Anda di halaman 1dari 37

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur

2.1.1 Definisi

Tidur merupakan suatu keadaan bawah sadar yang terjadi berulang,

teratur, dan mudah reversibel yang ditandai dengan keadaan relatif tidak

bergerak, cenderung dengan postur klise dan dapat dibangunkan dengan

pemberian stimulus sensorik atau stimulus lainnya (Sadock, 2010; Benca et

al, 2005; Guyton dan Hall, 2006; Tortora dan Derrickson, 2011). Meskipun

tidur digambarkan sebagai ketidaksadaran relatif terhadap dunia luar, hal ini

tidak sama seperti orang yang tidak sadarkan diri, manusia biasanya

mengetahui bahwa dirinya mengantuk dan sadar bahwa dia belum tidur dalam

suatu waktu tertentu (Benca et al, 2005).

2.1.2 Tipe Tidur

Tidur terdiri dari dua keadaan fisiologis, yakni nonrapid eye movement

(NREM) dan rapid eye movement (REM) (Sadock, 2010). Dinamakan tidur

REM karena pada tidur tipe ini, sering terjadi aktivitas gerakan mata, disebut

juga tidur paradoksal karena gambaran EEG selama tidur REM hampir sama

dengan saat terjaga. Pada keadaan sangat mengantuk, setiap tidur REM

berlangsung sangat singkat atau bahkan tidak ada. Tidur REM biasanya

disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh, denyut jantung dan

1
pernafasan menjadi iregular dan cenderung tinggi, otak menjadi aktif

sedangkan tubuh dalam keadaan “tertidur” (Sadock, 2010; Guyton dan Hall,

2006). Tidur NREM atau tidur ortodoks digambarkan dengan penurunan

aktivitas EEG (Benca et al, 2005). Tahap tidur ini begitu tenang dan terjadi

penurunan tonus otot serta fungsi-fungsi vegetatif tubuh lain (Guyton dan

Hall, 2006). Denyut jantung secara khas melambat lima hingga sepuluh

denyut permenit (Sadock, 2010). Tekanan darah dan frekuensi pernafasan

cenderung menurun dengan beberapa variasi dari menit ke menit,

metabolisme basal juga menurun 10 hingga 30 persen (Sadock, 2010; Guyton

dan Hall, 2006).

2.1.3 Tahap Tidur

Keadaan dan tahapan tidur manusia ditetapkan berdasarkan pola

karakteristik dan skor visual yang diukur melalui tiga parameter yang disebut

polisomnogram: elektroensefalogram (EEG), elektrookulogram (EOG) dan

elektromiogram (EMG) (Cziesler, 2000; Akerstedt dan Nillson, 2003; Benca

et al, 2005;). Kriteria tersebut digambarkan oleh Allan Rechtschaffen dan

Anthony Kates pada 1968 yang kini diterima dalam praktek klinis dan

digunakan untuk penelitian diseluruh dunia (Tabel 1) (Benca et al, 2005).

Hal 281 textbook psikiatri sadock. Tabel dan gambar eeg

Saat terjaga, EEG menunjukkan aktivitas cepat dengan tegangan rendah

atau menunjukkan pola aktif. Gerakan mata disadari dan mata berkedip

2
dengan jelas. EMG menunjukkan aktivitas tonus otot yang meningkat,

ditambah aktivitas fasik yang berkaitan dengan gerakan sadar. Ketika mata

tertutup menjelang tidur, aktivitas gelombang alfa (8-13 hz) menjadi jelas

(Benca et al, 2005).

Tidur NREM terdiri dari 4 tahap (Czeisler et al, 1995; Ganong, xxxx;

Akerstedt dan Nillson, 2003; Benca et al, 2005; Sadock, 2005; Tortora dan

Derrickson, 2011). Tidur nokturnal normal pada orang dewasa menunjukkan

organisasi konsisten setiap malam (Harrison, 1995). Pada saat memasuki

tidur, tidur biasanya melewati stadium 1 dan 2, dan berada dalam stadium 3

dan 4 selama 70-100 menit (Ganong, xxxx;). Tidur kemudian menjadi lebih

dangkal dan kira-kira 90 menit setelah awitan timbul periode REM pertama,

REM tersebut berlangsung singkat sekitar 10 menit dan cenderung

merupakan periode REM paling singkat (Harrison, 1995; Sadock, 2004;).

Siklus NREM-REM ini berulang 3-5 kali dalam satu episode tidur dan

bergantian dengan siklus rata-rata 90-110 menit, pergantian ini disebut siklus

ultradian. Periode REM selanjutnya dapat berlangsung 15-40 menit, semakin

memanjang seiring larutnya malam dan bisa mencapai 50 menit pada siklus

terakhir. Ketika terjadi pemanjangan tidur REM, sebaliknya akan terjadi

pemendekan waktu tahap 3 dan 4 tidur NREM (Ganong, xxxx; Harrison,

1995; Tortora dan Derrickson, 2011).

Tidur NREM tahap I merupakan transisi dari keadaan terjaga, ditandai

dengan hilangnya pola alfa dan munculnya amplitudo rendah berkombinasi

dengan pola EEG dengan aktivitas gelombang theta yang nyata (3-7 hz), serta

3
tampak gelombang vertex yang tajam. Gerakan mata menjadi lambat dan

tonus otot mulai berkurang. Secara subjektif tahap I tidak bisa dipersepsikan

sebagai tidur, walaupun terjadi penurunan kesiagaan terhadap stimulus

sensori terutama visual, dan aktivitas mental menjadi seperti mimpi

(Harrison, 1995; Benca et al, 2005).

Beberapa menit setelah tahap I, tidur biasanya sedang menuju tahap II,

ditandai dengan kemunculan kompleks K (gelombang tajam negatif

beramplitudo tinggi yang diikuti gelombang lambat dan sleep spindles (12-14

hz) pada EEG. Tahap II dan tahap selanjutnya tidur NREM dan REM secara

subjektif dirasakan sebagai tidur “sebenarnnya”. Tahap II selanjutnya diikuti

oleh tahap III dan tahap IV. Gelombang EEG lambat (< 2 hz) muncul selama

tahap ini, gelombang < 4 hz disebut gelombang delta. 20 hingga 50 persen

gelombang lambat terjadi pada tahap III, dan lebih dari 50% pada tahap IV.

Gelombang lambat tersebut menyebabkan tahap III dan IV disebut slow wave

sleep (SWS) atau tidur dalam. Eye movement berhenti selama tahap II hingga

IV, dan selanjutnya terjadi pula penurunan aktivitas EMG (Harrison, 1995;

Benca et al, 2005).

Tidur REM tidak terbagi menjadi tahapan, namun cukup digambarkan

dengan komponen tonik atonia (persisten) dan fasik (episodik). Aspek tonik

REM meliputi gambaran EEG yang mirip dengan tahap I NREM, atonia total

otot rangka, kecuali otot-otot ekstraokular dan diafragma. Aspek fasik REM

meliputi letupan-letupan otot (twitches) (gambar 2) (Benca et al, 2005).

Gambar sadock textbook hal 282

4
Pada saat tidur REM, sebagian besar otak dalam keadaan aktif, terutama

hipokampus, amigdala, dan area proyeksi occipital. Menariknya, area

prefrontal tidak ikut serta didalamnya. Hal ini membuktikan bahwa secara

normal kita bermimpi selama tidur REM (meskipun mungkin ada mimpi yang

dilaporkan dari tahap lain), dan untuk mencegah aksi berlebihan dari mimpi

tersebut, sinyal eferen menuju otot diblokir sehingga memunculkan atonia

selama tidur REM (Akerstedt dan Nillson, 2003).

2.1.4 Organisasi Tidur Manusia (Tidur dan Usia)

Dewasa muda yang sehat menghabiskan sekitar 5% periode tidurnya pada

tahap I, sekitar 50% pada tahap II, dan 20-25% pada tahap III dan IV serta

tidur REM. Tahap III dan IV yang merupakan tidur dalam sangat menonjol

pada permulaan malam, dan semakin menurun seiring larutnya malam.

Semakin berkurangnya periode tidur dalam, maka makin panjang tidur REM

yang ditandai dengan bertambahnya aktivitas fasik dan mimpi yang lebih

intens (Benca et al, 2005).

Usia mempunyai pengaruh besar pada organisasi keadaan tidur. Hampir

50% waktu total tidur bayi adalah tidur REM dan persentase ini berbanding

terbalik seiring usia. Tidur REM menjadi sekitar 35% pada usia 2 tahun dan

menurun cepat menjadi 25% pada saat dewasa sampai usia lanjut dan

menjadi lebih konstan dibandingkan tidur tidur gelombang lambat (Czeisler,

2000; Tortora dan Derrickson, 2011, Ganong, xxxx).

5
Bayi baru lahir menghabiskan 16 sampai 18 jam dalam sehari untuk tidur.

Anak-anak menunjukkan presentase tertinggi dari tidur gelombang lambat,

sedangkan terjadi penurunan tidur gelombang lambat selama remaja.

Penurunan waktu tidur pada remaja kemungkinan berhbubungan dengan

perubahan kebiasaan yang menunjukkan penurunan kebutuhan tidur.

Penurunan total gelombang tidur lambat berlanjut hingga dewasa dan

mungkin menghilang saat memasuki umur 60 tahun. Tidur juga menjadi lebih

terbagi, dengan perpanjangan interval onset tidur, sering terbangun, dengan

lebih banyak waktu terbangun saat tidur, dan peningkatan tidur siang (Benca

et al, 2005).

2.1.4 Fungsi Tidur

Manusia menghabiskan sepertiga kehidupannya untuk tidur, namun

mengapa manusia membutuhkan tidur masih menjadi misteri (Benca et al,

2005; Sherwood, 2007). Sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa fungsi

tidur memberikan fungsi homeostatik yang bersifat menyegarkan dan tampak

penting untuk termoregulasi normal dan penyimpanan energi (Sadock, 2010).

Kehilangan tidur memicu terjadinya tekanan pada tidur, seperti

mengantuk, dan tidur sesaat yang terpotong-potong yang dapat menyebabkan

gangguan kognitif. Kehilangan tidur juga dapat diikuti dengan tidur yang

lebih panjang dan lebih intens. Jika manusia tidak tidur hingga beberapa

minggu, ini bisa menyebabkan hal fatal (Benca et al, 2005).

Banyak hipotesis yang menyebutkan tentang fungsi tidur, diantaranya:

6
(susah ngartikannya takut salah tulis hipotesis; hal 293 sadock textbook)

Keadaan siaga yang berkepanjangan sering dihubungkan dengan gangguan

proses berfikir yang progresif, dan kadang-kadang bahkan menyebabkan

perilaku yang abnormal. Kelambanan berfikir menjadi semakin bertambah

menjelang akhir periode siaga yang berkepanjangan, lalu menjadi lebih

mudah tersinggung, atau bahkan menjadi psikotik sesudah keadaan siaga

yang dipaksakan. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa tidur melalui

berbagai cara dapat memulihkan tingkat aktivitas normal dan homeostasis

dari berbagai bagian sistem saraf pusat (Guyton, 2007).

2.1.5 Keadaan Fisiologis Saat Tidur

Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi saat tidur membantu

menjelaskan efek tidur normal dan tidur yang terganggu terhadap kesehatan

(Benca et al, 2005; Tortora dan Derrickson, 2011). Beberapa parameter

fisiologis tubuh seperti respirasi, konsumsi oksigen, regulasi suhu,

keseimbangan hormon dan fungsi kardiovaskular berubah saat tidur (Loredo

et al, 2004).

Sistem Saraf Otonom

Selama tidur NREM, terdapat peningkatan aktivitas parasimpatis dan

penurunan aktivitas simpatis. Aktivitas sistem saraf otonom hampir mencapai

stabil selama tidur gelombang lambat dibandingkan pada saat terjaga

(Sadock, 2010; Tortora dan Derrickson, 2011).

Sistem Kardiovaskular

7
Tekanan darah, denyut jantung, dan cardiac output menurun selama tidur

NREM, mencapai rata-rata terendah dan terbawah pada tidur gelombang

lambat. Nilai masing-masing parameter tersebut menjadi rata-rata

dibandingkan dengan saat terjaga dan mencapai nilai puncak pada saat tidur

REM. Tekanan darah berangsur-angsur menurun dan tetap rendah selama

awitan tidur hingga menjelang terjaga, dan pada saat terjaga dengan segera

tekanan darah akan meningkat (Kario et al, 2000 >>.gangswich).

Pada saat tidur, secara normal tekanan darah dan denyut jantung turun 10-

20% pada pasien normotensi dan hipertensi. Penurunan tekanan darah ini

dikenal dengan istilah dipping. Namun, sebagian individu tidak menunjukkan

terjadi dipping selama tidur (nondipping) dan sebagian menunjukkan terjadi

peningkatan tekanan darah selama tidur (reverse dippers). dipping dianggap

sebagai proses restorasi fungsi fisiologis tubuh, sebaliknya individu

nondipping beresiko tinggi hipertensi. Prevalensi nondippers yang tinggi

menggambarkan prevalensi subjek dengan hipertensi esensial, sensitivitas

sodium, gagal ginjal kronik, obstructive sleep apnea, Cushing’s syndrome

dan disfungsi sistem saraf otonom (Loredo et al, 2004). Kehilangan tidur

menyebabkan peningkatan tekanan darah dan aktivitas sistem saraf simpatis

secara signifikan (Meng et al, 2013).

TANYA:

DURASI TIDUR DENGAN TEKANAN DARAH LETAK DIMANA? DISINI


ATAU DI FAKTOR2 YANG MEMPENGARUHI TEKANAN DARAH ATAU
2.3 HUBUNGAN DURASI TIDUR DENGAN TEKANAN DARAH?

8
Aritmia juga lebih cenderung muncul saat tidur REM, yang berkontribusi

meningkatkan mortalitas kardiovaskular pada waktu subuh yang merupakan

waktu dengan tidur REM terbanyak (Sadock, 2010).

Sistem respirasi

Temporary breathing instability or periodic, or both, may occur at the

onset of sleep related to the loss of waking-relate respiratory drive, as well as

a decreased sensitivity of central chemoreceptors to partial pressure of carbon

dioxide (PCO2); sensitivity to PCO2 declines further during REM sleep,

along with a decrease in the ventilatory response to reduced partial pressure

of oxygen (PO2). Respiratory rate dan minute ventilation menurun selamat

tidur dan upper airway resistance meningkat sebagai efek dari relaksasi otot,

terutama saat tidur REM. Perubahan ini berkontribusi untuk terjadinya

eksaserbasi yang mendasari penyakit pulmonar, seperti gangguan bernafas

saat tidur (sleep apnea) (Sadock, 2010).

Termoregulasi

Otak dan suhu tubuh mengalami penurunan regulasi selama tidur NREM,

terutama tidur gelombang lambat, sebagai hasil penurunan set point suhu di

hipotalamus, seperti kehilangan panas yang aktif. (sleep has direct effects of

thermoregulation. Brain and body temprature are downregulated during

NREM sleep, particulary SWS, as a result of a decrease hypothalamic

temperature set point, as welll as acitve heat loss). Manusia umumnya

mengalami fenomena ini ketika pergi tidur merasa dingin dan bangun

beberapa jam kemudian untuk melepaskan selimutnya karena merasa

9
kepanasan. Selama tidur REM, terdapat penurunan kemampuan untuk

meregulasi suhu tubuh melalui berkeringat dan menggigil (Sadock, 2010).

Neuroendokrin

Pada orang dewasa growth hormone (GH) dilepas pertama kali selama

awal malam dan pelepasan ditingatkan oleh tidur gelombang lambat dan

penurunan REM. Tidur juga menstimulasi sekresi prolaktin, memuncak

setelah GH, biasanya selama pertengahan malam, meningkat selama tidur

REM. sebaliknya, thyroid stimulating homone (TSH) mencapai puncaknya

sebelum tidur dimulai, TSH dihambat oleh tidur dan keberadaannya

distimulasi oleh hilangnya tidur. Aksis hypothalamic-pituitary-adrenal

(HPA) biasanya lebih sering dalam keadaan tidak aktif atau menurun pada

awitan tidur malam, namun pada pertengahan malam aksis HPA

mendominasi sedangkan sekresi GH tidak tampak. Awitan tidur juga

menginhibisi pelepasan kortisol, namun kortisol dan adenocorticotropic

hormone (ACTH) meningkat pada akhir periode tidur, beberapa saat sebelum

bangun, dan sepertinya berkontribusi dalam kegiatan bangun pagi. Gangguan

tidur yang berat dan kehilangan tidur memiliki gambaran yang signifikan

pada sistem endokrin; contohnya, pasien dengan obstruktive sleep apnea

menunjukkan penurunan level GH dan prolaktin, dan kehilangan tidur

mengakibatkan teraktivasi aksis HPA pada keesokan malam (Akerstedt dan

Nillson, 2003; Sadock, 2010).

Sekresi melatonin dimediasi oleh kombinasi dari kontrol sirkardian dan

efek siklus terang-gelap. Melatonin hanya bisa diproduksi pada malam hari

10
karena gelap, gelap pada siang hari tidak menstimulasi sekresi melatonin,

walaupun fungsi melatonin pada manusia belum secara jelas diketahui

(Sadock, 2010). Pemberian melatonin terbukti dapat menurunkan kejadian

hilangnya tidur (????????).

Fungsi seksual

Salah satu karakteristik tidur REM pada pria adalah ereksi penis (Sadock,

2010). Hal ini diduga karena terjadi peningkatan aktivitas parasimpatis

walaupun pria tersebut tidak bermimpi yang berkaitan dengan hal seksual.

Kejadian ereksi penis selama tidur REM pada pria dengan disfungsi ereksi

mengindikasikan bahwa masalah pria tersebut lebih kearah psikologik

dibandingkan fisik (Sadock, 2010; Tortora dan Derrickson, 2011).

2.2 Gangguan Tidur

CARI:

KLASIFIKASI GANGGUAN TIDUR MENURUT INTERNATIONAL

SLEEP DISORDER CLASSIFICATION

Kebutuhan tidur tiap orang berbeda-beda. Banyak orang adalah penidur

panjang (long-sleeper) yang memerlukan tidur 9 hingga 10 jam tidur di malam

hari dan yang lainnya adalah penidur pendek (short-sleeper). Meskipun demikian

yang menarik adalah studi tahun 2002 pada lebih dari 1 juta laki-laki dan

perempuan yang menunjukkan bahwa orang yang tidur lebih dari 8,5 jam setiap

malam atau kurang dari 3,5 jam memiliki angka mortalitas 15 persen lebih besar

daripada mereka yang rata-rata tidur 7 jam setiap malam (Sadock, 2010).

11
2.2.1 Disomnia

Menurut PPDGJ ke-III, disomnia adalah kondisi psikogenik primer

dimana gangguan utamanya adalah jumlah, kualitas atau waktu tidur yang

disebabkan oleh hal-hal emosional, misalnya: insomnia, hipersomnia,

ganggun jadwal tidur jaga.

Insomnia

Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur (Sadock,

2010). Menurut Czeisler (1999) insomnia merupakan keluhan tidur yang

tidak adekuat; insomnia diklasifikasikan berdasarkan sifat gangguan tidur

yang memberikan informasi penting mengenai etiologi insomnia yang

mungkin dan juga sentral terhadap seleksi pengobatan sesuai dan spesifik.

Ganong (xxxx) menyebutkan bahwa insomnia dapat didefiniskan sebagai

masalah subjektif mengenai tidur yang tidak cukup atau tidak memulihkan

kesegaran walaupun terdapat kesempatan tidur yang cukup, dan pernah

terjadi pada hampir semua orang dewasa.

Insomnia dapat dibagi menjadi tidur sulit (insomnia awitan tidur), sering

terbangun (insomnia pertahanan tidur) atau tidur persisten walaupun tidur

lama adekuat (tidur nonrestoratif). Keluhan insomnia yang berlangsung satu

sampai beberapa malam (dalam episode tunggal) disebut insomnia transien.

Insomnia transien secara tipikal merupakan hasil stres situasional atau

perubahan jadwal kerja atau lingkungan (jetlag). Insomnia jangka pendek

berlangsung dari beberapa hari sampai tiga minggu. Insomnia kronik atau

jangka lama berlangsung selama beberapa bulan atau tahun dan sering

12
merefleksikan efek psikiatrik atau kondisi medis kronik lain, bisa juga timbul

sebagai insomnia rekuren (Czeisler et al, 1999).

Satu periode singkat insomnia seringkali disebabkan ansietas, baik sebagai

gejala sisa suatu pengalaman yang mencemaskan atau antisipasi pengalaman

yang mencetuskan ansietas (contoh; ujian atau wawancara pekerjaan yang

akan berlangsung). Pada beberapa orang insomnia sementara jenis ini dapat

disebabkan berkabung, kehilangan, atau nyaris semua perubahan kehidupan

maupun stres (Sadock, 2010).

Insomnia menetap adalah kelompok keadaan yang cukup lazim ditemukan

dengan masalah paling sering adalah kesulitan jatuh tertidur bukannya untuk

menetap mempertahankan tidur. Mereka mungkin tidak mengalami ansietas

tetapi melepaskan ansietasnya melalui saluran fisiologis; mereka terutama

dapat mengeluhkan perasaan gelisah atau fikiran yang mendalam dan

tampaknya membuat mereka tetap terjaga. Istilah primer menunjukkan bahwa

insomnia bebas dari adanya gangguan fisik atau psikologis (Sadock, 2010).

Kriteria diagnostik Insomnia primer kaplan sadock 341

Pedoman diagnostik Insomnia non-organik menurut PPDGJ ke-III yaitu:

Gambar ppdgj hal 93

Hipersomnia

Hipersomnia tampak sebagai tidur yang berlebihan, rasa mengantuk di

siang hari yang berlebihan, atau kadang-kadang keduanya. Keluhan

hipersomnia jauh lebih jarang dibandingkan dengan keluhan insomnia,

13
namun jarang klinisi yang menyadari keluhan tersebut. Narkolepsi hanyalah

suatu keadaan yang dikenal menimbulkan hipersomnia (Sadock, 2010).

Kriteria diagnostik hipersomnia primer DSM-IV

Kriteria diagnostik Insomnia primer kaplan sadock 341

Pedoman diagnostik hipersomnia non-organik yaitu:

Hal 93 ppdgj

Narkolepsi

Narkolepsi terdiri atas rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari serta

manifestasi abnormal tidur REM yang terjadi setiap hari selama sedikitnya

tiga bulan (Sadock, 2010).

Sleep apnea

Sleep apnea mengacu pada penghentian udara pada hidung atau mulut

berlangsung selama 10 detik atau lebih.

Restless legs syndrome

Pada sindrom ini , penderita merasakan sensasi dalam berupa adanya rasa

merayap dalam betis baik saat duduk maupun tidur. Disestesia ini jarang

menimbulkan rasa nyeri tapi merupakan penderitaan berat dan menyebabkan

dorongan yang hampir tidak dapat ditahan untuk menggerakkan tungkai

(Sadock, 2010).

2.2.2 Parasomnia

Menurut PPDGJ ke-III, parasomnia adalah peristiwa episodik abnormal

yang terjadi selama tidur; (pada kanak-kanak hal ini terkait terutama dengan

14
perkembangan anak, sedangkan pada dewasa terutama pengaruh psikogenik)

misalnya: somnambulisme (sleepwalking), teror tidur (sleep terrors), mimpi

buruk (nightmares). Parasomnia biasanya terjadi pada tahap tidur 3 dan 4

sehingga dikaitkan ingatan buruk mengenai gangguan ini (Sadock, 2010).

Somnambulisme

Gangguan ini terdiri atas rangkaian perilaku kompleks yang diawali pada

sepertiga pertama malam selama tidur NREM yang dalam (tahap 3 dan 4) dan

sering, meskipun tidak selalu, dilanjutkan tanpa kesadaran penuh atau ingatan

mengenai episode tersebut unuk meninggalkan tempat tidur dan berjalan

berkeliling (Sadock, 2010).

Teror tidur

Gangguan ini disebut juga pavor nocturnus, terjadi primer pada remaja

selama beberapa jam pertama setelah awitan tidur, pada NREM stadium 3

dan 4 (Czeisler et al, 1999). Gangguan ini hampir selalu diawali dengan

jeritan atau tangisan pilu dan disertai manifestasi perilaku ansietas hebat yang

hampir mendekati panik (Sadock, 2010).

Mimpi buruk

Mimpi buruk adalah mimpi yang lama dan menakutkan yang membuat

orang terbangun dengan rasa ketakutan. Seperti mimpi lain, mimpi buruk

hampir selalu terjadi selama tidur REM dan setelah periode REM yang

panjang di akhir malam (Sadock, 2010).

15
2.3 Hipertensi

2.3.1 Definisi

Hipertensi merupakan keadaan yang ditandai dengan ditemukannya

tekanan darah sistolik >140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90

mmHg (Sutters, 2012; Mancia dan Grassi, 2005; Mancia et al, 2013; Kumar

et al, 2007; Blumenfeld dan Laragh, 2004; Krousel-Wood dan Oparil, 2012)

atau sedang mengkonsumsi obat-obatan hipertensi (Krousel-Wood dan

Oparil, 2012).

2.3.2 Etiologi

Hipertensi dikelompokkan dalam 2 kategori besar, yaitu hipertensi

esensial (primer) dan sekunder. Hipertensi esensial adalah hipertensi yang

belum diketahui penyebabnya secara jelas. Sedangkan hipertensi sekunder

adalah hipertensi yang penyebabnya sudah diketahui dengan pasti (Suiraoka,

2012).

a. Hipertensi esensial

Hipertensi esensial disebut juga hipertensi primer atau idiopatik (Gray

et al, 2005), dan hampir 90-95% kasus hipertensi merupakan hipertensi

esensial (Mancia dan Grassi, 2005; Sutters, 2012; Kumar et al, 2007;

Fisher dan Williams, 2005). Kenaikan tekanan darah pada pasien

hipertensi esensial kemungkinan dihasilkan dari interaksi yang kompleks

antara multipel genetik dan faktor lingkungan (Sutters, 2012). Pasien

16
didiagnosis dengan hipertensi esensial hanya jika penyebab-penyebab lain

hipertensi telah dieksklusikan (Blumenfeld dan Laragh, 2004).

Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular,

sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat,

resistensi vaskular bertambah, atau keduanya. Meskipun mekanisme yang

berhubungan dengan penyebab hipertensi melibatkan perubahan-

perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui

beberapa tahun setelah kecendrungan kearah sana dimulai. Pada saat

tersebut, beberapa mekanisme fisiologis sebagai kompensasi sekunder

telah dimulai sehingga kelainan dasar curah jantung atau resistensi perifer

tidak diketahui dengan jelas. Pada hipertensi yang baru, curah jantung

cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi

juga menyebabkan penebalan dinding arteriol, mungkin sebagian

diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi vaskular

dan vasokonstriksi (insulin, katekolamin, angiotensis, hormon

pertumbuhan), sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadi

kenaikan tekanan darah (Gray et al, 2005).

Kesulitan menemukan mekanisme yang jelas pada hipertensi esensial

berkaitan dengan berbagai macam sistem yang terlibat dalam regulasi

tekanan darah: ginjal, hormonal, dan vaskular (Fisher dan Williams,

2005). Kemungkinan terdapat kerjasama macam-macam faktor yang

mungkin berbeda pada tiap individu (Gray et al, 2005). Sistem ini juga

berkaitan dengan mekanisme kompleks, dengan input dari multipel gen.

17
Telah dijelaskan berbagai abnormalitas pada pasien hipertensi esensial,

bahkan telah ditegaskan bahwa satu atau lebih dari mereka berhubungan

dengan hipertensi (Fisher dan Williams, 2005).

Perbedaan antara hipertensi esensial dan sekunder menjadi kurang

jelas, serta pendekatan diagnosis dan terapi pada keduanya juga telah

dimodifikasi. Sebagai contoh, ketika pasien pada grup hipertensi esensial

terpisah menjadi subgrup yang nyata (contoh: low-renin essential

hypertension), pasien tidak akan diklasifikasikan pada hipertensi

sekunder, tapi tetap berada pada grup hipertensi esensial (Fisher dan

Williams, 2005).

Pemahaman terbaik mengenai peran faktor endogen dan lingkungan

dengan tekanan darah adalah sebagai berikut:

Genetik

Dibanding orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat lebih

banyak menderita hipertensi, dengan tingkat hipertensi yang lebih

tinggi serta angka morbiditas dan mortalitas yang lebih besar,

sehingga diperkirakan ada kaitan hipertensi dengan perbedaan genetik.

Beberapa peneliti mengatakan terdapat kelainan pada gen

angiotensiogen tetapi mungkin dengan mekanisme yang poligenik

(Gray et al, 2005).

Hiperaktivitas simpatis

Kebanyakan ditemukan pada hipertensi usia muda, memperlihatkan

takikardi dan peningkatan curah jantung. Insensitivitas baroreseptor

18
memainkan peran pada genesis hiperaktivitas adrenergik.

Katekolamin akan memacu produksi renin, menyebabkan kontriksi

arteriol dan vena serta meningkatkan curah jantung (Gray et al, 2005;

Sutters, 2012).

Salt-sensitivity

Faktor lingkungan memberikan dampak yang besar pada asupan

garam. Bahkan faktor ini menggambarkan heterogenitas alamiah

populasi hipertensi esensial, walaupun hanya sekitar 60% pasien

hipertensi yang berespon terhadap level asupan sodium (Fisher dan

Williams, 2005).

Aktivitas renin

Renin adalah enzim proteolitik yang disekresikan oleh sel

juxtaglomerular ginjal yang bekerja untuk menurunkan tekanan

perfusi ginjal, mengurangi volue intravaskular, sirkulasi katekolamin,

meningkatkan aktivitas saraf simpatis, meningkatkan elastisitas

arteriol, dan efek hipokalemia. Renin bekerja pada angiotensinogen

untuk membentuk angiontensin I. Angiotensin I oleh angiotensin-

converting-enzyme (ACE) membentuk angiotensin II yang merupakan

vasokonstriktor dan stimulan untuk sekresi aldosteron oleh kelenjar

adrenal (Sutters, 2012).

Meskipun renin berperan dalam regulasi tekanan darah, tapi renin

tidak memainkan peran utama dalam patogenesis hipertensi esensial.

hanya 10% pasien yang memiliki aktivitas tinggi-renin, 60% pada

19
level normal, dan 30% pada level yang rendah (Sutters, 2012).

Aktivitas renin pada pasien hipertensi disebabkan efek homeostatik

dan mekanisme umpan balik karena kelebihan beban volume dan

peningkatan TD dimana keduanya diharapkan akan menekan produksi

renin (Gray et al, 2005).

Sodium-Klorida-Kalsium

Banyak penelitian yang menyatakan peran garam terhadap proses

hipertensi, penurunan tekanan darah juga dikatakan dapat diperoleh

dengan mengurangi konsumsi garam (Gray et al, 2005; Fisher dan

Williams, 2005). mengasumsikan bahwa ion sodium penting,. Tapi,

ion klorida sama pentingnya. Hal ini dibuktikan dalam penelitian

dengan memberikan garam sodium bebas-klorida pada binatang

dengan salt-sensitive hipertensi gagal meningkatkan tekanan darah

(Fisher dan Williams, 2005).

Kalsium juga berimplikasi dalam patogenesis hipertensi esensial.

Asupan rendah-kalsium berhubungan dengan peningkatan tekanan

darah pada studi epidemiologi. Pada akhirnya, calcium channel

blocker efektif sebagai terapi antihipertensi (Fisher dan Williams,

2005).

Hiperinsulinemia

Hiperinsulinemia telah diketahui sejak beberapa tahun silam berkaitan

dengan hipertensi terutama pada obesitas (Gray et al, 2005).

20
Defek memban sel

Diasumsikan adanya abnormalitas pada transpor sodium pada

membran sel, terjadi pada banyak tempat, atau bahkan mungkin

seluruh sel tubuh., terutama sel otot polos pembuluh darah. Defek ini

mengakibatkan akumulasi abnormal kalsium pada otot polos

pembuluh darah, sehingga menghasilkan peningkatan respon

pembuluh darah terhadap agen vasokonstriktor (Fisher dan Williams,

2005).

Disfungsi sel endotel

Penderita hipertensi mengalami perubahan respon vasodilatasi

terhadap nitrat oksida, dan endotel seharusnya mengandung

vasodilator seperti endotelin-I, namun kaitannya dengan hipertensi

masih belum begitu jelas (Gray et al, 2005).

b. Hipertensi sekunder

Hanya sebagian kecil minoritas pasien dengan peningkatan tekanan

darah arterial bisa teridentifikasi penyebab spesifiknya (Fisher dan

Williams, 2005), yaitu sekitar 5-10% dari seluruh kejadian hipertensi

bisa diketahui penyebabnya ini disebut dengan hipertensi sekunder

(Blumenfeld dan Laragh, 2004; Gray et al, 2005; Mancia dan Grassi,

2005; Suiraoka, 2012; Sutters, 2012).

Hipertensi sekunder seharusnya didiagnosa pada pasien dengan

hipertensi yang berkembang pada umur diatas 50 tahun. Penyebab

21
meliputi penyakit parenkim ginjal, penyakit ginjal vaskular, Cushing’s

syndrome, feokromasitoma, koartasio aorta, hipertensi berkaitan

dengan kehamilan, penggunaan estrogen, hiperkalsemia, dan

pengobatan (Sutters, 2012).

Penyakit parenkim ginjal

Merupakan penyebab terbanyak hipertensi sekunder (Sutters,

2012). Setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis,

pielonefritis) yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal akan

cenderung menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan

mengakibatkan kerusakan ginjal (Gray et al, 2005). Kebanyakan

kasus berhubungan dengan peningkatan volume intravaskular atau

peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron (Sutters, 2012).

Penyakit renovaskular

Stenosis arteri renalis ditemukan pada 1-2% pasien hipertensi,

terjadi terutama pada 2/3 bagian distal. Banyak ditemukan pada

individu usia muda sehingga menyebabkan terjadinya

fibromuskular displasia, terutama pada wanita dibawah 50 tahun.

Sisanya merupakan aterosklerosis pada arteri renalis, terutama yang

mempengaruhi sepertiga bagian proksimal arteri renalis dan paling

sering terjadi pada usia lanjut (Gray et al, 2005; Sutters, 2012).

Endokrin

Pertimbangkan aldosteronisme primer (Sindrom Conn) jika

terdapat hipokalemia bersama hipertensi. Tingginya kadar

22
aldosteron dan renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan

natrium dan air. Biasanya disebabkan adenoma jink soliter atau

hiperplasia adrenal bilateral. Diagnosis dibantu dengan komputer

tomografi (CT) atau pencitraan resonansi magnetik (MR) (Gray et

al, 2005).

Cushing syndrome

Hipertensi terjadi pada sekitar 80% pasien dengan Cushing’s

syndrome spontan (Sutters, 2012). Perlu dicurigai jika terdapat

hipertensi bersama dengan obesitas, kulit tipis, kelemahan otot, dan

osteoporosis (Gray et al, 2005).

Feokrositoma

Feokrositoma jarang ditemukan, mungkin hanya <0,1% kejadian

pada pasien hipertensi dan kira-kira dua individu per satu juta

populasi (Sutters, 2012). Feokrositoma dicurigai jika tekanan darah

berfluktuasi tinggi, disertai takikardi, berkeringat, atau edema paru

karena gagal jantung (Gray et al, 2005).

Koartasio aorta

Menjadi penyebab yang jarang (Sutters, 2012). Vasokonstriksi

arteri sistemik dapat terjadi karena stimulasi sistem renin-

angiotensin (karena tekanan perfusi arteri renalis rendah) dan

hiperaktivitas simpatis (Gray et al, 2005; Fisher dan Williams,

2005)

Kehamilan

23
Hipertensi pada kehamilan terjadi sampai 10% pada kehamilan

pertama, lebih sering pada ibu muda, diperkirakan karena aliran

uteroplasental yang kurang baik (Gray et al, 2005). Termasuk

didalamnya preeklampsia dan eklampsi yang merupakan penyebab

paling sering morbiditas dan mortalitas maternal maupu fetal

(Sutters, 2012).

Penggunaan estrogen

Peningkatan sedikit tekanan darah terjadi pada wanita yang

mengkonsumsi kontrasepsi oral. Peningkatan yang signifikan diatas

140/90 mmHg terjadi pada 5% wanita, kebanyakan pada individu

obesitas diatas 35 tahun yang telah mengkonsumsi kontrasepsi oral

lebih dari 5 tahun. Pada 50% tekanan darah akan kembali normal

setelah 3-6 bulan penghentian pil). Estrogen postmenopause tidak

sepenuhnya menyebabkan hipertensi, tetapi lebih utama pada

vasodilatasi endotelium-termediasi. Penggunaan estrogen

pascamenopause bersifat kardioprotektif dan tidak meningkatkan

tekanan darah (Gray et al, 2005; Sutters, 2012).

2.3.3 Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah

atau hipertensi adalah :

Faktor risiko yang tidak dapat dirubah atau dikontrol:

1. Riwayat keluarga

24
Riwayat keluarga dengan hipertensi secara frekuen muncul pada

pasien hipertensi. Dengan heritabilitas berkisar antara 35% hingga

50% pada kebanyakan studi (Mancia et al, 2013). Dari hasil

pwnelitian, diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua

yang salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut

mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada

orang yang kedua orang tua memiliki tekanan darah normal. Namun

demikian, bukan berarti bahwa semua yang mempunyai keturunan

hipertensi pasti akan menderita hipertensi (Suiraoka, 2012).

2. Jenis kelamin

Pada umumnya pria lebih sering menderita hipertensi dibandingkan

dengan wanita. Wanita premenopause memiliki risiko penyakit

kardiovaskular lebih kecil dibanding pria dengan usia yang sama.

Hal ini disebabkan pria banyak mempunyai faktor yang mendorong

terjadinya hipertensi seperti kelelahan, perasaan kurang nyaman

terhadap pekerjaan, pengangguran, pola hidup dan makan tidak

terkontrol. Namun demikian, setelah menopause, risiko wanita

terhadap masalah ini mulai meningkat dengan signifikan disebabkan

karena faktor hormonal ((Fox-spencer dan Brown, 2007; Suiraoka,

2012).

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 40% kasus

hipertensi pada wanita postmenopause dan 10% kasus pada wanita

premenopause. Penjelasan yang mungkin untuk menjelaskan hal ini

25
adalah karena terjadi peningkatan berat badan atau ketergantungan

estrogen pada wanita postmenopause (Kauffman, 2005).

3. Umur

Dengan semakin bertambahnya usia, kemungkinan seseorang

menderita hipertensi juga semakin besar. Hilangnya elastisitas

pembuluh darah adalah penyebab hipertensi utama pada usia tua

(Suiraoka, 2012).

Studi Framingham menyebutkan bahwa perubahan umur

berhubungan dengan tekanan darah pada pasien normotensi dan

pasien hipertensi yang tidak diobati. Investigasi ini menemukan

bahwa terjadi peningkatan linear tekanan darah sistolik pada umur

30 – 84 tahun, bersamaan dengan peningkatan tekanan darah

diastolik dan mean arterial pressure. Setelah umur 50-60 tahun,

mulai terjadi penurunan tekanan darah sistolik yang kemudian

menghasilkan peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan

darah ini bergantung pada individu masing-masing, individu dengan

tekanan darah diastolik normal-tinggi (85-89 mmHg) berpotensi dua

hingga tiga kali risiko hipertensi dibanding individu dengan tekanan

darah diastolik normal (<85 mmHg). Keterlambatan penurunan

tekanan darah diastolik setelah umur 60 tahun serta peningkatan

tekanan darah sistolik berkelanjutan merefleksikan kekakuan

pembuluh darah pada usia tua (Kauffman, 2005).

4. Ras

26
Prevalensi hipertensi pada ras hitam lebih dominan dibanding Afircan-

Americans dan Caucasians, hal ini disebabkan karena perbedaan

indeks masa tubuh dimana ras kulit hitam lebih banyak mengalami

obesitas dan kurangnya aktivitas fisik yang adekuat, selain itu juga

disebabkan karena rendahnya ambilan potasium dan kalsium serta

peningkatan sensitivitas garam. Pada Hispanics, prevalensi hipertensi

sedikit lebih rendah dibanding Caucasian American (Kauffman, 2005).

Faktor-faktor risiko yang dapat diperbaharui atau dikendalikan

diantaranya:

1. Obesitas

Dari hasil penelitian, diungkapkan bahwa orang dengan obesitas

berisiko tinggi terkena hipertensi. Wanita yang sangat gemuk pada usia

30 tahun mempunyai risiko terserang hipertensi 7 kali lipat

dibandingkan dengan wanita dengan berat badan normal pada usia

yang sama (Suiraoka, 2012).

Pada wanita, peningkatan berat badan berbanding lurus dengan

peningkatan risiko terjadinya hipertensi. Studi yang dilakukan pada

pasien obesitas, tekanan darah dapat dikontrol dengan baik pada 35%

orang yang melakukan penurunan berat badan sebanyak 10 pounds,

dibandingkan dengan 16% yang tidak melakukan penurunan berat

badan. Bagaimanapun, terdapat variasi respon tekanan darah pada

27
masing-masing individu terhadap penurunan berat badan (Blumenfeld

dan Laragh, 2004).

2. Konsumsi garam berlebih

Lebih dari 30 tahun yang lalu, Dahl dan Heine telah meneliti hubungan

peningkatan konsumsi garam dengan peningkatan tekanan darah,

artinya terdapat hubungan yang linear antara tekanan darah dan

konsumsi garam sehari-hari pada manusia (Kauffman, 2005).

Memang, bukti yang mengaitkan tingkat asupan garam harian dengan

prevalensi hipertensi cukup mengesankan. Selain itu, pada hipertensi

esensial maupun sekunder, asupan natrium berlebihan memperparah

penyakit (Kumar et al, 2004). Populasi dengan ambilan garam <50

mmol/hari diketahui memiliki tekanan darah yang rendah. Pembatasan

konsumsi garam secara signifikan menurunkan tekanan darah pada

pasien hipertensi, biasanya >10mmHg (Kauffman, 2005).

3. Merokok dan mengkonsumsi alkohol

Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan kesehatan,

selain dapat meningkatkan penggumpalan di pembuluh darah, nikotin

dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah

(Suiraoka, 2012).

Konsumsi alkohol lebih dari 3 gelas alkohol standar perhari dapat

meningkatkan dua kali risiko terjadinya hipertensi. mekanisme ini

belum cukup jelas, namun diduga peningkatan tekanan darah terjadi

karena aktivasi sistem saraf simpatis. Dikatakan juga bahwa konsumsi

28
alkohol dapat meningkatkan sintesis katekolamin yang dapat memicu

peningkatan tekanan darah (Kauffman, 2005; Suiraoka, 2012).

4. Kurang olahraga

Orang yang kurang aktif berolahraga pada umumnya mengalami

kegemukan dan dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan olahraga

kita dapat meningkatkan kerja jantung, sehingga darah dapat dipompa

dengan baik keseluruh tubuh (Suiraoka, 2012).

5. Stres

Dalam keadaan stres maka terjadi respon sel-sel saraf yang

mengakibatkan kelainan pengeluaran atau pengangkutan natrium.

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap.

Stres yang terjadi secara berkepanjangan akan mengakibatkan tekanan

darah terus dalam keadaan tinggi (Suiraoka, 2012).

2.3.4 Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah diukur menggunakan sfigmomanometer. Manset

setidaknya harus melingkari 80% dari lingkar lengan. Pengukuran seharusnya

dilakukan setelah pasien beristirahat dengan nyaman, duduk dengan sandaran

atau pada posisi supine, pemeriksaan dilakukan setelah pasien beristirahat

setidaknya 5 menit dan 30 menit setelah mengkonsumsi kopi atau rokok

(Sutters, 2012).

29
2.3.5 Klasifikasi

Beberapa panduan mengusulkan organisasi yang berbeda mengenai

hipertensi. Salah satu panduan terbaru mengenai hipertensi diusulkan pada

2013 Guidelines of the European Societyy of Hypertension (ESH)/ European

Society of Cardiology (ESC). Panduan ini tidak mengalami perubahan dari

panduan 2003 dan 2007 ESH/ESC (Mancia dan Grassi, 2005; Mancia et al,

2013). Tekanan darah ditetapkan berdasarkan rata-rata hasil dua atau lebih

pengukuran pada dua atau lebih kunjungan klinis setelah kunjungan pertama

(Fisher dan Williams, 2005)

Tabel xxxxx. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut ESH/ESC

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Optimal <120 dan <80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi tingkat I 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi tingkat II 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi tingkat III >180 dan/atau >110
Hipertensi sistolik isolasi >140 dan <90
(Sumber: Mancia et al, 2013)

Klasifikasi ini digunakan untuk umur >18 tahun yang tidak mengkonsumsi

antihipertensi. Ketika tekanan darah sistolik dan diastolik berada pada

kategori yang berbeda, maka kategori yang lebih tinggi digunakan sebagai

klasifikasi tekanan darah pada individu tersebut (ESH/ESC 2003).

Tabel xxxxx. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 (>18 tahun)

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi tingkat I 140-159 atau 90-99
Hipertensi tingkat II >160 Atau >100
(Sumber: Sutters, 2012)

30
2.3.6 Regulasi Tekanan Darah dan Hipertensi

Berbagai faktor risiko menimbulkan berbagai mekanisme terjadinya

hipertensi, dimulai dari asupan garam yang tinggi, stres, obesitas, maupun

faktor-faktor intrinsik seperti aktivitas berlebih saraf simpatik, sistem otokrin

dan lain-lain. Mekanisme terjadinya hipertensi merupakan penyimpangan dari

pengendalian fisiologik tekanan darah (Kumar et al, 2007).

Tekanan darah arteri merupakan produk total resistensi perifer dan curah

jantung. Curah jantung meningkat karena keadaan yang meningkatkan

frekuensi jantung, volume sekuncup atau keduanya. Resistensi perifer

meningkat karena faktor-faktor yang meningkatkan viskositas darah,

khususnya arteriol (Kowalak et al, 2011).

Pengaturan volume darah penting dalam pengaturan tekanan arteri, asupan

garam yang tinggi lebih memicu peningkatan tekanan arteri dibanding

kenaikan asupan air. Penyebabnya adalah karena air secara alami

diekskresikan oleh ginjal hampir secepat asupannya, namun tidak demikian

dengan garam. Akibat retensi garam didalam tubuh, garam secara tidak

langsung meningkatkan volume cairan ekstrasel yang kemudian

meningkatkan volume darah, lalu terjadi peningkatan tekanan pengisian

sirkulasi rata-rata yang meningkatkan aliran balik balik vena ke jantung

selanjutnya meningkatkan curah jantung dan akhirnya meningkatkan tekanan

arteri (Guyton dan Hall, 2006; Kumar et al, 2007).

Selain pengaruh curah jantung dalam meningkatkan tekanan darah, ada hal

tidak langsung yang menyebabkan kenaikan tekanan vaskular perifer melalui

31
mekanisme autoregulasi aliran darah. Apabila darah yang mengalir ke

jaringan jumlahnya berlebihan, maka pembuluh darah jaringan setempat akan

mengubah diameter arteri dengan berkonstriksi dan menurunkan aliran darah

menjadi kembali normal. Apabila kenaikan volume darah sampai

meningkatkan curah jantung, aliran darah diseluruh jaringan tubuh akan

meningkat sehingga mekanisme autoregulasi ini menyebabkan konstriksi

pembuluh darah diseluruh tubuh. Keadaan ini selanjutnya akan menyebabkan

resistensi perifer total (Guyton dan Hall, 2006; Kowalak et al, 2011).

Pada akhirnya, tekanan darah arteri sama dengan curah jantung dikali

tahanan perifer total, maka peningkatan sekunder pada tahanan perifer total

disebabkan oleh mekanisme autoregulasi sangat berperan dalam

meningkatkan tekanan arteri (Guyton dan Hall, 2006).

Ketika terjadi peningkatan tekanan darah, baroreseptor yang berada pada

beberapa arteri sistemik besar seperti arteri karotis interna dan arkus aorta

akan teregang, peregangan ini akan menyebabkan menjalarnya sinyal menuju

sistem saraf pusat, menghambat pusat vasokonstriktor di medula dan

merangsang pusat parasimpatis vagus. Efek akhirnya adalah vasodilatasi vena

dan arteriol di seluruh sistem sirkulasi perifer dan berkurangnya frekuensi

denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung yang menimbulkan penurunan

curah jantung dan tahanan perifer dan menyebabkan penurunan tekanan arteri

(Guyton dan Hall, 2006). Sebaliknya saat terjadi penurunan tekanan darah

akan menstimulasi saraf simpatis yang ditimbulkan oleh norepinefrin pada

jantung yang akan meningkatkan curah jantung sehinggal terjadi kenaikan

32
frekuensi jantung dan peningkatan resistensi perifer karena vasokonstriksi.

Stres dapat pula merangsang aktivitas berlebihan sistem saraf simpatis untuk

meningkatkan curah jantung dan resistensi vaskular perifer (Kowalak et al,

2011).

Pada keadaan tekanan arteri yang sangat rendah, ginjal akan melepaskan

enzim protein renin. Renin bekerja sama dengan angiotensinogen yang

merupakan enzim hati untuk melepaskan angiotensin I. Angiotensin I bersifat

vasokonstriktor ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan

bermakna dalam sirkulasi. Angiotension I didalam paru dikatalasis oleh

angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II. Angiotensin II

merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat. Konstriksi terutatama terjadi di

arteriol yang meningkatkan tahanan perifer total. Terjadi konstriksi ringan di

vena yang akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung, sehingga

membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan. Selain itu,

angiotensin juga meningkatkan tekanan arteri dengan cara menurunkan

ekskresi garam dan air oleh ginjal yang kemudian akan meningkatkan

tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari berikutnya (Guyton dan

Hall, 2006; Kowalak et al, 2011).

Angiotensin juga cukup kuat merangsang sekresi aldesteron oleh kelenjar

adrenal. Oleh karena itu, jika sistem renin-angiotensin teraktivasi maka

kecepatan sekresi aldosteron juga meningkat dengan fungsinya yaitu

meningkatkan reabsorbsi natrium oleh tubulus ginjal. Dengan terjadinya

reabsorbsi, volume ekstraseluler akan meningkat sehingga terjadi peningkatan

33
tekanan arteri yang lebih lama lagi (Guyton dan Hall, 2006; Kowalak et al,

2011).

Hipotesis alternatif menyarankan bahwa pengaruh vasokonstriktif

merupakan penyebab primer hipertensi. Selain itu, pengaruh vasokonstriktif

kronis atau berulang dapat menyebabkan penebalan struktural pembuluh

darah. Pada model ini, perubahan struktural pada dinding pembuluh mungkin

terjadi pada awal hipertensi dan bukan mengikuti vasokonstriksi (Kumar et

al, 2007).

2.3.7 Komplikasi

Hipertensi harus dikendalikan, sebab semakin lama tekanan darah tinggi

pada dinding arteri dapat merusak organ vital tubuh (Suiraoka, 2012).

Penyebab paling sering dari kematian adalah penyakit jantung, dengan stroke

dan gagal ginjal juga sering terjadi, terutama pada mereka dengan retinopati

yang signifikan (Fisher dan Williams, 2005).

Efek Kardiovaskular

Kompensasi jantung pada beban kerja yang berlebihan dibebankan dengan

kenaikan sistemik mula-mula dipertahankan dengan hipertrofi ventrikel kiri

yang berisiko tinggi dengan gagal jantung kongestif, ventrikular aritmia,

iskemia miokardium dan sudden death (Blumenfeld dan Laragh, 2004;

Kowalak et al, 2011; Sutters, 2012). Angina pektoris juga dapat terjadi karena

gabungan penyakit arteri koroner yang cepat dan kebutuhan oksigen

miokardium yang meningkat sebagai akibat massa miokardium yang

34
bertambah. Tanda iskemia atau infark mungkin ditemukan lambat pada

penyakit ini (Fisher dan Williams, 2005).

Efek Serebrovaskular dan Demensia

Hipertensi merupakan predisposisi mayor penyebab stroke hemoragik dan

iskemik (Sutters, 2012). Infark aterotrombotik terjadi pada 60% stroke dan

merupakan kasus sering pada populasi hipertensi (Blumenfeld dan Laragh,

2004). Komplikasi serebrovaskular lebih berkorelasi dengan tekanan darah

sistolik. Hipertensi juga berisiko tinggi dengan insidensi demensia baik

vaskular maupun tipe Alzheimer. Kontrol tekanan darah secara efektif dapat

menurunkan gangguan fungsi kognitif suatu hari nanti, tetapi sekali pembuluh

darah kecil otak terkena, aliran darah yang rendah kedaerah itu akan

menyebabkan masalah kognitif (Sutters, 2012).

Efek ginjal

Lesi aterosklerotik dari arteriole aferen dan eferen dan jumbai kapiler

glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling sering pada hipertensi.

Proteinuria dan hematuria mikroskopik terjadi karena lesi glomerulus terjadi

pada 10 persen kematian sekunder terhadap hipertensi disebabkan oleh gagal

ginjal (Fisher dan Williams, 2005). Kontrol tekanan darah yang agresif

mencapai <130/80 mmHg menurunkan progresivitas segala jenis penyakit

ginjal kronik (Sutters, 2012).

35
2.3 Kerangka Teori

Riwayat Keluarga
Jenis Kelamin
Usia
Ras
Staging

Obesitas Tekanan Darah

Konsumsi Garam
Merokok
Alkohol
Kurang Olahraga
Stres

2.4 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen


Durasi Tidur Staging Tekanan Darah

2.5 Hipotesis

Ada hubungan antara durasi tidur dengan staging tekanan darah.

36
37

Anda mungkin juga menyukai