan proses pembukaan serviks pada

multipara (mendatar sambil membuka hampir sekaligus) dapat


mempercepat pembukaan serviks sehingga dapat beresiko

ketuban pecah sebelum pembukaan lengkap. Paritas 2-3

merupakan paritas yang dianggap aman ditinjau dari sudut

insidensi kejadian ketuban pecah dini. Paritas satu dan paritas

tinggi (lebih dari tiga) mempunyai resiko terjadinya ketuban

pecah dini lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (satu), alat-

alat dasar panggul masih kaku (kurang elastik) daripada

multiparitas. Uterus yang telah melahirkan banyak anak

(grandemulti) cenderung bekerja tidak efisien dalam

persalinan (Cunningham, 2006).

2.1.3.3 Umur

Umur individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat

berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan

bekerja (Santoso, 2013). Bertambahnya umur seseorang maka

kematangan dalam berfikir semakin baik sehingga akan

termotivasi dalam pemeriksaan kehamilam untuk mecegah

komplikasi pada masa persalinan.

Menurut Mundi (2007) umur dibagi menjadi 3 kriteria

yaitu < 20 tahun, 20-35 tahun dan > 35 tahun. Usia reproduksi

yang aman untuk kehamilan dan persalinan yaitu usia 20-35

tahun (Winkjosastro, 2011). Pada usia ini alat kandungan telah

matang dan siap untuk dibuahi, kehamilan yang terjadi pada

usia < 20 tahun atau terlalu muda sering menyebabkan


komplikasi/ penyulit bagi ibu dan janin, hal ini disebabkan

belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, dimana rahim

belum bisa menahan kehamilan dengan baik, selaput ketuban

belum matang dan mudah mengalami robekan sehingga dapat

menyebabkan terjadinyaketuban pecah dini. Sedangkan pada

usia yang terlalu tua atau > 35 tahun memiliki resiko kesehatan

bagi ibu dan bayinya (Winkjosastro, 2011). Keadaan ini terjadi

karena otot-otot dasar panggul tidak elastis lagi sehingga

mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan. Salah

satunya adalah perut ibu yang menggantung dan serviks

mudah berdilatasi sehingga dapat menyebabkan pembukaan

serviks terlalu dini yang menyebabkan terjadinya ketuban

pecah dini preterm.

2.1.3.4 Riwayat Ketuban Pecah Dini (KPD)

Riwayat KPD sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami

KPD kembali. Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah

akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membran

sehingga memicu terjadinya KPD aterm dan KPD preterm

terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami

KPD pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada

kehamilan berikutnya akan lebih berisiko mengalaminya

kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami

KPD sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi


mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun

pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006).

Menurut penelitian Utomo (2013) Riwayat kejadian KPD

sebelumnya menunjukkan bahwa wanita yang telah

melahirkan beberapa kali dan mengalami KPD pada kehamilan

sebelumnya diyakini lebih berisiko akan mengalami KPD pada

kehamilan berikutnya, hal ini dikemukakan oleh Cunningham

et all (2006). Keadaan yang dapat mengganggu kesehatan ibu

dan janin dalam kandungan juga juga dapat meningkatkan

resiko kelahiran dengan ketuban pecah dini. Preeklampsia/

eklampsia pada ibu hamil mempunyai pengaruh langsung

terhadap kualitas dan keadaan janin karena terjadi penurunan

darah ke plasenta yang mengakibatkan janin kekurangan

nutrisi.

2.1.4 Patofisiologi

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan

oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban

pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang

menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena

seluruh selaput ketuban rapuh Terdapat keseimbangan antara

sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks. Perubahan struktur

jumlah sel, katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen

berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi

kolagen dimulai oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang


dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease.

Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang

persalinan. Pada penyakit periodontitis dimana terdapat

peningkatan MMP, cenderung terjadi Ketuban Pecah Dini.

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada

trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya

kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran

uterus, kontraksi rahim, gerakan janin. Pada trimester terakhir

terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya

ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban

Pecah Dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya

faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina

(Sarwono, 2010)

Infeksi intrauterin disebabkan oleh bakteri yang dianggap

menjadi penyebab utama infeksi terkait persalinan prematur.

Rongga ketuban biasanya steril dan atau dibawah 1% pada

persalinan aterm terdapat bakteri dalam cairan ketuban. Isolasi

bakteri dalam cairan ketuban adalah temuan patologis yang

dikenal sebagai invasi mikroba dari rongga amnion. Kebanyakan

kolonisasi tersebut subklinis dan tidak terdeteksi tanpa analisis

cairan ketuban. Frekuensi tergantung pada presentasi klinis dan

usia kehamilan. Pada pasien dengan persalinan prematur dengan

membran utuh, didapatkan kultur bakteri pada cairan ketuban

adalah 12,8%. Kemudian dilakukan pengukuran pada pasien


tersebut pada saat dimulai proses pengeluaran janin, frekuensi

menjadi hampir dua kali lipat (22%). Pada ketuban pecah dini

preterm didapatkan kultur bakteri pada cairan ketuban adalah

32,4%, dan kemudian dilakukan pengukuran kembali pada saat

dimulai proses pengeluaran janin menjadi 75% (Agrawal, et al.,

2011)

Infeksi sistemik bisa berasal dari penyakit periodontal,

pneumonia, sepsis, prankreatis, pielonefritis, infeksi traktus

genitalis, korioamnionitis dan infeksi amnion semuanya

berhubungan dengan terjadinya pecahnya ketuban. Infeksi bakteri

juga merangsang produksi prostaglandin, dimana dapat

meningkatkan risiko pecahnya selaput ketuban preterm yang

diakibatkan oleh degradasi dari selaput ketuban.

2.1.5 Tanda dan Gejala

Adapun tanda dan gejala dari Ketuban Pecah Dini menurut

Nugroho (2012 ) yaitu:

2.1.5.1 Keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.

2.1.5.2 Aroma air berbau manis dan tidak seperti bau amoniak,

mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes,

dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.

2.1.5.3 Cairan ini tidak berhenti atau kering karena terus

diproduksi sampai kelahiran. Bila duduk atau berdiri,

kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya

mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara.


2.1.5.4 Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut

jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda

infeksi yang terjadi.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nugroho ( 2012 ) Pemeriksaan Penunjang dari Ketuban

Pecah Dini yaitu:

2.1.6.1 Pemeriksaan Laboratorium

Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna,

konsentrasi, bau dan pH-nya.

1. Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air

ketuban, urine atau sekret vagina.

2. Sekret vagina ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin

tidak berubah warna, tetap kuning.

3. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah

berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban

(alkalis). pH air ketuban 7-7,5 darah dan infeksi vagina

dapat menghasilkan tes yang positif palsu.

4. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air

ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.

Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran

daun pakis.

2.1.6.2 Pemeriksaan ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah

cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat


jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi

kesalahan pada penderita poligohidramnion.

2.1.7 Penatalaksanaan

Menurut Marmi (2011) penatalaksanaan dari Ketuban Pecah

Dini sebagai berikut:

2.1.7.1 Penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur

kehamilan dan tanda infeksi intrauterine.

2.1.7.2 Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien

dengan KPD ke RS dan melahirkan bayi dengan berumur >

37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk

memperkecil risiko infeksi intrauterine.

2.1.7.3 Tindakan konservatif (mempertahankan kehamilan)

diantaranya pemberian antibiotik dan cegah infeksi (tidak

melakukan pemeriksaan dalam), tokolisis, pematangan

paru, amnioinfusi, epitelisasi (vitamin C dan trace element,

masih kontroversi), fetal and maternal monitoring.

Tindakan aktif (terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu

dengan sectio caesarea (SC) atau partus pervaginam.

2.1.7.4 Dalam penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang

dilakukan apakah langkah konservatif ataukah aktif,

sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan,

kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi,

waktu dan tempat perawatan, fasilitas/kemampuan


monitoring, kondisi/status imunologi ibu dan kemampuan

finansial keluarga.

2.1.7.5 Untuk usia kehamilan < 37 minggu dilakukan penanganan

konservatif dengan mempertahankan dengan kehamilan

sampai usia kehamilan matur.

2.1.7.6 Untuk usia kehamilan 37 minggu atau lebih dilakukan

terminasi dan pemberian profilaksis streptokokus grup B.

Untuk kehamilan 34-36 minggu lakukan penatalaksaan

sama halnya dengan aterm.

2.1.7.7 Untuk usia kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan

tindakan konservatif/expectantmanagement kecuali jika

paru-paru sudah matur (maka perlu dilakukan tes

pematangan paru), profilaksis streptokokus grup B,

pemberian kortikosteroid (belum ada konsensus namun

direkomendasikan oleh para ahli), pemberian antibiotik

selama fase laten.

2.1.7.8 Untuk previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu

lengkap) lakukan tindakan konservatif, pemberian

profilaksis streptokokus grup B, single-course

kortikosteroid, tokolisis (belum ada konsensus) dan

pemberian antibiotik selama fase laten (jika ada

kontraindikasi).

2.1.7.9 Untuk nonviable preterm (usia kehamilan < 24 minggu),

lakukan konseling pasien dan keluarga, lakukan tindakan


konservatif atau induksi persalinan, tidak

direkomendasikan profilaksis streptokokus grup B dan

kortikosteroid, pemberian antibiotik tidak dianjurkan

karena belum ada data untuk pemberian yang lama.

2.1.7.10 Pemberian antibiotik karena periode fase laten yang

panjang, kortikosteroid harus diberikan antara 24-32

minggu (untuk mencegah terjadinya risiko pendarahan

intaventrikuler, respiratory distress syndrom dan

necrotizing examinations), tidak boleh dilakukan digital

cervical examination jadi pilihannya adalah dengan

spekulum, tokolisis untuk jangka waktu yang lama tidak

diindikasikan sedangkan untuk jangka pendek dapat

dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian

kortikosteroid setelah 34 minggu dan pemberian multiple

course tidak direkomendasikan.

2.1.7.11 Pematangan paru dilakukan dengan pemberian

kortikosteroid yaitu deksametason 2x6 mg (2 hari) atau

betametason 1x12 mg (2 hari).

2.1.7.12 Agentolisis yaitu B2 agonis (terbutalin, ritodrine),

calsium antagonis (nifedipine), prostagladinn sintase

inhibitor (indometasin), magnesium sulfat, oksitosin

antagonis (atosiban).

2.1.7.13 Tindakan epitelisasi masih kontroversi, walaupun vitamin

C dan trace element terbukti berhubungan dengan


terjadinya ketuban pecah terutama dalam metabolisme

kolagen untuk maintenance integritas membran korio-

amniotik.

2.1.7.14 Tindakan terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda

chorioamnionitis, terdapat tanda-tanda kompresi tali

pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan antara usia

kehamilan, lamanya ketuban pecah dan risiko menunda

persalinan.

2.1.7.15 KPD pada masa kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi,

berikan antibiotik eritromisin 3x250 mg, amoksilin 3x500

mg dan kortikosteroid.

2.1.7.16 KPD pada kehamilan >37 minggu tanpa infeksi (ketuban

pecah >36 jam) berikan ampisilin 2x1 gr IV dan penisilin

G 4x2 juta IU, jika serviks matang lakukan induksi

persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang

lakukan SC.

2.1.7.17 KPD dengan infeksi (kehamilan <37 ataupun >37

minggu ), berikan antibiotik ampisilin 4x2 gr IV,

gentamisin 5mg/ KgBB, jika serviks matang lakukan

induksi persalinan dengan oksitosin.


2.1.8 Komplikasi

Menurut Sarwono (2010) komplikasi dari Ketuban Pecah Dini

yaitu:

2.1.8.1 Persalinan Prematur

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh

persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan.

Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam

setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34

minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan

kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1

minggu.

2.1.8.2 Infeksi

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada

Ketuban Pecah Dini. Pada ibu terjadi koriamnionitis.

2.1.8.3 Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi olihidramnion

yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau

hipoksia.

2.1.8.4 Sindrom Deformitas Janin

Ketuban Pecah Dini yang tejadi terlalu dini

menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan

disebabkan kompresi muka dan angggota badan janin,

serta hipoplasi pulmonar.


2.2 Persalinan Prematur

2.2.1 Pengertian

Persalinan prematur (preterm) adalah persalinan yang

terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan

perkiraan berat janin kurang dari 2500 gram atau berberat badan

1500 gram. Dimana persalinan prematur ini merupakan kelainan

proses yang multifaktorial dan menjadikan komplikasi

berbahaya dengan akibat yang signifikan pada ibu dan bayi baru

lahir (Manuaba, 2010 ; Sarwono, 2010). Terdapat 3 subkategori

usia kelahiran prematur berdasarkan kategori World Health

Organization (WHO), yaitu: Extremely preterm (< 28 minggu),

Very preterm (28 hingga < 32 minggu) , Moderate to late

preterm (32 hingga < 37 minggu).

2.2.2 Etiologi

Persalinan prematur sulit diduga dan sulit dicari

penyebabnya. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan

persalinan prematur menurut Manuaba (2010 ) adalah:

2.2.2.1 Kondisi umum. Kondisi umum diantaranya: Keadaan

sosial ekonomi rendah: kurang gizi, anemia, perokok

berat (lebih dari 10 batang/hari), umur ibu terlalu muda

kurang dari atau terlalu tua diatas 35 tahun.

2.2.2.2 Penyakit ibu yang menyertai kehamilan: tekanan darah

tinggi, penyakit diabetes, penyakit jantung atau paru,

penyakit endokrin, terdapat faktor rhesus.


2.2.2.3 Perkembangan dan keadaan hamil dapat meningkatkan

terjadinya persalinan prematur diantaranya: Hidramnion,

kehamilan kembar, pre-eklampsia/eklamsia. Perdarahan

antepartum pada solusio plasenta, plasenta previa,

pecahnya sinus marginalis. Ketuban pecah dini, terjadi

gawat janin, suhu tubuh tinggi.

2.2.2.4 Kelainan anatomi rahim karena keadaan rahim yang

sering menimbulkan kontraksi dini (serviks inkompeten

karena kondisi serviks, amputasi serviks) dan kelainan

kongetal rahim (uterus arkuatus, uterus septus), atau

infeksi pada vagina asenden (naik) menjadi amnionitis.

2.2.3 Patofisiologi

Infeksi koriamnion diyakini merupakan salah satu sebab

terjadinya ketuban pecah dini dan persalinan preterm.

Patogenesis infeksi ini yang menyebabkan persalinan belum

jelas benar. Kemungkinan diawali dengan aktivasi fosfolipase

A2 yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion

janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis

prostagladin. Endotoksin dalam air ketuban akan merangsang

sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostagladin yang

dapat menginisiasi proses persalinan.

Proses persalinan preterm yang dikaitkan dengan infeksi

diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil

dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin, temasuk interleukin-1,


tumor nekrosing faktor (TNF), dan interleukin-6 adalah produk

sekretonik yang dikaitkan dengan persalinan preterm.

Sementara itu, platelet Activating Factor (PAF) yang ditemukan

dalam air ketuban terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan

sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin.

Dengan demikian, janin memainkan peran yang sinergik dalam

mengawali proses persalinan preterm yang disebabkan oleh

infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan kerusakan

membran lewat pengaruh langsung dari protease. Vaginosis

bakterialis adalah sebuah kondisi ketika flora normal vagina

predominan laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida

digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies

mobilucus atau mioplasma hominis. Keadaaan ini telah lama

dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan

infeksi amnion, terutama nila ada pemeriksaan pH vagina lebih

dari 5,0.

Pada hipertensi atau preeklamsia, penolong persalinan

cenderung untuk mengakhiri kehamilan. Hal ini menimbulkan

prevalensi preterm meningkat. Kondisi medik lain yang sering

menimbulkan persalinan preterm adalah inkompetensi serviks.

Penderita dengan inkompetensi serviks berisiko mengalami

persalinan preterm (Sarwono, 2010).


2.2.4. Tanda dan Gejala

Menurut Vina (2013) tanda gejala dari Persalinan

Preterm/Prematur yaitu:

1. Kram seperti ketika datang bulan atau rasa sakit pada punggung

2. Kram perut, dengan atau tanpa diare

3. Kontraksi rahim yang teratur dengan jarak waktu sepuluh menit

atau kurang dan kontraksi ini tidak harus terasa sakit

4. Rasa tertekan pada perut bagian bawah, terasa berat atau seperti

bayi yang mendorong ke bawah

5. Keluar air atau cairan lainnya dari vagina

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Ramayanti (2011) pemeriksaan penunjang dari Persalinan

Prematur adalah:

2.2.5.1 Laboratorium

1. Pemeriksaan kultur urine

2. Pemeriksaan gas dan PH darah janin

3. Pemeriksaan darah tepi ibu:

a. Jumlah leukosit

b. C-reactive protein. CRP terdapat pada serum penderita

yang menderita infeksi akut dan deteksi berdasarkan

kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi

polisakarida somatik nonspesifik kuman pnemococus

yang disebut fraksi C.CRP dibentuk di hepatosit

sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF.


4. Amniocentesis

a. Hitung Leukosit

b. Pewarnaan Gram bakteri (+) pasti amnionitis

c. Kultur

d. Kadar IL-1, IL-6

e. Kadar glukosa cairan amnion

5. Fetal Fibronectin

Fetal Fibronectin adalah glipkoprotein yang dihasilkan

dalam 20 bentuk molekul dari berbagi jenis sel antara lain

hepatosit, fibroblas, sel endothel serta amnion janin. Kadar

yang tinggi dalam darah maternal serta dalam cairan amnion

diperkirakan berperan dalam adhesi interseluler selama

implantasi dan dalam mempertahankan adhesi plasenta pada

desidua. Deteksi fibronectin dalam cairan sevikovaginal

sebelum adanya ketuban pecah adalah “marker” adanya

partus pretermus iminen. Pemeriksaan fetal fibronectin

dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent

assay dan nilai diatas 50ng/ml dianggap sebagai hasil

positif. Pemeriksaan fetal fibronectin bahkan pada

kehamilan 8-22 minggu merupakan prediktor kuat untuk

terjadinya persalinan preterm.

6. USG

Pemeriksaan USG untuk mengukur panjang serviks.

Pemeriksaan TVS dapat dilakukan untuk mengukur panjang


serviks. Panjang serviks pada kehamilan 24 minggu = 3,5cm.

Nilai panjang serviks untuk meramalkan terjadinya persalinan

preterm sebelum kehamilan 35minggu. Sonografi serviks

transperineal lebih disukai karena dapat menghindari

manipulasi intravagina terutama pada kasus-kasus KPD dan

plasenta previa.

2.2.5. Penatalaksanaan

2.2.5.2 Akselerasi pematangan fungsi paru

Terapi glukokortikoid, misalnya dengan betamethasone

12 mg im. 2x selang 24 jam. Atau dexamethasone 5 mg tiap

12 jam (im) sampai 4 dosis.

Thyrotropin releasing hormone 400ug iv, akan

meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang dapat

meningkatkan produksi surfaktan. Suplemen inositol, karena

inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang

berperan dalam pembentukan surfaktan.

2.2.5.3 Pemberian antibiotika

Pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan

angka kejadian koriamnionitis dan sepsis neonatorum.

Diberikan 2 gram ampisilin (iv) tiap 6 jam sampai persalinan

selesai. Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk

kuman aerob maupun anaerob. Yang terbaik bila sesuai kultur

dan tes sensitivitas. Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan


terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak ada kontra

indikasi, diberi tokolitik.

2.2.5.4 Pemberian tokolitik

Nifedipin 10 mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6

jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg dan dosis perawatan 3x 10

mg (Sujiatini, 2009)
2.3 Keranga Konsep

Riwayat
Umur Paritas KPD Pekerjaan

≤ 20 ≥ 35 Primipara Multipara
THTh Kelelahan
komposis
dan
AlatTH Otot Otot Konsiste i lemahnya
reproduks dasar dasar nsi membran
panggul korion
i dan panggul serviks yang amnion
tidak masih yang
selaput menjadi
elastis,
ketuban kaku tipis
serviks mudah
belum mudah rapuh
matang berdilat
asasi

KETUBAN PECAH DINI

PERSALINAN PREMATU

Anda mungkin juga menyukai