Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkatNya-lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Konsep
Asuhan Keperawatan Dermatitis Alergi” tepat pada waktunya.
Makalah ini dapat diselesaikan bukanlah semata-mata usaha penulis sendiri,
melainkan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini
saya selaku penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah
membantu baik bantuan secara fisik maupun batin yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini ini. Akhir kata, semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
COVER............................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR......................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
1.1 Latar belakang........................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah..................................................................................................................5
1.3 Tujuan penulisan....................................................................................................................5
1.4 Manfaat penulisan..................................................................................................................6
BAB II.............................................................................................................................................7
2.1 Konsep penyakit.....................................................................................................................7
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................................................19
BAB III..........................................................................................................................................36
3.1 Simpulan..............................................................................................................................36
3.2 Saran.....................................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................38
BAB I
3
PENDAHULUAN
4
jumlah penderita dermatitis kontak alergi selama periode Januari-Desember 2013 di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sebanyak 41 pasien.
Kelompok paling banyak terkena dermatitis kontak alergi adalah orang dewasa pada umur
45-64 tahun sebanyak 18 orang (43%). Jenis kelamin yang terbanyak pada penderita
dermatitis kontak alergi adalah perempuan sebanyak 27 pasien (66%). Pekerjaan terbanyak
pada penderita dermatitis kontak alergi adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) 14 pasien (34%).
Lokasi yang tersering pada penderita dermatitis kontak alergi adalah badan sebanyak 12
pasien (29,2%). Penyebab tersering pada penderita dermatitis kontak alergi adalah bahan
kimia sebanyak 20 pasien (48,8%). Jenis obat/terapi yang paling sering digunakan pada
pasien dermatitis kontak alergi adalah terapi obat antihitamin + kortikosteroid 25 pasien
(61%). Jumlah penderita penyakit DKA pada tahun 2013 mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2012.
Berdasarkan data diatas, penulis tertarik untuk membahas tentang konsep penyakit
maupun konsep asuhan dasar keperawatan pada pasien dengan dermatitis kontak alergi.
1. Mahasiswa memahami konsep dan proses keperawatan pada klien dengan dermatitis
sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah sistem imun hematologi.
2. Mahasiswa mengetahui proses keperawatan yang benar sehingga dapat menjadi bekal
dalam persiapan praktik di rumah sakit.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik (DKA) adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia sederhana dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum
6
korneum. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan kelembaban
lingkungan, vehikulum, dan pH. Faktor individu juga ikut berperan, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (utuh, terluka, kering, tebal epidermis bergantung
pada lokasinya) dan status imunologik (sedang sakit, atau terpajan matahari).
C. Manifestasi klinis
1. Fase akut.
7
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak dengan
bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan
ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan edema,
sedang pada yang berat selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula
vesikel atau bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung
menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal.
Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada maka
proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan terlihat eritema,
edema ringan, vesikula, krusta dan pembentukan papul-papul.
3. Fase Kronis
Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut yang
hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris,
batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula
bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun
bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan
oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.
1. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik. spons
(karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen). nikel (tangkai kaca mata),
8
jenggot, obat cukur, semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai
muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstick (zat pewarna), pasta gigi (chloride),
permen karet, getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan
oleh cat kuku, cat rambut, maskara, eye shadow, obat tetes mata. salap mata, hair
spray.
2. Leher
Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari), parfum,
alergen di udara. zat warna pakaian, kosmetik, syal (zat warna), obat topikal.
3. Genitalia
4. Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna pakaian,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian Tangan. Kejadian derrnatitis kontak baik iritan maupun alergik
paling sering di tangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang
paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit
akibat kerja, sepertiga atau lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan
riwayat atopi pada penderita. Pada pekerjaan yang basah (“Wet work”),
misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut di salon, angka
kejadian dermatitis tangan lebih tinggi.
9
Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak sekali faktor yang
berperan di samping atopi. Contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis
tangan. misalnya deterjen, antiseptic, getah sayuran, semen, dan pestisida.
Alergen pada lengan umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam
tangan (nikel), sarung tangan karet, debu, semen, dan tanaman. Di ketiak dapat
disebabkan oleh deodoran, antiperspiran, formaldehid yang ada di pakaian.
6. Telinga
Anting atau jepit telinga dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada telinga.
Penyebab lain misalnya obat topical, tangkai kaca mata, cat rambut, hearing-
aids, gagang telepon.
Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel),
kaos kaki nilon, uang logam, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat
disebabkan oleh deterjen. bahan pembersih lantai, alas kaki, obat topikal.
Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu alergen,
selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi terbatas pada
tempat tersebut. Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat meluas bahkan sampai
eritroderma. Penyebabnya, misalnya nikel, forrnaldehid. balsam Peru (pewangi
kosmetika).
D. Patofisiologi
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang
menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :
1. Fase Sensitisasi
10
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi
sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang
disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit
selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau
endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan
kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten
protein.
Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan
produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen
(antigen presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke
parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada
molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi
sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3
yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal
antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja.
Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah
terjadi pengenalan antigen (antigen recognition).
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1)
yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan
mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang
akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki
fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada
manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada
saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk
mengalami dermatitis kontak alergik.
2. Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen
yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen
dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk
mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1
dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta
11
sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk
melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema,
edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme
yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel
Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2)
oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan
produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu
sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi
setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul
CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B
dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan
peradangan.
E. Pemeriksaan penunjang
Alergi kontak dapat dibuktikan dengan tes in vivo dan tes in vitro. Tes in vivo dapat
dilakukan dengan uji tempel. Berdasarkan tehnik pelaksanaannya dibagi tiga jenis tes
tempel yaitu :
1.Tes Tempel Terbuka
Pada uji terbuka bahan yang dicurigai ditempelkan pada daerah belakang telinga
karena daerah tersebut sukar dihapus selama 24 jam. Setelah itu dibaca dan dievaluasi
hasilnya. Indikasi uji tempel terbuka adalah alergen yang menguap.
2.Tes Tempel Tertutup
Untuk uji tertutup diperlukan Unit Uji Tempel yang berbentuk semacam plester yang
pada bagian tengahnya terdapat lokasi dimana bahan tersebut diletakkan. Bahan yang
dicurigai ditempelkan dipunggung atau lengan atas penderita selama 48 jam setelah
itu hasilnya dievaluasi.
3.Tes tempel dengan Sinar
Uji tempel sinar dilakukan untuk bahan-bahan yang bersifat sebagai fotosensitisir
yaitu bahan-bahan yang bersifat sebagai fotosensitisir yaitu bahan yang dengan sinar
ultra violet baru akan bersifat sebagai alergen. Tehnik sama dengan uji tempel
tertutup, hanya dilakukan secara duplo. Dua baris dimana satu baris bersifat sebagai
kontrol. Setelah 24 jam ditempelkan pada kulit salah satu baris dibuka dan disinari
12
dengan sinar ultraviolet dan 24 jam berikutnya dievaluasi hasilnya. Untuk
menghindari efek daripada sinar, maka punggung atau bahan test tersebut dilindungi
dengan secarik kain hitam atau plester hitam agar sinar tidak bisa menembus bahan
tersebut.
Untuk dapat melaksanakan uji tempel ini sebaiknya penderita sudah dalam keadaan
tenang penyakitnya, karena bila masih dalam keadaan akut kemungkinan salah satu
bahan uji tempel merupakan penyebab dermatitis sehingga akan menjadi lebih berat.
Tidak perlu sembuh tapi dalam keadaan tenang. Disamping itu berbagai macam obat
dapat mempengaruhi uji tempel sebaiknya juga dihindari paling tidak 24 jam sebelum
melakukan uji tempel misalnya obat antihistamin dan kortikosteroid.
Dalam melaksanakan uji tempel diperlukan bahan standar yang umumnya telah
disediakan oleh International Contact dermatitis risert group, unit uji tempel dan
penderita maka dengan mudah dilihat perubahan pada kulit penderita. Untuk
mengambil kesimpulan dari hasil yang didapat dari penderita diperlukan keterampilan
khusus karena bila gegabah mungkin akan merugikan penderita sendiri. Kadang-
kadang hasil ini merupakan vonis penderita dimana misalnya hasilnya positif maka
penderita diminta untuk menghindari bahan itu. Penderita harus hidup dengan
menghindari ini itu, tidak boleh ini dan itu sehingga berdampak negatif dan penderita
dapat jatuh ke dalam neurosis misalnya. Karenanya dalam mengevaluasi hasil uji
tempel dilakukan oleh seorang yang sudah mendapat latihan dan berpengalaman di
bidang itu.
Tes in vitro menggunakan transformasi limfosit atau inhibisi migrasi makrofag untuk
pengukuran dermatitis kontak alergik pada manusia dan hewan. Namun hal tersebut
belum standar dan secara klinis belum bernilai diagnosis.
F. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksanaan dermatitis kontak alergik yang baik adalah
mengidentifikasi penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, terapi
individual yang sesuai dengan tahap penyakitnya dan perlindungan pada kulit.
1. Pencegahan
Merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan dermatitis kontak iritan
dan kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa hal dapat dilaksanakan
13
misalnya penggunaan sarung tangan karet di ganti dengan sarung tangan plastik,
menggunakan mesin cuci, sikat bergagang panjang, penggunaan deterjen.
2. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan dapat berupa pengobatan topikal dan sistemik.
a. Pengobatan topical
Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum
pengobatan dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres terbuka),
bila kering berikan terapi kering. Makin akut penyakit, makin rendah
prosentase bahan aktif. Bila akut berikan kompres, bila subakut diberi losio,
pasta, krim atau linimentum (pasta pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila
basah berikan kompres, bila kering superfisial diberi bedak, bedak kocok,
krim atau pasta, bila kering di dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal saja
dapat diberikan pada kasus-kasus ringan. Jenis-jenisnya adalah :
1) Kortikosteroid. Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam
sistem imun. Pemberian topikal akan menghambat reaksi aferen dan
eferen dari dermatitis kontak alergik. Steroid menghambat aktivasi dan
proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan karena efek
langsung pada sel penyaji antigen dan sel T. Pemberian steroid topikal
pada kulit menyebabkan hilangnya molekul CD1 dan HLA-DR sel
Langerhans, sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi penyaji
antigennya. Juga menghalangi pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan
demikian profilerasi sel T dihambat. Efek imunomodulator ini
meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses dermatitis kontak
dengan demikian efek terapetik. Jenis yang dapat diberikan adalah
hidrokortison 2,5 %, halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara
pemakaian topikal dengan menggosok secara lembut. Untuk
meningkatan penetrasi obat dan mempercepat penyembuhan, dapat
dilakukan secara tertutup dengan film plastik selama 6-10 jam setiap
hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek samping berupa potensiasi,
atrofi kulit dan erupsi akneiformis.
2) Radiasi ultraviolet. Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik
dalam dermatitis kontak melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di
14
kulit mengakibatkan hilangnya fungsi sel Langerhans dan
menginduksi timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum
tulang yang dapat mengaktivasi sel T supresor. Paparan ultraviolet di
kulit mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans
(CDI dan HLA-DR), sehingga menghilangkan fungsi penyaji
antigennya. Kombinasi 8-methoxy-psoralen dan UVA (PUVA) dapat
menekan reaksi peradangan dan imunitis. Secara imunologis dan
histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis, menurunkan
jumlah sel Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi
mononuklear. Fase induksi dan elisitasi dapat diblok oleh UVB.
Melalui mekanisme yang diperantarai TNF maka jumlah HLA- DR +
dari sel Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan sel
Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi
ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans.
3) Siklosporin A. Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi
dari hipersensitivitas kontak pada marmut percobaan, tapi pada
manusia hanya memberikan efek minimal, mungkin disebabkan oleh
kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis atau dermis.
4) Antibiotika dan antimikotika. Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S.
aureus, S. beta dan alfa hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp.
Pada keadaan superinfeksi tersebut dapat diberikan antibiotika
(misalnya gentamisin) dan antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam
bentuk topikal.
5) Imunosupresif topical. Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif
adalah FK 506 (Tacrolimus) dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja
dengan menghambat proliferasi sel T melalui penurunan sekresi
sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap
sitokin eksogen lain. Hal ini akan mengurangi peradangan kulit dengan
tidak menimbulkan atrofi kulit dan efek samping sistemik. SDZ ASM
981 merupakan derivat askomisin makrolatum yang berefek anti
inflamasi yang tinggi. Pada konsentrasi 0,1% potensinya sebanding
15
dengan kortikosteroid klobetasol-17-propionat 0,05% dan pada
konsentrasi 1% sebanding dengan betametason 17-valerat 0,1%,
namun tidak menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang diajurkan
adalah 1%. Efek anti peradangan tidak mengganggu respon imun
sistemik dan penggunaan secara topikal sama efektifnya dengan
pemakaian secara oral.
b. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema,
juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik. Jenis-
jenisnya adalah :
1) Antihistamin. Maksud pemberian antihistamin adalah untuk
memperoleh efek sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium
permulaan tidak terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang
berpendapat dengan adanya reaksi antigen-antobodi terdapat
pembebasan histamin, serotonin, SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.
2) Kortikosteroid. Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara
peroral, intramuskular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison
dan prednisolon. Steroid lain lebih mahal dan memiliki kekurangan
karena berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam waktu singkat maka
efek sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada penderita
ulkus peptikum, diabetes dan hipertensi. Efek sampingnya terutama
pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan perubahan
dari insomnia hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan
menghambat proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1 dan HLA-
DR pada sel Langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit T
dan menghambat sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.
3) Siklosporin. Mekanisme kerja siklosporin adalah menghambat fungsi
sel T penolong dan menghambat produksi sitokin terutama IL-2, INF-r,
IL-1 dan IL-8. Mengurangi aktivitas sel T, monosit, makrofag dan
keratinosit serta menghambat ekspresi ICAM-1.
4) Pentoksifilin. Bekerja dengan menghambat pembentukan TNF-a, IL-
2R dan ekspresi ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans.
16
Merupakan derivat teobromin yang memiliki efek menghambat
peradangan.
5) FK 506 (Takrolimus). Bekerja dengan menghambat respon imunitas
humoral dan selular. Menghambat sekresi IL-2R, INF-r, TNF-a, GM-
CSF . Mengurangi sintesis leukotrin pada sel mast serta pelepasan
histamin dan serotonin. Dapat juga diberikan secara topikal.
6) Ca++ antagonis. Menghambat fungsi sel penyaji dari sel Langerhans.
Jenisnya seperti nifedipin dan amilorid.
7) Derivat vitamin D3. Menghambat proliferasi sel T dan produksi
sitokin IL-1, IL-2, IL-6 dan INF-r yang merupakan mediator-mediator
poten dari peradangan. Contohnya adalah kalsitriol.
8) SDZ ASM 981. Merupakan derivay askomisin dengan aktifitas anti
inflamasi yang tinggi. Dapat juga diberikan secara topical, pemberian
secara oral lebih baik daripada siklosporin
G. Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah penyebab dermatitis kontak,
kapan terapi mulai dilakukan, apakah pasien sudah menghindari faktor pencetusnya,
terjadinya kontak ulang dan adanya faktor individual seperti atopi. Dengan adanya uji
tempel maka prognosis dermatitis kontak alergik lebih baik daripada dermatitis
kontak iritan dan dermatitis kontak alergi yang akut lebih baik daripada dermatitis
kontak alergi yang kronis yang bersifat kumulatif dan susah disembuhkan. Dermatitis
kontak alergik terhadap bahan-bahan kimia industri yang penggunaannya pada
tempat-tempat tertentu dan tidak terdapat dalam lingkungan di luar jam kerja atau
pada barang-barang milik pribadi, mempunyai prognosis yang buruk, karena bahan-
bahan tersebut terdapat sangat banyak dipakai dalam kehidupan kita sehari-hari.
17
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk
menanggulanginya.
b. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit
kulit lainnya.
c. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
d. Riwayat psikososial
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang
mengalami stress yang berkepanjangan.
e. Riwayat pemakaian obat
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada
kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat
4. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan penanganan kesehatan
Tanyakan kepada klien pendapatnya mengenai kesehatan dan penyakit.
Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau menunggu sampai
penyakit tersebut mengganggu aktivitas pasien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari klien ( pagi, siang
dan malam ).
Tanyakan bagaimana nafsu makan klien, apakah ada mual muntah,
pantangan atau alergi.
Tanyakan apakah klien mengalami gangguan dalam menelan.
Tanyakan apakah klien sering mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-
sayuran yang mengandung vitamin antioksidant
c. Pola eliminasi
Tanyakan bagaimana pola BAK dan BAB, warna dan karakteristiknya.
Berapa kali miksi dalam sehari, karakteristik urin dan defekasi.
Adakah masalah dalam proses miksi dan defekasi, adakah penggunaan
alat bantu untuk miksi dan defekasi.
d. Pola aktivitas/olahraga
Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan pada
kulit.
Kekuatan Otot :Biasanya klien tidak ada masalah dengan kekuatan
ototnya karena yang terganggu adalah kulitnya.
18
Keluhan Beraktivitas : kaji keluhan klien saat beraktivitas.
e. Pola istirahat/tidur
Kebiasaan : tanyakan lama, kebiasaan dan kualitas tidur pasien.
Masalah Pola Tidur : Tanyakan apakah terjadi masalah istirahat/tidur
yang berhubungan dengan gangguan pada kulit.
Bagaimana perasaan klien setelah bangun tidur? Apakah merasa segar
atau tidak?
f. Pola kognitif/persepsi
Kaji status mental klien.
Kaji kemampuan berkomunikasi dan kemampuan klien dalam memahami
sesuatu.
Kaji tingkat anxietas klien berdasarkan ekspresi wajah, nada bicara klien.
Identifikasi penyebab kecemasan klien.
Kaji penglihatan dan pendengaran klien.
Kaji apakah klien mengalami vertigo.
Kaji nyeri : Gejalanya yaitu timbul gatal-gatal atau bercak merah pada
kulit.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Tanyakan pada klien bagaimana klien menggambarkan dirinya sendiri,
apakah kejadian yang menimpa klien mengubah gambaran dirinya.
Tanyakan apa yang menjadi pikiran bagi klien, apakah merasa cemas,
depresi atau takut.
Apakah ada hal yang menjadi pikirannya
h. Pola peran hubungan
Tanyakan apa pekerjaan pasien.
Tanyakan tentang system pendukung dalam kehidupan klien seperti:
pasangan, teman, dll.
Tanyakan apakah ada masalah keluarga berkenaan dengan perawatan
penyakit klien.
i. Pola seksualitas/reproduksi
Tanyakan masalah seksual klien yang berhubungan dengan penyakitnya.
Tanyakan kapan klien mulai menopause dan masalah kesehatan terkait
dengan menopause.
Tanyakan apakah klien mengalami kesulitan/perubahan dalam pemenuhan
kebutuhan seks
j. Pola koping-toleransi stress
Tanyakan dan kaji perhatian utama selama dirawat di RS ( financial atau
perawatan diri ).
19
Kaji keadaan emosi klien sehari-hari dan bagaimana klien mengatasi
kecemasannya (mekanisme koping klien ).
Apakah ada penggunaan obat untuk penghilang stress atau klien sering
berbagi masalahnya dengan orang-orang terdekat.
k. Pola keyakinan nilai
Tanyakan agama klien dan apakah ada pantangan-pantangan dalam
beragama serta seberapa taat klien menjalankan ajaran agamanya. Orang
yang dekat kepada Tuhannya lebih berfikiran positif.
2. Diagnosa
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan bahan kimia iritatif.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan reaksi fisiologis.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
5. Kurang pengetahuan tentang program terapi berhubungan dengan inadekuat
informasi.
3. Intervensi
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelainan pada kulit.
22
12. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi
13. Berikan anaIgetik
untuk mengurangi
nyeri
14. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada
keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
23
pemberian lebih dari
satu
5. Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
6. Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
9. Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala
24
reaksi fisiologis. Setelah dilakukan tidur
tindakan keperawatan 2. Jelaskan pentingnya
selama …. gangguan pola tidur yang adekuat
tidur pasien teratasi 3. Fasilitasi untuk
dengan kriteria hasil: mempertahankan
1. Jumlah jam tidur aktivitas sebelum tidur
dalam batas normal (membaca)
2. Pola tidur,kualitas 4. Ciptakan lingkungan
dalam batas normal yang nyaman
3. Perasaan fresh 5. Kolaborasi pemberian
sesudah obat tidur
tidur/istirahat
4. Mampu
mengidentifikasi
hal-hal yang
meningkatkan tidur
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
4. Mempertahankan penyakit
5. Identifikasi arti
pengurangan melalui
pemakaian alat bantu
6. Fasilitasi kontak
dengan individu lain
dalam kelompok kecil
26
program pengobatan bagaimana hal ini
2. Pasien dan keluarga berhubungan dengan
mampu melaksakan anatomi dan fisiologi,
prosedur yang dengan cara yang
dijelaskan secara tepat.
benar 3. Gambarkan tanda dan
3. Pasien dan keluarga gejala yang biasa
mampu menjelaskan muncul pada penyakit,
kembali apa yang dengan cara yang tepat
dijelaskan 4. Identifikasi
perawat/tim kemungkinan
kesehatan lainnya penyebab, dengan cara
yang tepat
5. Sediakan informasi
pada pasien tentang
kondisi, dengan cara
yang tepat
6. Hindari jaminan yang
kosong
7. Sediakan bagi
keluarga atau SO
informasi tentang
kemajuan pasien
dengan cara yang tepat
8. Diskusikan perubahan
gaya hidup yang
mungkin diperlukan
untuk mencegah
komplikasi dimasa
yang akan datang dan
27
ata proses
pengontrolan penyakit
9. Diskusikan pilihan
terapi atau
penanganan
10. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara
yang tepat atau
diindikasikan
11. Rujuk pasien pada
grup atau agensi di
komunitas local,
dengan cara yang tepat
12. Intruksikan pasien
mengenal tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan
cara yang tepat
3. Evaluasi
Dx 1:
1. Mengungkapkan peningkatan kenyamanan kulit.
2. Berkurangnya derajat pengelupasan kulit, berkurangnya kemerahan,
berkurangnya lecet karena garukan, penyembuhan area kulit yang telah rusak.
Dx 2:
1. Melaporkan nyeri berkurang/ terkontrol.
2. Menunjukkan ekspresi wajah/ postur tubuh rileks.
28
3. Berpartisipasi dalam aktivitas dan tiduratau istirahat dengan tepat.
Dx 3:
1. Mencapai tidur yang nyenyak.
2. Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat.
3. Menghindari konsumsi kafein.
4. Mengenali tindakan untuk meningkatkan tidur.
5. Mengenali pola istirahat/tidur yang memuaskan.
Dx 4:
1. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.
2. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri.
3. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.
4. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri.
5. Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang lebih sehat.
6. Menggunakan teknik penyembunyian kekurangan dan menekankan teknik
untuk meningkatkan penampilan.
Dx 5:
1. Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.
2. Mengikuti terapi dan dapat menjelaskan alasan terapi.
3. Melaksanakan mandi, pembersihan dan balutan basah sesuai program.
4. Menggunakan obat topikal dengan tepat.
5. Memahami pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
29
Dermatitis kontak merupakan bagian dari eksim atau eksema, di mana
kulit bisa menjadi memerah, kering dan pecah-pecah. Dermatitis kontak bisa
terjadi pada kulit di bagian tubuh mana pun, tapi umumnya dermatitis kontak
menyerang kulit tangan dan wajah. Agar pengobatan bisa berjalan sukses,
penderita harus mengidentifikasi dan menghindari penyebab munculnya
dermatitis kontak pada kulit mereka.
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan bergantung pada keparahan
dermatitis. Dermatitis kontak umumnya mempunyai gambaran klinis dermatitis,
yaitu terdapat efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan berbatas tegas.
Dermatitis kontak iritan umunya mempunyai ruam kulit yang lebih bersifat
monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan dermatitis kontak alergik.
Pada prinsipnya penatalaksanaan dermatitis kontak alergik yang baik
adalah mengidentifikasi penyebab dan menyarankan pasien untuk
menghindarinya, terapi individual yang sesuai dengan tahap penyakitnya dan
perlindungan pada kulit.
3.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca, khususnya mahasiswa
keperawatan sebagai calon perawat agar memahami dengan baik konsep dasar
dari dermatitis alergi serta asuhan keperawatan yang dapat dilaksanakan, sehingga
semua tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar praktek. Selain itu penulis
juga berharap agar perawat selalu memperbaharui penelitian yang akan
menambah pengetahuan dan kualitas pelayanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Price, A. Sylvia.2006 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Nanda International. 2015. Diagnose keperawatan : definisi dan klasifikasi 2015-2017 (10th ed).
Jakarta : EGC
30
WOC
31
32