Anda di halaman 1dari 27

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian


Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di Ruang Perawatan
Anak St. Theresia lantai II dan III RS. Dirgahayu Samarinda yang dimulai
pada bulan desember 2018 hingga januari 2019. RS. Dirgahayu Samarinda
merupakan salah satu Rumah Sakit swasta yang ada di kota Samarinda,
tepatnya berada di jalan Gunung Merbabu Kelurahan Jawa kota
Samarinda.
Suasana lingkungan ruang perawatan anak St. Theresia lantai II dan
III yang menarik dengan hiasan khas anak-anak, sangat membantu dalam
proses penyembuhan pasien anak, walaupun beberapa anak masih ada
yang menangis dan rewel.
Di RS. Dirgahayu Samarinda inilah peneliti melakukan wawancara
terhadap partisipan yang merupakan orang tua dari anak-anak yang
mengalami sibling rivalvy kepada saudaranya yang sedang menjalani
dihospitalisasi, dimana peneliti membuat janji dan kontrak waktu sebelum
melakukan wawancara.

B. Hasil Penelitian
1. Gambaran Karakteristik Informan Penelitian
Gambaran karakteristik informan ini adalah orang tua yang berstatus
sebagai ayah atau ibu dari anak yang dirawat di ruang anak St.
Theresia lantai II dan lantai III RS. Dirgahayu Samarinda yang
bersedia menjadi informan. Adapun karakteristik informan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Umur informan
Karakteristik informan berdasarkan umur diketahui bahwa
informan berumur 31 tahun satu orang, 32 tahun tiga orang dan
38 tahun satu orang.

40
41

b. Pekerjaan informan
Berdasarkan jenis pekerjaan informan diketahui bahwa empat
orang berkerja sebagai ibu rumah tangga, satu orang sebagai
fulltimer disuatu tempat ibadah.
2. Profil Informan
a. Informan 1
Seorang ibu dengan tinggi 155 cm, berwajah tirus, kulit
sawo matang, dan rambut lurus diurai berwana hitam sepanjang
bahu. Berumur 31 tahun, dengan pendidikan SLTA. Informan
sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Informan
mempunyai tiga orang anak, dengan anak pertama berumur 7,2
tahun, yang kedua berumur 3,5 tahun dan yang ketiga berumur
1,5 tahun. Suami sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta.
Pada tanggal 19 Desember 2018 pukul 08.30 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai janji yang telah dibuat
sebelumnya pada pagi pukul 07.40 wita. Informan menyambut
peneliti dengan sikap yang ramah dan menawarkan kursi untuk
duduk. Wawancara dilakukan diluar kamar dimana anak dirawat
dan anak dijaga sementara oleh suaminya. Sebelum melakukan
wawancara peneliti menjelaskan kembali secara singkat tujuan,
maksud dan kesiapan informan untuk diwawancara. Proses
wawancara berjalan lancer meskipun ada beberapa anak
diruangan lain yang menangis dan ada petugas diruangan itu yang
melintas.
b. Informan 2
Seorang ibu dengan tinggi 160 cm, berwajah bulat, kulit
sawo matang, rambut lurus sepanjang baju dan diikat, berumur 32
tahun. Informan sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Informan mempunyai dua anak berumur 3 tahun 5 tahun. Suami
sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta.
42

Pada tanggal 25 desember 2018 pukul 13.50 wita, peneliti


mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
setelah melakukan janji sebelumnya pada pukul 07.20 wita.
Informan menyambut baik peneliti dan bersikap sangat ramah
ketika diwawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti
menjelaskan kembali secara sigkat tujuan, kesiapan partisipan
untuk diwawancara. Proses wawancara berlangsung dikoridor
ruangan kamar dimana anak partisipan dirawat dengan
menggunakan kursi, proses wawancara berjalan lancer meskipun
anak petugas yang lewat untuk operan jaga.
c. Informan 3
Seorang ibu dengan tinggi 165 cm, berwajah oval, kulit
putih, dan rambut lurus diikat sepanjang bahu. Berumur 38 tahun,
dengan pendidikan Sarjana. Informan sehari-hari bekerja sebagai
ibu rumah tangga. Informan mempunyai empat orang anak,
dengan anak pertama berumur 7 tahun, yang kedua dan yang
ketiga kembar berumur 2,9 tahun dan yang keempat berumur 2
bulan. Suami sehari-hari bekerja sebagai rohaniawan.
Pada tanggal 29 Desember 2018 pukul 20.10 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai dengan kontrak waktu yang
telah dibuat sebelumnya. Informan menyambut peneliti dengan
sikap yang ramah dan menawarkan kursi untuk duduk.
Wawancara dilakukan diluar dalam kamar dimana anak dirawat
dan anak dijaga sementara oleh keluarga pasien disebelahnya.
Sebelum melakukan wawancara peneliti menjelaskan kembali
secara singkat tujuan, maksud dan kesiapan informan untuk
diwawancara. Proses wawancara berjalan lancar meskipun ada
anak diruangan yang menangis.
43

d. Informan 4
Seorang ibu dengan tinggi 155 cm, berwajah bulat, kulit
sawo matang, dan rambut lurus diikat sepanjang bahu. Berumur
32 tahun, dengan pendidikan Sarjana. Informan sehari-hari
bekerja sebagai fulltimer disuatu tempat ibadah. Informan
mempunyai dua orang anak, dengan anak pertama berumur 2,9
tahun, yang kedua berumur 9 bulan. Suami sehari-hari bekerja
sebagai karyawan tambang.
Pada tanggal 29 Desember 2018 pukul 20.50 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai dengan kontrak waktu yang
telah dibuat sebelumnya. Informan menyambut peneliti dengan
sikap yang ramah dan menanyakan tempat yang nyaman untuk
berwawancara Wawancara dilakukan diluar kamar dimana anak
dirawat dan anak dijaga sementara oleh neneknya. Sebelum
melakukan wawancara peneliti menjelaskan kembali secara
singkat tujuan, maksud dan kesiapan informan untuk
diwawancara. Proses wawancara berjalan lancar meskipun anak
dari partisipan yang pertama menangis meminta susu.
e. Informan 5
Seorang ibu dengan tinggi 165 cm, berwajah bulat, kulit
putih, dan rambut lurus sedikit pirang dan diikat, sepanjang bahu.
Berumur 32 tahun, dengan pendidikan Diploma. Informan sehari-
hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Informan mempunyai dua
orang anak, dengan anak pertama berumur 5 tahun, yang kedua
berumur 3 tahun. Suami sehari-hari bekerja sebagai karyawan
tambang.
Pada tanggal 03 Januari 2019 pukul 16.30 wita, peneliti
mendatangi ruangan partisipan dimana anak partisipan dirawat
untuk melakukan wawancara sesuai dengan kontrak waktu yang
telah dibuat sebelumnya. Informan menyambut peneliti dengan
sikap yang ramah. Wawancara dilakukan diluar kamar dimana
44

anak dirawat dan anak dijaga sementara oleh tantenya. Sebelum


melakukan wawancara peneliti menjelaskan kembali secara
singkat tujuan, maksud dan kesiapan informan untuk
diwawancara. Proses wawancara berjalan lancar meskipun di luar
ruangan.
3. Tema Hasil Analisis Penelitian
Penelitian ini akan menggambarkan keseluruhan tema yang terbentuk
berdasarkan jawaban informan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
mengacu pada tujuan khusus peneliti. Lima pertanyaan khusus peneliti
terjawab dalam lima tema hasil penelitian sehingga narasi penjelasan
sesuai tujuan khusus. Adapaun tema yang telah didapat dari hasil
analisis peneliti digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Tema 1: Perubahan perilaku Sibling sebagai respon terhadap proses
hospitalisasi pada saudaranya
Perubahan perilaku sibling sebagai respon terhadap proses hospitalisasi
pada saudaranya merupakan suatu kesatuan dari ungkapan yang diperoleh dari
partisipan meliputi reaksi emosional sibling yang dingkapkan mulai dari reaksi
secara halus hingga reaksi secara kasar diperlihatkan terhadap proses hospitalisasi
pada saudaranya.
Tema ini muncul dari dua kategori yaitu : (1) perilaku agresif; (2) perilaku
mencari perhatian. Pernyataan kategori-kategori ini diperoleh dari pertanyaan
“Bagaimana reaksi sibling terhadap saudaranya yang sedang menjalani
hospitalisasi?” yang digambarkan secara rinci untuk memperoleh tema pada bagan
4.1.
Ada tiga partisipan yang mengatakan bahwa perubahan perilaku Sibling
sebagai respon terhadap proses hospitalisasi pada saudaranya yaitu dengan
menarik tangan ibu ketika menggendong saudaranya yang sakit, menangis dan
berteriak-teriak hinggan memukul saudaranya yang lain dan secara umum semua
partisipan mengatakan ada juga perilaku manja, cemburu dan ingin selalu dekat
dengan orang tuanya yang ditunjukan oleh sibling..
45

Kata kunci Kategori Tema

“Narikin”
(tangan ibu).

“Nangis
teriak-teriak”
Perilaku agresif
“Memukul
saudara”

“Berteriak-
teriak”
Perubahan
“Lebih perilaku Sibling
manja” sebagai respon
terhadap proses
Pura-pura hospitalisasi
kesakitan pada saudaranya

“Naro kepala
dipaha”

“Tangan saya
diambil trus Perilaku mencari
ditaro perhatian
dikepalanya”

Cemburu

“Juga pingin
digendong”

“Mau nempel
terus” (dekat
dengan ibu)
Bagan 4.1 Tema 1
Peneliti akan menampilkan beberapa hasil wawancara dari partisipan seperti
dibawah ini
Kata kunci terkait perilaku agresif:
“Ia ada, kalo misal kakaknya digendong itu dia narikin (tangan ibu).
Pokoknya kaya dia ini sakit juga sudah rasanya haha.” (P1)

“Kalo menangis. Nangisnya kalo misalnya tadi saya tolak gitu. Dia
nangis teriak, teriak, teriak.”
46

“Yang lain... yang lain dia pukul saudara kembarnya.” (P3)

“Trus itu kalo waktunya dia (kakaknya) mau tidur trus saya masih
ngurusin dia (adiknya) nah dia itu teriak-teriak.” (P4)

Kata kunci terkait perilaku mencari perhatian :


“Yah pastinya cemburu, soalnya kalo dipangku aja ini kakaknya kan
pasti cemburu, nah mau juga dipangku” (P1)

“Kaya cemburu gitu kalo kakaknya di manja-manjain dia mau juga


digituin.” (P2)

“Ya dia diam aja, cuma lebih manja aja dia ini. ” (P2)

“Itu jelas pasti, ada rasa kecemburuan, apa lagi ee... apa, jarak
mereka kan dekat bedakan cuma dua tahun kan.”

“Dia pura-pura nanti buka pintu dijepitin tangannya jadi “mama


apit, amma apit” gitu.”

“Kalo pas ini sakit ya, datang juga. Mamanya datang gini, datang-
datang udah naro kepalanya di paha.”

“Maunya disayang. Tangan saya diambil trus ditaro dikepalanya


gitu.” (P3)

“Aa.. Seperti kalo eee sekarangkan jamannya handphone, nah jadi


kadang kalo adenya rewel saya pake diamin karna dia suka musik dan
lagu-lagu, saya kasih ke dia (adiknya), nah biasanya dia cemburu
maunya dia.” (P4)

“Biasanya sih kaya kalo saya lagi gendong dia (adenya) dia
(kakaknya) juga pingin digendong nah itu.” (P4)

“Nah dia itu gimana ya, kadang ada cemburunya, kadang dia
nanya-nanya kakaknya.” (P5)

“Kadang saya mau nemani kakaknya itu suka dilarang sama dia trus
mulai mau nempel terus (dekat dengan ibu) kan jadi susah.” (P5)

Tema 2: Upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling


Upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling merupakan cara
orang tua untuk meminimalkan dampak yang dapat berpengaruh buruk pada
hubungan dan interaksi antara sibling dengan saudaranya bahkan lingkungan
disekitarnya.
47

Tema ini berasal dari tiga kategori yaitu : (1) memenuhi permintaan
sibling; (2) memberi penjelasan; (3) dan memberi sanksi. Pernyataan kategori-
kategori ini diperoleh dari pertanyaan “Bagaimana cara orang tua mengatasi
reaksi sibling anak terhadap saudaranya yang sedang menjalani hospitalisasi?”
yang digambarkan secara rinci untuk memperoleh tema pada bagan 4.2.
Ada tiga partisipan yang mengatakan bahwa cara orang tua mengatasi
reaksi sibling anak terhadap saudaranya yang sedang menjalani hospitalisasi yaitu
dengan meladeni sibling terlebih dahulu dan memberikan apa yang dimintanya,
juga memberitahu jika kondisi saudaranya sedang sakit dan membutuhkan
perhatian lebih dari orang tuanya, dan ada dua partisipan yang mengatakan
menyuruh anaknya berdiri dipojok ruangan, masuk kedalam kamar untuk
mengurungnya atau meminta maaf ketika anaknya sedang marah pada ibu atau
saudaranya.

kata kunci Kategori Tema

“Ladeni kakaknya (sibling)


dulu”
Memenuhi
permintaan
“Kalo minta HP saya kasih”

“Saya kasih tau, “itu


kakakmu lagi sakit” Memberi
penjelasan Upaya orang tua
“Nanti ya, ini adenya lagi untuk
sakit” mengendalikan
reaksi sibling
“saya (menyuruh anak)
“masuk kamar!!!”

“Berdiri dipojokan”

Memberi sanksi
“Suruh peluk, peluk
kembarannya”

“Ambil sikap tegas, nada


tinggi”

Bagan 4.2 Tema 2


48

Kata kunci terkait dengan memenuhi permintaan:


“Yah,, pasti dianu, diladeni kakaknya (sibling) dulu, tapi kalo
adenya nangis juga ya adenya lagi.” (P1)

“Kadang kalo minta HP saya kasih HP (handphone) biar dia main


sampai ngantuk.” (P2)

“Kalo engga saya kasih handphone hahaha biasalah jaman ini ya


hahha saya kasih handphone kedia baru dia diam karna biasa dia
minta HP aja biar diam.” (P4)

Kata kunci terkait memberi penjelasan:


“... saya kasih tau (sibling) “itu kakakmu lagi sakit, coba lihat
makan aja susah, nanti dulu ade ya, jadi pintar dulu ya..” (P2)

“Nanti ya, ini adenya lagi sakit”. Kadang dia ngerti kadang engga.”
(P4)

“Kalo saya selalu saya coba kasih tau dia (sibling), “ini kakakmu,
kalian berdua itu anak mama, jadi ngga boleh pelit sama kaka” (P5)

Kata kunci terkait memberi sanksi:


“Ee.. saya (menyuruh anak) “masuk kamar!!!” gitu sampai dia
diam, baru saya bolehkan keluar.”

“Berdiri dipojokan, pojok ruangan. Pokoknya tunggu sampai dia


kaya bosan, sampai mengantuk nah baru saya suruh tidur.”

“Oh ia kalo engga nanti suruh peluk, peluk kembarannya.” (P3)

“Tapi kadang saya langsung ambil sikap tegas, nada tinggi “diam,
ade lagi sakit” nah tapi baru dia pergi baru dia baring tapi sedikit dia
nangis tapi nda lama kelamaan dia diam.” (P4)

Tema 3: Kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling


Kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling merupakan
merupakan permasalahan tersendiri bagi orang tua yang sebenarnya telah
mencoba untuk mengatasi reaksi yang muncul pada sibling terhadap saudaranya.
Tema ini berasal dari satu kategori yaitu : Usia anak. Pernyataan pada
kategori ini diperoleh dari pertanyaan “Apa saja kendala atau hambatan orang tua
dalam mengatasi reaksi sibling anak?” yang digambarkan secara rinci untuk
memperoleh tema pada bagan 4.3.
49

Semua partisipan yang diwawancarai mengatakan bahwa kendala atau


hambatan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling anak yaitu anak yang masih
teralu kecil untuk menerima atau memahami banyak hal dalam waktu singkat.

Kata kunci Kategori Tema

“umurnyakan
masih kecil”

“masih kecil
juga kan” Kesulitan orang
Usia anak tua dalam
“Dia (sibling) menangani reaksi
masih kecil kan” sibling

“ya karna masi


kecil”
Bagan 4.3 Tema 3

Kata kunci terkait dengan usia anak :


“Kalo itu ya pasti karna umurnya kan masih kecil apa-apa ya
masih susah, kasih tau ya kadang susah juga, kalo mau dimarahin ya
namanya anak-anak nanti paling dia ulang lagi.” (P2)

“Apa karna masih kecil juga kan ngga bisa juga terlalu dipaksa.”
(P3)

“Dia masih kecilkan jadi ya itu aja paling susahnya kalo dikasih tau
ya lama ngertinya, itu aja sih haha.” (P4)

“Umurnya kali ya karna masih kecil jadi kalo dipaksain ngerti ya


susah.” (P5)

Tema 4: Usaha orang tua dalam mengatasi hambatan


Usaha orang tua dalam mengatasi hambatan merupakan usaha yang
dilakukan orang tua untuk mencari solusi pemecahan masalah terkait hambatan
yang muncul untuk mengatasi persoalan reaksi dari sibling kepada saudaranya.
Tema ini berasal dari tiga kategori yaitu : (1) memberi perhatian; (2)
mengendalikan emosi; (3) dan memberi pengertian. Pernyataan kategori-kategori
ini diperoleh dari pertanyaan “Apa saja usaha orang tua untuk mengatasi kendala
50

dan hambatan dalam mengatasi reaksi sibling pada anak?” yang digambarkan
secara rinci untuk memperoleh tema pada bagan 4.4.
Ada dua partisipan yang mengatakan bahwa usaha orang tua untuk
mengatasi kendala dan hambatan dalam mengatasi reaksi sibling pada anak yaitu
dengan menggendong sibling terlebih dahulu dan mengikuti apa kemauan sibling,
dan ada juga dua partisipan mengatakan tidak ingin memaksa sibling untuk segera
paham untuk menghindari emosi pada sibling dan menghindari untuk memukul
anak dengan menyuruh anak masuk kedalam kamar, dan dari lima partisipan ada
empat partisipan mengatakan mencoba untuk tetap memberi pengertian.
Kata kunci Kategori Tema

“Gendong dia
(sibling) dulu”
Memberi
“Saya ikutin aja perhatian
sih maunya
(sibling)”

Nanti malah
bikin kita emosi
(jika memaksa
anak untuk
segera paham)
Usaha orang tua
Mangendali
“dari pada saya dalam mengatasi
kan emosii
mukul (sibling) hambatan
“masuk kedalam
kamar”
(menyuruh
sibling)

“Saya kasih tau,


nanti lama-
Memberi
lamakan dia
pengertian
pelan-pelan pasti
ngerti”
Bagan 4. 4 Tema 4
51

Kata kunci terkait memberi perhatian :


“Ya saya gendong dia (sibling) dulu, soalnya dia (sibling) kalo
nangis kaya berontak, ribut sekali saya kan ngga enak disini kan
rame.” (P1)

“Kalo sekarang ya saya ikutin aja sih maunya (sibling) atau ngga
saya coba kasih tau pelan-pelan itu aja.” (P2)

Kata kunci terkait manajemen emosi :


“Karna mau dipaksa gimana juga masih kecil nanti malah bikin kita
emosi karna susah masih buat dikasih tau apa-apa haha” (P2)

“... sudah suntuk kepala saya dengan ini sakit, ini kan nangis trus lagi
suntuk seringkali kendalanya ya emosi, dari pada saya mukul
“masuk kedalam kamar” itu aja sih....” (P3)

Kata kunci terkait memberi pengertian :


“... saya kasih tau juga biar gantian sama kakaknya dulu...” (P1)

“ya kadang saya kasih tau juga sih kalo kakaknya itu lagi sakit..”
(P2)
“Apa ya, paling saya gitu aja sih sambil saya kasih tau nanti lama-
lama kan dia pelan-pelan pasti ngerti juga nanti.” (P4)

“Tetap sih saya coba kasih tau, mungkin kalo dia sering dengar nanti
lama-lama dia ingat kan, trus kan lama-lama tambah besar biar dia
mikir juga.” (P5)

Tema 5: Harapan orang tua terhadap sikap sibling


Harapan orang tua terhadap sikap sibling merupakan keinginan dari orang
tua terhadap sikap dan reaksi dari sibling ketika ada saudaranya yang sakit dan
membutuhkan perlakuan yang berbeda dari sebelum sakit. Tema ini berasal dari
dua kategori yaitu : (1) pemahaman anak; (2) dan optimalisasi peran orang tua.
Pernyataan kategori-kategori ini diperoleh dari pertanyaan “Bagaimana harapan
orang tua terhadap reaksi sibling terhadap saudara yang sedang menjalani
hospitalisasi?” yang digambarkan secara rinci untuk memperoleh tema pada bagan
4.5. Semua partisipan mengatakan bahwa harapan orang tua terhadap reaksi
sibling terhadap saudara yang sedang menjalani hospitalisasi yaitu agar sibling
dapat bermain sendiri dan dapat lebih mengerti, dan ada 3 partisipan mengatakan
52

agar dapat menjaga anak yang sakit dan dapat lebih tenang mengurus anak yang
sakit.
Kata kunci Kategori Tema

“Dia (sibling)
bisa main
sendiri”

“bisa ngerti lah”


Pemahaman
“pengertian dari anak
anak lah” terhadap
peran orang
“Dia (Sibling) tua
Lebih ngerti”
Harapan orang
“mau dia ngerti tua terhadap
lah” sikap sibling

“Saya bisa jagain


kakaknya (anak
yang sakit)” Pelaksanaan
peran orang
“Lebih tenanglah tua
kita urus yang
sakit”
Bagan 4.5 Tema 5
Kata kunci terkait pemahaman:
“Ya saya maunya sih dia bisa main sendiri gitu na.” (P1)

“Ya pasti maunya bisa ngerti lah paling ngga.” (P2)

“Ya.. anak-anak kita pengertian kalo mamanya itu sedang bingung,


sedang emosi menghadapi satu anak yang sakit, pokoknya pengertian
dari anak lah. “ (P3)

“Harapannya sih, dia lebih ngerti. Dia ngerti kalo dia sudah punya
adik, (P4)

“Ya pasti mau dia ngerti lah, mau dikasih tau.” (P5)

Kata kunci terkait optimalisasi peran:


“ya biar pas dibawa kesini juga ndak manja biar saya bisa jagain
kakaknya ini.” (P1)
53

“kalo belum bisa bantu apa-apa kan paling nggak bisa lebih tenang
lah kita urus yang sakit ini sama kerjain yang lain-lain itu.” (P2)

“Ngga manja dulu biar kakaknya mudah diurus, kan dikasih apa-apa
kakaknya juga biar cepat sembuh biar mau makan, mau minum obat
paling gitu sih.” (P5)

C. Pembahasan
1. Perubahan perilaku Sibling sebagai respon terhadap proses
hospitalisasi pada saudaranya
Perubahan perilaku sibling sebagai respon terhadap proses
hospitalisasi pada saudaranya merupakan akumulasi emosional yang
dialami sibling dan diungkapkan melalui berbagai bentuk aktivitas
dan juga perilaku untuk mendapatkan perhatian orang tua yang secara
umum telah lebih besar diberikan kepada saudaranya yang sedang
menjalani hospitalisasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
peneliti pada partisipan yang bersedia menjadi partisipan, maka
diperoleh hasil bahwa munculnya perilaku sibling rivalry sebagai
respon terhadap proses hospitalisasi yang dijalani saudaranya yang
mengakibatkan berubahnya porsi waktu dan perhatian orang tua yang
diberikan terhadap sibling yang terbagi atas dua kategori yaitu
perilaku agresif dan perilaku mencari perhatian.
Jhonson mendefinisikan perilaku seperti yang disepakati oleh
para ahli biologi dan perilaku, yaitu suatu keluaran dari struktur
intraorganisma dan proses yang terkoordinasi didalamnya serta
dimunculkan dan direspon untuk mengubah stimulasi sensori. Jhonson
(1980) menitik beratkan pada perilaku yang dipengaruhi secara aktual
atau potensial terhadap segala sesuatu yang membutuhkan adaptasi
atau penyesuaian keadaan yang bermakna. Perubahan perilaku yang
terjadi pada sibling tidak selalu dimulai ketika sibling memiliki
saudara yang menjalani hospitalisasi, namun dapat muncul sejak
sebelum saudaranya menjalani hospitalisasai. Kondisi saudara yang
menjalani hospitalisasi akan meningkatkan reaksi sibling yang
berupaya mempertahankan intensitas interaksi dengan orang tua dan
54

mendapatkan kembali perhatian yang mulai berkurang dari orang tua.


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ervina Erawati, (2014)
menunjukan bahwa ada hubungan sikap orang tua dengan kejadian
sibling rivalry pada balita. Orang tua berbagi perhatian kepada adik
atau kepada saudara kandung yang lain yang sedang sakit,
dipersepsikan oleh anak sebagai perhatian yang berlebihan. Perasaan
iri sebagai perasaan terancam. Menganggap adik atau saudaranya
sebagai penyebab hilangnya kenikmatan yang selama ini dirasakan.
Menurut Elisabeth & Purwoastuti, (2015) anak dikatakan
mengalami sibling rivalry terhadap saudara yang sakit dan dirawat di
rumah sakit ketika merasa kesepian, ketakutan, khawatir, marah,
cemburu, benci dan merasa bersalah. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan peneliti pada partisipan yang bersedia menjadi
partisipan dalam penelitian ini, maka diperoleh hasil bahwa ada tiga
partisipan yang mengatakan bahwa sibling memberikan reaksi yang
agresif, yaitu dengan menarik tangan ibunya ketika menggendong
saudaranya, menangis, berteriak-teriak dan memukul saudaranya.
Berkaitan dengan perilaku agresif, menurut Anantasari, (2006)
perilaku agresif merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Daniel
bernstein & Steven P. Shelow, (2016) menyatakan temper tantrum,
khususnya pada anak usia 1 sampai 3 tahun, sering terjadi. Pada masa
perkembangan ini, temper tantrum biasanya mencerminkan rasa
frustasi dengan kemunculan independensi psikologi akibat
dikuasainya keterampilan bahasa dan motorik baru. Berteriak,
memukul, dan mengatakan “Tidak” adalah gejala umum.
Seperti yang dikatakan Armini, NW. Sriasih, NGK. Marhaeni,
GA (2017) bahwa perubahan sikap dan perilaku dengan kehadiran
sibling rivalry yang dapat ditunjukan oleh anak, antara lain memukul
bayi, mendorong bayi dari pangkuan ibu, menjauhkan puting susu dari
mulut bayi, secara verbal menginginkan bayi kembali keperut ibu,
ngompol lagi, kembali tergantung pada susu botol, bertingkah agresif
55

merupakan usaha yang dilakukan anak untuk mendapatkan perhatian


orang tua, perilaku ini jika tidak ditangani dengan positif perilaku ini
dapat menyebabkan risiko tambahan yang dapat terbawa ketika anak
memasuki lingkungan sosial yang lebih besar seperti sekolah. Perilaku
agresif disekolah dapat menyebabkan penolakan dari kelompok,
hukuman oleh guru dan kegagalan dalam pembelajaran.
Perilaku agresif pada anak bukan hanya dapat merugikan pihak
lain diluar anak yang ada disekitarnya namun juga dapat
menyebabkan kerugian pada anak itu sendiri. Sikap agresif yang
berlangsung terus menerus akan menyebabkan anak akan dipandang
sebagai pembawa kekacauan bahkan oleh lingkungan, hal ini akan
menyebabkan anak akan sulit untuk mendapatkan teman. Dalam hal
yang lebih ekstrim perilaku agresif jangka panjang akan merubah
karakter anak dan menjadikan anak antisosial dan akan cenderung
mudah untuk melakukan kekerasan. Perilaku agresif harus dipandang
orang tua sebagai suatu stimulus yang perlu ditanggapi dengan serius.
Sehingga orang tua dapat melakukan upaya-upaya untuk
menanganinya secara benar dan menghindarkan anak pada proses
perkembangan yang salah dan juga memberi pemahaman yang benar
terkait cara untuk mendapatkan hal yang diinginkan.
Selain reaksi agresif, ada lima partisipan yang menyatakan
sibling juga memberi reaksi lain yang lebih halus, hal ini sesuai
dengan perilaku mencari perhatian, menurut syamsul bahri, (2018)
mencari perhatian adalah perasaan yang timbul secara psikologis
ketika anak-anak bosan, stres, marah, lelah dan jenuh beraktivitas
akan mencari perhatian dan kasih sayang agar mereka kembali
bersemangat.
Perilaku sibling mencari perhatian orang tua bertujuan untuk
mendapatkan kembali perhatian dan cinta kasih dari orang tua yang
dipandang anak telah berkurang atau bahkan hilang kepada dirinya.
Untuk mendapatkan perhatian dari orang tua anak akan berusaha
melakukan hal-hal yang dianggap dapat menarik perhatian orang
56

tuanya seperti pada masa sebelumnya sehingga akan mendorong anak


untuk bersikap regresi sehingga akan cenderung melakukan hal-hal
sebenarnya telah dilalui anak pada masa perkembangan sebelumya.
Perilaku mencari perhatian yang menyebabkan regresi pada
anak harus disikapi dengan cepat dan cermat oleh orang tua, hal ini
dikarenakan regresi yang berkepanjangan dan diabaikan akan
membuat anak merasa bahwa perilaku itu adalah benar dan harus
mempertahankan sikap itu untuk tetap mendapatkan perhatian dari
orang tua. Sikap regresi sebagai akibat untuk mendapatan perhatian
orang tua yang berkepanjangan juga akan mengganggu perkembangan
anak baik motorik kasar dan motorik halusnya dimasa mendatang.
Jika orang tua dapat mengatasinya dengan tepat dan segera maka
perkembangan anak akan berjalan sebagaimana mestinya dan anak
akan memahaminya sebagai suatu proses pembelajaran tentang mana
yang masih boleh untuk dilakukan dan mana yang sudah tidak boleh
untuk dilakukan pada usianya.
2. Upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling
Upaya orang tua untuk mengendalikan reaksi sibling adalah
gambaran dari keinginan orang tua agar hubungan dan interaksi
sibling dengan saudaranya terjalin dengan baik termasuk dalam
keadaan ketika saudaranya sedang menjalani hospitalisasi. Dalam
proses pelaksanaannya orang tua yang menjadi partisipan mengatakan
akan berusaha untuk memenuhi permintaan sibling sambil mencoba
untuk memberi penjelasan dan bahkan memberikan sanksi kepada
anak untuk mengandalikan sikap dan respon anak yang berlebihan.
Partisipan dalam penelitian ini memenuhi permintaan sibling
dengan memberikan apa yang diminta oleh anak termasuk barang,
perlakuan berupa sentuhan, waktu dan perhatian. Memenuhi
permintaan sibling dapat membuat anak tidak merasakan perbedaan
kondisi yang sedang terjadi, baik ketika ada saudaranya yang
dihospitalisasi maupun tidak. Dalam prosesnya disaat bersamaan
orang tua juga diharuskan untuk dapat memberi perhatian yang lebih
57

pada anak yang sakit. Kondisi hospitalisasi juga memungkinkan


sibling akan terpisah dengan saudara dan orang tuanya untuk beberapa
saat yang menyebabkan orang tua tidak dapat selalu memenuhi
keinginan sibling. Menurut Wong, (2009) menyatakan bahwa pemberi
asuhan harus mendengarkan anak sehingga mereka menyadari rasa
takut dan kekhawatiran anak dan harus memberi tahu betapa
pentingnya mereka, begitu juga dengan hal-hal yang mereka anggap
sebagai masalah. Kontak fisik menyamankan dan menenangkan anak.
Menyentuh atau menggendong anak akan menimbulkan relaksasi dan
kenyamanan serta memfasilitasi komunikasi. Meluangkan waktu yang
tidak tergesa-gesa bersama anak, jalan-jalan kelarga, liburan dan
pemajanan anak terhadap pengaruh positif membantu kekuatan dan
keamanan anak. Hubungan interpersonal yang mendukung penting
untuk kesejahteraan psikologi anak. Hal ini berbanding terbalik
dengan apa yang disampaikan oleh Vera Itabiliana, psikolog dari
Universitas Indonesia, anak yang kemauannya selalu dituruti oleh
orang tuanya akan merasa hidupnya serba mudah, padahal lingkungan
di luar rumah belum tentu seindah di dalam rumah. Ini membuatnya
tumbuh menjadi seorang yang tidak mandiri.
Orang tua dalam memenuhi permintaan anak juga perlu
memperhatikan intensitas dan hal apa yang diminta oleh anak untuk
mengindari pemahaman anak yang berbeda dengan tujuan dari
perlakuan orang tua. Memenuhi permintaan anak akan membuat anak
akan merasa dicintai dan diinginkan, hal ini akan sangat berpengaruh
pada perkembangan emosional anak dan kepercayaan diri anak.
keinginan anak yang tidak terpenuhi tanpa penjelasan akan membuat
anak menerima dan memahaminya sebagai peasaan diabaikan oleh
orang tua. Pengabaian dari orang tua akan membuat anak akan terus
mencari cara lain sebagai pembuktian bahwa dirinya juga memerlukan
perhatian dan pengakuan dari orang tua sebagai pihak yang penting,
dalam usaha untuk mencapainya, anak bisa salah dalam memilih cara
untuk mendapatkan perhatian dari orang tua. Pengabaian juga dapat
58

membuat anak akan merasa rendah diri dan sulit untuk bersosialisai
karena kurangnya dukungan fisik dan moral dari orang tua.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa partisipan selain
berupaya untuk memenuhi kemauan sibling juga mencoba memberi
pemahaman pada anak. Menurut KBBI pemahaman adalah gambaran
atau pengetahuan tentang sesuatu di dalam pikiran. Perlunya orang tua
memberi pemahaman pada anak terkait saudaranya yang sedang
menjalani hospitalisasi tidak semata-mata karena orang tua
menginginkan agar anak paham akan kondisi yang sedang terjadi,
tetapi juga sebagai bentuk gambaran yang diberikan kepada anak
dalam penjelasan oleh orang tua terkait kondisi yang sedang terjadi.
Alasan melibatkan penjelasan tentang mengapa suatu tindakan salah
dan biasanya tepat untuk anak yang lebih besar, terutama jika
melibatkan masalah moral. Namun, anak yang lebih kecil tidak dapat
diharapkan untuk “melihat sisi yang lain” karena sifat egosentris
mereka. Anak dalam tahap perkembangan kognitif praoperatif (todler
dan prasekolah) memiliki keterbatasan kemampuan untuk
membedakan pandangan mereka dan pandangan orang lain (Blum
dkk, 1995) dalam Wong, 2008.
Memberikan penjelasan pada anak dapat membantu anak
untuk pelan-pelan memahami apa yang dimaksud oleh orang tua
sehingga dapat mencegah interpretasi anak yang salah dalam
memahami kondisi yang terjadi dan dapat menghindari reaksi yang
negatif dari anak. Jika orang tua tidak memberikan penjelasan pada
anak maka anak akan mencari pemahamananya sendiri dan melakukan
apapun sesuai dengan apa yang dia pahami baik yang positif maupun
negatif.
Partisipan juga mengatakan sebagai orang tua akan
memberikan sanksi kepada anak untuk mengontrol sikap dan perilaku
anak yang telah berlebihan agar tetap memiliki sikap disiplin. Dalam
penelitian ini partisipan memberikan sanksi fisik dan moral kepada
anak. Menurut Gunarsa, (2007) maksud dari sanksi atau hukuman
59

adalah mencegah timbulnya tingkah laku yang tidak baik dan


mengingatkan anak untuk tidak melakukan apa yang tidak boleh.
Memberi sanksi bermaksud untuk mendisiplinkan anak dan
mengatur perilaku. Kebebasan anak dalam mengekspresikan emosi
yang tidak terbatas merupakan ancaman besar bagi keselamatan dan
keamanan mereka. Sehingga orang tua perlu untuk mendisiplinkan
anak dalam memberi reaksi dan bahkan memberi sanksi kepada anak
untuk meminimalkan kesalahan. Anak dapat berperilaku salah karena
peraturan yang tidak jelas dan tidak secara konsisten diterapkan.
Penundaan sanksi pada anak dapat melemahkan tujuannya yaitu untuk
memberi penegasan dan aturan yang jelas pada anak.
Memberikan sanksi pada anak juga memiliki dampak positif
dan negatif pada anak, dampak positifnya yaitu anak dapat belajar
untuk menahan diri, mengingat dan mengetahui reaksi mana yang
dapat diberikan anak ketika anak ingin mengekspresikan emosisnya
terhadap suatu keadaan. Dampak negatifnya adalah jika orang tua
memberi sanksi pada anak dengan melibatkan ancaman kepada anak
dapat memberi konotasi yang buruk terhadap orang tuanya. Sikap
orang tua dalam memberi sanksi kepada anak juga harus berfokus
hanya pada kesalahan yang dilakukan anak dan tidak memojokan anak
atau memberi sanksi yang berbeda jauh dari kesalahan yang
dilakukannya untuk tetap menjalin hubungan interpersonal yang baik
antara orang tua dan anak.
3. Kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling
Kesulitan orang tua dalam mengatasi reaksi sibling merupakan
kendala yang dihadapi oleh orang tua ketika ingin menyelesaikan
persoalan yang timbul termasuk ketika ada anak yang menjalani
hospitalisasi. Dalam penelitian ini, kendala utama yang dimiliki oleh
partisipan dalam mengatasi reaksi sibling adalah usia anak. Menurut
kamus besar bahasa indonesia usia adalah lama waktu hidup atau ada
(sejak dilahirkan atau diadakan). Usia anak yang masih sangat kecil
sangat berpengaruh pada proses penyerapan informasi, pemahaman
60

dan tidak dapat dipaksakan secara cepat untuk dapat segera


menyesuaikan dengan apa yang menjadi harapan oleh orang tua.
Dengan mengasimilasi informasi melalui indra, memprosesnya
dan melakukannya anak semakin memahami hubungan antar-objek
dan antara diri mereka dan dunia. Dengan perkembangan kognitif,
anak-anak membutuhkan kemampuan untuk berpikir secara abstrak,
untuk berpikir secara logis, dan untuk mengatur fungsi intelektual atau
kinerja kedalam susunan struktur yang lebih tinggi. Perkembangan
bahasa, moral, dan spiritual muncul saat kemampuan kognitif telah
meningkat. Piaget, mengemukakan tiga tahap berpikir yaitu intuisi,
operasional konkret, dan operasional formal. Ketika mereka
memasuki tahap berpikir konkret pada usia 7 tahun, anak-anak mampu
membuat keputusan logis, mengklasifikasi dan menghadapi
banyaknya hubungan mengenai hal-hal konkret. Piaget dalam Wong,
(2003) juga membagi tahap perkembangan kognitif anak berdasarkan
usia menjadi beberapa kategori yaitu sensorimotor (lahir sampai 2
tahun), praoperasional (2 sampai 7 tahun), operasional konkret (7
sampai 11 tahun) dan operasional formal (11 sampai 15 tahun).
Efektifitas kesiapan anak untuk menerima stimulus sangat dipengaruhi
oleh tingkat usia yang sedang berlangsung pada anak.
4. Usaha orang tua dalam mengatasi hambatan
Usaha orang tua mengatasi hambatan merupakan apa yang
dilakukan oleh orang tua ketika menemukan hambatan yang
mempersulit dalam usaha untuk memberi jalan keluar atas berbagai
reaksi sibling yang muncul. Penelitian ini menjelaskan bagaimana
cara partisipan dalam mengatasi kendala yang terjadi dalam mengatasi
hambatan yaitu dengan memberi perhatian, mengendalikan emosi dan
memberi pengertian, dimana partisipan menegaskan pada anak apa
yang baik dan yang tidak baik untuk dilakukan. Sejalan dengan Rimm,
(2003) yang menyebutkan bahwa tidak ada pola asuh yang sempurna
yang dapat diterapkan pada anak dan juga barangkali tidak baik pada
anak. Hal yang paling berguna dalam mendidik anak adalah kasih
61

sayang, rasa antusias, rasa humor,kesabaran, keberanian, bersikap


tegas tepat pada waktunya dan konsisten.
Tingkah laku negatif dapat muncul dan merupakan petunjuk
derajad stres pada anak-anak ini. Tingkah laku ini antara lain berupa
masalah tidur, peningkatan upaya menarik perhatian orang tua
maupun anggota keluarga lain, kembali kepola tingkah laku kekanak-
kanakan seperti ngompol dan menghisap jempol. Armini, NW.
Sriasih, NGK. Marhaeni, GA (2017).
Orang tua sebagai partisipan dalam penelitian ini
mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk mengatasi kendala
dalam menangani reaksi sibling yakni dengan tetap berupaya untuk
memberikan perhatian pada sibling. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti usia sibling termasuk dalam usia todler, hal ini
juga sesuai dengan teori perkembangan psikosisial menurut Erikson,
dimana pembelajaran yang mereka peroleh sebagian besar didapat dari
meniru aktivitas dan perilaku orang lain. Perasaan negatif seperti ragu
dan malu muncul ketika anak-anak diremehkan, ketika pilihan-pilihan
mereka membahayakan atau ketika mereka dipaksa untuk bergantung
dalam beberapa hal yang sebenarnya mereka mampu melakukannya.
Hasil yang diharapkan adalah kontrol diri dan ketekunan. Untuk
mencapai hal itu tentu orang tua perlu memberikan perhatian pada
anak untuk memastikan bahwa perasaan negatif tidak muncul dalam
diri anak.
Perhatian yang kurang atau bahkan tidak didapatkan
khususnya pada usia todler beresiko membuat anak salah dalam
menerjemahkan perubahan perilaku orang tua. Perhatian dari orang
tua sangat dibutuhkan anak untuk meningkatkan kepercaan diri dan
perasaan menerima sayang dari oleh tuanya. Perhatian dari orang tua
juga memberikan dampak yang baik pada interaksi dan relasi antara
anak dan orang tua serta mempertahankan hubungan antara orang tua
dan anak.
62

Partisipan juga mengatakan bahwa memberikan pengertian


pada anak merupakan upaya yang tetap perlu dilakukan untuk
memberikan stimulus positif dan pandangan yang benar pada anak
untuk melihat suatu kondisi. Meskipun anak masih dan memiliki
kerbatasan dalam memahami hal-hal yang kompleks, tetapi anak
sudah mampu untuk menerima dan menerjemahkan informasi-
informasi yang lebih sederhana. Menurut KBBI pemahaman adalah
gambaran atau pengetahuan tentang sesuatu di dalam pikiran. Peran
orang tua dalam memberikan pemahaman pada anak tentu sangat
berbeda dengan yang dilakukan pada orang dewasa. Anak dengan usia
dini akan bisa memahami informasi dengan cara penyampaian yang
perlahan dan singkat, dan disampaikan berulang-ulang, meskipun
tidak memahami secara keseluruhan tetapi sudah cukup untuk
membuat mereka tidak bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya
terjadi dan berasumsi untuk mendapatkan jawaban tentang apa reaksi
yang dapat mereka berikan.
Pemahaman yang diberikan orang tua kepada anak tidaklah
berbeda dengan apa yang diberikan pada orang yang lebih dewasa,
hanya saja cara penyampaian dan bagaimana cara mereka memberi
respon atas apa yang mereka mengerti yang akan membedakannya.
Perlunya orang tua untuk memberikan pemahaman pada anak selain
mencoba untuk membuat anak mengerti akan situasi yang sedang
dihadapi oleh keluarga juga akan mengajarkan anak bagaimana cara
berpikir kritis akan suatu hal dengan benar. Meskipun kecil dampak
dari keberhasilan dalam membuat anak memahami apa yang
dimaksudkan oleh orang tua adalah kontribusi yang diberikan anak
yang secara tidak langsung juga akan meringankan beban dari orang
tua. Pemahaman anak akan menghasilkan reaksi yang berbeda jika
dibandinghkan dengan anak yang tidak diberi penjelasan.
Pengendalian emosi orang tua juga merupakan hal yang sangat
penting untuk menjalin hubungan interpersonal yang positif dengan
anak. seperti yang diungkapkan oleh Beck, (1993) dalam Wong
63

(2008) seseorang yang mengalami emosi yang labil merasa emosinya


tidak stabil dan tidak dapat ia kendalikan. Biasanya ditandai dengan
menangis tanpa alasan, mudah marah dan amarah yang meledak-
ledak. Perilaku menyuruh anak berdiri dipojokan, menyuruh anak
masuk kedalam kamar dan meminta maaf ketika anak melakukan
kesalahan merupakan bentuk tindakan time-out yang sebenarnya
bentuk tindakan yang biasa dilakukan dan merupakan tipe
konsekuensi yang tidak berhubungan. Ketika anak ditempatkan
disuatu tempat yang tidak menstimulasi dan terisolasi, anak menjadi
bosan dan akhirnya setuju untuk berperilaku yang sesuai untuk
memasuki kelompok keluarga.
Time-out menghindari banyak masalah dari pendekatan
disiplin yang lain, karena tidak ada hukuman fisik yang dilakukan,
tidak ada alasan atau memarahi. Hal tersebut juga memberi waktu
“pendinginan” pada orang tua dan anak, sehingga membantu dalam
pengendalian emosi dan situasi yang sebelumnya kurang kondusif
antara sikap anak dan respon orang tua yang keduanya sama-sama
negatif. Sedangkan dampak buruk emosi orang tua yang tidak
dikendalikan dengan benar akan membuat orang tua berperilaku
berdasarkan amarahnya dimana saat bersaman juga dapat menjadikan
anak sebagai sasaran untuk meluapkan emosi dari berbagai masalah
lain yang dihadapi oleh orang tua dan terakumulasi menjadi satu.
Luapan emosi akan sangat mudah disalurkan pada objek jauh lebih
lemah dan tidak dapat melawan, dimana anak adalah sasaran yang
sangat rentan untuk menerima reaksi itu.
Ekspresi emosi dapat berupa fisik dan psikis yang keduanya
memiliki dampak traumatik pada anak, dimana secara fisik perilaku
emosi dapat menyakiti anak. jika orang tua tidak dapat mengendalikan
emosi dengan baik dan meluapkannya pada anak akan memberi
pengajaran yang berbeda pada anak yakni anak akan merasa bahwa
perilaku kekerasan baik fisik maupun psikis adalah perilaku yang
wajar dapat diterima dan membuat anak menjadi terbiasa untuk
64

menerima perlakuan itu dari orang tua dan juga dapat mengakibatkan
cedera fisik pada anak, dengan sifat anak pada usia todler yang
mempelajari sesuatu dengan menduplikasi apa yang dilakukan orang
lain disekitarnya akan beresiko pada perubahan pola pemahaman dan
perilaku anak yang cenderung akan mudah untuk menyakiti orang lain
baik secara verbal maupun nonverbal nantinya. Pengendalian emosi
memiliki dampak yang sangat baik jika dapat dilakukan dengan benar
oleh orang tua. Selain melatih kesabaran yang bedampak langsung
bagi kesehatan, ketenangan dan koping orang tua juga dapat
mengajarkan kepada anak tentang bagaimana mereka harus bersikap
ketika menghadapi dan menyelesaikan masalah dikemudian hari.
5. Harapan orang tua terhadap sikap sibling
Pada penelitian ini partisipan mengungkapkan harapannya agar
sibling dapat memahami keadaan bahwa saudaranya sedang menjalani
hospitalisasi sehingga otang tua akan memberikan waktu dan
perlakuan yang berbeda kepada saudaranya untuk mencapai
kesembuhan yang lebih cepat. Harapan adalah keadaan yang ingin
diperoleh atau diwujudkan dimasa yang akan datang, sedangkan
masalah atau kendala yang ada merupakan jarak antara harapan
dengan kenyataan yang ada (Ahmad Subagyo, 2008). Menurut Ahmad
Jauhar Tauhid, (2007) harapan adalah aspek dalam diri manusia untuk
hidup dan tumbuh, harapan adalah unsur terdalam kehidupan,
dinamika spirit manusia. Perlunya orang tua memiliki harapan yaitu
untuk memunculkan ide atau gagasan yang bisa digunakan untuk
menyelesaikan masalah dengan mengambil jalan keluar yang bertuju
pada harapan yang telah dibangun sebelumnya, seperti halnya harapan
partisipan dalam penelitian ini yaitu agar anaknya dapat memahami
keadaan saudaranya yang sakit dan akan optimalnya orang tua dalam
menjalankan perannya. Ketika ada anak yang menjalani hospitalisasi
fokus utama dari orang tua adalah kesembuhan pada anak yang sakit.
Harapan akan kesembuhan anak dapat memberikan motivasi orang tua
65

dalam merawat anak yang sakit dengan berupaya mengatasi segala


kendala yang ada untuk mengoptimalkan perannya sebagai orang tua.
Pemahaman merupakan dasar yang baik dalam membangun
komunikasi dan interaksi yang ramah. Pemahaman mampu
menghasilkan perubahan sikap, perilaku dan reaksi yang sangat
berbeda kepada orang lain yang dapat terlihat dalam proses interaksi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahaman adalah suatu hal
yang kita pahami dan kita mengerti dengan benar. Pemahaman adalah
kemampuan seseorang untuk mengartikan, menafsirkan,
menerjemahkan atau menyatakan sesuatu dengan carannya sendiri
dengan pengetahuan yang pernah diterimanya. Pemahaman dapat
diperoleh setelah mendapatkan penjelasan atau informasi. Pemahaman
dapat ditunjukan melalui perubahan perilaku dan reaksi yang
ditunjukan.
Dalam penelitian ini partisipan mengharapkan pemahaman
juga dapat tumbuh dalam anaknya khususnya pada sibling ketika ada
saudaranya sedang menjalani hospitalisasi, hal ini dikarenakan adanya
perubahan pada sikap dan peran orang tua pada saat itu. Pemahaman
pada sibling akan berdampak baik pada motivasi dan sikap yang
ditunjukan oleh orang tua yang secara tidak langsung juga akan
membawa pengaruh yang positif baik pada sibling dan pada anak
yang sakit. Orang tua akan lebih tenang dalam menyelesaikan masalah
dan tidak perlu khawatir akan hal-hal lain. Anak yang paham juga
akan meringankan beban orang tua dalam membagi waktu antara
kebutuhan anak yang sakit, anak yang sehat, urusan lain dalam
keluarga, pekerjaan dan bahkan urusan pribadinya sendiri. Anak yang
yang tidak paham akan kondisi yang sedang dihadapi oleh orang
tuanya akan menambah beban orang tua dan menyulitkan orang tua
dalam menyusun prioritas dalam penyelesaian masalah.
Partisipan juga mengatakan harapannya akan kemampuannya
dalam menjalankan perannya sebagai orang tua ketika anaknya sakit
bisa tetap optimal. Menurut Wong, (2008) bila ikatan keluarga kuat,
66

kontrol sosial lebih efektif dan sebagian besar anggota keluarga dapat
menjalankan perannya masing-masing dengan tulus dan penuh
komitmen. Konflik timbul ketika orang tidak dapat memenuhi peran
mereka sesuai dengan yang diharapkan oleh anggota keluarga lainnya,
dan juga karena mereka tidak menyadai harapan tersebut atau karena
mereka memilih untuk tidak memenuhi harapan tersebut. Dalam
penelitian ini, harapan orang tua adalah ingin memenuhi apa yang
menjadi harapan untuk dapat mengurus dan merawat anak yang sakit
dengan baik untuk mempercepat proses pemulihan. Pemenuhan
harapan ini juga bergantung pada reaksi yang diberikan oleh sibling.
Reaksi positif yang diberikan sibling terhadap orang tua dapat menjadi
kekuatan bagi orang tua upaya merawat anak yang sakit dan
meningkatkan kepercayaan diri orang tua dalam mengurus anaknya
baik sehat maupun sakit.

D. Keterbatasan Penelitian
1. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan kesulitan dalam hal posisi
informan yang juga merupakan orang tua anak yang sedang menjalani
hospitalisasi sehingga perlu menyesuaikan waktu dengan kondisi anak
atau menunggu keluarga untuk menjaga anak yang sakit.
2. Suasana tempat wawancara yang terkadang ribut, sehingga menggangu
proses dan hasi wawancara.
3. Dalam menjawab pertanyaan, partisipan masih tampak kaku.

Anda mungkin juga menyukai