4 Efek Splanchnic
Aliran darah ke ginjal dan hati akan terganggu dengan meningatnya tekanan intra
abdominal. Hal ini harus menjadi perhatian pada pasien-pasien dengan riwayat penyakit hati dan
ginjal. Peningkatan tekanan intra-abdominal lebih dari 20 mmHg dalam waktu yang lama akan
menyebkan berkurangnnya aliran darah pada mukosa mesentrik dan gastrointestinal hingga 40%
diikuti dengan terjadinya asidosis pada jaringan.2 Peningkatan tekanan intraabdominal juga
diketahui sebagai salah satu penyebab terjadinya acute kidney injury. Peningkatan tekanan
sebanyak 20 mmHg akan mengurangi GFR sebanyak 25%. Hal ini mungkin disebabkan oleh
terganggunya gardien perfusi renal yang merupakan efek sekunder dari kombinasi berkurangnya
aliran afferen ginjal akibat curah jantung yang rendah dan berkurangnya aliran efferen ginjal akibat
meningkatnya tekanan vena ginjal.5
3. Pelaksanaan Anestesia
Semua pasien tindakan laparoskopi harus diperiksa secara menyeluruh sebelum operasi,
terutama bagi yang berisiko tinggi untuk menderita komplikasi dari pneumoperitoneum, juga perlu
dipertimbangkan teknik anestesi yang akan digunakan karena terdapat kemungkinan untuk
mengganti tindakan laparoskopi menjadi prosedur terbuka saat operasi. 2
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intra abdominal pada fungs ginjal, pasien
dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik
selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat-obat nefrotoksik. Pada pasien
dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena
disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi
paksa dan kapasitas vital dan tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi risiko pasienn akan
mengalami hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan asidosis
yang persisten mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dan pneumoperitoneum, penurunan
tekanan insuflasi atau dikonversikan ke prosedur terbuka.2
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi perubahan
hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien, khususnya pada
pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat dan
insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi jantung daripada pasien
dengan penyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini keuntungan
laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan risiko intraoperasi dalam menentukan
pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.
Karena kemungkinan terjadinya statis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,
profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan pemberian tromboprofilaksis low-
moleculer-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500-5000 IU atau Clexane
enoxaparin sodium 20-40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated
compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten pneumatic calf
compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum pembedahan dan
diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan
cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri
pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi
dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya
tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.16
Teknik yang paling sering digunakan dalam menjalankan airway adalah dengan menggunakan
cuffed oral tracheal tuba (COTT), relaksasi neuromuskular dan positive pressure ventilation.
Dengan teknik ini, risiko terjadinya aspirasi gastrik akan berkurang, dan kadar CO2 dapat
dikendalikan, serta memfasilitasi akses pembedahan. Ventilasi dengan mask dan bag sebelum
intubasi harus diminimalisir untuk menghindari distensi lambung. Insersi nasogastric tube
mungkin diperlukan untuk mengempiskan lambung, yang bermanfaat untuk memberikan
visualisasi pembedahan yang baik dan menghindari terjadinya trauma akibat insersi trocar.2
Penggunaan laryngeal mask airway (LMA) pada laparoskopi masih menjadi kontroversi
karena risiko terjadinya aspirasi dan sulitnya menjaga transfer gas yang efektif pada waktu
memberikan tekanan udara tinggi yang dibutuhkan untuk pneumoperitoneum. Namun, beberapa
penelitian menemukan bahwa LMA dan COTT sama efektif dan efisiennya dalam pembedahan
laparoskopi.2
3.3 Ventilasi
Pemilihan obat-obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek
samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot pelumpuh otot dengan
neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi
dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse ini.
Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan
penggunaan neostigmin harus diseimbangkan dengan risiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh
otot.8
Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena kemampuan N2O
untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi, gangguan lapangan pembedahan,
dan meningkatkan mual muntah pasca operasi, namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur
pendek dan sedang
Propofol merupakan obat indukasi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya yang
baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.5
Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi
hiperkarbia. Penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat-obat inhalasi yang baru seperti,
isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan
kurang aritmogenik.5
3.8 Analgesia
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum untuk
prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl bisa
digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat.7
Salah satu kelebihan dari pembedahan laparoskopi adalah pendeknya periode pemulihan
pasca operasi, namun diperlukan analgesia yang baik dan sesuai untuk mencegah diperpanjangnya
waktu perawatan di rumah sakit. Sesuai dengan sifat pembedahan invasif minimal, rasa nyeri yang
dirasakan biasanya singkat, namun dengan intensitas tinggi, dan 80% dari pasien akan memerlukan
analgesia opioid nantinya selama perioperatif.5 Obat-obat analgesia multimodal kombinasi dengan
opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis untuk meminimalkan
efek samping. Penggunaan teknik regional seperti subdural, epidural, dan yang paling baru,
transvesus abdominis plane block, yang mulai sering digunakan sebagai teknik opiatesparing,
terutama pada laparoskopi yang membutuhkan insisi lebih besar. Infiltrasi luka dengan anestesi
lokal bermanfaat dan mengurangi kebutuhan analgesik pasca-operasi. Levobupivacaine
dilaporkan mengurangi rasa nyeri pasca-operasi dan kebutuhan opiate. Dexamethasone juga
disaranakan untuk diberikan sebelum induksi untuk mengurangi kebutuhan analgesik opiate pada
2 jam pertama setelah operasi histerektomi laparoskopik, dan sebagai efek tambahan dari efek anti-
emetiknya.2
3.9 Anti-emetik
3.10 Monitoring
Seiring dengan berkembangnya teknik laparoskopi, prosedur major bisa dilakukan
dengan teknik laparoskopi dan bisa berlangsung berjam-jam, dengan gangguan fisiologis yang
signifikan pada pasien. Efek dari pneumoperitoneum dapat di evaluasi menggunakan kapnografi
dan pulse oximetry, di dukung dengan informasi yang tersedia di mesin anestesi seperti peak dan
plateau airway pressure, volume tidal yang diberikan, dan mengawasi dinamika flow-volume
loops.2 Pemantauan intra-operasi standar dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani prosedur
dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan pulse rate, ECG, Intermiten NIBP,
Pulse oximetry ( SpO2), Capnography (ETCO2), suhu, tekanan intraabdomen, pulmonary airway
pressure.5 Monitor tekanan jalan nafas dibutuhkan pada pasien yang diberikan IPPV. Alarm untuk
tekanan jalan nafas dapat mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intrabdomen, juga
mencegah pergerakan pasien tiba-tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ
intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.2
4. Komplikasi Intra-Operasi
a. Trauma Vaskular
Perdarahan bisa terjadi oleh karena insersi veress needle atau trokar mengenai pembuluh
darah besar intraabdomen atau trauma pada pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta, vena
cava inferior, pembuluh darah iliaka, dan hematom retroperitoneum, biasanya merupakan trauma
vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh karena terbatasnya visualisasi, yang awalnya ditandai
dengan terjadinya hipotensi yang tidak bisa dijelaskan.8
b. Trauma Gastrointestinal
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar meliputi
perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa menyebabkan peritonitis,
robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium.7
c. Aritmia Jantung
Aritmia selama prosedur laparoskopi dapat disebabkan oleh berbagai penyebab meliputi :
hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2 intraperitoneum dan peningkatan reflek tonus vagus saat
insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan manipulasi organ viseral, khususnya
bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah
bradikardia sampai asistol. Harus dipertimbangkan untuk melalukan tindakan dengan
menghilangkan stimulus (pengurangan insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolotik
(Sulfas Atropine)8.
d. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis bisa ditimbulkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang tidak
sengaja. Akses ke ruang peritoneum pada laparoskopi dicapai dengan melakukan insersi buta
veress needle melalui insisi kecil subumbilikus.2 Insuflasi CO2 ektraperitoneum bisa terjadi jika
ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi.
Emfisema subkutis ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan
absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba-tiba ETCO2 dan hiperkapnea, dan asidosis respirasi
yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi ekstraperitoneum.8
Pada laparoskopi kolesistektomi, pneumothoraks dapat terjadi saat insersi veress needle
dan trokar, CO2 insuflasi, dan diseksi kandung empedu. Diduga mekanisme terjadinya
pneumothoraks ini meliputi insuflasi CO2 sekitar aorta dan hiatus esophagus diafragma kedalam
ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi ruptur ruang pleura. Ruptur ruang pleura. Ruptur dari
bulla paru dapat menyebabkan tension pneumothoraks terpisah dari pneumoperitoneum.
Pneumothoraks bisa tiak terdeteksi intraoperasi, atau keberadaannya bisa dicurigai dengan adanya
peningkatan tekanan jalan nafas yang tidak bisa dijelaskan, hipoksemia-hiperkapnea, emfisema
bedah, atau jika tension pneumothoraks terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi
yang berat.7
Emboli CO2 vena ditandai dengan adanya hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah
tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas meliputi penempatan verres
needle intravena yang tidak di sengaja, aliran CO2 ke dalam pembuluh darah dinding abdomen dan
pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan
hepar saat diseksi kandung empedu.8 Tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO2,
ETCO2 meningkatkan sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan
aliran darah ke paru. Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :
Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini sejumlah gas yang
masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang.
Pemasangan kateter vena sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara
Rasa nyeri akan dirasakan paling kuat selama 2 jam pertama setelah pasca operasi. Nyeri
bertahan lebih lama jarang terjadi dan mungkin merupakan tanda munculnya komplikasi. Nyeri
Shoulder-tip sering dilaporkan setelah laporoskopi, namun bisa dikurangi jika operator
mengeluarkan gas sebanyak mengkin dari rongga abdomen. Semua pasien seharusnya diberikan
suplemen oksigen ketika pemulihan untuk mengurangi efek dari pneumoperitoneum terhadap
sistem respirasi. Teknik alveolar recruitment dengan menggunakan continuous positive airway
pressure jangka pendek atau sistem pemberian oksigen high flow terkadang diperlukan setelah
operasi, terutama pasien dengan penyakit sistem pernapasan atau dengan pembedahan lama.2
Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah paling tidak dalam 24 jam pasca operasi
laparoskopi kolesistektomi. Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi laparoskopi,
untuk itu harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab disfungsi ini
adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh karena aferen
yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatik yang berasal dari dinding abdomen
mendesak aksi inhibisi dari nervus frenikus.5
Selama 30 tahun terakhir, anesthesia pada pembedahan laparoskopi sudah berkembang signifikan,
dan menghasilkan teknik yang mengurangi risiko, komplikasi,dan waktu perawatan di rumah sakit.
Proporsi kasus bedah yang ditangani dengan laparoskopi akan terus bertambah.
Daftar Pustaka
1. Hori Y, SAGES Guidelines Committee. Diagnostic laparoscopy guidelines : This guideline
was prepared by the SAGES Guidelines Committee and reviewed and approved by the
Board of the Governors of the Society of American Gastrointestinal and Endoscopic
Surgeons (SAGES), November 2007. Surg Endosc. 2008 May. 22 (5):1353-83
2. Hayden Pcowman S. Anaesthesia for laparoscopic surgery. Contin Educ Anaesth crit Care
Pain. 2011;11(5):177-180
5. Desmon J., Gordon RA. Ventilation in patient Anaesthetized for Laparoscopy. Canadian
Anaesthesia Soc. J. 1970;17;4;378-87
6. Varela JE, Wilson SE, Nguyen NT. Laparocoopic surgery significantly reduces surgical-
site infections compared with open surger. Surg endosc 2010;24: 270
8. Joshi GP. Anesthesia for Laparoscopic surgery. Canadian Journal Anesthesia 2002;49;6;1-
5