Anda di halaman 1dari 7

Muscle Relaxan (Obat pelumpuh otot)

Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi
(kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat
menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor
asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini
tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya
tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan
depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini
menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah
tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah
kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai
repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi
selama obat pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah beberapa lama
depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan perubahan
ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang mengakibatkan
phase II block, yang secara klinis menyerupai obat pelumpuh otot
nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan kanal
ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, maka
potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat pelumpuh otot
depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan
berdifusi menjauh dari neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma
dan hati oleh enzim pseudokolinesterase. Sedangkan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase
maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh
otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya,
metabolisme,ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya
(kolinesteraseinhibitor).

1. Pelumpuh Otot Depolarisasi


Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup
lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan
fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah
suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil
kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase
menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang
pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi,
sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi
suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil
dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction.
Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan
metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan
pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada
beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang.
1) Interaksi obat
a) Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot
depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat
kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka
depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan
menghambat pseudokolinesterase.
b) Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi
merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi, karena
ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin
sebagian dicegah.
2) Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak
dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang
baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah
1 mg/kg IV.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak
dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan
pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek samping dari suksinilkolin
adalah :
· Nyeri otot pasca pemberian
· Peningkatan tekanan intraokular
· Peningkatan tekakana intrakranial
· Peningkatan tekakanan intragastrik
· Peningkatan kadar kalium plasma
· Aritmia jantung
· Salivasi
· Alergi dan anafilaksis

2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi


a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja
pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek
akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus
dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot
0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis
awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2
ml berisi 4 mg pavulon.
b. Atracurium
1) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme
terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
2) Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25
mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10
mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.
Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC,
potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan.
Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c. Vekuronium
1) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang
berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
2) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang
dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi
metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan
sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi
dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.
3) Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg
setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien
post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d. Rekuronium
1) Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan
kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih
lama.
2) Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak
terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar
berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di ICU). Pasien
orang tua menunjukan prolong durasi.
3) Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 – 0,9 mg
/ kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil
0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant
; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma
untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat kembali sampai 1 jam.
Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang
tua.
4) Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi
sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.

Sumber:
Latief, Said A, dkk, (2002), Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi
dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta

Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai