Anda di halaman 1dari 13

PREVALENSI KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH)

PADA SISWA SDN I KROMENGAN KABUPATEN MALANG

Ayuria Andini, Endang Suarsini, Sofia Ery Rahayu


Universitas Negeri Malang
Email: ayuriaandini@gmail.com

ABSTRAK: Desa Kromengan memiliki beberapa sungai yang digunakan


sebagai sarana MCK, beberapa masyarakat memiliki kebiasaan defekasi di
tanah. Siswa SDN I Kromengan memiliki kesenangan bermain tanah dan
menyebabkan kuku jari tangan kotor dan belum adanya sarana mencuci
tangan membuat siswa cenderung tidak mencuci tangan sebelum makan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif yang bertujuan
untuk mengetahui jenis telur STH dan prevalensi kecacingan STH pada
siswa SDN I Kromengan. Sampel dalam penelitian ini yaitu telur STH
yang ditemukan di kuku jari tangan 48 siswa kelas I-VI SDN I Kromengan.
Larutan rendaman kuku kemudian disentrifugasi dan diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 40x10. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi
kecacingan STH pada siswa SDN I Kromengan adalah sebesar 48% yaitu
kategori sedang dengan rincian Ascaris lumbricoides sebesar 37,5%
(kategori sedang) dan Trichuris trichiura 17% (kategori rendah).

Kata kunci: Soil Transmitted Helminths, kecacingan, prevalensi

Desa Kromengan terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur yang


berjarak ±30 km dari pusat kota. Desa Kromengan memiliki beberapa sungai yang
masih aktif digunakan sebagian penduduknya sebagai sarana mandi, cuci, kakus
(MCK). Salah satu sumber air di Desa Kromengan telah digunakan sebagai
sumber air utama masyarakat yang dialirkan melalui pipa sederhana namun
penggunaan sumber air ini belum optimal dan sering mengalami kemacetan
sehingga penduduk akan beralih menggunakan air sungai guna memenuhi
kebutuhan air sehari-hari apabila terjadi kemacetan sumber air. Selain itu, terdapat
kebiasaan beberapa masyarakat yang buang air besar di tanah (kebun). Hal
tersebut dapat memperbesar kemungkinan penularan STH di Desa Kromengan.
SDN I Kromengan adalah sekolah dasar yang berdiri di Desa Kromengan dan
menerima sebagian besar murid yang berdomisili di Desa Kromengan. Para siswa
SDN I Kromengan memiliki kebiasaan membeli jajanan dari penjual makanan
kecil yang menjajakan dagangannya di depan sekolah yang berada tepat di
hadapan jalan raya. Sebagian besar makanan yang dijualbelikan tidak memiliki

1
penutup dan kemungkinan besar tercemar oleh debu yang dapat saja mengandung
telur STH.
Siswa SDN I Kromengan sebagaimana siswa SD pada umumnya memiliki
kesenangan bermain tanah dan menyebabkan kuku jari tangan kotor, belum
adanya sarana mencuci tangan membuat siswa cenderung tidak mencuci tangan
sebelum makan sehingga dapat menyebabkan tertelannya telur STH. Telur infektif
yang tersimpan di dalam kuku jari tangan berpotensi untuk tertelan dan
menyebabkan seseorang terinfeksi cacingan.
Cacingan atau kecacingan adalah salah satu jenis penyakit infeksi yang
disebabkan oleh hewan parasit yaitu cacing. Berdasarkan hasil survei Departemen
Kesehatan (2010) cacing parasit yang banyak menyerang anak-anak Indonesia
adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, dan
Trichuris trichiura. Keempatnya merupakan nematoda usus yang cara
penularannya melalui tanah sehingga disebut dengan Soil Transmitted Helminths
(STH) (Kurniawan, 2010). Infeksi cacingan yang disebabkan oleh Soil
Transmitted Helminths (STH) merupakan masalah kesehatan masyarakat
Indonesia.
Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit kecacingan di Indonesia
secara nasional dimulai tahun 1975. Menurut Kementrian Kesehatan 2000 pada
Pelita V tahun (1989–1994) dan Pelita VI tahun (1994–1999), Program
Pemberantasan Penyakit Cacing lebih ditingkatkan prioritasnya pada anak-anak
karena faktor peningkatan perkembangan dan kualitas hidup mereka. Anak-anak
merupakan penderita infeksi cacing tertinggi karena kebiasaan bermain tanah dan
tidak menggunakan alas kaki ketika bermain. Penularan STH dapat terjadi pada
saat anak-anak bermain tanah sehingga cacing dapat melakukan penetrasi melalui
kulit maupun telur cacing yang tertinggal dalam kuku jari tangan dan akhirnya
tertelan akibat kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan.
Kecenderungan peningkatan prevalensi kecacingan terjadi dalam dekade
terakhir. Penelitian Manggara (2005) mempresentasikan 24,3% murid SD di
daerah kumuh Jakarta terinfeksi askariasis sebesar 87,6%. Rahayu (2006)
menyatakan bahwa prevalensi Ascaris lumbricoides pada kuku jari tangan siswa
SD di Kota Malang adalah sebesar 65,22% dan prevalensi Trichuris trichiura

2
adalah sebesar 11,59%. Demikian juga Mardiana yang melakukan penelitian
terhadap anak SD di Jakarta didapatkan prevalensi askariasis sebesar 70-80% dan
penderita trikuriasis 25,3-68,4% (Djarismawati, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecacingan pada anak Sekolah
Dasar di dua kelurahan di Kota Palu adalah 31,6% dan jenis cacing yang paling
dominan menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides (Chadijah et al, 2014).
Prevalensi Nematoda usus golongan STH pada peternak di Lingkungan Gatep
Kelurahan Ampenan Selatan adalah sebesar 90,00 %, dengan rincian Ascaris
lumbricoides sebanyak 80,00 %, Trichuris trichiura 6,67 % dan cacing tambang
3,33% (Resnhaleksmana, 2014). Latar belakang tersebut mendasari penulis untuk
melakukan penelitian Prevalensi Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH)
pada Siswa SDN I Kromengan Kabupaten Malang.

METODE
Pengambilan kuku jari tangan dilakukan di SDN I Kromengan
menggunakan gunting kuku secara manual oleh peneliti. Kuku yang diperoleh
kemudian ditempatkan pada botol plakon berisi NaOH 15% sebanyak 5 ml
kemudian jari tangan dan telapak tangan sampel disapu menggunakan kain kasa
yang telah dibasahi menggunakan aquades steril. Kain kasa yang diperoleh
kemudian diperas dan air perasannya disertakan dalam botol plakon berisi ku
Larutan rendaman kuku kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge
dan diputar dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Cairan supernatan hasil
sentrifugasi dibuang dan sedimen yang berisi spesimen diambil dengan pipet,
kemudian meletakkannya pada kaca benda dan ditutup dengan kaca penutup.
Mengamati preparat menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10.
Pengamatan dilakukan sampai sedimen yang diperoleh habis (Hadijaja, 1990).
Identifikasi telur STH merujuk pada Atlas of Medical Helminthology and
Protozoology (Chiodini, et al, 2003). Mengidentifikasi telur cacing parasit yang
ditemukan berdasar pada ciri khas dindingnya (normal, dekortifikasi, berembrio,
tidak dibuahi). Menghitung semua jenis telur cacing parasit yang ditemukan pada
semua stadium (normal, berembrio, tidak dibuahi,dan dekortifikasi). Bila

3
pemeriksaan dan identifikasi telur belum selesai dilakukan pada hari pertama,
maka sedimen diawetkan dengan larutan fiksatif formalin 5% (Hadijaja, 1990).

HASIL
1. Jenis Telur STH yang ditemukan di Kuku Jari Tangan Siswa SDN I
Kromengan
Berdasarkan pengamatan mikroskopis terhadap 48 sampel kuku tangan
siswa SDN I Kromengan diketahui bahwa telur yang ditemukan yaitu telur
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura.Keadaan telur yang ditemukan
ditabulasikan ke dalam Tabel 1.1.

Kode Foto (Perbesaran 40x10) Gambar Telur Ciri Telur


No. Spesies
(1) (2) (3) (4) (5)
Telur normal
a. Telur berbentuk
tempayan
b. Terdapat operkulum
berwarna jernih di
1 Sp. 1 kedua kutub
c. Bagian luar telur
jernih
d. Bagian dalam telur
(protoplasma)
berwarna coklat

Telur dekortifikasi
a. Telur berbentuk
oval
b.Tepi telur rata dan
tidak terdapat
2 Sp. 2 lapisan albuminoid
c. Terdapat lapisan
hialin jernih yang
tipis
d. Bagian dalam telur
berwarna coklat

4
Lanjutan Tabel 1.1

(1) (2) (3) (4) (5)

Telur dekortifikasi
a. Telur berbentuk oval
b. Tepi telur rata dan
tidak memiliki
Sp. lapisan albuminoid
3. 3 c. Tepi telur jernih
d. Bagian dalam
(protoplasma) telur
berwarna coklat

Telur dekortifikasi
a. Telur berbentuk oval
b. Tepi telur rata dan
tidak memiliki
Sp. lapisan albuminoid
4. 4 a. Bagian dalam
(protoplasma) telur
berwarna coklat

Telur dekortifikasi
a. Telur berbentuk
oval
b. Tepi telur rata dan
Sp. tidak terdapat
5 lapisan albuminoid
5. c. Bagian dalam
(protoplasma) telur
berwarna coklat

Telur normal
a. Telur berbentuk
oval
b. Terdapat lapisan
albuminoid pada
Sp. bagian paling tepi
6. 6 c. Terdapat lapisan
hialin tipis di bawah
lapisan albuminoid
d. Bagian dalam telur
(protoplasma)
berwarna coklat.

5
Lanjutan Tabel 1.1

(1) (2) (3) (4) (5)

Telur dekortifikasi
a. Telur berbentuk
oval
b. Tepi telur rata
tanpa albuminoid
7. Sp. 7 c. Bagian dalam
telur
(protoplasma)
berwarna coklat

Telur berembrio
a. Telur
berbentuk
oval
b. Tepi telur
beralur
(lapisan
8. Sp. 8 albuminoid)
c. Bagian dalam
telur
(protoplasma)
berwarna
coklat
d. Terdapat larva
di bagian
dalam telur

2. Prevalensi Kecacingan STH pada Siswa SDN I Kromengan


Angka prevalensi siswa per kelas SDN I Kromengan yang positif
mengandung telur STH pada kuku jari tangannya ditabulasikan ke dalam Tabel
1.2.

6
Tabel 1.2 Prevalensi Siswa yang Positif Terinfeksi Telur STH

Jumlah Positif
Kelas Prevalensi
Siswa Terinfeksi STH
I 8 6 75%
II 8 5 61,25%
III 8 5 61,25%
IV 8 3 37,25%
V 8 2 25%
VI 8 2 25%
Jumlah 48 23 48%

Prevalensi siswa per kelas yang positif mengandung telur cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura di antara siswa yang positif mengandung
telur STH pada kuku jari tangannya ditampilkan dalam Tabel 1.3 berikut.

Tabel 1.3 Prevalensi Kecacingan A. lumbricoides dan T. trichiura pada Siswa

SDN I Kromengan

Positif Terinfeksi
Kelas Jumlah Siswa
Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura

I 8 5 2
II 8 4 1
III 8 4 2
IV 8 2 1
V 8 2 1
VI 8 1 1
Jumlah 48 18 8
Prevalensi 37,5% 17%

Tabel data 4.4 menunjukkan prevalensi telur STH yang paling dominan
adalah telur Ascaris lumbricoides dengan prevalensi 37,5% yang termasuk ke

7
dalam kategori sedang dan disusul dengan telur Trichuris trichiura sebesar 17%
yang termasuk dalam kategori rendah.

PEMBAHASAN
A. Pengaruh Perlakuan terhadap Hen Day Production (HDP)
Berdasarkan pengamatan mikroskopis yang telah dilakukan pada 48
sampel kuku jari tangan siswa SDN I Kromengan ditemukan 2 jenis telur cacing
STH yaitu telur Ascaris lumbricoides dan telur Trichuris trichiura. Telur Ascaris
lumbricoides ditemukan sebanyak 69 buah dalam keadaan normal, 1 telur dalam
keadaan berembrio dan 1 telur dekortifikasi serta 26 telur Trichuris trichiura
dalam keadaan normal. Telur Ascaris lumbricoides ditemukan paling banyak
dalam penelitian ini karena didukung oleh faktor internal yaitu morfologi telur
yang memiliki 3 lapisan. Bagian terluar telur adalah lapisan albuminoid yang
berbenjol-benjol kasar yang berfungsi sebagai pelindung. Struktur albuminoid
yang kasar akan melindungi telur dari keadaan lingkungan sehingga kondisi telur
dapat bertahan dan tidak mudah rusak.Telur Ascaris lumbricoides mempunyai
kulit hialin yang tebal sedangkan pada lapisan ketiga terdapat vitelin yang tipis
dan berfungsi untuk melindungi isi telur (Brown, 1983). Lapisan albuminoid juga
memiliki sifat lengket sehingga mudah melekat pada kulit tubuh saat kulit
bersinggunangan dengan tanah yang menjadi media perantara penularan telur.
Kontaminasi oleh Ascaris lumbricoides biasanya akan diikuti oleh kontaminasi
Trichuris trichiura. Hal ini disebabkan Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura memiliki pola perkembangan yang hampir sama, yaitu memiliki
kemiripan waktu perkembangan di tanah (Samad, 2009). Telur Ascaris
lumbricoides memerlukan waktu pematangan di tanah selama 18 hari untuk
menjadi infektif dan telur Trichuris trichiura yang keluar melalui tinja menjadi
infektif dalam waktu 10-14 hari (Beaver et al, 1984).
Telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura membutuhkan kisaran suhu
yang hampir sama untuk dapat menjadi infektif. Ascaris lumbricoides akan
berkembang dengan baik pada kisaran suhu 25-30oC sedangkan Trichuris
trichiura membutuhkan suhu optimum sebesar 30oC untuk menjadi infektif. Desa
Kromengan memiliki suhu sekitar 23-25oC sehingga sesuai dengan kisaran suhu

8
yang dibutuhkan Ascaris lumbricoides untuk menjadi infektif tetapi terlalu rendah
untuk proses pematangan telur Trichuris trichiura. Tidak ditemukannya telur
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus karena telur tumbuh dan
berkembang di tanah berpasir yang lembab dalam waktu cepat, yaitu telur
berkembang menjadi embrio dalam waktu 24-48 jam pada suhu 23 sampai 30°C.
Daur hidup cacing tambang setelah keluar dari feses yaitu 1-1,5 hari dalam tanah,
telur menetas menjadi larva rabditiform, dalam 3 hari larva tumbuh menjadi larva
filariform yang dapat menembus kulit(Choidini et al, 2001). Waktu
perkembangan tersebut terlalu cepat dibandingkan dengan telur spesies STH lain
sehingga sulit menemukan telur Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.
Berdasarkan angka prevalensi telur STH per kelas diketahui bahwa kelas I
memiliki angka prevalensi tertinggi yaitu 75% dan secara berturut-turut diikuti
jenjang kelas selanjutnya yaitu kelas II dengan angka prevalensi 61,25%, kelas III
61,25%, kelas IV 37,25%, kelas V 25% dan kelas VI 25%. Hasil tersebut senada
dengan penelitian yang dilakukan oleh Eryani et al, 2014 yang menunjukkan
bahwa angka prevalensi STH tertinggi terjadi pada kelas I yaitu sebesar 11,34%.
Tingginya angka prevalensi pada siswa kelas I disebabkan oleh aktivitas bermain
tanah yang tinggi (Eryani et al, 2014). Semakin tinggi jenjang kelas, angka
prevalensi menjadi semakin kecil. Hal ini disebabkan aktivitas bermain tanah
siswa kelas IV, V dan VI sudah semakin berkurang.
Hal ini disebabkan kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih
rendah sehingga anak-anak lebih mudah terinfeksi oleh telur cacing Ascaris
lumbricoides (Brown dan Harold, 1983).Kesadaran siswa kelas I, II dan III akan
kebersihan diri yang rendah dan mengabaikan masalah kebersihan seperti mencuci
tangan sebelum makan, setelah bermain maupun berolahraga. Hasil tersebut
didukung oleh kegiatan siswa yang diamati oleh peneliti saat proses pengambilan
kuku jari tangan, siswa kelas IV, V dan VI cenderung menghabiskan waktu
istirahat di dalam kelas sedangkan siswa kelas I, II dan III menghabiskan waktu
istirahat untuk membeli jajanan di depan sekolah dan bermain di halaman sekolah
sehingga memperbesar kemungkinan siswa kelas I, II dan III tertular telur STH.
Berdasarkan data yang telah diperoleh diketahui bahwa telur Ascaris
lumbricoides memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 37,5% dan termasuk

9
dalam kriteria sedang (WHO, 2002; Kementerian RI, 2012). Tingginya angka
prevalensi Ascaris lumbricoides senada dengan penelitian Rahayu (2006) di Kota
Malang yang menyebutkan bahwa Ascaris lumbricoides merupakan jenis STH
yang paling tinggi ditemukan pada kuku siswa yaitu sebesar 65,22%. Prevalensi
tinggi telur Ascaris lumbricoides juga dinyatakan dalam penelitian oleh Gusrianti
(2001) yang menunjukkan angka prevalensi telur Ascaris lumbricoides sebesar
24%. Wintoko (2014) menyatakan bahwa prevalensi Ascaris lumbricoides pada
kuku jari tangan siswa salah satu SD di Bandar Lampung adalah sebesar 88,2%.
Angka prevalensi Trichuris trichiura lebih rendah dibandingkan dengan Ascaris
lumbricoides yakni sebesar 17% dan termasuk ke dalam kriteria rendah (WHO,
2002; Kementerian RI, 2012). Hal ini senada dengan penelitian Rahayu (2006)
yang menyebutkan prevalensi telur Trichuris trichiura adalah sebesar 11,59%.
Hal ini dapat disebabkan oleh faktor internal berupa struktur morfologi telur
Ascaris lumbricoides yang lebih kompleks dibandingkan dengan struktur
morfologi telur Trichuris trichiura. Lapisan terluar telur Ascaris lumbricoides
memiliki bentuk beralur dan berbenjol-benjol yang berfungsi untuk melawan
rintangan ketika berada di lingkungan sedangkan telur Trichuris trichiura tidak
memiliki struktur albuminoid sehingga adaptasinya terhadap lingkungan lebih
rendah.
Faktor lain yang memengaruhi angka prevalensi Ascaris lumbricoides
yang lebih tinggi yaitu daya tahan telur Ascaris lumbricoides terhadap suhu panas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur Trichuris trichiura. Telur Trichuris
trichiura akan mati pada suhu 40-80ᵒC sedangkan telur Ascaris lumbricoides
tidak (Jeffery and Leach, 1983). Keadaan ini juga didukung oleh jumlah telur
yang dihasilkan oleh Trichuris trichiura lebih sedikit dibandingkan jumlah telur
yang dihasilkan oleh Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides dapat
menghasilkan telur sebanyak 200.000 telur perhari sedangkan Trichuris trichiura
hanya menghasilkan 5000 telur perhari.
Infeksi pada kuku jari tangan siswa SDN I Kromengan tersebut juga
disebabkan faktor kebersihan diri siswa yang terbiasa membeli jajanan yang
dijajakan di depan sekolah. Jajanan yang dijual belikan sebagian besar tidak
berpenutup sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi debu yang

10
mengandung telur STH. Perilaku tidak mencuci tangan sebelum makan juga dapat
memperbesar kemungkinan terinfeksinya siswa SDN I Kromengan oleh telur STH
akibat telur yang menempel pada kuku jari tangan ikut tertelan. Hal ini juga
didukung oleh faktor eksternal yaitu belum adanya sarana mencuci tangan di SDN
I Kromengan. Faktor lingkungan Desa Kromengan yang memiliki area tanah
terbuka yang masih luas dapat mendukung keberadaan telur Ascaris lumbricoides
dan Trichuris trichiura (Sutanto et al, 2008). Desa Kromengan memiliki beberapa
sungai yang masih aktif digunakan sebagai MCK, beberapa masyarakat juga
masih melakukan defekasi di tanah (kebun). Gaya hidup tersebut dapat
memperbesar kejadian telur STH menular dan menginfeksi masyarakat.
Prevalensi Ascariasis di daerah pedesaan juga lebih tinggi karena buruknya sistem
sanitasi lingkungan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi
dan larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat
yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah sehingga memiliki kebiasaan
buang air besar (defekasi) di tanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi
dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi
reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold, 1983).

PENUTUP
Kesimpulan
Jenis telur STH yang ditemukan pada kuku jari tangan siswa SDN I
Kromengan adalah telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Prevalensi
kecacingan STH pada siswa SDN I Kromengan adalah 48% termasuk kategori
sedang dengan rincian prevalensi Ascaris lumbricoides sebesar 37% dengan
kategori sedang dan Trichuris trichiurasebesar 17% dengan kategori rendah serta
urutan prevalensi tertinggi hingga terendah yaitu kelas I: 75%, kelas II: 61,25%,
kelas III: 61,25%, kelas IV: 37,25%, kelas V: 25%, dan kelas VI: 25%.
Saran
1. Peneliti perlu memberikan media edukasi berupa poster kepada SDN I
Kromengan guna memahamkan siswa mengenai bahaya, penularan dan
pencegahan infeksi cacing STH

11
2. Pihak sekolah perlu memberikan pembinaan kebersihan diri dan difokuskan
kepada siswa kelas I, II, dan III.
3. Pihak sekolah perlu mengadakan sarana mencuci tangan dan toilet yang terjaga
sanitasinya guna mengurangi kemungkinan penularan cacing STH.
DAFTAR RUJUKAN
Beaver, P.C., Jung, R.C., Cupp, E.W. (Eds) 1984. Helminths and Helmintic
Infections.in: Clininal Parasitology 9th edition. Philadelphi: Lea &
Febiger

Brown and Harold. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: Gramedia.

Chadijah,S., Sumolang, P., Veridiana, N. 2014. Hubungan Pengetahuan, Perilaku,


dan Sanitasi Lingkungan dengan Angka Kecacingan pada Anak Sekolah
Dasar di Kota Palu. Media Litbangkes. 24(1):50-56.

Chiodini, P.L., Manser, D.W., Moody, A.H., 2001. Atlas of Medical


Helminthology and Protozoology. Toronto: Elsevier Science Publishing.

Djarismawati, M. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib
Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah
Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 7(2):769–74.

Eryani, D., Fitriangga, A., Kahtan, M.I. 2014. Hubungan Personal Hygiene
dengan Kontaminasi Telur Soil Transmitted Helminths pada Kuku dan
Tangan Siswa SDN 07 Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak.
Universitas Tanjungpura: Fakultas Kedokteran.

Hadijaja, P. 1990. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FK


UI.

Jeffrey H.C., Leach, R.M. 1983. Atlas Helmintologi dan Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: EGC.

Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pengendalian Kecacingan.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Rahayu, S. E. 2006. Keberadaan Telur Cacing Parasit pada Siswa SD di sekitar


Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadu Kota Malang dan
Perumahan di IPAL Terpadu. Jurnal Penelitian Hayati.11:105-112.

Samad, H. 2009. Hubungan Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing
yang ditularkan melalui Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di
Kelurahan Tembung Kecamatan Medan, Tembung. Tesis tidak diterbitkan.
Universitas Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat.

12
Sutanto, I., Suhariah, I., Pudji, K., Saleha, S. 2008. Parasitologi Kedokteran, Edisi
IV. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.

13

Anda mungkin juga menyukai