Anda di halaman 1dari 83

STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL

HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM


DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH

Oleh
Fajar Munandar
E.14102901

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
RINGKASAN
Fajar Munandar. E14102901. Studi Penyusunan Model Pengaturan Hasil Hutan
Dengan Menggunakan Pendekatan Sistem di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I
Jawa Tengah. Dibawah Bimbingan Ir. Budi Kuncahyo, MS.

Metode pengaturan hasil dalam rangka penentuan jumlah volume tebangan


per tahun yang digunakan oleh pihak Perum Perhutani sampai saat ini adalah
metode Burn. Metode Burn merupakan model pengaturan hasil yang statis selain
itu juga kondisi tegakan dianggap tidak mengalami gangguan atau tetap.
Kenyataan di lapangan hampir setiap tahun hutan tanaman yang dikelola oleh
Perum Perhutani mengalami gangguan hutan berupa pencurian kayu. Gangguan
hutan berupa pencurian kayu yang terjadi di areal kerja Perum Perhutani tidak
bisa lepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan
penelitian Sakti (1998), faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh nyata
terhadap terjadinya pencurian kayu di areal kerja KPH Blora, Cepu, dan
Randublatung. Gangguan hutan tersebut berakibat pada penurunan potensi
tegakan. Penurunan potensi tegakan sebagai akibat dari terjadinya gangguan
berupa pencurian kayu mengindikasikan bahwa perhitungan etat khususnya etat
volume (massa) yang statis sudah tidak relevan.
Atas dasar hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu pengkajian
menyangkut model pengaturan hasil dalam rangka penentuan jumlah volume
pohon yang dapat ditebang setiap tahunnya yang mempertimbangkan segala aspek
khususnya aspek gangguan berupa pencurian kayu. Untuk keperluan tersebut
digunakan pendekatan sistem. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui prospek
kelestarian berdasarkan metode pengaturan hasil yang digunakan di KPH Cepu,
(2) menyusun model pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek gangguan
berupa pencurian kayu di KPH Cepu, (3) menyusun suatu formula dalam
penetapan jumlah volume kayu yang dapat ditebang berdasarkan besarnya
gangguan hutan berupa pencurian kayu.
Kelestarian hasil menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas
pengelolaan tertentu, dimana pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang
(Simon, 1994). Nilai etat volume berdasarkan metode Burn ini didasarkan atas
total volume tegakan persediaan dibagi dengan daur tanaman. Nilai etat volume
sebelum dilakukan pengujian adalah sebesar 28.137 m3 /th, dan setelah dilakukan
pengujian jangka waktu penebangan sebesar 29.544,86 m3 /th. Pengujian jangka
waktu penebangan dilakukan sebanyak dua kali pengujian. Berdasarkan hasil
pengujian jangka waktu penebangan, diketahui untuk memperoleh volume
tebangan yang kurang lebih sama setiap tahun waktu yang dibutuhkan lebih dari
satu daur (80 tahun). Sehingga dengan memperhatikan hal tersebut metode
pengaturan hasil dengan menggunakan metode Burn memiliki prospek kelestarian
yang rendah.
Selain itu juga karena metode penga turan hasil dengan metode Burn
merupakan metode pengaturan hasil yang statis, maka etat volume yang
dihasilkan setelah pengujian yaitu sebesar 29.544,86 m3 /th berlaku untuk jangka
sepuluh tahun ke depan. Nilai etat volume yang relatif tetap untuk jangka sepuluh
tahun kedepan menandakan bahwa dengan model pengaturan hasil yang statis,
tegakan hutan dianggap tidak mengalami perubahan. Metode pengaturan hasil
dengan mengunakan metode Burn tidak bisa merespon terhadap pencurian kayu
yang terjadi.
Kondisi tegakan hutan tanaman jati yang ada di KPH Cepu merupakan
kondisi tegakan hutan yang terganggu. Luas total tegakan persediaan hasil risalah
awal di KPH Cepu sebesar 23.170,35 Ha, lebih besar dari luas total tegakan
persediaan hasil risalah sela sebesar 18.217,25 Ha, atau terjadi penurunan seluas
4.953,1 Ha (21,38%). Sedangkan volume total tegakan persediaan hasil risalah
awal di KPH Cepu sebesar 2.168.048,27 m3 lebih besar daripada volume total
tegakan persediaan hasil risalah sela sebesar 1.422.351,71 m3 ,atau terjadi
penurunan sebesar 745.696,6 m3 (34,39%). Penurunan potensi tegakan persediaan
di KPH Cepu tidak terlepas dari terjadinya gangguan hutan berupa pencurian
kayu. Gangguan hutan berupa pencurian kayu tidak bisa terlepas dari kondisi
sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan.
Kondisi sosial ekonomi berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner
diketahui mayoritas mata pencaharian responden di kedua desa contoh adalah
sebagai petani. Begitu pula halnya dengan mayoritas tingkat pendidikan
responden di kedua desa contoh adalah sekolah dasar. Jumlah angota keluarga
responden untuk Desa Temengan rata-rata sebanyak tiga orang dan Desa Kemiri
rata-rata sebanyak empat orang. Total responden dalam kategori miskin pada
desa contoh di KPH Cepu adalah sebanyak 49 orang responden atau sebanyak
61,25 %. Sedangkan jumlah responden dalam kategori tidak miskin di KPH Cepu
sebanyak 31 orang atau sebanyak 38,75 %. Kriteria kemiskinan yang digunakan
adalah krteria Sajogyo yang didasarkan pada tingkat pengeluaran setara dengan
harga beras setempat. Sehingga atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi
sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan khususnya di Desa Temengan dan
Desa Kemiri masih tergolong cukup memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan
jumlah responden yang tergolong miskin pada masing- masing desa contoh yang
cukup besar.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan mendorong
masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonominya. Salah satu cara yang
paling mungkin adalah dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya
yaitu sumberdaya hutan. Hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dengan
sumberdaya hutan adalah dengan memanfaatkan kayu baik untuk keperluan
pribadi atau dengan menjualnya. Rata-rata konsumsi kayu pertukangan unt uk 40
responden pada Desa Temengan dan Desa Kemiri masing- masing sebesar 0,44
m3 /kapita/th dan 0,35 m3 /Kapita/th. Sedangkan rata-rata konsumsi kayu bakar
untuk 40 responden pada Desa Temengan dan Desa Kemiri masing- masing
sebesar 29,84 sm/th dan 10,61 sm/th.
Harga kayu jati yang telah ditetapkan oleh pihak Perum Perhutani berkisar
Rp 600.000,00 sampai Rp. 1.500.000,00 per m3 sedangkan harga jual kayu bakar
adalah Rp 22.000,00/sm. Mengingat sebagian besar responden pada desa contoh
termasuk dalam kriteria miskin berdasarkan penggolongan kemiskinan menurut
Sajogyo, maka hampir dipastikan sebagian besar responden memenuhi kebutuhan
akan kayu bakar dan kayu pertukangan dengan mengambilnya langsung dari
hutan (mencuri). Atas dasar tersebut perlunya memasukan variabel gangguan
hutan berupa pencurian kayu dalam penentuan jumlah volume pohon yang
ditebang setiap tahun. Untuk keperluan tersebut digunakan pendekatan sistem
sebagai upaya penyusunan model pengaturan hasil yang memperhatikan seluruh
aspek khususnya aspek gangguan hutan yang disebabkan faktor sosial ekonomi
masyarakat sekitar hutan.
Model pengaturan hasil terdiri dari tujuh sub model yaitu sub model
potensi tegakan, sub model luas areal berhutan, sub model pengaturan hasil, sub
model dinamika penduduk, sub model keuangan perusahaan, sub model
gangguan hutan, sub model jumlah pengangguran. Antara sub model satu dengan
sub model lainnya saling mempengaruhi.
Berdasarkan hasil penelitian Sumadi (2002), kewajaran model dan
kelogisan model pengaturan hasil dapat dilihat dari besarnya etat pada hutan tidak
terganggu. Hutan tanpa gangguan potensi tegakan akan mengalami kenaikan tiap
tahunnya. Besarnya etat volume pada tegakan hutan yang tidak terganggu di KPH
Cepu mengalami peningkatan. Evaluasi sensitivitas model pengaturan hasil untuk
KPH Cepu menunjukan besarnya etat volume akan semakin menurun dengan
semakin meningkatnya persen pengangguran. Persen pengangguran yang
meningkat berakibat pada semakin meningkatnya gangguan hutan berupa
pencurian kayu. Sehingga model yang dihasilkan sesuai dengan pola yang
diharapkan.
Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario-
skenario yang telah ditetapkan dalam rangka memberikan jawaban mengenai
tujuan penelitian. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah Menyusun model
pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek gangguan berupa pencurian
kayu di KPH Cepu. Untuk memenuhi tujuan tersebut dilakukan dengan
membandingkan nilai etat volume yang dihasilkan berdasarkan formula yang
disusun dengan nilai etat volume berdasarkan metode Burn. Penggunaan etat
volume dinamis lebih sesuai dibanding dengan etat volume berdasarkan metode
Burn karena mampu merespon penurunan potensi tegakan akibat gangguan hutan
berupa pencurian kayu.
STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL
HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM
DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Fajar Munandar
E.14102901

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
Judul Penelitian : Studi Penyusunan Model Pengaturan Hasil Hutan dengan
Menggunakan Pendekatan Sistem di KPH Cepu Perum
Perhutani Unit I Jawa Tengah
Nama Mahasiswa : Fajar Munandar
Nomor Pokok : E.14102901

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

Ir. Budi Kuncahyo, MS


NIP : 131578798

Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS


NIP : 131430799

Tangal Lulus : 6 Oktober 2005


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 19 Oktober 1982,


sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari orang tua yang bernama Dedi
Karyadinata dan Nani Muslia.
Pada tahun 1987, penulis mulai masuk pendidikan di bangku Taman
Kanak-kanak Tunas Kartika Cibinong, kemudian masuk Sekolah Dasar Negeri
Cibinong 03 pada tahun 1988 dan lulus tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama negeri I Cibinong, lulus
tahun 1997 dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Bogor
sampai tahun 2000.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Manajemen Hutan
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 sebagai mahasiswa pindahan dari
Jurusan Manajemen Hutan Universitas Lampung. Pada semester ke lima penulis
memilih Laboratorium Biometrika Hutan.
Dalam rangka memperoleh gelas Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi
dengan judul : Studi Penyusunan Model Pengaturan Hasil Hutan dengan
Menggunakan Pendekatan Sistem di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa
Tengah dibawah bimbingan Ir. Budi Kuncahyo, MS.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


yang selalu memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta beserta adik-adikku (Senja dan Tria) atas segala kasih
sayang yang telah diberikan.
2. Bapak Ir. Budi Kuncahyo, MS berserta keluarga atas nasehat, bimbingan,
kritik, dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Ir.Sucahyo Sadiyo, MS dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr.
Ir.Burhanudin Mahsyud, MS dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
selaku dosen penguji.
4. Pihak Perum Perhutani atas informasi dan data yang telah diberikan.
5. Dia, atas perhatian, kasih sayang, dan kesabarannya (far from the eyes close to
the heart).
6. Sahabat-sahabat terbaikku Amy, Kiki, Puji, Mia, Tessy, Beller, Egil, Eki,
Bodonk, Ucup, Uban, Wika.
7. Mas Agus “Gepenk” dan Mas Budi atas bantuannya dalam pengolahan data.
8. Teman-teman Manajemen Hutan 38 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Walau
demikian, penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi
siapa saja yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2005

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................................... i
DAFTAR TABEL............................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v

PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................................. 1
Tujuan Penelitian......................................................................................... 2
Hipotesis Penelitian..................................................................................... 2
Manfaat Penelitian....................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Hutan Lestari .......................................................................... 3
Pengaturan Hasil ......................................................................................... 5
Masyarakat Desa Sekitar Hutan.................................................................. 6
Sistem, Model, dan Simulasi ...................................................................... 7
Hasil- hasil Penelitian Terdahulu................................................................. 10

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu ...................................................................................... 12
Bahan dan Alat ........................................................................................... 12
Pengumpulan Data ...................................................................................... 12
Analisis Data .............................................................................................. 13
Penentuan Etat ...................................................................................... 13
Pendekatan Sistem................................................................................ 13
Formulasi model konseptual........................................................ 14
Spesifikasi model kuantitatif ....................................................... 15
Evaluasi model............................................................................ 15
Penggunaan Model...................................................................... 15
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas ........................................................................................... 16
Keadaan Lapangan dan Jenis Tanah............................................................ 16
Iklim ............................................................................................................ 17
Sosial Ekonomi Masyarakat........................................................................ 18
Keadaan Umum Desa Contoh..................................................................... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN


Prospek Kelestarian..................................................................................... 20
Hutan Terganggu ......................................................................................... 22
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sekitar Hutan.......................... 23
Pendekatan Sistem....................................................................................... 27
Penyusunan Model ............................................................................... 27
Sub Model Potensi Tegakan ........................................................ 28
Sub Model Pengaturan Hasil ......................................................... 29
Sub Model Keuangan Perusahaan................................................. 30
Sub Model Dinamika Penduduk .................................................... 32
Sub Model Luas Areal Berhutan................................................... 33
Sub Model Gangguan Hutan......................................................... 34
Sub Model Jumlah Pengangguran................................................. 35
Evaluasi model ..................................................................................... 36
Mengevaluasi Kewajaran dan Kelogisan Model .......................... 36
Analisis Sensitivitas Model .......................................................... 36
Penggunaan Model............................................................................... 37
Perbandingan Nilai Etat Volume ................................................... 38

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan .............................................................................................. 41
Saran ....................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 42
LAMPIRAN ..................................................................................................... 44
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman


1. Batas Geografis Wilayah Hutan KPH Cepu......................................... 16
2. Luas Areal Kerja KPH Cepu ................................................................ 16
3. Keadaan topografi dan Ketinggian Tempat KPH Cepu ....................... 17
4. Jenis Tanah dan Geologi KPH Cepu.................................................... 17
5. Tipe Iklim dan Curah Hujan KPH Cepu............................................... 18
6. Kondisi Umum Desa Contoh di KPH Cepu........................................ 19
7. Nilai Etat dan Pengujian Jangka waktu Penebangan........................... 20
8. Rekapitulasi Luas dan Volume Tegakan Persediaan Pada
Awal Jangka dan Risalah Sela di KPH Cepu ....................................... 22
9. Kondisi Sosial Ekonomi Hasil Wawancara dan Kuesioner
pada Desa Contoh di KPH Cepu .............................................................................. 24
10. Rekapitulasi Rata-rata Konsumsi Kayu Bakar dan Kayu
Pertukangan Responden Desa Contoh di KPH Cepu........................... 26
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman


1. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah Dalam Lingkup
Pemahaman Relatif. ................................................................................. 9
2. Pencurian kayu di KPH Cepu................................................................... 21
3. Perubahan Potensi Tegakan Persediaan Awal Jangka dan
Risalah Sela di KPH Cepu ....................................................................... 22
4. Hubungan Antar Sub Model ................................................................... 28
5. Sub Model Pengaturan Hasil.................................................................... 30
6. Sub Model Keuangan Perusahaan............................................................ 31
7. Sub Model Dinamika Penduduk .............................................................. 33
8. Sub Model Gangguan Hutan.................................................................... 34
9. Sub Model Jumlah Pengangguran............................................................ 35
10. Etat Volume Pada Tegakan Tanpa Gangguan KPH Cepu....................... 36
Etat Volume KPH Cepu Pada Peningkatan Persen Pengangguran
0% (1). Peningkatan Persen Pengangguran 50% (2), dan
Peningkatan persen Pengangguran 100% (3). ........................................................ 37

11. Hasil Simulasi 20 Tahun ke Depan Terhadap Nilai Etat volume


Metode Burn dan Volume Tegakan Persediaan di KPH Cepu ............... 38

12. Hasil Simulasi 20 Tahun ke Depan Terhadap Nilai Etat volume


Dinamis dan Volume Tegakan Persediaan di KPH Cepu....................... 39
DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman


1. Potensi Tegakan Normal Hasil Risalah Sela Tahun 1998 KPH Cepu ................ 44
2. Data Dasar dan Asumsi.............................................................................. 45
3. Perhitungan Etat dan Pengujian Jangka Waktu Penebangan di KPH
Cepu. ........................................................................................................... 48
4. Batasan Sistem ........................................................................................... 51
5. Hasil Simulasi ............................................................................................ 55
6. Hasil Simulasi Metode Burn ...................................................................... 57
7. Persamaan Model Simulasi Pengaturan Hasil ............................................ 58
8. Sub Model Potensi Tegakan ......................................................................... 68
9. Sub Model Luas Areal Berhutan ................................................................... 69
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Metode pengaturan hasil dalam rangka penentuan jumlah volume tebangan
per tahun yang digunakan oleh pihak Perum Perhutani sampai saat ini adalah
metode Burn. Metode pengaturan hasil dengan menggunakan metode Burn ini
merupakan model pengaturan hasil yang statis. Pada model pengaturan hasil statis
tersebut besarnya etat volume adalah tetap untuk jangka waktu tertentu. Jangka
waktu yang biasa digunakan adalah sepuluh tahun.
Selain itu pada metode pengaturan hasil dengan menggunakan metode
Burn, kondisi tegakan dianggap tidak mengalami gangguan atau tetap. Kenyataan
di lapangan hampir setiap tahun hutan tanaman yang dikelola oleh pihak Perum
Perhutani mengalami gangguan berupa pencurian kayu. Gangguan hutan berupa
pencurian kayu yang terjadi di areal kerja Perum Perhutani tidak bisa lepas dari
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan penelitian Sakti
(1998), faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh nyata terhadap terjadinya
pencurian kayu di areal kerja KPH Blora, Cepu, dan Randublatung.
Gangguan hutan tersebut berakibat pada penurunan potensi tegakan.
Penurunan potensi tegakan sebagai akibat dari terjadinya gangguan berupa
pencurian kayu mengindikasikan bahwa perhitungan etat khususnya etat volume
(massa) yang statis sudah tidak relevan. Dengan terjadinya penurunan potensi
tegakan, kegiatan pengaturan hasil sangat sulit untuk dilakukan dan kelestarian
hutan akan terancam. Pengaturan hasil merupakan masalah pokok dalam
pencapaian kelestarian hasil. Kelestarian hasil ini menitikberatkan pada hasil kayu
yang diperoleh setiap tahun kurang lebih adalah sama.
Atas dasar hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu pengkajian
menyangkut model pengaturan hasil dalam rangka penentuan jumlah volume
pohon yang dapat ditebang setiap tahunnya yang mempertimbangkan segala aspek
khususnya aspek gangguan berupa pencurian kayu. Untuk keperluan tersebut
digunakan pendekatan sistem.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui prospek kelestarian berdasarkan metode pengaturan hasil yang
digunakan di KPH Cepu.
2. Menyusun model pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek gangguan
berupa pencurian kayu di KPH Cepu.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini adalah kesesuaian metode
pengaturan hasil ditentukan oleh kemampuannya dalam merespon terjadinya
perubahan potensi tegakan persediaan.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
bagi pihak perencana dan pengelola hutan dalam menentukan jumlah tebangan
yang diperbolehkan setiap tahun. Sehingga dapat diambil langkah- langkah untuk
menyusun rencana pengelolaan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya dari hutan serta meminimalkan dampak negatifnya.
TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Hutan Lestari


Pengelolaan hutan yang lestari adalah pengurusan dan penggunaan lahan
hutan dan hutan pada tingkatan rata-rata yang memungkinkan tetap terpeliharanya
keanekaragaman hayati, produktivitas, kapasitas regenerasi, vitalitas, dan
kemampuannya untuk memenuhi fungsi- fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial pada
tingkat lokal, nasional, dan global serta tidak me nyebabkan kerusakan terhadap
ekosistem lainnya pada saat ini maupun pada masa yang akan datang (Ministerial
Conference on the Protection of Forest in Europe (1993) dalam Helms, 1998).
Menurut FAO (1994) dalam Darusman (2002), pengelolaan hutan yang
berkela njutan dimulai dengan perencanaan yang berhati- hati, menggunakan
pekerja yang terlatih di bawah pengawasan dan bimbingan tenaga supervisor yang
berkemampuan teknis, dan merumuskan rencana pemanenan yang matang disertai
rencana pemeliharaan tegakan selanjutnya secara menyeluruh.
Sejak konferensi bumi yang kedua di Rio De Janeiro tahun 1992,
pengelolaan hutan yang lestari tidak hanya menjadi perhatian rimbawan saja,
melainkan menjadi tanggung jawab semua perencana pembangunan di semua
sektor dan bersifat global. Pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi terhadap
masalah kelestarian hasil hutan saja tetapi juga memperhitungkan kesejahteraan
masyarakat lokal, kelestarian lingkungan hidup secara luas, dan keanekaragaman
hayati (Simon, 1994).
Menurut ITTO dalam Sukadri (n.d.) untuk dapat terlaksananya manajemen
hutan lestari, maka terdapat lima pokok kriteria yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Forest Resource Base, yaitu terjaminnya sumber-sumber hutan yang dapat
dikelola secara lestari.
2. The Continuity of Flow of Forest Products, yaitu kontinuitas hasil hutan
yang dapat dipungut berdasarkan azas-azas kelestarian.
3. The level of Environmental Control, yang secara sungguh-sungguh
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan dampak-dampaknya yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan lestari yang berwawasan
lingkungan.
4. Social and Economic Aspects, yaitu dengan memperhitungkan pengaruh-
pengaruh kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan. Dalam tingkat nasional, juga memperhitungkan peningkatan
pendapatan penduduk dan negara dalam arti luas.
5. Institutional Frameworks, yaitu penyempurnaan wadah kelembagaan yang
dinamis dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari.
Institutional frameworks juga mencakup pengembangan sumber daya
manusia, serta kemajuan penelitian, ilmu dan teknologi yang kesemuanya
turut mendukung terciptanya manajemen hutan lestari.
Kelima kriteria yang diperkenalkan ITTO tersebut kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam bentuk ciri atau indikator. Maka indikator berikut merupakan tanda-
tanda yang diperlukan dalam pelaksanaan manajemen hutan yang lestari.
1. Tersedianya tata guna hutan yang komprehensif yang secara penuh
mempertimbangkan tujuan-tujuan pengelolaan hutan dan kehutanan.
2. Tercukupinya luas hutan permanen, yaitu hutan tetap yang dipertahankan
fungsinya sebagai hutan. Luas hutan yang permanen akan mendukung target
dan sasaran pembangunan hutan dan kehutanan.
3. Ditetapkannya target dan sasaran pembangunan hutan tanaman, distribusi kelas
umur, dan rencana tanaman tahunan
Kesemua indikator tersebut di atas mengarah terhadap terlaksananya kriteria
pertama yaitu Forest Resource Base.
Menurut Meyer (1961), kelestarian hasil hutan adalah penyediaan yang
teratur dan kontinyu hasil hutan yang diperuntukan sesuai kemampuan maksimum
hutan tersebut. Tipe-tipe kelestarian hasil yang dikenal antara lain :
1. Hasil integral (integral yield), terdiri dari satu tegakan seumur sehingga
penanaman dilakukan pada saat yang sama dan pemanenan pada saat yang
sama pula.
2. Hasil periodik (intermittent yield), terdiri dari beberapa kelas umur sehingga
penanaman dan penebangan dilakukan pada selang waktu tertentu.
3. Hasil tahunan (annual yield), terdiri dari beberapa kelas umur dan selalu ada
bagian tegakan yang siap ditebang setiap tahun.
Kelestarian hasil hutan menuntut tingkat produksi yang konstan untuk
intensitas pengelolaan hutan tertentu, dimana antara pertumbuhan dan pemanenan
harus seimbang. Hutan yang tertata penuh akan menghasilkan kayu yang sama,
tahunan atau selama periode tertentu, baik dalam arti volume, ukuran maupun
kualita (Simon, 1994). Lebih lanjut Simon (1994) menyatakan, syarat
terwujudnya kelestarian hutan adalah adanya jaminan kepastian kawasan hutan
yang tetap yang diakui oleh semua pihak, sistem perhitungan etat yang tidak over-
cutting, dan telah dirumuskan sistem permudaan yang menjamin permudaan
kembali kawasan bekas tebangan.

Pengaturan Hasil
Menurut Simon (1994) dalam pelaksanaan pengaturan hasil hutan
memerlukan tiga tahap kegiatan, yaitu :
1. Perhitungan etat, yaitu jumlah hasil yang dapat diperoleh setiap tahun atau
selama jangka waktu tertentu. Bila hasil tersebut dinyatakan dalam luas
dinamakan etat luas, dan bila dinyatakan dalam m3 dinamakan etat volume.
2. Pemisahan jumlah hasil tersebut ke dalam hasil penjarangan dan hasil tebangan
akhir.
3. Penyusunan rencana tebangan, baik tebangan penjarangan maupun tebangan
akhir, berikut keterangan tentang keadaan tegakan serta tata waktunya.
Sedangkan menurut Osmaston (1968), ada beberapa alasan penebangan
dan pengaturan hasil dalam hub ungannya dengan jumlah, mutu, tempat dan
waktu. Alasan tersebut adalah :
1. Penyediaan bagi konsumen, penebangan harus dilaksanakan agar tersedia
jenis, ukuran, mutu dan jumlah kayu sesuai dengan permintaan pasar.
2 Pemeliharaan tegakan persediaan untuk mempertahankan dan
mengembangkan produksi di dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat
mungkin.
3. Penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan
tujuan pengelolaan.
4. Penebangan perlindungan, terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur
untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya.
Metode pengaturan hasil menurut Osmaston (1968) dapat dilakukan
berdasarkan :
1. Berdasarkan luas
- Pengendalian silvikultur atau daur tebang
- Pengendalian rotasi dan sebaran kelas umur
- Pengendalian pengembangan atau perlakuan
2. Berdasarkan volume
- Pengendalian didasarkan daur atau umur eksploitasi
3. Berdasarkan volume dan riap

Masyarakat Desa Sekitar Hutan


Berdasarkan surat keputuan direksi PT. Perhutani (sebelum berubah
kembali statusnya menjadi Perum Perhutani) No 001/Kpts/DIR/2002 yang
dimaksudkan masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat
tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan
sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya. Sedangkan menurut
Darusman (2002), masyarakat desa sekitar hutan adalah bahagian atau unsur dari
ekosistem hutan, yang saling tergantung. Mereka adalah sejumlah besar warga
bangsa Indonesia yang ingin sejahtera serta berhak mendapatkan keadilan setelah
sekian lama terpinggirkan dan tercampakan. Lebih lanjut Darusman (2002)
menyatakan sektor kehutanan seharusnya memperhatikan masyarakat di dalam
dan sekitar hutan dengan terlebih dahulu mengetahui bentuk-bentuk partisipasi
atau pemenuhan keinginan mereka tersebut, serta mengetahui dan memahami di
mana partisipasi mereka dapat disalurkan atau keinginan mereka itu dapat
dipenuhi.
Interaksi masyarakat desa hutan dengan hutan bersifat fungsional ekologis.
Perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan merupakan bagian
dari kebudayaan mereka. Pada masa awal, tidak ditemukan masalah dalam
interaksi keduanya karena masyarakat menyadari bahwa mereka adalah bagian
dari alam sehingga harus menjaga hubungan yang harmonis (Sianipar & Awang,
2001). Menurut Mubyarto (1990) dalam Sianipar & Awang (2001) pembangunan
kehutanan di Indonesia telah berlangsung selama tiga dasawarsa dengan orientasi
utama pada pemanfaatan kayu. Kenyataan ini hanya memberikan keuntungan
bagi sedikit orang, sedangkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan masih
tetap dalam kemiskinan.
Menurut Sumodiningrat (1997), kemiskinan terdiri dari tiga jenis yaitu
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Kemiskinan
absolut adalah kemiskinan yang terjadi dikarenakan tingkat pendapatannya di
bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan sandang, pangan,
kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan
bekerja.
Kemiskinan relatif kemiskinan yang terjadi dikarenakan pendapatan
seseorang yang sudah di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah
dibanding pendapatan masyarakat di sekitarnya. Kemiskinan kultural adalah
kemiskinan yang mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang
(disebabkan oleh faktor budaya) tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat
kehidupan meskipun ada usaha dari pihak lain untuk membantunya.
Untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin
umumnya dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan (poverty line)
(Rusli et al, 1995). Penggolongan kemiskinan menurut Sajogyo (1977) dalam
Kartasubrata (1986) :
1. Golongan termiskin yaitu pengeluarannya kurang dari nilai tukar beras
sebanyak 180 kg per kapita per tahun.
2. Golongan miskin sekali ya itu pengeluarannya kurang dari nilai tukar beras
sebanyak 240 kg per kapita per tahun.
3. Golongan miskin yaitu pengeluarannya kurang dari nilai tukar beras sebanyak
320 kg/kapita/tahun.
4. Golongan tidak miskin (berkecukupan) pengeluaranya sebesar atau lebih dari
nilai tukar beras sebanyak 320 kg/kapita/tahun.

Sistem, Model, dan Simulasi


Pendekatan sistem bukanlah satu-satunya pendekatan dalam pemecahan
masalah. Para ilmuwan dan praktisi menggunakan berbagai metode untuk
menyelesaikan masalah. Metode coba-coba merupakan metode terkuno yang
dipakai umat manusia. Hanya saja metode coba-coba memakan waktu terlalu
panjang dan membutuhkan ongkos yang besar. Para ilmuwan setiap bidang ilmu
juga mengembangkan secara khusus metodenya untuk menyelesaikan
permasalahannya. Pendekatan sistem dipakai sebagai metode untuk
mengintegrasikan ragam informasi yang didapat dari beragam metode untuk
menyelesaikan masalah yang kompleks dan dinamis (Purnomo, 2004).
Menurut Hall dan Day, Jr (1977), fenomena apapun, baik struktural
maupun fungsional, yang memiliki sekurang-kurangnya dua komponen terpisah
dan ada interaksi antara komponen-komponen tersebut dapat dianggap sebagai
suatu sistem. Sedangkan menurut Grant et al (1997), Analisis sistem adalah studi
yang dibentuk dari satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem.
Holisme adalah filosofi untuk mempelajari perilaku total (atau atribut-atribut total
lain) dari beberapa sistem yang kompleks. Analisis sistem adalah pendekatan
filosofis dan kumpulan-kumpulan teknik, termasuk simulasi, yang dikembangkan
secara eksplisit untuk menunjukan masalah yang berkaitan dengan sistem
kompleks. Analisis sistem menekankan pada pendekatan holistik untuk
memecahkan masalah dan menggunakan model matematika untuk
mengidentifikasi dan mensimulasikan karakteristik yang penting dari sistem
kompleks.
Analisis sistem berguna untuk mendekati masalah yang secara intuitif
dapat digolongkan kedalam organized complexities atau kompleksitas yang
terorganisasi dan tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan analitis dengan
matematika. Sistem kompleks artinya sistem tersebut kompleks tetapi kita yakin
ada sebuah pola pada sistem tersebut. Disebut intuitif, karena apakah sebuah
sistem terorganisasi atau tidak lebih merupakan keyakinan kita daripada sesuatu
yang dapat tersaji secara empiris (Purnomo, 2004).
Grant et al, 1997 menyajikan perbandingan metode pemecahan masalah
yang berhubungan dengan tingkat pemahaman relatif dan jumlah data yang dapat
diperoleh dalam suatu sistem, seperti disajikan pada Gambar 1.
Banyak
Statistika Fisika
Jumlah
Data
Relatif Analisis sistem Analisis sistem

Sedikit
Rendah Tinggi
Gambar 1. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah Dalam Lingkup
Pemahaman Relatif.
Penting untuk disadari bahwa analisis sistem lebih mendasarkan pada
kemampuan kita untuk memahami fenomena daripada jumlah data yang tersedia.
Analisis sistem adalah sebuah pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga
sangat penting untuk berusaha memahami proses-proses yang terjadi. Membuat
analogi-analogi terkadang merupakan cara yang penting untuk memahami
sesuatu. Keyakinan akan adanya isomorfisme antar beragam sistem menjadikan
pemahaman terhadap sesuatu menjadi mungkin, bahkan pada suatu sistem yang
kita buta sekali akan perilakunya (Purnomo, 2004).
Menurut Grant et al (1997), model adalah abstraksi dari sebuah realitas.
Lebih lanjut Hall dan Day, Jr (1977) menyatakan modeling dibutuhkan untuk
memahami alam karena kompleksitas alam seringkali begitu besar. Namun
demikian, model harus sering diperiksa terhadap dunia yang sebenarnya untuk
menjamin bahwa gambaran mereka akan dunia nyata adalah akurat, atau
setidaknya ketidakakuratannya disadari.
Klasifikasi model menurut Grant et al, 1997 adalah :
1. Fisik versus Abstrak. Model fisik biasanya berupa tiruan fisik pada skala
yang dikurangi dari objek yang ditelaah. Model fisik tetap abstrak dari dunia
nyata sesuai dengan definisi dari model. Sedang model abstrak menggunakan
simbol daripada peralatan fisik untuk mewakili sistem yang sedang dipelajari.
Simbol yang digunakan dapat berupa tulisan, deskripsi verbal, atau sebuah
proses pemikiran.
2. Dinamik versus Statik. Model statik menjelaskan hubungan atau satu set
hubungan yang tidak berubah menurut waktu. Model dinamik menjelaskan
hubungan yang bervariasi menur ut waktu.
3. Empiris versus Mekanis. Model empiris atau korelasi adalah model yang
dikembangkan terutama untuk menjelaskan dan merangkum satu set
hubungan, tanpa memperhatikan penyajian proses atau mekanisme yang
sesuai yang beroperasi di sistem sebenarnya dan hasil dari model ini adalah
prediksi. Sedang model mekanis atau eksplanatori adalah model yang
dikembangkan terutama untuk menyajikan dinamika internal dari system-of-
interest sewajarnya.
4. Deterministik versus Stokastik. Sebuah model dikatakan deterministik jika
tidak terdiri dari variabel- variabel acak. Model ini memprediksi di bawah satu
set spesifik kondisi yang selalu persis sama. Sedang model dikatakan
stokastik jika terdiri dari satu atau lebih variabel-variabel acak. Model ini
memprediksi di bawah satu set kondisi yang tidak selalu persis sama.
5. Simulasi versus Analisis. Model yang dapat dipecahkan dengan didekati
bentuk matematik adalah model analisis. Contoh model analisis adalah model
regresi,model standar teori statistik distribusi, dan lain- lain. Model simulasi
adalah model yang tidak memiliki solusi analisis general dan harus
dipecahkan secara numerik menggunakan satu set operasi aritmetik spesifik
untuk situasi tertentu lainnya yang dapat mewakili.
Menurut Patten (1971) dalam Grant et al (1997), simulasi adalah suatu
proses penggunaan model untuk menirukan atau menggambarkan secara bertahap
perilaku sistem yang dipelajari. Model simulasi terbentuk dari susunan operasi
matematika dan logika yang bersama-sama mewakili struktur (keadaan) dan
perilaku (perubahan keadaan) dari ruang lingkup sistem.

Hasil-hasil Penelitian Terdahulu


Penelitian Kuncahyo (1998) menggunakan pendekatan sistem untuk
menentukan jumlah hasil hutan yang dapat dipungut berdasarkan riap dinamik di
KPH Sumedang. Hasil simulasinya menunjukan bahwa etat massa yang diperoleh
masih menjamin adanya kelestarian hutan yang ditunjukan oleh kurva
perkembangan yang tidak terus menurun walaupun besarnya gangguan hutan terus
meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian Sakti (1998), faktor sosial ekonomi
masyarakat berpengaruh nyata terhadap pencurian kayu yang terjadi di KPH
Blora, Cepu, dan Randublatung. Faktor- faktor sosial ekonomi masyarakat tersebut
adalah luas kepemilikan lahan, tingkat pengangguran, dan tingkat pendidikan.
Faktor sosial ekonomi masyarakat tersebut secara keseluruhan dapat menerangkan
tingkat pencurian kayu sebesar 70,2 % dan 29,8 % diterangkan oleh faktor lain.
Dari hasil penelitian Sumadi (2002), pengaturan hasil dengan metode Von
Mantel yang berfluktuasi dapat menghasilkan volume kayu tebangan yang lebih
besar dibanding metode Burn statis yang ditetapkan 10 tahun sekali saat
penyusunan buku RPKH. Volume kayu tebangan yang dihasilkan dengan metode
von Mantel fluktuatif sebesar 732.956,84 m3 sedangkan pada metode Burn statis
volume kayu tebangan yang dapat dihasilkan sebesar 671.163,45 m3 .
METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I Jawa
Tengah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – Maret 2005.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dan data
primer untuk proses simulasi.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Software STELLA 8.0,
Software Minitab 13.2, peralatan tulis, serta program microsoft Excel untuk
pengolahan data.

Pengumpulan Data
Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawancara, diskusi dan pengisian daftar
kuisioner kepada pihak Perhutani, dan masyarakat desa sekitar hutan. Data primer
yang dikumpulkan meliputi data pendapatan dan pengeluaran masyarakat desa
sekitar hutan dan data total konsumsi kayu oleh masyarakat sekitar hutan dari
setiap KPH serta data-data penunjang lainnnya. Pemilihan desa-desa sekitar hutan
di KPH Cepu sebagai contoh dilakukan secara purposive berdasarkan intensitas
terjadinya gangguan hutan berupa pencurian kayu. Setiap desa contoh dipilih 40
responden masyarakat desa sekitar hutan secara purposive.

Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi :
a. Data luas areal produktif, KBD rata-rata, bonita rata-rata.
b. Data biaya pengelolaan hutan.
c. Data realisasi tebangan.
d. Harga kayu pertukangan dan kayu bakar.
e. Data jumlah penduduk sekitar hutan, persen kelahiran dan persen kematian.
f. Data jumlah angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja.
Analisis Data
Penentuan Etat
Dalam penetuan etat, metode pengaturan hasil yang digunakan adalah
metode Burn. Data tentang luas areal produktif, KBD rata-rata, bonita rata-rata
digunakan dalam pene ntuan etat. Metode Burn merupakan metode pengaturan
hasil yang digunakan pihak Perum Perhutani hingga saat ini. Rumus metode Burn
adalah sebagai berikut :
D
UTR = U +
2
U = (S Li.Xi)/(S Li)
Keterangan:
UTR = Umur tebang rata-rata (th)
U = Umur rata-rata kelas umur ke- i (th)
Xi = Umur tengah kelas umur ke- i (th)
Li = Luas areal kelas umur ke- i (ha)
D = Daur (th)
Untuk penentuan etatnya :
L
Etat Luas =
2
Vst
Etat Volume =
2

keterangan :
L = Luas areal produktif (ha)
D = Daur (th)
Vst = Volume tegakan persediaan (Volume kayu tegakan kelas umur
pada UTR (m3 ) + Volume kayu tegakan miskin riap ( m3 ))

Pendekatan Sistem
Tahapan analisis sistem yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan
atas tahapan yang dilakukan Grant et al (1997), yaitu formulasi model konseptual,
spesifikasi model kuantitatif, evaluasi model, dan penggunaan model.
Formulasi Model Konseptual. Tujuan tahapan ini adalah untuk
menentukan suatu konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis.
Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada keadaan nyata di alam dengan
segala sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lainnya serta saling
mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan
yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memperhatikan komponen-
komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan
simulasi . Tahapan ini terdiri dari enam langkah sebagai berikut:
a. Penentuan tujuan model.
b. Pembatasan model.
c. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem.
Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem dikategorisasikan
ke dalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan fungsinya sebagai
berikut :
c. 1. state variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem.
c. 2. driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun
tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.
c. 3. konstanta. Adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik
sebuah sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami
perubahan pada setiap kondisi simulasi.
c. 4. auxilary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi
sistem.
c. 5. material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode
tertentu. Material transfer terletak diantara dua state, source dan state,
source dan sink.
c. 6. information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang
state dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.
c. 7. source dan sink, berturut-turut menggambarkan asal (awal) dimulainya
proses dan akhir dari masing- masing transfer materi.
d. Pengidentifikasian hubungan antar komponen.
e. Menyatakan komponen dan hubungannya dalam model yang lazim.
f. Menentukan pola perilaku dari model sesuai dengan pengetahuan dan teori
yang ada.
g. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model.

Spesifikasi Model Kuantitatif. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk


mengembangkan model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Pembuatan model
kuantitatif ini dilakukan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-
masing nilai variabel dan menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan
komponen penyusun model sistem tersebut ke dalam persamaan matematik
sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi.

Evaluasi model. Evaluasi model berguna untuk mengetahui keterandalan


model sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Langkah- langkah dalam evaluasi
model meliputi :
a. Mengevaluasi kewajaran model dan kelogisan model
b. Analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat
kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter
dalam model secara ekstrim

Penggunaan Model. Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab


pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini
melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas


Secara Administratif letak hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu
terbagi kedalam dua kabupaten yang masing- masing terletak di dua propinsi yang
berbeda, yaitu: Kabupaten Blora yang terletak di Propinsi Jawa Tengah dan
Kabupaten Bojonegoro yang terletak di Propinsi Jawa Timur. Sedangkan secara
geografis Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu terletak pada 111o 16’’-111o 338’’
Bujur Timur dan 06o 528’’-07o 248’’ Lintang Selatan. Batas wilayah Kesatuan
Pemangkuan Hutan Cepu disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas Geografis Wilayah Hutan KPH Cepu
Batas Sebelah KPH Cepu
Utara KPH Kebonharjo
Timur KPH Parengan
Selatan Bengawan Solo
Barat KPH Randublatung
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu Jangka 1993-2002
Luas total keseluruhan KPH Cepu adalah 33.109,9 Ha yang secara rinci
dijelaskan dalam tabel berikut ini.
Tabel 2. Luas Areal Kerja KPH Cepu
Kriteria Lahan Luas (Ha)

Lahan produktif 23.170,35


Lahan tidak produktif 7.281,1
Bukan untuk produksi jati 1894.3
Alur 764,15
Jumlah 33.109,9
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu Jangka 1993-2002

Keadaan Lapangan dan Jenis Tanah


Topografi pada ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu memiliki
konfigurasi miring sampai dengan berbukit. Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu
berada pada ketinggian 30 – 250 m dpl, seperti dapat dilihat pada Tabel 3 berikut
ini.
Tabel 3. Keadaan Topografi dan Ketinggian Tempat KPH Cepu
KPH Topografi Ketinggian tempat
Cepu Miring, lereng, sebagian 30-250 mdpl
berbatu (batu kapur), sedikit
berbukit, pasu, dan berombak/
bergelo mbang.
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu Jangka 1993-2002
Tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pertumbuhan
tanaman sebagai salah satu media pen-supply unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman. Kandungan unsur hara tanah berbeda pada masing- masing jenis tanah.
Faktor utama terjadinya perbedaan dalam pembetukan jenis tanah tertentu adalah
adanya perbedaan bahan induknya (geologi) selain oleh suhu, iklim, curah hujan,
waktu, dan kelerengan. Jenis tanah di pengaruhi oleh adanya perbedaan sifat fisik
dan kimia pada tanah tersebut. Sifat fisik dan kimia tanah sangat berpengaruh
terhadap jenis vegetasi yang sesuai di suatu lahan.
Kawasan hutan di KPH Cepu secara umum terletak dilereng Gunung
Kendeng Utara dan memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda karena letaknya
yang berdekatan dan berbatasan satu dengan yang lain, seperti terlihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Jenis Tanah dan Geologi KPH Cepu
KPH Jenis Tanah Geologi (Bahan Induk)
Cepu Latosol, Grumusol, Batuan beku, Batuan semen
Mediteran, dan Aluvial.
keror, Batuan sedimen keror,
margel, List Tuf Volkan,
Batu kapur keras, dan Tuf
Volkan Basa.
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu Jangka 1993-2002

Iklim
Iklim dan curah hujan di KPH Cepu termasuk kedalam tipe iklim C-D
Schmidt and Fergosun (1951) sedangkan curah hujan rata-rata per tahun adalah
sebesar 1636 mm/th. Iklim dan curah hujan di KPH Cepu disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tipe Iklim dan Curah Hujan KPH Cepu
KPH Iklim (Schmid dan Curah Hujan Rata-rata per
Ferguson) tahun (mm/th)
Cepu - Tipe Iklim C 1636
- Nilai Q rata-rata 50%
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu Jangka 1993-2002

Sosial Ekonomi Masyarakat


Keadaan sosial ekonomi masyarakat secara kumulatif di KPH Cepu sangat
dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang tinggal disekitar hutan yang sebagian
besar masih berinteraksi langsung dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-harinya. Kecamatan yang berada di wilayah KPH Cepu mencakup
Jepon, Jiken, Kedung Tuban, Sambong dan Cepu yang termasuk kedalam Daerah
Tingkat II Blora dengan jumlah penduduk dari lima kecamatan tersebut sebesar
249.086 jiwa. Kecamatan Malo, Kedewan dan Kasiman yang termasuk ke dalam
Daerah Tingkat II Bojonegoro dengan jumlah penduduk dari tiga kecamatan
tersebut sebanyak 67.931 jiwa. Dengan demikian jumlah seluruh masyarakat desa
yang berada dalam KPH Cepu sebesar 317.017 jiwa.
Sebagian besar penduduk yang berada di sekitar areal kerja KPH Cepu
bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi
keberadaan hutan karena luas areal pertanian sangat kurang jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk ditambah dengan kondisi tanah yang kurang subur.
Hampir 44 % penduduk desa sekitar hutan yang ada di KPH Cepu tidak
menyelesaikan pendidikan SD. Hanya 25 % dari total penduduk desa yang berada
di wilayah kerja KPH Cepu berpendidikan SD. Sedangkan jumlah penduduk yang
lulus SMP 18%, dan yang lulus SMA 13 %.

Kondisi Umum Desa Contoh


Desa contoh yang termasuk ke dalam wilayah KPH Cepu adalah Desa
Temengan dan Desa Kemiri. Desa Temengan dan Desa Kemiri masing- masing
termasuk dalam Bagian Hutan Cabak dan Blungun. Mayoritas penduduk desa
contoh bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan tingkat pendidikan
mayoritas penduduk desa adalah sekolah dasar. Pada Tabel 6 disajikan kondisi
umum desa contoh di KPH Cepu.
Tabel 6. Kondisi Umum Desa Contoh di KPH Cepu
Nama Bagian Luas Jumlah Kepadatan Rata-rata Mata
Desa Hutan (km2 ) Penduduk (orang Tk Pencaharian
Contoh /km2 ) Pendidikan Utama
Temengan Cabak 12,02 2.038 192 SD Petani
Kemiri Blungun 2.224 2.761 1.241 SD Petani
Sumber : Buku Statistik Kabupaten Blora Dalam Angka 2003
HASIL DAN PEMBAHASAN

Prospek Kelestarian
Kelestarian hasil menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas
pengelolaan tertentu, dimana pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang
(Simon, 1994). Untuk mencapai kelestarian hasil kegiatan pengaturan hasil
menjadi sangat penting. Metode pengaturan hasil yang digunakan oleh pihak
Perum Perhutani khususnya di KPH Cepu hingga saat ini adalah metode Burn.
Metode pengaturan hasil yang digunakan pihak Perum Perhutani khususnya di
KPH Cepu merupakan metode pengaturan hasil yang statis. Artinya besarnya etat
(volume dan luas) tetap untuk jangka waktu tertentu. Jangka waktu yang
digunakan adalah sepuluh tahun. Hasil perhitungan etat volume dan etat luas serta
hasil pengujian jangka waktu penebangan tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Etat dan Pengujian Jangka Waktu Penebangan di KPH Cepu
Variabel Nilai
Etat Luas (Ha/th) 227,16
Etat Massa Sebelum Uji (m3/th) 28,137,96
Etat Massa Setelah Uji (m3/th) 29,544,86
Banyaknya Pengujian 2
Selisih Daur dengan JWP Uji I (th) -3,87
Selisih Daur dengan JWP Uji II (th) 0,00

Nilai etat volume berdasarkan metode Burn ini didasarkan atas total
volume tegakan persediaan dibagi dengan daur tanaman. Untuk penentuan total
volume tegakan persediaan didasarkan pada umur tebang rata-rata. Pengujian
jangka waktu penebangan didasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Kehutanan
No, 143/KPTS/DJ/I/1974 tentang peraturan inventarisasi hutan jati dan peraturan
penyusunan rencana pengaturan kelestarian hutan, khusus kelas perusahaan tebang
habis jati. Nilai etat volume sebelum dilakukan pengujian adalah sebesar 28,137
m3 /th, dan setelah dilakukan pengujian jangka waktu penebangan sebesar
29.544,86 m3 /th. Pengujian jangka waktu penebangan dilakukan sebanyak dua
kali pengujian. Kelestarian hasil menurut Simon (1994) menuntut tingkat
produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu, dimana antara
pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang. Berdasarkan hasil pengujian jangka
waktu penebangan diketahui untuk memperoleh volume tebangan yang kurang
lebih sama setiap tahun waktu yang dibutuhkan lebih dari satu daur (80 tahun)..
Sehingga dengan memperhatikan hal tersebut metode pengaturan hasil dengan
menggunakan metode Burn memiliki prospek kelestarian yang rendah,
Selain itu juga karena metode pengaturan hasil dengan metode Burn
merupakan metode pengaturan hasil yang statis, maka etat volume yang dihasilkan
setelah pengujian yaitu sebesar 29.544,86 m3 /th berlaku untuk jangka sepuluh
tahun ke depan. Nilai etat volume yang relatif tetap untuk jangka sepuluh tahun
kedepan menandakan bahwa dengan model pengaturan hasil yang statis, tegakan
hutan dianggap tidak mengalami perubahan. Kenyataan di lapangan, hampir
setiap tahun tegakan hutan mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi
cenderung ke arah penuruan potensi tegakan hutan. Khusus di KPH Cepu, potensi
tegakan hutan tanaman jati mengalami penurunan sebagai akibat gangguan hutan
berupa pencurian kayu. Pada Gambar 2 tertera jumlah pohon yang dicuri sampai
dengan tahun 2000 di KPH Cepu.

600000 536255
Jumlah Pohon (Batang)

500000

400000

300000

200000
90245 80386
100000 2073 2375 1843 6975 6171
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Tahun

Jumlah Pencurian Pohon

Gambar 2. Pencurian kayu di KPH Cepu

Metode pengaturan hasil dengan mengunakan metode Burn tidak bisa


merespon terhadap pencurian kayu yang terjadi. Dengan adanya penurunan
potensi tegakan sebagai akibat terjadinya gangguan hutan berupa pencurian kayu
mengakibatkan etat volume yang dihasilkan dengan menggunakan metode Burn
cenderung lebih besar dari kondisi tegakan aktual (overcutting). Sehingga atas
dasar tersebut metode pengaturan hasil statis dengan menggunakan metode Burn
yang digunakan di KPH Cepu memiliki prospek kelestarian yang rendah.

Hutan Terganggu
Kondisi tegakan hutan tanaman jati yang ada di KPH Cepu merupakan
kondisi tegakan hutan yang terganggu. Hal ini dapat terlihat dari penurunan
potensi tegakan antara awal jangka RPKH (tahun 1993) dengan hasil risalah sela
tahun 1998. Pada Gambar 3 tertera perubahan potensi tegakan pada awal jangka
dan risalah sela.

500000
450000
400000
Volume (m3)

350000
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
I II III IV V VI VII VIII IX MT MR
Kelas Umur

Tegakan Persediaan Awal Jangka Tegakan Persediaan Risalah Sela

Gambar 3. Perubahan Potensi Tegakan Persediaan Awal Jangka dan Risalah


Sela di KPH Cepu

Berikut disajikan tabel rekapitulasi luas dan volume tegakan persediaan


pada awal jangka dan risalah sela pada KPH Cepu.
Tabel 8. Rekapitulasi Luas dan Volume Tegakan Persediaan Pada Awal Jangka
dan Risalah Sela di KPH Cepu
Tegakan Persediaan Hasil Tegakan Persediaan Hasil
Kelas Hutan Risalah awal Risalah Sela
Luas (Ha) Volume (m3 ) Luas (Ha) Volume (m3 )
1 2 3 4 5
MT 93,7 16.491,2 69,1 12.161,6
MR 1.211,1 75.088,2 948,8 58.825,6
IX 214,3 45.030,4 230,8 48.497,5
VIII 1.689,3 302.044 765,72 136.910
VII 1.747,9 273.936 1.291,8 202.455
VI 1.880,4 241.232 735,4 94.342,9
V 1.931 236.092 2.392,23 292.484
Tabel 8, Lanjutan
1 2 3 4 5
IV 4.354,6 495.133 1.911,2 217.310
III 3.134,8 232.420 1.834,9 136.043
II 3.329,3 197.844 2.349,9 139.643
I 3.584,3 52.736,5 5.687,4 83.679,9
Jumlah 23.170,35 2.168.048,27 18.217,25 1.422.351,71

Luas total tegakan persediaan hasil risalah awal di KPH Cepu sebesar
23.170,35 Ha, lebih besar dari luas total tegakan persediaan hasil risalah sela
sebesar 18.217,25 Ha, atau terjadi penurunan seluas 4.953,1 Ha (21,38%),
Sedangkan volume total tegakan persediaan hasil risalah awal di KPH Cepu
sebesar 2.168.048,27 m3 lebih besar daripada volume total tegakan persediaan
hasil risalah sela sebesar 1.422.351,71 m3 , atau terjadi penurunan sebesar
745.696,6 m3 (34,39%),
Penurunan potensi tegakan persediaan di KPH Cepu tidak terlepas dari
terjadinya gangguan hutan berupa pencurian kayu. Seperti tertera pada Gambar 2,
selama kurun waktu 1993 sampai dengan tahun 2000 jumlah pohon yang hilang
adalah sebesar 791.169 batang. Jumlah pohon yang hilang di KPH Cepu
berdasarkan data tersebut relatif cukup besar. Gangguan hutan yang terjadi di
KPH Cepu khususnya pada tahun 1998 sampai dengan tahun1999 tidak terlepas
dari gejolak politik yang terjadi di Indonesia.
Selain itu juga gangguan hutan berupa pencurian kayu di KPH Cepu tidak
bisa terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan.
Berdasarkan hasil penelitian Sakti (1998), faktor sosial ekonomi masyarakat desa
sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap pencurian kayu yang terjadi di KPH
Blora, Cepu, dan Randublatung. Faktor sosial ekonomi masyarakat tersebut secara
keselur uhan dapat menerangkan tingkat pencurian kayu sebesar 70,2 % dan 29,8
% diterangkan oleh faktor lain.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sekitar Hutan


Seperti telah disebutkan di atas, gangguan hutan berupa pencurian kayu
tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan.
Masyarakat desa sekitar hutan adalah sejumlah besar komunitas yang juga
menginginkan hidup sejahtera (Darusman,2002). Menurut Mubyarto (1990)
dalam Sianipar & Awang (2001) pembangunan kehutanan di Indonesia telah
berla ngsung selama tiga dasawarsa dengan orientasi utama pada pemanfaatan
kayu. Kenyataan ini hanya memberikan keuntungan bagi sedikit orang,
sedangkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan masih tetap dalam
kemiskinan. Kondisi ekonomi berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner pada
desa contoh tertera pada Tabel 9.
Tabel 9. Kondisi Sosial Ekonomi Hasil Wawancara dan Kuesioner pada Desa
Contoh di KPH Cepu
Variabel
Desa Temengan Desa Kemiri
Sosial Ekonomi
Pendapatan rata-rata rumah tangga
1.263.764 1.439.938
(Rp/kapita/th)
Pengeluaran rata-rata rumah tangga
1.146.184 1.349.000
(Rp/kapita/th)
Rata-rata jumlah anggota keluarga
3 4
(orang)
Mayoritas tingkat pendidikan SD SD
Mayoritas mata pencaharian Petani Petani
Jumlah responden miskin (orang) 28 21
Jumlah responden tidak miskin (orang ) 12 19
Persen jumlah responden miskin desa contoh (%) = 61,25 %
Persen jumlah responden miskin desa contoh (%) = 38,75 %

Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui mayoritas mata pencaharian


responden di kedua desa contoh adalah sebagai petani. Begitu pula halnya dengan
mayoritas tingkat pendidikan responden di kedua desa contoh adalah sekolah
dasar. Jumlah angota keluarga responden untuk Desa Temengan rata-rata
sebanyak tiga orang dan Desa Kemiri rata-rata sebanyak empat orang. Selain itu
juga pada Tabel 9 tertera informasi mengenai jumlah responden dalam kategori
miskin dan tidak miskin pada masing- masing desa contoh.
Untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin seperti
menurut Rusli et al (1995) dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan.
Kriteria yang digunakan untuk penetapan garis kemiskinan menggunakan kriteria
Sajogyo. Kriteria Sajogyo didasarkan pada tingkat pengeluaran setara dengan
harga beras setempat. Berdasarkan kriteria Sajogyo suatu penduduk di pedesaan
dikatakan berada di atas garis kemiskinan apabila tingkat pengeluaran per
kapitanya lebih besar dari harga 320 kg beras/kapita/tahun. Jika harga satu
kilogram beras pada saat penelitian adalah Rp 2400/kg maka untuk dapat
dikatakan berada di atas garis kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan harus
mempunyai pengeluaran per kapita per tahun lebih dari Rp. 768.000,-.
Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui jumlah responden yang
tergolong dalam penduduk miskin dari total 40 responden pada Desa Temengan
dan Desa Kemiri masing- masing sebanyak 28 orang dan 21 orang. Sehingga total
responden dalam kategori miskin pada desa contoh di KPH Cepu adalah sebanyak
49 orang responden atau sebanyak 61,25 %. Sedangkan jumlah responden dalam
kategori tidak miskin di KPH Cepu sebanyak 31 orang atau sebanyak 38,75 %.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan kondisi kesejahteraan responden
yaitu masyarakat desa sekitar hutan sebagian besar masih tergolong rendah.
Sehingga atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi sosial ekonomi
masyarakat desa sekitar hutan khususnya di Desa Temengan dan Desa Kemiri
masih tergolong cukup memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan jumlah
responden yang tergolong miskin pada masing- masing desa contoh yang cukup
besar.
Berdasarkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan,
menjadi sangat jelas mengapa faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh
terhadap jumlah pohon yang dicuri khususnya di KPH Cepu. Kondisi sosial
ekonomi masyarakat ya ng memprihatinkan mendorong masyarakat untuk
memperbaiki kondisi sosial ekonominya. Salah satu cara yang paling mungkin
adalah dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya yaitu
sumberdaya hutan. Hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dengan
sumberdaya hutan adalah dengan memanfaatkan kayu baik untuk keperluan
pribadi atau dengan menjualnya.
Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, rata-rata konsumsi kayu
pertukangan untuk 40 responden pada Desa Temengan dan Desa Kemiri masing-
masing sebesar 0,44 m3 /kapita/th dan 0,35 m3 /kapita/th. Sedangkan rata-rata
konsumsi kayu bakar untuk 40 responden pada Desa Temengan dan Desa Kemiri
masing- masing sebesar 29,84 sm/kapita/th dan 10,61 sm/kapita/th. Harga kayu
jati yang telah ditetapkan oleh pihak Perum Perhutani berkisar Rp. 600.000,00
sampai Rp. 1.500.000,00 per m3 sedangkan harga jual kayu bakar adalah
Rp. 22.000,00/sm. Mengingat sebagian besar responden pada desa contoh
termasuk dalam kriteria miskin berdasarkan penggolongan kemiskinan menurut
Sajogyo, maka hampir dipastikan sebagian besar responden memenuhi kebutuhan
akan kayu bakar dan kayu pertukangan dengan mengambilnya langsung dari
hutan (mencuri). Pada Tabel 10 tertera rekapitulasi rata-rata konsumsi kayu
pertukangan dan kayu bakar responden pada masing- masing desa contoh.
Tabel 10, Rekapitulasi Rata-rata Konsumsi Kayu Bakar dan Kayu Pertukangan
Responden Desa Contoh di KPH Cepu
Desa Contoh Konsumsi Kayu Pertukangan Konsumsi Kayu Bakar
(m3 /tahun/kapita) (sm/ kapita /tahun)
Temengan 0,44 29,84
Kemiri 0,35 10,61

Atas dasar tersebut perlunya memasukan variabel gangguan hutan berupa


pencurian kayu dalam penentuan jumlah volume pohon yang ditebang setiap
tahun. Sedangkan variabel gangguan sendiri besarnya sangat dipengaruhi oleh
variabel sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Untuk keperluan tersebut
digunakan pendekatan sistem sebagai upaya penyusunan model pengaturan hasil
yang memperhatikan seluruh aspek khususnya aspek gangguan hutan yang
disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Selain itu untuk mengantisipasi akibat buruk dari variabel sosial ekonomi
menurut Darus man (2002), masyarakat dan pemerintah daerah-nya harus merasa
memiliki dan ikut berpartisipsi dalam pengelolaan hutan.
Lebih lanjut Darusman (2002) menyatakan, untuk menumbuhkan rasa
memiliki terhadap hutan kiranya diperlukan beberapa upaya antara lain:
1. Pemulihan kelembagaan pemanfaatan hutan oleh masyarakat setempat,
disertai penyesuaian sampai batas-batas tertentu dengan kondisi-kondisi yang
baru.
2. Pengembangan manfaat- manfaat lokal selain kayu, baik yang secara
tradisional telah dikenal dan dimafaatkan masyarakat setempat ataupun belum.
3. peningkatan orientasi pemenuhan kebutuhan kayu dan hasil hutan lainnya
untuk pasar lokal.
4. Peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat setempat, khususnya
yang menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam menunjang
pembangunan wilayah dan nasional.
Selain itu juga perlu dilakukan upaya peningkatan partisipasi masyarakat
sekitar hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Menurut Kartasubrata (1986)
gagasan mengenai peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan
maupun desa sebaiknya diuji coba dan dikembangkan dalam “pilot proyek”.

Pendekatan Sistem

Penyusunan Model
Model yang dibuat dalam model pengaturan hasil ini terdiri dari tujuh sub
model yaitu sub model potensi tegakan, sub model luas areal berhutan, sub model
pengaturan hasil, sub model dinamika penduduk, sub model keuangan
perusahaan, sub model gangguan hutan, dan sub model jumlah pengangguran.
Antara sub model tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Sub model potensi tegakan dipengaruhi oleh sub model pengaturan hasil
dan sub gangguan hutan. Besarnya jumlah pohon yang ditebang setiap tahun
ditentukan berdasarkan sub model pengaturan hasil. Jumlah pohon yang akan
ditebang setiap tahun sangat bergantung dari besarnya etat volume. Besarnya etat
volume sangat dipengaruhi oleh sub model potensi tegakan, sub model
pengaturan hasil dan sub model potensi tegakan akan berpengaruh terhadap sub
model keuangan perusahaan. Pengaruh tersebut berupa penjualan kayu hasil
tebangan yang ditentukan berdasarkan etat volume yang diperoleh pada sub
model pengaturan hasil. Sedangkan untuk sub model potensi tegakan
berpengaruh dalam penyediaan jumlah pohon yang akan ditebang setiap tahunnya.
Sub model luas areal berhutan akan berpengaruh terhadap sub model
pengaturan hasil dan sub model keuangan perusahaan. Luas areal berhutan akan
mempengaruhi terhadap besarnya etat luas yang dihasilkan pada sub model
pengaturan hasil. Besarnya biaya pemeliharaan pada sub model keuangan
perusahaan didasarkan pada etat luas pada sub model pengaturan hasil.
Sub model dinamika penduduk akan mempengaruhi sub model jumlah
pengangguran dan sub model jumlah pengangguran akan mempengaruhi sub
model gangguan hutan. Gangguan yang dimaksudkan di dalam sistem ini berupa
pencurian kayu. Sub model gangguan ini akan mempengaruhi sub model potensi
tegakan dan sub model luas areal berhutan. Semakin tinggi persentase gangguan
maka akan berpengaruh terhadap potensi tegakan yang dihasilkan dan luas areal
berhutan. Dengan terjadinya penurunan potensi tegakan dan luas areal berhutan
akan berakibat pada keuangan perusahaan yang semakin menurun. Hubungan
antara sub-sub model tersebut tertera pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan Antar Sub Model

Sub Model Potensi Tegakan. Sub model potensi tegakan digunakan untuk
menggambarkan perubahan potensi tegakan tiap kelas umur di KPH Cepu.
Sub model ini terdiri dari state variable jumlah pohon tiap kelas umur yang
mengalami penambahan karena adanya jumlah pohon yang ditanam dan
jumlah pohon upgrwoth dan pengurangan jumlah pohon oleh penjarangan,
tebangan, mortality serta pencurian.

Aliran materi dalam sub model potensi tegakan dimulai dengan adanya
penanaman. Jumlah penanaman didasari jumlah pohon per hektar dan
besarnya etat luas. Dengan adanya penanaman akan menyebabkan
bertambahnya jumlah pohon tegakan KU I. Jumlah pohon pada KU I akan
mengala mi pengurangan dengan adanya penjarangan, mortality dan pencurian.
Dengan berjalannya waktu akan terjadi perpindahan jumlah pohon dari KU I
ke KU II yang dinyatakan dalam jumlah pohon upgrowth. Pada KU II dan
KU III yang menjadi aliran masuk berupa jumlah pohon upgrowth dari KU
sebelumnya sedangkan yang menjadi aliran ke luar berupa penjarangan,
mortality dan pencurian. Sedangkan pada KU IV, KU V, KU VI dan KU VII
aliran masuk dipengaruhi oleh jumlah pohon upgrowth dari KU sebelumnya ,
sedangkan aliran ke luar berupa penjarangan, mortality, pencurian dan
tebangan sesuai dengan daur yang digunakan. Kelas umur VIII dan KU IX,
aliran masuk berupa jumlah pohon upgrowth dari KU sebelumnya, sedangkan
aliran ke luar berupa penebangan, mortality dan pencurian. Mortality yang
terjadi pada setiap kelas umur menggambarkan jumlah pohon yang mati
secara alami. Besarnya mortality seperti halnya jumlah pohon digambarkan
dengan persentase mortality yang dikalikan dengan jumlah pohon dari suatu
kelas umur.

Sub model potensi tegakan dapat memberikan gambaran mengenai


tebangan yang dilaksanakan tiap tahun berdasarkan metode pengaturan hasil yang
digunakan dan perlakuan silvikultur terhadap tegakan berupa penjarangan untuk
tiap kelas umurnya. Penjarangan dilakukan berdasarkan daur teknis yang
digunakan. Pada daur teknis 80 tahun penjarangan dilakukan terhadap tegakan
KU I sampai KU VII. Sub model jumlah pohon ini tertera pada Lampiran 8.

Sub Model Pengaturan Hasil. Sub model ini berguna untuk


menggambarkan besarnya etat tebang tahunan dan etat luas yang dapat
dilaksanakan di KPH Cepu berdasarkan potensi tegakan yang dimiliki. Dalam
sub model pengaturan hasil penentuan etat volume didasarkan pada volume
tegakan persediaan. Besarnya volume tegakan persediaan (standing stock)
didasarkan jumlah pohon pada masing- masing kelas umur yang dikalikan
dengan volume per pohon pada masing- masing kelas umur tersebut.
Sedangkan untuk etat luas diperoleh dari penjumlahan luas setiap kelas umur
dibagi dengan daurnya.
Kegiatan penebangan pada kelas perusahaan jati di KPH Cepu
dilakukan sampai dengan kals umur (KU) IV. Jumlah pohon yang ditebang
setiap tahunnya ditentukan oleh besarnya volume per pohon dari kelas umur
pohon yang akan ditebang dan etat volume. Daur yang digunakan
berdasarkan daur teknis, Daur ini merupakan daur yang ditetapkan
berdasarkan penggunaan kayu yang dihasilkan oleh suatu tegakan. Daur ini
merupakan umur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat
menghasilkan kayu yang dapat dipakai untuk tujuan tertentu (Simon, 1994).
Sub model pengaturan hasil tertera pada Gambar 5.
Gambar 5. Sub Model Pengaturan Hasil

Sub Model Keuangan Perusahaan. Keuangan perusahaan


tergantung dari kegiatan yang dilaksanakan tiap tahunnya. Keuangan
perusahaan ini digambarkan dengan pendapatan bersih KPH. Besarnya
pendapatan bersih KPH merupakan penerimaan perusahaan dikurangi dengan
biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tiap tahunnya. Dalam
sub model ini pendapatan total dibatasi hanya berasal dari kegiatan tebang
habis dan tebang penjarangan. Tebangan akan menghasilkan kayu yang
bervariasi kualitasnya yaitu kualitas AI diameter 4-19 cm, AII diameter 20-29
cm, dan AIII diameter > 30 cm. Dari hasil pengalaman dan penelitian yang
dilakukan oleh pihak Perum Perhutani khususnya KPH Cepu tebang habis
(A2) rata-rata akan dapat menghasilkan kayu AI sebanyak 2%, kayu AII 6%,
dan kayu AIII 92 % serta dapat manghasilkan kayu bakar sebanyak 6,60% dari
volume total penebangan. Sedangkan pada tebangan penjarangan rata-rata
akan diperoleh kayu AI sebesar 66%, AII sebesar 16% dan AIII sebesar 18%
serta kayu bakar 25% dari total penjarangan.
Gambar 6. Sub Model Keuangan Perusahaan

Pengeluaran perusahaan merupakan segala pengeluaran yang digunakan


untuk membiayai kegiatan perusahaan. Biaya usaha merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan usaha pengelolaan hutan Jati. Biaya ini
meliputi biaya umum, pembinaan hutan, pemasaran, ekploitasi, sarana dan
prasarana, bia ya penyusutan , biaya pendidikan dan latihan, dan biaya tata hutan
dan perencanaan. Biaya pembinaan hutan meliputi biaya persemaian, biaya
tanaman, biaya penyuluhan, biaya pemeliharaan, dan biaya perlindungan.
Masing- masing besarnya biaya akan dipengaruhi oleh kegiatan yang dilakukan
oleh KPH pada tahun berjalan. Selain biaya, pengeluaran perusahaan lainnya
adalah IHH atau iuran hasil hutan. IHH diasumsikan sebesar 3 % dari penerimaan
KPH. Pada sub model ini dapat memberikan gambaran mengenai perubahan
pendapatan perusahaan tiap tahun yang sangat dipengaruhi oleh besarnya
penerimaan dan biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan perusahaan.
Perubahan pendapatan perusahaan dapat memberikan gambaran tingkat kemajuan
suatu perusahaan. Sub model keuangan perusahaan tertera pada Gambar 6 di atas.
Sub Model Dinamika Penduduk. Sub model dinamika penduduk
berguna memberikan gambaran perubahan jumlah penduduk atau laju kepadatan
penduduk. Jumlah penduduk dalam sub model ini adalah total jumlah penduduk
desa sekitar hutan KPH Cepu. Jumlah penduduk akan dipengaruhi oleh besarnya
kelahiran, kematian, persentase jumlah penduduk yang ke luar, dan persentase
jumlah penduduk yang masuk. Jumlah penduduk desa sekitar hutan mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya tahun. Desa sekitar hutan adalah desa-
desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan KPH Cepu atau desa-desa yang
berbatasan dengan desa-desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan.

Jumlah desa sekitar hutan KPH Cepu berdasarkan buku RPKH Cepu
jangka 1993-2002 terdiri dari 42 desa sekitar hutan dengan total jumlah penduduk
desa sekitar hutan 104.338 jiwa. Wilayah kerja KPH Cepu hampir sebagian besar
berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Blora. Sehingga untuk besarnya
persen kelahiran, persen kematian, persen jumlah penduduk yang keluar dan
jumlah panduduk yang masuk diasumsikan berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora pada tahun 2003. Besarnya persen
kelahiran rata-rata sebesar 0,707 % sedangkan persentase kematian rata-rata
0,358 %.
Dinamika penduduk selain dipengaruhi oleh adanya kelahiran dan
kematian juga dipengaruhi oleh perpindahan penduduk. Penduduk tiap tahun ada
yang ke luar dari desa itu untuk mencari kerja ke daerah lain atau ke kota, selain
itu terdapat penduduk yang masuk atau datang. Besarnya penduduk yang ke luar
dari desa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten
Blora pada tahun 2003 rata-rata sebesar 0,356% sedangkan yang masuk rata-rata
sebesar 0,419%. Sub model dinamika penduduk tertera pada Gambar 7.
Gambar 7. Sub Model Dinamika Penduduk

Sub Model Luas Areal Berhutan. Sub model luas areal berhutan
digunakan untuk menggambarkan perubahan luas tegakan jati tiap kelas umur.
Sub model ini terdiri dari state variable luas tegakan tiap kelas umur yang
mengalami perubahan karena adanya tebangan serta pencurian.

Aliran materi dalam model luas areal berhutan dimulai dengan adanya
penanaman. Dengan adanya penanaman akan menyebabkan bertambahnya
luas tegakan dalam KU I. Luas tegakan pada KU I akan mengalami
penambahan dengan adanya penanaman. Selain itu juga dengan berjalannya
waktu akan terjadi perpindahan dari KU I ke KU II yang dinyatakan dalam
persentase pindah.

Pada KU II dan KU III yang menjadi aliran masuk berupa persentase


pindah dari KU sebelumnya sedangkan yang menjadi aliran ke luar seperti
halnya pada KU I berupa persen pindah. Sedangkan pada KU IV, KU V, KU
VI ,KU VII, KU VIII, dan KU IX aliran masuk dipengaruhi oleh persentase
pindah, sedangkan aliran ke luar berupa pencurian dan tebangan sesuai dengan
daur yang digunakan. Sub model luas areal berhutan dapat memberikan
gambaran mengenai potensi luas tegakan pada masing- masing kelas umur.
Sub model luas areal berhutan tertera pada Lampiran 9.

Sub Model Gangguan Hutan. Sub model gangguan hutan digunakan


untuk menggambarkan besarnya gangguan hutan yang terjadi di KPH Cepu.
Gangguan hutan yang dimaksudkan disini adalah berupa pencurian kayu yang
dilakukan oleh masyarakat. Dalam sub model gangguan hutan ini, jumlah
pohon yang dicuri berkaitan erat dengan variabel sosial ekonomi masyarakat
khususnya masyarakar desa sekitar hutan. Hal ini sesuai dengan penelitian
Sakti (1998) yang menyatakan bahwa variabel sosial ekonomi berpengaruh
nyata terhadap besarnya pencurian kayu di KPH Blora, Cepu, dan
Randublatung. Persamaan yang digunakan untuk menduga besarnya jumlah
pohon yang dicuri setiap tahun adalah persamaan Kuncahyo (2005), yaitu :

Y1 = 5794 - 0,00524 X1 + 76 X2 + 13840 X3


dimana : Y1 = Tingkat Pencurian (tunggak)
X1 = Pendapatan (Rp/kapita/th)
X2 = Tingkat Pengangguran (%)
X3 = Konsumsi Kayu Pertukangan (m3 /th/kk)
Berdasarkan persamaan di atas gangguan hutan berupa pencurian kayu
berkorelasi positif dengan tingkat pengangguran dan konsumsi kayu
pertukangan, serta berkorelasi negatif dengan peubah pendapatan. Sedangkan
untuk luas areal yang mengalami gangguan diperoleh dari total jumlah pohon
yang dicuri dibagi dengan jumlah pohon per hektar yang dicuri. Sub model
gangguan hutan tertera pada Gambar 8.

Gambar 8. Sub Model Gangguan Hutan


Sub Model Jumlah Pengangguran. Sub model jumlah
pengangguran berguna untuk menggambarkan tingkat pengangguran
masyarakat desa sekitar hutan yang terdapat di KPH Cepu. Pengangguran
yang dimaksudkan disini adalah pengangguran terbuka, artinya pengangguran
yang terjadi karena orang-orang yang tidak bekerja baik secara sukarela
maupun terpaksa. Jumlah pengangguran berkorelasi positif dengan jumlah
penduduk, dimana semakin besar jumlah penduduk dan semakin sedikit
lapangan pekerjaan yang tersedia maka jumlah pengangguran akan semakin
bertambah.

Jumlah pengangguran dalam sub model ini diperoleh dari selisih antara
jumlah penduduk pencari kerja dengan jumlah tenaga kerja yang dapat diserap
dalam bidang kehutanan. Jumlah penduduk pencari kerja dipengaruhi oleh
jumlah angkatan kerja, jumlah pensiunan, dan jumlah angkatan kerja yang
bekerja di luar sektor kehutanan. Angkatan kerja yang dimaksudkan disini
adala h penduduk yang berumur lebih dari 10 tahun. Sedangkan jumlah tenaga
kerja yang dapat diserap dalam bidang kehutanan berasal dari pekerja harian
kehutanan dan pesanggem. Untuk jumlah pesanggem diperoleh dari luas
lahan penanaman yang dialokasikan untuk kegiatan tumpang sari dibagi
dengan luas lahan tumpang sari setiap pesanggem yaitu seluas 0,25 Ha.
Jumlah angkatan kerja, persentase angkatan kerja yang pensiun serta
persentase jumlah penduduk yang bekerja untuk wilayah KPH Cepu diperoleh
dari kantor tena ga kerja Kabupaten Blora yang tertuang dalam buku statistik
Kabupaten Blora Dalam Angka pada tahun 2003. Sub model jumlah
pengangguran tertera pada Gambar 9.
Gambar 9. Sub Model Jumlah Pengangguran

Evaluasi Model
Mengevaluasi Kewajaran dan Kelogisan Model. Berdasarkan hasil
penelitian Sumadi (2002), kewajaran model dan kelogisan model pengaturan hasil
dapat dilihat dari besarnya etat volume pada hutan tidak terganggu. Hutan tanpa
gangguan potensi tegakan akan mengalami kenaikan tiap tahunnya. Besarnya etat
volume di KPH Cepu yang tidak mengalami gangguan seperti tertera pada
Gambar 10. Kondisi tegakan jati yang tidak mengalami gangguan berupa
pencurian kayu, mengakibatkan besarnya etat volume mengalami peningkatan.
Peningkatan nilai etat volume terjadi karena luas tanah kosong akibat penjarahan
mengalami penurunan dikarenakan adanya penana man pada tanah kosong
tersebut. Dengan adanya peningkatan potensi maka tegakan persediaan akan
meningkat, sehingga nilai etat volume akan meningkat pula,

Gambar 10. Etat Volume Pada Tegakan Tanpa Gangguan di KPH Cepu

Berdasarkan Gambar 10 di atas besarnya etat volume pada tegakan hutan


yang tidak terganggu mengalami peningkatan, sehingga dapat dikatakan model
bersifat logis dan wajar.
Analisis Sensitivitas Model. Analisis sensitivitas model adalah evaluasi
terhadap hubungan perilaku model agar diperoleh suatu pola tertentu yang
diharapkan. Sensitivitas model merupakan tahapan kegiatan untuk melihat tingkat
kewajaran suatu model yang akan digunakan apabila dilakukan perubahan pada
salah satu parameter secara ekstrim (Grant et al, 1997). Sensitivitas model akan
dilakukan terhadap besarnya etat volume apabila luas gangguan hutan yang
terjadi dilakukan perubahan. Evaluasi ini dengan mengubah persen pengangguran
yang terjadi pada masyarakat desa sekitar hutan di KPH Cepu. Persen
pengangguran merupakan salah satu variabel sosial ekonomi yang merupakan
penyebab terjadinya gangguan hutan di KPH Cepu. Besarnya persen
pengangguran pada evaluasi ini dinaikan sebesar 0%, 50 %, dan 100%.
Perbandingan penurunan etat volume untuk KPH Cepu disajikam pada Gambar 11
di bawah ini.

Gambar 11. Etat Volume KPH Cepu Pada Peningkatan Persen Pengangguran 0%
(1), Peningkatan Persen Pengangguran 50% (2), dan Peningkatan
persen Pengangguran 100% (3),

Persen pengangguran yang semakin besar yang terjadi di KPH Cepu akan
memiliki dampak yang cukup besar terhadap potensi tegakan. Peningkatan persen
pengangguran berakibat pada peningkatan terjadinya pencurian kayu. Pencurian
kayu tersebut berakibat pada penurunan potensi tegakan. Evaluasi sensitivitas
model pengaturan hasil untuk KPH Cepu menunjukan besarnya etat volume akan
semakin menurun dengan semakin meningkatnya Persen Pengangguran.
Sehingga model yang dihasilkan sesuai dengan pola yang diharapkan.
Penggunaan Model
Pengunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario-
skenario yang telah ditetapkan dalam rangka memberikan jawaban mengenai
tujuan penelitian. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah Menyusun model
pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek gangguan berupa pencurian
kayu di KPH Cepu. Untuk memenuhi tujuan tersebut dilakukan dengan
membandingkan nilai etat volume yang dihasilkan berdasarkan formula yang
disusun dengan nilai etat volume berdasarkan metode Burn.

Perbandingan Nilai Etat Volume . Perbandingan nilai etat volume


dilakukan dalam rangka menjawab hipotesis dalam penelitian ini yaitu kesesuaian
metode pengaturan hasil ditentukan oleh kemampuannya dalam merespon
terjadinya perubahan potensi tegakan persediaan melalui proses simulasi. Untuk
keperluan tersebut nilai etat volume metode Burn dan nilai etat volume dinamis
dibandingkan dengan perkembangan potensi tegakan persediaan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya penentuan etat volume berdasarkan
metode Burn besarnya tetap untuk jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut
disesuaikan dengan jangka waktu penyusunan RPKH (Rencana Pengaturan
Kelestarian Hasil) yaitu sepuluh tahun. Nilai etat volume berdasarkan metode
Burn ini ditentukan berdasarkan volume tegakan persediaan dibagi dengan daur.
Nilai etat volume berdasarkan metode Burn ini merupakan nilai etat volume yang
statis. Sedangkan untuk nilai etat volume berdasarkan model pengaturan hasil
yang telah disusun merupakan nilai etat volume dinamis. Nilai etat volume
tersebut besarnya berubah- ubah setiap tahun mengikuti perkembangan yang
terjadi di dalam tegakan.
Perbandingan antara nilai etat volume berdasarkan metode Burn dengan
potensi tegakan persediaan berdasarkan hasil simulasi selama 20 tahun ke depan
disajikan pada Gambar 12 di bawah ini. Berdasarkan hasil simulasi terhadap nilai
etat volume metode Burn dan volume tegakan persediaan di KPH Cepu
sebagaimana tertera pada Gambar 12 menunjukan bahwa penetuan etat volume
dengan menggunakan metode Burn tidak bisa merespon terhadap perubahan
potensi tegakan. Hasil simulasi menunjukan bahwa potensi tegakan setiap
tahunnya mengalami penurunan. Penurunan potensi tegakan terjadi sebagai akibat
adanya gangguan hutan berupa pencurian kayu.

Gambar 12. Hasil Simulasi 20 Tahun ke Depan Terhadap Nilai Etat volume
Metode Burn dan Volume Tegakan Persediaan di KPH Cepu.

Nilai etat volume yang dihasilkan cenderung lebih besar dari kemampuan
tegakan tersebut untuk memproduksi kayu (terjadi overcutting). Sehingga atas
dasar tersebut penentuan etat volume dengan menggunakan metode Burn sudah
tidak sesuai lagi. Sedangkan perbandingan nilai etat volume dinamis dengan
potensi tegakan persediaan disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Hasil Simulasi 20 Tahun ke Depan Terhadap Nilai Etat volume
Dinamis dan Volume Tegakan Persediaan di KPH Cepu.

Berdasarkan hasil simulasi sebagaimana tertera pada Gambar 13 di atas


penentuan etat volume secara dinamis relatif lebih mampu merespon perubahan
yang terjadi di dalam tegakan dibanding dengan penentuan etat volume dengan
menggunakan metode Burn. Dari hasil simulasi terlihat nilai etat volume
besarnya mengikuti perkembangan yang terjadi dalam tegakan. Nilai etat volume
cenderung menurun setiap tahunnya seiring dengan terjadinya penurunan potensi
tegakan setiap tahun.
Rata- rata volume tegakan persediaan untuk setiap tahunnya berdasarkan
hasil simulasi menunjukan bahwa pada etat volume dengan menggunakan metode
Burn cenderung memiliki nilai rata- rata volume tegakan persediaan yang lebih
kecil dibandingkan dengan etat volume dinamis. Rata-rata volume tegakan
persediaan setiap tahun untuk etat volume Burn dan etat volume dinamis masing-
masing sebesar 1.428.951,10 m3 dan1.436.451,90 m3 . Sehingga atas dasar
tersebut penentuan etat volume dinamis cenderung lebih sesuai karena mampu
merespon perubahan yang terjadi di dalam tegakan.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Penggunaan metode Burn dalam kegiatan pengaturan hasil di KPH Cepu
memiliki prospek kelestarian yang rendah karena untuk memperoleh jumlah
tebangan yang kurang lebih sama setiap tahun membutuhkan waktu lebih dari
satu daur. Selain itu juga metode Burn tidak mampu merespon terhadap
penurunan potensi tegakan akibat pencurian kayu.
2. Gangguan hutan berupa pencurian kayu yang terjadi di KPH Cepu dipicu oleh
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang cukup memprihatinkan.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk dalam kategori miskin berdasarkan
hasil wawancara dan kuesioner yang mencapai 61,25 % sedangkan jumlah
penduduk dalam kategori tidak miskin yaitu sebesar 38,75 %.
3. Penggunaan etat volume dinamis lebih sesuai dibanding dengan etat volume
berdasarkan metode Burn karena mampu merespon penurunan potensi tegakan
akibat gangguan hutan berupa pencurian kayu.

Saran
1. Sudah waktunya Perum Perhutani mengujicobakan suatu metode pengaturan
hasil yang dinamis
2. Penelitian pada KPH lain dengan kondisi yang berbeda baik potensi, sosial dan
lingkungannya.
3. Penelitian lebih lanjut mengenai penerapan teknologi penginderaan jarak jauh
dalam mengidenifikasi luas gangguan hutan akibat pencurian kayu di KPH
Cepu.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. nd. Keputusan Direksi PT. Perhutani Nomor :001/KPTS/DIR/2002


Tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu.
http://fwi.or.id/Regulasi/Aturan/0171.htm. [24 Juli 2005].

BPS Kabupaten Blora. 2004. Kabupaten Blora Dalam Angka 2003. BPS
Kabupaten Blora, Blora.

Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Laboratorium Politik


Ekonomi Sosial Kehutanan IPB, Bogor.

Grant W.E., Ellen K. Pedersen and sandra L. Marin. 1997. Ecology And Natural
Resource Management. System Analysis and Simulation. John Wiley &
Sons, Inc, New York.

Hall, Charles A.S. and Day Jr, John W. 1977. Ecosystem Modeling in Theory and
Practice : An Intorduction With Case Histories. John Wiley & Sons, Inc,
New York.

Helms, J.A. (Editor). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society Of American
Foresters and CABI Publishing, Bethesda, Wallingford.

Kartasubrata, Junus. 1986. Partispasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan


hutan di Jawa. Fakultas Pascasarjan Institut Pertanian Bogor. Desertasi .
Tidak Diterbitkan

Kuncahyo, Budi. 1998. Pendekatan Sistem dalam Penetapan Jumlah Hasil Hutan
yang Dipungut (Studi Kasus di KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat). Program Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan.

. 2005. Penyusunan Model Pengatuan Hasil Hutan yang


Berdasarkan Kebutuhan Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Kasus di KPH
Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah).
Program Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan

Meyer, H.A., A. B. Recknagel, D.D. Stevenson, R. A. Bartoo. 1961. Forest


Management. Second Edition. The Ronald Press Company, New York.

Osmaston, F. C. 1968. The Management of Forest. George Allen and Unwin, Ltd.
London.
Perum Perhutani. 1974. Surat Keputusan Direktur Jendral Kehutanan No.
143/KPTS/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan
Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Khusus
Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati. PHT 19 Seri Produksi 11 Tahun
1974. Perum Perhutani. Jakarta.

Perum Perhutani, Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. 2001. Suplement


Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil Kelas Perusahaan Jati KPH Cepu
Jangka Perusahaan 2001-2005. Perhutani. Rembang.

Purnomo, Herry. 2004. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan & Manajemen


Sumberdaya Alam Secara Kolaboratif Dan Adaptif. Bahan Bacaan Mata
Ajaran Analisis Sistem. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Rusli, Said et al. 1995. Metode Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin (Suatu
Tinjauan dan Alternatif). Grasindo, Jakarta

Sakti, Danang K. 1998. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap


Tingkat Pencurian Kayu (Studi Kasus di KPH Blora, Cepu dan
Randublatung). Skripsi Jurusan Manajemen Hutan , Fakultas Kehutanan,
IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Sianipar, E. H dan Awang, S. A. 2001. Desa Hutan Di Toba Samosir (Studi


Kasus di Desa Partungko Naginjang, Kecamatan Haria, Kabupaten Toba
Samosir). Jurnal Hutan Rakyat Volume III : 13-23

Simon, H. 1994. Pengaturan Hasil Hutan. Bagian Penerbitan Yayasan Pembinaan


Fakulatas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Sukadri, DoddyS. nd. Ecolabeling. (http://www.dephut.go.id/informasi/ph


/ecolabel.htm) . [24 Juli 2005]

Sumadi, Agus. 2002. Model Simulasi Pengaturan Hasil Hutan Seumur(Studi


Kasus Pada Kelas Perusahaan Jati di KPH Blora). Skripsi Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak
Diterbitkan

Sumodiningrat, Gunawan. 1997. Pembangunan Daerah Dan Pemberdayaan


Masyarakat. Bina Rena Pariwara, Jakarta.
Lampiran 1 . Potensi Tegakan Normal Hasil Risalah Sela tahun 1998 KPH Cepu
Kelas Rata - Rata Umur Volume STANDARD NORMAL FOREST FOREST STANDING
Hutan Bonita KBD Tengah Tabel Vol/Ha CAI Luas Volume CAI (NI) Actual Volume CAI (Ia)
(m3 /ha) (m3 /ha) (m3 /ha/th) Areal (NG) (m3 /ha/th) areal (AG) (m3 )
(Ha) (m3 ) (Ha) 3
(m )

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
MT - - - - 176,00 - - - - 69,10 12161,60 -
MR - - - - 62,00 - - - - 948,80 58825,60 -
IX 3,9 0,92 85 228,40 210,13 3,65 - - - 230,80 48497,54 775,026
VIII 3,8 0,88 75 203,18 178,80 2,67 2277,16 407151,85 6080,01 765,72 136909,51 1799,136
VII 3,8 0,85 65 184,38 156,72 2,81 2277,16 356882,72 6398,81 1291,80 202454,77 3085,464
VI 3,7 0,81 55 158,38 128,29 2,95 2277,16 292131,33 6717,61 735,40 94342,85 1757,238
V 3,8 0,85 45 143,84 122,26 3,15 2277,16 278414,20 7173,04 2392,23 292483,61 6405,196
IV 3,6 0,97 35 117,22 113,70 3,19 2277,16 258920,38 7264,13 1911,20 217309,94 5913,826
III 3,3 0,90 25 82,38 74,14 3,23 2277,16 168832,90 7355,21 1834,90 136043,16 5334,054
II 3,2 1,02 15 58,26 59,43 3,81 2277,16 135320,45 8675,96 2349,90 139643,28 9132,181
I 3,3 0,67 5 21,96 14,71 4,36 2277,16 33504,25 9928,40 5687,40 83679,85 16614,033
Jumlah 18217,25 1931158,09 59593,17 18217,25 1422351,71 50816,155
Lampiran 2. Data Dasar dan Asumsi

1. Luas yang digunakan dalam penyusunan model adalah luas areal pada KU I
sampai dengan KU IX di KPH Cepu berdasarkan hasil risalah sela tahun 1998
yaitu sebagai berikut :

Kelas Hutan Luas (Ha) Umur Tengah Bonita Rata- KBD Rata-
rata rata
IX 230,80 85 3.9 0.92
VIII 765,72 75 3.8 0.88
VII 1291,80 65 3.8 0.85
VI 735,40 55 3.7 0.81
V 2392,23 45 3.8 0.85
IV 1911,20 35 3.6 0.97
III 1834,90 25 3.3 0.90
II 2349,9 15 3.2 1.02
I 5687,4 5 3.3 0.67
Sumber: risalah sela KPH Cepu 1998

2. Biaya pengelolaan hutan sebagai berikut


a. Biaya ekploitasi (per m3 ) = Rp. 121.813,-
b. Biaya pemasaran (per m3 ) = Rp. 281107,-
c. Biaya pemeliharaan (per ha) = Rp. 10.695,-
d. Biaya pendidikan dan latihan = Rp. 21.010.775,-
e. Biaya penyuluhan = Rp. 1.302.099.740,-
f. Biaya penyusutan = Rp. 268.173.805,-
g. Biaya perlindungan = Rp. 4.014.787.941,-
h. Biaya persemaian (per ha luas tanaman) = Rp. 413.728,-
i. Biaya sarana dan prasarana = Rp. 1.395.071.162,-
j. Biaya tanam (per ha) = Rp. 116.157,-
k. Biaya umum = Rp. 6.178.089.802,-
l. Biaya tata hutan dan perencanaan= Rp. 25.276.377,-
3. Proposi kayu hasil tebangan habis (tebang A2) 92% AIII, 6% AII, 2% AI dan
kayu bakar 6,6% dari total volume tebangan, sedangkan pada pada
penjarangan (tebangan E) menghasilkan 66% AI, 16% AII, 18% AIII, dan
kayu bakar 25% dari total penjarangan.
4. Harga kayu pada KPH Blora (asumsi selama simulasi harga kayu tetap)
a. Harga kayu AIII (per m3 ) = Rp. 1.543.411,-
b. Harga kayu AII (per m3 ) = Rp. 896.115,-
c. Harga kayu AI (per m3 ) = Rp. 618.486,-
d. Harga kayu bakar (per sm3 ) = Rp. 22.030,-
5. Data penduduk
a. Jumlah penduduk di 42 desa tahun 2003 = 104.338 jiwa
b. Persen natalitas = 0,6901661%
c. Persen mortalitas = 0,2236989%
d. Persen masuk = 0,1664906%
e. Persen keluar = 0,2413014%
Lampiran 3. Perhitungan Etat dan Pengujian Jangka Waktu Penebangan di KPH
Cepu.

1.Volume Kayu Aktual di KPH Cepu (Risalah Sela Th. 1998)


Volume
Kelas Luas Rata-rata Umur
Hutan (Ha) Tengah
Bonita KBD M 3 /Ha M3
MT 69,1 - - - 176 12.162
MR 948,8 - - - 62 58.826
IX 230,8 3,9 0,92 85 163,1 37.644
VIII 765,72 3,8 0,88 75 150,5 115.241
VII 1291,8 3,8 0,85 65 145,4 187.828
VI 735,4 3,7 0,81 55 133,4 98.102
V 2.392,23 3,8 0,85 45 145,4 347.830
IV 1.911,2 3,6 0,97 35 153,7 293.751
III 1.834,9 3,3 0,9 25 127,5 233.750
II 2.349,9 3,2 1,02 15 139,2 327.106
I 5.687,4 3,3 0,67 5 94,9 538.597
Jumlah 18.217,25 2.251.037
Etat Luas = 18.127,25/80 = 227,716 Ha/th
Etat Volume = 2.251.037/80 = 28.137.96 m3 /th

2.Jangka Waktu Tebang Hasil Pengujan I di KPH Cepu


Jangka Waktu Penebangan (thn)
Kelas Umur Saat Umur Tebang
Hutan Tebang (thn) Rata-rata (thn) Setiap Kelas Kumulatif

MR&MT - - 2,52 2,52


IX 87,52 88,31 1,59 4,11
VIII 79,11 81,01 3,8 7,91
VII 72,91 76,5 7,23 15,14
VI 70,14 71,95 3,62 18,76
V 63,76 70.07 12,62 31,38
IV 66,38 71,78 10,8 42,18
III 67,18 71,48 8,59 50,77
II 65,77 71,8 12,05 62,82
I 67,82 78,34 21,05 83,87
Selisih Daur dengan JWP = -3,87 th

Etat Volume Revisi = (83,87/80)* 28.137,96 = 29.544,86 m3 /th


Lampiran 3. Lanjutan

3. Jangka Waktu Tebang Hasil Pengujan II di KPH Cepu


Kelas Umur Saat Umur Tebang Jangka Waktu Penebangan (thn)
Hutan Tebang (thn) Rata-rata (thn) Setiap Kelas Kumulatif
MR&MT - - 2,4 2,4
IX 87,4 88,16 1,51 3,91
VIII 78,91 81,1 4,38 8,29
VII 73,29 76,86 7,14 15,43
VI 70,43 72,16 3,45 18,88
V 63,88 69,88 12 30,88
IV 65,88 70,99 10,21 41,09
III 66,09 70,13 8,08 49,17
II 64,17 69,81 11,28 60,45
I 65,45 75,23 19,55 80
Selisih Daur dengan JWP = 0,00 th
Etat Volume = 29.544,86 m3 /th
Lampiran 4. Batasan Sistem

1. Dinamika Penduduk

o Jumlah_penduduk = Jumlah total penduduk desa sekitar hutan di KPH Cepu


o Anggota_KK = Jumlah rata-rata anggota keluarga mayarakat desa sekitar
hutan di KPH Cepu
o Jumlah_KK = Jumlah total rumah tangga masyarakat desa sekitar hutan di KH
Cepu
o Keluar = Jumah penduduk desa sekitar hutan yang bermigrasi ke luar desa
o Lahir = Jumlah total angka kelahiran di desa sekitar hutan KPH Cepu
o Masuk = Jumah penduduk pendatang di desa sekitar hutan
o Mati = Jumlah total angka kematian di desa sekitar hutan KPH Cepu

2. Gangguan Hutan

o jml_phn_curi = Total jumlah pohon yang hilang akibat pencurin di KPH Cepu
o luascuri_total = Luas total pencurian kayu di KPH Cepu
o Pend_perkapita = Jumlah pendapatan per anggota masyarakat desa sekitar
hutan per kapita di KPH Cepu
o persen_pengangguran = Persentase jumlah penduduk yang tidak bekerja
terhadap total angkatan kerja masyarakat desa sekitar hutan di KPH Cepu
o Kons_Ky = Tota kebutuhan kayu masyarakat desa sekitar hutan di KPH Cepu

3. Jumlah Pengangguran

o AngkatanKerja = Total jumlah penduduk desa sekitar hutan yang berumur


lebih dari 10 tahun
o Bekerja = Jumlah total angkatan kerja yang telah bekerja
o jml_Tk_per_regu = Jumlah tenaga kerja dalam satu regu tebang
o lahan_pesanggem = Alokasi lahan yang diperuntukan bagi petani pesanggem
per orang
o luas_TS = Jumlah total lahan yang dialokasikan untuk petani pesanggem
o Pencari_kerja = Jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja
o pengangguran = Selisih Jumlah angkatan kerja yang bekerja dengan jumlah
pencar kerja
o pensiunan = Jumlah angkatan kerja yang bekerja sebagai pegawai negeri atau
swasta yang telah berumur lebih dari 50 tahun
o PesanggemTS = Penduduk desa sekitar hutan yang memiliki kontrak dengan
Perum Perhutani untuk mengelola lahan andil
o TK_Banjar_harian = Tenaga kerja tanaman dengan sistem pembayaran harian
o TK_tanam = Jumlah total tenaga kerja tanam baik banjar harian maupun
tumpang sari
o TK_tebang = Jumlah total tenaga tebang
o Total_TK = Jumlah total tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan
penanaman dan penebangan
Lampiran 4. Lanjutan

4. Jumlah Pohon

o Jml_phn_ku_I = Jumlah pohon jati yang berumur 0 sampai dengan 10 tahun


o Jml_phn_kuII = Jumlah pohon jati yang berumur 11 sampai dengan 20 tahun
o jml_phn_kuIII = Jumlah pohon jati yang berumur 21 sampai dengan 30 tahun
o jml_phn_ku_IV = Jumlah pohon jati yang berumur 31 sampai dengan 40
tahun
o jml_phn_ku_V = Jumlah pohon jati yang berumur 41 sampai dengan 50 tahun
o jml_phn_ku_VI = Jumlah pohon jati yang berumur 51 sampai dengan 60
tahun
o jml_phn_ku_VII = Jumlah pohon jati yang berumur 61 sampai dengan 70
tahun
o jml_phn_ku_VIII = Jumlah pohon jati yang berumur 71 sampai dengan 80
tahun
o jml_phn_kuIXup = Jumlah pohon jati yang berumur lebih dari 81 tahun
o CuriKUIV = Jumlah total pohon yang dicuri pada kelas umur IV
o CuriKUIXup = Jumlah total pohon yang dicuri pada kelas umur IX up
o CuriKUV = Jumlah total pohon yang dicuri pada kelas umur V
o CuriKUVI = Jumlah total pohon yang dicuri pada kelas umur VI
o CuriKUVII = Jumlah total pohon yang dicuri pada kelas umur VII
o CuriKUVIII = Jumlah total pohon yang dicuri pada kelas umur VIII
o Jmlh_phperHa = Jumlah pohon normal dalam luasan satu hektar dengan jarka
tanam 3 x 3 m
o m3_perphn = Volum per pohon rata-rata untuk setiap kelas umur
o phn_penjIII = jumlah pohon yang dijarangi pada pohon kelas umur III
o phn_penjIV = jumlah pohon yang dijarangi pada pohon kelas umur IV
o phn_penjV = jumlah pohon yang dijarangi pada pohon kelas umur V
o phn_penjVI = jumlah pohon yang dijarangi pada pohon kelas umur VI
o phn_penjVII = jumlah pohon yang dijarangi pada pohon kelas umur VII
o phn_penj_I = jumlah pohon yang dij arangi pada pohon kelas umur I
o phn_penj_II = jumlah pohon yang dijarangi pada pohon kelas umur II
o phn_tebang = Jumlah pohn yang ditebang setiap tahun

5. Keuangan Perusahaan

o Biaya_KPH = Biaya usaha ditambah dengan total pajak yang harus


dikeluarkan
o Biaya_Usaha = Biaya yang dibutuhkan dalam kegiatan pengusahaan hutan
o B_Ekploitasi = Biaya yang dikeluarkan untuk kegatan penebangan
o B_Pemasaran = Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemasaran produk-
produk hutan
o B_Pembinaan = Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penanaman sampai
dengan perlindungan terhadap tanamana tersebut
o B_Pemeliharaan = Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan tanaman
o B_Pendidkan&latihan = Biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan latihan
pegawai
o B_Penyuluhan = Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penyuluhan
o B_Penyusutan = Biaya yang dikeluarkn akibat adanya penyusutan peralatan
baik peralatan kantor maupun peralatan produksi
Lampiran 4. Lanjutan

o B_Perlindungan = Biayan yang dikeluarkan untuk kegiatan perlindungan


hutan
o B_Persemaian = Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan peremaian
o B_Sarana&prasarana = Biaya yang dikeluarkan untuk sarana dan prasarana
o B_Tanaman = Biaya yang dikeluarkan untuk kegitan penanaman di lapangan
o B_umum = Biaya yang dikeluarkan untuk gaji pegawai dan persediaan
peralatan kantor
o Harga_A1 = harga kayu jati untuk kelas A1
o Harga_A2 = harga kayu jati untuk kelas A2
o Harga_A3 = harga kayu jati untuk kelas A3
o Harga_kayu_bakar = Harga jual kayu bakar
o IHH = Pajak /iuran hasil hutan
o Pendapatan_KPH = pendapatan bersih yang berasal dari kegiatan penebangan
yang diterima KPH Cepu setelah dikurangi biaya usaha
o Penerimaan_KPH = Pendapatan KPH dari penabangan yang telah dilakukan
o Pen_A1 = Total pendapatan KPH Cepu dari kayu jati kelas A1
o Pen_A2 = Total pendapatan KPH Cepu dari kayu jati kelas A2
o Pen_A3 = Total pendapatan KPH Cepu dari kayu jati kelas A3
o Usaha_Pokok = Pen_A1+Pen_A2+Pen_A3+Kayu_Bakar
o VolTebang = Jumlah volume tebangan AII ditambah dengan kayu bakar
o Vol_Teb_AII = Total volume tebangan pada kelas hutan produktif
o Vol_Teb_E = Tota volume tebangan untuk kegiatan pemeliharaan

6. Luas Areal Berhutan

o Luas_ku_I = Luas pohon jati yang berumur 0 sampai dengan 10 tahun


o Luas_kuII = Luas pohon jati yang berumur 11 sampai dengan 20 tahun
o Luas_kuIII = Luas h pohon jati yang berumur 21 sampai dengan 30 tahun
o Luas_ku_IV = Luas pohon jati yang berumur 31 sampai dengan 40 tahun
o Luas_ku_V = Luas pohon jati yang berumur 41 sampai dengan 50 tahun
o Luas ku_VI = Luas pohon jati yang berumur 51 sampai dengan 60 tahun
o Luas_VII = Luas poho n jati yang berumur 61 sampai dengan 70 tahun
o Luas_ku_VIII = Luas pohon jati yang berumur 71 sampai dengan 80 tahun
o Luas kuIXup = Luas pohon jati yang berumur lebih dari 81 tahun

7. Pengaturan Hasil

o areal_berhutan = Luas areal kelas hutan produktif di KPH Cepu


o Daur = Jangka waktu penanaman sampai dengan tanaman mampu mnghasikan
kayu untu penggunaan tertentu
o etat_luas = total luas areal hutan produktif dibagi dengan daurnnya
o etat_volume_dinamis = total volume tegakan persedian dibagi dengang daur
o Etat_Vol_metode_Burn = etat volume yang ditentukan dengan menggunakan
metode Burn
o Vol_IV_Up = Total volume kayu jati yang berumur lebih dari 31 tahun
Lampiran 4. Lanjutan

o Vperphn_I = Volume per pohon kelas umur I


o Vperphn_II = Volume per pohon kelas umur II
o Vperphn_III = Volume per pohon kelas umur II
o V_per_phn_IV = Volume per pohon kelas umur IV
o V_per_phn_IX = Volume per pohon kelas umur IX
o V_per_phn_V = Volume per pohon kelas umur V
o V_per_phn_VI = Volume per pohon kelas umur VI
o V_per_phn_VII = Volume per pohon kelas umur VII
o V_per_phn_VIII = Volume per pohon kelas umur VIII
o V_phn_I = Volume total pada kelas umur I
o V_phn_III = Volume total pada kelas umur I
o V_phn_IV = Volume total pada kelas umur IV
o V_phn_IX_up = Volume total pada kelas umur IX up
o V_phn_V = Volume total pada kelas umur V
o V_phn_VI = Volume total pada kelas umur VI
o V_phn_VII = Volume total pada kelas umur VII
o V_phn_VIII = Volume total pada kelas umur VIII
o v_standing_stock= total volume tegakan dari kelas umur I sampai dengan
kelas umur IX up
Lampiran 5. Hasil Sumulasi

1. Hasil simulasi 20 tahun ke depan terhadap pendapatan masyarakat sekitar


hutan, persen pengangguran, dan konsumsi kayu pertukangan.

Tahun Pendapatan Persen Konsumsi Kayu


Masyarakat Sekitar Pengangguran Pertukangan
Hutan (Rp/kapita/th) (%) (m3 /KK/th)
0 808.000,00 65,65 0,45
1 816.000,00 60,9 0,47
2 824.000,00 56,16 0,49
3 832.000,00 51,67 0,56
4 840.000,00 47,18 0,64
5 848.000,00 42,44 0,72
6 856.000,00 37,7 0,79
7 864.000,00 34,7 0,82
8 872.000,00 31,71 0,85
9 878.000,00 29,47 0,9
10 884.000,00 27,23 0,95
11 890.000,00 25,74 0,97
12 896.000,00 24,25 0,99
13 902.000,00 21,75 1,04
14 908.000,00 19,26 1,1
15 914.000,00 18,77 1,12
16 920.000,00 18,28 1,14
17 926.500,00 17,04 1,17
18 933.000,00 15,8 1,2
19 939.500,00 15,3 1,21
20 946.000,00 14,81 1,22
Rata-rata 880.809,52 32,18 0,90
Lampiran 5. Lanjutan

2. Hasil Simulasi 20 tahuan ke depan terhadap etat volume dinamis, volume


pencurian dan volume tegakan persediaan pada kondisi tegakan tanpa
gangguan.

Tahun Etat Volume Volume Volume Tegakan


( m3 /th) Pencurian Persediaan Tanpa Ganguan
(m3 ) (m3 )
0 18.720,84 12.215,44 1.497.667,19
1 18.406,91 12.095,47 1.484.767,98
2 18.225,86 11.975,51 1.480.386,94
3 18.153,15 12.601,44 1.483.168,66
4 18.064,97 13.227,37 1.485.999,17
5 18.016,27 13.835,14 1.489.476,59
6 17.996,10 14.442,91 1.496.489,32
7 17.975,25 14.582,41 1.504.876,31
8 17.955,09 14.721,91 1.513.515,42
9 17.936,39 15.190,55 1.522.383,45
10 17.915,45 15.659,19 1.531.457,35
11 17.892,32 15.785,38 1.540.706,54
12 17.869,87 15.911,56 1.550.104,91
13 17.847,55 16.428,19 1.559.628,49
14 17.821,59 16.944,81 1.569.255,58
15 17.792,14 17.143,66 1.578.966,51
16 17.761,95 17.342,50 1.588.743,52
17 17.730,63 17.616,65 1.598.570,58
18 17.697,36 17.890,81 1.608.433,28
19 17.662,14 17.954,82 1.618.318,67
20 17.626,80 18.018,84 1.628.125,13
Rata-rata 17.955,65 15.313,55 1.539.573,41
Lampiran 5. Hasil Simulasi Metode Burn
3. Hasil simulasi 20 tahun ke depan terhadap volume tegakan persediaan
berdasarkan penggunaan metode Burn, dan volume tegakan persediaan
berdasarkan penggunanan etat volume dinamis.

Tahun Etat Burn Volume Tegakan Volume Tegakan


(m3 /th) Persediaan Dengan Persediaan Dengan
Metode Burn (m3 ) Etat Volume
Dinamis (m3 )
0 18.720,84 1.497.667,19 1.497.667,19
1 18.720,84 1.472.552,55 1.472.552,55
2 18.720,84 1.457.476,88 1.458.068,67
3 18.720,84 1.450.661,08 1.452.251,70
4 18.720,84 1.442.421,70 1.445.197,82
5 18.720,84 1.438.016,36 1.441.301,40
6 18.720,84 1.435.331,92 1.439.687,65
7 18.720,84 1.432.391,39 1.438.019,98
8 18.720,84 1.429.507,66 1.436.406,84
9 18.720,84 1.426.673,24 1.434.911,34
10 18.720,84 1.423.607,39 1.433.236,10
11 17.753,85 1.420.307,76 1.431.385,76
12 17.753,85 1.418.502,97 1.429.589,41
13 17.753,85 1.416.714,73 1.427.804,38
14 17.753,85 1.414.604,72 1.425.727,27
15 17.753,85 1.412.170,43 1.423.370,90
16 17.753,85 1.409.630,29 1.420.956,35
17 17.753,85 1.406.948,17 1.418.450,49
18 17.753,85 1.404.057,38 1.415.789,19
19 17.753,85 1.400.952,29 1.412.970,92
20 17.753,85 1.397.777,05 1.410.144,04
Rata-rata 18.237.35 1.428.951,10 1.436.451,90
Lampiran 7. Persamaan Model Simulasi Pengaturan Hasil
1. Dinamika Penduduk

? Jumlah_penduduk(t) = Jumlah_penduduk(t - dt) + (InPenduduk - Out) * dt


INIT Jumlah_penduduk = 104338
INFLOWS:
InPenduduk = Masuk+Lahir
OUTFLOWS:
Out = Keluar+Mati
o Anggota_KK = 4
o Jumlah_KK = Jumlah_penduduk/Anggota_KK
o Keluar = Jumlah_penduduk*Persenkeluar
o Lahir = Jumlah_penduduk*persen_lahir
o Masuk = Jumlah_penduduk*Persenmasuk
o Mati = Jumlah_penduduk*persen_mati
o Persenkeluar = 0.002413014
o Persenmasuk = 0.001664906
o persen_lahir = 0.006901661
o persen_mati = 0.002236989

2. Gangguan Hutan

o jml_phn_curi = (5794 - (0.00524*Pend_perkapita) +


(76*persen_pengangguran) + (13840*Kons_Ky) )
o luascuri_total = jml_phn_curi/136
o Pend_perkapita = If Daur=80 then Penda_perkapita1 else
1.5*Penda_perkapita1
o persen_pengangguran =
(persen_pengangguran_1*skenario_pengangguran)+persen_pengangguran_1
o skenario_pengangguran = 0
o Vol_Curi =
(V_per_phn_IV*CuriKUIV)+(CuriKUV*V_per_phn_V)+(V_per_phn_VI*Cu
riKUVI)+(V_per_phn_VII*CuriKUVII)+(V_per_phn_VIII*CuriKUVIII)+(V
_per_phn_IXup*CuriKUIXup)
o Kons_Ky = GRAPH(TIME)
(0.00, 0.45), (2.00, 0.49), (4.00, 0.64), (6.00, 0.79), (8.00, 0.85), (10.0, 0.95),
(12.0, 0.99), (14.0, 1.10), (16.0, 1.14), (18.0, 1.20), (20.0, 1.22)
o Penda_perkapita1 = GRAPH(TIME)
(0.00, 808000), (8.00, 872000), (16.0, 920000), (24.0, 972000), (32.0,
1e+006), (40.0, 1e+006), (48.0, 1.1e+006), (56.0, 1.1e+006), (64.0, 1.1e+006),
(72.0, 1.2e+006), (80.0, 1.2e+006)

3. Jumlah Pengangguran

o AngkatanKerja = (Jumlah_penduduk*Persen_Angkatan_kerja)
o AngkatanKerja = Jumlah_penduduk*Persen_Angkatan_kerja
o Bekerja = AngkatanKerja*Persen_bekerja
o jml_Tk_per_regu = 6
Lampiran 7. Lanjutan

o lahan_pesanggem = 0.25
o luas_TS = tanam_luas*0.3
o Pencari_kerja = AngkatanKerja-Bekerja-pensiunan
o pengangguran = Pencari_kerja-Total_TK
o pensiunan = AngkatanKerja*persen_pensiunan
o Persen_Angkatan_kerja = 0.791988829
o persen_pengangguran_1 = 100*pengangguran/AngkatanKerja
o persen_pensiunan = 0.0151
o PesanggemTS = luas_TS/lahan_pesanggem
o TK_Banjar_harian = (tanam_luas- luas_TS)/(0.11*240)
o TK_tanam = PesanggemTS+TK_Banjar_harian
o TK_tebang = jml_Tk_per_regu*regu_tebang
o Total_TK = TK_tanam+TK_tebang
o Persen_bekerja = GRAPH( TIME)
(0.00, 0.31), (2.00, 0.405), (4.00, 0.495), (6.00, 0.59), (8.00, 0.65), (10.0,
0.695), (12.0, 0.725), (14.0, 0.775), (16.0, 0.785), (18.0, 0.81), (20.0, 0.82)
o regu_tebang = GRAPH(Daur)
(40.0, 458), (44.0, 438), (48.0, 365), (52.0, 350), (56.0, 335), (60.0, 300),
(64.0, 280), (68.0, 275), (72.0, 265), (76.0, 223), (80.0, 210)

4. Jumlah Pohon

? Jml_phn_ku_I(t) = Jml_phn_ku_I(t - dt) + (jml_phn_tanam - mortality_I -


OutKUI - upgrowth__I) * dt
INIT Jml_phn_ku_I = jml_phn_tanam*10

INFLOWS:
jml_phn_tanam = (etat_luas)*Jmlh_phperHa

OUTFLOWS:
mortality_I = Jml_phn_ku_I*0.02
OutKUI = phn_penj_I
upgrowth__I = Jml_phn_ku_I/10-mortality_I-OutKUI

? jml_phn_kuII(t) = jml_phn_kuII(t - dt) + (upgrowth__I - upgrowth_II -


OutKUII - mortality_II) * dt
INIT jml_phn_kuII = upgrowth__I*10

INFLOWS:
upgrowth__I = Jml_phn_ku_I/10-mortality_I-OutKUI

OUTFLOWS:
upgrowth_II = jml_phn_kuII/10-mortality_II-OutKUII
OutKUII = phn_penj_II
Lampiran 7. Lanjutan

mortality_II = jml_phn_kuII*0.02

? jml_phn_kuIII(t) = jml_phn_kuIII(t - dt) + (upgrowth_II - upgrowth_III -


OutKUIII - mortality_III) * dt
INIT jml_phn_kuIII = upgrowth_II*10

INFLOWS:
upgrowth_II = jml_phn_kuII/10-mortality_II-OutKUII

OUTFLOWS:
upgrowth_III = jml_phn_kuIII/10- mortality_III
OutKUIII = phn_penjIII
mortality_III = jml_phn_kuIII*0.02
? jml_phn_ku_IV(t) = jml_phn_ku_IV(t - dt) + (upgrowth_III - upgrowth_IV -
OutKUIV - mortality_IV - phn_Teb_IV) * dt
INIT jml_phn_ku_IV = upgrowth_III*10

INFLOWS:
upgrowth_III = jml_phn_kuIII/10- mortality_III

OUTFLOWS:
upgrowth_IV = jml_phn_ku_IV/10- mortality_IV
OutKUIV = phn_penjIV+CuriKUIV
mortality_IV = jml_phn_ku_IV*0.02
phn_Teb_IV = if jml_phn_ku_IV<=Teb_IV then jml_phn_ku_IV else Teb_IV

? jml_phn_ku_V(t) = jml_phn_ku_V(t - dt) + (upgrowth_IV - upgrowth_V -


OutKUV - mortality_V - phn_Teb_V) * dt
INIT jml_phn_ku_V = upgrowth_IV*5

INFLOWS:
upgrowth_IV = jml_phn_ku_IV/10- mortality_IV

OUTFLOWS:
upgrowth_V = jml_phn_ku_V/10- mortality_V
OutKUV = phn_penjV+CuriKUV
mortality_V = jml_phn_ku_V*0.0001
phn_Teb_V = if jml_phn_ku_V<= Teb_V then jml_phn_ku_V else Teb_V

? jml_phn_ku_VI(t) = jml_phn_ku_VI(t - dt) + (upgrowth_V - upgrowth_VI -


OutKUVI - mortality_VI - phn_Teb_VI) * dt
INIT jml_phn_ku_VI = upgrowth_V*5

INFLOWS:
upgrowth_V = jml_phn_ku_V/10- mortality_V
Lampiran 7. Lanjutan

OUTFLOWS:
upgrowth_VI = jml_phn_ku_VI/10- mortality_VI
OutKUVI = phn_penjVI+CuriKUVI
mortality_VI = jml_phn_ku_VI*0.0001
phn_Teb_VI = if jml_phn_ku_VI<=Teb_VI then jml_phn_ku_VI else Teb_VI

? jml_phn_ku_VII(t) = jml_phn_ku_VII(t - dt) + (upgrowth_VI - upgrowth_VII


- OutKUVII - mortality_VII - phn_Teb_VII) * dt
INIT jml_phn_ku_VII = upgrowth_VI*5

INFLOWS:
upgrowth_VI = jml_phn_ku_VI/10- mortality_VI

OUTFLOWS:
upgrowth_VII = jml_phn_ku_VII/10-mortality_VII
OutKUVII = phn_penjVII+CuriKUVII
mortality_VII = jml_phn_ku_VII*0.0001
phn_Teb_VII = if jml_phn_ku_VII<=Teb_VII then jml_phn_ku_VII else
Teb_VII

? jml_phn_ku_VIII(t) = jml_phn_ku_VIII(t - dt) + (upgrowth_VII -


upgrowth_VIII - OutKUVIII - mortality_VIII - phn_Teb_VIII) * dt
INIT jml_phn_ku_VIII = upgrowth_VII*5

INFLOWS:
upgrowth_VII = jml_phn_ku_VII/10-mortality_VII

OUTFLOWS:
upgrowth_VIII = jml_phn_ku_VIII/10- mortality_VIII
OutKUVIII = CuriKUVIII
mortality_VIII = jml_phn_ku_VIII*0.01
phn_Teb_VIII = if jml_phn_ku_VIII<= Teb_VIII then jml_phn_ku_VIII else
Teb_VIII

? jml_phn_kuIXup(t) = jml_phn_kuIXup(t - dt) + (upgrowth_VIII -


phnTebangIXup - OutKUIXup - mortality_IX) * dt
INIT jml_phn_kuIXup = upgrowth_VIII*5

INFLOWS:
upgrowth_VIII = jml_phn_ku_VIII/10- mortality_VIII

OUTFLOWS:
phnTebangIXup = if jml_phn_kuIXup <= (phn_tebang) then jml_phn_kuIXup
else (phn_tebang)
Lampiran 7. Lanjutan

OutKUIXup = CuriKUIXup
mortality_IX = jml_phn_kuIXup*0.01

o CuriKUI = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.098996)


o CuriKUIV = If jml_phn_curi=0 then 0 else(0.3*jml_phn_curi)
o CuriKUIXup = IF jml_phn_curi=0 THEN 0 ELSE(jml_phn_curi*0.15)
o CuriKUV = IF jml_phn_curi=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.4)
o CuriKUVI = IF jml_phn_curi=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.15)
o CuriKUVII = IF jml_phn_curi=0 Then 0 Else (jml_phn_curi*0.15)
o CuriKUVIII = IF jml_phn_curi=0 Then 0 Else (jml_phn_curi*0.05)
o Jmlh_phperHa = 1100
o m3_perphn = Vol_IV_Up/Phn_IV_up
o Phn_IV_up =
jml_phn_ku_IV+jml_phn_ku_V+jml_phn_ku_VI+jml_phn_ku_VII+jml_phn
_ku_VIII+jml_phn_kuIXup
o phn_penjIII = (if (Daur=40) or (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1
else 0) *penj_III*0.90*etat_luas
o phn_penjIV = (if (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0)
*penj_IV*0.97*etat_luas
o phn_penjV = (if (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0)
*penj_V*0.85*etat_luas
o phn_penjVI = (if (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0) *
penjVI*0.81*etat_luas
o phn_penjVII = (if (Daur=70) or (Daur= 80) then 1 else 0)
*penj_VII*0.85*etat_luas
o phn_penj_I = (if (Daur=40) or (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1
else 0) *penj_I*0.67*etat_luas
o phn_penj_II = (if (Daur=40) or (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1
else 0) *penj_II*1.02*etat_luas
o phn_tebang = etat_volume_dinamis/m3_perphn
o sisa_KU_IV=phn_tebang-
(phnTebangIXup+phn_Teb_VIII+phn_Teb_VII+phn_Teb_VI+phn_Teb_V)
o sisa_KU_V = phn_tebang-
(phnTebangIXup+phn_Teb_VIII+phn_Teb_VII+phn_Teb_VI)
o sisa_KU_VI = phn_tebang-(phnTebangIXup+phn_Teb_VIII+phn_Teb_VII)
o sisa_KU_VII = phn_tebang-(phnTebangIXup+phn_Teb_VIII)
o sisa_KU_VIII = (phn_tebang)-phnTebangIXup
o Teb_IV = if jml_phn_ku_V <= (phn_tebang) then sisa_KU_IV else 0
o Teb_V = if jml_phn_ku_VI <= (phn_tebang) then sisa_KU_V else 0
o Teb_VI = if jml_phn_ku_VII <= (phn_tebang) then sisa_KU_VI else 0
o Teb_VII = if jml_phn_ku_VIII <= (phn_tebang) then sisa_KU_VII else 0
o Teb_VIII = if jml_phn_kuIXup <= (phn_tebang) then sisa_KU_VIII else 0
o penjVI = GRAPH(jml_phn_ku_VI)
Lampiran 7. Lanjutan

(0.00, 0.00), (250000, 0.00), (500000, 0.00), (750000, 19.0), (1e+006, 66.0),
(1.3e+006, 113), (1.5e+006, 161), (1.8e+006, 208), (2e+006, 255), (2.3e+006,
302), (2.5e+006, 350), (2.8e+006, 397), (3e+006, 444)
o penj_I = GRAPH(Jml_phn_ku_I)
(0.00, 0.00), (466667, 0.00), (933333, 53.0), (1.4e+006, 142), (1.9e+006,
230), (2.3e+006, 318), (2.8e+006, 406), (3.3e+006, 494), (3.7e+006, 583),
(4.2e+006, 671), (4.7e+006, 759), (5.1e+006, 847), (5.6e+006, 935)
o penj_II = GRAPH(jml_phn_kuII)
(0.00, 0.00), (333333, 0.00), (666667, 3.00), (1e+006, 66.0), (1.3e+006, 129),
(1.7e+006, 192), (2e+006, 255), (2.3e+006, 318), (2.7e+006, 381), (3e+006,
444), (3.3e+006, 507), (3.7e+006, 570), (4e+006, 633)
o penj_III = GRAPH(jml_phn_kuIII)
(0.00, 0.00), (316667, 0.00), (633333, 0.00), (950000, 57.0), (1.3e+006, 116),
(1.6e+006, 176), (1.9e+006, 236), (2.2e+006, 296), (2.5e+006, 356),
(2.9e+006, 416), (3.2e+006, 476), (3.5e+006, 535), (3.8e+006, 595)
o penj_IV = GRAPH(jml_phn_ku_IV)
(0.00, 0.00), (291667, 0.00), (583333, 0.00), (875000, 42.0), (1.2e+006, 98.0),
(1.5e+006, 153), (1.8e+006, 208), (2e+006, 263), (2.3e+006, 318), (2.6e+006,
373), (2.9e+006, 428), (3.2e+006, 483), (3.5e+006, 539)
o penj_V = GRAPH(jml_phn_ku_V)
(0.00, 0.00), (283333, 0.00), (566667, 0.00), (850000, 38.0), (1.1e+006, 91.0),
(1.4e+006, 145), (1.7e+006, 198), (2e+006, 252), (2.3e+006, 305), (2.6e+006,
359), (2.8e+006, 412), (3.1e+006, 466), (3.4e+006, 520)
o penj_VII = GRAPH(jml_phn_ku_VII)
(0.00, 0.00), (216667, 0.00), (433333, 0.00), (650000, 0.00), (866667, 41.0),
(1.1e+006, 82.0), (1.3e+006, 123), (1.5e+006, 164), (1.7e+006, 205), (2e+006,

5. Keuangan Perusahaan

o Biaya_KPH = Biaya_Usaha+IHH
o Biaya_Usaha =
B_umum+B_Ekploitasi+B_Pemasaran+B_Pembinaan+B_Penyusutan+B_Sar
ana&prasarana+B_Pendidkan&latihan+Tatahutan&perencanaan
o B_Ekploitasi = VolTebang*121813
o B_Pemasaran = VolTebang*281107
o B_Pembinaan =
B_Pemeliharaan+B_Persemaian+B_Ta naman+B_Perlindungan+
B_Penyuluha n
o B_Pemeliharaan = luas_tan_total* 10695
o B_Pendidkan&latihan = 9206000
o B_Penyuluhan = 570523000
o B_Penyusutan = 117502000
o B_Perlindungan = 1759104000
o B_Persemaian = luas_tan_total*413728
o B_Sarana&prasarana = 611259000
Lampiran 7. Lanjutan

o B_Tanaman = luas_tan_total*116157
o B_umum = 2706968000
o Harga_A1 = 618486
o Harga_A2 = 896115
o Harga_A3 = 1543411
o Harga_kayu_bakar = 22030
o IHH = Penerimaan_KPH*0.03
o Kayu_Bakar =
((etat volume dinamis *0.066)+(Vol_Teb_E*0.25))*Harga_kayu_bakar
o Pendapatan_KPH = Penerimaan_KPH-Biaya_KPH
o Penerimaan_KPH = Usaha_Pokok
o Pen_A1 = Vol_A1*Harga_A1
o Pen_A2 = Harga_A2*Vol_A2
o Pen_A3 = Vol_A3*Harga_A3
o Usaha_Pokok = Pen_A1+Pen_A2+Pen_A3+Kayu_Bakar
o VolTebang = Vol_Teb_AII+Vol_Teb_E
o Vol_A1 = (etat_volume dinamis*0.02)+(Vol_Teb_E*0.66)
o Vol_A2 = (etat_volume dinamis*0.06)+(Vol_Teb_E*0.16)
o Vol_A3 = (0.92*Etat_Volume)+(Vol_Teb_E*0.18)
o Vol_Teb_AII = etat volume dinamis
o Vol_Teb_E =
(phn_penj_I*V_per_phn_penj_I)+(phn_penj_II*V_per_phn_penj_II)+(phn_p
enjIII*V_per_phn_penj_III)+(phn_penj_IV*V_per_phn_penj_IV)+(phn_penj
V*V_per_phn_penj_V)+(V_per_phn_penj_VI*phn_penjVI)+(phn_penjVII*V
_per_phn_penj_VII)
o V_per_phn_penj_I = 0.014906353
o V_per_phn_penj_II = 0.060251046
o V_per_phn_penj_III = 0.12254902
o V_per_phn_penj_IV = 0.226377953
o V_per_phn_penj_V = 0.490833333
o V_per_phn_penj_VI = 0.64556962
o V_per_phn_penj_VII = 0.868518519

6. Luas Areal Berhutan

? luas_ku_I(t) = luas_ku_I(t - dt) + (tanam_luas - pin_ku_I) * dt


INIT luas_ku_I = 5687.40

INFLOWS:
tanam_luas = etat_luas

OUTFLOWS:
pin_ku_I = upgrowth__I/(Jml_phn_ku_I/luas_ku_I)
Lampiran 7. Lanjutan

? luas_ku_II(t) = luas_ku_II(t - dt) + (pin_ku_I - pin_ku_II) * dt


INIT luas_ku_II = 2349.90

INFLOWS:
pin_ku_I = upgrowth__I/(Jml_phn_ku_I/luas_ku_I)

OUTFLOWS:
pin_ku_II = upgrowth_II/(jml_phn_kuII/luas_ku_II)

? luas_ku_III(t) = luas_ku_III(t - dt) + (pin_ku_II - pin_ku_III) * dt


INIT luas_ku_III = 1834.90

INFLOWS:
pin_ku_II = upgrowth_II/(jml_phn_kuII/luas_ku_II)

OUTFLOWS:
pin_ku_III= if tebluas_IV>luas_ku_IV then 0 else
(upgrowth_III/(jml_phn_kuIII/luas_ku_III))

? luas_ku_IV(t) = luas_ku_IV(t - dt) + (pin_ku_III - tebluas_IV - luaspenc_IV -


pin_ku_IV) * dt
INIT luas_ku_IV = 1911.20

INFLOWS:
pin_ku_III = if tebluas_IV>luas_ku_IV then 0 else
(upgrowth_III/(jml_phn_kuIII/luas_ku_III))

OUTFLOWS:
tebluas_IV = if luas_ku_V<=etat_luas then sisael_IV else 0

luaspenc_IV = if luascuri_total<=0 the n 0 else (0.30494*luascuri_total)

pin_ku_IV = if luas_ku_V=teb_luas_V then 0 else


(upgrowth_IV/(jml_phn_ku_IV/luas_ku_IV))

? luas_ku_V(t) = luas_ku_V(t - dt) + (pin_ku_IV - pin_ku_V - luas_penc_V -


teb_luas_V) * dt
INIT luas_ku_V = 2392.23

INFLOWS:
pin_ku_IV = if luas_ku_V=teb_luas_V then 0 else
(upgrowth_IV/(jml_phn_ku_IV/luas_ku_IV))
Lampiran 7. Lanjutan

OUTFLOWS:
pin_ku_V = if luas_ku_VI=tebluas_ku_VI then 0 else
(upgrowth_V/(jml_phn_ku_V/luas_ku_V))

luas_penc_V = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.1183405*luascuri_total)

teb_luas_V = if(luas_ku_V<=el_V) then (luas_ku_V) else (el_V)


_ku_V) else (el_V)

? luas_ku_VI(t) = luas_ku_VI(t - dt) + (pin_ku_V - tebluas_ku_VI -


luaspenc_ku_VI - pin_kuVI) * dt
INIT luas_ku_VI = 735.40

INFLOWS:
pin_ku_V = if luas_ku_VI=tebluas_ku_VI then 0 else
(upgrowth_V/(jml_phn_ku_V/luas_ku_V))

OUTFLOWS:
tebluas_ku_VI = if(luas_ku_VI<=el_VI) then (luas_ku_VI) else (el_VI)

luaspenc_ku_VI = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.178054*luascuri_total)

pin_kuVI = if (luas_ku_VII=teb_luas_ku_VII) then (0) else


(upgrowth_VI/(jml_phn_ku_VI/luas_ku_VI))

? luas_ku_VII(t) = luas_ku_VII(t - dt) + (pin_kuVI - pin_ku_VII -


teb_luas_ku_VII - luaspenc_ku_VII) * dt
INIT luas_ku_VII = 1291.80

INFLOWS:
pin_kuVI = if (luas_ku_VII=teb_luas_ku_VII) then (0) else
(upgrowth_VI/(jml_phn_ku_VI/luas_ku_VI))

OUTFLOWS:
pin_ku_VII = if (luas_ku_VIII=teb_luas_ku_VIII) then (0) else
upgrowth_VII/(jml_phn_ku_VII/luas_ku_VII))

teb_luas_ku_VII = IF(luas_ku_VII<=el_VII) then (luas_ku_VII) else (el_VII)


luaspenc_ku_VII = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.05693*luascuri_total)

? luas_ku_VIII(t) = luas_ku_VIII(t - dt) + (pin_ku_VII - teb_luas_ku_VIII -


luas_penc_ku_VIII - pin_ku_VIII) * dt
INIT luas_ku_VIII = 765.72
Lampiran 7. Lanjutan

INFLOWS:
pin_ku_VII = if (luas_ku_VIII=teb_luas_ku_VIII) then (0) else
(upgrowth_VII/(jml_phn_ku_VII/luas_ku_VII))

OUTFLOWS:
teb_luas_ku_VIII = IF(luas_ku_VIII<=el_VIII) THEN(luas_ku_VIII)
ELSE(el_VIII)

luas_penc_ku_VIII = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.05757*luascuri_total)


pin_ku_VIII = if (luas_ku_IX_up=teb_luas_ku_IX_up) then (0) else
(upgrowth_VIII/(jml_phn_ku_VIII/luas_ku_VIII))ELSE(el_VIII)

luas_penc_ku_VIII = if luascuri_total<=0 then 0 else


(0.015939*luascuri_total)

pin_ku_VIII = if (luas_ku_IX=etat_luas) then (0) else (luas_ku_VIII*0.1)

? luas_ku_IX_up(t) = luas_ku_IX_up(t - dt) + (pin_ku_VIII -


teb_luas_ku_IX_up - luas_penc_ku_IXup) * dt
INIT luas_ku_IX_up = 230.80

INFLOWS:
pin_ku_VIII = if (luas_ku_IX_up=teb_luas_ku_IX_up) then (0) else
(upgrowth_VIII/(jml_phn_ku_VIII/luas_ku_VIII))

OUTFLOWS:
teb_luas_ku_IX_up = IF(luas_ku_IX_up<=etat_luas) THEN(luas_ku_IX_up)
ELSE(etat_luas)

luas_penc_ku_IXup = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.0001*luascuri_total)

o el_IX = if luas_MT<etat_luas then sisa_el_IX else 0


o el_V = if luas_ku_VI<etat_luas then sisael_V else 0
o el_VI = if luas_ku_VII<etat_luas then sisa_el_VI else 0
o el_VII = if luas_ku_VIII<etat_luas then sisa_el_VII else 0
o el_VIII = IF(luas_ku_IX_up<=etat_luas)THEN(sisa_el_VIII) ELSE(0)
o sisael_IV = etat_luas-
(teb_luas_ku_IX_up+teb_luas_ku_VIII+teb_luas_ku_VII+tebluas_ku_VI+teb
_luas_V)
o sisael_V = etat_luas-
(teb_luas_ku_IX_up+teb_luas_ku_VIII+teb_luas_ku_VII+tebluas_ku_VI)
o sisa_el_VI = etat_luas-
(teb_luas_ku_IX_up+teb_luas_ku_VIII+teb_luas_ku_VII)
o sisa_el_VII = etat_luas-(teb_luas_ku_IX_up+teb_luas_ku_VIII)
o sisa_el_VIII = etat_luas-(teb_luas_ku_IX_up)
Lampiran 7. Lanjutan

7. Pengaturan Hasil

o areal_berhutan =
luas_ku_I+luas_ku_II+luas_ku_III+luas_ku_IV+luas_ku_V+luas_ku_VI+luas
_ku_VII+luas_ku_VIII+luas_ku_IX+luas_MR+luas_MT
o areal_berhutan =
luas_ku_I+luas_ku_II+luas_ku_III+luas_ku_IV+luas_ku_V+luas_ku_VI+luas
_ku_VII+luas_ku_VIII+luas_ku_IX_up
o Daur = 80
o etat_luas = areal_berhutan/Daur
o etat_volume_dinamis = v_standing_stock/Daur
o Etat_Vol_metode_Burn = if Waktu<=10 then 18720.84 else (if (Waktu=11) or
(Waktu=12) or (Waktu=13) or (Waktu=14) or (Waktu=15) or (Waktu=16) or
(Waktu=17) or (Waktu=18) or (Waktu=19) or (Waktu=20) then 17915.45
else 0 )
o penggunaan_model = 0
o phn_II = jml_phn_kuII*Vperphn_II
o Produksi_kayu = if penggunaan_model = 0 then Etat_Vol_metode_Burn else
etat_volume_dinamis
o Vol_IV_Up =
V_phn_IV+V_phn_V+V_phn_VI+V_phn_VII+V_phn_VIII+V_phn_IX_up
o Vperphn_I = 0.14
o Vperphn_II = 0.21
o Vperphn_III = 0.25
o V_per_phn_IV = 0.4014
o V_per_phn_IX = 1.6794
o V_per_phn_V = 0.5754
o V_per_phn_VI = 0.8081
o V_per_phn_VII = 1.0358
o V_per_phn_VIII = 1.5392
o V_phn_I = Jml_phn_ku_I*Vperphn_I
o V_phn_III = jml_phn_kuIII*Vperphn_III
o V_phn_IV = jml_phn_ku_IV*V_per_phn_IV
o V_phn_IX_up = jml_phn_kuIXup*V_per_phn_IX
o V_phn_V = jml_phn_ku_V*V_per_phn_V
o V_phn_VI = jml_phn_ku_VI*V_per_phn_VI
o V_phn_VII = jml_phn_ku_VII*V_per_phn_VII
o V_phn_VIII = jml_phn_ku_VIII*V_per_phn_VIII
o v_standing_stock=
V_phn_I+phn_II+V_phn_III+V_phn_IV+V_phn_V+V_phn_VI+V_phn_VII+
V_phn_VIII+V_phn_IX_up
o Waktu = TIME
Lampiran 8. Sub Model Potensi tegakan
Potensi tegakan

etat luas
Graph 16 jml phn curi jml phn curi
etat luas jml phn curi jml phn curi
jml phn curi CuriKUVII jml phn curi
Table 16 CuriKUV
Daur Daur CuriKUVI
Daur CuriKUIV
Daur Daur
Daur
phn penjV CuriKUVIII CuriKUIXup
etat luas Daur
OutKUIV OutKUVI
etat luas OutKUVII
etat luas
etat luas
etat luas
phn penj I phn penjIII
phn penj II phn penjIV OutKUV phn penjVI phn penjVII OutKUVIII OutKUIXup
OutKUI OutKUII OutKUIII
~ ~ ~ ~
~ ~ ~ jml phn ku VIII
Jml phn ku I jml phn kuII penj II jml phn kuIII jml phn ku IV jml phn ku V penj V jml phn ku VI penj VII upgrowth VIII jml phn kuIXup
penj IV
penj I penj III penjVI jml phn ku VII

jml phn tanam upgrowth II upgrowth III upgrowth IV upgrowth V upgrowth VI upgrowth VII
upgrowth I
phnTebangIXup
phn Teb VIII
mortality VI mortality VII
mortality I mortality II mortality III mortality VIII mortality IX
mortality V
mortality IV phn Teb VI
phn Teb IV phn Teb V m3 perphn
phn tebang
Jmlh phperHa phn Teb VII
etat luas
Teb VIII
Teb IV Teb V
jml phn ku V
Teb VI Teb VII
sisa KU VIII
jml phn ku IV
jml phn ku VI sisa KU VII
Produksi kayu

phn Teb VI
sisa KU IV sisa KU V phnTebangIXup phn tebang
sisa KU VI
phnTebangIXup
phn Teb VII
m3 perphn phn tebang
jml phn kuIXup phn tebang phn tebang
Phn IV up
jml phn ku VII
phn Teb VII
phn Teb VIII
jml phn ku VIII phn Teb VIII phn tebang
Vol IV Up
phnTebangIXup phnTebangIXup
phn Teb VIII

Table 21

69
Lampiran 9. Sub Model Luas Areal Berhutan

Luas Areal Berhutan

teb luas ku IX up
teb luas ku IX up
teb luas ku IX up etat luas etat luas
teb luas ku IX up
teb luas ku VIII etat luas teb luas ku VII
teb luas ku VII teb luas ku VIII sisa el VII
teb luas ku VIII
el V sisa el VIII
sisa el VI
el VIII
tebluas ku VI tebluas ku VI teb luas ku VII teb luas ku VIII teb luas ku IX up
sisael IV
sisael V
upgrowth II
upgrowth I el VI el VII
upgrowth III
teb luas V
pin ku II pin ku III tebluas IV upgrowth IV luas ku VI luas ku VII luas ku VIII upgrowth VIII luas ku IX up
pin ku V
luas ku I pin ku I luas ku II

pin kuVI pin ku VII pin ku VIII


tanam luas
pin ku IV luas ku V
luas ku III luas ku IV

Jml phn ku I jml phn kuII upgrowth V tebluas ku VI upgrowth VI teb luas ku VIII
jml phn kuIII tebluas IV luaspenc ku VII luas penc ku VIII
luaspenc IV teb luas V luas penc V luaspenc ku VI luas penc ku IXup
jml phn ku V teb luas ku VII teb luas ku IX up
etat luas jml phn ku IV upgrowth VII
jml phn ku VI jml phn ku VII jml phn ku VIII
luascuri total
luascuri total

70

Anda mungkin juga menyukai