Anda di halaman 1dari 16

GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

I. PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran merupakan kelainan dimana terjadi penurunan


kemampuan menerima respon terhadap suara sebagian atau seluruhnya. Bila organ
pendengaran masih dapat berfungsi sebagai alat komunikasi dengan atau tanpa alat bantu
dengar (ABD) dinamakan kurang pendengaran (hearing loss) sedangkan bila kondisi
organ yang sedemikian terganggu sehingga tidak dapat berfungsi untuk berkomunikasi
walaupun telah menggunakan ABD dikenal dengan tuli (deafness). Gangguan
pendengaran dapat terjadi pada bayi, anak, dewasa ataupun pada usia tua dan sangat
berpengaruh untuk komunikasi. 1,2,3
Penelitian epidemiologik yang dilakukan pada beberapa negara maju melaporkan
bahwa pada saat kelahiran terdapat 1- 3 bayi dari 1.000 kelahiran hidup mengalami
ketulian. Di Amerika serikat setiap tahunnya terjadi penambahan 5.000 bayi dengan
gangguan pendengaran derajat sedang sampai berat. Di Indonesia berdasarkan Survei
Kesehatan Indera pendengaran di 7 Propinsi ( 1994 -1996) prevalensi gangguan
pendengaran dan ketulian di Indonesia adalah 16,8 % dan 0.4 % (Thailand : 13,1 % dan
0.5 % ). Sedangkan di RSUP Dr.Kariadi Semarang ( 2004 ) dari 283 kasus prevalensi
gangguan pendengaran dan ketulian adalah 72,1% dan 27,9% 1,4
Kurang pendengaran atau ketulian akan terjadi apabila mekanisme penerimaan
respon suara baik pada telinga luar, telinga tengah, telinga dalam atau sistem susunan
saraf yang berperan dalam proses pendengaran mengalami gangguan. Gangguan
pendengaran dan ketulian pada bayi dan anak biasanya akan menyebabkan terhambatnya
perkembangan bicara, berbahasa, kecerdasan dan interaksi sosial.3,4,5
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini untuk mengetahui tentang mekanisme
pendengaran, penyebab dan faktor resiko gangguan pendengaran, dampak pertumbuhan
bayi atau anak dengan gangguan pendengaran, skrining atau pemeriksaan pada bayi dan
anak serta pengelolaan gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Diharapkan kita dapat
mengelola pasien gangguan pendengaran pada bayi dan anak dengan baik sehingga dapat
mengatasi permasalah komunikasi pada bayi dan anak yang sangat dibutuhkan dalam
masa pertumbuhan.

II. MEKANISME MENDENGAR

Telinga manusia secara anatomi dibagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam
(gambar). Tekanan gelombang yang berasal dari suara yang ditangkap oleh daun telinga
dan dihantarkan langsung melalui meatus auditorius eksternus.

1
Gambar 1. Anatomi telinga

Gelombang suara ini akan menimbulkan efek getaran pada membran timpani
yang merupakan pembatas antara telinga luar dan telinga tengah. Untuk menimbulkan
getaran efektif pada membran timpani memerlukan kondisi tekanan udara kedua sisi
membran timpani yang sama. Kondisi ini diperankan oleh saluran tuba eustachii yang
terletak di dinding anterior kavum timpani dan menghubungkan dengan nasofaring. Hasil
getraran dari membrane timpani akan di dikirimkan melalui rantai osikula (maleus, inkus,
stapes) menuju ke foramen ovale yaitu suatu bagian dari koklea yang merupakan awal
dari telinga dalam. Dibagian ini mekanisme getraran osikula diubah menjadi tekanan
gelombang dalam cairan yang mengakibatkan bergeraknya hair cell yang menempati
sepanjang membrane basalis dan terletak di dalam organ korti.2,3,4
Pada peristiwa tersebut maka terjadi perubahan energi gelombang suara dari
bentuk mekanik berubah menjadi energi elektrik sebagai impuls saraf yang akan
dijalarkan sampai ke otak. Keras lemah (Intnsitas) suara yang didengar ditentukan oleh
banyaknya hair cell yang terkena, semakin keras suara maka makin banyak jumlah
neuron yang terkena akibat gelombang suara di organ korti. Sedangkan tinggi rendahnya
suara (Frekuensi) ditandai oleh peristiwa dan pola aktivitas hair cell yang terkena
sepanjang membrane basalis. Suara frekuensi tinggi menyebabkan getaran lebih besar
pada hair cell di basis dan suara frekuensi rendah menyebabkan getaran lebih besar pada
hair cell di apek koklea. Inpuls saraf dibawa ke nervus vestibulokoklearis menuju ke otak
dan kemudian otak akan memproses, menginterprestasikan dan memahami sebagai suara.
Akibat gangguan dari salah satu atau lebih pada system ini akan menimbulkan gangguan
kurang pendengaran.3,4,5

III. JENIS DAN DERAJAT KURANG PENDENGARAN

A. Jenis Ketulian

1. Tuli konduktif / hantaran.


2. Tuli sensorineural / sensorineural
3. Tuli campur ( mixed deafness )

Tuli konduktif terjadi sebagai akibat tidak sempurnanya atau tidak berfungsinya
organ telinga yang berperan menghantarkan bunyi dari dunia luar ke telinga dalam (

2
inner ear). Kondisi ini misalnya dijumpai pada keadaan tidak terbentuknya liang telinga
sejak lahir, liang telinga tersumbat kotoran atau benda asing.
Tuli sensorineural disebabkan oleh kelainan / kerusakan di rumah siput (koklea),
saraf pendengaran dan batang otak (brainstem) sehingga bunyi tidak dapat diproses
sebagaimana mestinya.
Tuli campur ( mixed deafness) bila gangguan pendengaran / ketulian konduktif
dan sensorineural terjadi bersamaan.
Mendengar dan mengerti bunyi diperlukan suatu proses penghantaran dan
pengolahan bunyi ( di telinga ) dan dilanjutkan dengan interpretasi dan pemahaman bunyi
(di otak) Sehingga mungkin saja dijumpai kasus dengan penghantaran dan pengolahan
bunyi yang baik ( dapat mendengar ) namun akibat gangguan pada otak, bunyi yang
terdengar tidak dapat diartikan. Hal ini terjadi pada tuli sentral (central deafness) yang
penanganannya lebih sulit dan memerlukan kerjasama dengan ahli saraf dan pendidik
khusus.1,3,4,5
Berdasarkan saat terjadinya ketulian juga dapat dibedakan menjadi :
1. Tuli pra-lingual , terjadi sebelum anak dapat berbicara Ketulian sejak lahir
umumnya tuli sensorineural, tuli pra- lingual.
2. Tuli post-lingual , terjadi setelah anak dapat berbicara.

B. Derajat ketulian 1,6

Derajat Ambang Dengar (dB)


Normal 0-25

Ringan 26-40

Sedang 41-70
Berat 71-90
Sangat berat >90

Tabel 1. Derajat dan efek kurang pendengaran


IV. PENYEBAB DAN FAKTOR RESIKO KURANG PENENGARAN

3
A. Penyebab tuli pada anak 1,4,6
I. Tuli konduktif ( hantaran )
A. Kelainan /gangguan pada liang telinga.
 Atresia, stenosis.
 Serumen, benda asing, polip.
 Otitis eksterna
B. Kerusakan membran timpani
 Perforasi.
 Sikatriks.
C. Gangguan telinga tengah dan tuba Eustachius.
 Otitis media supuratif dan non supuratif
 Oklusi tuba Eustachius
 Dislokasi tulang pendengaran.

II. Tuli sensorineural


A. Periode pra-natal
1. Faktor genetik
2. Non genetik
2.1. Infeksi kehamilan trimester I : Infeksi TORSCHS
(toksoplasma, rubella, cytomega lovi rus, herpes, sifilis )
2.2. Penggunaan obat ototoksik pada kehamilan trimester I
B. Periode perinatal.
 Trauma lahir.
 Prematuritas
 Hiperbilirubinemia ( kuning)
 Asfiksia
C. Periode post natal.
 Infeksi sistemik : Rubela, morbili, varisela, parotitis, influensa dll.
 Infeksi otak / selaput otak ensefalitis, meningitis.
 Pemakaian obat ototoksik kina, salisilat, streptomisin

Tabel 2 : Etiologi kurang pendengaran

B. Faktor Resiko Tuli pada Bayi dan Anak 1,6,7

4
1. Riwayat keluarga gangguan pendengaran sensorineural (tuli saraf) yang permanent
pada masa kanak
2. Kelainan kraniofasial (bentuk wajah atau tengkorak kepala), termasuk kelainan
morfologi liang dan daun telinga
3. Infeksi kongenital yang berhubungan dengan tuli saraf (toksoplasma, rubella,
sitomegalovirus (CMV), herpes, dan sifilis)
4. Gambaran fisik yang merupakan bagian dari suatu sindrom yang seringkali disertai
tuli saraf (misalnya sindrom Down, sindrom Usher, dan sindrom Waardenburg)
5. Berat 1ahir kurang dari 1500 gram
6. Nilai apgar rendah (0-3 pada menit ke-5 dan 0-6 pada menit ke-10)
7. Kondisi penyakit yang memerlukan perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
selama 48 jam atau lebih
8. Keadaan tertentu pada usia bayi 0-28 hari, terutama hiperbilirubinemia yang tinggi
yang memerlukan transfusi tukar dan penggunaan ventilator (alat bantu nafas
mekanik)
9. Infeksi pasca-persalinan yang berkaitan dengan tuli saraf (misalnya meningitis
bakterial)
10. Penggunaan obat-obatan ototoksik yang diberikan lebih dari lima hari antara lain
antibiotika tertentu, misalnya gentamisin

Tabel 3 : Faktor resiko kurang pendengaran


TULI KONDUKTIF

Pada anak usia prasekolah maupun usia sekolah seringkali dijumpai tuli konduktif
akibat tersumbatnya liang telinga oleh kotoran ( serumen ). Selain itu juga banyak
disebabkan oleh peradangan di telinga tengah ( middle ear). Peradangan di telinga tengah
seringkali disebabkan oleh ISPA ( pilek, radang tenggorok). Gangguan konduksi ini
umumnya bersifat sementara dan dapat sembuh dengan pemberian obat atau dengan

5
mengeluarkan kotoran. Masalahnya adalah seringkali hal ini tidak terdeteksi oleh orang
tua ataupun pendidik.1,3,4,5
Sebagai penyebab tuli konduktif, jenis peradangan telinga tengah yang sering
dijumpai adalah
1. Otitis Media Efusi ( OME)
2. Otitis Media Akuta(OMA)
3. Otitis media Supuratif Kronis (OMSK).3, 4
Otitis Media Efusi(OME)

Pada OME akan terjadi pengumpulan cairan bening pada telinga tengah, tidak ada
robekan gendang telinga (membran timpani) namun terlihat suram; tidak dijumpai tanda
tanda infeksi akut seperti nyeri atau demam. Seringkali disebabkan faktor alergi. Bila
tidak diobati cairan menjadi kental (glue ear) Gangguan pendengaran konduktif
adakalanya tidak disadari sehingga disebut sebagai the silent syndrome.2,4

Otitis Media Akuta (OMA)

Definisi OMA menurut AAP (American Acad. of Pediatric,2004) adalah infeksi


akut pada telinga tengah disertai pengumpulan cairan di telinga tengah. Bayi dan anak
lebih rentan terhadap OMA karena saluran tuba eustachius lebih pendek, diameternya
lebih kecil dan posisinya lebih mendatar sehingga mempermudah penyebaran infeksi dari
daerah hidung dan tenggorok. Selain faktor antomik tersebut, juga penting peranan faktor
imunologik seperti masih sedikitnya antibodi terhadap kuman pneumococcus. OMA
umumnya terjadi pada usia 2 bulan -12 tahun, dengan usia puncak sekitar 6 bulan - 3
tahun. 3,4
Gejala OMA berupa nyeri telinga (otalgia), telinga terasa penuh, demam tinggi,
gangguan pendengaran( konduktif). Anak menjadi rewel , sering menarik narik telinga,
nafsu makan berkurang, muntah, diare. Pada pemeriksaan otoskopi membran timpani
tampak suram, kemerahan, pergerakannya berkurang adakalanya menonjol keluar (
bulging). Gangguan pendengaran konduktif derajat ringan sampai sedang terjadi akibat
pengumpulan cairan di telinga tengah, berkurangnya mobilitas gendang telinga.
Gangguan pendengaran bersifat sementara.3,4,5

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)

Peradangan sebagian atau seluruhnya dari telinga tengah disertai keluar cairan
yang melalui robekan (perforasi) gendang telinga. Cairan keluar terns menerus atau
hilang timbul lebih dari 2 bulan. Sering hilang timbul akibat ISPA berulang. Bila tidak
ditangani dengan baik proses infeksi dapat menyebar ke otak. Dengan pemeriksaan
otoskopi dapat terlihat cairan kental, purulen di liang telinga , perforasi gendang telinga.
Kadang kadang dijumpai polip (jaringan granulasi) pada liang telinga atau telinga tengah.
OMSK dibedakan menjadi tipe jinak (benigna) dan berbahaya ( dangerous type).
Pada anak bila tidak ditangani dengan baik seringkali menyebar ke jaringan sekitar
sehingga timbul fistel di daerah belakang telinga ( retroaurikuler) Umumnya ketulian
bersifat konduktif, namun dapat juga terjadi gangguan pendengaran jenis sensorineural
akibat penyebaran toksin kuman ke dalam koklea.3,4,5

6
TULI SENSORINEURAL

Tuli sensorineural pada anak disebabkan oleh banyak hal seperti kelainan bawaan,
keturunan/ genetik,penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses kelahiran,
infeksi virus, pemakaian obat yang merusak kohlea ( kina, salisilat, antibiotika golongan
makrolid d1l), radang selaput otak (kejang demam), kadar bilirubin darah yang tinggi
(kuning) d1l. Umumnya ketulian bersifat permanen. 1,3
V. DAMPAK KURANG PENDENGARAN TERHADAP PERKEMBANGAN
ANAK

Perkembagan kemampuan berbahasa anak dengan pendengaran normal meliputi


perkembangan :
1. Mendengar
2. Berbicara
3. Membaca - menulis
Tuli saraf berat sejak lahir kedua telinga menyebabkan distorsi pada tahapan tersebut
sehingga akan berakibat terhambatnya perkembangan intelektual dan akademik.

Gangguan perkembangan bicara/ berbahasa pada anak tuli berupa kelainan


1. Respiratory control
2. Feedback control
3. Fonasi
4. Resonansi
5. Artikulasi
6. Kelainan konsonan & vowel

Gangguan lainnya : terbatasnya perbendaharaan kata, kesalahan persepsi percakapan.,


gangguan perkembangan kognitif, penyimpangan perilaku; hiperaktif, konsentrasi
kurang, impulsif , egois, kurang mampu menyesuaikan diri.1,3,4
A. Dampak Tuli Konduktif

Pengaruh negatif gangguan pendengaran kondutif derajat ringan pada masa


perkembangan bicara dikenal sebagai defisiensi auditorik minimal, dengan cirinya antara
lain kesulitan belajar bicara, kelainan artikulasi. Anak yang mengalami infeksi telinga
tengah dapat mengalami gangguan pendengaran yang bersifat hilang timbul. Bila tidak
mendapat pengobatan sehingga kelainan menetap akan timbul gangguan berbahasa
seperti kelaianan fonem, gangguan sintesa, kesulitan baca tulis dan belajar.1,3,7
Dampak gangguan pendengaran konduktif akibat peradangan telinga tengah pada
anak bervariasi karena dipengaruhi oleh:
1. Usia pada saat peradangan terjadi
2. Sisi telinga yang terganggu ( satu atau 2 sisi)
3. Kekerapan peradangan
4. Berat ringannya peradangan telinga tengah.1,3

B. Dampak Tuli Sensorineural

7
Tuli sensorineural derajat berat yang terjadi sejak lahir dan mengenai kedua sisi
telinga memberi dampak yang merugikan pada tahapan perkembangan mendengar,
berbicara dan berbahasa, membaca dan menulis. Tahapan dimaksud merupakan modalitas
panting bagi proses pendidikan seseorang. Distorsi yang terjadi pada semua tahapan
tersebut menyebabkan terhambatnya perkembangan intelektual dan akademik penderita
tuli sensorineural.1,3
Gangguan perkembangan bicara dan berbahasa pada tunarungu dapat berupa
kelainan artikulasi, perbendaharaan kata yang terbatas, kesalahan persepsi bunyi. Tes
intelegensi pada anak tuna rungu belum tentu hasilnya dibawah nilai rata rata, namun
kemampuannya untuk berfikir abstrak sangat kurang sehingga terjadi gangguan kognitif.
Gangguan lain dapat berupa penyimpangan perilaku, cenderung hiperaktif, tidak dapat
memusatkan perhatian, egois, rendah diri dan kurang mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan.1,3,7
VII. SCRENING DAN PEMERIKSAAN KURANG PENDENGARAN

A. Skining Kurang Pendengaran Pada Bayi dan Anak


Skrining pendengaran pada bayi baru lahir bertujuan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran sedini mungkin untuk dilakukan habilitasi / rehabilitasi, sehingga diperoleh
perkembangan linguistik dan komunikasi yang optimal bagi para penderita gangguan
pendengaran serta mengurangi dampak kecacatan. Metode skrining pendengaran pada
bayi dirintis oleh Marion Downs pada tahun 1964 dengan mengamati respons perilaku
bayi ( Behavioral responses ) terhadap stimulus bunyi. Sejak tahun 1970 an teknik
tersebut dikombinasikan dengan register risiko tinggi terhadap ketulian. 1, 3
Namun metode metode tersebut pada kenyataannya hasilnya kurang memuaskan
karena sekalipun dilakukan oleh pemeriksa yang berpengalaman tetap merupakan
pemeriksaan subyektif. Selain itu register risiko tinggi terhadap ketulian hanya dapat
mendeteksi sekitar 50 % bayi yang tuli sejak lahir.1,3
Pada tahun 1982 American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH)
merekomendasikan untuk melakukan identifikasi bayi yang berisiko mengalami
gangguan pendengaran, melakukan skrining, dan melakukan evaluasi audiologi lanjutan
sampai diagnosis pasti dapat ditegakkan.1,3
Jenis Skrining Pendengaran pada Bayi Baru Lahir :

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)


Skrining pendengaran dilakukan terhadap semua bayi baru lahir sebelum bayi
meninggalkan rumah sakit ( 2 hari ). untuk bayi yang lahir di fasilitas lainnya,
skrining pendengaran sudah harus dilakukan selambat lambatnya pada usia 1 bulan.
2. Targeted Newborn Hearing Screening
Hanya dilakukan terhadap bayi baru lahir yang mempunyai faktor risiko terhadap
gangguan pendengaran

Skrining bayi dan anak direkomendasikan terutama pada bayi baru lahir/ neonatus yang
memiliki faktor resiko gangguan pendengaran (lihat faktor resiko).1,3,7
Cara sederhana skrining bayi kurang 1 bulan dapat diamati respon auditorik berupa
refleks behavioral seperti :
 Mengejapkan mata (reflek auropalpebra)

8
 Ritme jantung bertambah cepat bila mendengar suara
 Berhenti menyusu (cessation reflex)
 Mengerutkan wajah (grimacing)
 Menarik ekstremitas ke medial (reflek Moro)

Hal lain yang dapat digunakan sebagai pedoman skrining pendengaran :


 Belum mengoceh (balbbling) pada usia 12 bulan
 Belum dapat mengucapkan 1 kata pada usia 18 bulan
 Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata pada usia 2 tahun

B. Pemeriksaan Kurang Pendengaran Pada Bayi dan Anak

1. Oto Acoustic Emission (OAE)

Pemeriksaan OAE bertujuan memeriksa fungsi koklea, terutama fungsi sel rambut
luar. Koklea yang normal mampu menghasilkan suara berintensitas rendah yang disebut
OAE yaitu ketika sel rambut luar koklea meregang dan berkontraksi. Terdapat 4 tipe
OAE yaitu:
a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs): suara diemisikan tanpa stimulus
akustik
b. Transient otoacoustic emissions (TOAEs) atau transient evoked otoacoustic
emissions (TEOAEs): suara diemisikan sebagai respon terhadap stimulus akustik
yang berdurasi sangat pendek; biasanya berupa click atau tone-bursts
c. Distortion product otoacoustic emissions (DPOAEs): suara diemisikan sebagai
respon terhadap 2 nada murni simultan yang frekuensinya berbeda

Prinsip dasar pemeriksaan OAE adalah memberikan jenis bunyi tertentu melalui
pengeras suara mini yang terietak di dalam insert probe yang bagian luarnya dilapisi
probe tip (bahar karat lunak) yang ukurannya dapat dipilih sesuai besar liang telinga.
Insert probe dipasang pada liang telinga.1,3,4,5,7

Gambar 2 : Skema alur stimulus dan respon OAE

9
Gambar 3 : Mesin OAE, Probe, dan Printer

Stimulus bunyi masuk ke liang telinga (melalui insert probe), menggetarkan


gendang telinga selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Ketika
stimulus bunyi mencapair sel rambut luar koklea yang sehat, sal rambut dalam tersebut
akan memberikan respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke
arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi akustik yang tiba di liang
telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang juga berada dalam insert probe,
selanjutnya diproses oleh mesin OAE dengan program komputer sehingga hasilnya dapat
ditampilkan pada layar monitor komputer.1,3,7
Pemeriksaan OAE sangat ideal untuk skrining pendengaran karena sesuai dengan
konsep skrining pendengaran bayi yaitu obyektif, tidak invasif, cepat, praktis, otomatis,
dan mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu hampir 100%. Analisa gelombang OAE
dilakukan berdasarkan perhitungan statistik yang menggunakan program komputer
sehingga interpretasinya mudah karena hanya menggunakan kriteria "pass" dan "refer".1,3
Pass adalah bila terdapat gelombang OAE dan refer adalah bila tidak terdapat
gelombang OAE. Pemeriksaan OAE dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk perawat
dan guru yang sudah dilatih. Pemeriksaan OAE tidak membutuhkan ruang kedap suara
dengan lama pemeriksaan yang singkat yaitu hanya sekitar 5 menit untuk tiap telinga.
Pemeriksaan OAE tidak memerlukan obat penenang pada bayi/anak yang tidak terilalu
banyak bergerak.1,3,4,5
2. Auditory Brainstem Response (ABR). 1,3,4,5,7
ABR atau lebih populer dengan istilah Brainstem Evoked response Audiometry
(BERA) merupakan suatu metoda pemeriksaan elektrofisiologis yaitu mengenai respon
fungsi batang otak terhadap stimulus auditorik. ABR mampu memberikan informasi
mengenai fungsi auditorik dan sensitivitas pendengaran, meskipun demikian penggunaan
ABR tidak berarti dapat menggantikan tindakan evaluasi pendengaran yang formal;
pemeriksaan ABR sebaiknya-dilanjutkan dengan audiometri behavioral.
ABR menilai fungsi saraf pendengaran dan batang otak dalam memberikan respon terhadap
stimulus akustik dari luar. ABR merupakan metoda yang obyektif dan tidak invasif untuk pemeriksaan
keadaan retrokoklea. ABR menggunakan stimulus click atau tone burst yang menimbulkan respon dari
regio basilar koklea. ABR akan mendeteksi sinyal evoked potential sebagai respon terhadap stimulus
akustik yang melalui jalur auditorik mulai dari nukleus koklea proksimal sampai kolikulus inferior di dalam
batang otak.
Hasil pemeriksaan ABR terdiri dari beberapa komponen gelombang defleksi
positif yang diberi angka romawi (gelombang I sampai V). ABR juga memberi informasi
adanya gangguan konduksi saraf auditorik, tumor N. VIII (neuroma akustik). Kombinasi

10
ABR dan OAE dapat digunakan untuk mendeteksi neuropati auditorik (kelainan akson
saraf auditorik dengan gambaran OAE normal dan ABR abnormal).
Pemeriksaan dan analisis ABR harus dilakukan oleh tenaga profesional karena
menggunakan elektroda yang harus dipasang dengan tepat, selain itu diperlukan latihan
untuk menginterpretasikan gelombang ABR. Untuk keperluan skrining pendengarar
digunakan modifikasi ABR yang dikenal sebagai Automated ABR (AABR) karena tidak
memerlukan keterampilan khusus dalam menginterpretasikan gelombang ABR.
Automated ABR (AABR) mudah dikerjakan dan memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi. AABR akan menginterpretasi respon pada intensitas stimulus
antara 30-40 dB sebaga kriteria pass dan refer.

C. Protkol Pemeriksaan Audiologi Pada Anak


Umumnya skrining pendengaran pada bayi baru lahir dilakukan 2 tahap. Tahap
pertama adalah pada saat bayi masih berada di rumah sakit atau klinik bersalin dengan
teknik OAE. Bila tidak lulus, pada usia 1 bulan dilakukan pemeriksaan OAE ulangan,
timpanometri dan automated ABR. Pemeriksaan timpanometri merupakan syarat penting
sebelum pemeriksaan OAE. Sebaiknya pemeriksaan OAE ditunda bila terdapat gangguan
pada telinga tengah, karena akan menyebabkan emisi yang dikembalikan kohlea
mengalami kesulitan untuk mencapai liang telinga.1,3
Bayi yang tidak lulus skrining tahap kedua harus di rujuk untuk pemeriksaan
audiologik klinik lengkap termasuk pemeriksaan BERA klinik dan Behavioral
Observation Audiometri sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran pada kedua
telinga dan lokasi lesi auditodik. Diagnostik pasti ada tidaknya gangguan pendengaran
idealnya telah selesai dikerjakan pada saat bayi berusia 3 bulan.1,3,4
The American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) 2004 menyarankan
menggunakan pemeriksaan sebagai berikut berdasarkan awal kejadian / perkembangan
umur :6,7
a. Umur bayi baru lahir (terutama prematur) atau bayi atau mengalami gangguan
pertumbuhan.
Pemeriksaan utama yang dapat diandalkan mengukur secara fisiologik fungsi
pendengaran yaitu dengan Auditory Brainstem Responses (ABRs). Pengukuran
Otoacustic Emission (OAEs) dan acoustic Immitance sebaiknya dilakukan untuk
mendukung hasil ABR. Riwayat penyakit orang tua, pengamatan prilaku respon bayi
terhadap suara, pemeriksaan pertumbuhan mental, dan pemeriksaan fisik pendengaran
juga harus dilakukan.
b. Umur 5 - 24 bulan
Pemeriksaan prilaku bayi yang pertama dapat dilakukan dengan VRA (Visual
Reinforcement Audiometry). Pemeriksaan OAEs dan ABRs sebaiknya dilakukan jika
behavioral audiometrik tidak bisa dipercaya.
c. Umur 25 - 60 bulan
Pemeriksaan prilaku anak (VRA atau CPA[Conditioned Play Audiometry]) dan test
acustic immitance biasanya cukup pada pemeriksaan ini. Speech perseption test dapat
menunjukan gabungan hasil pemeriksaan perkembangan mental dan fungsi
pendengaran.

11
Tabel 4 : Ringkasan pemeriksaan pada anak
Dari hasil pemeriksaan sesuai protokol ASHA diharapkan dapat :6,7
1. Mengidentifikasi kurang pendengaran
2. Identifikasi auditory neuropaty jika didapatkan atau berpotensi gangguan
pendengaran / bicara di sentral.
3. Menilai derajat kurang pendengaran yang didasari dari prilaku dan tes
elektrofisiologik
4. Meneriksa secara menyeluruh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan audiologik untuk merencanakan pengobatan dan
pengelolaannya.
5. Merencanakan dalam monitor, mempertahankan, dan pemulihan kurang
pendengaran.
6. Menyiapkan pada keluarga dalam memberikan bimbingan dan edukasi
tentang kurang dengar pada anaknya.

12
Gambar 4 : Alur skrining bayi baru lahir 1
VII. PENGELOLAAN BAYI DAN ANAK KURANG PENDENGARAN

a. Habilitasi/Rehabilitasi
Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian maka perlu dilakukan upaya
habilitasi pendengaran sedini mungkin. Upaya rehabilitasi/ Habilitasi pendengaran harus
dimulai pada saat bayi berusia 6 bulan sesuai rekomendasi dari American Joint
Committee on Infant Hearing (2002). Usia kritis (golden periode) dimana proses belajar
mendengar adalah sekitar 2-3 tahun.
Pada anak dengan tuli saraf berat harus segera memulai alat bantu dengar
(hearing Aid) yang sesuai. Dalam pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang
tepat dengan proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan, sehingga didapatkan
amplifikasi yang optimal. Fitting ABD pada bayi/anak lebih sulit dibandingkan pada
orang dewasa. Akhir-akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapat
dilakukan melalui teknik Auditory Steady State Respose (ASSR) yang hasilnya dianggap
sebagai prediksi audiogram, sehingga proses fitting ABD bayi lebih optimal.
Perlu dilakukan penilaian tingkat kecerdasannya oleh psikologi anak, kemudian
dirujuk untuk proses habilitasi di SLB-B (Sekolah Luar Biasa bagian B tuna rungu) atau
SLB-C bila disertai retardasi mental (tuna grahita). Pendidikan khusus dapat dimulai pada
usia 2 tahun pada SLB-B yang memiliki unit Taman Latihan dan Observasi (T.L.O)
Proses habilitasi pasien tuna rungu membutuhkan kerjasama dari beberapa
disiplin, antara lain dokter spesialis THT, Audiologist , Ahli terapi wicara, Psikologi
Anak, guru khusus untuk tuna rungu dan keluarga penderita.3,4,5
b. Implan Koklea

13
Adalah suatu perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan memperbaiki
fungsi pendengaran sehingga akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi pasien tuli
saraf berat dan total bilateral. Pada bayi / anak dilakukan implan koklea bila ternyata
ABD tidak dapat membantu. Dari seluruh dunia yang menggunakan implan koklea 6000
pasien 1300 orang diantaranya penderita anak-anak. Indikasi pemasangan implan koklea
bila tuli saraf berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa) yang tidak bisa
dibantu dengan alat konvensional biasa. Untuk anak yang kurang dengar sejak lahir (tuli
pra-lingual) sebaiknya dipasang implan koklea pada usia 2 tahun. 3,4,5
IX. RINGKASAN

1. Suara dapat didengar dengan baik apabila semua mekanisme pendengaran mulai
dari telinga luar, telinga tengah, telinga dalam dan sistem susunan saraf yang
berkaitan dengan pendengaran berjalan dengan baik.
2. Jenis kurang pendengaran terdiri dari kurang pendengaran konduktif, sensorik dan
campuran dengan derajat ringan, sedang, berat dan total kurang dengar (tuli)
3. Kurang pendengaran pada bayi dan anak dapat disebabkan karena kongenital atau
akuisita serta terdapat faktor resiko tinggi bayi baru lahir yang dapat menimbulkan
gangguan pendengaran.
4. Kurang pendengaran pada bayi dan anak akan menimbulkan dampak yang kurang
baik pada pertumbuhan dan perkembangan anak
5. Skrining dan pemeriksaan pendengaran pada bayi baru lahir diperlukan untuk
mendeteksi gangguan pendengaran sedini mungkin sehingga perkembangan
linguistik dan komunikasi dapat optimal.
6. Bayi dan anak kurang pendengaran memerlukan pengobatan, habituasi atau alat
bantu dengar dengan bekerjasama multidisiplin agar pertumbuhan anak lebih baik

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwento R. Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak. Dalam : Seminar Sehari
Penatalaksanaan Ganguan Pendengaran dan Ketulian. Semarang; 2007. hal1-11
2. Foetus. Hearing Loss [homepage in the internet] ; last update 2009 August 5: [cited
2009 August 8] available from URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Hearing_impairment.
3. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Ed: Soepardi
EA, Iskandar N. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. hal 28-32.
4. Carlson DL, Reeh HL. Pediatric Audiology. In: Bailey BJ. Calhoun KH, editors.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 3nd ed. Philadelphia: Lippincot-
William&Wilkins; 2001. p.1095-103.
5. Lesman FM, Levine SC. Audiologi. Dalam : Buku Ajar Penyakit THT. Ed: Adam G,
Boies LR. Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC;1994. hal 46-75.

14
6. Gifford KA, Holmes MG. Hearing Loss in Children [homepage in the internet]; last
update 2009 August 2: [cited 2009 August 8] available from URL:
http://pedsinreview.aappublications.org/cgi/content/full/30/6/207.
7. Flexer C, Madell JR. Hearing Test Protocols for Children. In : Pediatric Audiology
Diagnosis, Thechnology and Managemant. New York: Thieme Medical Publishers;
2008. p.45-3.

TINJAUAN PUSTAKA

GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

15
Oleh : Moh. Andi Fatkhurokhman

Pembimbing : dr. H. Yuslam Samihardja,PAK, SpTHT-KL

Penelaah : dr. Pujo Widodo, Sp THT-KL

Dibacakan : Agustus 2009

BAGIAN IK THT-KL FK UNDIP / SMF THT-KL


RS Dr. KARIADI SEMARANG
2009

16

Anda mungkin juga menyukai