Anda di halaman 1dari 53

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Jalan Tol


Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan
jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar
tol. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan
tol (Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2005 tentang jalan tol).

1. Persyaratan teknis jalan tol


Beberapa hal mengenai persyaratan teknis jalan tol adalah sebagai berikut :
a) Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan
yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani
arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi;
b) Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain
berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 km/jam dan untuk
jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana
paling rendah 60 km/jam;
c) Jalan tol didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat
(MST) paling rendah 8 (delapan) ton.

2. Spesifikasi Jalan Tol


Spesifikasi jalan tol sendiri dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan
yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani
arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi;
b) Jarak antar simpang susun, paling rendah 5 (lima) kilometer untuk
jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk
jalan tol dalam perkotaan;
c) Jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah;
d) Menggunakan pemisah tengah atau median.

2.2. Analisa Perencanaan Jalan

1
Sesuai dengan buku “Manual Kapasitas Jalan Indonesia”,1997 perencanaan
jalan tol Bawen - Yogyakarta didefinisikan sebagai suatu perencanaan geometrik
secara detail dan kontrol lalu lintas untuk suatu fasilitas lalu lintas baru yang
perkiraan tingkat permintaannya ( demand ) telah diperhitungkan

2.2.2. Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang ( emp )


Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang ( emp ), berguna untuk
menyatakan jenis dan ukuran kendaraan ke dalam suatu ukuran standart
sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Bina Marga. Mobil penumpang
diambil sebagai kendaraan standart dengan nilai emp = 1, sedangkan
kendaraan lain tergantung faktor-faktor :
 Dimensi kendaraan
 Kecepatan kendaraan
 Geometrik jalan
 Kondisi lingkungan
 Volume lalu lintas
Berdasarkan “Manual Kapasitas Jalan Indonesia”,1997 nilai
ekivalensi kendaraan penumpang ( emp ) terbagi untuk tiap jenis kendaraan
dan juga berdasarkan tipe jalan bebas hambatan.

Tabel 2.1 Nilai emp untuk jalan MW 2/2 UD

EMP

Type Total Arus


Alinyemen Kend/jam MHV LB LT

0 1,2 1,2 1,8


900 1,8 1,8 2,7
Datar
1450 1,5 1,6 2,5
≥ 2100 1,3 1,5 2,5
0 1,2 1,6 5,2
700 1,8 2,5 5,0
Bukit
1200 1,5 2,0 4,0
≥ 1800 1,3 1,7 3,2
0 3,5 2,5 6,0
500 3,0 3,2 5,5
Gunung
1000 2,5 2,5 5,0
≥ 1450 1,9 2,2 4,2
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

2
Tabel 2.2 Nilai emp untuk jalan MW 4/2 D

EMP

Type Total Arus


Alinyemen Kend/jam MHV LB LT

0 1,2 1,2 1,6


1250 1,4 1,4 2,0
Datar
2250 1,6 1,7 2,5
≥ 2800 1,3 1,5 2,0
0 1,8 1,6 4,8
900 2,0 2,0 4,6
Bukit
1700 2,2 2,3 4,3
≥ 2250 1,8 1,9 3,5
0 3,2 2,2 5,5
700 2,9 2,6 5,1
Gunung
1450 2,6 2,9 4,8
≥ 2000 2,0 2,4 3,8
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Tabel 2.3 Nilai emp untuk jalan MW 6/2 UD

EMP

Type Total Arus


Alinyemen Kend/jam MHV LB LT

0 1,2 1,2 1,6


1900 1,4 1,4 2,0
Datar
3400 1,6 1,7 2,5
≥ 4150 1,3 1,5 2,0
0 1,8 1,6 4,8
1450 2,0 2,0 4,6
Bukit
2600 2,2 2,3 4,3
≥ 3300 1,8 1,9 3,5
0 3,2 2,2 5,5
1150 2,9 2,6 5,1
Gunung
2150 2,6 2,9 4,8
≥ 3000 2,0 2,4 3,8
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Keterangan :

3
 MHV : (Medium Heavy Vehicle) Kendaraaan berat
menengah, kendaraan bermotor dengan 2 gandar dengan jarak 3,5
– 5,0 m (termasuk truk 2 as dengan 6 roda, bis kecil, sesuai
dengan klasifikasi Bina Marga)
 LB : (Large Bus) Bus besar, dengan 2 atau 3 gandar
dengan jarak as 5,0 –6,0 m
 LT : (Large Truck) truk besar, truk 3 gandar dan truk
kombinasi dengan jarak gandar < 3,5 m
 MC : (Motor Cycle)

2.2.3. Kecepatan Arus Bebas ( FV )


Kecepatan arus bebas ( FV ) didefinisikan sebagai
kecepatan pada arus = 0, sesuai dengan kecepatan yang akan
digunakan pengemudi pada saat mengendarai kendaraan bermotor
tanpa dihalangi kendaraan bermotor lainnya di jalan bebas hambatan.
Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas kendaraan ringan
untuk jalan bebas hambatan mempunyai bentuk umum sebagai berikut :

FV = FV0 + FFVw
Keterangan :
FV = Kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan pada kondisi
lapangan
FV0 = Kecepatan arus bebas dasar bagi kendaraan ringan untuk
kondisi jalan dan tipe alinyemen yang dipelajari
FFVw = Penyesuaian untuk lebar efektif jalur lalu lintas dan bahu jalan
( km/jam )

Kecepatan arus bebas untuk tipe kendaraan lain pada


jalan bebas hambatan dapat diperkirakan dengan menggunakan
persamaan berikut :

FVMHV = FVMHV,0 + (FVw x FVMHV,0/FV0)

Keterangan :
FV0 = Kecepatan arus bebas dasar kend Ringan ( LV )

FVMHV,0 = Kecepatan arus bebas dasar kend. menengah MHV

FVMHV = Kecepatan arus bebas kend. menengah MHV

4
FVw = Penyesuaian kecepatan akibat lebar lajur

Tabel 2.4 Kecepatan arus bebas dasar (FV0) untuk jalan MW


Kecepatan arus bebas dasar (km/j)
Tipe jalan bebas
hambatan / Tipe Kendaraan Kendaraan Bus besar Truk besar
alinyemen ringan menengah
LV MHV LB LT
Enam lajur tak terbagi
-Datar 91 71 93 66
-Bukit 79 59 72 52
-Gunung 65 45 57 40
Empat lajur terbagi
-Datar 88 70 90 65
-Bukit 77 58 71 52
-Gunung 64 45 57 40
Dua lajur tak terbagi
-Datar SDC : A
SDC : B 44 40 40 42
-Bukit
-Gunung

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

5
2.2.4. Kapasitas
Kapasitas di definisikan sebagai arus maksimum yang melewati
suatu titik pada jalan bebas hambatan yang dapat dipertahankan persatuan
jam dalam kondisi yang berlaku. Untuk jalan bebas hambatan tak
terbagi, kapasitas adalah arus maksimum dua arah (kombinasi kedua
arah), sedangkan untuk jalan bebas hambatan terbagi, kapasitas adalah
arus maksimum per-lajur.
Kapasitas secara teoritis dapat diasumsikan sebagai suatu
hubungan matematis antara kerapatan, kecepatan dan arus. Kapasitas
dinyatakan dalam satuan mobil penumpang ( smp ). Persamaan dasar
untuk menentukan kapasitas jalan bebas hambatan adalah :

C = Co x FCw x FCsp ( smp/jam )

Keterangan :
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan bebas hambatan
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan bebas
hambatan tak terbagi)

Kapasitas Dasar pada jalan tol menurut “Manual Kapasitas Jalan


Indonesia”,1997 diberikan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 2.5 Kapasitas dasar jalan MW terbagi (Co)

Tipe jalan bebas hambatan Kapasitas Dasar


/ Tipe alinyemen (smp/jam/lajur)

Empat dan enam lajur terbagi


- Datar 2300
- Bukit 2250
- Gunung 2150
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Tabel 2.6 Kapasitas dasar jalan MW tak terbagi (Co)

6
Tipe jalan bebas hambatan Kapasitas Dasar
/ Tipe alinyemen (smp/jam/lajur)

Dua lajur tak terbagi


- Datar 3400
- Bukit 3300
- Gunung 3200
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Faktor penyesuaian faktor penyesuaian lebar jalan bebas hambatan


menurut “Manual Kapasitas Jalan Indonesia”,1997 diberikan dalam tabel
sebagai berikut :

Tabel 2.7 Faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalu lintas (FCW)

Lebar efektif jalur


Tipe jalan bebas hambatan lalu-lintas WC FCW
(m)

Per lajur
Empat-lajur terbagi 3,25 0,96
Enam-lajur terbagi
3,50 1,00

3,75 1,03

Total kedua arah


6,5 0,96
Dua-lajur tak-terbagi
7 1,00

7,5 1,04

7
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Sedangkan Faktor penyesuaian faktor penyesuaian lebar jalan


bebas hambatan menurut “Manual Kapasitas Jalan Indonesia”,1997
diberikan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 2.8 Faktor penyesuaian kapasitas akibat pemisahan arah (FCSP)

Pemisahan arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FCSP Jalan tol tak terbagi 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

2.2.5. Derajat Kejenuhan


Derajat kejenuhan didefinisikan sebagai perbandingan sebagai rasio
arus dengan kapasitas, digunakan sebagai faktor kunci dalam penentuan
tingkat kinerja suatu jalan. Derajat kejenuhan (Degree of Saturation) ini
nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja suatu jalan yang
menunjukkan apakah suatu segmen jalan mempunyai masalah kapasitas
atau tidak. Derajat kejenuhan dinyatakan dalam persamaan :

Q
Ds =
C
Keterangan : Ds = Degree of Saturation
Q = Volume lalu lintas
C = Kapasitas

8
Apabila dari perhitungan didapatkan Ds < 0,75 maka jalan tersebut
masih dapat melayani kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut dengan
baik. Apabila diperoleh harga Ds ≥ 0,75 maka jalan tersebut sudah tidak
mampu melayani banyaknya kendaraan yang melewatinya. Angka 0,75
diambil dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997
Besarnya nilai DS sangat mempengaruhi tingkat pelayanan
jalan, semakin kecil nilai DS maka jalan terkesan lengang. Dan
sebaliknya bila nilai DS mendekati nilai 0,75 jalan tersebut harus
diperlebar, dilakukan traffic management, atau dengan membuat jalan baru

2.3. Perkerasan Jalan Raya


Perkerasan jalan merupakan bagian dari jalan raya yang diperkeras dengan
lapis konstruksi tertentu yang memiliki ketebalan, kekuatan, kekakuan serta
kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu-lintas diatasnya ke tanah
dasar secara aman tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi itu
sendiri. Perkerasan jalan sendiri menggunakan campuran agregat dan bahan ikat.
Agregat yang dipakai adalah batu pecah, batu belah, atau bahan lainnya, sedangkan
bahan ikat yang dapat dipakai adalah berupa aspal ataupun semen.
Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi
perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
1. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan
yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan
perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke
tanah dasar
2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikatnya.
Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar
dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian
besar dipikul oleh pelat beton.
3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu
perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat
berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku
diatas perkerasan lentur.

9
Menurut Suryawan (2009), pemilihan dalam penggunaan jenis perkerasan
kaku dibandingankan dengan perkerasan lentur yang sudah lama dikenal dan lebih
sering digunakan, berdasarkan keuntungan dan kerugian masing-masing jenis
perkerasan tersebut.
Perbedaan antara perkerasan kaku dan lentur dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Perbedaan antara perkerasan kaku dengan perkerasan lentur
No Perkerasan Kaku Perkerasan Lentur
1 Kebanyakan digunakan hanya pada jalan Dapat digunakan untuk semua tingkat
kelas tinggi, serta pada perkerasan lapangan volume lalu-lintas.
terbang.
2 Job Mix lebih mudah dikendalikan Kendali kualitas untuk Job Mix lebih
kualitasnya. Modulus elastisitas antara lapis rumit.
permukaan dan pondasi sangat berbeda.
3 Dapat lebih bertahan terhadap kondisi Sulit untuk bertahan terhadap kondisi
drainase yang buruk. drainase yang buruk.

4 Umur rencana dapat mencapai 20 tahun. Umur rencana relatif pendek 5-10 tahun.

5 Jika terjadi kerusakan maka kerusakan Kerusakan tidak merambat ke bagian


tersebut cepat dan dalam waktu singkat. konstruksi yang lain, kecuali jika
perkerasan terendam air.
6 Indeks pelayanan tetap baik hampir selama Indeks pelayanan yang terbaik hanya
umur rencana, terutama jika transverse joints pada saat selesai pelaksanaan konstruksi,
dikerjakan dan dipelihara dengan baik. setelah itu seiring dengan waktu dan
frekuensi beban lalu-lintasnya.
7 Pada umumnya biaya awal konstruksi tinggi. Pada umumnya biaya awal konstruksi
Tetapi biaya awal hampir sama untuk jenis rendah, terutama untuk jalan lokal dengan
konstruksi jalan berkualitas tinggi dan tidak volume lalu-lintas rendah.
tertutup kemungkinan bisa lebih rendah.
8 Biaya pemeliharaan relatif tidak ada. Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan
mencapai lebih kurang dua kali lebih
besar dari perkerasan kaku.
9 Agak sulit untuk menetapkan saat yang tepat Pelapisan ulang dapat dilaksanakan pada
untuk melakukan pelapisan ulang. semua tingkat ketebalan perkerasan yang
diperlukan, dan lebih mudah menentukan
perkiraan pelapisan ulang.
10 Kekuatan konstruksi perkerasan kaku lebih Kekuatan konstruksi perkerasan lentur
ditentukan oleh kekuatan pelat beton sendiri ditentukan oleh tebal setiap lapisan dan
(tanah dasar tidak begitu menentukan). daya dukung tanah dasar.

11 Tebal konstruksi perkerasan kaku adalah Tebal konstruksi perkerasan lentur adalah
tebal pelat beton tidak termasuk pondasi. tebal seluruh lapisan yang ada diatas
tanah dasar.
(Sumber : Suryawan, 2009)

10
2.4. Pengertian Perkerasan Kaku
Menurut Suryawan (2009), perkerasan jalan beton semen atau perkerasan
kaku adalah suatu konstruksi perkerasan dengan bahan baku agregat dan
menggunakan semen sebagai bahan ikatnya. Perkerasan beton yang kaku dan
memiliki modulus elastisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban terhadap
area tanah yang cukup luas, sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur
perkerasan diperoleh dari slab beton sendiri. Hal ini berbeda dengan dengan
perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari lapisan-lapisan tebal
pondasi bawah, pondasi dan lapisan permukaan.
Perkerasan beton semen memiliki struktur yang terdiri dari atas pelat
beton semen yang bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan, atau
menerus dengan tulangan, terletak di atas pondasi bawah atau tanah dasar, tanpa
atau dengan lapis permukaan beraspal. Struktur perkerasan beton semen secara
tipikal sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Tipikal struktur perkerasan beton semen


(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis:


a) Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan
(Jointed Unreinforced Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan
beton semen yang dibuat tanpa tulangan dengan ukuran pelat
mendekati bujur sangkar, dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh

11
adanya sambungan-sambungan melintang. Panjang pelat dari jenis
perkerasan ini berkisar 4-5 meter.
b) Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan (Jointed
Reinforced Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen
yang dibuat dengan tulangan ukuran pelatnya berbentuk empat
persegi panjang, dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya
sambungan-sambungan melintang. Panjang pelat dari jenis
perkerasan ini berkisar 8-15 meter.
c) Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan
(Continously Reinforced Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan
beton semen yang dibuat dengan tulangan dengan panjang pelat
menerus yang hanya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan
muai melintang. Panjang pelat dari jenis perkerasan ini lebih besar
dari 75 meter.
d) Perkerasan beton semen pra-tegang (Prestressed Concrete
Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen menerus tanpa
tulangan yang menggunakan kabel-kabel pratekan guna mengurangi
pengaruh susut, muai, dan lenting akibat perubahan temperatur dan
kelembaban.

Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama


diperoleh dari pelat beton. Sifat daya dukung perkerasan terutama diperoleh
dari pelat beton semen. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air
pemadatan, kepadatan, dan perubahan kadar air selama masa pelayanan
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003).

2.5. Komponen Konstruksi Perkerasan Kaku


2.5.1. Tanah Dasar (Subgrade)
Tanah dasar merupaakan tanah pondasi yang secara langsung
mendukung beban akibat beban lalu lintas dari suatu perkerasan. Tanah ini
merupakan lapisan tanah yang dipadatkan dan berfungsi sebagai pondasi
dari sistem perkerasan.

12
Tanah dasar sebagai pondasi jalan, terdiri dari material dalam galian
atau pada bagian atas timbunan dengan ketebalan sekitar 60 – 90 cm di
bawah dasar struktur perkerasan. Karena tanah dasar merupakan bagian
dari timbunan dimana pondasi bawah (subbase), pondasi (base) atau
perkerasan berada, maka integritas dari struktur perkerasan bergantung
pada stabilitas struktur tanah dasar
Tanah dasar harus dipadatkan dengan baik, agar kemungkinan
terjadinya perubahan volume atau terjadinya penurunan tak seragam akibat
beban kendaraan dapat diperkecil. Penanganan yang baik dan benar
diharapkan dapat mencegah persoalan yang mungkin timbul pada masa
operasi, yaitu :
a) Sifat mengembang dan menyusut akibat perubahan kadar air;
b) Intrusi dan pemompaan (pumping) pada sambungan, retak pada
tepi pelat sebagai akibat pembebanan lalu lintas;
c) Daya dukung yang tidak merata sukar ditentukan secara pasti
pada daerah dengan jenis tanah yang berbeda sifat dan
kedudukannya atau akibat pelaksanaan;
d) Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan
penurunan yang diakibatkannya, yaitu pada tanah yang berbutir
kasar yang tidak dipadatkan secara baik

2.5.2. Lapis Pondasi Bawah


Lapis pondasi bawah pada perkerasan kaku adalah bukan merupakan
bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang memiliki
fungsi :
a) Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar;
b) Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan
tepi – tepi plat;
c) Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan;
d) Mengurangi defleksi pada sambungan, yang selanjutnya menjamin
penyaluran beban secara efektif dalam waktu yang lama, melalui
sifat saling kunci agregat terutama jika digunakan sebagai sarana
penyalur beban;
e) Pelat beton semen mempunyai sifat yang cukup kaku serta dapat
menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan
tegangan yang rendah pada lapisan –lapisan dibawahnya

13
2.5.3. Lapis Permukaan
Lapis Permukaan perkerasan kaku terdiri dari pelat beton semen
yang bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan. Pada
perkerasan kaku, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat
beton. Hal tersebut disebabkan oleh sifat pelat beton yang cukup kaku
sehingga dapat menyebarkan beban pada bidang yang lebih luas dan
menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan – lapisan dibawahnya.
Pada konstruksi perkerasan beton semen, sebagai konstruksi utama adalah
berupa satu lapis beton semen mutu tinggi. Sedangkan lapis pondasi bawah
(subbase berupa cement treated subbase maupun granular subbbase)
berfungsi sebagai konstruksi pendukung atau pelengkap.

2.6. Sambungan
Sambungan yang terdapat pada perkerasan kaku adalah untuk menyediakan
ruangan bagi pengembangan dan penyusutan perkerasan sehingga dapat
mengurangi tegangan – tegangan lentur akibat tekuk dan gesek dan memudahkan
pelaksanaan pekerjaan
Terdapat beberapa tipe sambungan pada perkerasan kaku. Kriteria
perancangan sambungan pada perkerasan kaku tidak bersambungan maupun
bersambungan sama. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002)
menyimpulkan bahwa secara umum, tipe-tpe sambungan perkerasan beton dapat
dibagi menjadi 4 tipe sebagai berikut.
a) Sambungan Susut (Contraction Joint)
b) Sambungan Muai (Expansion Joint)
c) Sambungan Pelaksanaan (Contruction Joint)
d) Sambungan Isolasi (Isolation Joint)

2.6.1. Sambungan Susut (Contraction Joint)

Sambungan susut merupakan jenis sambungan melintang yang


dibuat dengan maksud untuk mengendalikan retak susut beton, serta
membatasi pengaruh tegangan lenting yang timbul pada pelat akibat

14
pengaruh perubahan temperatur dan kelembaban (Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah,2002).

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002 menyarankan


jarak sambungan susut untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan
sekitar 4-5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung dengan
tulangan 8-15 m dan untuk sambungan menerus dengan tulangan sesuai
dengan kemampuan pelaksanaan. Sambungan susut seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3

Gambar 2.2 Sambungan Susut Arah Melintang Tanpa Ruji


(Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002)

Gambar 2.3 Sambungan Susut Arah Melintang dengan Ruji


(Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002)

2.6.2. Sambungan Muai (Expansion Joint)

15
Hardiyatmo (2015) menguraikan bahwa sambungan muai atau
sambungan ekspansi berfungsi untuk memberikan ruang pemuaian pelat
beton yang cukup di antara pelat-pelat perkerasan guna mencegah adanya
tegangan tekan berlebihan yang dapat mengakibatkan perkerasan beton
tertekuk. Lebar celah sambungan 19 mm (¾ in), dalam hal khusus lebar
celah dapat mencapai 25 mm (1 in). Sambungan muai yang tidak
menyediakan penguncian agregat, maka diperlukan alat penyalur beban,
yaitu dowel. Sambungan muai melintang, diletakkan pada lokasi dimana
akibat pemuaian perkerasan diperkirakan dapat merusak jembatan atau
bangunan di dekatnya.

2.6.3. Sambungan Pelaksanaan (Contruction Joint)


Sambungan pelaksanaan merupakan jenis sambungan melintang
atau memanjang yang dibuat untuk memisahkan bagian-bagian yang
dicor/dihampar pada saat yang berbeda, ditempatkan di antara beton hasil
penghamparan lama dengan beton asli penghamparan baru (Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002). Sambungan pelaksanaan harus
dilengkapi dengan batang pengikat berdiameter 16 mm, panjang 69 cm dan
jarak 60 cm, untuk ketebalan sampai 17 cm. Untuk Ketebalan lebih dari 17
cm, ukuran batang pengikat berdiameter 20 mm, panjang 84 cm, dan jarak
60 cm. Sambungan pelaksanaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Sambungan Pelaksanaan Arah Memanjang


(Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002)

16
2.6.4. Sambungan Isolasi (Isolation Joint)

Sambungan isolasi adalah sambungan yang digunakan untuk


memisahkan perkerasan dengan bangunan lain seperti jalan pendekat
jembatan, manhole, jalan lama, dan lain-lain (Hardiyatmo, 2015).
Penempatan sambungan isolasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Sambungan isolasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5, Gambar 2.6,
dan Gambar 2.7.

Gambar 2.5 Penempatan Sambungan Isolasi


(Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002

Gambar 2.6 Sambungan Isolasi dengan Dowel


(Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002)

17
Gambar 2.7 Sambungan Isolasi dengan Penebalan Tepi
(Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002)

2.7. Bahan Penutup Sambungan (Joint Sealing)


Kegunaan penutup celah antara dua pelat beton yang berdekatan adalah
untuk mencegah masuknya benda- benda asing yang berbentuk padat (pasir, kerikil,
dll) yang akan mencegah kesempurnaan merapatnya sambungan dan menimbulkan
tegangan yang tinggi di dalam pelat. Ketidaktentuan sifat, ukuran benda padat yang
masuk ke dalam sambungan menimbulkan ketidakseragaman pemusatan tegangan
di dalam beton yang berdampingan dengan bukaan sambungan sehingga
mengakibatkan gompalan (spalling) dan percepaan kerusakan
Pada saat perkerasan mengalami pemuaian dan penyusutan yang
diakibatkan oleh perubahan temperatur, maka sambungan akan membuka dan
menutup, sehingga bahan penutup harus tetap dapat berfungsi sebagai pencegah
masuknya benda asing, dengan menyesuaikan terhadap lebar sambungan. Bahan
penutup harus tahan terhadap tarikan dan tegangan, dan masih melekat pada
dinding sambungan. Bila perkerasan dibangun di atas tanah dasar yang berbutir
halus,maka masuknya air ke bawah perkerasan akan menyebabkan pumping.
Untuk mencegah, maka bahan penutup sambungan harus kedap air. Pumping akan
menyebabkan hilangnya daya dukung terhadap pelat yang mengakibatkan
keruntuhan struktur perkerasan

2.8. Material Konstruksi Perkerasan


Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait
dalam perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut :
a. Pelat beton
 2
Flexural strength (Sc') = 45 kg/cm

18
 2
Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc' = 350. kg/cm
(disarankan)

b. Wet lean concrete


 2
Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 em): fe' = 105 kg/em

Sc' digunakan untuk penentuan parameter flexural strength dan fe'


digunakan untuk penentuan parameter modulus elastisitas beton (Ec).

2.9. Perencanaan Perkerasan Kaku


Menurut Aly (2004), untuk dapat memenuhi fungsi perkerasan dalam
memikul beban, maka perkerasan harus:
a) Mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar sampai batas-batas yang
masih mampu dipikul tanah dasar tersebut tanpa menimbulkan perbedaan
lendutan atau penurunan yang dapat merusak perkerasan itu sendiri.
b) Direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga mampu mengatasi
pengaruh kembang susut dan penurunan kekuatan tanah dasar serta
pengaruh cuaca dan kondisi lingkungan.
Dalam perencanaan perkerasan kaku ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan, antara lain:
1. Peranan perkerasan kaku dan intensitas lalu lintas yang akan dilayani.
2. Volume lalu lintas, konfigurasi sumbu dan roda, beban sumbu, ukuran dan
tekanan beban, pertumbuhan lalu lintas, jumlah jalur dan arah lalu lintas.
3. Umur rencana perkerasan kaku ditentukan atas dasar pertimbangan-
pertimbangan peranan perkerasan, pola lalu lintas dan nilai ekonomi
perkerasan serta faktor pengembangan wilayah.
4. Kapasitas perkerasan yang direncanakan harus dipandang sebagai
pembatasan.
5. Daya dukung dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi
keawetan dan kekuatan pelat perkerasan.

19
6. Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen bukan merupakan
bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi
sebagai berikut :
 Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
 Mencegah instrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan
tepi-tepi pelat
 Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.
 Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan.

2.10. Perancangan Tebal Perkerasan Kaku dengan Metode AASHTO 1993


AASHTO (American Association of State Highway and Transportation
Officials) Guide For Design of Pavement Structures 1993 atau yang lebih dikenal
dengan istilah AASHTO 1993. AASHTO 1993 merupakan salah satu metode
perencanaan perkerasan kaku yang umum digunakan.
Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode AASHTO 1993 terdiri dari:
 Analisa lalu lintas: mencakup umur rencana, lalu-lintas rata-rata,
pertumbuhan lalu lintas tahunan, Faktor distribusi arah, Faktor distribusi
lajur Vehicle Damage Factor, Equivalent Single Axle Load
 Terminal serviceability index
 Initial serviceability
 Reability
 Standar normal deviasi
 Standar deviasi
 CBR dan Modulus Reaksi tanah dasar
 Modulus elastisitas beton, fungsi dan kuat tekan beton
 Flexural strength
 Drainage coefficient
 Load transfer coefficient

2.9.1. Analisa Lalu-lintas (Traffic Design)

20
2.9.1.1. Umur Rencana
AASHTO (1993) menyarankan umur perkerasan yang
diistilahkan dengan periode analisis. Penentuan periode analisis
sangat dipengaruhi oleh kondisi jalan perencanaan. Penentuan
umur rancangan sebagaimana yang ada pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Umur Rancangan Perkerasan
Periode Analisis Umur
Kondisi Jalan Raya Rancangan
(tahun)
Perkotaan Volume Tinggi 30 - 50
Pedesaan Volume Tinggi 20 - 50
Volume Rendah, Jalan Diperkeras 15 - 25
Volume Rendah, Permukaan Agregat 10 - 20

Sumber: AASHTO (1993)

2.9.1.2. Lalu lintas harian rata- rata (LHR) dan pertumbuhan lalu lintas
tahunan.
Lalu lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan
volume lalu lintas dan konfigurasi sumbu, menggunakan data
terakhir atau data 2 tahun terakhir. Ciri penggolongan kendaraan
berdasar Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 dapat dilihat
pada table 2.11 berikut ini:
Tabel 2.11 Penggolongan kendaraan berdasar MKJI

No.Type Kendaraan Golongan


1 Sedan, jeep, st. wagon 2
.
2 Pick up, combi 3
.
3 Truck 2 as (L), micro truck, mobil 4
. hantaran
4 Bus kecil 5a
.
5 Bus besar 5b
.
6 Truck 2 as (H) 6
.
7 Truck 3 as 7a
.
8 Trailer 4 as, truck gandengan 7b
.
9 Truck s. trailer 7c
.
Sumber: Suryawan, A, 2009

21
2.9.1.3. Vehicle Damage Factor (VDF)
Vehicle Damage Factor atau faktor daya rusak kendaraan
adalah perbandingan antara daya rusak oleh muatan sumbu suatu
kendaraan terhadap daya rusak oleh beban sumbu standar.
Diberikan kajian dan nilai – nilai VDF dari berbagai sumber berikut
ini, yang semuanya tidak ada kesamaan nilainya, dan bahkan ada
nilai yang berbeda sangat signifikan untuk jenis kendaraan yang
mewakili sama
Tabel 2.12 Vehicle damage factor (VDF) desain

Sumber: Suryawan, A, 2009

Keterangan:
 A: Bina Marga MST 10 Ton
 B: NAASRA MST 10 Ton
 C: PUSTRANS 2002(Overload)
 D: CIPULARANG 2002
 E: PANTURA 2003 MST 10 Ton
 F: PUSTRANS 2004 Semarang – Demak
 G: PUSTRANS 2004 Yogyakarta – Sleman / Tempel
 H: VDF Rata-rata

2.9.1.4. Faktor Distribusi Lajur


AASHTO (1993) menyarankan jika arah kendaraan tidak
teratur, maka perkerasan harus dirancang berdasarkan volume lalu
lintas pada arah yang paling banyak. Penentuan faktor distribusi
lajur yang digunakan sebagai parameter desain sebagaimana
pada Tabel 3.9.

22
Tabel 3.9 Faktor Distribusi Lajur (DL)

Jumlah Lajur Setiap Arah DL (%)


1 100
2 80 - 100
3 60 - 80
4 50 - 75

Sumber: AASHTO (1993)

2.9.1.5. Faktor Distribusi Arah


AASHTO (1993) menyarankan untuk nilai faktor
distribusi arah (DD) diambil nilai antara 0,3 - 0,7 dan umumnya
diambil nilai 0,5.

2.9.1.6. Equivalent Single Axel Load (ESAL)


Suryawan (2009) menyatakan traffic design merupakan
salah satu parameter lalu lintas yang digunakan dalam perencanaan
tebal perkerasan. Penentuan traffic design berdasarkan
AASHTO 1993 dapat ditentukan dengan menggunakan
Persaman berikut :.

dengan:
W18 = Traffic design pada lajur lalu lintas (ESAL)
LHRj = Jumlah lalu lintas harian rata-rata 2 arah untuk kendaraan j
VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j
DD = Faktor distribusi arah
DL = Faktor distribusi lajur
N1 = Lalu lintas pada tahun pertama jalan dibuka
Nn = Lalu lintas pada akhir umur rencana

23
Suryawan (2009) menguraikan lalu lintas yang
digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan kaku adalah lalu
lintas kumulatif selama umur rencana. Besaran ini didapatkan
dengan mengalikan beban gandar standar kumulatif pada jalur
rencana selama setahun (W18) dengan besaran kenaikan lalu lintas
(traffic growth) yang dapat di lihat pada Persamaan berikut :

dengan:
Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif selama umur
rancangan
W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun
n = Umur pelayanan atau umur rencana (tahun)
g = Perkembangan lalu lintas (%)

2.9.2. Kemampuan Pelayanan (Serviceability)


Kemampuan pelayanan akhir (Terminal serviceability index, pt)
mengacu pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.16 Terminal serviceability index (pt)
Persen orang berpendapat tidak diterima Pt
12 3
55 2,5
85 2,0
Sumber: Suryawan, A, 2009
Kemampuan pelayanan awal (Initial serviceability, Po) untuk
rigid pavement berdasarkan metode AASHTO 1993 sebesar Po = 4,5
Penetapan parameter serviceability :

Initial serviceability : Po = 4,5


Terminal serviceability index jalur utama ( major highway ) : Pt = 2,5

24

Terminal serviceability index jalan lalu – lintas rendah : Pt = 2,0


Jumlah total kehilangan kemampuan pelayanan (Total loss of
serviceability) : ∆PSI = Po – Pt

2.9.3. Reliability (R)


Reliability menyatakan bahwa perkerasan yang direncanakan
akan tetap memuaskan selama masa pelayanannya. Penetapan angka
Reliability dari 50 % sampai 99,99 % menurut AASHTO merupakan
tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi
kemungkinan melesetnya besaran – besaran desain yang dipakai
Semakin tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi
kemungkinan terjadinya selisih (deviasi) desain
Tabel 3.11 Nilai Reliability (R)

Nilai Reliability (%)


Klasifikasi Jalan
Perkotaan Pedesaan
Jalan Bebas Hambatan 85 - 99,9 80 - 99,9
Arteri 80 - 99 75 - 95
Kolektor 80 - 95 75- 95
Lokal 50 - 80 50 - 80

Sumber: AASHTO (1993)

2.9.4. Standar Normal Deviasi


Nilai standar normal deviasi tergantung pada nilai dari nilai
reliability, nilainya dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
Tabel 3.12 Standard Normal Deviate (ZR)

Reliability (%) Standard Normal Deviate (ZR)


50 0,000
60 - 0.253

25
70 - 0.524
75 - 0.674
80 - 0.841
85 - 1,037
90 - 1,282
91 - 1,340
92 - 1,405
93 - 1,476
94 - 1,555
95 - 1,645
96 - 1,751
97 - 1,881
98 - 2,054
99 - 2,327
99,9 - 3,090
99,99 - 3,750
Sumber: AASHTO (1993)

2.9.5. Standar Deviasi Keseluruhan (So)


Standar deviasi keseluruhan merupakan parameter yang digunakan
untuk memperhitungkan adanya variasi dari input data. Standar deviasi
keseluruhan untuk rigid pavement berkisar diantara: So = 0,30 – 0,40.
Nilai deviasi standar keseluruhan (So) yang umum digunakan yaitu 0,35.
2.9.6. California Bearing Ratio (CBR)
California Bearing Ratio (CBR) dalam perencanaan perkerasan kaku
digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar (
modulus of subgrade reaction : k ) CBR yang umum digunakan di Indonesia
berdasar besaran 6% untuk lapis tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (
versi kimpraswil / Departemen pekerjaan Umum Edisi 2004 dan versi
Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta edisi 2004 ). Akan tetapi tanah dasar
dengan nilai CBR 5% atau 4% pun dapat digunakan setelah melalui kajian
geoteknik.

2.9.7. Modulus Reaksi Tanah Dasar (k)


Modulus reaksi tanah dasar (k) menggunakan gabungan
formula dan grafik penentuan modulus reaksi tanah dasar berdasar
ketentuan CBR tanah dasar. AASHTO (1993) menyarankan penentuan nilai

26
modulus of subgrade reaction (k) dapat ditentukan dengan Persamaan 3.28
dan Persamaan 3.29.

dengan:
MR = Modulus resilient
CBR = California Bearing Ratio
k = Modulus of subgrade reaction

Modulus reaksi tanah dasar yang didapat dari formula kemudian


dikoreksi terhadap kehilangan dukungan lapis pondasi untuk mendapat
modulus reaksi tanah efektif. Penentuan modulus reaksi tanah dasar efektif
dapat ditentukan menggunakan Gambar 3.26

Gambar 3.26 Modulus Reaksi Tanah Dasar Dikoreksi Terhadap Potensi


Kehilangan Dukungan Lapis Pondasi Bawah
(Sumber: AASHTO, 1993)

Modulus reaksi tanah dasar efektif dipengaruhi oleh faktor


kehilangan dukungan yang didasarkan pada potensi erosi material pondasi

27
bawah. Faktor kehilangan dukungan (loss of support factors) seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 3.13.
Tabel 3.13 Loss of Support Factors (LS)

No Tipe Material LS
1 Cement treated granular base (E = 1000000 - 2000000 psi) 0-1
2 Cement aggregate mixtures (E = 500000 - 1000000 psi) 0-1
3 Asphalt treated base (E = 350000 - 1000000 psi) 0-1
4 Bituminous stabilized mixtures (E = 40000 - 300000 psi) 0-1
5 Lime stabilized (E = 20000 - 70000 psi) 1-3
6 Unbound granular materials (E = 15000 - 45000 psi) 1-3
7 Fine grained / natural subgrade materials (E= 3000 - 4000 psi) 2-3
Sumber: AASHTO (1993)

2.9.8. Modulus Elastis Beton


Modulus elastisitas beton adalah perbandingan antara tegangan dan
regangan beton. Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti.
Nilainya bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis
pembebanan, dan karakteristik dan perbandingan semen dan agregat. Pada
perkerasan kaku rumus yang digunakan untuk mendapatkan modulus
elastisitas beton yaitu :

Ec = 57.000 √ fc

dimana :
Ec = Modulus elastisitas beton (psi)
F’c = kuat tekan beton, kubus (psi)

Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai pada spesifikasi pekerjaan.


Di Indonesia saat ini umumnya digunakan : fc’ = 350 kg /cm²

2.9.9. Flexural Strength


Flexural Strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai spesifikasi
pekerjaan. Flexural Strength di Indonesia saat ini umumnya digunakan
Sc’= 45 kg/cm2 atau sama dengan 640 psi.

28
2.9.10. Koefisien Drainase (Drainage coefficient)
AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai
koefisien drainase.
1) Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi sempurna, baik,

sedang, buruk, sangat buruk. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama

air dapat dibebaskan dari pondasi perkerasan.

2) Variabel kedua : presentasi struktur perkerasan dalam satu

tahun terkena air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated),

dengan variasi < 1%, 1 – 5 %, 5 –25%, > 25%.

Penetapan variabel pertama mengacu pada tabel 2.17 dan


pendekatan sebagai berikut:
 Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk
kedalam pondasi jalan, relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar
70 – 95 % air yang jatuh di atas jalan aspal beton akan masuk ke
sistem drainase.
 Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk pondasi
jalan, relatif kecil terjadi, karena adanya road slide ditch, cross
drain, juga muka air tertinggi di desain terletak dibawah subgrade.

29
 Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata – rata
terjadi selama 3 jam per hari dan jarang sekali terjadi hujan terus
menerus selama 1 minggu.
Maka waktu pematusan (penirisan/pengeringan) selama 3 jam dapat
diambil sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase adalah
berkisar baik, dengan pertimbangan air yang mungkin akan masuk,
kualitas drainase diambil kategori sedang.
Tabel 2.17 Kualitas Drainase

Kualitas drainase Air tersingkir dalam waktu


Sempurna 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Buruk 1 bulan
Sangat buruk Air idak terbebaskan
Sumber: AASHTO (1993)
Penetapan variabel kedua yaitu persentasi struktur perkerasan
dalam 1 tahun terkena air sampai tingkat saturated, relatif sulit, belum ada
data rekaman pembanding dari jalan lain, namun dengan pendekatan-
pendekatan, pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai dari faktor
variabel kedua tersebut dapat didekati.
Prosentase struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air
dapat dilakukan pendekatan dengan asumsi sebagai berikut :

Pheff = Persentase hari efektif hujan dalam setahun yang


akan mempengaruhi perkerasan (%)
Tj = Hujan rata-rata per hari (mm)
Th rata-rata = Jumlah rata-rata hari hujan per tahun (hari)
WL = Faktor air hujan yang masuk ke pondasi jalan

30
Penentuan nilai koefisien drainase bergantung pada kualitas
drainase yang mempertimbangkan air hujan atau air dari atas permukaan
jalan yang akan masuk ke dalam pondasi jalan, air dari samping jalan
yang akan masuk ke pondasi jalan serta muka air tanah yang tinggi di
bawah tanah dasar. Nilai koefisien drainase dapat di lihat pada Tabel
3.16
Tabel 3.16 Koefisien Drainase (Cd)
Kualitas Persentase Waktu Struktur Perkerasan Terkena Air
Drainase < 1% 1 - 5% 5 - 25% > 25 %
Sangat baik 1,25 - 1,20 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10
Bai 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00
k
Sedang 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90
Buruk 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,80
Sangat Buruk 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,80 - 0,70 0,70
Sumber: AASHTO (1993)

2.9.11. Koefisien Penyaluran Beban (Load Transfer Coefficient)


Koefisien Penyaluran Beban (Load transfer coefficient) (J)
dapat ditentukan menggunakan Tabel 2.13 yang mengacu pada AASHTO
1993.
Tabel 3.17 Koefisien Transfer Beban (J)

Bahu Jalan Aspal Pelat Beton Semen


Portland Terikat
Alat Transfer Beban Ya Tidak Ya Tidak
Tipe Perkerasan:
1. Perkerasan Beton Tak
Bertulang
3,2 3,8 - 4,4 2,5 - 3,1 3,6 - 4,2
Bersambungan (JPCP)
dan Bertulang
Bersambungan (JRCP)

2. Perkerasan Beton
Bertulang Kontinyu 2,9 - 3,2 Tidak Ada 2,3 - 2,9 Tidak Ada
(CRCP)
Sumber: AASHTO (1993)

Pendekatan penetapan paramater load transfer :


 Joint dengan dowel : J = 2,5 – 3,1
 Untuk Overlay design : J = 2,2 – 2,6

31
2.9.12. Penentuan Tebal Pelat Beton (D) dengan Formulasi
Penentuan tebal perkerasan pelat beton dalam perancangan perlu
dipilih kombinasi yang paling optimum/ekonomis dari tebal pelat
beton dan lapis pondasi. AASHTO (1993) menentukan tebal perkerasan
beton dapat ditentukan dengan Persamaan 3.32.

dimana :

W18 = Traffic design, Equivalent axle load (ESAL)


ZR = Standar normal devisiasi
So = Standar devisiasi
D = Tebal pelat beton
ΔPSI = Serviceability loss = po – pt
Po = Initial serviceability
Pt = Terminal serviceability index
Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi
Cd = Koefisien drainase
J = Koefisien transfer beban
Ec = Modulus elastisitas (psi)
K = Modulus reaksi tanah dasar (pci)

2.9.13. Penentuan Tebal Pelat Beton (D) dengan Nomogram AASHTO 1993
Penentuan tebal pelat selain menggunakan formulasi dapat juga
ditentukan dengan menggunakan nomogram. Penentuan tebal pelat
menggunakan nomogram parameter yang digunakan sama seperti tebal
pelat menggunakan formulasi. Parameter yang digunakan yaitu modulus
reaksi tanah dasar efektif (k), modulus elastisitas beton (Ec), kuat lentur
beton (Scˈ), koefisien transfer beban (J), koefisien drainase (Cd),
kehilangan kemampuan pelayanan (∆PSI), standar deviasi
keseluruhan (So), reliability (R), danlalu lintas rancangan (W18).
Penentuan tebal perkerasan dapat di lihat menggunakan Gambar 3.27

32
Gambar 3.27 Penentuan Tebal Pelat dengan Nomogram Menurut AASHTO 1993
(Sumber: AASHTO. 1993)

33
2.9.14. Parameter desain dan data perencanaan rigid pavement
Parameter desain dan data perencanaan untuk kemudahan bagi
perencana dalam menentukan tebal pelat beton rigid pavement, seperti
dibawah ini :
Tabel 2.21 Parameter dan data yang digunakan dalam perencanaan

NO Parameter AASHTO Desain


1 Umur rencana -
2 Lalu lintas,ESAL -
3 Terminal serviceability (Pt) 2,0 -3,0
4 Initial serviceability (Po) 4,5
5 Serviceability loss(ΔPSI)= Po – Pt Po – Pt
6 Reliability (R) 75 – 99,9
7 Standart normal deviation (Zr) -0,674 s/d – 1,645
8 Standart deviation (So) 0,30 – 040
9 Modulus reaksi tanah dasar (K) Berdasar CBR
10 Modulus elastisitas beton (Ec) Berdasar : f’c – 350 kg/cm²
11 Flexural strength (S‛c) Berdasar S’c = 45 kg/cm²
12 Drainage Coefficient (Cd) 1,10 – 1,20
13 Load transfer Coefficient (J) 2,50 – 3,10
Sumber: Suryawan, A, 2009

34
2.11. Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku Metode Bina Marga 2003
Perencanaan perkerasan kaku dengan metode Bina Marga 2003
(Pd-T-14-2003) atau Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen
merupakan pedoman perencanaan perkerasan kaku yang dikeluarkan oleh
Departemen Pekerjaan Umum. Pedoman ini merupakan penyempurnaan
Petunjuk Perencanaan Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) tahun 1985 –
SKBI 2.3.28.1985. Pedoman ini diadopsi dari AUSTROADS, Pavement
Design, A Guide to the Structural Design of Pavements (1992). Parameter
perencanaan perkerasan kaku Metode Bina Marga 2003 diuraikan sebagai
berikut:
1) Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR
insitu sesuai dengan SNI 03-173101989 atau CBR laboratorium
sesuai dengan SNI 03-1744-1989, masing-masing untuk
perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru.
Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %,
maka harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus
(Lean-Mix Concreate) setebal 15 cm yang dianggap mempunyai
nilai CBR tanah dasar efektif 5%.
2) Pondasi Bawah
Bahan pondasi bawah dapat berupa :
a. Bahan berbutir.
b. Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled
Concrete).
c. Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi
perkerasan beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus
perihal jenis dan penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan
tegangan pengembangan yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi

35
dengan lebar sampai ke tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk
mereduksi perilaku tanah ekspansif.
Tebal lapis pondasi pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit
mempunyai mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-
155 serta SNI 03-1743-1989. Bila direncanakan perkerasan beton semen
bersambung tanpa ruji, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton
kurus (CBK). Tebal lapis pondasi bawah minimum yang disarankan dapat
dilihat pada Gambar 2.4 dan CBR tanah dasar efektif didapat dari Gambar
2.5.

Gambar 2.4 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

Gambar 2.5 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

36
3. Beton Semen
Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural
strenght) umur 28 hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan
pembebanan tiga titik (ASTM C-78) yang besarnya secara tipikal sekitar 3-5
MPa (30-50 kg/cm2).
Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat seperti
serat baja, aramit atau serat karbon harus mencapai kuat tarik lentur 5–5,5
MPa (50-55 kg/cm2). Kekuatan rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik
lentur karakteristik yang dibulatkan hingga 0,25 MPa (2,5 kg/cm2) terdekat.
Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-lentur beton
dapat didekati dengan rumus berikut:
fcf = K (fc’)0,50 dalam Mpa atau..............................(1)
fcf = 3,13 K (fc’)0,50 dalam kg/cm2..........................(2)
Dengan pengertian :
fc’ = kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf = kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K = konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 agregat
pecah.
Kuat tarik lentur dapat juga ditentukan dari hasil uji kuat tarik belah
beton yang dilakukan menurut SNI 03-2491-1991 sebagai berikut :
fcf = 1,37.fcs, dalam Mpa atau..............................(3)
fcf = 13,44.fcs, dalam kg/cm2................................(4)
Dengan pengertian :
Fcs = kuat tarik belah beton 28 hari

4. Lalu-lintas

Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan


dalam sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu
pada lajur rencana selama umur rencana.
Lalu-lintas harus dianalisa berdasarkan hasil perhitungan volume lalu- lintas dan
konfigurasi sumbu. Jenis kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan

37
beton semen adalah kendaraan niaga (commercial vehicle) yang mempunyai berat total
minimum 5 ton. Konfigurasi sumbu untuk perencanaan terdiri dari atas empat jenis
kelompok sumbu dapat dilihat pada Gambar 2.6.
1) Sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
2) Sumbu tunggal roda ganda (STRG).
3) Sumbu tandem roda ganda (STdRG).
4) Sumbu tridem roda ganda (STrRG).

Gambar 2.6 Konfigurasi Beban Sumbu (Suryawan, 2009).

4.1 Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi

38
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas
jalan raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan
tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi
(C) kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel
2.2.

Tabel 2.2 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi
kendaraan niaga pada lajur rencana

Koefisien Distribusi
Lebar Perkerasan Jumlah Lajur
1 Arah 2 Arah
Lp < 5,50 m 1 lajur 1 1
5,50 m ≤ Lp < 8,25 m 2 lajur 0,7 0,5
8,25 m ≤ Lp < 11,25 m 3 lajur 0,5 0,475
11,25 m ≤ Lp < 15,00 m 4 lajur - 0,45
15,00 m ≤ Lp < 18,75 m 5 lajur - 0,425
18,75 m ≤ Lp < 22,00 m 6 lajur - 0,4

4.2 Umur rencana


Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur
rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.
4.3 Pertumbuhan lalu-lintas

Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau sampai tahap dimana kapasitas jalan
dicapai dengan faktor pertumbuhan lalu-lintas yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
R = (1 + ��)UR − 1/� .................................................(5)
Dengan pengertian :

R = Faktor pertumbuhan lalu lintas

i = Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %. UR = Umur rencana (tahun)
Faktor pertumbuhan lalu-lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan
Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Faktor pertumbuhan lalu- lintas (R)

39
2.12. Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku Metode NAASRA 1987
4.1.1. Kekuatan Lapisan Tanah Dasar
Untuk perencanaan tebal perkerasan kaku. daya dukung tanah
dasar diperoleh dengan nilai CBR, seperti halnya pada perencanaan
perkerasan lentur,meskipun pada umumnya dilak:ukan dengan
menggunakan nilai (k) yaitu modulus reaksi tanah dasar.
Nilai k, dapat diperoleh dengan pengujian '"Plate Beriring",
Jika nilai k pada perencanaan belum dapat diuk:ur; maka dapat
digunakan nilai k hasil korelasi dengan nilai CBR, akan tetapi nilai
korelasi ini harus diuji kembali di lapangan jika permukaan tanah
dasar sudah disiapkan
Untuk menentukan Modulus Reaksi Tanah Dasar (k)
Rencana yang mewakili suatu seksi jalan, dipergunakan rumus sebagai
berikut:
k0 = k - 2 S (u/ jalan tol)
k" = k - 1,64 S (u/ jalan arteri)
k0 = k - 1,28 S (u/ jalan kolektor / lokal)
dimana :
0
k = Modulus reaksi tanah dasar yang mewakili segmen
k = Modulus reaksi tanah dasar rata-rata

S = Standar deviasi =
n = jumlah data

40
Sumber: Pavement Design NAASRA (1987)

MODULUS REAKSI DASAR k (kPa/mm)


Gambar 2.9 Koreksi Hubungan Antara nilai (k) dan CBR

4.1.2. Kekuatan Beton ( Modulus Keruntuhan Lentur = FR )


Beton semen adalah agregat yang dicampur dengan semen
PC secara basah. Lapisan beton semen dapat digunakan sebagai lapisan
pondasi bawah pada perkerasan lentur dan kaku, dan sebagai lapisan
pondasi atas pada perkerasan kaku.
Perkerasan kaku dapat didefinisikan sebagai perkerasan yang
mempunyai alas/dasar atau landasan beton semen. Prinsip parameter
perencanaan untuk perencanaan beton didasarkan pada kuat lentur 90
hari. Kuat lentur rencana beton 90 hari dianggap estimasi paling
baik digunakan untuk menentukan tebal perkerasan.
Kuat tekan karakteristik beton pada usia 28 hari untuk perkerasan
jalan dengan beton bertulang harus tidak kurang dari 30 Mpa.
Besamya Modulus Keruntuhan Lentur Beton (fr) :

41
dimana:
fc = kuat tekan karakteristik beton usia 28 hari (MPa)
fct = kuat tarik (MPa)

4.1.3. Lalu Lintas Rencana untuk Perkerasan Kaku


Metode penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perencanaan
perkerasan tebal perkerasan kaku dilakukan dengan cara
mengakumulasikan jumlah beban sumbu (dalam rencana lajur selama
usia rencan) untuk masing masing jenis kelornpok sumbu, termasuk
distribusi beban ini. Umur rencana untuk perkerasan kaku:
20-50 th. Tahapan perhitungan yang dilakukan adalah:
1) Menentukan Karakteristik Kendaraan
a) Jenis kendaraan yang diperhitungkan hanya kendaraan niaga
dengan berat total minimum 5 ton.
b) Konfigurasi sumbu yang diperhitungkan ada 3 macam, yaitu.
 Sumbu tunggal roda tunggal (STRT)
 Sumbu tunggal roda ganda (STRG)
 Sumbu tandem/ganda roda ganda (SGRG)

2) Tata cara Perhitungan Lalu Lintas Rencana


a) Hitung volume lalu lintas (LHR) yang diperkirakan
pada akhir umur rencana, sesuaikan dengan kapasitas jalan.
b) Untuk masing-masing jenis kelompok sumbu kendaraan
niaga, diestimasi angka LHR awal dari kelompok sumbu

42
dengan beban masing-masing kelipatan 0,5 ton (5-5,5 ton),
(5,5-6 ton), (6-6,5 ton) dst.
c) Mengubah beban trisumbu ke beban sumbu tandem
didasarkan bahwa trisumbu setara dengan dua sumbu tandem.
d) Hitung jumlah sumbu kendaraan niaga (JSKN) selama usia
rencana.
JSKN = 365 x JSKNH x R... ... Rumus 2,6
dimana;
JSKN = jumlah sumbu kendaraan niaga
JSKNH = jumlah sumbu kendaraan niaga harian pada saat tahun ke 0
R = faktor pertumbuhan lalu lintas berdasarkan perturnbuhan lalu
lintas tahunan (i) dan umur rencana (n) untuk i ≠ 0

Untuk i ≠ 0. jika setelah m tahun pertumbuhan lalu lintas


tidak terjadi lagi

Untuk i’ ≠ 0, jika setelah n tahun pertumbuhan lalu lintas


berbeda dengan sebelumnya (i' I tahun)

e) Menghitung persentase masing-masing kombinasi


konfigurasi beban sumbu lerhadapo jumlah sumbu
kendaraan niaga harian.
f) Hitung jumlah repetisi kumulatif tiap kombinasi
konfigurasi beban sumbu pada lajur rencana dengan
perumusan:
JSKN x % kombinasi terhadap JSKNH x Cd
dimana:

43
Cd = koefisien distribusi

Tabel 2.5 Koefisien Distribusi Kendaraan Niaga pada Lajur Rencana

Jumlab Lajur Kendaraan Niaga


1 arah 2 arah
1 lajur 1.00 1.00
2 lajur 0.70 0.50
3 lajur 0.50 0.48
4 lajur 0.45
5 lajur 0.43
6 lajur 0.40

Pedoman perencanaan tebal perkerasan menggunakan metode


NAASRA pavement design yang memperhitungkan akumulasi jumlah
beban sumbu (dalarn rencana lajur selama umur rencana) untuk
masing-masing jenis kelompok sumbu, termasuk distribusi beban

Peranan Jalan Faktor Keamanan


Jalan Tol 1.2
Jalan Arten 1.1
Jalan Kolektor/Lokal 3.0
Sumber: Pavement Design NAASRA (1987)
Tabe/ 2.6 Faktor Keamanan

4.1.4. Tata Cara Perencanaan Ketebalan


Kebutuhan tebal perkerasan ditentukan dari jumlah
kendaraan maga selama umur rencana. Perencanaan tebal pelat
didasarkan pada total latigue mendekati atau sama dengan 100 %.
Tahapan perencanaan adalah sebagai berikut:
1) Pilih tebal pelat tertentu
2) Kombinasi konfigurasi dan beban sumbu serta harga k tertentu.

44
3) Persentase fatigue untuk tiap kombinasi ditentukan dengan
membagi jurulah pengulangan beban rencana dengan jumlah
pengulangan beban ijin
4) Cari total fatigue dengan menjunillikan persentase fatigue dari
seluruh kombinasi konfigurasilbeban sumbu.
5) Mengulangi langkah-langkah diatas sampai didapat tebal plat
terkecil dengan total fatigue lebih kecil atau sama dengan 100 %.

Tabel 2.7 Perbandingan tegangan dan jumlah pengulangan beton ijin

Perbandingan Jumlah Perbandingan Jumlah


Tegangan pengulangan Tegangan Pengulangan
Beban Ijin Beban Ijin
0,51 400.000 0,69 2.500
0,52 300.000 0,70 2.000
0,53 240.000 0,71 1.500
0,54 180.000 0,72 1.100
0,55 130.000 0,73 850
0,56 100.000 0,74 650
0,57 75.000 0,75 490
0,58 57.000 0,76 360
0,59 42.000 0,77 270
0,60 32.000 0,78 210
0,61 24.000 0,79 160
0,62 18.000 0,80 120
0,63 14.000 0,81 90
0,64 11.000 0,82 70
0,65 8.000 0,83 50
0,66 6.000 0,84 40
0,67 4.500 0,85 30
0,68 3.500

45
Gambar 2.10 Nomogram STRT

46
Gambar 2.11 Nomogram STRG

47
Gambar 2.12 Nomagram SGRG

Tipe Jalan Tol

48
4.2.1. Jalan Toldua-lajur, dua-arah tak terbagi (MW 2/2 UD)
Tipe jalan Tolini meliputi semua jalan Toldua-arah dengan lebar jalur lalu lintas
antara 6,5 sampai 7,5 meter.Keadaan dasar jalan Tolini, yang digunakan untuk
menentukan kecepatan bebas dasar dan kapasitas adalah sebagai berikut:
 Lebar jalur lalu lintas tujuh meter
 Lebar efektif bahu diperkeras 1,5 m pada masing-masing sisi
 Tidak ada median
 Pemisahan arah lalu lintas 50 – 50
 Tipe alinyemen : datar
 Kelas jarak pandang : A
4.2.2. Jalan Tolempat-lajur dua-arah terbagi (MW 4/2 D)
Tipe jalan Tolini meliputi semua jalan Toldengan lebar lajur antara 3,25 sampai
3,75 m. Keadaan dasar jalan hehas hambatan tipe ini didefinisikan sebagai berikut:
 Lebar jalur lalu lintas 2 × 7,0 m
 Lebar efektif bahu diperkeras 3,75m (lebar bahu dalam 0,75 + lebar bahu
luar 3,00) untuk masing-masing jalur lalu lintas
 Ada median
 Tipe alinyemen : datar
 Kelas jarak pandang : A

4.2.3. Jalan Tolenam atau delapan-lajur terbagi (MW 6/2D atau MW 8/2D)
Jalan behas hambatan enam atau delapan lajur terhagi dapat juga dianalisa dengan
karakteristik dasar yang sama seperti diuraikan di atas .
4.2.4.

49
Gambar 2.2 Skema Potongan Melintang Konstruksi Perkerasan Kaku (Aly, 2004)

Menurut Aly (2004), adapun komponen konstruksi perkerasan beton


semen (rigid pavement) adalah sebagai berikut:
1. Tanah Dasar (Subgrade)
Tanah dasar adalah bagian dari permukaan badan jalan yang
dipersiapkan untuk menerima konstruksi di atasnya yaitu konstruksi
perkerasan. Tanah dasar ini berfungsi sebagai penerima beban lalu lintas
yang telah disalurkan / disebarkan oleh konstruksi perkerasan. Persyaratan
yang harus dipenuhi dalam penyiapan tanah dasar (subgrade) adalah lebar,
kerataan, kemiringan melintang keseragaman daya dukung dan
keseragaman kepadatan

2. Lapis Pondasi (Subbase)


Lapis pondasi ini terletak di antara tanah dasar dan pelat beton
semen mutu tinggi. Sebagai bahan subbase dapat digunakan unbound
granular (sirtu) atau bound granural (CTSB, cement treated
subbase).Fungsi utama dari lapisan ini adalah sebagai lantai kerja yang rata
dan uniform. Apabila subbase tidak rata, maka pelat beton juga tidak rata.
Ketidakrataan ini dapat berpotensi sebagai crack inducer.

3. Tulangan

50
Pada perkerasan beton semen terdapat dua jenis tulangan, yaitu
tulangan pada pelat beton untuk memperkuat pelat beton tersebut dan
tulangan sambungan untuk menyambung kembali bagian – bagian pelat
beton yang telah terputus (diputus). Adapun tulangan tersebut antara lain:
1). Tulangan Pelat
Adapun karakteristik dari tulangan pelat pada perkerasan beton
semen adalah sebagai berikut:
 Bentuk tulangan pada umumnya berupa lembaran atau
gulungan. Pada pelaksanaan di lapangan tulangan yang
berbentuk lembaran lebih baik daripada tulangan yang
berbentuk gulungan. Kedua bentuk tulangan ini dibuat oleh
pabrik.
 Lokasi tulangan pelat beton terletak ¼ tebal pelat di sebelah
atas.
 Fungsi dari tulangan beton ini yaitu untuk “memegang
beton” agar tidak retak (retak beton tidak terbuka), bukan
untuk menahan momen ataupun gaya lintang. Oleh karena itu
tulangan pelat beton tidak mengurangi tebal perkerasan beton
semen.

2) Tulangan Sambungan

Tulangan sambungan ada dua macam yaitu tulangan


sambungan arah melintang dan arah memanjang. Sambungan
melintang merupakan sambungan untuk mengakomodir kembang
susut ke arah memanjang pelat. Sedangkan tulangan sambungan
memanjang merupakan sambungan untuk mengakomodir gerakan
lenting pelat beton.

51
Gambar 2.3 Sambungan Pada Konstruksi Perkerasan Kaku (Aly, 2004)

Adapun ciri dan fungsi dari masing – masing tulangan sambungan


adalah sebagai berikut:

a) Tulangan Sambungan Melintang

 Tulangan sambungan melintang disebut juga dowel.


 Berfungsi sebagai sliding device dan load transfer device.
 Berbentuk polos, bekas potongan rapi dan berukuran besar.
 Satu sisi dari tulangan melekat pada pelat beton, sedangkan
satu sisi yang lain tidak lekat pada pelat beton dan bisa
berotasi.
 Lokasi di tengah tebal pelat dan sejajar dengan sumbu
jalan.

b) Tulangan Sambungan Memanjang

 Tulangan sambungan memanjang disebut juga Tie Bar.


 Berfungsi sebagai unsliding devices dan rotation devices.
 Berbentuk deformed / ulir dan berbentuk kecil.
 Lekat di kedua sisi pelat beton.
 Lokasi di tengah tebal pelat beton dan tegak lurus sumbu
jalan

52
4). Sambungan atau Joint

Fungsi dari sambungan atau joint adalah mengendalikan


atau mengarahkan retak pelat beton akibat shrinkage (susut)
maupun wrapping (lenting) agar teratur baik bentuk maupun
lokasinya sesuai yang kita kehendaki (sesuai desain). Pada
sambungan melintang terdapat dua jenis sambungan yaitu
sambungan susut dan sambungan lenting. Sambungan susut
diadakan dengan cara memasang bekisting melintang dan dowel
antara pelat pengecoran sebelumnya dan pengecoran berikutnya.
Sedangkan sambungan lenting diadakan dengan cara memasang
bekisting memanjang dan tie bar.

5). Bound Breaker di atas Subbase


Bound Breaker adalah plastik tipis yang diletakkan di atas
subbase agar tidak terjadi bounding antara subbase dengan pelat
beton di atasnya. Selain itu, permukaan subbase juga tidak boleh di-
groove atau di-brush.

6. Alur permukaan atau Grooving/Brushing


Agar permukaan tidak licin pada permukaan beton dibuat
alur-alur (tekstur) melalui pengaluran/penyikatan
(grooving/brushing) sebelum beton disemprot curing compound,
sebelum beton ditutupi wet burlap dan sebelum beton mengeras.
Arah alur bisa memanjang maupun melintang.

53

Anda mungkin juga menyukai