Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat
Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya
bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai “bangsa”. Hal ini bukan semata-mata karena
posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-
biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman
budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa
(nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara
kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas
kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara
tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas
bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya
dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan
pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus
secara turun temurun. Kearifan tradisional ini, misalnya, bisa dilihat pada komunitas
masyarakat adat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau Kimaam di Kabupaten
Merauke, Irian Jaya. Komunitas adat ini berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi, atau
lebih tinggi dari yang ditemukan pada suku Dani di Palimo, Lembah Baliem,yang hanya 74
varietas ubi. Di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian besar di Irian
Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata guna) dan pengelolaan
terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, lengkap dengan pranata
(kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal ini bekerja secara efektif. Sampai
saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern
tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan
disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan
jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan
berotasi komunitas-komunitas adat “Orang Dayak” di Kalimantan berhasil mengatasi
permasalahan lahan yang tidak subur.
Dari keberagaman sistem-sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip kearifan
tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat,
yaitu antara lain: 1) Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan
hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga
keseimbangannya; 2) Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak
penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau
kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian
besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga mengikat semua warga
untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta
mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak contoh kasus menunjukkan bahwa
keutuhan sistem kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi
berlebihan atas lingkungan lokal; 3) Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan
(‘pemerintahan’) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang
mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) Sistem alokasi dan penegakan
hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan,
baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas; 5) Mekanisme pemerataan
distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan
sosial di tengah-tengah masyarakat.3
Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan
elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Hanya saja bangunan
“negara-bangsa” yang majemuk (“Bhinneka Tunggal Ika”) sebagaimana digagas oleh Para
Pendiri ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara
sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar “negara-bangsa” yang
majemuk. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-
komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari
proses-proses dan agenda politik nasional. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum
yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, negara secara tidak
adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak
untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling
utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum
diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan
negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk
mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak
menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam
wilayah-wilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan
perundangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama pemerintahan otoriter Orde Baru
Soeharto dan Habibie seperti Undang-Undang (UU) Kehutanan, UU Pertambangan, UU
Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen utama untuk
mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian
pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan
swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya.
Berhembusnya angin “reformasi” sampai hari ini juga tidak merubah kebijakan dan hukum
dalam pengelolaan sumberdaya alam. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para
pemimpin lembaga penyelenggara negara yang dipilih secara demokratis, yang mestinya
digunakan untuk mengganti total peraturan per-UU-an peninggalan Orde Baru, justru lebih
sibuk mengurus dirinya sendiri dan saling menjatuhkan satu sama lain. Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI yang memiliki fungsi legislasi yang kuat, boleh dikatakan belum
melakukan kewajibannya, khususnya yang berkaitan dengan legislasi dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan penataan sistem politik nasional ke arah demokrasi yang partisipatif
(participatory democracy). Perkembangan “reformasi” seperti ini tetap saja tidak
memberikan “ruang” bagi sistem-sistem lokal untuk bekerja mengatur dirinya dan mengelola
sumberdaya dan keanekaragaman hayati sesuai dengan prinsip-prinsip kearifan tadisional.
Sampai saat ini, sangat sedikit sekali dari para ekonom dan praktisi pembangunan yang mau
mengakui bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban
pembangunan. Kelompok ini masih sulit menerima bahwa kemiskinan dan ketertindasan
masyarakat adat yang ada saat ini justru bersumber dari pembangunan, bukan karena mereka
malas atau tidak rasional. Manifestasi kekuasaan kelompok pemuja pembangunan ini bisa
dilihat dari respon terhadap penanganan kemiskinan dan penindasan masyarakat adat masih
sangat dangkal dan parsial, yaitu dengan hanya sekedar mengedepankan konsep
pembangunan berkelanjutan, yaitu suatu upaya untuk “mendamaikan” konflik antara
pertumbuhan ekonomi dengan konservasi alam. Pendekatan baru ini, yang juga meneruskan
cara pandang bahwa alam (sebagai ekosistem) sebagai barang ekonomi yang bisa dinilai
dengan uang (valuasi). Cara pandang ini sungguh ketinggalan jaman dibanding nilai-nilai dan
pandangan holistik yang masih hidup di masyarakat adat, khususnya mereka yang relatif
belum terhegemoni dengan materialisme.
Lebih mengenaskan lagi, dua tahun terakhir ini kita pun dipaksa menyaksikan semakin
maraknya konflik-konflik horisontal (antar kelompok masyarakat) yang memakan korban
ribuan orang yang secara langsung dan tidak langsung bersumber dari ketidak-adilan dan
pemiskinan struktural yang dialami masyarakat adat. Kembali lagi, pada situasi yang seperti
ini, kita menjadi lupa akar persoalan struktural yang “menyemai benih dan menumbuh-
suburkan” konflik-konflik horisontal, termasuk ketidak-adilan dan pelanggaran hak azasi
manusia yang terkandung dalam banyak Undang-Undang sektoral yang mengatur tentang
sumberdaya alam.
Kebijakan ekonomi, khususnya dalam alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam, yang hanya
memihak kepentingan modal ini nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap kerusakan
alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ini adalah
masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, di atas berbagai jenis mineral bahan
tambang, mendiami pesisir dan mencari penghidupan di laut. Kebijakan sektoral yang
ekstraktif (kuras cepat sebanyak-banyaknya, jual murah secepatnya) tidak memberi
kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan,
sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan
dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam
usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal. Dunia farmakologi tidak
mencoba mengangkat kearifan masyarakat adat di bidang tumbuhan obat sebagai bagian
utama bidang perhatiannya. Ramuan tradisional, jamu dan sejenisnya dianggap sekunder atau
malah diremehkan. Padahal telah terbukti ketika sistem pengobatan modern gagal memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan, jamu dan teknik-teknik pengobatan tradisional lainnya lalu
menjadi alternatif yang dapat diandalkan.
Selain mengambil alih secara langsung sumberdaya ekonomi primer berupa tanah dan
sumberdaya alam di dalamnya, pemerintah melalui berbagai kebijakan perdagangan hasil
bumi secara sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat. Pemberian
monopoli kepada asosiasi atau perusahaan tertentu dalam perdagangan komoditas yang
diproduksi masyarakat adat, seperti rotan dan sarang burung walet, telah menempatkan
pemerintah sebagai “pelayan” bagi para pemilik modal untuk merampas pendapatan yang
sudah semestinya diperoleh masyarakat adat.
Dengan warisan rejim lama yang demikian maka dalam upaya melakukan revitalisasi nilai-
nilai lokal ini yang harus dilakukan adalah memulihkan kerusakan pranata-pranata sosial
masyarakat adat yang sedemikian parah, sebagai akibat dari sistem desa Orde Baru (UU No.
5 Tahun 1979). Upaya-upaya pemulihan (recovery) terhadap pranata (kelembagaan)
adat/lokal merupakan tantangan terbesar yang harus menjadi prioritas utama bagi semua
pihak yang berpihak pada kearifan tradisional, baik di kalangan pemerintah maupun dalam
elemen-elemen gerakan masyarakat sosial, khususnya gerakan masyarakat adat di Indonesia.
Otonomi Daerah: Pemberlanjutan Pengrusakan Alam yang Semakin Meningkat
Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki
tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU
25/1999 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system
pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang
hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari
segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan
batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan
masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini
adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan di kalangan elit politik, khususnya para
bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-
lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-
banyaknya dari berbagai macam sumber seperti bermacam pungutan, retribusi, pemberian ijin
HPHH skala kecil, IPK dan sebagainya. Akibatnya beban pengeluaran rakyat ke pemerintah
semakin meningkat, yang nampaknya juga tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas
pelayanan birokrasi kepada rakyat yang telah membayar pajak dan non-pajak lebih besar.
Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama setahun terakhir ini
adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan
berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas
sumberdaya alam. Pada kenyataannya peraturan per-UU-an sektoral masih tetap kokoh dan
berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan ijin HPH, HPHTI, perkebunan besar, kuasa
pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral. Dari sini bisa dipastikan
otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis kegiatan eksplitasi
sumberdaya alam, belum lagi terhitung ekploitasi haram (tidak pakai ijin dari pemerintah
pusat atau daerah) yang sama sekali di luar kapasitas pemerintah untuk mengontrol. Kalau
kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi
daerah tidak pernah jadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri masyarakat
adat itu sendiri beserta habitatnya.
Globalisasi: Ancaman Laten Modernisme dan Individualisme
Di samping persolan yang sifatnya nasional (warisan rejim lama) dan juga persoalan-
persoalan baru yang muncul dari pelaksanaan Otonomi Daerah yang “sembrono”, fenomena
globalisasi ekonomi juga akan sangat berpengaruh besar terhadap prospek nilai-nilai budaya
lokal dan kearifan tradisional sebagai landasan penguatan kelembagaan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati. Globalisasi ini menjadi perlu dicermati
sebagai tahapan lanjut dari periode pembangunanisme yang dianut oleh Rejim Otoriter-
Militeristik Orde Baru yang nyata-nyata telah menghancur-leburkan ekosistem-ekosistem
penting Indonesia serta memporak-porandakan pranata-pranata ada/lokal yang selama ratusan
tahun menjadi penjaga dan pengelola sebagian besar dari ekosistem-ekosistem tersebut.
Perjalanan pembangunan di Indonesia mencatat banyak sekali penggusuran dan penindasan
yang menyedihkan bagi berbagai kelompok masyarakat, khususnya masyarakat adat, yang
diwarnai oleh tindakan-tindakan kekerasan negara dan sekaligus memfasilitasi kekerasan
horizontal antar kelompok masyarakat.
Kalau ditelusuri lebih jauh, maka pembangunan yang umumnya dianut oleh negara-negara
berkembang adalah industrialisasi. Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia
pun mengembangkan industri yang berbasis sumber daya alam. Celakanya, sebagian besar
sumber daya lalam ini, secara tradisional sudah ada penguasa dan pemiliknya, yaitu
masyarakat adat, yang juga memiliki kepentingan yang lebih luas atas sumber daya tersebut.
Nilai-nilai, ide dan konsep pembangunan itu memang diimpor atau diadopsi dari “barat”.
Pembangunan adalah kata lain dari modernisasi. Dari sini muncullah anggapan dan
keyakinan baru di masyarakat bahwa jiwa Indonesia ini kita inginkan menjadi negara
modren,maka segala sesuatu yang tradisional(lisan) harus dibuang karena dianggap
terbelakang dan menghambat pembangunan. Paradigma modernisasi demikian, langsung dan
tidak langsung, telah menyudutkan dan melemahkan posisi masyarakat adat itu sendiri
dengan menempatkan tradisi dan nilai-nilai asli bangsa ini menjadi sesuatu yang jelek
(inferior) terhadap nilai-nilai “barat” yang modern sebagai sesuatu yang baik (superior).
Dengan cara yang berkembang demikian, bahkan banyak di antara masyarakat adat sendiri
sering melupakan bahwa mereka memiliki kekuatan (pengetahuan, teknologi, pranata adat)
untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh program “pembangunan” yang memuliakan
hidup mereka, atau sebaliknya melakukan perlawanan atas program “pembangunan” yang
tidak diinginkan. Sebagai konsep yang diadopsi dari “barat”, nilai yang terkandung dalam
pembangunan kita, yang juga dianut oleh globalisasi ekonomi, berakar pada individualisme
yang, dalam banyak hal, bertolak-belakang dari prinsip dasar komunitas-komunitas
masyarakat adat di Indonesia umumnya yang komunalistik dan kolektif baik dalam hal
penguasaan sumberdaya maupun dalam upaya pengelolaannya untuk keadilan dan
kesejahteraan bersama.
Kearifan Tradisional dan Praktek Pengelolaan Berbasis Masyarakat Adat:
Benteng Terakhir yang Harus Dipertahankan
Perubahan mendasar orientasi pengelolaan sumber daya alam (PSDA) Rejim Orde Baru yang
tadinya didominasi oleh tujuan-tujuan ‘makro-nasional’, seperti devisa negara dan
penerimaan pendapatan pemerintah (pusat dan daerah), ke arah tujuan berorientasi ‘mikro-
lokal’ (kampung dan antar kampung), yaitu: (1) keberlanjutan kehidupan dan keselamatan
masyarakat adat di dalam wilayah kelola adatnya; (2) keberlanjutan layanan sosial-ekologi
alam pada skala ekosistem yang lebih luas, dan (3) peningkatan produktifitas penduduk
kampung.
Orientasi baru ini akan lebih mampu menghindarkan terjadinya penggusuran hak-hak
masyarakat adat/lokal dan mencegah akumulasi kuasa dan kontrol atas sumberdaya hayati di
tangan segelintir pengusaha “kroni”. Dengan orientasi lama (ORBA) maka diasumsikan
bahwa hanya para pengusaha yang punya modal inilah pelaku ekonomi yang mampu
merealisasikan tujuan-tujuan makro seperti mendatangkan devisa yang banyak secara cepat,
di samping tentu untuk kemudahan penarikan pajak dan administrasi pembangunan.
Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Sistem
devisa bebas tidak memungkinkan pemerintah bisa menggontrol penggunaan devisa sehingga
pendapatan dari hutan justru diinvestasikan di luar sektor kehutanan. Kemudahan penarikan
pajak pun justru digunakan untuk “pajak-pajak tidak resmi dan tidak jelas penggunaannya”
lewat praktek-praktek KKN antara birokrasi dan pengusaha yang akhirnya hannya
memberikan “rente ekonomi” yang kecil untuk negara.
Orientasi baru ini juga lebih mampu menyelesaikan ketidak-pastian hukum dan maraknya
konflik berkaitan dengan hak penguasaan (alas hak, atau tenurial rights) atas tanah dan
sumberdaya alam di dalamnya.
Kepastian Alas Hak bagi Masyarakat Adat/Lokal
Berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak adat tersebut maka UU PSDA
perlu menyebutkan bahwa: (1) Kawasan SDA yang dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh
masyarakat adat maka kegiatan pengelolaannya sepenuhnya berada ditangan masyarakat adat
itu sendiri; (2) Setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan
pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan
memperhatikan aspek konservasi; (3) Setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara
masyarakat adat dengan pihak luar negeri harus mendapatkan izin dari Pemerintah
Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kepentingan nasional.
Pemisahan Hak Penguasaan (alas hak, atau tenurial rights) dengan Hak Guna (Use rights), Hak Pengelolaan/Pengusahaan (management
rights)
Peraturan per-UU-an harus secara jelas membedakan antara “penguasaan kawasan dan SDA
yang ada di dalamnya” dengan “penggunaan kawasan dan SDA di dalamnya”. Dengan
demkian status penguasaan./kepemilikan atas kawasan SDA baik yang berstatus milik
pribadi, milik kolektif dan hak adat/ulayat, maupun milik publik bisa memiliki fungsi dan tata
guna: (a) produksi, yaitu kawasan tertentu yang SDA-nya bisa dikelola dan diusahai untuk
memproduksi; (b) lindung, yaitu kawasan tertentu yang harus dilindungi fungsi
ekologis/hidrologis dimana pemanfaatan SDA di dalamnya harus dilakukan secara sangat
terbatas; (c) konservasi, yaitu kawasan yang sumberdaya dan keanekaragaman hayati di
dalamnya haris dilestarikan.
Dalam hal menjaga keberlangsungan layanan alam dan pelestarian plasma nutfah maka
keterlibatan pemerintah menjadi penting sesuai dengan fungsinya sebagai PENGATUR dan
PENGENDALI kegiatan pengelolaan/pemanfaatan SDA agar tidak berdampak negatif luas
secara ekologis yang bisa merugikan kepentingan publik. Untuk menjaga layanan sosial-
ekologi sutau kawasan SDA maka kawasan SDA yang sudah dibebani salah satu dari 4 jenis
alas hak (tenurial right) bisa juga dibebani fungsi tertentu sesuai kondisi ekologis dan
peruntukannya. Misalnya bila di suatu wilayah adat yang “dikuasai” masyarakat adat
terhadap kawasan yang membutuhkan pengelolaan khusus (misalnya untuk kawasan
konservasi keanekaragaman, atau untuk tujuan perlindungan DAS) maka masyarakat adat
(diwakili oleh lembaga adat) bisa menyerahkan hak pengelolaan tersebut ke pemerintah
(Menteri sebagai wakil pemerintah pusat) dengan perjanjian yang jelas bahwa pemerintah
tidak boleh melakukan perubahan fungsi kawasan tanpa persetujuan dari masyarakat adat
pemilik/penguasa kawasan.
Pengakuan terhadap penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme
dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai masyarakat adat, dan juga
untuk menentukan batas-batas wilayah dan kawasan hutan adat dari masyarakat yang
bersangkutan. Untuk itu harus jelas mengatur kriteria-kriterianya, yang kemudian secara
operational-prosedural diatur lebih terinci dalam satu PP yang mengatur tentang “Hutan
Adat”. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyaraklat adat dan batas-batas
wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak lain (top-down), tetap
ditentukan sendiri oleh masyarakat adat yang bersangkutan (self-identification dan self-
claiming) secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan
sosial terendah.
Pendekatan Ekosistem, Kedekatan Sejarah & Kultural dalam Penataan Ruang Kelola SDA yang Demokratis-Partisipatif
Footnotes