Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun

yang ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa

organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi

autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan

jaringan. Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. SLE merupakan

salah satu penyakit tidak menular yang angka kejadiannya terus meningkat. 1,2

The Lupus Foundation of Amerika memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus

terjadi di Amerika dan setidaknya terjadi sebanyak lima juta kasus di dunia.

Setiap tahunnya diperkirakan terjadi enam belas ribu kasus baru lupus. Di

Indonesia, jumlah penderita lupus belum diketahui secara tepat. Angka

kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan antara

perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada usia

produktif, puncak insidennya usia antara 15-40 tahun. Di Indonesia sendiri

jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama

dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan

Lupus Indonesia). 1,3

Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut

kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah

1
93-97%, 84- 95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien

SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE

yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE

hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Mengingat manifestasi

klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan risiko kematian yang tinggi

maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat.

Penatalaksanaan yang tepat dibuat dengan tujuan agar kualitas

penatalaksaan pasien SLE menjadi lebih baik.2

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun

yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat

sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga

merupakan penyakit multisistem dimana banyak manifestasi klinis yang

didapat penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang

berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang

oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai

adalah skin rash, arthritis, dan lemah.3

Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit

maupun keterlibatan organ. Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan

dengan gejala klinis yang beragam. Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang

dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian awal yang memicunya masih

belum diketahui. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan nefritis,

masalah neurologi, anemia, dan trombositopenia. Penurunan berat badan

dapat terjadi pada pasien dengan SLE aktif. Peningkatan berat badan juga

dapat disebabkan oleh pengobatan kortikosteroid atau penyakit aktif seperti

sindrom nefrotik anasarca. Gejala-gejala ini dapat meniru penyakit autoimun

3
lainnya, penyakit menular, kelainan endokrin, dan fibromyalgia. SLE juga

meningkatkan angka kejadian penyakit jantung.4

2.2 Patogenesis dan Etiologi

Interaksi antara gen kerentanan dan faktor lingkungan menghasilkan

respons imun abnormal, yang bervariasi antara pasien yang berbeda. Respons

tersebut dapat meliputi (1) aktivasi imunitas bawaan (sel dendritik, monosit /

makrofag) oleh DNA CpG, DNA dalam kompleks imun, DNA virus atau RNA,

dan RNA dalam RNA / protein self-antigen; (2) menurunkan ambang aktivasi

dan jalur aktivasi abnormal dalam sel imunitas adaptif (limfosit T dan B

matang); (3) sel T CD4 + dan CD8 + regulator yang tidak efektif, sel B, dan sel

penekan yang diturunkan dari myeloid; dan (4) pengurangan pembersihan

kompleks imun dan sel apoptosis.5

Antigen sendiri (DNA / protein nukleosom; RNA / protein dalam Sm, Ro,

dan La; fosfolipid) dikenali oleh sistem kekebalan pada bleb permukaan sel-sel

apoptosis; sehingga autoantigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan

untuk waktu yang lama, memungkinkan peradangan dan penyakit untuk

berkembang. Aktivasi sel imun disertai dengan peningkatan sekresi interferon

proinflamasi tipe 1 dan 2 (IFNs), faktor nekrosis tumor α (TNF-α), inter-leukin

(IL) 17 dan sitokin pematangan / kelangsungan hidup sel B stimulator limfosit

B Stimulator limfosit (BLyS / BAFF), dan IL-10.3

4
Gambar.1 Patogenesis dan etiologi SLE5

Stimulus lingkungan apa pun dapat mempengaruhi SLE. Paparan sinar

ultraviolet menyebabkan suar SLE pada sekitar 70% pasien, mungkin dengan

meningkatkan apoptosis dalam sel kulit atau dengan mengubah DNA dan

protein intraseluler untuk membuatnya antigenik. Beberapa infeksi

menginduksi respon imun normal yang melibatkan sel T dan B tertentu yang

mengenali antigen sendiri; sel seperti itu tidak diatur dengan tepat, dan

produksi autoantibodi terjadi. Sebagian besar pasien SLE memiliki

autoantibodi selama 3 tahun atau lebih sebelum gejala penyakit pertama,

menunjukkan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimunitas selama

bertahun-tahun sebelum kuantitas dan kualitas autoantibodi dan sel B dan T

5
yang patogen menyebabkan penyakit klinis. Virus Epstein-Barr (EBV) dapat

menjadi salah satu agen infeksius yang dapat memicu SLE pada individu yang

rentan. Anak-anak dan orang dewasa dengan SLE lebih mungkin terinfeksi

oleh EBV daripada kontrol yang sesuai usia, jenis kelamin, dan etnis.5

Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi,

dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi

kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini

disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang

cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit

karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai

dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.5

Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan

cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan

molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi

di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi kematian sel dengan

ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak

merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan

sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya

terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai

penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak

penyakit.4,5

6
2.3 Gambaran Klinik Lupus Eritematosus Sistemik

Manifestasi Umum

Manifestasi klinik SLE sangat bervariasi tergantung sistem organ

dimana yang terlibat misalnya dari kulit, membrana mukosa, sendi, ginjal, otak,

paru, jantung, gastro intestinal, hematologic dan lain-lainnya. Pada kelainan

autoimun yang bersifat sistemik biasanya dijumpai kelainan konstitusional

seperti : cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat

badan, hal ini merupakan gejala awal atau bahkan komplikasi dari penyakitnya.

Terjadinya demam pada SLE karena dilepaskan pyrogen endogen yang

diproduksi oleh leukosit PMN dan monosit yang melepaskan berbagai sitokin

inflamasi seperti: TNF alpha, IL-1, IL-2, IL-6 dan interferon serta produksi asam

arakidonat, akhirnya prostaglandin E2 yang mempunyai efek pirogen langsung

pada pusat termoregulasi hipotalamus. Keluhan fatigue dan malaise sering

timbul bila keadaan penyakitnya masih aktif, penderita merasa cepat Lelah dan

tidak enak badan.4,6

Manifestasi pada Kulit

Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan

SLE, kejadiannya berkisar antara 80-90 kasus. Kelainan pada kulit dapat

dibagi menjadi kelainan yang bersifat spesifik dan kelainan yang bersifat non

spesifik. Kelainan yang bersifat spesifik dibagi menjadi kelainan yang bersifat

akut, kelainan sub akut, dan kelainan yang bersifat kronik. Pada kelainan yang

7
bersifat akut timbul rash atau ruam setelah terpapar sinar matahari dan rash

akan berkurang sampai menghilang setelah paparan sinar matahari dihindari.4

Pada lesi yang bersifat sub akut atau sering dikenal juga dengan istilah

SCLE (Sub acute Cutaneus Lupus Erithematosus) biasanya lesi bersifat

simetrik , superfisial dan tidak mengalami jaringan parut yang umumnya terjadi

pada daerah bahu, ekstensor ekstremitas atas bagian bawah (lengan bawah),

leher, dada sebelah atas dan punggung belakang. Lesi ini umumnya

bentuknya kecil, kemerahan dan bentuk papula atau plak yang sedikit menebal

kadang-kadang berbentuk squamosa kadang berbentuk cincin polikistik,

menjadi besar dan hipopigmentasi.4

Yang membedakan antara lesi sub akut dan kronik pada lesi sub akut

tidak terjadi jaringan parut. Pada lesi yang bersifat kronik seperti lupus discoid

memiliki ciri-ciri khusus, yaitu plak yang sering kali berwarna kemerahan

seolah-olah kulit menebal dan disertai folikel rambut. Kelainan pada kulit yang

kronik ini umumnya terjadi di daerah yang mudah terpapar dengan sinar

matahari secara langsung seperti pada muka, leher, kulit kepala dan belakang

telinga, sedangkan punggung atas agak jarang. Kelainan lesi SLE yang

bersifat spesifik antara lain: alopesia (kebotakan) dan profundus lupus yakni

lesi bentuk noduler dengan atau tanpa disertai dengan lesi kulit diatasnya.

Nodul sering dijumpai pada daerah kulit kepala, muka, tangan, dada,

punggung, paha serta daerah pantat.4

8
Manifestasi Kardiovaskular

Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional

dan terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi,

atau dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau

hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh

karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien

dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia,

atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati

dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditis trombotik nonifeksi

(Libman-Sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat

menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embolisasi.

Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering

ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering

tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada

sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang

namun seringkali fatal.5

Manifestasi Paru

Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan

efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun

sebagian lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi

9
parenkim paru, pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk,

hemoptisis, serta infiltrat paru jarang terjadi namun dapat membahayakan

hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul dengan atau tanpa pneumonitis

akut dan memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus

kronik dengan perubahan fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis paru

idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk.

Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka

panjang, miopati, atau fibrosis otot pernapasan, termasuk diafragma, dan

bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh

antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan gejala paru yang
3,4,5
tidak dapat dijelaskan.

Manifestasi Ginjal

Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum

keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama

sekali tidak menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif

difus agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan

temuan minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik;

sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer,

hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan

hipertensi, sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin,

10
dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin

serum dan uremia.5

Manifestasi Gastrointestinal

Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual,

khas untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun

merupakan komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal

atas berhubungan dengan terapi, yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait

glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang,

vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang,

pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit atau merupakan efek

pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan dengan hepatitis

noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun

melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan

oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan penggunaan

jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan hati


8
dengan peningkatan transaminase ringan.

Manifestasi Muskuloskeletal

Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan

sinovitis dan nyeri, bersifat non-erosif dan non-deforming. Atralgia atau artritis

11
biasa muncul pada awal penyakit dan merupakan gejala klinik tersering pada

penderita SLE aktif. Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi

glukokortikoid atau antimalaria, namun myositis dengan peningkatan enzim

otot jarang ditemukan dan biasanya merupakan gejala yang tumpang tindih.

Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur tendon dapat merupakan

komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis (nekrosisavaskular) dapat

disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya

terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia, dan talus. Artralgia

dan mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabkan

oleh penyakit, efek samping pengobatan, glucocorticoid with drawal syndrome,

endokrinopati, dan faktor psikogenik. Seringkali pada penderita lupus yang

berat mengenai sendi tangan yang dikenal sebagai Jaccoud artropati dengan

gejala mirip artritis rheumatoid seperti adanya swan neck deformity, hal ini

terjadi bukan karena adanya kerusakan sendi namun karena adanya

peradangan kapsul sendi, tendon dan ligament yang mengalami kekenduran

jaringan ikat sendi.4,6

2.4 Diagnosis SLE

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi

ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak

kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American

12
College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. Berdasarkan kriteria ACR,

diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang

terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. 2,7

13
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik2

14
Berdasarkan kriteria SLICC 2012, diagnosis SLE dapat ditegakkan jika

memenuhi 4 dari kriteria klinis dan imunologis atau memiliki biopsi terbukti

nefritis kompatibel dengan SLE dengan adanya ANA (antinuclear antibody)

dan antibodi anti-dsDNA [anti-double stranded DNA].2,7

Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada

kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka

dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.2

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis

dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali

bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid,

gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis

dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting.2

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki

sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis

bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis

lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang

diperlukan.2

15
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis
dan Monitoring

1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5.Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))

6. Foto polos thorax:

 Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk

monitoring.

 Setiap 3-6 bulan bila stabil.

 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time

Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu

pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien. 2

16
2.5 Pengelolaan SLE

Pengelolaan pasien SLE harus dilakukan secara komprehensif dengan

memperhatikan berbagai faktor seperti jenis organ yang terlibat clan derajat

berat ringannya. aktifitas penyakit, komorbiditas, dan komplikasi. Batasan

operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai digunakannya/

diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya

terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih

holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial.2,7

Tujuan

Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui

pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan

SLE adalah a). mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan

aktivitas penyakit seringan mungkin, c).mengurangi rasa nyeri dan memelihara

fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas

hidup yang optimal.2

Pilar Pengobatan

Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan

strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini

seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan

17
pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari

dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli

reumatologi.2

Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik

I. Edukasi dan konseling

II. Program rehabilitasi

III. Pengobatan medikamentosa

I. Edukasi / Konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan

dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu

dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien

memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau

mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar

matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi;

melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila

mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,

osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan

pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas

18
penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada

pasien SLE terlihat pada tabel.2

Tabel 2. Edukasi pada pasien SLE2

II. Program Rehabilitasi

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan

SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting

adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien

dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu.

Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari

dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan

kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin

diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau

spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical

nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien

dengan nyeri atau kekakuan otot.2

19
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan

program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:

1. Istirahat

2. Terapi fisik

3. Terapi dengan modalitas

4. Ortotik

5. Lain-lain.

III. Terapi Medikamentosa

Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta

pemantauannya.

 Kortikosteroid

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien

dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek

samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi

dan imunosupresi.

Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan

masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi

berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.

20
Tabel 3. Pembagian dosis kortikosteroid2

Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus

rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang.

Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi

dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis

luas, nephritis lupus, lupus cerebral.


Tabel 4. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid Pada Reumatologi2

21
- Efek Samping Kortikosteroid

Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,

dengan meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek

samping. Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian kortikosteroid

dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5. Efek Samping Yang Sering Ditemui Pada Pemakaian2


Kortikosteroid

- Cara Pemberian Kortikosteroid

Pulse Terapi Kortikosteroid

Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam

nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan

intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3

22
hari berturut-turut.2

Pengurangan dosis kortikosteroid

Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai

dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan

secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan

defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-

adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan

terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas

penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.2

Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg

sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti

dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari.

Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison

< 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol

aktivitas penyakit.2

Sparing agen kortikosteroid

Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan

menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat

yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat

23
mofetil, siklofosfami dan metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah

untuk mengurangi efek samping KS.2

 Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.

a. Pengobatan SLE Ringan

Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan

berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar

tujuan di atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan:

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan

pengelolaan nyeri dan inflamasi.

- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan

potensi ringan)

- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin

250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat

awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara

hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa

mata setiap 6-12 bulan.

- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.

24
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor

sekurang- kurangnya 15 (SPF 15).2

b. Pengobatan SLE Sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan

kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen

obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada.

Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara. 2

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan

obat- obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan

obat-obatan seperti dibawah ini:

 Glukokortikoid Dosis Tinggi

Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1

mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian

diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon


2
intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.

25
 Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa

digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,

mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus

serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan

antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil

pengobatan yang lebih baik.2

Bagan 1. Algoritme Penatalaksanaan Lupus2


Eritematosus Sitemik2

26
 Terapi Lain

Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE

mencakup:

- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5

hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik,

nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang

refrakter dengan terapi konvensional.

- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan

lupus serberitis.

- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.

- Danazol pada trombositopenia refrakter.

- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect

pada SLE ringan.

- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang

refrakter dengan obat lainnya.

- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE

yang berat.

- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas

stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini

belum tersedia di Indonesia)

27
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40

(CD40LmAb).

- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell. 2

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi Lupus di

Indonesia. 2017

2. Lupus Erithematosus Sistemik. Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna

Publishing. 2015

3. Yousef Taleb Gaafar AL-katheri, et al. Diagnosis and Management of

Systematic Lupus Erythematosus (SLE). The Egyptian Journal of Hospital

Medicine (Apr. 2017) Vol.67 (2), Page 672-678

4. Suntoko Bantar. Gambaran Klinik dan Diagnosis Lupus Eritematosus

SIstemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing.

2014

5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. USA: McGraw-Hill; 2015

6. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematous:

Pathogenesis, Clinical Manifestation and Diagnosis. Eular On-line Course on

Rheumatic Diseases – module no 17. 2007-2009

7. Lupus Eritemoatosus Sistemik. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit

Dalam, Panduan Praktik Klinis. Jakarta : Interna Publishing. 2017

8. Ginzler E, and Tayar J. American College of Rheumatology. 2012 American

College of Rheumatology. (Updated January 2012)

29

Anda mungkin juga menyukai