Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

SMF ILMU SYARAF

“MYASTHENIA GRAVIS”

Disusunoleh :

Moch Adnan Ashaddany 18710124

Rohimatul Jannah 18710111

Pembimbing :

dr. Hanifah Harits Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

DI RSUD KABUPATEN SIDOARJO

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkatdanrahmat-Nya laporan kasus yang berjudul “myasthenia gravis” ini dapat
disusun dan diselesaikan.Terima kasih saya ucapkan kepada pihak-pihak yang
telah membantu memberikan saran serta kritik maupun pengarahan dalam
pembuatan Laporan kasus ini.

Penulis berharap tulisan ini dapat menambah wawasan bagi setiap


pembaca. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai
kesalahan,baik hal kecil maupun hal yang membingungkan, baik di dalam
penyusunan kalimat maupun di dalam teorinya, mengingat keterbatasan dari
sumber referensi yang diperoleh penulis serta keterbatasan penulis. Oleh karena
itu, penulis membutuhkan kritik dan saran dari segenap pembaca. Semoga karya
tulis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Sidoarjo, juli 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Myasthenia gravis atau selanjutnya disingkat MG merupakan suatu penyakit
autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang
menyerang komponen dari membran postsinaptik, mengganggu transmisi
neuromuskular, dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot rangka. Gangguan
yang terjadi dapat berupa gangguan otot secara umum maupun dapat terlokalisasi
pada suatu otot tertentu. Keterlibatan dari otot bulbar dan otot pernapasan dapat
menyebabkan kematian. Patogenesis MG tergantung pada target dan isotipe dari
antibodi tersebut. (Bachrudin. 2016)

Myashenia gravis merupakan suatu kelainan pada neuromuscular junction yang


paling sering ditemukan, dengan prevalensi 20/100.000 pada populasi yang
bervariasi. Patogenesisnya melibatkan antibodi komplemen yang bertindak melawan
reseptor asetilkolin, tirosin-kinase spesifik otot, atau protein 4 yang berhubungan
dengan reseptor Low Density Lipoprotein (LDL). Myasthenia gravis dapat
menyebabkan kelemahan pada kelopak mata dan otot-otot mata pada hingga 90%
kasus; setengah dari pasien tersebut menunjukkan gejala okular yang terisolasi
seperti ptosis dan/atau hanya diplopia. (bourque PR, 2016)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi.
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf
(nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut
diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah
penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu
kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin
(AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang. (Setiyohadi B.)
B. Epidemiologi.
Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun 2004
diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin lebih tinggi
karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak terdiagnosis. Insiden Miastenia gravis
mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok umur. Penelitian
epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit
Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada umur
20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60
tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2) (Sherwood
L,)

C. ETIOLOGI
Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagian-
bagian imunologis( epitope) didlam maupun sektar AChR nicotinic pada postsynaptic
endplate region neuromuscular junction. Antibodi AChR memicu terjadinya degradasi
imun dari AChR dan membrane postsnaptik. Hilangnya AChRs fungsional dalam jumlah
besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot yang berdepolarisasi selama
aktivasi terminal nervus motoric, mengakibatkan penurunan aksi potensial otot dan
kontraksi serat otot yang penting. Adanya hambatan pada tranmisi neuromuscular dapat
menyebabkan kelemahan secara klinis apabila jumlat serat yang rusak besar.
Beberapa obat yang dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk
yang berikut:
a. Antibotik (misalnya : aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, critromisin,dan
amoisilin)
b. Penisilamin – ini dapat menyebabkan miathenia sejati, dengan tingginya titer
antibody anti- ACHR terlihat pada 90% kasus, namun kelemahan ringan dan
pemulihan penuh dicapai seminggu sampai sebulan setelah pengobatan.
c. Beta – adrenergic reseptor blocking agen (misalnya , propranolol dan oxprenolol)
d. Lithium
e. Magnesium
f. Procainamide
g. Verapamil
h. Quinidine
i. Klorokuin
j. Prednisone
k. Timolol ( yaitu, agen beta-blocking topical digunakan untuk glaucoma)
l. Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
m. Agen blocking neuromuscular (misalnya vecuronium dan curare) harus digunakan
dengan hati2 pada pasien MG untuk menghindari blockade neuromuskuler yang
berkepanjangan

D. ANATOMI DAN FISIOLOGIS NEUROMUSCULAR JUNCTION


Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Potensial aksi di neuron
motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke otot rangka di sepanjang akson
bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak
cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson
ini membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari banyak
sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga serat otot,
berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar membentuk struktur mirip
tombol, terminal button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau groove , di serat otot
dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end
plate”.
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak berkontak
satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk memungkinkan
transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti di sinaps saraf,
terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal antara ujung saraf dan
serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam
bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan
teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium.
Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran.
Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini,
maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam
celah synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin
(AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada
lekukanlekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2
alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun
membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan
mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi
pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing
level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan
dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel,
dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR
kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam
jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan
Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic
untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus
menerus.

E. PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan
dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-
synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu,
inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR
ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi
anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.
Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui,
walaupun demikian diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia
gravis. Sekitar 75 % pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65%
pasien menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 %
berhubungan dengan timoma.

F. GEJALA KLINIS
Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.
Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin
berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan istirahat.
Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang
khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata
terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa
penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya
kelopak mata secaara abnormal (ptosis).

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita


menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi.
Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan
sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan
dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah. Sebagian
besar penderita Miastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh,
termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris .
Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata
selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh
tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Miastenia gravis
okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa.
Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga menimbuilkan
gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit
Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia gravis atau krisis miastenik.
Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya infeksi pada penderita Miastenia
gravis.
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring
lainnya (disfagia , suara sengau )
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
 Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia gravis dapat


diklasifikasikan sebagai berikut :

Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas II A Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Kelas IIB Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
Kelas IIIA Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
Kelas IIIB Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot- otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
Kelas IV A Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
Kelas IV B Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat
klasifikasi klinis sebagai berikut :
a. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
b. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata ,
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot
rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas. (25 %) c
c. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan otot-
otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini,
persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian
tinggi. (15%)
d. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
(10 %)

G. DIAGNOSIS
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR
dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi:
diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan
ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi
cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa
sesak.
2. Tes klinik sederhana:
a) Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua
bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
b) Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang
kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon,
disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada
uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi
dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin.
4. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
5. Laboratorium
 Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes
yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-
SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih
dari 40 tahun.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan
Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibody.
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuro
muscular melalui 2 teknik : Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-
fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita, sehingga
SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara
2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density
(jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum
perekam). Repetitive Nerve Stimulation (RNS).
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan
untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak.

H. PENATALAKSANAAN
a. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4
jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien
untuk mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari,
dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin
bromida (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4
jam/iv atau im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan
kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas
otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan
daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada
Miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi
pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik)
berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau
atropin.
b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10- 20 mg,
dinaikkan bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120
mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek
sampingnya dapat berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia,
ulkus gaster dan duodenum, katarak.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil
yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan
terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia.
Obat ini diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
Pemberian prednisolon bersamasama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien
yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang
kesulitan menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari penggantian
yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x
dalam 2 minggu.
e. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
f. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan
Miastenia gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di
berbagai pusat pengobatan namun keeefektivitasannya belum dapat dipastikan
oleh penelitian prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal
pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar.
I. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis Miastenia gravis, antara
lain :
a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :
 Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
 Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
 Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
 Paralisis pasca difteri
 Pseudoptosis pada trachoma
b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan
pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan
relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan
tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia,
mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama
oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG
pada Miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada
frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi
yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada Miastenia gravis terjadi pada membran
postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre
sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga
jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak
mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

J. PROGNOSIS
Pada Miastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih dari 2
tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis generalisata.
Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada Miastenia gravis
generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat
yang dianjurkan. Grob melaporkan angka kematian 7 %, membaik 50 % dan tidak ada
perubahan 30 %.
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas
1. Nama : Ny. Suliatin
2. Umur : 49 tahun
3. Jenis Kelamin : perempuan
4. Alamat : kemantren tulangan RT 05 RW 02 Sidoarjo
5. Pekerjaan : Swasta
6. Status : Menikah
7. MRS : 5 TAHUN yang lalu
8. Nomer RM : 1709941

B. Anamnesa:
1. Keluhan Utama: Kesemutan Seluruh Tubuh.
2. Riwayat penyakit sekarang:
Seorang pasien datang ke poli saraf RSUD Sidoarjo dengan keluhan
seluruh badan merasa kesemutan, pasien mengatakan satu minggu sebelum
keluhan terasa berat pasien merasakan kebas di daerah wajah, pasien juga
mengatakan makin lama rasa kebas disertai kesemutan dirasakan Menyebar
ke seluruh tubuh, awalnya dimulai dari wajah kemudian menjalar ke tangan,
badan serta kaki dan pasien juga merasakan kesemutan hampir tiap hari,
pasien mengatakan bahwa sejak dua hari terakhir pasien merasakan rasa
kebas dan kesemutan nya semakin memburuk atau parah sehingga membuat
aktivitas sehari-hari menjadi terganggu. Kadang pasien juga merasakan
lemas. Selain rasa kebas dan kesemutan, pasien juga mengeluhkan mata
terasa buram sejak tiga hari terakhir, dan dirasa seperti terus mengantuk,
tetapi mata tidak terasa nyeri, merah, berair, atau seperti melihat kabut.
Pasien juga mengeluhkan kalau beberapa hari terakhir suaranya juga semakin
serak, serak dirasakan makin hari makin memburuk, pasien tidak sedang
batuk, nyeri telan, dan tidak ada lendir atau dahak.
3. Riwayat penyakit dahulu: DM (-), HT (-), stroke (-).
4. Riwayat penyakit keluarga: ibu kandung pasien stroke dan tidak ada di dalam
keluarga yang mengeluhkan sama seperti pasien.
5. Riwayat penggunaan obat: pasien pernah dibawa ke klinik, lalu kemudian
pasien dirujuk ke IGD RSUD Sidoarjo, dan sekarang rutin minum obat
Mestinon Tablet 2 x1.
6. Riwayat sosial: merokok (- ), narkoba ( -), minum minuman keras ( -), dan
makan makanan berlemak tinggi di sangkal
C. Pemeriksaan Fisik
a) Status Generalis
1. Keadaan Umum : cukup
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tekanan Darah :130/80 mmHg
4. Nadi : 88 x/menit
5. RR : 20 x/menit
6. Suhu : 36,7°C
7. Saturasi : 98%
8. Kepala
 Mata : Anemia (-), Ikterus (-)
 Hidung : Dyspneu (-)
 Mulut dan bibir : Cyanosis (-),
9. Leher : Pembesaran KGB (-)/(-)
10. Thorax
 Cor : S1S2 Tunggal Reguler Murmur (-), gallop (-)
 Pulmo : vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
11. Abdomen
 Inspeksi : Distensi (-)
 Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
 Perkusi :Timpani Seluruh Lapangan Abdomen, shifting dulnes (-),
meteorismus (-)
 Palpasi : Nyeri Tekan (-), hepar dan lien dalam batas normal
12. Ekstremitas
 Akral Hangat Kering Merah : superior +/+, inferior +/+
 Edema : Superior -/-, inferior -/-
b) Status Neurologis
1. Kesadaran : compos mentis
2. GCS : 456
3. Pembicaraan : tidak pelo
4. Wajah : simetris
5. Rangsangan Selaput Otak / Meningeal Sign :
 Kaku Kuduk : (-)
 Brudzinski I :(-)
 Brudzinski II :(-)
 Brudzinski III : (-)
 Brudzinski IV : (-)
 Kernig : (-)
6. Pemeriksaan Nervus Cranialis :
a. Nervus Olfaktorius
 Hiposmia / Anosmia : (-) / (-)
 Parosmia : (-) / (-)
b. Nervus Optikus
 Tajam Penglihatan : > 1/60 / >1/60
 Lapangan Pandang : normal
 Melihat Warna : tidak dilakukan
 Funduskopi : tidak dilakukan
c. Nervus Okulomotorius, Troclearis, Abducens
 Kedudukan Bola Mata : ditengah / ditengah
 Ptosis : (-) / (-)
 Exophthalmos :-/-
 Pergerakan Bola Mata
o Nasal : normal / normal
o Temporal : normal / normal
o Frontal : normal / normal
o Bawah : normal / normal
o Temporal Bawah : normal / normal

 Pupil
o Bentuk : bulat / bulat
o Diameter : 3mm / 3mm
o R. Cahaya Direct : +/+
o R. Cahaya Indirect : +/+
d. Nervus Trigeminus
 Cabang motoric
o Otot temporalis : normal / normal
o Otot Maseter : normal / normal
o Otot Pterygodeus : normal / normal
 Sensorik : tidak dilakukan
 Reflex Kornea : tidak dilakukan
e. Nervus Facialis
 Waktu Diam
o Kerutan Dahi : simetris
o Tinggi Alis : simetris
o Sudut Mata : simetris
o Lipatan Nasolabial : simetris
o Sudut Mulut : simetris
 Waktu Bergerak
o Kerutan dahi : normal / normal
o Menutup mata : normal / normal
o Memperlihatkan gigi : normal
 Sensorik Pengecapan :
o Manis : tidak dilakukan
o Asam : tidak dilakukan
o Asin : tidak dilakukan
o Pahit : tidak dilakukan
 Stetoskop Balance Test : tidak dilakukan
 Schimmer Test : tidak dilakukan

f. Nervus Vestibulo Choclearis


 Vestibularis
o Vertigo : tidak dilakukan
o Nystagmus : tidak dilakukan
 Choclearis
o Rinne : tidak dilakukan
o Weber : tidak dilakukan
o Schawabach : tidak dilakukan
g. Nervus Glossopharingeus dan Nervus Vagus
 Motorik
o Suara : normal
o Kedudukan arcus faring : normal
o Kedudukan uvula : normal
 Sensorik
o Reflek muntah : normal
o Pengecapan 1/3 bawah lidah : tidak dilakukan
h. Nervus Accesorius
 Mengangkat bahu :+/+
 Memalingkan kepala :+/+
i. Nervus Hipoglosus
 Kedudukan lidah saat istirahat : dalam batas normal
 Kedudukan lidah saat dijulurkan : dbn
 Atrofi : (-)
 Fasikulasi : (-)
 Kekuatan lidah menahan mukosa pipi : normal
7. Sistem Motorik
a. Kekuatan Otot Lengan
 M. Bicep : 5/5
 M. Tricep : 5/5
 Flexi pergelangan tangan : 5/5
 Membuka jari tangan : 5/5
 Menutup jari tangan : 5/5
 Ekstensi sendi pergelangan tangan : 5/5
b. Kekuatan Otot Tungkai
 Flexi sendi coxae : 5/5
 Extensi sendi coxae : 5/5
 Flexi sendi lutut : 5/5
 Flexi plantar pedis : 5/5
 Ekstensi plantar pedis : 5/5
8. Sistem Sensorik
a. Eksteroseptik
 Nyeri : bdn
 Suhu : tidak dilakukan
 rasa raba ringan : dbn
b. Propioseptik
 raba dalam : tidak dilakukan
 raba getar : tidak dilakukan
c. Besar otot Lengan Tungkai
 Atrofi (-) (-)
d. Palpasi dextra sinistra
 Nyeri (-) (-)
 Kontraktur (-) (-)
e. Tonus otot
 Hipotoni (+) (+)
 Spastik (-) (-)
 Rigid (-) (-)
f. Gerakan involunter
 tremot istirahat (-) (-)
 tremor saat gerak (-) (-)
 khorea (-) (-)
 atetosis (-) (-)
 mioklonik (-) (-)
g. Reflex Fisiologis
 Reflex superficial : Supra umbilical / umbilical / infraumbilical
 Reflek crimostis : tidak dilakukan
 Reflex tendon dextra sinistra
o BPR : +2 +2
o TPR : +2 +2
o KPR : +2 +2
o APR : +2 +2
h. Reflex Patologis Dextra Sinistra
 Hoffman : - -
 Tromner : - -
 Babinski : - -
 Chaddock : - -
 Openhim : - -
 Gordon : - -
 Schaffner : - -
 Rosolimo : - -
 Mendel bectrew : - -
i. Sistem Saraf Otonom
 Miksi : kesan normal
 Defekasi : kesan normal
 Salvasi : kesan normal

D. Resume
pasien datang dengan tentang keluhan Kebas dan kesemutan yang dimulai dari
daerah wajah menjalar ke seluruh tubuh, kedua tangan dan kedua kaki yang makin lama
makin bertambah parah, kadang juga merasa lemas, serta pasien merasakan pandangan
terasa buram dan mata sering merasa mengantuk. Pasien juga mengatakan bahwa
suaranya semakin lama makin serak.

O : KU : cukup

Kes : compos mentis

Vital sign : TD : 130/80 mmHg, N : 88 x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,7°C

Status neurologis :

GCS 4-5-6

 Meningeal sign
 Kaku kuduk : -
 Brudzinski I/II: -/-
 Nervus Cranialis : N VII : dalam batas normal
N XII : dalam batas normal
 Motoric : extremitas superior 5/5
Extremitas inferior 5/5
 Sensorik : dalam batas normal
 Reflek fisiologis :
 BPR : +2 / +2
 TPR : +2 / +2
 KPR : +2 / +2
 APR : +2 / +2
 Reflek patologis
 Babinski : -/-
 Chaddock : -/-
 Hoffman : -/-
 Tromner : -/-

A : Diagnosa klinis : parastesia

Diagnosa topis : neuromuskular junction

Diagnosa etiologis : Myastenia gravis

P : Planning diagnosis :

 CT-Scan
 Darah lengkap,
 Tes pita suara
Planning terapi :

Po : tab mestinon 2 x 1 tab

Edukasi :

 menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit yang diderita oleh pasien


 menjelaskan kepada keluarga agar keluarga senantiasa tetap mensupport pasien
 menjelaskan mengenai komplikasi penyakit yang bisa terjadi
 menjelaskan tentang efek samping obat yang mungkin bisa terjadi
 menjelaskan tentang prognosis penyakit
 mengatur pola makan yang sehat
 konsumsi vitamin
 kurangi setres dan istirhat yang cukup
 minum obat teratur
 control tekanan darah
Bab III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Diagnosis myasthenia gravis dapat ditegakkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik
serta beberapa pemeriksaan penunjang.

Gambar klinik : yang khas adalaha kelemahan otor dan cepat lelah terutama akibat
kegiatan fisik atau latihan berulang yang akan membaik dengan istirahat atau tidur. Distribusi
kelemahan otot bervariasi, biasanya memiliki polatipikal, yaitu : croniocaudal dimulai dari otot-
otot kranial terutama kelopak mata dan otot-otot ektraokuler kemudian menyerang otot-otot
ektremitas yang dimulai dari proksimal dan bersifat asimetrik. Kelemahan juga dapat menyerang
pernafasan dan menyebabkan krisis miatenik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bachrudin. Patohrgenesis of myasthenia gravis: update on dosease types, models, and


mechaniims. F1000research. 2016; 5(1): 1513.
2. Bourque PR, Pringle E, Cameron W, Cowan J, Chardon J. Subcutaneous
immunoglobulin therapy in the chronic management of myasthenia gravis: A
retrospective cohort study. PloS ONE. 2016; 11(8):e0159993.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut Neuromuskular. 6 th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
4. Setiyohadi B. Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus, Simadibrata
K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing; 2009.
5. Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. . Myasthenia gravis: past, present,
and future. The Journal of Clinical Investigation 2006;116(Number 11).
6. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's Principles of Neurology. In:
Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The Neuromuscular Junction 8 th ed.
United State of America: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005.
7. www.mda.org.nz. Myasthenia Gravis. Muscular Dystrophy association of New Zealand
Inc. 2010.
8. Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider. Myasthenia
Gravis Foundation of America 2008.
9. Hughes BW, Casillas, Maria Luisa Moro De , Kaminski, Henry J.,. Pathophysiology of
Myasthenia Gravis. Thieme Medical Publishers 2004;24 Number 1:p21-7.
10. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamentals of Neurology. In: Myasthenia Gravis.
Germany: Georg Thieme Verlag; 2006.
11. Christiane Schneider-Gold KVT. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and Immunotherapy.
Dtsch Arztebl 2007.
12. Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; 2014.
13. Wilkinson l, Lenox, Graham. Essential Neurology. In: Peripheral Neuromuscular
Disorders USA: Blackwell Publishing Ltd; 2005.
14. Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. Atlas of Neuromuscular Diseases. In:
Myastenia Gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005. p. p337-44.
15. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. In: Myopathies. New York: Thieme Verlag;
2004.
16. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Nette’s Neurologt2and edition, 2012; 73:684-702

Anda mungkin juga menyukai