Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Stroke
II.1.1 Definisi
Stroke didefinisikan sebagai timbulnya defisit neurologis fokal atau global
yang berlangsung lebih dari 24 jam. Keadaan ini disebut juga sebagai
cerebrovascular accident ( CVA) atau apopleksi. Stroke akut mengacu pada onset
24 jam pertama sejak serangan. Defisit neurologis fokal yang berlangsung kurang
dari 24 jam ( biasanya 5-20 menit) yang dikenal sebagai Transient Ischemic
Attack.1

II.1.2 Epidemiologi
Insidens stroke di Indonesia mengalami peningkatan baik dalam hal
kejadian, kecacatan, maupun kematian. Angka kejadian stroke sebesar 51,6 /
100.000 penduduk. Sekitar 4,3% penderita stroke mengalam kecacatan yang
memberat. Angka kematian berkisar antara 15-27% pada semua kelompok usia.
Stroke lebih banyak dialami laki-laki dibandingkan perempuan.

II.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, stroke dibagi menjadi dua, yaitu iskemik
(87%) atau perdarahan (13%). Iskemik stroke disebakan karena adanya
penyumbatan pada arteri serebralis (thrombotik atau aterosklerotik) (50%),
embolik (25%) dan oklusi mikroarteri “ stroke lacunar” (25%). Stroke perdarahan
paling sering disebabkan oleh ruptur spontan dari pembuluh darah atau aneurisma,
dan AVM.
Terdapat 4 bentuk klinis dari stroke non hemoragik :
 Serangan Iskemik Sementara (Transient Ischemic Attack) : Gejala
neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah diotak yang akan
menghilang dalam waktu < 24 jam.
 Defisit Neurologik Iskemia Sementara (Reversible Ischemic
Neurological Deficit/RIND) : Gejala neurologik yang timbul akan
menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam hingga < 21 hari.
 Stroke progressif (Progressive Stroke/Stroke in Evolution) : Gejala
neurologik yang semakin memberat.
 Stroke Komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke) : Gejala klinis
yang sudah menetap.

II.1.4 Faktor Risiko4

Yang Tidak Dapat Yang Dapat Dirubah


Dirubah
Usia Hipertensi
Jenis kelamin Current smoking
Ras / etnik Waist-to-hip-ratio
Diet
Aktivitas fisik
Stroke Iskemik Hiperlipidemia
Diabetes Melitus
Konsumsi alkohol
Penyakit jantung
Apolipoprotein B to A1
Genetik
Usia Hipertensi
Jenis Kelamin Current smoking
Ras Waist-to-hip-ratio
Stroke Hemorragik
Konsumsi alkohol
Diet
Genetik
II.1.5 Patofisiologi Stroke Iskemia5
Ada terdapat tiga mekanisme utama yang mendasari adanya stroke iskemia :
 Oklusi pembuluh darah intrakranial karena emboli yang berasal dari
tempat jauh (cardioemboli karena atrial fibrilasi atau artery-to-artery
emboli dari plak aterosklerosis arteri karotid atau diseksi arteri karotid
interna atau arteri vertebralis)
 Thrombosis in situ pada pembuluh darah intrakranial, biasanya melibatkan
arteri penetrasi kecil.
 Hipoperfusi karena flow-limitng stenosis dari pembuluh darah
ekstrakranial (internal karotid) atau pembuluh darah intrakranial yang
menyebabkan “watershed” ischemia.
Terdapat dua zona pada jaringan serebrovaskuler yang mengalami iskemia :
 Inner core of severe ischemia : dimana aliran darah <10-25%.
 Outler layer of less severe ischemia (penumbra) : diperdarahi oleh
pembuluh darah kolateral dan dapat diselamatkan jika dilakukan
intervensi.
Penurunan aliran darah serebral hingga 0 mL/100 gr dapat menyebabkan
kematian sel otak dalam 4-10 menit; <16-18 mL/100 gr jaringan otak dapat
menyebabkan infark sel dalam 1 jam, dan <20 mL/100gr jairngan otak dapat
menyebabkan iskemia tanpa infark, kecuali jika penuruan aliran yang
berkelanjutan hingga beberapa jam atau hari. Daerah core dan penumbra dapat
terlihat dengan menggunakan pencitraan perfusion-diffusion MRI.
Beberapa kasus stroke infark karena emboli dapat menjadi hemoragik,
meyebabkan Hemorrhagic Infarction (HI), dimana perdarahan terjadi dalam
jaringan otak yang mengalami nekrosis. HI terjadi karena lisis dari emboli secara
spontan yang menyebabkan adanya reperfusi dan aliran darah pada area yang
iskemik/ “injured”. Ada tiga faktor yang mempengaruhi HI, yaitu ukuran dari
infark, pembuluh darah kolateral, dan penggunaan antikoagulan dan terapi
intervensi dengan agen trombolitik.
II.1.6 Manifestasi Klinis

Gambar 1. Circle of Willis

Gambar 2. Territorial dari ACA, MCA, PCA


Stroke pada Sirkulasi Anterior
Arteri Serebral Anterior (ACA)
ACA terbagi menjadi dua segment, yaitu Precomunal Circle of Willis
(A1), yang menghubungkan internal carotid artery dengan Anterior
Communicating Artery, dan Postcommunal (A2) yang berada distal dari Anterior
Communicating Artery. Segmen A1 memperdarahi anterior limb dari capsula
interna, anterior perforate substance, amygdala, hipotalamus anterior, bagian
inferior dari kepala dari nukleus kaudatus. Oklusi pada segment A1 biasanya tidak
begitu buruk karena adanya aliran kolateral melalui anterior communicating
artery, MCA dan PCA. Segmen A2 memperdarahi bagian korteks parasagittalis,
bladder inhibitory/micturitin center. Jika oklusi terjadi hanya pada salah satu
segment dari A2, maka akan memunculkan gejala kontralateral, seperti :
 Paralisis dari ekstremitasa bawah kontralateral : motor leg area
 Cortical sensory loss pada bagian ekstremitas bawah kontralateral :
sensory area of foot and leg
 Inkontinensia urin : area sensorimotor pada paracentral lobule.
 Abulia (akinetic mutism), alien hand ( involuntary movement).
Arteri Koroidalis
Arteri ini berasal dari arteri karotis interna dan memperdarahi posterior
limb dari kapsula interna, hipokampus, amigdala, uncus, optic tract. Apabila
terdapat oklusi pada arteri ini, dapat menyebabkan gejala hemiplegia,
hipoesthesia, dan homonimus hemianopia kontralateral. Namun karena bagian ini
juga diperdarahi oleh penetrating vessels dari proksimal MCA, Pcom, dan arteri
koroidali posterior, gejala yang muncul biasanya ringan dan dapat pulih kembali.
Arteri Serebralis Media ( MCA)
Cabang kortikal dari MCA memperdarahi bagian lateral dari hemisphere,
kecuali (1) bagian frontal dan batas superomedial antara lobus parietal dan frontal
yang diperdarahi oleh ACA, dan (2) lobus tempral bawah dan oksipital yang
diperdarahi oleh PCA. Cabang proksimal dari MCA (segmen M1) disebut juga
lenticulostriate vessel memperdarahi putamen, globus pallidus bagian luar,
posterior limb of internal capsule, nukleus caudatus. Pada Sylvian fissure, MCA
bercabang menjadi superior dan inferior (M2). Cabang inferior memperdarahi
bagian lobus parietal inferior dan temporal meliputi visual radiation, korteks
visual bagian makular, area wernicke, sedangkan cabang superior memperdarahi
lobus parietal atas dan frontal, meliputi bagian motor dan sensorik bagian wajah,
lengan, tangan, dan area broca.
Jika terjadi oklusi pada asal (origin) dari MCA maka akan menimbulkan gejala :
 Kontralateral hemiplegia
 Kontralateral hemianesthesia
 Homonymous hemianopia
 Dysarthria karena kelemahan otot wajah
 Global aphasia bila terkena lobus dominan
 Anosognosia, constructional apraxia, neglect lobus
nondominan.
Oklusi pada lentriculostriate vessel menyebabkan small vessel stroke
(lacunar) didalam kapsula interna menyebabkan pure motor stroke : kelemahan
pada bagian wajah, yang diikuti dengan lengan dan kaki. Infark lakunar yang
mengenai globus pallidus dan putamen memiliki tanda dan gejala yang minimal,
namun dalam beberapa kasus dilaporkan adanya parkinsonism dan hemibalismus.
Jika terjadi oklusi pada divisi superior maka dapat menimbulkan gejala :
 Hemiparesis kontralalteral
 Gangguan sensorik kontralateral pada wajah, lengan dan tangan
 Afasia broka
Jika terjadi oklusi pada divisi inferior, maka dapat menimbulkan gejala :
 Homonimus hemianopia kontralateral
 Graphesthesia dan stereognosis kontralateral
 Anosognosia
 Apraxia
 Afasia wernicke.
Arteri Karotis Interna
Gejalanya bisa asimptomatik atau gabungan dari gejala dan tanda stroke
ACA dan MCA.
Stroke pada sirkulasi posterior

Gambar 3. Sirkulasi Posterior


Arteri Serebral Posterior
Terdapat dua sindrom klinis yang sering ditemukan pada oklusi PCA :
 P1 syndrome : midbrain, subthalamus, dan thalamus, dikarenakan adanya
lesi pada segmen P1. Infarksi biasanya terjadi pada ipsilateral subthlamus
dan medial thalamus dan pada ipsilateral cerebral penducle dan midbrain.
Lesi pada daerah tersebut dapat memunculkan gejala seperti palsy nervus
cranialis III dengan ataxia kontralateral (Claude’s Syndrome). Infarksi
yang luas pada bagian midbrain dan subthalamik terjadi pada oklusi
proksimal PCA bilateral , dapat menyebabkan koma, bilateral pyramidal
signs, dan deserebrasi. Jika terjadi oklusi pada cabang thalamik dan
thalamogeniculate bisanya menyebabkan Thalamic Dejerine-Roussy
sydnrome (hemisensory loss kontralateral, diikuti dengan agonizing,
searing or burning pain).
 P2 syndrome : oklusi pada distal PCA menyebabkan infarksi pada lobus
medial temporal dan oksipital. Manifestasi yang paling sering adalah
homonimus hemianopsia kontralaleral dengan macula sparing. Terkadang,
hanya upper quadrant of visual field yang terkena. Jika hemisphere
dominan yang terkena dan infark meluas ke bagian splenium dari korpus
kallosum, pasien bisa mengalami alexia tanpa agraphia, bisa juga terjadi
visual agnosia terhadap wajah, benda, simbol matematika, warna dan
anomia dengan paraphasic error (amenstic aphasia). Infarksi bilateral
pada PCA distal dapat menyebabkan buta kortikal (kebutaan dengan
refleks pupil yang intak).
Arteri Basilaris
Jika terjadi oklusi pada bagian proksimal, bisa menyebabkan gejala
brainstem bilateral dan gangguan cerebellar, unilateral atau bilateral abducens
nerve palsy, gangguan pada gerakan bola mata horizontal, vertical nystagmus,
hemiplegia atau quadriplegia, locked in syndrome, koma.
Jika terjadi oklusi pada bagian distal : penurunan kesadaran segera,
unilateral atau bilateral ocukomotr nerve palsy, hemiplegia atau quadriplegia,
gangguan memori dan perilaku.

Terdapat beberapa sindrom :


Medial Medullary Syndrome
Terjadi karena oklusi dari penetrating branches dari arteri vertebralis.
 Paresis dari lidah ipsilaateral ( kerusakan CN XII)  lidah deviasi menuju
ke arah lesi.
 Hemiplegia kontralateral  kerusakan dari kortikospinal tract, terkecuali
wajah.
 Hilangnya position and vibratory sensation  kerusakan dari medial
lemniscus.
Lateral Medullary Syndrome (Wallenberg)
Terjadi karena oklusi dari arteri vertebralis/arteri serebralis posterior
inferior, bisa juga karena diseksi arteri vertebralis.
 Kehilangan sensasi nyeri dan suhu ipsilateral pada bagian wajah 
kerusakan pada descending spinothalamic tract dan nucleus cn V.
 Paralisis ipsiateral dari palate, faring, dan pita suara  keruskan nukleus
CN IX dan X dengan disfagia dan disarthria.
 Horner Syndrome ipsilateral  kerusakan descending sympathetic fibers.
 Ataksia ipsilateral dan dismetria (kerusakan pada inferior cerebellar
peduncle).
 Kehilangan sensasi nyeri dan suhu ipsilateral pada tubuh  dikarenakan
kerusakan pada descending spinothalamic tract.
 Vertigo, mual, muntah, dan nistagmus  kerusakan pada nukelus
vestibularis.
Ventral Pontine Syndrome (Milard-Gubler)
Terjadi karena infarksi pada pons paramedian :
 Paresis ipsilateral dari otot rectus lateralis  kerusakan dari CN VI
dengan diplopia.
 Paresis ipsilateral dari otot wajah bagian atas dan bawah  kerusakan CN
VII.
 Hemiplegia kontralateral  kerusakan pada traktus kortiokospinalis tanpa
bagian wajah.
Dorsal Pontine Syndrome (Foville’s)
Terjadi karena infarksii pada bagian dorsal tegmentum dari pons :
 Paresis ipsilaeral dari otot wajah keseluruhan  kerusakan dari nucleus
CN VII
 Hemiplegia kontralateral.
Ventral Midbrain Syndrome (Weber’s)
Terjadi karena oklusi dari median dan paramedian perforating branches
dari arteri basilaris.
 Paresis okulomotor ipsilateral, ptosis, dilatasi pupil  keruskaan pada CN
III dan fiber parasimpatetik.
 Hemiplegia kontralateral, termasuk pada bagian bawah wajah 
kerusakan pada kortikospinal dan kortikobulbar.
Dorsal Midbrain Syndrome (Benedikt’s)
Terjadi lesi atau oklusi pada paramedian branches dari basilar dan atau
posterocereblar arteries atau keduanya.
 Paresis okulomotor ipsilateral, ptosis, dilatasi pupil  keruskaan pada CN
III dan fiber parasimpatetik.
 Involuntary movement kontralateral, tremor, ataxia, dan chorea 
keruskan pada red nucleus.
Lock in syndrome
Terjadi karena lesi pada ventral pontin bilateral.
 Quadriplegi
 Tidak bisa berbicara dan tidak bisa menggerakkan wajah
 Terbatasnya gerakan mata horizontal karena kerusakan pada CN VI
 Penurunan kesadaran
 Namun masih ada gerakan mata ke atas dan bawah, bisa berkomunikasi
dengan menggerakan mengedipkan mata.

II.1.7 Metode Diagnosis


Anamnesis
Terdapat beberapa riwayat klinis yang harus ditanyakan kepada pasien
dengan curiga stroke menurut AHA/ASA :
 Tanda dan gejala, serta onset gejala  sakit kepala hebat?, mual?,
muntah?, tanda awal stroke (FAST : face drop, arm weakness, slurred
speech, time to call help), sejak kapan? Onset terkahir normal kapan?
Gejala tambahan? Yang memperingan dan memperparah?, kejang?
 Penyakit yang dialami dalam waktu dekat  ACS, trauma, operasi,
perdarahan
 Riwayat penyakit dahulu (komorbit) : Hipertensi, Diabetes, hiperkolestrol,
hiperkoagulabilitas, riwayat penyakit jantung (aritmia), merokok, alkohol,
riwayat stroke sebelumnya.
 Riwayat pengobatan : antihipertensif, antikoagulan, obat DM, obat
kolestrol.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang harus dinilai adalah jalan napas, respirasi,
sirkulasi. Pada pemeriksaan jalan napas, dinilai apakah paten atau tidak,
membutuhkan intubasi atau tidak. Pada bagian respirasi, dinilai apakah ada tanda
retraksi otot dada, sesak atau tidak, pemeriksaan saturasi oksigen, penilaian suara
napas dan suara jantung. Pada bagian sirkulasi, dilakukan pemeriksaan tekananan
darah, denyut nadi, suhu, capillary refill time pada ekstremitas. Dilanjutkan
dengan pemerriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis
meliputi pemeriksaan saraf kranialis, rangsang meninges, sistem motorik dan
sensorik, refleks baik fisiologis maupun patologis dan fungsi kognitif. Skala
stroke yang dianjurkan adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale).
Gambar 4. NIHSS score.
Skor Severitas
0 Tidak ada gejala stroke
1-4 Minor stroke
5-15 Moderate stroke
16-20 Moderate to severe stroke
21-42 Severe stroke

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium,
seperti complete blood count, fungsi ginjal, PT, APTT, gula darah, urinalisis,
analisa gas darah, elektrolit, fungsi hepar. Pemeriksaan lainnya yang tidak kalah
penting adalah elektrokardiogram, untuk melihat apakah terdapat aritmia jantung
atau tidak. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan rontgen thorax, untuk melihat
pakah terdapat perbesaran pada jantung atau tidak. Serta yang terakhir adalah
pemeriksaan CT Scan/MRI untuk mengetahui apakah terdapat stroke hemoragik
atau stroke non hemoragik.

II.1.8 Tatalaksana
Tatalaksana di Ruang Gawat darurat
Airway, Breathing, and Oxygenation
 Penggunaan ventilator dan airway support direkomendasikan untuk pasien
stroke akut dengan penuruan kesadaran atau memiliki disfungsi bulbar
yang dapat menyumbat jalan napas.
 Suplementasi oksigen harus diberikan untuk mempertahankan saturasi
oksigen >94%.
 Intubasi ETT atau MMA diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <
60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg) atau syok atau pada pasien yang
berisiko untuk terjadi aspirasi.
 Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 minggu  trakeostomi.
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
Sirkulasi
 Hipotensi dan hipovolemia harus diperbaiki untuk mempertahankan
perfusi sistemik.
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena.
 Pengendalian tekanan darah :
◦ Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar
15% ( sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah
awitan apabila tekanan darah sistolik ( TDS) > 220 mmHg atau
tekanan darah diastolik ( TDD) > 120 mmHg. Pada pasien stroke
iskemik akut yang akan diberikan terapi trombolitik ( rtPA),
tekanan darah diturunkan hingga TDS < 185 mmHg dan TDD <
110 mmHg. Selanjutnya tekanan darah harus dipantau hingga TDS
<180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam pemberian
rTPA.
◦ Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan
hingga lebih rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang
mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark
miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penuruanan adalah 15-25% pada 1 jam pertama
dan TD 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama. Diberikan anti HR
jika BP ≥ 185/105 mmHg atau MAP ≥ 110 mmHg.
◦ Bila tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan cairan suplai sudah
mencukupi, maka obat- obat vasopressor dapat diberikan secara
titrasi seperti dopamin dosis sedang / tinggi, norepinefrin atau
epinefrin dengan target tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg.
Suhu tubuh
 Sumber dari hipertermia ( >38°C) harus di cari dan diterapi, dan
pengobatan antipiretik harus di berikan untuk menurunkan suhu pada
pasien stroke.
 Berikan Asetaminofen 650 mg apabila suhu lebih dari 38°.
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan
hapusan ( trakea, darah, dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk
mendeteksi meningitis.
Glukosa Darah
 Bukti penelitian menunjukkan ahwa hiperglikemia dalam 24 jam pertama
setelah AIS berhubungan dengan kondisi yang lebih buruk dibandingkan
dengan normoglikemia. Untuk itu perlu dilakukan penanganan pada
hiperglikemia dengan target 140-180 mg/dL, dan harus dimonitor untuk
mencegah terjadinya hipoglikemia pada pasien AIS.
 Hipoglikemia ( < 60 mg/dL) harus diobati pada pasien dengan AIS.
IV Alteplase
 IV alteplase ( 0,9 mg/kgBB, dengan dosis maksimum 90 mg dalam 60
menit, dengan inisial 10% dari dosis diberikan secara bolus dalam waktu 1
menit), direkomendaiskan pada pasien stroke iskemik dala 3-4,5 jam
setelah muncul gejala.
 Pada pasien yang menjalani terapi fibrinolitik, harus juga siap untuk
menangani komlikasi lain, seperti perdarahan dan angioedema yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas.
 Indikasi alteplase :
◦ Onset : 3 jam ( 3-4,5 jam)
◦ Usia : ≥18 tahun. IV alteplase dalam 3 jam juga direkomendasikan
pada pasien berusia < 80 atau > 80 tahun.
◦ Keparahan : pada pasien dengan gejala stroke yang berat, IV
alteplase diindikasikan dalam 3 jam sejak onset iskemik stroke.
Meskipun risiko untuk terjadinya perdarahan meningkat, terbukti
masih ada keuntungkan secara klinis pada pasien dengan gejala
stroke berat.
◦ Pemberian alteplase dalam 3-4,5 jam direkomendasikan pada
pasien yang berusia ≤ 80 tahun, tidak ada riwayat diabetes dan
stroke sebelumnya, NIHSS ≤ 25, tidak mengkonsumsi antikoagulan
oral, dan tidak ada bukti secara radiologis adanya iskemik yang
melibakan lebih dari 1/3 teritori MCA.
◦ Urgensi : harus dimasukkan sesegera mungkin.
◦ TD : < 185/110 mmHg.
◦ Glukosa : level glukosa inisial > 50 mg/dL.
◦ CT : IV alteplase harus diberikan apda early ischemic change pada
NCCT dengan ekstensi ringan-sedang.
◦ Antiplatelet sebelumnya : iv alteplase direkomendasikan apda
pasien yang mengkonsumsi antiplatelet monoterapi maupun
kombinasi ( cth. Aspirin + clopidogrel ) sebelum stroke.
◦ End stage renal disease : pada pasien dengan ESRD dengan dialisis
dan aPTT normal, IV alteplase diirekomendasikan.
 Kontraindikasi :
◦ Onset : > 3-4,5 jam
◦ CT : tidak boleh diberikan jika adanya perdarahan intrakranial
akut.
◦ Stroke iskemik dalam 3 bulan
◦ Trauma kepala berat dalam 3 bulan
◦ Operasi intrakranial atau intraspinal dalam 3 bulan
◦ Riwayat perdarahan intrakranial.
◦ Perdarahan subaraknoid.
◦ Keganasan pada GI/ perdarahan GI dalam 21 hari.
◦ Koagulopati : platelet < 100.000/mm3, INR > 1,7, aPTT > 40s,
atau PT > 15 detik.
◦ LMWH : iv alteplase tidak boleh diberikan pada pasien yang
mendapatkan terapi LMWH dalam 24 jam sebelumnya.
◦ Thrombin inhibitors atau Factor Xa inhibitors : iv alteplase tidak
boleh diberikan, terkecuali jika dilakukan pemeriksaan aPTT, INR,
platelet, clotting time, thrombin time, appropriate direct factor Xa
activity dalam batas normal, dan tidak mendapatkan terapi dalam
waktu > 48 hr.
◦ Infektif endokarditis
◦ Diseksi aorta
◦ Keganasan intraaxial intracranial.
Thrombektomi Mekanikal
 Pasien harus mendapatkan terapi trombektomi mekanikal dengan stent
retriver jika memenuhi kriteria berikut :
◦ Skor mRS prestroke 0-1
◦ Oklusi berada pada karotid interna atau segmen MCA 1 (M1)
◦ Usia > 18 tahun
◦ NIHSS score ≥ 6
◦ Penanganan dapat diberikan dalam 6 jam sejak onset gejala.
 Pada pasien dengan AIS dalam 6-16 ( 16-24) jam dan memiliki LVO pada
sirkulasi anterior dan memenuhi kriteria DAWN atau DEFUSE 3,
mekanikal trombektomi direkomendasikan.
Antiplatelet : pemberian aspirin direkomendasikan pada pasien dengan AIS
dalam 24-48 jam setelah onset. Bagi yang mendapatkan pengobatan alteplase,
pemberian aspirin harus ditunda hinggal 24 jam kemudian.

Penatalaksanaan pada Ruang Rawat ( Stroke Unit)


Suplemental oksigen : harus pertahankan saturasi > 94%
Cairan
 Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan untuk menjga
euvolemi.
 Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral atau
enteral).
 Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin
sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairanyang tidak tampak dan
ditambah lagi 400 ml per derajat celcius pada penderita panas).
 Elektrolit harus selalu diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai
tercapai nilai normal.
 Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan AGD.
 Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari
kecuali pada keadaan hipoglikemia.
Nutrisi
 Nutrisi enteral paling lambat harus diberikan dalam 7 hari , nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah tes fungsi menelan membaik
 Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun,nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik. Jika diperkirakan penggunaan NGT > 2-3
minggu  ganti dengan perkutaneous gastrostomy.
 Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
◦ Karbohidrat 30-40% dari total kalori
◦ Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55%)
◦ Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1,4-2,0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal < 0,8g/kgBB/hari)
 Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan. Contohya hiindarkan makanan yang banyak mengandung vit K
pada pasien yang mendapatkan warfarin.
Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai kasur
antidekubitus.
Profilaksis DVT : penggunaan intermittent pneumatic compression sebagai
tambahan pada aspirin dan hidrasi direkomendasikan untuk mencegah DVT.
Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Jika hiperglikemia 
titrasi insulin. Jika hipoglikemia  dekstrose.
Jika gelisah, dilakukan terapi psikologi, kalau peril diberikan obat seperti
benzodiazepine short acting atau propofol.
Analgesic dan antimuntah sesuai indikasi.
Kandung kemih yang penuh dikosongkan dengan intermittent kateterisasi.
Rehabilitasi
Nutrisi

Anda mungkin juga menyukai