ASFIKSIA
Oleh :
1730912310073
Pembimbing:
dr. Iwan Aflanie, M. Kes., Sp. F., S.H
BANJARMASIN
MEI, 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang melalui
pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu akan tejadi
dengan mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa
menit atau beberapa jam. Dalam kasus tertentu, salah satu kewajiban dokter adalah
membantu penyidik menegakan keadilan. Untuk itu dokter sedapat mungkin membantu
Saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-tanda dan
gejala setelah kematian sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa hal diantarannya
umur, kondisi fisik pasien, penyakit fisik sebelumnya maupun penyebab kematian itu
sendiri.
pernafasan yang mengakibatkan suplai oksigen berkurang. Hal ini sering dikenal dengan
istilah asfiksia, Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter,
hal tersebut menempati urutan ketiga setelah kecelakaan lalu lintas dan traumatik mekanik.
Pada berbagai kasus asfiksia, ditemukan tanda-tanda kematian yang berbeda. Hal ini
sangat tergantung dari penyebab kematian. Untuk itu kita perlu memahami lebih lanjut
I. ASFIKSIA
A. Pengertian
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron yang
B. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan
C. Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi
sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat
jalannya.
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
- Intraselular
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
- Metabolik
D. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
2. Sufokasi
3. Pembengkapan (Smothering)
4. Tenggelam (Drowning)
5. Crush Asphyxia
6. Keracunan CO dan SN
E. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati
pada:
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
F. Gejala Klinis
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat
sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak,
3. Fase Apnea
pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan
terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja
secara mendadak.
4. Fase Akhir
berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4 menit,
tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
G. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat
dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari
pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
Tardieu’s spot
Bintik perdarahan pada jantung
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu
bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau
sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh
sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga
B. Klasifikasi Gantung
1. Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri dengan kaki
b. Penggantungan Parsial
Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh
tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang
tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat badan
tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial.
D. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban sebagian
1. Asfiksia
2. Apopleksia
Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darahotak
3. Iskemia Serebral
arteri (oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar
dibawah menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri
dengan gantung.
4. Syok Vasovagal
dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang,
kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka
akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan
Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan
Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan kiring (oblique)
pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas antara kartilago tiroid
dengandagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju
Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
c. Tanda-tanda Asfiksia
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus
petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva. Jika didapatkan lidah terjulur maka
menunjukan adanya penekanan pada bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago
thyroida.
d. Lebam Mayat
Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam mayat
terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat genitalia distal
Kasus Gantung Diri
Lebam pada gantung diri terkonsentrasi pada daerah ekstemitas
stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak napas menjadi
sangat lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter
fungsieksresi hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak
Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung
F. Aspek Medikolegal
Perbedaan Penggantungan Bunuh Diri Penggantungan Pembunuhan
1. Usia Lebih sering terjadi pada remaja Tidak mengenal batasan usia
dan dewasa
2. Jejas Jerat Bentuk miring berupa lingkaran Lingkaran tidak terputus,
terputus mendatar, letak di tengah leher
3. Simpul Tali Biasanya satu simpul pada bagian Simpul tali lebih dari satu dan
samping leher. Simpul biasanya terikat kuat
simpul hidup
4. Riwayat Korban mempunyai riwayat Korban tidak mempunyai riwayat
Korban bunuh diri dengan cara lain upaya bunuh diri
5. Cedera Tidak terdapat luka yang Terdapat luka-luka yang
menyebabkan kematian dan tidak mengarah ke pembunuhan
terdapat tanda-tanda perlawanan
Dapat ditemukan racun dalam
6. Racun lambung korban, seperti arsen, Dapat terdapat racun berupa
sublimat, korosif. Rasa nyeri opium, kalium sianida. Racun ini
mendorong korban melakukan tidak menyebabkan efek kemauan
gantung diri bunuh diri
7. Tangan Tidak dalam keadaan terikat Tangan terikat mengarah k kasus
pembunuhan
8. Kemudahan Tempat kejadian mudah Korban biasa digantung di tempat
ditemukan yang sulit ditemukan
9. Tempat Jika tempat kejadian merupakan Bila sebaliknya ditemukan
kejadian tempat yang tertutup, atau terkunci dari luar maka
didapatkan ruangan dengan pintu penggantungan biasanya kasus
terkunci makan dugaan bunih diri pembunuhan
adalah kuat
10. Lingkar tali Jika lingkar tali dapat keluar Jika lingkar tali tidak dapat keluar
melewati kepala, maka dicurigain melewati kepala, maka dicurigai
bunuh diri peristiwa pembunuhan
kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama
makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya
merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya adalah kasus pembunuhan.
Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan
dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan
tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering
disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir
selalu melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan
thyroid.
B. Mekanisme kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu :
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
2. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri
(oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung.
3. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti
jantung.
Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita jumpai pada
2. Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita temukan pada
bayi yangterjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal
3. Bunuh diri.
Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan dengan cara
melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik.
Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat
tersebut
- Tanda penjeratan jelas dan dalamSemakin kecil tali maka tanda penjeratan
Alur jeratan pada leher korban berbentuk lingkaran. Alur jerat biasa disertai luka
lecet atau luka memar disekitar jejas yang terjadi karena korban berusaha
- Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
- Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan.
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Tanda-tanda Asfiksia
c. Lebam Mayat
Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban setelah mati.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan :
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
a. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini
E. Aspek Medikolegal
Perbedaan kasus gantung dan kasus jerat
Lebam mayat Pada bagian bawah tubuh Tergantung posisi tubuh korban
Lokasi Tersembunyi Bervariasi
Kondisi Teratur Tidak teratur
Pakaian Rapi dan baik Tidak teratur, robek
Ruangan Terkunci dari dalam Tidak teratur, terkunci dari luar
IV. PENCEKIKAN
A. Definisi
Pencekikan adalah penekanan pada leher dengan tangan atau lengan bawah, yang
menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran
B. Mekanisme Kematian
1. Asfiksia
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
Gejala asfiksia :
a. Fase dyspnea :
- Frekuensi nadi meningkat
- Tanda sianosis
b. Fase konvulsi
c. Fase apneu :
- Kesadaran menurun
- Relaksasi sfingter
2. Refleks vagal
Reflek vagal menyebabkan kematian segera (immediate death), hal ini dikaitkan
dengan terminologi ”sudden cardiac arrest”. Reflek vagal dimungkinkan bila leher
terkena trauma.
Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada corpus
caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna yang akan
Tetapi jika mekanisme kematian adalah refleks vagal, tidak didapatkan tanda-tanda
asfiksia.
3. Cara Kematian
Terdapat 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu pembunuhan dan kecelakaan
yang biasanya mati karena vagal reflex. Selain itu, terdapat 3 cara melakukan pencekikan
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka ini
disebut mugging.
tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan arteri vertebralis tidak
terganggu. Pemeriksaan luar dari otopsi kasus pencekikan (manual strangulasi), terdapat 3
a. Tanda asfiksia
Sianosis
Bekas kuku
Sidik jari
Arah pencekikan
c. Tanda kekerasan pada tempat lain yang dapat menunjukkan bahwa korban melakukan
perlawanan.
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
a. Perdarahan atau resapan darah pada otot-otot di leher tiroid, kelenjar ludah, serta
Pencekikan Terdapat
pendarahan pada lidah
akibat pencekikan
Source: Color Atlas of Forensic
Pathology
b. Fraktur, yang paling sering ditemukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah, dan mukosa
& submukosa pharing atau laring. Fraktur yang paling sering kitatemukan pada os
e. Tanda Asfiksia :
Organ tubuh lebih berat, lebih gelap, pada pengirisan banyak keluar darah
d. Petekie pada :
e. Edema paru
V. SUFOKASI
Peristiwa sufokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai,
seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan
banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang
yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya
ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada
peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO2, hawa panas
dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung.
VI. PEMBEKAPAN
A. Definisi
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam
mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung
dengan menggunakan kantong plastik. Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau
seluruhnya, dimana yang terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang
dibekap masih mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari rongga
hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati
lemas, dimana pada pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah, orang dewasa
yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang terjadi karena
Pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar terdapat di mulut, hidung, dan
daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar dan robekan pada bibir, khususnya bibir
B. Cara Kematian
Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada
penderita penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk, yaitu Dengan
diikatkan menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan menggunakan plester yang
kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau
selimut. Selain itu juga dapat terjadi kecelakaan dimana seorang anak yang tidur
anak sehingga tidak dapat bernafas. Keadaan ini disebut overlying. Pada anak-anak dan
dewasa muda bisa terjadi kecelakaan terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan
sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantong plastik. Orang dewasa yang
terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh,
sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya
terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang sakit berat, orang dalam
dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang dibekapkan pada
a. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan
b. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi,
c. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat
bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat
d. Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada
atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam. Pada pembekapan dengan
mempergunakan bantal, bila tekanan yang dipergunakan cukup besar, dan orang
yang dibekap kebetulan memakai gincu (lipstick), maka pada bantal tersebut akan
tercetak bentuk bibir yang bergincu tadi, yang tidak jarang sampai merembes ke
bagian yang lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri. Pada anak-anak oleh karena
tenaga untuk melakukan pembekapan tersebut tidak terlalu besar, kelainan biasanya
minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau memar pada bibir bagian dalam yang
e. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain menekan
kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus pencekikan dengan
satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar pada otot leher bagian
untuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang menutupi
daerah tersebut. Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban.
pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena
merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan
banyak darah.
c. Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada kematian
Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam
D. Gambaran Mikroskopis
yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini penting untuk
membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi
vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie dan emboli.
Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan dimana
oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida.
Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat meminimalisir diagnosis banding
paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking
B. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat
ransangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja
C. Cara Kematian
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1. Bunuh diri ( suicide ). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan benda
asing ke dalam mulut sendiri disebabjan adanya refleks batuk atau muntah. Umumnya
3. Kecelakaan ( accidental choking ). Pada bolus death yang terjadi bila tertawa atau
Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang kemudian masuk ke dalam
saluran pernapasan.
luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut ( orofaring atau laringofaring )
ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan
pernah ditemukan arang, batu dan lain-lainnya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari
disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Istilah tenggelam harus pula
mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air.
Asalkan lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal itu sudah cukup
peristiwa tenggelam tidak hanya dapat terjadi di laut atau sungai tetapi dapat juga terjadi di
dalam wastafel atau ember berisi air. (buku UNDIP) Pada mayat yang ditemukan terbenam dalam
air, perlu pula diingat bahwa mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk kedalam air.
Perlu diketahui bahwa jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru
adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30 sampai 40 mililiter untuk bayi.
B. Jenis-Jenis Tenggelam
1. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam.
2. Dry drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk kedalam saluran pernapasan, akibat spasme
laring.
3. Secondary drowning
Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air)
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal.
C. Sebab Kematian
Kematian yang terjadi pada peristiwa tenggelam dapat disebabkan diantaranya oleh:
1. Vagal Reflex
tenggelam tipe I.
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post-mortem tidak ditemukan
adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya sehingga sering disebut
2. Spasme Laring
Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali terjadi.
Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring. Pada
tidak didapati adanya air atau benda-benda air. Tenggelam jenis ini juga disebut
tenggelam tipe I.
gangguan elektrolit.
Pada keadaan ini terjadi absorbsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit
dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka akan terjadi
hemodilusi darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan
pecahnya sel darah merah (hemolisis). Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh
mencoba mengatasi keadaan ini dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot
jantung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma meningkat (hiperkalemi), terjadi
perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jantung dan dapat
mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian
menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu
5 menit.
kanan lebih tinggi dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paru-
Pada peristiwa tenggelam di air asin akan mengakibatkan terjadinya anoksia dan
Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga
air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringgan intertisial paru yang akan
pada jantung kiri lebih tinggi daripada janung kanan dan ditemukan buih serta benda-
benda air.
Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II B. Kematian terjadi kira-kira dalam
waktu 8-9 menit setelah tenggelam (lebih lambat dibandingkan dengan tenggelam tipe
IIA).
D. Cara Kematian
1. Kecelakaan
Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena korban jatuh ke laut,
danau atau sungai. Pada anak-anak keclakaan sering terjadi di kolam renang atau
galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab kecelakaan itu
2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali terjadi.
Kadang-kadang tubuh pelaku diikat dengan benda pemberat agar supaya tubuh dapat
tenggelam. Bukan pekerjaan yang mudah untuk membedakan tenggelam karena bunih
3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan, seperti misalnya melemparkan korban ke laut atau
memasukan kepalanya ke dalam bak berisi air. Dari segi patologik saja sulit dapat
membedakan apakah peristiwa tenggelam itu akibat pembunuhan atau bunuh diri.
Pemeriksaan di tempat kejadian dapat membantu. Jika benar karena pembunuhan perlu
diteliti apakah korban di tenggelamkan kedalam air ketika ia masih hidup atau sesudah
Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar
mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam
keadaan membusuk.
o Sidik jari
o Pemeriksaan gigi
Pada mayat masih segar, untuk menentukan apakah korban masih hidup atau
sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari hasil pemeriksaan :
a. Metode yang memuaskan untuk menentukan apakah orang masih hidup waktu
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai
fisika dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban tenggelam mepunyai
nilai bermakna.
bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam air.
Pada mayat yang segar, gambaran pasca kematian dapat menunjukkan tipe
drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau
kekerasan lain.
obatan, alkohol dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau melalui bedah jenazah.
nafas, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan dapat membantu
Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu masuk ke air,
dalam saluran pernafasan. Pada immersion, kematian terjadi dengan cepat, hal
ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada waktu
cairan melalui saluran nafas bagian atas. Beberapa korban yang terjun dengan
keracunan alkohol.
Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung berarti kematian terjadi
seketika akibat spasme glottis yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk.
Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari keadaan
keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran
pernapasan.
Korban tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama makin banyak,
kemudian menjadi tidak sadar dalam waktu 2-12 menit (fatal periode). Dalam periode ini bila
orban dikeluarkan dari air, ada kemungkinan masih dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.
Pemeriksaan Luar
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-
benda asing lain yang terdapat dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam dalam
air.
kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya air.
Gambaran kutis anserina kadangkala dapat juga akibat rigor mortis pada otot
tersebut.
Cadaveric spame
g. Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan pada
benda-benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur dasar waktu
terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post mortal akibat benda-benda atau
binatang dalam air.
Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam saluran
pernafasan.
b. Paru-paru mebesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama terjadi
pada kasus tenggelam di laut.
c. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit diantara septum interalveolar.
Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak Paltauf akibat
robeknya penyekat alveoli (Polsin).
d. Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini bukan merupakan
tanda khas tenggelam tetapi mungkin disebabkan oleh usaha respirasi.
e. Dapat juga ditemukan paru-paru yang normal karena cairan tidak masuk ke
dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah 9melalui proses
imbibisi), ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar.
f. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan
g. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan mungkin juga terdapat
dalam usus halus.
G. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Diatom.
Alga/ ganggang bersel satu dngan dinding terdiri dari silikat yang tahan panas
dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawat, alut, sungai, sumur.
Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatom masuk ke
dalam saluran nafas atau pencernaan, kemudian diatom akan masuk ke dalam
aliran darah melalui kerusakkan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup
dan tesebar ke seluruh jaringan. Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru
mayat segar. Bila mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari
jaringan ginjal, otot skelet, sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati
dan limpa kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal saluran
pencernaan terhadap makanan dan minuman.
Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan diatom cukup
banyak : 4-5/ LPB atau 10-20 per satuan sediaan, atau pada sumsum tulang cukup
ditemukan satu
2. Pemeriksaan Diatom dapat dilakukan dengan pemeriksaan destruksi pada paru
dan pemeriksaan getah paru.
3. Pemeriksaan Darah Jantung. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada
darah yng berasal dari bilik jantung kiri dan bilik jantung kanan. Bila tenggelam di
air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah
dari jantung kanan sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya.
Perbedaan kadar elektrolit lebih rendah dari 10% dapat menyokong diagnosis.
4. Pemeriksaan mikroskopik jaringan
5. Pemeriksaan keracunan
H. Diagnosis Tenggelam
Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukkan), maka diagnosis kematian
akibat tenggelam dapat dengan mudah ditegakkan melalui pemeriksaan yang teliti dari:
- Pemeriksaan luar,
- Pemeriksaan dalam,
- Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi jaringan dan berat
jenis serta kadar elektrolit darah.
Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam dibuat
berdasarkan adanya diatom yang cukup banyak pada paru-paru yang bila disokong oleh
penemuan diatom pada ginjal, otot skelet atau sumsum tulang, maka diagnosis akan
menjadi makin pasti.
bersamaan oleh suatu kekuatan yang menyebabkan dada terfiksasi sehingga diafragma tidak
dapat bergerak. Hal tersebut kemudian menimbulkan gangguan gerak pernapasan sehingga
udara yang masuk ke dalam atau keluar paru terhambat, misalnya tertimbun pasir, tanah
longsor, runtuhan tembok, pohon yang tumbang atau tebing yang runtuh.
Crush Asphyxia juga dapat terjadi karena berdesak-desakan keluar dari suatu ruangan
melalui pintu yang sempit. Akibat tekanan tersebut maka akan terjadi kompresi pada dada
dan perut sehingga diafragma dalam keadaan terfiksir. Akibatnya gerakan pernapasan tidak
mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Asfiksia traumatik tidak pernah terjadi
pada kasus bunuh diri, dan paling sering terjadi pada kecelakaan. Asfiksia traumatik dapat
juga terjadi pada kasus pembunuhan, sebagai contoh adalah kasus burking yang merupakan
kombinasi pembekapan dan tekanan dari luar pada dada. Pada burking korban dibuat tidak
berdaya, kemudian dilentangkan, diduduki atai berlutut di dada korban dengan satu tangan
menutup lubang hidung dan mulut korban, tangan lain menekan rahang bawah korban ke arah
atas. Korban cepat mati dengan cara ini dan meninggalkan tanda kekerasan yang minimal
Pada pemeriksaan post mortem akan terlihat adanya tanda-tanda umum asfiksia; seperti
misalnya cyanosis, bintik-bintik perdarahan pada bagian atas dari tubuh, edema serta
pembengkakan pada bola mata dan kongesti pada tubuh sebelah atas akibat darah terdorong
ke atas oleh kompresi pada abdomen. Jika benda yang menekan itu sangat berat maka besar
kemunginan kematiannya bukan karena asfiksia, tetapi karena sebab lain; seperti misalnya
tubuh baik secara kimiawi dan faali yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu
Berdasarkan mekanisme kerjanya dalam tubuh manusia, racun dibagi menjadi yang
bekerja lokal, sistemik, dan lokal sekaligus sistemik. Racun yang bekerja lokal dapat bersifat
korosif, irritant, atau anestetik. Racun yang bekerja sistemik biasanya mempunyai afinitas
terhadap salah satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis, asam oksalat, dan karbon
monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk misalnya arsen, asam karbol,
Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas tidak berwarna, tidak berbau yang
dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna material yang mengandung zat arang atau bahan
organik, baik dalam alur pengolahan hasil jadi industri, ataupun proses di alam lingkungan. Ia
terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam
ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon
dan oksigen
beberapa protein heme ekstravaskular lain, seperti cytochrome c oxidase dan cytochrome P-
450. Afinitas CO terhadap protein heme bervariasi 30 sampai 500 kali afinitas oksigen,
tergantung pada protein heme tersebut. Untuk hemoglobin, afinitas CO 208-245 kali afinitas
oksigen.
CO bukan merupakan racun yang kumulatif. Ikatan Hb dengan CO bersifat reversible
dan setelah Hb dilepaskan oleh CO, sel darah merah tidak mengalami kerusakan. Absorbsi
atau ekskresi CO ditentukan oleh kadar CO dalam udara lingkungan (ambient air), kadar
COHb sebelum pemaparan (kadar COHb inisial), lamanya pemaparan, dan ventilasi paru.
Bila orang yang telah mengabsorbsi CO dipindahkan ke udara bersih dan berada
dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50% dalam waktu 4,5
jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya tidak mengandung COHb lagi. Inhalasi oksigen
mempercepat ekskresi CO sehingga dalam waktu 30 menit kadar COHb telah berkurang
setengahnya dari kadar semula. Umummya kadar COHb akan berkurang 50% bila penderita
CO akut dipindahkan ke udara bersih dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10%
setiap jamnya. Hal ini penting untuk dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah
korban rendah atau negatif pada saat diperiksa, sedangkan korban menunjukkan gejala dan
untuk mengangkut oksigen. Selain itu adanya COHb dalam darah akan menghambat
disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia. Reaksi CO dengan
sitokrom a3 yang merupakan link yang penting dalam sistem enzim pernafasan sel dan
Untuk menentukan kadar CO dalam darah digunakan rumus Henderson dan Haggard.
yang menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan seperti arteriosklerosis pembuluh dara otak
dan jantung, emfisema paru, asma bronchial, TBC paru dan penyakit metabolik serta obat-
obatan yang menyebabkan depresi susunan saraf pusat, contohnya alkohol, barbiturat dan
morfin.
Konsentrasi
Konsentrasi COHb
rata-rata 8 Gejala Keracunan
di dalam darah (%)
jam (ppm)
berwarna merah terang ( cheery red colour ), yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai
30% atau lebih. Namun ternyata warna lebam mayat tersebut juga dapat ditemukan pada
mayat yang didinginkan, korban keracunan sianida, dan pada orang yang mati akibat infeksi
oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga membentuk nitroksi-hemoglobin.
Pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus, dapat ditemukan
petekie. Ditemukan pula ensefalomalasia simetris pada globus palidus. Namun, kelainan-
Sedangkan pada miokardium dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis, paling sering
di muskulus papilaris ventrikel kiri, kadang-kadang juga terdapat pada otot ventrikel,
Hipoksia atau defisiensi oksigen, merupakan penyebab cedera sel tersering dan
terpenting, serta menyebabkan kematian. Hipoksia harus dibedakan dengan iskemia, yang
merupakan terhentinya suplai darah dalam jaringan akibat gangguan aliran darah arteri atau
berkurangnya drainase vena. Defisiensi oksigen juga dapat disebabkan oleh oksigenasi darah
yang tidak adekuat, salah satu contohnya adalah pada keracunan CO.
1. Sumber
Hidrogen sianida (asam sianida, HCN) merupakan cairan jernih yang bersifat asam,
larut dalam air, alkohol dan eter; mempunyai titik didih 26,50C sehingga mudah menguap
dalam suhu ruangan dan titik beku 140C. HCN mempunyai aroma khas amandel (bitter
almonds, pach pit). HCN dipakai dalam sintesis kimia dan fumigasi gudang-gudang kapal
untuk membunuh tikus. HCN dapat dibuat dengan jalan mereaksikan garam sianida dengan
asam sehingga terbentuk HCN.
Garam Sianida, NaCN dan KCN dipakai dalam proses pengerasan besi dan baja, dalam
proses penyepuhan emas dan perak serta dalam fotografi. AgCN digunakan dalam pembuatan
semir sepatu putih. K-Feroasianida digunakan dalam bidang fotografi, Acrylonitrile
digunakan untuk sintesis karet. Ca-cyanimide untuk pupuk penyubur.
Cyanogen (C2N2) dipakai dalam sintesis kimiawi. Sianida juga didapat dari biji tumbuh-
tumbuhan terutama biji-bijian dari genus prunus yang mengandung glikosida sianogenetik
atau amigdalin; seperti singkong liar, umbi-umbian liar, temu lawak, chery liar, pulm, aprikot
liar, jetberry bush, dll.
2. Farmakokinetik
Garam sianida cepat diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Cyanogen dan uap HCN
diabsorbsi mealui pernapasan. HCN cair akan cepat diabsorbsi melalui kulit tetapi gas HCN
lambat. Sedangkan nitrit organik (iminodipropilnitril, glikonitril, glikonitril, asetonitril)
cepat diserap melalui kulit.
Sianida dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, inhalasi dan kulit. Setelah
diabsorbsi, masuk ke dalam sirkulasi darah sebagai CN bebas dan tidak dapat berikatan
dengan hemoglobin, kecuali dalam bentuk methemoglobin akan terbentuk
sianmethemoglobin. Sianida dalam tubuh akan menginaktifkan beberapa enzim oksidatif
seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian ferric
heme group dari oksigen yang dibawa oleh darah.
Selain itu sianida juga secara refleks merangsang pernapasan dengan bekerja pada ujung
saraf sensorik sinus (kemoreseptor) sehingga pernapasan bertambah cepat dan
menyebabkan gas racun yang di inhalasi makin banyak.
Fe++sitokrom-oksidase Fe+++sitokrom-oksidase
+
CN
Fe+++sitokrom-oksidase-sianida
Dengan demkian proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat berlangsung dan oksi-Hb
tidak dapat berdisosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan sehingga timbul anoksia jaringan
(anoksia histotoksik). Hal ini merupakn keadaan paradoksal karena korban meninggal akibat
hipoksia tetapi dalam darahnya kaya akan oksigen.
Sianida teroksidasi dalam tubuh menjadi sianat dan sulfosianat dan dikeluarkan dari
tubuh melalui urin.
Takaran toksis peroral untuk HCN adalah 60-90 mg sedangkan takaran toksik untuk
KCN atau NaCN adalah 200 mg.
Kadar gas sianida dalam udara lingkungan dan lama inhalasi akan menentukan kecepatan
timbul gejala keracunan dan kematian.
Nilai TLV (Threshold Limit Value) adalah 11 mg per M3 untuk gas HCN, sedangkan
TLV untuk debu sianida adalah 5 gr per M3.
Pada keracunan akut racun ditelan cepat menyebabkan kegagalan pernapasan dan
kematian dapat timbul dalam beberapa menit. Dalam interval waktu yang pendek antara
menelan racun sampai kematian, dapat ditemukan gejala-gejala dramatis, korban
mengeluh terasa terbakar pada kerongkongan dan lidah, sesak nafas, hipersalivasi, mual-
muntah, sakit kepala, vertigo, fotofobi, tinitus, pusing dan kelelahan. Dapat pula
ditemukan sianosis pada muka, busa keluar dari mulut, nadi cepat dan lemah, pernapasan
cepat dan kadang-kadang tidak teratur, pupil dilatasi dan refleks melambat, udara
pernapasan dapat berbau amandel, juga muntahan tercium bau amandel. Menjelang
kematian, sianosis lebih nyata dan timbul kedut otot-otot kemudian kejang-kejang
dengan inkontinensi urin dan alvi.
Racun yang di inhalasi menimbulkan palpitasi, kesukaran bernapas, mual, muntah, sakit
kepala, salivasi, lakrimasi, iritasi mulut dan kerongkongan, pusing dan kelemahan
ekstremitas cepat timbul dan kemudian kolaps, kejang-kejang, koma dan meninggal.
Pada keracunan kronik korban tampak pucat, berkeringat dingin, pusing, raa tidak enak
dalam perut, mual dan kolik, rasa tertekan pada dada dan sesak napas. Keracunan kronik
CN dapat menyebabkan goiter dan hipotiroid, akibat terbentuk sulfosianat.
1. Tercium bau amandel yang khas pada waktu membuka rongga dada, perut dan otak
serta lambung (bila racun melalui mulut)
2. Darah, otot, dan penampang organ tubuh dapat berwarna merah terang
Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa
lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali
dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi
lambung yang dapat terjasi antemortal atau postmortal.
5. Pemeriksaan laboratorium
Kertas saring dicelupkan kedalam larutan asam piknat jenuh, biarkan hingga menjadi
lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban, diamkan sampai agak
mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10% 1 tetes. Uji positif bila terbentuk warna
ungu.
Kertas saring dicelup dalam larutan KCL, dikeringkan dan dipotong-potong kecil.
Kertas tersebut dicelupkan ke dalam darah korban, bila positif maka warna akan
berubah menjadi merah teang karena terbentuk sianmethemoglobin.
b. Reaksi Schonbein-Pagenstecher
KESIMPULAN
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang disertai dengan peningkatan
karbon dioksida. Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi
kematian.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya
pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam (drowning).
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase,
yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul
sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase
dispneu dan fase konvulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalanhan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan
tanda=tanda asfiksia akan lbih jelas.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata
berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase
konvulsi.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah
berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan
sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih
gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit
kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan
dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring
terutama yang berhubungan dengan kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
2. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang: 2000.
3. Iedris M., Tjiptomartono A.L., Asfiksia. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam
Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan,
2007.
5. Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik Kasus
Tindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2009.
6. Mohan S. Dharma, Dkk., Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi
Forensik FK, 2008, Tersedia di:
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-dengan-
toksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf., Diakses pada tanggal 05 Januari 2012.
7. Bionity Team. Asphyxia. 2009. Tersedia di:
http://www.bionity.com/en/encyclopedia/Asphyxia.html. Diakses Pada Tanggal 05
Januari 2012.
8. Apuranto J, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Edisi
Ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya. 2007