4
UPAYA PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
Disusun oleh:
dr. Ariantie Ristya Amanda
Pendamping:
dr. Andri Suharyono, MKP
Penyusun :
dr. Ariantie Ristya Amanda
PENDAHULUAN
A. Tujuan
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan adalah
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya status gizi anak demi kepentingan
pertumbuhan dan perkembangan anak
A.1. Tujuan Umum
Meningkatkan kesadaran orangtua balita akan pentingnya gizi anak
A.2. Tujuan Khusus
Untuk memberikan pengetahuan kepada ibu balita mengenai
gangguan tumbuh kembang yang dapat terjadi pada anak yang
kurang gizi.
Meningkatkan kewaspadaan tentang dampak negatif dari gizi buruk
B. Manfaat
B.1. Bagi Puskesmas
Dengan adanya penyuluhan mengenai bahaya gizi buruk dan pengenalan
gejala gizi buruk pada masyarakat diharapkan terjadi peningkatan
kesadaran akan pentingnya gizi dan membantu untuk mencegah
berulangnya kejadian bayi gizi buruk di masa mendatang.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut
umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI,
2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada
anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
2. Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa
jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka
tdari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995.
Upaya pemerintahan tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring
Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan
Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi
buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001.
Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003
menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan
gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai
dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa
54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA,
18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4%
pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi
jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.
3. Klasifikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda.
3.1 Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup
karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka
yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic atau
malformasi congenital. Gangguan berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan
malnutrisi.
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.
Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena
masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah : 4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
3.2 Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian
tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan
atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan
kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup
bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada
keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi,
perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati
kronik .
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan
masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang
berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat
defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala
tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini
terutama berada di daerah industri belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis
atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang
stamuna, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi,
dan udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang
paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan
subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat,
sering terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan
mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum dapat
dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan
fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil pada awal stadium penyakit
tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini sering terdapat dermatitis.
Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang
terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah
deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat
elastisnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah
atau abu-abu pada warna rambut (hipokromotrichia) .
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual,
muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-
kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas
dan apati sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut,
pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas
3.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya
berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti
edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
4. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung.
Menurut Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya
masalah gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi
makanan dengan kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung
merupakan faktor sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan,
ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas
pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di
bawah ini dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita,
yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk
konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan
terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi
dengan status gizi yang berlawanan hampir universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal
memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada tiga kenyataan yaitu:
Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal.
Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun
menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,maka
ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk
dikonsumsi.
Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang
penilaian status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi tentang
masalah yang berkaitan dengan gangguan status gizi balita.
c. Tingkatan Pendidikan Ibu.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya
tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan
kesehatan, kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran
terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan
berpengaruh pula pada factor social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan,
kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bias dijadikan
landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi
keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah
gizi di dalam keluarga dan bias mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk
menghadapi berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya,
memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari
ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup
serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru
guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya.
d. Akses Pelayanan Kesehatan.
Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)dan
pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan
masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya
adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan)
dengan sasaran masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan
masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif
(pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan
danstatus gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi
dan anak-anak kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan
yang paling sering melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi
kurang melalui program-program pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan
yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan
derajat kesehatan. Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan
kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat akan terpenuhi.
4. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari
derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan
oleh karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis
gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan
yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor :
BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas
dengan atau tanpa adanya edema.
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan
diare (encer/darah/lender)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan tertangani)
Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan campak atau tuberculosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)
Diketahui atau tersangka infeksi HIV .
Pemeriksaan Fisik
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran
menurun
Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)
Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites
Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)
Ulkus pada mulut
Fokus infeksi : THT, paru, kulit
Lesi kulit pada kwashiorkor
Tampilan tinja
Tanda dan gejala infeksi HIV
Selain itu, berikut disertakan alur pelayanan anak gizi buruk di rumah
sakit/puskesmas perawatan
Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk tanpa
tada bahaya atau tanda penting tertentu.
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan
hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap
penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama,
bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika
berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi.
Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-
5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan
lembek. Bila ada, berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan
untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair,
kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-
3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde)
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
PELAKSANAAN KUNJUNGAN
Hari : Selasa
Tanggal : 4 Desember 2018
Pukul : 09.30- selesai
IDENTITAS ANAK
Nama : An. NV
Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Jombang, 9-4-2015 / 43 bulan
Alamat : Desa Nglebak, Kec. Bareng, Kab. Jombang
Anak ke :1
BB saat ini : 9.5 kg
Tanda klinis gizi buruk :-
Penyakit penyerta :-
Buku KIA/ KMS : Punya
Status penimbangan setahun terakhir: Rutin ke posyandu
Riwayat ASI : ASI eksklusif (0-6 bulan)
BBL : 2900 gram
Keadaan waktu lahir : Normal
Riwayat perkembangan : Sesuai dengan usianya
Status imunisasi : Lengkap
Status perawatan :-
Pada kasus ini, ibu rajin menimbang berat badan anaknya di Posyandu balita,
hal ini diketahui dari KMS pada buku KIA yang terpantau setiap bulan, namun berat
badan si anak lebih sering berada di bawah garis merah (BGM). Jika dievaluasi dari
awal kelahiran, anak lahir dengan berat badan 2.9 kg, berat badan terus meningkat
hingga tiga bulan awal kelahiran, namun menurun ke garis kuning pada usia empat
bulan dan seterusnya di bawah garis merah.
Balita dengan berat badan di bawah garis merah dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, baik faktor penyebab langsung maupun tidak langsung. Penyebab
langsung adalah infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan
anak, sedangkan faktor tidak langsung melputi tingkat sosal ekonomi, tingkat
pengetahuan ibu, ketersediaan pangan di tingkat keluarga, pola konsumsi, serta
akses ke fasiltas pelayanan. Pada kasus ini, faktor penyebab langsung dan tidak
langsung sama-sama menjadi penyebab atas terjadinya gizi buruk pasien.
Jumlah Peserta 1 KK
Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor
1
Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
LAMPIRAN