Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan


utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganan dilokasi kejadian dan selama
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal diruang
gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya. (Arif Mansjoer. Et all. 2000)

Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Lebih dari
setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai
signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock
hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera
bagian tubuh lainnya. Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial
(PTIK).

Faktor yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek adalah


adanya intracranial hematoma, peningkatan usia klien, abnormal respon
motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks pupil terhadap
cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan hiperkapnea,
peningkatan ICP. Diperkirakan terdapat 3 juta orang di AS mengalami
trauma kepala pada setiap tahun. Angka kematian di AS akibat trauma kepala
sebanyak 19.3/100.000 orang.

Banyak kecelakaan yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas sehari-hari.


Salah satu trauma yang memiliki tingkat resiko paling tinggi ialah resiko
cedera kepala, karena sangat berkaitan erat dengan susunan saraf pusat yang
berada di rongga kepala. Data statistik menunjukkan bahwa tingkat trauma
kepala sangat tinggi yang diakibatkan sebagai akibat kurang kewaspadaan

1
dari masing-masing individu. Cedera kepala ringan pada umumnya tidak
menunjukkan gejala yang jelas sehingga masyarakat tidak langsung mencari
bantuan medis, padahal sekecil apapun trauma dikepala bisa mengakibatkan
gangguan fisik, mental bahkan kematian. Untuk mengantisipasi keadaan di
atas maka masyarakat harus diberi penyuluhan-penyuluhan untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma kepala. Oleh karena itu peran
perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan trauma kepala karena
perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan observasi untuk
menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh cedera kepala.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Cidera kepala :


cidera otak ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Agar mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara


komprehensif pada pasien dengan cidera kepala : cidera otak.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Dapat melakukan pengkajian pada pasien dengan cidera kepala :


cidera otak
2. Dapat menetapkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
cidera kepala : cidera otak
3. Dapat melakukan perencanaan pada pasien dengan cidera kepala :
cidera otak
4. Dapat melakukan implementasi pada pasien dengan cidera kepala :
cidera otak
5. Dapat melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan cidera
kepala : cidera otak

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kepala

A. Kulit Kepala

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah. Bila robek, pembuluh-


pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan
kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang
dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak
(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau
avulasi.

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung (subkutis), aponeurosis
atau galea aponeurotika, loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar
dan pericranium (perikranium). (Satyanegara, 2014:27)

3
Keterangan :

1. Skin atau kulit

Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat


(Sebacea). Japardi, 2004:3)

2. Connective tissue atau jaringan subkutis

Merupakan jaringan ikat lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan


pembuluh darah terutama diatas galea. Pembuluh darah tersebut
merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi
lebih dominan arteri karotis eksterna (Japardi, 2004:3)

3. Aponeurosis galea

Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat


pada tiga otot, yaitu :

a. ke anterior – M. frontalis
b. ke posterior – M. occipitalis
c. ke lateral – M. temporoparietalis

4
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII)

4. Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar

Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena


tanpa katup (vaveless vein), yang menghubungkan SCALP, vena diploica
dan sinus vena intrakranial (misalnya sinus sagitalis superior). Jika terjadi
infeksi pada lapisan ini, akan muda menyebar ke intrakranial. Hematoma
yang terbentuk pada lapisan ini disebut subgaleal hematom, merupakan
hematoma yang paling sering ditemukan setelah cidera kepala (Japardi,
2004:3)

5. Pericranium (perikranium

Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat


erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan
langsung berhubungan dengan endosteum (yang melapisi permukaan
dalam tulang tengkorak). (Japardi, 2004:3)

B. Tulang Kepala

Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis cranium (dasar


tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak
disebabkan oleh trauma. Fraktur calvaria dapat berbentuk garis (liners) yang
bisa non impresi (tidak masuk / menekan ke dalam) atau impresi. Fraktur
tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang
kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar
(tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung alu-
alur artesia meningia anterior, indra dan prosterion. Perdarahn pada arteria-
artera ini dapat menyebabkan tertimbunnya darah dalam ruang epidural.

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi

5
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak (Encephalon) adalah Pusat Sistem Saraf ( Central Nervous System,


CNS). Otak berfungsi mengatur dan mengkordinir sebagian besar, gerakan,
perilaku dan fungsi tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah,
keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak mengendalikan semua
fungsi tubuh dan merupakan pusat dari seluruh kegiatan tubuh manusia. Jika
otak sehat, maka akan mendorong kesehatan tubuh serta menunjang
kesehatan fisik dan mental manusia. Sebaliknya apabila otak terganggu, maka
kesehatan tubuh dan mental akan terganggu.

Otak terdapat di dalam iquior cerebro spiraks. Kerusakan otak yang


dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :

1. Efek langsung trauma pada fungsi otak


2. Efek-efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar
(fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari
hidung/telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat
menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan karena
tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan
menimbulkan peninggian tekanan dalamm rongga tengkorak (peninggian
tekanan intra cranial).

Otak diselimuti oleh selaput otak yang disebut meninges yang terdiri dari 3
lapisan yaitu :

6
1. Durameter

Lapisan paling luar dari otak dan bersifat tidak kenyal. Lapisan ini
melekat langsung dengan tulang tengkorak. Bila durameter robek, tidak
dapat diperbaiki dengan sempurna. Berfungsi untuk melindungi
jaringan-jaringan yang halus dari otak dan medula spinalis, menutupi
sinus-sinus vena (yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal saja
tanpa jaringan vaskuler), membentuk periosteum tabula interna.

2. Arakhnoid

Lapisan bagian tengah dan terdiri dari lapisan yang berbentuk


jaring laba-laba. Ruangan dalam lapisan ini disebut dengan ruang
subarakhnoid dan memiliki cairan yang disebut cairan serebrospinal.
Lapisan ini berfungsi untuk melindungi otak dan medulla spinalis dari
guncangan.

3. Piameter

Lapisan paling dalam dari otak dan melekat langsung pada otak.
Lapisan ini banyak memiliki pembuluh darah. Berfungsi untuk
melindungi otak secara langsung.

7
2.2.1 Bagian - Bagian Otak

A. Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut
dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum
merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang.
Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika,
bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian
ini.

Otak Besar / Cerebrum terbagi menjadi empat bagian yang disebut


lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut sulcus. Keempat lobus tersebut masing-masing
adalah :

1. Lobus Frontal

Merupakan bagian lobus yang ada di paling depan dari Otak Besar.
Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah,
memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku
seksual dan kemampuan bahasa secara umum.

8
2. Lobus Parietal

Berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti


tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

3. Lobus Temporal

Berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan


pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa bicara atau komunikasi
dalam bentuk suara.

4. Lobus Occipital

Bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang


memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek
yang ditangkap oleh retina mata.

B. Otak Kecil ( Cerebellum )

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat


dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi
otomatis otak, diantaranya:

 Mengatur sikap atau posisi tubuh


 Mengontrol keseimbangan
 Koordinasi otot dan gerakan tubuh
Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan
otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan
saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya. Jika terjadi cedera
pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi
gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi.

C. Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga


kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau
sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar

9
manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh,
mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia
yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya.

Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:


1. Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah
bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan
Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan
tubuh dan pendengaran.
2. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari
sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga
sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak
jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
3. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat
otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah
kita terjaga atau tertidur.

Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak


ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian
otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut
dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus,
amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi
menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara
homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang,
metabolisme dan juga memori jangka panjang.

Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah


satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat
perhatian dan mana yang tidak. Misalnya Anda lebih memperhatikan anak
Anda sendiri dibanding dengan anak orang yang tidak Anda kenal. Mengapa?
Karena Anda punya hubungan emosional yang kuat dengan anak Anda.

10
Begitu juga, ketika Anda membenci seseorang, Anda malah sering
memperhatikan atau mengingatkan. Hal ini terjadi karena Anda punya
hubungan emosional dengan orang yang Anda benci.

Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh


indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat
bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya
sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan
dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya.
LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua
nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.

2.3 Definisi

Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala,


tengkorak, otak, dan cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik
yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik
sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2210)

Trauma kepala/cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah


kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak,


commusio (gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan
serebral yaitu diantaranya subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak
(Doenges, 2000:270).

Dan cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau


pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial (Smeltzer, 2000).

Dari beberapa definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa cedera kepala
adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam maupun benda
tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak dan jaringan otak
yang disertai atau tanpa perdarahan.

11
2.4 Klasifikasi

Adapun pembagian / pengklasifikasian cedera kepala (Arief Mansjoer,


2000 : hal 3) adalah :

1. Berdasarkan Mekanisme Cedera

a. Trauma Tumpul

Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan


kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasan (pukulan).

b. Trauma tembus

Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-


benda tajam/runcing.

2. Berdasarkan beratnya cedera, yang didasarkan pada penilaian Glasgow


Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Cedera Kepala Ringan (CKR)

 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
 GCS 9 – 12
 Kehialngan kesadaran dan atau anamnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
 Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan
TIK

12
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial

Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran


pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian
yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang
mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada
mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.
Skala GCS :
Membuka mata : Spontan :4
Dengan perintah :3
Dengan nyeri :2
Tidak berespon :1
Motorik : Dengan perintah :1
Melokalisasi nyeri :5
Menarik area yang nyeri :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi :2
Tidak berespon :1
Verval : Berorientasi :5
Bicara membingungkan :4
Kata-kata tidak tepat :3
Suara tidak dapat dimengerti : 2
Tidak ada respon :1
3. Berdasarkan Morfologi
1) Fraktur tengkorak :
a) Kranium : linear/stelatum: depresi/non depresi; terbuka/tertutup

13
b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII (Nervus
Facialis)
2) Lesi Intrakranial :
a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral
b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonall difus

Pada Cedera Otak :

1. Commotio Cerebri (Gegar otak)

Commotio cerebri (gegar otak) adalah cidera otak ringan


karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan
tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah dan pusing.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cedera tidak
diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd
dan antegrad).

Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli


bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih
dari 1 jam. Klaau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat
dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang
berkepanjangan.

2. Contusia cerebri (Memar otak)

Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya


pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan
rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang
paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N.
Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.

14
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru-jantung yang
mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya
suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalika (decebracio rigiditas).

3. Perdarahan Intrakranial

a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningen media atau
cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi
di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan
fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di
antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil
vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan
cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia
sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga
antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat
memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan
otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah
otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater.
Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari
adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak,
karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah).
Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

15
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks
dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang
besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi
dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena
tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga
terjadilah subduralis haematoma.
4. Berdasarkan Patofisiologi

a. Cedera kepala primer


Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-
decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak
dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti
hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi
pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :

1. Concussion : benturan pada otak yang cukup keras dan mampu membuat
jaringan otak mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup kuat untuk
menyebabkan memar pada jaringan otak atau penurunan keasadaran yang
menetap. Contohnya seperti ketika kita membentur tembok atau benda
lain, sesaat kemudian kita akan merasa kepala berputar dan diatasnya ada
burung-burung emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat
setelah itu kita akan kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala:
penurunan kesadaran dalam waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal
yang baru saja terjadi, letargi, pusing.

2. Contusion : memar pada jaringan otak yang lebih serius dari


pada concussion. Lebih banyak disebabkan oleh adanya perdarahan arteri

16
otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang tengkorak dan dura.
Gejala: penurunan kesadaran, hemiparese, perubahan reflek pupil.

3. Epidural hematoma : terjadi berhubungan dengan proses ekselerasi-


deselerasi atau coup-contracoup yang menyebabkan adanya gangguan
pada sistem saraf pada daerah otak yang mengalami memar. Gejala:
penurunan kesadaran dalam waktu singkat yang akan berlanjut menjadi
penurunan kesadaran yang progresif, sakit kepala yang parah, kompresi
batang otak, keabnormalan pernafasa (pernfasan dalam), gangguan
motorik yang bersifat kontralateral,dilatasi pupil pada sisi yang searah
dengan trauma, kejang, perdarahan.Epidural hematoma merupakan jenis
perdarahan yang paling berbahaya karena terjadi pada artesi otak.

4. Subdural hematoma : merupakan tipe trauma yang sering terjadi.


Perdarahan pada meningeal yang menyebabkan akumulasi darah pada
daerah subdural (antara duramater dan arachnoid). Biasanya mengenai
vena pada korteks cerebri (jarang sekali mengenai arteri). Gejala: mirip
dengan epidural hematoma namun dengan onset of time yang lambat
karena sobekan pembuluh darah terjadi pada vena sedangkan pada
epidural mengenai arteri.

5. Intracerebral hemorrhage : merupakan tipe perdarahan yang sub akut dan


memiliki prognosa yang lebih baik karena aliran darah pada pembuluh
darah yang robek berjalan relatif lambat. Sering terjadi pada bagian frontal
dan temporal otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi. Gejala: deficit
neurologis yang tergantung pada letak perdarahan, gangguan motorik,
peningkatan tekanan intracranial.

6. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak) : terdapat 4 tipe yaitu linear,


comminuted, basilar, dan depressed. Fraktur pada bagian depan dan tengah
tulang tengkorak akan mengakibatkan sakit kepala yang parah. Gejala:
mungkin asimtomatik tergantung pada penyebab trauma, displacemenet
(perubahan/pergeseran letak) tulang, perubahan sensor motorik,periorbital

17
ekimosis (bercak merah pada mata), adanya battle’s sign (ekimosis pada
tulang mstoid), akumulasi darah pada membran timpani.

2.5 Etiologi

1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa


penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan
menjadi 2 faktor yaitu :

a. Trauma primer

Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung


(akselerasi dan deselerasi)

b. Trauma sekunder

Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang


meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensi sistemik.

2. Trauma akibat persalinan

3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan


pada saat olahraga.

4. Jatuh

5. Cedera akibat kekerasan.

2.6 Patofisiologi

Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat


ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila

18
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.( Hudak, Carolyn. 1996)

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena


memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak, Carolyn.
1996)

Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”


dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-
duanya. (Genneralli cit Hudak, Carolyn. 1996)

Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya


kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh
darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera

19
kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik
yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak
kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari
cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia
dan perdarahan.

Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural


hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter,
subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter
dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala
terjadikarena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi
autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2007).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Cedera Primer

Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang


tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak
(termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2. Cedera Sekunder

Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut


melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie
mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap.
Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan
parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan
Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :

20
CPP = MAP – ICP

CPP : Cerebral Perfusion Pressure

MAP : Mean Arterial Pressure

ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia


otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik - kerusakan seluler
yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial
hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang.

3. Edema Sitotoksik

Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih


sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino
Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-
Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca
influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym
degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4. Kerusakan Membran Sel

Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan


menyebab kankerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel
(BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi
sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk
menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui rusaknya
fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang
menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

5. Apoptosis

Sinyal kematian sel diteruskan ke nukleus ileh membran bound


apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei,
fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage)

21
PATHWAY

Perubahan Pola napas tidak


persepsi sensori efektif

22
2.7 Manifestasi Klinis

1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih


2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
12. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan

2.8 Komplikasi

Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom


intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak. (Brunner &
Suddarth, 2002 : hal. 2215)

a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena


ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.
b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak
melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia,
infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.
c. Defisit neurologik dan psikologik
d. Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia)
e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventikulitis, abses otak)
f. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang
berat badan)

23
Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat,
yaitu:
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh
rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera
kepala tertutup.
b. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus,
kemosis, dan bruit orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari
setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada
tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon
antidiuretik.
d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi pada saraf,
perubahan kepadatan jaringan, kejadian iskemik atau fraktur.
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilakukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.

2. MRI
Untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan struktur
dalam otak. Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa
kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

24
4. EEG (Elektroencepalograf)
Menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan
ditemukan gelombang theta dan delta dengan amplitude yang tinggi.
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada
tulang tengkorak. Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan
untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
Lumbal Pungsi yaitu untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK
melalui analisa CSF. Pada kasus subdural hematom kronis CSF
berwarna kuning dengan kandungan protein rendah.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
2.9 Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala


adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.

25
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah,
hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
o Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
o Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
o Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
o Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin)
atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
o Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.

26
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sistematis untuk


menentukan status kesehatan pasien dan untuk mengidentifikasi semua
masalah kesehatan yang actual atau potensial. (Brunner & Suddarth, 2002 :
hal. 32)
A. Pengkajian primer

Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :


a. Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
b. Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
c. Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi,
sianosis, capilarrefil.
d. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all.
2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
 Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan
orientatif)
 Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
 Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit
kepala
 Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

27
2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
 Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau
stupor)
 Konkusi
 Amnesia pasca trauma
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).
3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
 Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresikranium.
e. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.

B. Pengkajian sekunder
1. Identitas
Nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, agama, alamat.
2. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit saat ini :
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS < 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada
saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.

28
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku
juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi,
tidak responsif dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulen, aspirin,
vasodilator, obat-obat adikti, konsumsi alkohol berlebihan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus. Data-data ini sangat berarti karena
dapat mempengaruhi prognosa klien.
6. Persepsi Psiko-Sosial-Spiritual
Mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien, yang timbul seperti ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara
optimal, dan pandangal terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
diri).
7. Perubahan pola fungsi
a. Aktivitas/ Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda :

§ Perubahan kesehatan, letargi

§ Hemiparase, quadrepelgia

§ Ataksia cara berjalan tak tegap

§ Masalah dalam keseimbangan

29
§ Cedera (trauma) ortopedi

§ Kehilangan tonus otot, otot spastik

b. Sirkulasi

Gejala :

§ Perubahan darah atau normal (hipertensi)

§ Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,


takikardia yang diselingi bradikardia disritmia).

c. Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau


dramatis)

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung


depresi dan impulsif.

d. Eliminasi

Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami


gangguan fungsi.

e. Makanan/ cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil)

Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).

f. Neurosensoris

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar


kejadian, vertigo, sinkope, tinitus kehilangan
pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.

Tanda :

30
§ Perubahan kesadaran bisa sampai koma

§ Perubahan status mental

§ Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)

§ Wajah tidak simetri

§ Genggaman lemah, tidak seimbang

§ Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah

§ Apraksia, hemiparese, Quadreplegia

g. Nyeri/ Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang


berbeda biasanya koma.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan


nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat,
merintih.

h. Pernapasan

Tanda :

§ Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh


hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak

§ Ronki, mengi positif

i. Keamanan

Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan

Tanda : Fraktur/ dislokasi

 Gangguan penglihatan
 Gangguan kognitif

31
 Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan
secara umum mengalami paralisis
 Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
j. Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara


berulang-ulang.

5. Pengkajian persistem

1). Keadaan umum


Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami
penurunan kesadaran, cedera kepala ringan/cedera otak ringan
(GCS 13-15), cedera kepala sedang (9-12), cedera kepala berat
bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi perubahan tanda-
tanda vital.
2). Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3). TTV
4). Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi,
nafas bunyi ronchi.
5). Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat,
denyut nadi bradikardi kemudian takikardi.
6). Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7). Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami
perubahan selera
8). Sistem Muskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9). Sistem Persarafan

32
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope,
tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan
penglihatan, gangguan pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan,
kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
 N.I : penurunan daya penciuman
 N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatan
 N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang,
refleks cahaya menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta
tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
 N.V : gangguan mengunyah
 N.VII, N.XII : lemahnya penutupan kelopak mata,
hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
 N.VIII : penurunan pendengaran dan
keseimbangan tubuh
 N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan

b. Skala Koma Glasgow (GCS)


NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak
nyambung dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak
tepat
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal

33
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka mata 2 Rangsang nyeri
(EYE) 3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4 Spontan

c. Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala
berikut yang digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

6. Pemeriksaan Fisik menggunakan (B1 – B6)

1.) B1 ( Breathing)

Perubahan pada system pernapasan bergantung pada gradasi dari


perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa hasil
dari pemeriksaan fisik dari system ini akan didapatkan:

Inspeksi, didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,


sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan paru tidak
simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/tidak penuh dan
kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya

34
atelektaksis, lesi paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulung iga,
pneumothoraks, atau peempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang
kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi
dari otot-otot intercostal, substernal, pernapasan abdomen dan respirasi
paradox ( retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi
jika otot-otot intercostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.

Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain


akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.

Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan


melibatkan trauma pada thoraks/hematothoraks.

Auskultasi,bunyi- bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,


stapes tambahan seperti napas berbunyi, stidor, ronkhi pada klien
dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.

Pada klien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi klien
stabil. Pengkajian klien cedera otak berat dengan pemasangan ventilator
secara komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis.

Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis pada


pengkajian inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak
didapatkan bunyi napas tambahan.

2.) B2 ( Blood )

Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan renjatan


( syok) hipovlemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang
dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,

35
nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam daraah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretic hormone (ADH) yang
berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit meningkat sehingga memberikan
risiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
system kardiovaskular.

3.) B3 ( Brain )

Cedera kepala menyebabkan berbagai deficit neurologis terutama


disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intracranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma
dan epidural hematoma. Pengkajian B3 ( Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada
system lainnya.

Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah


indicator paling sensitive untuk menilai disfungsi system persarafan.
Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan kesadaraan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, struptor,
semikomatosa, sampai koma.

Pengkajian fungsi serebral

36
 Status mental : observasi penampilan dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status
mental mengalami perubahan.
 Fungsi intelektual : pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
 Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Difungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lipa, kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka.
Masalah psikologis, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang
kerja sama.
 Hemisfer : cedera kepala hemisfer kanan didapatkan
hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai
kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh
ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer
kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat
hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustasi.

Pemeriksaan saraf cranial

 Saraf I, Pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah


yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia
unilateral atau bilateral.
 Saraf II, Hematoma palpebra pada klien cedera kepala
akan menurunkan lapangan penglihatan dan mengganggu
fungsi dari nervus optikus. Perdarahan di ruang

37
intracranial, terutama hemoragia subarakhnoudal, dapat
disertai dengan perdarahan diretina. Anomaly pembuluh
darah di dalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus.
Tetapi dari segala masam kelainan di dalam ruang
intracranial, tekanan intracranial dapat dicerminkan pada
fundus.
 Saraf III,IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak
mata pada klien dengan trauma yang merusak rongga
orbital. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius
jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda
awal tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran . paralisis otot-otot ocular akan menyusul pada
tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat
anisokoria dimana bukannya midriasis yang di temukan,
melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang
miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
siliosponal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak efektif, sehingga pupil berdilatadi
melainkan berkonstriksi.
 Saraf V. pada beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan menguyah.
 Saraf VII. Persepsi pengecepan mengalami perubahan.
 Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien
cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila
trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf
vestibulokoklearis.
 Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.

38
 Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher,
mobilitas klien cukup baik dan tidak artrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
 Saraf XII. Indra pengecepan mengalami perubahan.

System motoric

 Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada


masalah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis ( kelemahan salah satu sisi
tubuh) adalah tanda yang lain.
 Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
 Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade
kekuatan otot didapatkan grade 0.
 Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami
gangguan karena hemiparese dan hemiplegia.

Pemeriksaan refles

 Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon,


ligamentum, atau periosteum derajat pada respons
abnormal.
 Pemeriksaan reflex patologis, pada fase akut reflex
fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari reflex fisiologis akan muncul kembali
dengan reflex patologis.

System sensorik

Dapat terjadi hemihipestensi. Persepsis adalah


ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi
visual karena gangguan jarak sensorik primer di antara mata dan
korteks visual. Gangguan hubungan visual spasial( mendapatkan

39
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada
klien dengan hemiplegia kiri.

Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa


kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
propriosepsi ( kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil,
dan auditorius.

4.) B4 ( Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik,


termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera
kepala klien mungkin mengalami inkontinensia urin karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol
motoric dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius
eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontensia urin yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

5.) B5 ( Bowel )

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan


menurun, mual muntah fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan
dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan
masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinesia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis usus.

Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada


tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan
adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untik menilai ada atau
tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan

40
palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada
paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus dapat
terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.

6.) B6 ( Bone )

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh


ekstermitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapsn, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan adanya
sianosis ( ujung kuku, ekstermitas, telinga, hidung, bibir, dan membrane
mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada
klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice ( warna kuning) pada klien yang menggunakan
respirstor dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan packed red cells ( PRC) dalam jangka waktu lama. Pada
klien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas
terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya
demam dan infeksi. Intergritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
decubitus. Adanya kesukaran untuk beraktifitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

3.2 Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian


aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematome) ; edema serebral (respons
local atau umum pada cedera, perubahan metabolic, takar lajak obat /
alcohol) ; penurunan TD sistemik / hipoksia (hipovolemia, distrimia
jantung).
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula
oblongata
c. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neurologis

41
d. Resiko kekurangan volume cairan b.d mual muntah
e. Nyeri b.d peningkatan TIK dan trauma kepala
f. Resiko gangguan integritas kulit b.d immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer, bedrest total.
g. Resiko infeksi b.d kondisi penyakit akibat trauma kepala

3.3 Intervensi Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian


aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematome) ; edema serebral (respons
local atau umum pada cedera, perubahan metabolic, takar lajak obat /
alcohol) ; penurunan TD sistemik / hipoksia (hipovolemia, distrimia
jantung).
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat
Kriteria Hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD, nadi,
RR dan suhu tubuh), klien tidak gelisah, GCS 15,
tidak ada tanda peningkatan TIK

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji status neurologis yang 1. Mengkaji adanya kecenderungan
berhubungan dengan tanda-tanda pada tingkat kesadaran dan
TIK; terutama GCS potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP
2. Monitor tanda-tanda vital setiap 2. Normalnya autoregulasi
jam sampai keadaan klien stabil mempertahankan aliran darah otak
yang konstan pada saat ada
fluktuasi tekanan darah sistemik
3. Nikkan kepala dengan sudut 15o – 3. Meningkatkan aliran balik vena
45o tanpa bantal dan posisi netral dari kepala, sehingga akan
mengurangi kongesti dan edema

42
4. Monitor asupan setiap delapan jam 4. Pembatasan cairan mungkin
sekali diperlukan untuk menurunkan
edema serebral
5. Kolaborasi dengan tim medis 5. Dapat digunakan pada fase akut
dalam pemberian obat-obatan anti untuk menurunkan air dari sel otak,
edema seperti manitol, gliserol dan menurunkan edema otak dan TIK
lasix
6. Berikan oksigen sesuai program 6. Menurunkan hipoksemia yang
terapy dapat meningkatkan vasodilatasi
dan volume darah serebral yang
meningkatkan TIK

b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula


oblongata

Tujuan : Pola pernapasan menjadi efektif

Kriteria Hasil : 1. Pola napas normal (irama teratur, RR = 16-24


x/menit)

2. Tidak ada pernapasan cuping hidung

INTERVENSI RASIONAL

1. Pantau frekuensi, irama dan 1. Perubahan dapat menandakan


kedalaman pernapasan. Catat awitan komplikasi pulmo atau
ketidakteraturan pernapasan menandakan luasnya keterlibatan
otak. Pernapasan lambat, periode
aprea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanis
2. Catat kompetensi reflek GAG dan 2. Kemampuan mobilisasi penting
kemampuan untuk melindungi untuk pemeleliharaan jalan napas.
jalan napas sendiri Kehilangan reflek batuk
menandakan perlunya jalan napas

43
buatan/intubasi
3. Tinggikan kepala tempat tidur 3. Untuk memudahkan ekspansi
sesuai indikasi paru dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh
menutupi jalan napas
4. Anjurkan klien untuk bernapas 4. Mencegah atau menurunkan
dalam dan batuk efektif atelektasis
5. Beri terapi O2 tambahan 5. Memaksimalkan O2 pada darah
arteri dan membantu dalam
mencegah hipoksia
6. Pantau analisa gas darah, tekanan 6. Menentukan kecukupan
oksimetri pernapasan, keseimbangan asam
basa

c. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neurologis

Tujuan : Perubahan persepsi sensori tidak terjadi

Kriteria Hasil : 1. Tingkat kesadaran normal

2. Fungsi alat-alat indera baik

3. Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi


pada orang, waktu dan tempat

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji respon sensori terhadap 1. Informasi yang penting untuk


panas atau dingin, raba atau keamanan klien, semua sistem
sentuhan. Catat perubahan- sensori dapat terpengaruh dengan
perubahan yang terjadi adanya perubahan yang
melibatkan kemampuan untuk
menerima dan berespon sesuai
stimulus

44
2. Kaji persepsi klien, baik respon 2. Hasil pengkajian dapat
balik dan koneksi kemampuan menginformasikan susunan fungsi
klien berorientasi terhadap orang, otak yang terkena dan membantu
tempat dan waktu intervensi sempurna
3. Berikan stimulus yang berarti saat 3. Merangsang kembali kemampuan
penurunan kesadaran persepsi sensori
4. Berikan keamanan klien dengan 4. Gangguan persepsi sensori dan
pengamanan sisi tempat tidur, buruknya keseimbangan dapat
bantu latihan jalan dan lindungi meningkatkan resiko terjadinya
dari cidera injury
5. Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi 5. Pendekatan antar disiplin dapat
deuposi, wicara, terapi kognitif menciptakan rencana
penatalaksanaan terintegrasi yang
berfokus pada peningkatan
evaluasi, dan fungsi fisik, kognitif
dan ketrampilan perseptual

d. Resiko kekurangan volume cairan b.d mual muntah

Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan

Kriteria Hasil : 1. TTV dalam batas normal

2. Nadi perifer teraba kuat

3. Haluaran urin adekuat

INTERVENSI RASIONAL

1. Ukur haluaran berat jenis urin. 1. Penurunan haluaran urin dan berat
Catat ketidakseimbangan input dan jenis urin akan menyebabkan
output hipovolemi
2. Dorong masukan cairan peroral 2. Memperbaiki kebutuhan cairan
sesuai toleransi

45
3. Pantau tekanan darah dan denyut 3. Pengurangan dalam sirkulasi
jantung volume cairan dapat mengurangi
tekanan darah, mekanisme
kompensasi awal takikardi untuk
meningkatkan curah jantung dan
tekanan darah sistemik
4. Palpasi denyut perifer 4. Denyut yang lemah, mudah hilang
dapat menyebabkan hipovolemi
5. Kaji membran mukosa, turgor kulit 5. Merupakan indikator dari
dan rasa haus kekurangan volume cairan dan
sebagai pedoman untuk
penatalaksanaan dehidrasi
6. Berikan tambahan cairan parenteral 6. Memperbaiki kebutuhan cairan
sesuai indikasi

e. Nyeri b.d peningkatan TIK dan trauma kepala

Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang

Kriteria Hasil : Tidak mengeluh nyeri, dan TTV dalam batas


normal

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji keluhan nyeri dengan 1. Menentukan status kesehatan klien
menggunakan skala nyeri, catat dan menentukan tindakan yang
lokasi nyeri, lamanya, akan dilakukan
serangannya, peningkatan nadi,
nafas cepat atau lambat,
berkeringat dingin
2. Ciptakan lingkungan yang 2. Lingkungan yang nyaman dapat
nyaman termasuk tempat tidur mengurangi tekanan psikis yang
akan meningkatkan rangsang nyeri
3. Berikan sentuhan terapeutik, 3. Pasien lebih kooperatif dan

46
lakukan distraksi dan relaksasi mengurangi nyeri
4. Kolaborasi pemberian obat 4. Mengurangi rasa nyeri yang ada
analgetik sesuai dengan program

f. Resiko gangguan integritas kulit b.d immobilisasi, tidak adekuatnya


sirkulasi perifer, bedrest total.

Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi

Kriteria Hasil : Kulit tetap utuh, tidak ada kemerahan

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji fungsi motorik dan sensorik 1. Untuk menetapkan kemungkinan
pasien dan sirkulasi perifer. Kaji terjadinya lecet pada kulit
kulit pasien setiap 8 jam : palpasi
pada daerah yang tertekan
2. Ganti posisi pasien setiap 2 jam. 2. Dalam waktu 2 jam diperkirakan
Berikan posisi dalam sikap akan terjadi penurunan perfusi ke
anatomi dan gunakan tempat kaki jaringan sekitar. Maka dengan
untuk daerah yang menonjol mengganti posisi setiap 2 jam dapat
memperlancar sirkulasi tersebut.
Dengan posisi anatomi maka
anggota tubuh tidak mengalami
gangguan, khususnya masalah
sirkulasi / perfusi jaringan.
Mengalas bagian yang menonjol
guna mengurangi penekanan yang
mengakibatkan lesi kulit
3. Pertahankan kebersihan dan 3. Keadaan lembab akan
kekeringan pasien memudahkan terjadinya kerusakan
kulit
4. Massage dengan lembut di atas 4. Meningkatkan sirkulasi dan
daerah yang menonjol setiap 2 elastisitas kulit dan mengurangi

47
jam sekali kerusakan kulit
5. Pertahankan alat-alat tenun tetap 5. Dapat mengurangi proses
bersih dan tegang penenkanan pada kulit dan
menjaga kebersihan kulit
6. Kaji daerah kulit yang lecet untuk 6. Sebagai bagian untuk
adanya eritema, keluar cairan memperkirakan tindakan
setiap 8 jam selanjutnya
7. Berikan perawatan kulit pada 7. Untuk mencegah bertambah luas
daerah yang rusak / leset setiap 4 kerusakan kulit
– 8 jam dengan menggunakan
H2O2

g. Resiko infeksi b.d kondisi penyakit akibat trauma kepala


Tujuan : Infeksi tidak terjadi

Kriteria Hasil : Mempertahankan normotermia, bebas tanda-


tanda infeksi, tidak ada pus dari luka, mencapai
penyembuhan luka tepat waktu

INTERVENSI RASIONAL

1. Pantau suhu tubuh secara teratur, 1. Dapat mengindikasikan


catat adanya demam, menggigil, perkembangan sepsis yang
diaforesis dan perubahan fungsi selanjutnya memerlukan evaluasi
mental (penurunan kesadaran atau tindakan dengan segera
2. Observasi daerah kulit yang 2. Deteksi dini perkembangan infeksi
mengalami kerusakan, daerah memungkinkan untuk melakukan
yang terpasang alat invasi, catat tindakan dengan segera dan
karakteristik dan drainase dan pencegahan terhadap komplikasi
adanya inflamasi selanjutnya
3. Kaji tanda dan gejala adanya 3. Untuk mengetahui adanya infeksi
meningitis, termasuk kaku kuduk, yang lebih lanjut
iritabel, sakit kepala, demam,

48
muntah dan kejang
4. Anjurkan untuk melakukan napas 4. Peningkatan mobilisasi dan
dalam, latihan pengeluaran sekret pembersihan sekresi paru untuk
paru secara terus menerus. menurunkan resiko terjadinya
Observasi karakteristik sputum pneumonia, atelektasis
5. Berikan perawatan aseptik dan 5. Cara pertama untuk menghindari
antiseptik, pertahankan tehnik terjadinya infeksi nosokomial
cuci tangan yang baik
6. Lakukan perawatan luka dengan 6. Mempercepat proses penyembuhan
steril dan hati-hati dan mencegah terjadinya infeksi
lebih lanjut
7. Kolaborasi pemberian antibiotik 7. Terapi profilatik dapat digunakan
sesuai indikasi pada pasien yang mengalami
trauma, kebocoran CSS atau
setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial

3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan
yang telah dibuat. Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari
perencanaan keperawatan yang telah dibuat untuk mencapai hasil yang
efektif. Dalam pelaksanaan implementasi keperawatan, penguasaan
keterampilan dan pengetahuan harus dimiliki oleh setiap perawat sehingga
pelayanan yang diberikan baik mutunya. Dengan demikian tujuan dari
rencana yang telah ditentukan dapat tercapai (Wong. D.L.2004 : hal.331).

3.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi dikatakan berhasil jika kriteria hasil sudah terpenuhi. Evaluasi
adalah suatu penilaian terhadap keberhasilan rencana keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien. Pada tahap evaluasi apakah ada

49
tindakan yang dilanjutkan atau tidak tergantung dari kriteria hasil, sudah
tercapai apa belum. Kemudian dengan membandingkan pada intervensi dan
implementasi.

50
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, otak, dan cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik
yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik
sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2210).
Dan cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intra kranial (Smeltzer, 2000). Klasifikasi trauma kepala berdasarkan
Glasgow Coma Skale (GCS) yaitu :

- Cedera Kepala Ringan (CKR)


- Cedera Kepala Sedang (CKS)
- Cedera Kepala Besar (CKB)
Cedera memegang peranan yang sangat besardalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologi dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak. Kedua kekuatan ini
munkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar
dan cepat.

4.2 Saran
Setelah membaca dan memahami makalah ini, diharapkan kita sebagai
perawat dapat mengetahui akan penyakit cedera kepala, klasifikasi cedera kepala
dan dapat melakukan asuhan keperawatan pada cedera kepala : cedera otak
dengan baik dan benar.

51

Anda mungkin juga menyukai