Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

SATU KASUS MASTOIDITIS TUBERKULOSIS


PADA ANAK

oleh: Lidya Sabig


Pembimbing: Dr. Pujo Widodo, Sp.THT-KL (K)

BAGIAN IKTHT-KL FK UNDIP/SMF KTHT-KL RS DR.KARIADI


SEMARANG
2018
1

BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan permasalahan kesehatan pada negara


berkembang. Infeksi tuberkulosis umumnya terutama berlokasi di sistem
pernapasan, limfonodi dan organ dalam. Infeksi telinga tengah dan mastoiditis
tuberkulosis merupakan manifestasi yang sangat jarang. Kasus tuberkulosis pada
anak yang dilaporkan terjadi di paru 85%, sisanya 15% di ekstrapulmoner. Kasus
tuberkulosis telinga tengah merupakan kasus yang sangat jarang yaitu sekitar
0,05-0,09% dari infeksi kronis telinga tengah.1
Mastoiditis tuberkulosis umumnya merupakan infeksi sekunder yang
menyebar melalui tuba eustachius, melalui jalur hematogen atau dari membran
timpani. Mastoiditis tuberkulosis sulit didiagnosis karena gejalanya yang tidak
khas. Sehingga sering terjadi keterlambatan antara onset gejala dengan diagnosis.
Komplikasi dari tuberkulosis telinga tengah ini cukup serius dari infeksi yang
menyebar dari CAE ke jaringan sekitarnya seperti dasar tengkorak atau tegmen
timpani hingga menyebabkan osteomielitis atau meningitis tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis telinga selain dari gejala klinis dapat
dipertimbangkan untuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti kultur
dan pewarnaan sekret dari liang telinga luar, rontgen thorax, tes kulit (Mantoux
test) dan CT scan bone temporal. Penatalaksanaan dengan pemberian OAT (obat
anti tuberkulosis) pada kasus tuberkulosis telinga tengah memberikan perbaikan
gejala maupun tanda klinis.
Tulisan ini membahas mengenai seorang anak dengan mastoiditis
tuberkulosis yang telah dilakukan biopsi ekstirpasi massa granulasi dan
kolesteatoma di epitimpani, untuk dapat menambah pengetahuan mengenai
penegakkan diagnosis ditinjau dari gambaran klinis, dan gambaran penunjang
serta penatalaksanaan dan prognosis pada pasien ini sesuai dengan beberapa
literatur.
2

BAB II
LAPORAN KASUS

Gambar 1. Profil pasien

Seorang anak laki-laki usia 9 tahun datang diantar orang tuanya ke klinik
THT RSUP Dr.Kariadi dengan keluhan utama keluar cairan telinga kiri.
Perjalanan penyakit sekarang, keluhan keluar cairan telinga kiri sejak 6 bulan
yang lalu hilang timbul, cairan berwarna kuning kental dan berbau. Dua bulan
kemudian cairan keluar dari belakang telinga kiri, berwarna kuning kental berbau.
Anak tidak mengeluh nyeri telinga, tidak ada nyeri kepala, tidak demam, tidak
batuk pilek, wajah tidak perot. Anak mengeluh kurang dengar pada telinga kiri.
Pasien sudah beberapa kali berobat namun tidak ada perbaikan. Riwayat sering
batuk pilek disangkal, keringat malam terkadang, asupan makan dan minum baik.
Riwayat penyakit dahulu, keluar cairan dari telinga sebelumnya disangkal.
Riwayat batuk lama disangkal Riwayat sosial ekonomi, orang tua pasien
wiraswasta, berobat dengan BPJS PBI, kesan sosial ekonomi cukup.
Pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum baik,
kesadaran kompos mentis, tanda vital nadi 82x/menit, pernafasan 28x/menit,
suhu 36,80C, jantung BJ reguler, S1 S2, tidak ditemukan murmur, gallop. Tidak
ditemukan ronki basah halus dan wheezing di kedua lapang paru. Suara vesikular
paru normal.
Pemeriksaan fisik status lokalis pada telinga CAE kiri tampak cairan
telinga mukopurulen, didapatkan reservoir sign. Pada CAE kanan tidak ada
serumen, discaj, edem, hiperemis. Membran timpani kiri tidak dapat dinilai,
3

kanan dalam batas normal. Pemeriksaan telinga luar tampak fistel di retroaurikular
kiri disertai keluarnya cairan nanah dari fistel tersebut dan terdapat krusta
(Gambar 2). Pemeriksaan hidung bagian luar tidak ada deformitas dan massa
tumor . Pada cavum nasi tidak ada sekret, konka hipertrofi, mukosa hiperemis,
dan edema. Tidak didapatkan septum deviasi. Pemeriksaan tenggorok Tonsil T1 –
T1, tidak ada hiperemis, kripte melebar dan detritus. Palatum bomban tidak ada,
arkus faring simetris, dinding faring hiperemis dan granulasi tidak ada.
Pemeriksaan leher tidak tampak pembesaran kelenjar.

Gambar 2. Fistel retroaurikuler

Pemeriksaan MSCT scan mastoid potongan koronal dan aksial tampak


kesuraman pada mid cavum timpani kiri, mastoid air cell kiri tampak berkurang
disertai kesuraman dan destruksi serta erosi pada tulang mastoid, kesan gambaran
mastoiditis kiri disertai kolesteatoma. (Gambar 3.)

Gambar 3. MSCT scan mastoid potongan koronal


4

Gambar 3. MSCT scan mastoid potongan aksial

Gambar 4. Gambaran audiometri telinga kanan dan kiri


5

Gambar 4. Gambaran Timpanometri telinga kanan


Pemeriksaan audiometri didapatkan kesan gangguan pendengaran tipe
konduktif derajat sedang telinga kiri (PTA:52,5 dB), sedangkan telinga kanan
dalam batas normal (PTA:25 dB). Pemeriksaan timpanometri telinga kanan
didapatkan Tipe As dan telinga kiri tidak dilakukan pemeriksaan Timpanometri
(Gambar 4).
Pemeriksaan laboratorium darah rutin, studi koagulasi, fungsi ginjal dan
elektrolit dalam batas normal. Pasien didiagnosis sementara kolesteatom primer
dengan fistel retroaurikuler. Pasien dirawat inap untuk rencana tindakan cortical
mastoidektomi dan eksplorasi kolesteatoma. Tidak ada kontraindikasi operasi dari
anestesi. Operasi dilakukan dalam anestesi umum. Durante operasi tampak
granulasi dengan jaringan perkijuan, pus dan kolesteatom pada area
superoposterior CAE hingga mastoid. Jaringan granulasi dan kolestetoma
ditampung untuk dilakukan pemeriksaan pengecatan gram, BTA dan kultur
sensitivitas.

a. b.
6

c.

Gambar 5. (a.) Fistel retroaurikuler (b.) cortical mastoidektomi (c.) Jaringan granulasi
telinga tengah

Setelah 1 minggu pasien kontrol tampak luka operasi belakang telinga


baik. Pasien kontrol minggu kedua dilakukan aff hecting dari luka operasi,
aproksimasi luka baik, tidak didapatkan pus ( gambar 6).
Hasil pemeriksaan mikrobiologi klinik dari sediaan kolesteatoma
didapatkan pengecatan BTA positif (+). Hasil kultur dari discaj telinga kiri
didapatkan kuman Pseudomonas aeruginosa. Sensitif terhadap Tazobactam,
Ceftazidime, cefepime, meropenem, amikasin, gentamisin dan ciprofloksasin.
Pasien lalu dikonsulkan ke bagian IK-Anak. Pada kasus ini pasien
diberikan obat anti tuberculosis RHZ + Etambutol, dan evaluasi 1 bulan pasca
operasi tampak perbaikan yang berarti dengan berkurangnya cairan telinga dan
luka operasi baik (Gambar 6.) dan tidak ditemukan adanya gejala parese N VII
maupun komplikasi-komplikasi lain.

(a) (b)
Gambar 6. (a) Luka insisi retroaurikula pasca operasi 1 minggu, (b) pasca operasi
2 minggu
7

BAB III
PEMBAHASAN

A. Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang diketahui banyak menginfeksi
manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Infeksi tuberkulosis
umumnya terutama berlokasi di sistem pernapasan, limfonodi dan organ dalam.
Kuman tuberkulosis berdampak secara primer pada paru, namun 15-30% kasus
terdapat di luar paru.1,2
Infeksi telinga tengah dan mastoiditis tuberkulosis merupakan manifestasi
yang sangat jarang dengan insiden 0,04-0,9% dari semua kasus tuberkulosis3 dan
0,04 % dari kasus infeksi kronis telinga tengah.4 Kasus tuberkulosis pada anak
yang dilaporkan terjadi di paru 85%, sisanya 15% di ekstrapulmoner.5
Otitis media tuberkulosis adalah radang kronik mukosa telinga tengah
yang disebabkan oleh basil tahan asam Mycobacterium tuberculosis dan jarang
oleh Mycobacterium atypic.6
Infeksi tuberkulosis telinga tengah primer merupakan diagnosis yang sulit
karena presentasi klinis yang tidak spesifik dan bervariasi. Tuberkulosis oto-
mastoiditis pertama kali digambarkan oleh Jean Louis Petit pada abad 18.
Terdapat tiga karakteristik klinis yaitu keluar cairan telinga yang tidak nyeri,
perforasi membran timpani multipel dan granulasi yang pucat pada telinga tengah,
namun tiga tanda ini juga kadang tidak tampak.2
Patogenesis tuberkulosis telinga tengah masih kontroversial.
Mycobacterium tuberculosis dapat mencapai telinga tengah melalui dua
mekanisme. Pertama, rute hematogen dari lokasi yang jauh, paling sering berasal
dari lesi primer di paru. Kedua, ekstensi secara langsung dari nasofaring ke tuba
eustachius. Selain itu dilaporkan infeksi melalui liang telinga dan perforasi
membran timpani, dari strukur terdekat (misalnya infeksi saraf pusat), dan infeksi
congenital dari sirkulasi plasenta atau selama proses persalinan.3, 4
Penyebaran
8

langsung dari mukosa dapat mengakibatkan tuberkulosis mastoiditis atau


osteomielitis dari tulang temporal.5
Diagnosis dari tuberkulosis telinga tengah sangat sulit sehingga sering
tidak terdiagnosis pada stadium awal dan terjadi keterlambatan karena rendahnya
prevalensi dan kecurigaan penyakit tersebut, serta manifestasi klinis yang serupa
dengan penyakit infeksi kronis telinga tengah non spesifik seperti keluar cairan
telinga refaktori dengan antibiotik standar, tanpa nyeri telinga, perforasi membran
timpani dan gangguan pendengaran tipe konduktif unilateral. Pada kasus
tuberkulosis telinga tengah, pemeriksaan imaging diperlukan untuk mengetahui
perluasan penyakit dan kemungkinan komplikasi meskipun tidak banyak
membantu dalam diagnosis banding. Karena temuan radiologi tidak spesifik dan
tanda agresif merupakan kejadian sering pada infeksi telinga tengah.4

B. Gejala Klinis
Temukan klasik tuberkulosis otitis media yaitu otore tanpa nyeri telinga
dengan perforasi membran timpani multipel.3 Multipel perforasi pada membran
timpani dengan mukosa telinga tengah yang polipoid merupakan gejala tipikal
pada tuberkulosis otitis media, namun pada beberapa laporan kasus tanda ini tidak
selalu ditemui. Literatur lain menyebutkan adanya perforasi membran timpani
yang besar, gangguan pendengaran konduktif yang mendadak menjadi
sensorineural dengan jaringan granulasi yang pucat dan sekresi yang menyerupai
kolesteatom.7 Tuberkel koalesen dapat membentuk perforasi membran timpani
yang subtotal atau total. Terkadang terdapat nyeri, namun nyeri tersebut
berhubungan dengan granulasi yang menekan mastoid. Pada stadium lanjut,
membran timpani atau CAE terdapat jaringan granulasi atau nekrotik dan juga
sering terdapat sekuester tulang.3 Pada kasus ini membran timpani sulit dinilai
karena CAE penuh dengn discaj..
Kurang pendengaran terjadi pada 90% kasus, dengan kurang pendengaran
tipe konduktif unilateral. . Kurang pendengaran tidak sebanding dengan luasnya
penyakit pada fase akut. Pada kasus ini dari gambaran audiogram kesan kurang
pendengaran tipe konduktif derajat sedang pada telinga kiri.
9

Osteomielitis menyebabkan komplikasi yaitu sekuester tulang, destruksi


osikula, paralisis nervus fasial, invasi tulang labirin dan petrositis. Adenopathy
preaurikular, fistel preaurikular dan fasial palsy dapat terjadi, terutama pada anak.
Destruksi tulang di sekitar tip mastoid dapat menyebabkan abses Bezold yang
biasanya tidak lunak (fluktuasi).3
Sering terdapat pembesaran limfonodi pre aurikular atau cervikal dan bisa
terdapat fistel retro aurikular. Pada kasus ini tampak fistel retroarikuler pada
telinga kiri. Tidak tampak pembesaran limfonodi.
Mastoiditis tuberkulosis dapat menyebabkan komplikasi serius yaitu saat
infeksi menyebar dari CAE ke jaringan sekitarnya seperti dasar tengkorak atau
tegmen timpani sehingga menyebabkan osteomielitis atau meningitis tuberkulosis.

C. Pemeriksaan penunjang
Identifikasi Mycobacterium tuberculosis tetap merupakan standar baku
emas untuk mendiagnosis tuberkulosis telinga tengah. Pemeriksaan kultur
resistensi dan histopatologi dari spesimen telinga tengah direkomendasikan oleh
European guidelines untuk diagnosis tuberkulosis telinga tengah.8 Diagnosis tepat
dan penanganan dini sangat penting untuk untuk mencegah komplikasi berat
seperti kelumpuhan otot wajah, gangguan dengar tipe saraf, abses dan komplikasi
intrakranial.4
Prevalensi tuberkulosis paru aktif maupun nonaktif pada pasien
tuberkulosis telinga tengah sekitar 14-93%, sementara 40-50% pasien tuberkulosis
otitis media tidak terbukti adanya infeksi tuberkulosis di tempat lain.5
Temuan laboratorium seperti kultur dan pewarnaan sekret di liang telinga
luar, tes purified protein derivative, rontgen thorax dan CT scan bone temporal
dapat membantu diagnosis tuberkulosis telinga. Diagnosis tuberkulosis otitis
media tidak mudah, pada literatur dikatakan prosesnya menghabiskan waktu 14-
70 hari karena kultur dari jaringan dan sekret biasanya negatif. Pemeriksaaan
pewarnaan BTA jarang positif (2-14%).7 Temuan LCS pada meningitis
tuberkulosis biasanya menunjukkan pleositosis (predominan limfosit), tinggi
protein dan rendah glukosa.3, 7 Dilaporkan gambaran CT scan bone temporal pada
10

satu kasus tuberkulosis tulang temporal, tampak lesi hipodens yang multipel
dengan gambaran penyengatan pada dindingnya. CT scan merupakan modalitas
terbaik dibandingkan MRI untuk kasus mastoiditis tuberkulosis.5
Pemeriksaan PPD tidak merupakan prosedur diagnosis yang dapat
dipercaya terutama di negara dengan prevalensi TBC yang tinggi, Di Serbia, PPD
test positif pada 74-98% pasien dengan limfadenitis TB dan pada pasien TB milier
di atas 68%. Pada penelitian Ješić, et al terdapat 50% pasien positif.7 Diagnosis
tuberkulosis otitis media hanya terdeteksi 26% dengan pemeriksaan test mantoux,
rontgen thorax dan kultur cairan telinga.
Konfimasi mikrobiologi seringkali sulit dilakukan karena tingginya infeksi
bakteri sekunder pada tuberkulosis otitis media (79%) yang dapat mencegah
terindentifikasinya Mycobacterium tuberculosis.5 Pewarnaan Ziehl-Neelsen dari
smear maupun jaringan jarang ditemukan bakteri batang merah (batang tahan
asam) karena lesi tuberkel pada telinga mempunyai konsentrasi bakteri yang
rendah, sehubungan dengan penggunaan antibiotik tetes telinga (misalnya
aminoglikosida). Ješić, et al menemukan hanya 1 dari 12 pasien yang mempunyai
hasil BTA + pada jaringan granulasi dari telinga tengah.7
Metode lain yaitu dengan menggunakan tehnologi polymerase chain
reaction (PCR) namun tidak menjanjikan hasil yang representatif.3 Namun
Quaranta et al. melaporkan real-time PCR berhasil mendeteksi Mycobacterium
tuberculosis.9
Sementara pemeriksaan histopatologi jarang mengindikasikan TBC
granuloma, namun lebih sering gambaran granuloma nekrotik.7 Pemeriksaan
histopatologi menurut Laderer menunjukkan tiga tipe perubahan yaitu milier,
granulomatosa (Gambar 7.) dan kaseosa. Tipe milier berhubungan dengan infeksi
superfisial yaitu tuberkel di submukosa dari telinga tengah lalu akan melibatkan
periosteum dan tulang, tipe granulomatosa menunjukkan granuloma atau
proliferasi lesi yang melibatkan tulang dan tipe kaseosa menunjukkan tuberkel,
kaseosa dan kadang seluruh tulang nekrosis serta sekuestrasi.5, 10
Hasil
pemeriksaan mikrobiologi dengan pengecatan dari sediaan koleasteatoma telinga
tengah pada kasus ini menggambarkan hasil BTA (+).
11

Pada pemeriksaan histologi dan atau kultur spesimen biopsi


menggambarkan bakteri tahan asam dengan granuloma. Pemeriksaan
mikrobiologi dan histopatologi harus dilakukan untuk menunjang diagnosis,
namun pada hasil yang negatif tidak dapat menyingkirkan TBC.

D. Diagnosis banding
Diagnosis banding tuberkulosis telinga tengah, perlu mempertimbangkan
diagnosis histoplasmosis, blastomycosis, syphilis, midline granuloma, Wegener’s
granulomatosis, histiocytosis, nocardiosis, necrotizing external otitis, limfoma,
otitis media bakterial dan kolesteatom. Diagnosis-diagnosis ini dapat disingkirkan
berdasarkan ada tidaknya nyeri dan tipe serta konsistensi cairan telinga.5 Pada
kasus ini didiagnosis banding dengan kolesteatom kongenital, massa telinga
tengah, kista.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuberkulosis harus berdasarkan rekomendasi yang
diberikan oleh pusat kontrol dan pencegahan penyakit menular. Secara umum,
regimen yang direkomendasikan pada dewasa dapat diberikan kepada anak
dengan pengecualian bahwa penggunaan etambutol tidak rutin diberikan kepada
pasien anak. Regimen OAT (isoniazid dan rifampisin) diberikan 6 bulan,
sedangkan pirazinamid diberikan 2 bulan pertama dengan dosis pada anak sesuai
berat badan (Tabel 1)10. TB ekstrapulmonal ditatalaksana dengan regimen yang
sama seperti TB pulmonal, namun TB yang telah menyebar dan meningitis TB
direkomendasikan untuk pemberian OAT selama 9 sampai 12 bulan.3
Tabel 1. Dosis OAT
Regimen Dosis anak
Isoniazid 10-15 mg/kg/hr
20-30mg/kg intermiten
Rifampisin 10-20 mg/kg/hr atau 2 kali seminggu
Pyrazinamid 15-30 mg/kg/hr
12

40-50 mg/kg 2 kali seminggu


Ethambutol 15-20 mg/kg/hr
50 mg/kg 2 kali seminggu

Berdasarkan guideline issued American Thoraxic Society, CDC dan


Infectious Diseases Society of America merekomendasikan TB ekstrapulmoner
dapat ditatalaksana dengan obat yang sama dengan kasus di paru dan tidak
disebutkan mengenai pilihan operasi.9 Indikasi intervensi pembedahan yaitu pada
kasus yang tidak responsif terhadap terapi medikal dan perluasan penyakit yang
melibatkan sekuester tulang.11
Pilihan rasional tindakan operasi timpanomastoidektomi yaitu apabila
tatalaksana tuberkulosis telinga tengah dengan obat anti tuberkulosis tidak dapat
mencapai telinga tengah secara komplit. Namun, keefektifan tindakan
pembedahan juga belum dibuktikan, beberapa peneliti tidak menyarankan
tindakan pembedahan kecuali bila telah ada komplikasi yaitu adanya abses
subperiosteal, fistel, facial palsy atau penyebaran infeksi ke intrakranial. Namun
mendiagnosis tuberkulosis mastoid bukan hal yang mudah, sehingga sering terjadi
keterlambatan diagnosis. Pada kasus ini terdapat komplikasi berupa fistel
retroaurikuler sehingga dilakukan pembedahan. Sesuai dengan literatur tindakan
pembedahan dapat dilakukan untuk mendapatkan sampel yang baik untuk
pemeriksaan bakteriologi dan histologi agar didapatkan diagnosis dini yang tepat.
Tatalaksana medikamentosa berupa pemberian OAT diberikan setelah
pembedahan. Penelitian menunjukkan tingginya angka perbaikan (dry ear) pada
pasien yang mendapat pengobatan dan menjalani pembedahan, dibandingkan
dengan hanya pengobatan.9, 12

F. Komplikasi
Pada stadium lanjut, membran timpani atau CAE terdapat jaringan
granulasi atau nekrotik dan juga sering terdapat sekuester tulang seperti yang
ditemukan pada satu kasus di Morocco (Gambar 8).13 Sekuester tulang seperti ini
juga ditemukan pada kasus yang dilaporkan. Komplikasi tuberkulosis telinga
13

tengah yaitu destruksi telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif, fasial
paralisis, keterlibatan kokhlea dengan labirinitis dan tuli sensorineural dan
penyebaran infeksi ke intrakranial.5 Penelitian Ješić et al. menunjukkan persentasi
kejadian komplikasi fasial palsy, gangguan dengar sensorineural, fistula labirin
dan destruksi kanal fallopian, lebih tinggi pada tuberkulosis otitis media
dibandingkan kolesteatom.7 Fasial paralisis terjadi sekitar 16% pada kasus dewasa
dan 35% pada kasus anak.5 Pada kasus ini terjadi komplikasi fistel retroaurikuler
dan tuli konduktif. Namun tidak tampak tanda-tanda fasial paralisis.
14

BAB IV
KESIMPULAN

Tuberkulosis otitis media harus dicurigai pada kasus OMSK yang tidak
perbaikan setelah pengobatan yang biasa dilakukan. Gejala dan tanda yang
bervariasi dan tidak spesifik menyebabkan sulitnya diagnosis ini. Gejala klasik
seperti keluar cairan telinga tanpa nyeri, perforasi membran timpani multipel dan
paralisis fasial yang sering dikatakan di literatur, tidak selalui dijumpai.
Mastoiditis tuberkulosis mempunyai manifestasi klinis yang jarang namun
berpotensi membahayakan. Sulitnya mendiagnosis penyakit tersebut
menyebabkan seringnya terjadi keterlambatan penanganan. Pada infeksi otologi
dengan gambaran imaging adanya destruksi tulang dan selule mastoid dan
gambaran tulang sekuester, harus dicurigai mastoiditis tuberkulosis. Terapi anti
tuberkulosis masih merupakan pilihan utama untuk penatalaksanaan tuberkulosis
mastoid dan telinga tengah. Tindakan pembedahan bertujuan untuk mendapatkan
sampel yang baik untuk pemeriksaan bakteriologi dan histologi agar didapatkan
diagnosis dini yang tepat.
Dilaporkan satu kasus mastoiditis tuberkulosis pada bayi 3 bulan yang
telah dilakukan mastoidektomi dan eksplorasi massa. Evaluasi setelah 1 bulan
pasca operasi dan pemberian OAT, tampak perbaikan bermakna pada pasien ini.
Anak-anak mempunyai risiko tinggi penyebaran yang cepat dari penyakit
ini, sehingga diharapkan peningkatan kesadaran dokter untuk mendeteksi dini dan
mendiagnosis infeksi atipikal namun sangat berbahaya ini.
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Scorpecci A, Bozzola E, Villani A, Marsella P. Two new cases of chronic


tuberculous otomastoiditis in children. ACTA otorhinolaryngologica ita
lica. 2015;35:125-8.
2. Tandon S, Singh S, Lahiri AK, Sharma S. Primary tuberculosis of middle
ear. International Journal of Case Reports in Medicine. 2014;2014:1-5.
3. Nicolau Y, Northrop C, Eavey R. Tuberculous otitis in infants: Temporal
bone histopathology and clinical extrapolation. Otology & Neurotology.
2006;27:667-71.
4. Chirch LM, Ahmad K, Spinner W, et al. Tuberculous otitis media: report
of 2 cases on Long Island, N.Y., and a review of all cases reported in the
United States from 1990 through 2003. Ear Nose Throat J. 2005;84:488-
92.
5. Meena RS MD, Verma PC. Primary tuberculosis of the temporal bone: A
rare case report. Indian Journal of Otology. 2012;18(1):41-3.
6. Marinopoulos S, Lourantou D, Gatzionis T, Dimitrakakis C, Papaspyrou I,
Antsaklisa A. Breast tuberculosis: Diagnosis, management and treatment.
Int J Surg Case Rep. 2012;3(11):548–50.
7. Ješić S, Stošić S, Milenković B, Nešić V, Dudvarski Z, Jotić A, et al. .
Middle ear tuberculosis: Diagnostic criteria. Serbian archives of medicine.
2009;137(7-8):346-50.
8. Migliori GB, Zellweger JP, Abubakar I, et al. . European union standards
for tuberculosis care. Eur Respir J. 2012;39:807-19.
9. Quaranta N, Petrone P, Michailidou A, Miragliotta L, Santantonio M,
Prete RD, et al. Tuberculous otitis media with facial paralysis a clinical
andmicrobiological diagnosis - a case report. Hindawi Publishing
Corporation. 2011;2011:1-3.
10. Kelgaonkar YU, Bangad S , Somani SS, Chopra S, Ingle SB.
Tuberculosis of mastoid bone–case report. Indian Journal of Medical Case
Reports. 2012;1:30-2.
11. Buname G, Namwagala J, Ndoleriire C, Alele D Tuberculous mastoiditis:
A rare occurrence. J Infect Dis Ther. 2013;1.
12. Kwon M, Choi SW, Chung JW. Roles of an anti-tuberculosis medication
and surgery in patients with tuberculous otitis media. Acta Otolaryngol.
2010;130:679-86.
13. Abada RL, Nadef N, Elkhiati G, Rouadi S, Mahtar M, Roubal M, et al. .
Tuberculous mastoiditis: Report of an uncommon case in morocco.
Otolaryngology an open access journal. 2012;2(3):1-3.

Anda mungkin juga menyukai