PENDAHULUAN
Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Lebih dari
setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai
signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock
hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera
bagian tubuh lainnya. Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial
(PTIK).
1
dari masing-masing individu. Cedera kepala ringan pada umumnya tidak
menunjukkan gejala yang jelas sehingga masyarakat tidak langsung mencari
bantuan medis, padahal sekecil apapun trauma dikepala bisa mengakibatkan
gangguan fisik, mental bahkan kematian. Untuk mengantisipasi keadaan di
atas maka masyarakat harus diberi penyuluhan-penyuluhan untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma kepala. Oleh karena itu peran
perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan trauma kepala karena
perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan observasi untuk
menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh cedera kepala.
1.3 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung (subkutis), aponeurosis
atau galea aponeurotika, loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar
dan pericranium (perikranium). (Satyanegara, 2014:27)
3
Keterangan :
3. Aponeurosis galea
a. ke anterior – M. frontalis
b. ke posterior – M. occipitalis
c. ke lateral – M. temporoparietalis
4
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII)
5. Pericranium (perikranium
B. Tulang Kepala
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
5
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
Otak diselimuti oleh selaput otak yang disebut meninges yang terdiri dari 3
lapisan yaitu :
6
1. Durameter
Lapisan paling luar dari otak dan bersifat tidak kenyal. Lapisan ini
melekat langsung dengan tulang tengkorak. Bila durameter robek, tidak
dapat diperbaiki dengan sempurna. Berfungsi untuk melindungi
jaringan-jaringan yang halus dari otak dan medula spinalis, menutupi
sinus-sinus vena (yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal saja
tanpa jaringan vaskuler), membentuk periosteum tabula interna.
2. Arakhnoid
3. Piameter
Lapisan paling dalam dari otak dan melekat langsung pada otak.
Lapisan ini banyak memiliki pembuluh darah. Berfungsi untuk
melindungi otak secara langsung.
7
2.2.1 Bagian - Bagian Otak
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut
dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum
merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang.
Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika,
bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian
ini.
1. Lobus Frontal
Merupakan bagian lobus yang ada di paling depan dari Otak Besar.
Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah,
memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku
seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
8
2. Lobus Parietal
3. Lobus Temporal
4. Lobus Occipital
9
manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh,
mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia
yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya.
10
Begitu juga, ketika Anda membenci seseorang, Anda malah sering
memperhatikan atau mengingatkan. Hal ini terjadi karena Anda punya
hubungan emosional dengan orang yang Anda benci.
2.3 Definisi
Dari beberapa definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa cedera kepala
adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam maupun benda
tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak dan jaringan otak
yang disertai atau tanpa perdarahan.
11
2.4 Klasifikasi
a. Trauma Tumpul
b. Trauma tembus
GCS 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9 – 12
Kehialngan kesadaran dan atau anamnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan
TIK
12
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial
13
b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII (Nervus
Facialis)
2) Lesi Intrakranial :
a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral
b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonall difus
14
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru-jantung yang
mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya
suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalika (decebracio rigiditas).
3. Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningen media atau
cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi
di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan
fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di
antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil
vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan
cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia
sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga
antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat
memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan
otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah
otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater.
Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari
adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak,
karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah).
Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
15
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks
dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang
besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi
dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena
tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga
terjadilah subduralis haematoma.
4. Berdasarkan Patofisiologi
1. Concussion : benturan pada otak yang cukup keras dan mampu membuat
jaringan otak mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup kuat untuk
menyebabkan memar pada jaringan otak atau penurunan keasadaran yang
menetap. Contohnya seperti ketika kita membentur tembok atau benda
lain, sesaat kemudian kita akan merasa kepala berputar dan diatasnya ada
burung-burung emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat
setelah itu kita akan kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala:
penurunan kesadaran dalam waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal
yang baru saja terjadi, letargi, pusing.
16
otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang tengkorak dan dura.
Gejala: penurunan kesadaran, hemiparese, perubahan reflek pupil.
17
ekimosis (bercak merah pada mata), adanya battle’s sign (ekimosis pada
tulang mstoid), akumulasi darah pada membran timpani.
2.5 Etiologi
a. Trauma primer
b. Trauma sekunder
4. Jatuh
2.6 Patofisiologi
18
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.( Hudak, Carolyn. 1996)
19
kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik
yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak
kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari
cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia
dan perdarahan.
1. Cedera Primer
2. Cedera Sekunder
20
CPP = MAP – ICP
3. Edema Sitotoksik
5. Apoptosis
21
PATHWAY
22
2.7 Manifestasi Klinis
2.8 Komplikasi
23
Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat,
yaitu:
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh
rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera
kepala tertutup.
b. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus,
kemosis, dan bruit orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari
setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada
tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon
antidiuretik.
d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
2. MRI
Untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan struktur
dalam otak. Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa
kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
24
4. EEG (Elektroencepalograf)
Menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan
ditemukan gelombang theta dan delta dengan amplitude yang tinggi.
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada
tulang tengkorak. Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan
untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
Lumbal Pungsi yaitu untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK
melalui analisa CSF. Pada kasus subdural hematom kronis CSF
berwarna kuning dengan kandungan protein rendah.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
2.9 Penatalaksanaan
25
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah,
hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
o Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
o Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
o Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
o Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin)
atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
o Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.
26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
27
2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau
stupor)
Konkusi
Amnesia pasca trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).
3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresikranium.
e. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.
B. Pengkajian sekunder
1. Identitas
Nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, agama, alamat.
2. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit saat ini :
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS < 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada
saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
28
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku
juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi,
tidak responsif dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulen, aspirin,
vasodilator, obat-obat adikti, konsumsi alkohol berlebihan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus. Data-data ini sangat berarti karena
dapat mempengaruhi prognosa klien.
6. Persepsi Psiko-Sosial-Spiritual
Mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien, yang timbul seperti ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara
optimal, dan pandangal terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
diri).
7. Perubahan pola fungsi
a. Aktivitas/ Istirahat
Tanda :
§ Hemiparase, quadrepelgia
29
§ Cedera (trauma) ortopedi
b. Sirkulasi
Gejala :
c. Integritas Ego
d. Eliminasi
e. Makanan/ cairan
f. Neurosensoris
Tanda :
30
§ Perubahan kesadaran bisa sampai koma
g. Nyeri/ Kenyamanan
h. Pernapasan
Tanda :
i. Keamanan
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
31
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan
secara umum mengalami paralisis
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
j. Interaksi Sosial
5. Pengkajian persistem
32
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope,
tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan
penglihatan, gangguan pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan,
kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang,
refleks cahaya menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta
tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII : lemahnya penutupan kelopak mata,
hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan
keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan
33
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka mata 2 Rangsang nyeri
(EYE) 3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4 Spontan
c. Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala
berikut yang digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
1.) B1 ( Breathing)
34
atelektaksis, lesi paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulung iga,
pneumothoraks, atau peempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang
kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi
dari otot-otot intercostal, substernal, pernapasan abdomen dan respirasi
paradox ( retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi
jika otot-otot intercostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Pada klien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi klien
stabil. Pengkajian klien cedera otak berat dengan pemasangan ventilator
secara komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis.
2.) B2 ( Blood )
35
nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam daraah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretic hormone (ADH) yang
berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit meningkat sehingga memberikan
risiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
system kardiovaskular.
3.) B3 ( Brain )
Tingkat kesadaran
36
Status mental : observasi penampilan dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status
mental mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Difungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lipa, kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka.
Masalah psikologis, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang
kerja sama.
Hemisfer : cedera kepala hemisfer kanan didapatkan
hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai
kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh
ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer
kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat
hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustasi.
37
intracranial, terutama hemoragia subarakhnoudal, dapat
disertai dengan perdarahan diretina. Anomaly pembuluh
darah di dalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus.
Tetapi dari segala masam kelainan di dalam ruang
intracranial, tekanan intracranial dapat dicerminkan pada
fundus.
Saraf III,IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak
mata pada klien dengan trauma yang merusak rongga
orbital. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius
jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda
awal tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran . paralisis otot-otot ocular akan menyusul pada
tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat
anisokoria dimana bukannya midriasis yang di temukan,
melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang
miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
siliosponal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak efektif, sehingga pupil berdilatadi
melainkan berkonstriksi.
Saraf V. pada beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan menguyah.
Saraf VII. Persepsi pengecepan mengalami perubahan.
Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien
cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila
trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf
vestibulokoklearis.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
38
Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher,
mobilitas klien cukup baik dan tidak artrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Indra pengecepan mengalami perubahan.
System motoric
Pemeriksaan refles
System sensorik
39
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada
klien dengan hemiplegia kiri.
4.) B4 ( Bladder)
5.) B5 ( Bowel )
40
palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada
paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus dapat
terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
6.) B6 ( Bone )
41
d. Resiko kekurangan volume cairan b.d mual muntah
e. Nyeri b.d peningkatan TIK dan trauma kepala
f. Resiko gangguan integritas kulit b.d immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer, bedrest total.
g. Resiko infeksi b.d kondisi penyakit akibat trauma kepala
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji status neurologis yang 1. Mengkaji adanya kecenderungan
berhubungan dengan tanda-tanda pada tingkat kesadaran dan
TIK; terutama GCS potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP
2. Monitor tanda-tanda vital setiap 2. Normalnya autoregulasi
jam sampai keadaan klien stabil mempertahankan aliran darah otak
yang konstan pada saat ada
fluktuasi tekanan darah sistemik
3. Nikkan kepala dengan sudut 15o – 3. Meningkatkan aliran balik vena
45o tanpa bantal dan posisi netral dari kepala, sehingga akan
mengurangi kongesti dan edema
42
4. Monitor asupan setiap delapan jam 4. Pembatasan cairan mungkin
sekali diperlukan untuk menurunkan
edema serebral
5. Kolaborasi dengan tim medis 5. Dapat digunakan pada fase akut
dalam pemberian obat-obatan anti untuk menurunkan air dari sel otak,
edema seperti manitol, gliserol dan menurunkan edema otak dan TIK
lasix
6. Berikan oksigen sesuai program 6. Menurunkan hipoksemia yang
terapy dapat meningkatkan vasodilatasi
dan volume darah serebral yang
meningkatkan TIK
INTERVENSI RASIONAL
43
buatan/intubasi
3. Tinggikan kepala tempat tidur 3. Untuk memudahkan ekspansi
sesuai indikasi paru dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh
menutupi jalan napas
4. Anjurkan klien untuk bernapas 4. Mencegah atau menurunkan
dalam dan batuk efektif atelektasis
5. Beri terapi O2 tambahan 5. Memaksimalkan O2 pada darah
arteri dan membantu dalam
mencegah hipoksia
6. Pantau analisa gas darah, tekanan 6. Menentukan kecukupan
oksimetri pernapasan, keseimbangan asam
basa
INTERVENSI RASIONAL
44
2. Kaji persepsi klien, baik respon 2. Hasil pengkajian dapat
balik dan koneksi kemampuan menginformasikan susunan fungsi
klien berorientasi terhadap orang, otak yang terkena dan membantu
tempat dan waktu intervensi sempurna
3. Berikan stimulus yang berarti saat 3. Merangsang kembali kemampuan
penurunan kesadaran persepsi sensori
4. Berikan keamanan klien dengan 4. Gangguan persepsi sensori dan
pengamanan sisi tempat tidur, buruknya keseimbangan dapat
bantu latihan jalan dan lindungi meningkatkan resiko terjadinya
dari cidera injury
5. Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi 5. Pendekatan antar disiplin dapat
deuposi, wicara, terapi kognitif menciptakan rencana
penatalaksanaan terintegrasi yang
berfokus pada peningkatan
evaluasi, dan fungsi fisik, kognitif
dan ketrampilan perseptual
INTERVENSI RASIONAL
1. Ukur haluaran berat jenis urin. 1. Penurunan haluaran urin dan berat
Catat ketidakseimbangan input dan jenis urin akan menyebabkan
output hipovolemi
2. Dorong masukan cairan peroral 2. Memperbaiki kebutuhan cairan
sesuai toleransi
45
3. Pantau tekanan darah dan denyut 3. Pengurangan dalam sirkulasi
jantung volume cairan dapat mengurangi
tekanan darah, mekanisme
kompensasi awal takikardi untuk
meningkatkan curah jantung dan
tekanan darah sistemik
4. Palpasi denyut perifer 4. Denyut yang lemah, mudah hilang
dapat menyebabkan hipovolemi
5. Kaji membran mukosa, turgor kulit 5. Merupakan indikator dari
dan rasa haus kekurangan volume cairan dan
sebagai pedoman untuk
penatalaksanaan dehidrasi
6. Berikan tambahan cairan parenteral 6. Memperbaiki kebutuhan cairan
sesuai indikasi
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji keluhan nyeri dengan 1. Menentukan status kesehatan klien
menggunakan skala nyeri, catat dan menentukan tindakan yang
lokasi nyeri, lamanya, akan dilakukan
serangannya, peningkatan nadi,
nafas cepat atau lambat,
berkeringat dingin
2. Ciptakan lingkungan yang 2. Lingkungan yang nyaman dapat
nyaman termasuk tempat tidur mengurangi tekanan psikis yang
akan meningkatkan rangsang nyeri
3. Berikan sentuhan terapeutik, 3. Pasien lebih kooperatif dan
46
lakukan distraksi dan relaksasi mengurangi nyeri
4. Kolaborasi pemberian obat 4. Mengurangi rasa nyeri yang ada
analgetik sesuai dengan program
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji fungsi motorik dan sensorik 1. Untuk menetapkan kemungkinan
pasien dan sirkulasi perifer. Kaji terjadinya lecet pada kulit
kulit pasien setiap 8 jam : palpasi
pada daerah yang tertekan
2. Ganti posisi pasien setiap 2 jam. 2. Dalam waktu 2 jam diperkirakan
Berikan posisi dalam sikap akan terjadi penurunan perfusi ke
anatomi dan gunakan tempat kaki jaringan sekitar. Maka dengan
untuk daerah yang menonjol mengganti posisi setiap 2 jam dapat
memperlancar sirkulasi tersebut.
Dengan posisi anatomi maka
anggota tubuh tidak mengalami
gangguan, khususnya masalah
sirkulasi / perfusi jaringan.
Mengalas bagian yang menonjol
guna mengurangi penekanan yang
mengakibatkan lesi kulit
3. Pertahankan kebersihan dan 3. Keadaan lembab akan
kekeringan pasien memudahkan terjadinya kerusakan
kulit
4. Massage dengan lembut di atas 4. Meningkatkan sirkulasi dan
daerah yang menonjol setiap 2 elastisitas kulit dan mengurangi
47
jam sekali kerusakan kulit
5. Pertahankan alat-alat tenun tetap 5. Dapat mengurangi proses
bersih dan tegang penenkanan pada kulit dan
menjaga kebersihan kulit
6. Kaji daerah kulit yang lecet untuk 6. Sebagai bagian untuk
adanya eritema, keluar cairan memperkirakan tindakan
setiap 8 jam selanjutnya
7. Berikan perawatan kulit pada 7. Untuk mencegah bertambah luas
daerah yang rusak / leset setiap 4 kerusakan kulit
– 8 jam dengan menggunakan
H2O2
INTERVENSI RASIONAL
48
muntah dan kejang
4. Anjurkan untuk melakukan napas 4. Peningkatan mobilisasi dan
dalam, latihan pengeluaran sekret pembersihan sekresi paru untuk
paru secara terus menerus. menurunkan resiko terjadinya
Observasi karakteristik sputum pneumonia, atelektasis
5. Berikan perawatan aseptik dan 5. Cara pertama untuk menghindari
antiseptik, pertahankan tehnik terjadinya infeksi nosokomial
cuci tangan yang baik
6. Lakukan perawatan luka dengan 6. Mempercepat proses penyembuhan
steril dan hati-hati dan mencegah terjadinya infeksi
lebih lanjut
7. Kolaborasi pemberian antibiotik 7. Terapi profilatik dapat digunakan
sesuai indikasi pada pasien yang mengalami
trauma, kebocoran CSS atau
setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial
49
tindakan yang dilanjutkan atau tidak tergantung dari kriteria hasil, sudah
tercapai apa belum. Kemudian dengan membandingkan pada intervensi dan
implementasi.
50
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, otak, dan cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik
yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik
sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2210).
Dan cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intra kranial (Smeltzer, 2000). Klasifikasi trauma kepala berdasarkan
Glasgow Coma Skale (GCS) yaitu :
4.2 Saran
Setelah membaca dan memahami makalah ini, diharapkan kita sebagai
perawat dapat mengetahui akan penyakit cedera kepala, klasifikasi cedera kepala
dan dapat melakukan asuhan keperawatan pada cedera kepala : cedera otak
dengan baik dan benar.
51