Anda di halaman 1dari 16

VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF (MPA)


BERBASIS KELAPA DI KABUPATEN NIAS SELATAN
Hotman Manurung

ABSTRACT
Coral reef and aquatic organisms in it ecosystem is important resource for coastal
communities. At present, the coral reef has been over exploited, and degradation
up to 41.7%. The degradation is supposed related to poverty of local communities.
Therefore, it is very important to study the alternative livelohood which consider
the ecological and economical aspects. Based on the study at south Nias District in
six villages, Nata decoco and Virgin Coconut Oil (VCO) are suitable as alternative
livelihood because R/C ratio is 2.32 and 1.40 respectively.
----------------
Key word : Coral reef, alternative livelihood, nata decoco, VCO, South Nias.

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Nias Selatan memiliki luas wilayah 1.825,2 km 2, terdiri atas :
Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Lolomatua, Kecamatan Gomo, Kecamatan
Lahusa, Kecamatan Hibala, Kecamatan Pulau–pulau Batu, Kecamatan Amandraya
dan Kecamatan Lolowa’u. Topografi wilayah ini terdiri dari perbukitan hingga
pegunungan, pesisir pantai dan kepulauan. Jumlah pulau yang terdapat di
kabupaten ini yaitu 104 pulau dimana 101 pulau terdapat di gugusan Pulau – pulau
Batu, Tanah Masa dan Hibala.
Berdasarkan data tahun 2005, Kabupaten Nias Selatan memiliki jumlah
penduduk sebanyak 275.422 jiwa yang tersebar di 21 pulau dalam delapan
kecamatan. Mata pencaharian penduduk di wilayah ini umumnya masih
mengandalkan sumber daya alam yang ada dengan pengelolaan eksploitatif.
Terumbu karang dan kehidupan biota yang berasosiasi didalamnya
merupakan sumber daya pesisir yang mempunyai fungsi ekologi bagi ekosistem
pesisir dan laut dan fungsi ekonomi bagi masyarakat pesisir. Terumbu karang yang
ada di Indonesia dengan luas sekitar 60.000 km 2 merupakan tempat bagi 1/8 dari
terumbu karang dunia (Carter, 1996) dan sangat kaya akan keanekaragaman biota
yang bernilai ekonomis penting. Menurut kajian Mann (2000), perairan yang
memiliki ekosistem terumbu karang yang sehat pada kedalaman kurang dari 30
meter, memiliki kandungan ikan sebanyak 15 ton/km2.
Dewasa ini, eksploitasi terumbu karang secara tidak bijaksana telah
menyebabkan kerusakan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Terumbu karang
yang rusak di Indonesia telah mencapai 41.78 % sedangkan kondisi baik hanya
sebesar 23.72 % dan sangat baik tinggal 6.20 % (Bengen, 2002). Dari kondisi
tersebut, terumbu karang di kawasan perairan Indonesia barat memiliki kondisi
yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan timur
Indonesia. Kondisi terumbu karang di perairan pesisir Kabupaten Nias Selatan

202
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

telah mengalami kerusakan yang dominan disebabkan oleh aktivitas manusia,


seperti penggunaan alat tangkap ikan yang membahayakan kehidupan karang,
bahan peledak, racun dan penambangan karang. Cara–cara yang tidak bijaksana ini
ditempuh karena tekanan ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat
yang banyak berada dalam garis kemiskinan. Dengan perkataan lain, kerusakan ini
terjadi karena tingginya ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumber daya
terumbu karang akibat minimnya mata pencaharian alternatif.
Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya
terumbu karang dan biota yang berasosiasi di dalamnya, perlu dilakukan
pengkajian Mata Pencaharian Alternatif (MPA) sehingga sumber daya terumbu
karang dapat terjaga kelestariannya dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Karena potensi dan karakteristik desa berbeda–beda, maka mata pencaharian
penduduk yang berpotensi dikembangkan juga berbeda–beda. Oleh sebab itu
pengembangan MPA harus diidentifikasi, dikaji dari aspek teoritis, ekonomi,
kelestarian lingkungan (ekologis) dan sosial budaya masyarakat sehingga layak
dikembangkan di lokasi/desa setempat.

1.2. Tujuan
Studi pengembangan MPA ini bertujuan mengkaji dan mendesain Mata
Pencaharian Alternatif (MPA) bidang pertanian yang layak dikembangkan
berdasarkan potensi sumber daya alam lokal di 6 (enam) desa Kabupaten Nias
Selatan.

1.3. Manfaat
Hasil studi kelayakan MPA ini akan bermanfaat sebagai berikut :
a. Sebagai bahan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan program
pembangunan ekonomi wilayah pesisir khususnya dalam pengentasan
kemiskinan.
b. Membantu masyarakat setempat dalam pengembangan mata pencaharian
alternatif berbasis sumber daya lokal sehingga aktivitas masyarakat yang
menyebabkan kerusakan terumbu karang dapat dialihkan untuk
memaksimalkan upaya pelestarian terumbu karang dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.

2. METODE PENGKAJIAN MPA


2.1. Pendekatan Studi
Dalam studi kelayakan dan desain mata pencaharian alternatif di enam
lokasi Kabupaten Nias Setalan, pendekatan studi yang dilakukan adalah
pendekatan partisipatif (participatory approach), dimana aspirasi masyarakat
menjadi unsur penting dalam penetapan jenis mata pencaharian yang layak
dikembangkan dan dipadukan dengan potensi biofisik wilayah, kondisi ekologis,
kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat lokal.

203
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

Pendekatan studi ini selaras dengan salah satu bidang kegiatan COREMAP
yakni Pengelolaan Berbasis Masyarakat (community based management). Dalam
pengelolaan berbasis masyarakat ini, semua proses pengelolaan terumbu karang
akan dilaksanakan oleh masyarakat melalui kegiatan kelompok dan Lembaga
Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan didukung oleh motivator
desa serta dibantu oleh fasilitator lapangan dan pihak terkait. Pengelolaan terumbu
karang berbasis masyarakat ini akan tidak efektif dan berhasil guna jika masyarakat
yang berada di kawasan terumbu karang tidak memiliki mata pencaharian selain
usaha–usaha eksploitasi sumber daya di kawasan terumbu karang. Dengan
demikian dibutuhkan kajian mata pencaharian alternatif berbasis sumber daya alam
lokal yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

2.2. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam Studi Kelayakan dan Desain Mata
Pencaharian Alternatif (MPA) di enam lokasi COREMAP II Kabupaten Nias
Selatan ini melalui pengumpulan data sekunder dan primer. Pengumpulan data
primer dilakukan dengan metode survey, yang mencakup wawancara dengan
masyarakat lokal, pengisian kuesioner, observasi lapangan, diskusi kelompok
terfokus dan konsultasi publik tingkat kecamatan.
Pengisian kuesioner secara terbuka digunakan untuk memperoleh
informasi tentang :
a. Potensi pertanian terutama potensi tanaman kelapa.
b. Pemanfaatan sumber daya terumbu karang
c. Aspek sosial (kependudukan dan pendidikan)
d. Aspek ekonomi (mata pencaharian dan tingkat pendapatan masyarakat)
e. Aspek budaya (adat istiadat dan kearifan lokal)
Sedangkan observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi
ekologis terumbu karang, kondisi alam desa, pengelolaan mata pencaharian utama
dan sampingan. Data sekunder tentang kondisi geografis, topografis dan iklim
diperoleh dari instansi terkait dan diperkaya dengan berbagai literatur.
Diskusi kelompok terfokus yang melibatkan unsur pemerintah desa, tokoh
masyarakat, kelompok produksi, kelompok pengawas, kelompok wanita dan unsur
LPSTK dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang masalah–
masalah yang dihadapi dalam upaya pelestarian terumbu karang. Sedangkan
konsultasi publik tingkat kecamatan yang dihadiri unsur Muspika, aparat desa,
Pokmas, LPSTK, masyarakat desa dan pemangku kepentingan lainnya ditujukan
untuk memperoleh masukan dalam penyusunan MPA, sehingga layak
dikembangkan di daerah tersebut.

2.3. Analisa Data


Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan kriteria kelayakan teknis dan
ekonomis yang telah ditentukan. Data potensi biofisik desa, kondisi ekologis, sosial
ekonomi dan budaya masyarakat dijabarkan, kemudian dihubungkan dengan mata

204
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

pencaharian yang layak dikembangkan berdasarkan potensi ketersediaan bahan


baku dan pemasaran.
Analisa usaha dibuat berdasarkan kebutuhan dalam pengelolaan suatu
usaha. Analisa mencakup investasi bahan dan peralatan, benih atau bibit, tenaga
kerja dan harga pemasaran. Dari nilai investasi dihitung keuntungan dan analisa
benefit usaha dan imbangan penerimaan biaya atau rasio hasil penjualan dan total
biaya operasional (R/C Ratio).

3. PROFIL DESA DAN PENGEMBANGAN MPA


3.1. Kondisi Umum Kabupaten Nias Selatan
Jumlah penduduk Kabupaten Nias Selatan pada Januari 2005 yaitu 275.422
jiwa tersebar di 212 desa. Bahasa sehari – hari yang digunakan adalah bahasa Nias
dengan dialek Nias Selatan, yang berbeda dengan dialek masyarakat di Kabupaten
Nias induk. Sekitar 65 % angkatan kerja di wilayah ini berpendidikan sekolah
dasar yang mayoritas menggeluti pertanian.
Komoditas unggulan sektor pertanian terutama dari perkebunan yakni
kelapa, karet dan nilam. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sentra
perkebunan kelapa di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya serta
tanaman karet dan nilam di Kecamatan Lahusa, Lolomatua dan Lolowa’u. Hasil
pertanian lain yang menjadi unggulan adalah padi yang berpusat di Kecamatan
Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya. Komoditas unggulan daerah ini umumnya
dijual dalam bentuk segar, belum melalui proses pengolahan. Komoditas pertanian
masih dikelola secara tradisional. Pada saat panen, hasil perkebunan dan
perkebunan umumnya dikirim melalui kapal ke Sibolga atau Padang di propinsi
Sumatera Barat.
Studi pengembangan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) di Kabupaten
Nias yang meliputi 6 (enam) desa yaitu : Desa Tuwaso dan Desa Duru di
Kecamatan Hibala, Desa Sifutu Ewali, Desa Luaha Idanopono, Desa Hayo di
Kecamatan Pulau–pulau Batu dan Desa Botohilitano di Kecamatan Teluk Dalam,
Kabupaten Nias. Karena setiap desa mempunyai karakteristik dan potensi biofisik
yang berbeda, maka perlu diberikan gambaran umum deskripsi dan profil desa,
yang dijadikan sebagai landasan dalam kajian pengembangan MPA.
Pengembangan MPA di desa–desa ini diharapkan menjadi contoh dan faktor
pendorong berkembangnya mata pencaharian alternatif di desa–desa lainnya di
Kabupaten Nias Selatan dalam upaya mencapai tujuan pelestarian terumbu karang.

3.2. Desa Duru


Desa Duru dengan luas 3,18 km 2 ini terdiri dari 2 dusun yakni Duru I dan
Duru II yang dipisahkan oleh perairan teluk dengan kondisi terumbu karang yang
sedang mengalami pemulihan. Lokasi pemukiman di desa ini hanya berjarak 10–
25 m dari garis pantai dengan ketinggian 1–5 m di atas permukaan laut dan
berjarak 3 km dari ibukota kecamatan, dengan jumlah penduduk pada tahun 2006

205
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

sebanyak 504 jiwa (101 KK) yang terdiri dari laki–laki 223 orang dan perempuan
281 orang.
Mata pencaharian utama penduduk Desa Duru adalah petani. Mayoritas
masyarakat di daerah ini mengusahakan kebun kelapa. Luas kebun kelapa
mencapai 24 hektar dan dapat menghasilkan 30 ton kopra per 3 bulan. Dengan
potensi kelapa yang cukup besar, di desa ini layak dikembangkan produk minya
perawan (Virgin Coconut Oil–VCO), produk minuman Nata de Coco dan sabut
kelapa yang dapat dipasarkan untuk kebutuhan lokal, ke Tello, Teluk Dalam,
Sibolga dan bahkan ke Medan. Sekarang ini produk VCO sangat diperlukan oleh
industri farmasi dan kosmetika, sehingga harga VCO ini cukup tinggi di pasaran
yakni Rp. 40.000 per kg. Untuk mempertahankan produksi kelapa tersebut, pohon
kelapa yang sudah tua atau kurang produktif perlu dilakukan peremajaan dengan
menanam kelapa hibrida. Dilihat dari keragaman vegetasi, lahan di desa ini
termasuk lahan yang subur. Oleh sebab itu, lahan kebun kelapa tersebut pada
dasarnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput unggul
sebagai sumber hijauan pakan ternak kambing. Sebagian besar masyarakat nelayan
(77,23 %) mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000–Rp. 500.000 per
bulan, yang masih jauh berada di bawah UMR Propinsi Sumatera Utara.
Dari aspek kualitas sumber daya manusia (SDM), masyarakat di desa ini
masih tergolong rendah. Dari survey lapangan (Agustus, 2006), tingkat pendidikan
masyarakat sangat rendah, karena 62 % hanya tamatan SD dan bahkan masih
terdapat penduduk yang tidak tamat SD serta tidak sekolah pada usia 7–12 tahun.
Rendahnya kualitas SDM ini termasuk faktor penghambat dalam pengembangan
teknologi pengolahan hasil pertanian sehingga sangat diperlukan upaya
peningkatan kualitas SDM ini melalui pelatihan–pelatihan teknis yang bersifat
praktis, adaptif dan berdaya guna.

3.3. Desa Tuwoso


Berdasarkan survey bulan Agustus 2006, penduduk desa ini berjumlah 623
jiwa (131 KK) yang terdiri dari laki–laki 306 orang dan perempuan 317 orang.
Berdasarkan distribusi agama yang dianut 98 % penduduk desa ini menganut
agama Kristen Protestan dan 2 % Katolik. Sebagian besar (80,15 %) penduduk
desa bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun
kelapa, beternak ayam dan babi.
Berkebun kelapa telah lama digeluti oleh penduduk setempat, tetapi hanya
pekerjaan sampingan. Kegiatan ini terutama dilakukan ketika nelayan tidak melaut
akibat musim badai. Di desa ini terdapat kebun kelapa seluas 20 hektar dan
mampu menghasilkan kopra sekitar 2,5 ton per 3 bulan. Pohon kelapa ini sebagian
besar sudah berumur tua dan pada dasarnya sudah kurang produktif. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan peremajaan dengan menaman jenis kelapa hibrida yang lebih
produktif. Potensi kelapa yang cukup besar ini dapat mendukung usaha produksi
minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil), produk minuman Nata de Coco dan
pembuatan sabut kelapa.

206
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

Akibatnya terbatasnya mata pencaharian alternatif, sebagian besar (80 %)


masyarakat nelayan di desa ini mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000
–Rp. 500.000/bulan. Pendapatan ini jelas tidak mencukupi untuk memenuhi
berbagai kebutuhan keluarga sehari–hari, biaya pendidikan, kesehatan dan kegiatan
sosial lainnya. Oleh sebab itu, masyarakat nelayan di daerah ini kesulitan modal
untuk pengembangan usaha dan bahkan sering terlilit hutang untuk memenuhi
kebutuhan hidup.

3.4. Desa Sifitu Ewali


Jumlah penduduk menurut BPS Kabupaten Nias (2004) sebanyak 801 jiwa
(152 KK) yang terdiri dari laki–laki 410 orang dan perempuan 391 orang. Sebagian
besar penduduk desa ini 90,76 % menganut agama Kristen Protestan dan 9,24 %
Katolik. Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah sebagai nelayan (80,15
%), sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan
babi.
Di samping bekerja sebagai nelayan, masyarakat di daerah ini juga
mengusahakan kebun kelapa. Usaha sampingan dilakukan terutama jika mereka
tidak melaut, atau setelah mereka kembali dari kegiatan menangkap ikan. Luas
kebun kelapa di desa ini mencapai 12 hektar dan dapat menghasilkan 20 ton kopra
per 3 bulan. Kondisi kelapa didaerah ini sebagian besar sudah berumur tua
sehingga kurang produktif. Oleh sebab itu, pohon kelapa ini perlu diremajakan
sehingga produksi kelapa bisa lebih tinggi. Potensi kelapa yang cukup besar di desa
ini memberikan peluang pengembangan usaha produksi sabut kelapa, minyak
perawan (Virgin Coconut Oil) dan produk minuman Nata de Coco.

3.5. Desa Hayo


Jumlah penduduk Desa Hayo menurut BPS Kabupaten Nias (2004)
sebanyak 284 jiwa (56 KK) yang terdiri dari laki–laki 145 orang dan perempuan
139 orang. Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah sebagai nelayan
(91,07 %), sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam
dan babi. Pekerjaan sampingan beternak ayam dan babi umumnya dilakukan kaum
ibu dan sudah berlangsung cukup lama di daerah ini. Hal ini didukung oleh
ketersediaan sumber pakan alami, faktor sosial budaya (adat istiadat) dan religi
(agama) dimana penduduk desa ini 100 % Kristen. Karena kegiatan beternak ini
masih berupa usaha sambilan, populasi ternak babi dan ayam masih relatif kecil
dimana ternak babi hanya mencapai 68 ekor dan ternak ayam 105 ekor.
Pekerjaan sampingan berkebun kelapa umumnya dilakukan nelayan ketika
tidak melaut. Kesempatan itu dimanfaatkan nelayan membersihkan kebun,
memanen kelapa dan membuat kopra. Luas kebun kelapa mencapai 11 hektar dan
dapat menghasilkan 20 ton kopra per 3 bulan. Pohon kelapa di desa ini sebagian
besar sudah berumur tua, sehingga kurang produktif. Oleh sebab itu perlu
dilakukan peremajaan kelapa dengan jenis kelapa hibrida yang mempunyai
produksi tinggi. Potensi kelapa yang cukup besar di desa ini membuka peluang
pengembangan mata pencaharian alternatif yaitu usaha produksi minyak perawan
207
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

(Virgin Coconut Oil), produk minuman Nata de Coco dan sabut kelapa. Disamping
itu, kebun kelapa yang luas di desa ini pada dasarnya mempunyai potensi untuk
pengembangan budidaya rumput unggul sebagai sumber pakan ternak. Penanaman
rumput unggul yang tahan naungan dapat dilakukan di bawah pohon kelapa
sehingga memberikan peluang pengembangan usaha ternak ruminansia kecil.

3.6. Desa Luaha Idano Pono


Jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 253 jiwa (48 KK) yang
terdiri dari laki – laki 132 orang dan perempuan 111 orang. Sebagian besar
penduduknya bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan sampingan adalah
berkebun kelapa, beternak ayam dan babi serta budidaya teripang. Pekerjaan
sampingan beternak babi sudah berlangsung cukup lama, hal ini didukung oleh
faktor ketersediaan sumber pakan alami seperti ubi, ampas kelapa dan sagu, faktor
sosial budaya (adat istiadat) dan religi (agama) dimana penduduk desa ini 100 %
Kristen.
Selain sebagai nelayan, masyarakat di daerah ini juga mengusahakan
kebun kelapa. Kegiatan berkebun umumnya dilakukan ketika nelayan tidak melaut
atau setelah pulang dari melaut. Luas kebun kelapa mencapai 12 hektar dan dapat
menghasilkan kopra rata – rata 7 ton per bulan atau sekitar 20 ton kopra per 3
bulan. Pohon kelapa di desa ini sudah banyak yang tua dan tidak produktif lagi.
Diperlukan usaha peremajaan untuk meningkatkan hasil produksi kelapa, seperti
penanaman kelapa hibrida. Potensi kelapa yang cukup besar di desa ini, membuka
peluang pengembangan mata pencaharian alternatif selain produksi kopra dan
minyak kelapa, antara lain produksi sabut kelapa, minyak perawan (Virgin Coconut
Oil), produk minuman Nata de Coco. Disamping itu, lahan kebun kelapa yang
cukup luas tersebut mempunyai potensi untuk produksi hijauan pakan ternak.
Artinya desa ini juga berpotensi untuk pengembangan usaha ternak kambing.
Mata pencaharian yang dikelola secara tradisional menyebabkan tingkat
pendapatan masyarakat desa ini relatif rendah. Sebagian besar (72,92 %)
masyarakat nelayan di desa ini mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000
–Rp. 500.000 per bulan. Dengan tingkat pendapatan yang rendah, masyarakat
nelayan di daerah ini relatif kurang menyediakan biaya pendidikan dan biaya hidup
lainnya.

3.7. Desa Botohilitano


Berdasarkan survey bulan Agustus (2006), penduduk desa ini mencapai
3.226 jiwa terdiri dari 672 KK yang sebagian besar bermukin di Desa Botohilitano.
Penduduk desa ini sebagian besar bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan
sampingan adalah berkebun kelapa, usaha tani palawija, beternak ayam dan babi.
Sedangkan di Sorake, mata pencaharian penduduk dominan bergerak di sektor
pariwisata, sedangkan mata pencaharian sampingan adalah berkebun kelapa dan
beternak ayam.
Pada musim badai, nelayan tidak melaut dan waktu tersebut dimanfaatkan
untuk membersihkan kebun kelapa, memanen dan membuat kopra. Pohon kelapa di
208
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

desa ini sudah banyak yang tua, sehingga kurang produktif. Dalam kondisi
demikian, dengan luas kebun kelapa sekitar 9 hektar masih dapat menghasilkan
kopra sekitar 5 ton per bulan atau sekitar 15 ton kopra per 3 bulan. Potensi kelapa
yang cukup besar di desa ini membuka peluang pengembangan mata pencaharian
alternatif yaitu usaha, minuman Nata de Coco dan produksi minyak dara (VOC).
Disisi lain lain, lahan kebun kelapa yang relatif luas pada dasarnya dapat
dimanfaatkan untuk budidaya rumput unggul. Dengan perkataan lain, desa ini
mempunyai potensi untuk pengembangan ternak ruminansia kecil seperti kambing
dan domba.

4. ANALISA KELAYAKAN MPA


4.1. Produksi (VCO)
4.1.1. Prospek Pemasaran
Dewasa ini permintaan bahan baku minyak perawan (VCO) untuk
kebutuhan industri farmasi dan kosmetik semakin meningkat, baik untuk
kebutuhan industri dalam negeri maupun luar negeri. Negara–negara Eropa banyak
mengimport VCO dari Indonesia dengan volume yang semakin meningkat setiap
tahunnya. Oleh sebab itu, produksi VCO di berbagai daerah di tanah air termasuk
di wilayah COREMAP II Kabupaten Nias Selatan mempunyai prospek pemasaran
yang cerah. Meningkatnya permintaan bahan baku VCO ini menyebabkan
harganya cukup tinggi di pasaran. Minyak perawan dalam bentuk curah
mempunyai harga Rp. 40.000 per kg jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga
minyak kelapa yang harganya hanya mencapai Rp. 6.000 per kg.

4.1.2. Analisa Kelayakan Teknis


Sebagaimana telah diuraikan dalam deskripsi dan profil desa lokasi
COREMAP II, Kabupaten Nias Selatan, bahwa seluruh desa tersebut mempunyai
tanaman kelapa yang luas dengan produksi kopra yang cukup tinggi. Usaha
produksi kopra inilah satu–satunya hasil pertanian yang dapat menambah hasil
pendapatan keluarga (pendapatan utama berasal dari pekerjaan sebagai nelayan).
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa dan posisi tawar
masyarakat terhadap hasil olahan kelapa tersebut, maka salah satu alternatif usaha
pengolahan kelapa yang layak dikembangkan adalah usaha produksi minyak
perawan (VCO) yang sekarang ini sangat dibutuhkan berbagai jenis industri.
Minyak perawan banyak dibutuhkan industri farmasi dan kosmetika,
sehingga usaha ini sangat cerah di masa mendatang. Berdasarkan hasil analisis
laboratorium sampel VCO yang bersumber dari kelapa yang ada di Kecamatan
Pulau – pulau Batu, Hibala dan Teluk Dalam mempunyai kandungan asam laurat
yang tinggi (48,47 %) dan kadar air hanya 0,034 % sehingga dari segi kualitas
kelapa layak digunakan sebagai bahan baku produksi VCO.
Dari segi teknis produksi, peralatan yang digunakan untuk memproduksi
VCO dari bahan dasar santan kelapa menggunakan teknologi yang sederhana, yaitu
seperangkat peralatan centrifuge yang digerakkan motor listrik dengan kecepatan
209
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

anguler 2500 rpm berkekuatan 1800 watt. Peralatan ini dapat dibuat masyarakat
lokal, atau didatangkan dari produsen yang berlokasi di Medan. Untuk pembuatan
dan pengoperasian alat ini memerlukan pelatihan teknis.

4.1.3. Analisa Kelayakan Ekonomis


A. Faktor Produksi
Dalam proses produksi VCO, faktor–faktor produksi yang digunakan
adalah:
a. Bangunan tempat usaha
b. Mesin parutan
c. Mesin press
d. Santan kelapa
e. Mesin vacuum
f. Mesin centrifuge
g. Mesin penyaring
h. Mesin genset berkapasitas 1800 watt
i. Wadah penampung minyak (gerigen)
j. Tenaga kerja
Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan ekonomis
usaha produksi VCO adalah :
a. Produksi VCO sekitar 10 % dari jumlah kelapa yang diparut (20.000 butir per
bulan)
b. Harga VCO lokal Rp. 25.000,- per liter
c. Produksi VCO untuk masa 2 tahun
B. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
1. Biaya Tetap (Investasi)
a. Mesin parutan 1 unit Rp. 5.500.000,-
b. Mesin press 1 unit Rp. 18.500.000,-
c. Mesin vacuum panjang 1 unit Rp. 15.500.000,-
d. Mesin centrifuge 1 unit Rp. 9.500.000,-
e. Mesin penyaring 1 unit Rp. 15.500.000,-
f. Jerigen 15 buah @ Rp. 30.000,- Rp. 450.000,-
g. Sewa tempat usaha (3 tahun) Rp. 6.000.000,-
Jumlah Biaya Tetap Rp. 70.950.000,-
2. Biaya Variabel (Input Produksi)
a. Kelapa 200 butir/jam x 4 jam/hari x 25 hari x
Rp. 300/butir Rp. 6.000.000,-
b. Transport pengangkutan buah kelapa Rp. 1.000.000,-
c. Bahan bakar : 5 mesin x 1,3 liter/jam x 5 jam/hari x 25
hari x Rp. 6.000/liter bensin Rp. 4.875.000,-
d. Perawatan mesin : 5 mesin x Rp. 200.000/bulan Rp. 1.000.000,-
e. Jerigen 30 buah (kapasitas 30 liter) @ Rp. 50.000,- Rp. 1.500.000,-

210
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

f. Upah tenaga kerja 5 orang @ Rp. 700.000/bulan Rp. 3.500.000,-


g. Penyusutan peralatan/bulan (masa 2 tahun) Rp. 2.956.000,-
Jumlah Biaya Produksi Rp. 20.831.250,-
C. Analisa Hasil Usaha
1. Penerimaan (Revenue)
a. Produksi VCO : 10 % x 20.000 butir/bulan = 2.000 liter
b. Penjualan minyak perawan (VCO) : 2.000 liter x
Rp. 25.000/liter Rp. 50.000.000,-
2. Keuntungan (Profit)
Laba : Rp. 50.000.000–Rp. 20.831.250 Rp. 29.168.750,-
3. Ratio Finansial
B/C Ratio : Rp. 29.168.750/Rp. 20.831.250 = 1,40. Berarti usaha produksi VCO
layak dikembangkan.

4.1.4. Analisa Kelayakan Sosial


Pengembangkan usaha produksi minyak perawan (VCO) di desa–desa
lokasi COREMAP II, Kecamatan Hibala, Pulau–pulau Batu dan Teluk Dalam,
Kabupaten Nias Selatan tidak bertentangan dengan norma agama dan adat istiadat
masyarakat. Justru pengembangan usaha ini akan membuka wawasan masyarakat
tentang perkembangan teknologi dalam meningkatkan nilai tambah sumber daya
alam lokal. Disamping itu, kegiatan mata pencaharian alternatif ini akan membuka
lapangan kerja baru bagi masyarakat desa sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan mereka.

4.2. Produksi Minuman Nata de Coco


4.2.1. Prospek Pemasaran
Minuman Nata de Coco yang dibuat dari air kelapa melalui proses
fermentasi sangat digemari masyarakat sebagai minuman segar dan sumber serat
alamiah. Produk minuman ini dijual dalam berbagai bentuk kemasan sehingga
harganya dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Bahkan sekarnag ini
minuman Nata de Coco telah memasuki daerah pedesaan sehingga masyarakat luas
sudah mengenalnya.
Demikian halnya di wilayah COREMAP II Kabupaten Nias Selatan,
produk minuman ini sudah banyak dijual di Tello dan Teluk Dalam. Berdasarkan
fakta ini, produk Nata de Coco mempunyai potensi pasar lokal dan regional
sehingga mudah dipasarkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas produk
dengan harga yang bersaing terhadap produk yang berasal dari luar daerah.

4.2.2. Analisa Kelayakan Teknis


Sebagaimana telah dijelaskan dalam deskripsi dan profil desa lokasi
COREMAP II, Kabupaten Nias Selatan bahwa keenam desa tersebut merupakan
daerah penghasil kelapa dan kopra. Berarti setiap kelapa yang digunakan untuk
memproduksi kopra akan menghasilkan air kelapa, yang selama ini belum

211
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Dengan potensi air kelapa yang
banyak, membuka peluang besar untuk pemanfaatannya menjadi produk minuman
Nata de Coco.
Dewasa ini produk Nata de Coco telah diproduksi dari berbagai daerah,
dalam kemasan yang beraneka ragam dan disukai banyak orang sebagai salah satu
sumber serat. Oleh sebab itu produk minuman ini bukan lagi hal yang baru
sehingga teknis pembuatannya sudah banyak diketahui masyarakat.
Pada dasarnya pembuatan produk Nata de Coco adalah melalui sistem
fermentasi dengan menggunakan stater mikroba Acetobacter sp, yang dapat
diperoleh dari berbagai perusahaan dan laboratorium mikrobiologi di perguruan
tinggi dan lembaga riset. Selain itu, metoda pembuatannya relatif mudah dan
menggunakan teknologi sederhana, sehingga melalui pelatihan teknis masyarakat
desa dapat melakukannya.

4.2.3. Analisa Kelayakan Ekonomis


A. Faktor Produksi
Faktor produksi yang digunakan dalam pembuatan produk Nata de Coco
adalah :
a. Air kelapa
b. Gula pasir
c. Asam asetat 2 % dan ZA 3 %
d. Bakteri Acetobacter sp
e. Perlengkapan produksi (nampan, dandang, kompor, ember, jerigen, timbangan,
boto staterm saringan halus, gelas ukur, pisau pemotong dan talenan)
f. Bangunan tempat usaha
g. Tenaga kerja
Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan ekonomis
produksi Nata de Coco adalah :
a. Air kelapa diperoleh tanpa membeli (free cost)
b. Harga jual produk Rp. 2.500 per bungkus (250 ml)
c. Umur ekonomis peralatan 1 tahun (12 bulan)

B. Rencana Anggaran Biaya (RAB)


1. Biaya Tetap
a. Sewa tempat usaha 1 tahun Rp. 6.000.000,-
b. Nampan plastik 1.200 buah @ Rp. 5.000,- Rp. 6.000.000,-
c. Dandang 3 buah @ Rp. 170.000,- Rp. 510.000,-
d. Kompor masak 1 buah Rp. 400.000,-
e. Ember pencuci 5 buah @ Rp. 50.000,- Rp. 250.000,-
f. Jerigen 10 buah @ Rp. 30.000,- Rp. 300.000,-
g. Pisau pemotong 5 buah @ Rp. 10.000,- Rp. 50.000,-
h. Timbangan 1 buah Rp. 100.000,-
i. Botol untuk stater 50 buah @ Rp. 600,- Rp. 30.000,-
j. Saringan halus 2 buah @ Rp. 20.000,- Rp. 40.000,-
212
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

k. Gelas ukur 1 buah Rp. 10.000,-


l. Talenan 5 buah @ Rp. 5.000,- Rp. 25.000,-
Jumlah Biaya Tetap (Investasi) Rp. 13.715.000,-

2. Biaya Variabel (Input Produksi)


a. Penyusutan peralatan per bulan
(Rp. 13.715.000/12 bln) Rp. 1.142.900,-
b. Minyak tanah 20 liter x 25 hari x Rp. 2.300/liter Rp. 12.075.000,-
c. Gula pasir 142 kg x Rp. 5.000/kg Rp. 710.000,-
d. Asam cuka 3 % x 600 liter x Rp. 10.000/liter Rp. 180.000,-
e. Plastik 0.5 kg x Rp. 30.000 x 25 hari Rp. 375.000,-
f. Tali/karet gelang Rp. 20.000,-
g. Kertas koran bekas Rp. 10.000,-
h. ZA 3/100 x 600 liter x Rp. 1.250/liter x 25 hari Rp. 562.500,-
i. Tenaga kerja 4 orang x Rp. 30.000,- x 25 hari Rp. 3.000.000,-
Jumlah Biaya Produksi Rp. 18.075.400,-
C. Analisa Hasil Usaha
1. Penerimaan (Revenue)
a. Penjualan produk 2.000 bungkus/hari (250 gr) @ Rp. 1.200 Rp. 2.400.000,-
b. Penjualan untuk 1 bulan (25 hari operasi) Rp. 60.000.000,-
2. Keuntungan (Profit)
Laba : Rp. 60.000.000–Rp. 18.075.400 Rp. 41.924.600,-
3. Ratio Finansial
B/C Ratio : Rp. 41.924.600/Rp. 18.075.400 = 2,32. Berarti usaha produksi Nata
de Coco sangat layak untuk dikembangkan.

4.2.4. Analisa Kelayakan Sosial


Karena produk minuman Nata de Coco berasal dari air kelapa, maka
pengembangan usaha ini jelas tidak bertentangan dengan norma agama dan budaya
masyarakat lokal. Dengan perkataan lain, produk minuman ini halal bagi semua
lapisan masyarakat dan dapat dikonsumsi semua golongan umur.
Usaha produksi Nata de Coco yang menerapkan teknologi sederhana akan
memberikan dampak positif bagi masyarakat yakni :
1. Air kelapa menjadi bahan yang bernilai ekonomis
2. Terciptanya lapangan kerja baru di pedesaan
3. Menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga

5. Desain Mata Pencaharian Alternatif


5.1. Proses Produksi
5.1.1. Nata de Coco
Prosedur pembuatan produk minuman Nata de Coco adalah sebagai
berikut :

213
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

Air Kelapa

Disaring dengan saringan yang halus

Dididihkan + 30 menit
Tambahkan gula 2 %
Asam asetat + 3 % (pH menjadi 4)
ZA (Urea) + 2 %

Didinginkan
Ditambahkan stater Acetobacter sp 10
– 15 %

Diperam pada suhu kamar selama 6 – 7 hari

Nata de Coco mentah

Dipotong – potong menjadi ukuran kubus 1 cm x 1 cm x 1 cm

Direbus sampai mendidih untuk menghilangkan rasa asam dan bau alkohol

Dikemas dalam larutan gula 20 %

Gambar 1. Bagan Alir Proses Produksi Nata de Coco

Hal-hal yang diperhatikan pada pembuatan Nata de coco


Pada prinsipnya pembuatan nata de coco dengan bantuan aktivitas Acetobacter
xylinum yang terdapat pada air kelapa menjadi selulosa. Selulosa yang terbentuk
berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida lain membentuk
suatu jalinan seperti tekstil. Jalinan seperti tekstil inilah nata de coco. Berdasarkan

214
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

penjelasan tersebut di atas maka pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum


merupakan syarat utama dalam pengolahan nata de coco. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum :
1. Media harus mempunyai tingkat keasaman optimum (pH) sekitar 4. Oleh karena
itu penambahan asam asetat glacial mutlak diperlukan, karena pH air kelapa
berkisar pH 6.
2. Nutrisi media. Media untuk pertumbuhan bakteri Aceto bacter harus
mengandung gula sebagai sumber energi, Z.A (area) sebagai sumber nitrogen.
Itulah sebabnya mengapa perlu penambahan gula 2% dan Z.A (urea 2%).
3. Pendidihan. Media harus steril (tidak ada mikroba atau bakteri), bila ada
mikroba atau bakteri maka bakteri Aceto bacter tidak tumbuh karena terjadi
persaingan antara mikroba yang terdapat pada media dengan Acetobacter. Oleh
karena itu air kelapa harus dididihkan untuk membunuh mikroba yang terdapat
di dalam air kelapa.
4. Jumlah starter. Jumlah starter harus tepat (tidak boleh lebih apalagi kurang).
Karena jumlah yang tidak tepat akan mempengaruhi masa pertumbuhan awal.
Pertumbuhan awal yang terlalu cepat (bila mana starter berlebihan) membuat
massa tidak kompak. Sedangkan bila pertumbuhan awal terlalu lambat (bila
starter kurang) maka masa pemeraman menjadi lebih panjang.
5. Suhu pemeraman. Suhu untuk pertumbuhan Acetobacter berada pada kisaran
27-30°C. Di luar suhu ini pertumbuhan Acetobacter menjadi lembat, atau
bahkan bisa tidak aktif (mati).

B. Minyak Perawan (VCO)


Proses pembuatan minyak perawan (VCO) adalah sebagai berikut :

Daging kelapa
215
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

Diparut

Diperas untuk diambil santan

Disentrifuge

Diuapkan

Disaring vacuum

Minyak Perawan
(VCO)

Gambar 2. Bagan Alir Proses Produksi Minyak Perawan (VCO)

6. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis kelayakan teknis dan ekonomi maka mata
pencaharian alternative berbasis kelapa yang layak dikembangkan di 6 desa sasaran
adalah pengolahan natadecoco dan pembuatan minyak kelapa murni. Karena
sumber daya manusia di 6 desa sasaran masih rendah maka diperlukan pelatihan
teknis dan pendampingan dari ahli pemasaran untuk menjual produk-produk yang
dihasilkan.

216
_____________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2008) 16 (2) 458 - 473

6.2. Saran
Untuk mengoptimalkan hasil usaha MPA maka disarankan masyarakat
membentuk kelompok bersama sehingga pemanfaatan dana dan peralatan dapat
lebih efesien dan efektif.

DAFTAR LITERATUR

Bengen, D.G. 2002. Analisis Ekosistem Pesisir. PKSPL. Bogor


Carter, J.A. 1996. Introductory Courseon Integrated Coastal Zone Management.
Eviromental Studies Centres and Development in Indonesia Project.
Dahousee University.
BPS Kabupaten Nias. 2004. Kecamatan Pulau – pulau Batu Dalam Angka.
Mannik. H. 2000. Ecology of Coastal Waters, Blackwell Scientific, Inc. Massachu
Ssetts.
Rindengan, B dan Novarianto, H. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak
Kelapa Murni. Penebar Swadaya.
Sutarminingsih, C.L. 2004. Peluang Usaha Nata de Coco. Penerbit Kanisius.

217
_____________
ISSN 0853 - 0203

Anda mungkin juga menyukai