Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan obat yang sering
diresepkan oleh dokter serta terjual bebas di masyarakat. Di Amerika Serikat dan
Eropa Barat, peresepan OAINS mencapai hingga 4%-7%, namun data penggunaan
OAINS di Indonesia belum didapatkan. OAINS sering digunakan karena
efektivitasnya yang baik sebagai analgetik, anti-inflamasi, dan antipiretik.
Siklooksigenase (COX)-1 pertama kali dipurifikasi pada tahun 1976. Pada
saat itu, peneliti mengira bahwa pembentukan prostaglandin (yang telah ditemukan
sejak 1962) hanya melalui satu enzim ini.1,2 Penemuan gen pengkode COX-2 yang
terjadi pada tahun 1991 mengubah pandangan mereka. 1 COX-1 dan COX-2
memiliki struktur yang sangat mirip meskipun susunan asam amino mereka hanya
memiliki 61% kemiripan.3
Baik COX-1 dan COX-2 berperan dalam biosintesis prostanoid dari
substratnya yakni asam arakidonat melalui jalur arakidonat. Prostanoid adalah
sekelompok senyawa kimia mediator aktif yang dihasilkan dari kerja COX.
Prostanoid adalah bagian dari eicosanoid, yang merupakan kelompok besar
senyawa biokimia yang meliputi tromboksan, prostasiklin, leukotriene,
hydroxyeicosatetraenoic acid, epoxyeicosatrienic acids, lipoksin, dan isoprostan.
Setiap kelas eicosanoid memiliki fungsi spesifik dan bekerja dalam lingkup lokal
untuk meregulasi respon sel tertentu.4
Karena COX-1 dan COX-2 mirip dan bekerja dalam tahap yang sama pada
jalur arakidonat, penghambatan selektif menjadi tantangan tersendiri. Berbekal
asumsi bahwa COX berperan aktif dalam proses inflamasi, NSAID penghambat
COX bermunculan.5 Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) termasuk
dalam kelompok obat yang paling sering diresepkan di dunia. Kelompok obat ini
mencakup aspirin, penghambat cyclooxygenase (COX) nonselektif, dan
penghambat COX-2 selektif. Mereka memiliki kemampuan umum sebagai
analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.6
Untuk memahami mekanisme kerja dan efek NSAID terhadap tubuh, kita
perlu memiliki pemahaman mengenai proses apa yang dihambat obat tersebut yakni
enzim COX dan jalur arakidonat tempat enzim tersebut bekerja. Diharapkan paper
ini dapat menambah wawasan mengenai COX, jalur arakidonat, dan NSAID
sehingga dapat menunjang pelayanan kesehatan kedepannya.

1
1.2. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas keaniteraan klinik senior di bagian anestesiologi.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dan farmakologi dari obat NSAID (Non
Steroidal Anti-inflammatory Drugs).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Secara umum peradangan dapat diartikan sebagai suatu respon tubuh terhadap
stimulus yang disebabkan oleh adanya cedera. Proses peradangan dapat timbul oleh
beberapa hal seperti infeksi, antibodi dan trauma fisik. Apapun penyebab peradangan,
responnya secara klasik hampir sama yaitu berupa kalor (panas), dolor (nyeri), rubor
(kemerahan), dan tumor (bengkak).
Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan
obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan
antiinflamasi (anti radang). Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan
isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim
cyclooxygenase ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan
tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul pembawa
pesan pada proses inflamasi (radang).
Penghambatan terhadap enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) diperkirakan
memediasi efek antipiretik (penurunan suhu tubuh saat demam), analgesik
(pengurangan rasa nyeri), dan antiinflamasi (anti-peradangan). Sedangkan
penghambatan enzim COX-1 menyebabkan gangguan pada pencernaan. Oleh karena
itu NSAIDs yang ideal adalah NSAIDs yang hanya menghambat enzim COX-2 tanpa
mengganggu enzim COX-1.
NSAIDs digunakan terutama untuk mengurangi nyeri dan demam yang
menyertai peradangan. Seperti nyeri pada infeksi gigi-gusi, Nyeri pada penyakit
rematik dan nyeri serta peradangan akibat trauma fisik.

2.2. Mekanisme kerja Enzim Siklooksigenase (COX)


2.2.1. Struktur Molekuler COX
COX (Prostaglandin G/H sintase; Prostaglandin endoperoksida H sintase;
EC 1.14.99.1) adalah enzim homodimer yang mengkatalis dua langkah pertama
dalam biosintesis prostaglandin. Enzim COX memiliki dua isoform, yakni
isoenzim COX-1 dan COX-2. COX-1 memiliki 576 asam amino sementara COX-
2 memiliki 581 asam amino. COX-1 memiliki tiga oligosakarida, salah satu
oligosakarida berperan dalam pelipatan protein. COX-2 memiliki empat
oligosakarida, dimana satu oligosakarida berperan dalam pelipatan protein dan
oligosakarida keempat berperan dalam degradasi protein ini.7

3
2.2.2. Perbedaan Isoenzim COX-1 dan COX-2
COX-1 diproduksi oleh sebagian besar jenis sel dalam tubuh. Gen COX-1
bernama Ptgs-1. Gen ini mengkode RNA mRNA sepanjang 2,8 kb yang stabil. Gen
untuk COX-2, Ptgs-2, teraktivasi terutama ketika ada rangsangan mediator
inflamasi atau endotoksin bakteri di jaringan. Gen ini apabila teraktivasi akan
menghasilkan mRNA sepanjang 4 kb yang mudah rusak karena ketidakstabilan di
3’-untranslated region.7
Enzim COX-2 bersifat unik karena memiliki sensitivitas lebih tinggi terhadap
hidroperoksida dibanding COX-1 sehingga mampu bekerja pada konsentrasi asam
arakidonat yang lebih rendah dibanding COX-1.7 Selain itu, secara in vivo COX-2
terekspresi setelah ada induksi berupa lingkungan inflamasi. Hal ini menimbulkan
persepsi bahwa COX-1 bekerja untuk homeostasis sementara COX-2 bekerja
dalam proses patologis.14
Ada spekulasi yang menyatakan bahwa isoform COX-3 ada pada manusia
(isoform ini baru ditemukan pada hewan). Spekulasi ini muncul untuk menjelaskan
cara kerja acetaminophen yang tidak begitu bagus dalam menghambat COX-1 dan
COX-2 tetapi ternyata mampu meredakan nyeri.6

2.2.3. Peran Fisiologis COX-1 dan COX-2


A. Peran fisiologis COX-1 meliputi:15
1) Agregasi platelet. Platelet merupakan vesikel sel tak berinti yang akan
beragregasi membentuk bekuan darah ketika terjadi kerusakan pembuluh
darah. Platelet dapat menghasilkan tromboksan A2 (TXA2) menggunakan
substrat asam arakidonat dengan enzim COX-1. Asam arakidonat yang
menjadi substrat didapat dari eksogen atau dari cadangan fosfolipid
intrasel. TXA2 akan keluar dari platelet dan berikatan dengan reseptor
TXA2 platelet untuk menginduksi perubahan bentuk dan agregasi platelet.
TXA2 juga bisa berikatan dengan reseptor di pembuluh darah untuk
menginduksi vasokonstriksi.
2) Persalinan. Percobaan menunjukkan bahwa pada hewan yang kekurangan
COX-1, PGF2α tidak terproduksi sehingga persalinan menjadi terhambat.
Akan tetapi tampaknya COX-2 pada kondisi terinduksi inflamasi juga
dapat memproduksi PGF2α untuk proses persalinan.

B. Peran fisiologis COX-2 meliputi: 15


1) Ovulasi dan implantasi. COX-2 berperan dalam peningkatan produksi
PGE2 ovarium. Deplesi PGE2 ovarium akan menyebabkan masalah
ovulasi dan fertilisasi. Kekurangan COX-2 juga membuat PGI2

4
berkurang sehingga menghambat implantasi blastocyst dan
desidualisasi.
2) Perkembangan neonatus. COX-2 berperan dalam perkembangan
jaringan glomerulus ginjal serta mempercepat penutupan ductus
arteriosus.

C. Proses yang melibatkan baik COX-1 dan COX-2, meliputi:15,16


1) Inflamasi. Dalam proses inflamasi, COX-2 berperan pada proses inisiasi
dan resolusi. COX-2 terutama akan diproduksi ketika ada rangsangan
berupa lipopolisakarida, interleukin-1, tumor necrosis factor, serum,
epidermal growth factor, transforming growth factor alpha, interferon
gamma, platelet activating factor, dan endotelin. COX-1 tetap ada tetapi
relatif sedikit dibanding COX-2.
2) Perlukaan lambung. Pada hewan kekurangan COX-1, terjadi
penurunan PGE2 lambung hingga 99%. Namun hal ini tak serta merta
membuat terjadinya ulkus. Pada hewan, ulkus baru terjadi ketika COX-
2 juga ikut dihambat. COX-2 juga tampaknya mampu mempercepat
penyembuhan ulkus.
3) Karsinogenesis. Penelitian menunjukkan bahwa COX-1 dan COX-2
memicu peningkatan PGE2 di polip usus sehingga berkontribusi
terhadap terbentuknya kanker kolon.

2.2.4. Jalur Arakidonat


Asam arakidonat adalah asam lemak tak jenuh berkarbon 20.8 Asam
arakidonat adalah salah satu asam lemak polioenol yang paling banyak dalam
tubuh mamalia. Asam arakidonat umumnya ditemukan terikat pada membran
fosfolipid sel. Melalui jalur arakidonat, asam arakidonat dapat diubah menjadi
prostanoid.17
Tahap pertama dalam jalur arakidonat adalah pelepasan asam arakidonat
dari membran fosfolipid oleh enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat kemudian
diubah menjadi eicosanoid melalui tiga jalur yakni siklooksigenase (COX),
lipoksigenase (LOX), dan sitokrom P-450 (cyt P-450). 17 Selain itu, radikal bebas
bisa mengubah asam arakidonat menjadi isoprostan.8
Pada jalur COX, asam arakidonat diubah oleh COX menjadi prostaglandin
H2 (PGH2) melalui dua tahap.16 Ketika asam arakidonat menempel ke tempat
aktif siklooksigenase, struktur kanal L akan membuat karbon-13 asam arakidonat

5
tepat berada di depan Tyr-385. Saat COX mengalami aktivasi, Tyr-385 akan
berubah menjadi molekul radikal. Radikal tirosil akan melepaskan atom hidrogen
dari karbon-13 (dikonfigurasi S). Lepasnya atom ini akan memicu reaksi
siklooksigenasi dimana terjadi penambahan molekul oksigen membentuk
jembatan endoperoksida antara karbon 9 dan 11 dan cincin 5 karbon yang khas
pada senyawa prostaglandin. Molekul oksigen kedua memasuki karbon 15
menghasilkan gugus hidroperoksida PGG2. Setelah tahap siklooksidasi selesai,
terjadi tahap peroksidasi dimana COX akan mereduksi gugus 15-hidroperoksi di
PGG2 menjadi gugus alkohol, membentuk PGH2.4,7,16
Setelah PGH2 terbentuk, PGH2 ini akan diproses kembali oleh enzim
sintase terminal yang berbeda-beda menjadi prostanoid aktif yang akan bekerja di
jaringan.16 Prostanoid menghasilkan banyak efek biologis dan berperan penting
dalam fisiologi tubuh maupun patologi penyakit.17 Jumlah prostanoid dalam tiap
sel bervariasi tergantung isoform COX yang banyak terekspresi.16
Jenis-jenis prostanoid yang disintesis melalui jalur siklooksigenase, di
antaranya adalah
1 PGD2, merupakan mediator inflamasi dan alergi. PGD2 diproduksi oleh
sel mast dan sel Th2. PGD2 juga merupakan salah satu zat pemicu tidur
di otak.
2 PGE2, berperan dalam homeostasis, pembentukan inflamasi, nyeri,
aterosklerosis, dan demam.
3 PGF2α, berperan dalam steroidogenesis ovarium, menginduksi
persalinan, dan memacu kontraksi otot rahim,
4 Prostasiklin/PGI, berperan dalam relaksasi otot polos dan mencegah
agregasi platelet.
5 TXA2, berperan dalam agregasi platelet dan vasokonstriksi

6
2.3. Karakteristik Umum NSAID
Tahun 1971, Vane dkk menemukan bahwa aspirin dan indomethacin
menghambat produksi prostaglandin dengan cara memblokir aktivitas COX.21 Sejak
saat itu, dikenal istilah Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID). NSAID
termasuk dalam kelompok obat yang paling sering diresepkan di dunia. NSAIDs
secara klinis digunakan sebagai antipiretik, analgesik dan antiinflamasi. Obat ini
sangat efektif dalam menurunkan suhu tubuh saat demam (antipiuretik). NSAIDs
dipakai juga untuk analgesik dalam menangani sakit ringan sampai sedang seperti
myalgia, dental pain, dysmenorrhea dan sakit kepala. Tidak seperti analgesik jenis
opoid yang tidak boleh karena ada efek depresi neurologis.
Sebagai antiinflamasi NSAIDs digunakan untuk merawat kondisi tegang otot,
tendinitis dan bursitis. Selain itu, obat ini juga digunakan untuk merawat penyakit
kronis dan inflamasi arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan macam-macam arthritis
lain seperti gouty arthritis dan ankylosing spondylitis.

2.4. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi diberikan pada pasien yang mengalami inflamasi, rasa sakit dan
demam. Faktor ko-morbid dapat meningkatkan resiko seperti perdarahan GI
termasuk riwayat ulser, usia lanjut, status kesehatan yang buruk, pemakaian obt
NSAID yang lama, merokok dan penggunaan alkohol. Semua itu dapat
menyebabkan efek pada ginjal, sehingga dalam penggunaan NSAID harus hati-hati
bagi pasien yang memiliki penyakit gagal jantung, hipertensi, dan edema.
Kontraindikasi dari obat ini adalah bagi orang yang memiliki hipersensitivitas
pada salisilat atau NSAID yang lain. Asma merupakan salah satu bentuk
hipersensitivitas. Kontraindikasi lainnya bagi orang yang memiliki riwayat
perdarahan GI, iritasi gastric, atau peptic ulcer. NSAIDs juga tidak boleh digunakan
saat kehamilan, karena efek aktivitas prostaglandin akan mengganggu
perkembangan embrio terutama pada bulan terakhir kehamilan.

2.5. Farmakokinetik
NSAID yang diberikan secara peroral sangat cepat diabsorpsi, biasanya dalam
15-30 menit. Setelah diabsorpsi, 90% obat akan berikatan dengan albumin dan
beredar bersamanya. Kondisi hipoalbuminemia akan menyebabkan banyak obat
tidak terikat dan efek samping yang ditimbulkan semakin besar.
Hati akan memetabolisme hampir semua NSAID dan ekskresinya akan
melalui ginjal atau empedu. Sirkulasi enterohepatik terjadi ketika NSAID atau

7
metabolitnya diekskresi ke empedu dan terserap kembali di usus. Penelitian
menunjukkan bahwa derajat iritasi pencernaan akibat efek samping NSAID ternyata
berkorelasi positif dengan jumlah sirkulasi enterohepatik.18 Penurunan fungsi ginjal
akan memperpanjang waktu paruh obat sehingga dosis obat mungkin perlu
dikurangi. Gangguan hati akan menghambat metabolisme NSAID sehingga
meningkatkan toksisitas obat.

2.6. Farmakodinamik
NSAID terutama bekerja dengan menghambat jalur COX. Pada jalur ini,
kebanyakan NSAID bekerja secara reversibel dengan mencegah pertemuan asam
arakidonat dengan tempat aktif enzim COX sehingga biosintesis prostaglandin
dapat dihambat.6 Aspirin adalah pengecualian, karena aspirin bekerja dengan
mengasetilasi Ser-530 di COX-1 dan SER-516 di COX sehingga efeknya
ireversibel.8 Beberapa NSAID juga memiliki efek kerja tambahan, seperti
menghambat kemotaksis, mengurangi produksi interleukin-1, dan mengurangi
produksi radikal bebas.
NSAID penghambat COX-2 selektif (coxib) disintesis hanya beberapa
tahun setelah COX-2 ditemukan. Keuntungan NSAID jenis ini adalah NSAID ini
tidak mengganggu fungsi platelet dan fungsi sistem pencernaan pada dosis biasa
dengan efektivitas yang relatif sama dengan NSAID lain. Perlu diperhatikan
bahwa NSAID penghambat COX-2 selektif juga memiliki efek samping, dimana
mereka mampu meningkatkan risiko gangguan kardiovaskuler pada penggunaan
jangka panjang.18 Pada umumnya NSAID menurunkan sensitivitas pembuluh
darah terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari
limfosit T, dan melawan vasodilatasi yang terjadi saat inflamasi. NSAID bersifat
analgesik, antiinflamasi, dan hampir semua menghambat agregasi platelet.
Kebanyakan NSAID juga bersifat mengiritasi lambung, nefrotoksik (karena
penghambatan terhadap prostaglandin yang berperan dalam autoregulasi aliran
darah ginjal), dan hepatotoksik.18
Berdasarkan farmakodinamik tersebut, efek samping yang mungkin muncul
dari konsumsi NSAID biasanya berada dalam spektrum berikut:18
1) Sistem saraf pusat: sakit kepala, telinga berdenging, pusing
2) Kardiovaskuler: retensi cairan, hipertensi, edema, infark miokard,
gagal jantung kongestif

8
3) Pencernaan: nyeri perut, displasia, mual, muntah, ulkus, perdarahan
4) Hematologi: trombositopenia, neutropenia, anemia aplastik
5) Hati: fungsi hati terganggu, gagal hati
6) Kulit: rash, pruritus
7) Ginjal: insufisiensi ginjal, gagal ginjal, hiperkalemia, dan
proteinuria.

2.7. Efek Samping


Efek samping yang dapat terjadi sehubungan dengan pemakainan obat
analgetik dapat terjadi dalam bentuk ringan maupun yang lebih serius. Pada
umumnya manifestasi obat tersebut dalam bentuk ringan berupa reaksi alergi, rash,
dan sebagainya dengan angka kejadian yang relatif kecil untuk paracetamol,
metamizol, dan ibuprofen, sedang pada aspirin lebih besar.

2.8. Interaksi Obat


Toksisitas NSAIDs pada gastrointestinal akan meningkat jika penggunaan
obat ini dikombinasikan dengan kortikosteroid. Oleh karena NSAIDs
menurunkan fungsi sintesis prostaglandin, obat ini dapat meningkatkan
neprotoksisitas pada agen seperti ampoterisin B, cidofovir, cysplatin, siklosporin,
gancyclovir dan
vancomycin.

2.9. Efek Obat


Tabel 2. Dosis NSAIDs
Waktu paruh Dosis orang Frekuensi pemberian
(jam) dewasa (mg)

Aspirin 0.25 + 0.03 300-600 4 jam sesuai kebutuhan


Dislofenac sodium 1.1 + 0.2 50-75 2,3 atau 4 kali sehari
Dislofenac 1.1 + 0.2 25-50 2 atau 3 kali sehari
Pottasium
Diflunisal 11 + 2 250-500 2 kali sehari

Ibuprofen 2 + 0.5 200-400 3 atau 4 kali sehari


Indomethacin 2.4 + 0.4 25-50 2 atau 3 kali sehari
Ketoprofen 1.8 + 0.3 50-100 3 atau 4 kali sehari
Asam mefenamic 3+1 250 4 kali sehari

9
Naproxen 14 + 1 250 3 kali sehari
Paracetamol 2 + 0.4 500-1000 4 jam sesuai kebutuhan
Phenylbutazone 56 + 8 100-200 3 kali sehari
Piroxicam 48 + 8 10-20 Sekali sehari
Sulindac 15 + 4 100-200 2 kali sehari
Tenoxicam 60 + 11 10-20 Sekali sehari

2.10 Klasifikasi
2.10.1 Asam Salisilat
Macam-macam obat salisilat :

 Aspirin (asetylsalicylic acid)


 Difunisal
 Sodium salicylate
 Methyl salicylate
 salsalate

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah
analgesik antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan
dalam obat bebas. Aspirin secara klinis digunakan untuk nyeri akut simtompmatik dan
demam dan merupakan obat yang penting untuk terapi sejumlah inflamasi
kronik.Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat
sejenis.

a) Farmakokinetik

Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk
utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas karena daerah
penyerapannya lebih luas. Waktu paruh aspirin adalah 15menit. Kadar tertinggi
dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. kecepatan absorpsinya tergantung dari
kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu
pengosongan lambung.
Absorpsi pada pemberian secara rectal lebih lambat dan tidak sempurna
sehingga cara ini tidak dianjurkan. Setelah diabsorpsi, salisilat segera menyebar ke

10
seluruh jaringan tubuh dan cairan transelular sehingga ditemukan dalam cairan
synovial, cairan spinal, cairan peritoneal, liur dan air susu. Kira-kira 80%-90%
salisilat plasma terikat pada albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis
menjadi asam salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya kira-kira 30 menit
terdapat dalam plasma.
Metabolisme salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di mikrosom
dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama di
ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan empedu. Diekskresikan melalui urin yang
terdiri dari asam salyciuric, eter atau fenol glukorinide, dan asil atau ester glukorinide.

b) Farmakodinamik

Salisilat merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai obat


analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif
sebagai antipiretik. Dengan dosis ini laju metabolisme juga meningkat. Pada dosis
toksik, obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga terjadi demam dan
hiperhidrosis pada keracunan berat.
Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik, kadar plasma perlu
dipertahankan antara 250-300mcg/ml. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4
gram per hari untuk orang dewasa. Pada penyakit demam reumatik, aspirin masih
tetap belum dapat digantikan oleh obat AINS yang lain dan masih dianggap sebagai
standard dalam studi perbandingan penyakit artritis reumatoid.

c) Mekanisme Kerja
Efek antipiretik dan antiinflamasi salisilat terjadi karena penghambatan
sintesis prostaglandin di pusat pengaturan panas dalam hipotalamus dan perifer di
daerah target. Lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga
mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanik dan kimiawi.

d) Indikasi :
 Antipiresis
Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam.
Untuk anak 15-20 mg/kg BB, diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi
3,6 g per hari.
 Analgesik

11
Salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri yang tidak spesisfik misalnya sakit kepala,
nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia, mialgia. Dosis sama seperti pada penggunaan
antipiresis.
 Demam reumatik akut
Dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian obat yang cukup terjadi pengurangan
nyeri, kekakuan, pembengkakan, rasa panas dan memerahnya jaringan setempat. Sehu
badan, frekuensi nadi menurun dan penderita merasa lebih enak. Dosis untuk dewasa,
5-8 g per hari, diberikan 1 g per kali. Dosis untuk anak 100-125 mg/kg BB/ hari
diberikan tiap 4-6 jam, selama seminggu. Setelah itu tiap minggu dosis berangsur
diturunkan samapai 60 mg/kg BB/ hari.
 Artitis rheumatoid
Walaupun telah banyak ditemukan obat antireumatoid baru, salisilat masih dianggap
obat standar pada studi perbandingan dengan obat anti-reumatik lain. Sebagian
penderita atitis rheumatoid dapat dikontrol dengan salisilat saja; bila hasilnya tidak
memadai, dapat digunakan obat lain. Selain menghilangkan nyeri, salisilat jelas
manghambat inflamasinya. Dosisnya ialah 4-6 g per hari, tetapi dosis 3 g sehari
kadang-kadang cukup memuaskan.
 Penggunaan lain
Aspirin digunakan untuk mencegah trombus koroner dan thrombus vena dalam-dalam
berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit. Laporan menunjukkan bahwa
dosis aspirin kecil (325 mg/hari) yang diminum tiap hari dapat mengurangi insiden
infark miokard akut, dan penderita angina tidak stabil.
 Indikasi dalam Kedokteran Gigi
NSAID adalah obat yang paling penting untuk manajemen nyeri gigi akut. Obat
tertentu dapat dipilih atas dasar keparahan rasa sakit dan timbulnya gejala lain yang
terkait misalnya untuk nyeri ringan sampai moderate, parasetamol umumnya
direkomendasikan, dan untuk nyeri akut diklofenak atau kombinasi dengan
parasetamol umumnya lebih disukai.

e) Kontraindikasi
 Pasien yang memiliki ulkus lambung dan duodenum. (kemungkinan terjadi
perdarahan internal, mungkin terjadi hemoragi)
 Penderita diatesis hemoragik (kecenderungan mengalami perdarahan).

12
 Penderita Asma (Serangan asma sebagai hasil reaksi alergi)
 Penderita Diabetes (Dosis tinggi yang menyebabkan hiperglikemi/
hipoglikemi)
 Ibu hamil (menyebabkan premature closure pada duktus arterius pada fetus
yang bisa mengakibatkan perdarahan)
 Alergi atau intoleransi dengan aspirin
 Memiliki fungsi hati abnormal karena konsumsi aspirin dalam waktu lama
dapat menganggu waktu protrombin sehingga dapat menyebabkan perdarahan.

Penyakit Kemungkinan Adverse Effect

Ulser Perdarahan internal, mungkin terjadi hemoragi

Asma Serangan asma sebagai hasil reaksi alergi

Diabetes Dosis tinggi  hiperglikemi/ hipoglikemi

Gout Dosis rendah  peningkatan plasma, & sebaliknya


Influenza Reye’s sindrom pada anak-anak

Hipokoagulasi Perdarahan berlebihan

f) Efek Samping

1. Efek terhadap darah


Pada orang sehat, aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Hal ini bukan
karena hipoprotrombinaemia, tetapi karena asetil siklo-oksigenase trombosit. Dosis
tunggal 650 mg aspirin dapat memperpanjang masa perdarahan kira-kira 2 kali lipat.
Pada pemakaian obat antikoagulan jangka lama sebaiknya berhati-hati memberikan
aspirin, karena bahaya perdarahan mukosa lambung. Sekarang, aspirin dosis kecil
digunakan untuk profilaksis trombosis koroner dan serebral.
Aspirin tidak boleh diberikan pada penderita dengan kerusakan hati berat,
hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat menimbulkan
perdarahan.

2. Efek terhadap hati dan ginjal

13
Salisilat bersifat hepatotoksik dan ini berkaitan dengan dosis, bukan akibat reaksi
imun. Gejala yang sering terlihat hanya kenaikan SGOT dan SGPT, beberapa
penderita dilaporkan menunjukkan hepatomegali, anoreksia, mual dan ikterus. Bila
terjadi ikterus pemberian aspirin harus dihentikan karena dapat terjadi nekrosis hati
yang fatal.
Oleh sebab itu aspirin tidak dianjurkan diberikan kepada penderita penyakit hati
kronik. Walaupun belum dapat dibutikan secara jelas, tetapi secara penelitian
epidemiologis ada hubungan erat antara salisilat dan sindrom Reye. Pada sindrom ini
terjadi kerusakan hati dan enselofali. Sindrom ini jarang terjadi tetapi berakibat fatal
dan dihubungkan pada pemakaian salisilat pada infeksi varicella dan virus lainnya
pada anak. Salisilat dapat menurunkan fungsi ginjal pada penderita dengan
hipovolemia atau gagal jantung.

3. Efek terhadap saluran cerna


Efek salisilat terhadap saluran cerna yang paling umum adalah distres epigastrium,
mual dan muntah. Perdarahan mikroskopik saluran cerna hampir umum terjadi pada
penderita yang mendapat pengobatan aspirin. Aspirin adalah asam. Pada pH lambung,
asapirin tidak dibebaskan; akibatnya mudah menembus sel mukosa dan aspirin
mengalami ionisasi (menjadi bermuatan negatif) dan terperangkap, jadi berpotensi
menyebabkan kerusakan sel secara langsung. Aspirin seharusnya diberikan bersama
makanan dan cairan volume besar untuk mengurangi saluran cerna. Pilihan lain, dapat
juga diberikan bersama-sama misoprostol.
4. Hipersenitifitas
Sekitar 15 % pasien yang minum aspirin mengalami reaksi hipersensitivitas. Gejala
alergi yang asli adalah urtikaria, bronkokonstriksi, atau edema angioneurotik. Jarang
terjadi anafilaktik syok yang fatal.
5. Sindrom Reye
Aspirin yang diberikan selama infeksi virus ada hubungannya dengan peningkatan
insidens sindrom Reye, seringkali fatal, menimbulkan hepatitis dengan edema
serebral. Terutama terjadi pada anak-anak, sehingga lebih baik diberi asitaminfen
daripada aspirin jika pengobatan dihentikan.

14
g) Dosis

1) Nyeri akut
 Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam.
Untuk anak 15-20 mg/kg BB, diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi
3,6 g per hari
2) Demam rheumatic akut
 Setelah 24-48 jam pemberian obat terjadi pengurangan nyeri, kekakuan,
pembengkakan, rasa panas dan memerahnya jaringan setempat
 Dosis dewasa, 5-8 g per hari, diberikan 1 g per kali
 Dosis anak 100-125 mg/kgBB/hari, diberikan tiap 4-6 jam, selama seminggu. Setelah
itu tiap minggu dosis berangsur diturunkan sampai 60 mg/kgBB/hari
3) Arthritis rheumatoid Dosisnya ialah 4-6 g per hari

h) Sediaan

Aspirin (asam asetil salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang paling
banyak digunakan. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak dan tablet
500 mg untuk dewasa.

2.10.2 Asam Propionat


Di antara NSAID, turunan asam fenilpropionat tersubstitusi merupakan kelompok
terbesar dari alternatif aspirin (Gambar 21-9).

Sumber: Neidle, Enid Adan Yagiela, John A. , Pharmacology dan Therapeutic for Dentitry
6th ed. St Louis, Mosby Company, 2011.

15
Selain indikasi anti-inflamasi dalam mengobati gejala rheumatoid arthritis,
osteoarthritis, dan penyakit sendi degeneratif, Ibuprofen, naproxen, ketoprofen, dan
fenoprofen juga disetujui sebagai agen analgesik. itu penggunaan jangka pendek dari
ibuprofen, naproxen, dan ketoprofen adalah tersedia tanpa resep untuk menghilangkan sakit
kepala, demam, dismenore, dan muskuloskeletal ringan-sedang dan nyeri pasca operasi. Pada
pasien dengan rheumatoid arthritis dan osteoarthritis, turunan asam propionat dan lainnya
NSAID mengurangi pembengkakan sendi, nyeri, dan kekakuan pagi, dan mereka
meningkatkan mobilitas yang diukur dengan peningkatan waktu berjalan. Ketika digunakan
pada pasien yang diobati dengan kortikosteroid, agen ini diharapkan dapat mengurangi dosis
steroid.
Mirip dengan aspirin dan NSAID lainnya, obat ini menghambat PG sintesis dengan
menghambat COX nonselektif. kemampuan mereka untuk menghambat COX dan mencegah
efek PG pada uterus otot polos dalam pengobatan dismenore. Meskipun obat tersebut berbagi
farmakologis umum, beberapa karakteristik yang unik ada di antara individu obat-obatan.
Naproxen tampaknya sangat efektif dalam mengurangi aktivitas leukosit dalam peradangan,
dan ketoprofen mencegah pelepasan enzim lisosom dengan menstabilkan membran lisosom.
Karena turunan asam propionat sebagai sebuah kelompok cenderung dari dosis
analgesik dan anti-inflamasi aspirin untuk penyebabnya GI atau perdarahan gangguan, pbat
tersebut telah semakin digunakan di tempat aspirin. Meskipun sangat selektif COX-2
inhibitor menantang keunggulan dari ibuprofen dan naproxen selama beberapa tahun dalam
terapi antiartritik karena risiko bahkan lebih rendah dari peristiwa GI yang serius, cardiotoxic
mereka potensi pada pasien tertentu telah sangat berkurang penggunaannya.
NSAID asam propionat hampir sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan. Tingkat
penyerapan umumnya cepat tapi bisa diubah untuk beberapa obat dengan makanan diperut.
Konsentrasi darah puncak dicapai dalam 1 sampai 4 jam. Semua agen ini sangat terikat (>
90%) untuk plasma protein; mereka secara teoritis mampu mengganggu pengikatan obat lain
seperti phenytoin atau sulfonamid. itu obat bervariasi dimetabolisme dan terkonjugasi, dan
mereka sebagian besar diekskresikan dalam urin.
Ibuprofen, fenoprofen, dan ketoprofen memiliki plasma paruh pendek (1 sampai 4
jam), sedangkan naproxen memiliki waktu paruh plasma sekitar 15 jam, yang memungkinkan
lebih sedikit dosis. Flurbiprofen memiliki paruh menengah sekitar 6 jam; waktu paruh dari
oxaprozin adalah sekitar 50jam. Sebuah gambaran singkat dari beberapa obat individual
berikut, dengan penekanan pada penggunaan analgesik obat ini pada pasien dengan sakit gigi
pascaoperasi.

16
2.10.3 Naproksen

 Merek dagang: Apo-naproksen, Naprosyn, Naen, Novonaprox


 Klasifikasi: Analgesik non opoid, Agens antiinflamasi nonsteroid

a) Indikasi
Penatalaksanaan nyeri sedang sampai berat, penatalaksanaan dismenore,
penatalaksanaan gangguan inflamasi, antara lain: artritis reumatoid dan osteoartiritis
b) Kerja Obat
1. Menghambat sintesis prostaglandin
2. Terapeutik: Supresi inflamasi, mengurangi nyeri
c) Farmakokinetik
1. Absorbsi: Diabsorbsi seluruhnya darai saluran Gastro intestinal. Garam natrium
(anaprox) lebih cepat diabsorpsi.
2. Distribusi: Menembus plasenta dan memasuki ASI dalam konsisi rendah
3. Metabolisme dan ekskresi: sebagian besar di metabolisme di hati
4. Waktu paruh: 10-20 jam
d) Kontra Indikasi dan Perhatian
Hipersensitifitas, sensitifitas silang dapat terjadi dengan agens antiinflamasi
nonsteroid lainnya, termasuk aspirin, perdarahan GI aktif. Hati hati pada: penyakit
kardiovaskuler, ginjal atau hati yang parah, riwaat penyakit ulkus,kehamian atau
laktasi (keamanan penggunaan belum di tetapkan)
e) Reaksi Merugikan dan Efek Samping
1. SSP : sakit kepala, mengantuk, pusing
2. KV : edema, palpitasi, takikardia
3. Mata dan THT : tinitus
4. Resp : Dispnea
5. GI : mual, dispepsia, muntah, diare, konstipasi, perdarahan GI, rasa tidak
nyaman, hepatitis, flatulens, anoreksi
6. GU : gagal ginjal, hematuria, histitis
7. Hemat : diskrasia darah, masa perdarahan memanjang
8. Lain lain : reaksi alergi, temasuk anafilkasis

f) Interaksi

17
1. Obat-obat: penggunaan bersama aspirin akan menurunkan kadar naproksen
dalam darah dan mengurangi efektifitasnya,
2. Meningkatkan resiko perdarahan dengan penggunan antikoagulan, agens
trombolitik, sefamandol, sofotetan, sefoperazon, asam valprovat, atau plikamisin
3. Efek samping GI yang merugikan akan bertambah dengan penggunaan aspirin,
glukokortikoid dan agens antiinflamasi nonsteroid lainnya
4. Probenesid meningkatkan kadar dalam darah dan dapat meningkatkan toksisitas
5. Memperbesar resiko foto sensitifitas lainnya
6. Dapat meningkatkan toksisitas metroteksat, agens antineoplatik, atau terapi
radiasi
7. Dapat meningkatkan kadar serum dan resiko toksisitas litium
8. Meningkatkan resiko efek ginjal yang merugikan dengan siklosforin atau
penggunaan kronk asetamiofen
9. Dapat menurunkan respon terhadap antihpertensi aya diuretik
10. Dapat meningkatkan resiko hipoglikemia pada penggunaan insulin atau agens
hipoglikemik oral lainnya
g) Dosis
1. Antiinflamasi: dewasa: 250-500 mg dua kali sehari, anak-anak: 10 mg/kg/hari
dalam dua dosi terbagi.
2. Analgesik : dewasa: 200 mg diawal, dilanjutkan dengan 250 mg tiap 6-8 jam.
h) Sediaan
1. Tablet: 250 mg, 375 mg, 500 mg.
2. Suspensi oral : 125 mg/5 ml

2.10.4 Fenoprofen
Fenoprofen digunakan untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang dari berbagai
kondisi. Obat ini juga dapat mengurangi rasa sakit, bengkak, dan kekakuan sendi dari
arthritis. Fenoprofen dikenal sebagai obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID).

a) Indikasi
Fenoperofen digunakan untuk meringankan nyeri dan peradangan yang terkait dengan
gangguan muskuloskeletal dan sendi.

18
b) Kontraindikasi
1. Pasien dengan hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID lainnya.
2. Pasien dengan trimester ke-3 kehamilan.
3. Pasien yang sedang menyusui.

c) Farmakokinetik
Fenoprofen diabsorpsi dengan baik dari saluran GI dengan distribusinya tidak
menembus plasenta dan memasuki ASI dengan konsentrasi rendah. Sebagian besar
fenoprofen dimetabolisme oleh hati. Sebagian kecil (2-5%) diekskresi dalam bentuk yang
tidak berubah oleh ginjal.

d) Farmakodinamik
Fenoprofen menghambat sintesis prostaglandin dengan menghambat aktivitas
siklooksigenase dengan onsetnya selama 15-30 menit dan durasi selama 4-6 jam.

e) Efek Samping
Efek samping dari fenoprofen adalah gangguan GI, terdapat darah dalam tinja, sakit
kepala, gatal, pusing, mengantuk, disuria, cystitis, hematuria, nefritis interstitial, diskrasia
darah, eritema multiforme, terdapat ulser pada GI, hepatitis, poliuria, gagal ginjal akut,
sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik.

f) Dosis dan Sediaan


1. Dosis: Dewasa: 300-600 mg 3-4 kali sehari. Max Dosis: 3 g/hari.
2. Sediaan: Kapsul: 200 mg, 300mg. Tablet: 600mg.

2.10.5 Ketoprofen
a) Indikasi

Ketoprofen digunakan untuk mengobati gejala-gejala artritis rematoid, ankilosing


spondilitis, gout akut dan osteoartritis serta kontrol nyeri dan inflamasi akibat operasi
ortopedik.

b) Kontraindikasi
1. Pasien yang mempunyai riwayat ulkus peptikum atau dyspepsia dan gagal
ginjal.

19
2. Hipersensitif terhadap aspirin atau NSAID lain.
3. Pasien yang menderita asma bronkial, angioedema, urtikaria atau rhinitis.

c) Farmakokinetik
Ketoprofen dapat dengan mudah diserap dari saluran pencernaan (oral). Puncak
konsentrasi plasma setelah 0,5-2 jam. Diserap dengan baik (IM, rectal). Distribusinya
dengan cairan sinovial (konsentrasi substansial), protein-binding yaitu 99%. Ketoprofen
dimetabolisme oleh hepar melalui konjugasi dengan asam glukuronat dan diekskresikan
lewat urin sebagai konjugat glukuronat.

d) Farmakodinamik
Ketoprofen merupakan suatu antiinflamasi non steroid dengan efek
antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Sebagai anti inflamasi, ketoprofen bekerja
menghambat enzim siklooksigenase sehingga menghambat sintesa prostaglandin.

e) Efek Samping
Efek samping dari ketoprofen adalah:
1. Mual, muntah, diare, dyspepsia, konstipasi, pusing, sakit kepala, ulkus peptikum
hemoragi perforasi, kemerahan kulit, gangguan fungsi ginjal dan hati, nyeri
abdomen, konfusi ringan, vertigo, oedema, insomnia.
2. Reaksi hematologi : trombositopenia.
3. Bronkospasma dan anafilaksis jarang terjadi.

f) Interaksi Obat
1. Pemakaian bersama dengan warfarin, sulfonilurea atau hidantoin dapat
memperpanjang waktu protrombin dan perdarahan gastrointestinal.
2. Pemakaian bersama dengan metotreksat dilaporkan menimbulkan interaksi
berbahaya, mungkin dengan menghambat sekresi tubular dari metotreksat.
3. Ketoprofen menyebabkan peningkatan resiko gangguan ginjal pada pasien yang
menerima diuretik.
4. Efek samping meningkat dengan pemberian aspirin.
5. Peningkatan kadar plasma dengan probenesid.
g) Dosis dan Sediaan
1. Sediaan oral

20
Dosis awal yang dianjurkan: 75 mg 3 kali sehari atau 50 mg 4 kali sehari.
Dosis maksimum 300 mg sehari. Sebaiknya digunakan bersama dengan
makanan atau susu.
2. Injeksi IM
50–100 mg tiap 4 jam. Dosis maksimum 200 mg/hari tidak lebih dari 3 hari.

2.10.5 Ibuprofen
Ibuprofen merupakan jenis obat derivat asam propionat yang termasuk dalam jenis
NSAID yang dapat berfungsi sebagai anti inflamasi, analgesic, dan antipiretik.

a) Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal. Obat-obatan ini
mempunyai waktu paruh singkat tetapi tinggi berikatan dengan protein. Jika dipakai
bersama-sama obat lain yang tinggi juga berikatan dengan protein, dapat terjadi efek
samping berat. Obat ini dimetabolisme dan dieksresi sebagai metabolit inaktif di urin.

b) Farmakodinamik
Ibuprofen menghambat sintesis prostaglandin sehingga efektif dalam meredakan
inflamasi dan nyeri. Perlu waktu beberapa hari agar efek antiinflamasinya terlihat.Juga
dapat menambah efek koumarin, sulfonamid, banyak dari falosporin, dan fenitoin.Dapat
terjadi hipoglikemia jika ibuprofen dipakai bersama insulin atau obat hipoglikemik
oral.Juga berisiko terjadi toksisitas jika dipakai bersama-sama penghambat kalsium.

c) Mekanisme Obat
Aktivitas analgesik (penahan rasa sakit) Ibuprofen bekerja dengan cara menghentikan
Enzim Sikloosigenase yang berimbas pada terhambatnya pula sintesis Prostaglandin yaitu
suatu zat yang bekerja pada ujung-ujung syaraf yang sakit. Aktivitas antipiretik (penurun
panas) Ibuprofen bekerja di hipotalamus dengan meningkatkan vasodilatasi (pelebaran
pembuluh darah) dan aliran darah.

d) Indikasi
Karena efek analgesik dan antiinflamasinya maka dapat digunakan untuk
meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi dan non-sendi. Karena efek
analgesiknya maka dapat digunakan untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang
antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri haid), nyeri pada penyakit gigi atau
pencabutan gigi, nyeri setelah operasi.

21
e) Kontra Indikasi
Kontraindikasi absolut atau orang yang tidak dapat menggunakan ibuprofen adalah
orang yang alergi terhadap obat anti-inflamasi non–steroid (AINS). Kontraindikasi relatif
antara lain gangguan perdarahan, luka pada lambung/duodenum, penyakit lupus, kolitis
ulseratif, dan wanita hamil trimester 3 (karena dapat menyebabkan penutupan prematur
pembuluh darah jantung). Orang yang mengalami asma, radang mukosa hidung, jika
menggunakan aspirin atau obat AINS lain sebaiknya tidak menggunakan ibuprofen.
Hindari penggunaan pada penderita gangguan hati berat dan gangguan ginjal.

f) Efek Sampong
Walaupun jarang terjadi, tapi timbul efek samping sebagai berikut : gangguan saluran
pencernaan termasuk mual, muntah, gangguan pencernaan, diare, konstipasi dan nyeri
lambung. Juga pernah dilaporkan terjadi ruam pada kulit, bronchospasme (penyempitan
bronkus), trombositopenia (penurunan sel pembeku darah).

g) Dosis
Usia Takaran

>12 tahun 200-400 mg

10-12 tahun 300 mg atau 15 ml

7-10 tahun 200 mg atau 10 ml

4-7 tahun 150 mg atau 7,5 ml

1-4 tahun 100 mg atau 5 ml

6-12 bulan 50 mg atau 2,5 ml

3-6 bulan 50 mg atau 2,5 ml

Tablet, kapsul, obat kunyah, bubuk, cairan yang diminum.

h) Signetur
 Dewasa :
Sehari 3 - 4 kali 200 mg (1 tablet)
 Anak-anak :
1-2 tahun : sehari 3-4 kali 50 mg (1/4 tablet)

22
 3-7 tahun : sehari 3-4 kali 100 mg (1/2 tablet)
 8-12 tahun : sehari 3-4 kali 200 mg (1 tablet)
Harus diminum setelah makan.

2.10.7 Fenamat
Fenamat merupakan kelompok NSAID yang pertama kali ditemukan pada 1950s yang
merupakan derivate N-phenylanthranilic acid.Fenamat merupakan grup dari aspirinlike
drugs.Yang termasuk derivate ini adalah mefenamic, meclofenamic, dan flufenamic acids.
(Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005)

2. 10.7.1 Asam Mefenamat


a) Farmakokinetik
Obat ini diabsorbsi secara cepat dan memiliki durasi kerja yang pendek.Pada
manusia, kurang lebih 50% dosis dari asam mefenamat diekskresi di urin sebagai
metabolit 3-hydroxymethyl dan 3-carboxyl dan konjugasinya.20% dari obat dibuang
melalui feses sebagai metabolit 3-carboxyl yang tidak terkonjugasi. (Goodman &
Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005)
1) Absorbsi
Diabsorbsi dari GIT (oral); konsentrasi puncak pada plasma setelah 2-4 jam
2) Distribusi
Memasuki susu ibu (dalam jumlah kecil), >90% mengikat pada plasma albumin.
Volume distribusinya 1,06 l/kg
3) Metabolisme

4) Ekskresi
Diekskresi pada urin (52%) sebagai obat yang tidak berubah dan metabolit; pada
feses (20%). Half life eliminasinya 2-4jam.

b) Farmakodinamik
Asam mefenamic menghambat enzim cyclooxygenase (COX)-1 dan COX-2 dan
mengurangi pembentukan prostaglandins dan leukotrienes.Asam mefenamic juga
bertindak sebagai antagonis pada reseptor prostaglandin.Asam mefenamic juga memiliki
sifat analgesic dan antipiretik dengan aktivitas antiinflamasi minor
c) Indikasi Secara Umum

23
Asam Mefenamat diindikasikan untuk menghilangkan rasa sakit yang sedang /
moderate (terapinya tidak lebih dari 1 minggu) dan untuk menghilangkan primary
dysmenorrheal.Dapat juga digunakan untuk rheumatoid arthritis dan osteoarthritis.
(Yagiela Pharmacology and Theurapeutics for Dentistry,2004)
Indikasi di kedokteran gigi :
1) Untuk perawatan sakit postoperative atau sakit yang terjadi akibat
adanya komponen inflamasi
2) Untuk sakit pada TMJ atau sakit akut akibat impaksi gigi (Goodman &
Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005)

d) Kontra Indikasi
1) Terdapat riwayat alergi atau terjadi asma akibat aspirin atau NSAID.
2) Pada pasien yang memiliki riwayat penyakit gastrointestinal seperti
inflamasi atau pendarahan atau peptic ulcers
3) Disfungsi liver atau ginjal atau terdapat riwayat diare pada penggunaan
asam mefenamat sebelumnya.
4) Asam mefenamat harus digunakan secara hati-hati pada penderita asma
5) Tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui (mims.com)

e) Efek Samping
Kurang lebih 25% dari pengguna obat ini mengalami efek samping pada
gastrointestinal pada dosis terapeutik. Pada 5% pasien juga mengalami peningkatan yang
reversible dari hepatic transaminase. Diare yang parah dan inflamasi pada usus dapat juga
terjadi. Anemia autoimmune hemolitik juga dapat menjadi efek samping yang serius
tetapi jarang terjadi. Efek terhadap system saraf pusat jarang terjadi tetapi nausea, pusing,
penglihatan blur, insomnia dan depresi pernah dilaporkan. Dapat juga terjadi kerusakan
pada fungsi platelet.Bila terjadi diare atau rash (ruam), penggunaan obat ini harus
dihentikan. Kewaspadaan juga harus ditingkatkan apabila terdapat tanda dan symptom
dari anemia hemolitik.
Efek sampingnya : sakit pada perut, dyspepsia, konstipasi, diare, nausea,
gastrointestinal ulcer, edema, bronchospasme, sakit kepala, drowsiness, insomnia,
gangguan penglihatan, hipertensi, takikardi, urtikaria, rash, thrombocytopenia, anemia
aplastik, agranulocytosis, peningkatan enzim liver, fungsi renal yang abnormal,
aotuimmune hemolytic anemia, kejang (fatal). (mims.com)

24
f) Interaksi Obat
Asam mefenamat penyerapannya dapat terganggu bila dikonsumsi bersama dengan
antikoagulan, NSAIDs, dan aspirin. Meningkatkan aktivitas dari antikoagulan oral tetapi
jarang terjadi. Meningkatkan resiko iritasi gastrointestinal dengan alcohol. (Goodman &
Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005) Toksisitas
Penggunaan yang lama dari asam mefenamat dapat menyebabkan perubahan pada system
haemopoietic. Harus dilakukan tes darah secara regular dan penggunaan asam mefenamat
harus dihentikan jika terjadi perubahan. Dapat juga terjadi toksisitas serius pada fungsi
ginjal dan hati, hemolytic anemia dan inflamasi usus. (Yagiela Pharmacology and
Theurapeutics for Dentistry,2004)

g) Dosis dan Bentuk Sediaan


Pada dewasa : dosis oral 250 – 500 mg 3 kali sehari (maximal 7 hari). Tidak
dianjurkan untuk anak-anak dibawah 14 tahun dan tidak boleh untuk ibu hamil. Sediaan :
kapsul, tablet (mims.com).

2.10.8 Derivat Pirol


Tolmetin, Ketorolac dan Diclopenac merupakan senyawa Pirol. Tolmetin tidak terlalu
berperan dalam kedokteran gigi. Maka dari itu, yang akan dibahas hanya Ketorolac dan
Diclopenac.
2.10.8.1 Ketorolac
a) Indikasi
Ketorolak diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut,
sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolak tidak boleh lebih dari
5 hari. Ketorolak secara parenteral dianjurkan segera setelah operasi. Harus diganti ke
analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi ketorolak tidak melebihi 5 hari.
b) Kontraindikasi
1. Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada
kemungkinan sensitivitas silang.
2. Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal
atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain.
3. Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.
4. Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.
5. Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.

25
6. Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
7. Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
8. Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
9. Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L).
10. Riwayat asma.
11. Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis
inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500–
5.000 unit setiap 12 jam).
12. Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
13. Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
14. Anak < 16 tahun.
15. Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam
vesikulobulosa.
16. Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).
Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis
benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.

c) Farmakokinetik
Ketorolak tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian
intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml
setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam
pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari
99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam.
Farmakokinetik ketorolak pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis
tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan
dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan
bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25
L/kg. Ketorolak dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan
dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses.
Pemberian ketorolak secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.

d) Farmakodinamik
Ketorolak tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini
merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang

26
lemah dan anti-inflamasi. Ketorolak tromethamine menghambat sintesis prostaglandin
dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek
terhadap reseptor opiat.

e) Mekanisme
Ketorolak menghambat sintesisi prostaglandin dengan menurunkan aktifitas enzim
cyclooxygenase.
1. Onset: 30-60 menit (oral); 10 menit (Intramuscular)
2. Durasi: 6-8 hari (oral/IM)
3. Absorpsi: Absopsi baik (Oral/IM); Puncak konsentrasi plasma setelah 30-60
menit.
4. Distribusi: Protein-binding: 99%. Melintasi plasenta; masuk ke breast milk;
penetrasi buruh pada CSF
5. Metabolisme: Melalui hepar via asam konjugasi glucuronic
6. Excreasi: Via urine (90%, tanpa perubahan obat dan metabolism), feses (sisa
dosis), terminal elimination half-life: 4-6 hari; 6-7 hari (tua); 9-10 (pelemahan
ginjal)

f) Efek Samping
Ulcer pada GI, Pendarahan dan perforasi, drowsiness, gatal-gatal, brochospasm,
hypotension, psychosis, kering pada mulut, demam, bradycardia, chest pain,
dizziness, sakit kepala, sweating, oedema, pollar, perubahan fungsi hati, iritasi local
(ophthalmic) Kegunaan di Kedokteran Gigi meningkatkan efektivitas Blok Nervus
Inferior Mandibula

g) Interaksi Obat
1. Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati karena
beberapa obat yang menghambat sintesis prostaglandin dilaporkan mengurangi
bersihan Methotrexate, sehingga memungkinkan peningkatan toksisitas
Methotrexate.
2. Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan dengan perdarahan
berat yang kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi pastinya belum diketahui,
namun mungkin meliputi peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal
yang diinduksi NSAID, atau efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan
penghambatan fungsi trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara

27
kombinasi hanya jika benar-benar perlu dan pasien tersebut harus dimonitor
secara ketat.
3. ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan ginjal
yang dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama pada pasien
yang telah mengalami deplesi volume.
4. Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira 20% pada
orang sehat normovolemik.
5. Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila sedang
memakai Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida.
6. Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan Ketorolac
bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.
7. Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada pasien yang
sedang menggunakan obat psikoaktif.

h) Dosis dan Sediaan


Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus
intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik.
Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek
analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum
analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6
jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya
terapi Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan
intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada
penggunaan jangka panjang.
1. Dewasa
Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–
30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif
terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa
dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang berat
badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2 hari. Pada
seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat mungkin. Untuk
pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi tidak boleh
lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan pasien
yang berat badannya kurang dari 50 kg).
2. Pasien lanjut usia

28
Ampul: Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun, dianjurkan memakai
kisaran dosis terendah: total dosis harian 60 mg tidak boleh dilampaui (lihat
Perhatian).
3. Anak-anak
Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum ditetapkan. Oleh karena
itu, Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di bawah 16 tahun. Gangguan
ginjal: Karena Ketorolac tromethamine dan metabolitnya terutama diekskresi di
ginjal, Ketorolac dikontraindikasikan pada gangguan ginjal sedang sampai berat
(kreatinin serum > 160 mmol/l); pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat
menerima dosis yang lebih rendah (tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan
harus dipantau ketat. Analgesik opioid (mis. Morfin, Phetidine) dapat digunakan
bersamaan, dan mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek analgesik optimal
pada periode pasca bedah awal bilamana nyeri bertambah berat. Ketorolac
tromethamine tidak mengganggu ikatan opioid dan tidak mencetuskan depresi
napas atau sedasi yang berkaitan dengan opioid. Jika digunakan bersama dengan
Ketorolac ampul, dosis harian opioid biasanya kurang dari yang dibutuhkan
secara normal. Namun efek samping opioid masih harus dipertimbangkan,
terutama pada kasus bedah dalam sehari.

2. 10.8.2 Diklofenat
a) Indikasi
Sebagai pengobatan jangka pendek untuk kondisi-kondisi akut sebagai berikut:
1. Nyeri inflamasi setelah trauma, seperti karena terkilir.
2. Nyeri dan inflamasi setelah operasi, seperti operasi tulang atau gigi.
3. Sebagai ajuvan pada nyeri inflamasi yang berat dari infeksi telinga, hidung atau
tenggorokan, misalnya faringotonsilitis, otitis. Sesuai dengan prinsip pengobatan
umum, penyakitnya sendiri harus diobati dengan terapi dasar.
Demam sendiri bukan suatu indikasi.

b) Kontraindikasi

29
Aktif peptic ulcer, hipersensitifitas diklofenak atau NSAIDs lainnya. Perawatan
nyeri pada perioperatif pada opersi CABG. Trimester ketiga pada wanita hamil.
Topical: tidak boleh terkena kulit yang terluka.

c) Farmakologi
Diklofenak mempunyai potensi anti-inflamasi, analgesik dan antipyretic. Dengan
menghambat enzim cyclooxygenase.
1. Absorpsi: Cepat diserap (oral solution, rectal suppository, IM); lebih lambat
(enteric-coated tab)
2. Distribusi: Penetrasi synovial fluid; masuk ke ASI (sebagian kecil). Protein
binding: >99%.
3. Metabolisme: Hepar
4. Excresi: 60% dikeluarkan melalui urin (glucuronide dan sulfate conjugates);
35% in bile; 1-2 hari (eliminasi half-life)

d) Efek Samping
Gangguan GI, sakit kepala, dizziness, gatal-gatal; Pendarahan pada GI, peptic
ulcer; abnormal pada fungsi ginjal. Sakit dan jaringan hancur pada Tempat injeksi
(IM); iritasi local (rectal), rasa terbakar sementara dan menyengat (ophthalmic).
Berpotensi fatal: Stevent-Johnson syndrome, exfoliative dermatitis, toxic
epidermal necrolysis.

e) Interaksi Obat
Tidak diberikan pada pasien yang menerima obat NSAIDs lain atau antikoagulan
termasuk dosis rendah pada hepar. Fungsi ginjal bisa lebih buruk ketika menggunakan
diklofenak dengan ciclosporin atau triamterene.
Penyerapan berubah ketika diberikan bersama dengan sucralfate, colestyramine
atau colestipol. Aplikasi Ophthalmic pada diklofenak bisa mengurangi efisiensi
opthtalmic acetylcholine dan carbachol. Peningkatan resiko terjadi ulcer dan
pendarahan pada GI ketika menggunakan bersama corticosteroid, aspirin atau
antikoagulan.
Berpotensi fatal: Peningkatan level darah pada digoxin, lithium dan methotrexate.

f) Dosis dan Sediaan


1. Dewasa:
Umumnya takaran permulaan untuk dewasa 100-150 mg sehari. Pada kasus-
kasus yang sedang, juga untuk anak-anak di atas usia 14 tahun 75-100 mg sehari
pada umumnya mencukupi.

30
Dosis harian harus diberikan dengan dosis terbagi 2-3 kali. Gunakan setelah
makan.
2. Anak-anak:
Tablet kalium diklofenak tidak cocok untuk anak-anak.

2.10.9 COX-2 (Cyclo Oxygenase-2) Inhibitor


Mekanisme utama obat golongan NSAIDs adalah menghambat enzim COX dan
menurunkan produksi prostaglandin di seluruh tubuh, sehingga proses radang, nyeri, dan
demam berkurang. Namun sayangnya, prostaglandin yang berperan melindungi lambung dan
pembekuan darah pun menurun sehingga penggunaan NSAIDs dapat mengakibatkan luka
atau ulkus di lambung disamping gangguan pembekuan darah.
Berdasarkan hal ini, maka para ahli membuat obat NSAIDs yang hanya menghambat
enzim COX-2 saja (karena enzim COX-1 memiliki peranan positif dalam tubuh). Obat ini
dinamakan COX-2 inhibitor. Sebelum obat ini ditemukan, obat golongan NSAIDs
mengakibatkan ulkus lambung. Dengan ditemukannya obat ini, diharapkan peradangan dan
rasa nyeri dapat dikurangi tanpa mengakibatkan ulkus lambung atau gangguan pembekuan
darah. Namun memang tidak ada obat yang sempurna. Obat NSAIDs COX-2 inhibitor ini
ternyata mengkibatkan efek samping buruk bagi jantung sehingga ada beberapa golongan
yang ditarik dari pasaran. Penggunaan obat COX-s inhibitor hanya terbatas pada pasien yang
memiliki risiko tinggi terbentuknya ulkus lambung, dan tidak digunakan pada pasien yang
memiliki penyakit jantung.

2. 10.9.1 Celecoxib
Rumus kimianya adalah 4-(5-[4-metilfenil]-3-[trifluorometil-1H-pirazol-1-il)
benzensulfonamid. Obat ini adalah suatu diaril yang merupakan substitusi pirazol.
a) Indikasi
Osteoarthritis dan arthritis rematoid.
b) Kontraindikasi
Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitif terhadap celecoxib dan jangan diberikan
pada penderita yang alergi terhadap sulfonamide atau menderita asma, urtikaria atau
alergi dengan NSAID lainnya.
c) Farmakokinetik
Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3 jam setelah pemberian per oral. Bila
diberi bersama makanan yang kaya lemak, kadar puncak dalam plasma tertunda 1-2 jam.
Kadarnya akan menurun sebanyak 37% bila diberikan bersama antacid yang mengandung
magnesium dan alumunium. Celecoxib dimetabolisme oleh sitokrom P450 2C9 dan

31
menghasilkan metabolit yang tidak aktif dan diekskresikan melalui feses sebanyak 57%
dan 27% melalui urin.
d) Farmakodinamik
Cara kerjanya menghambat sintesis prostaglandin melalui penghambatan COX-2;
celecoxib tidak menghambat isoenzim COX-1. Celecoxib merupakan NSAID yang
memperlihatkan efek antiinflamasi, analgesic, dan antipiretik.
e) Efek Samping
Dispepsia, diare, dan nyeri abdominal ringan hingga sedang.
f) Interaksi Obat
Secara umum berinteraksi dengan obat yang menghambat sitokrom P450 2C9.
Potensial beraksi dengan flukonazol, litium, furosemid, dan Inhibitor Ace. Tidak ada
interaksi secara klinis bermakna dengan gliburid, ketokonazol, metotreksat, fenitoin, dan
tolbutamid.

g) Dosis dan Sediaan


 Pasien osteoartritris diberikan dosis oral maksimal 200 mg per hari.
 Pasien arthritis rematoid diberikan dosis 100 hingga 200 mg per hari.
Sediaan: Kapsul 50mg, 100mg, 200mg

2. 10.9.2 Rofecoxib
Rumus kimianya adalah 4-[4-(methylsulfonyl)phenyl]-3-phenyl-
2(5H)furanone. Obat ini adalah suatu diaril yang merupakan substitusi furanon. Tapi
sejak tahun 2004 telah ditarik peredarannya karena meningkatkan resiko infark
jantung akut dan kematian mendadak.

a) Indikasi
Osteoartiritis dan arthritis rematoid

b) Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk pasien dengan penyakit jantung iskemik atau CVD, dan juga
PAD. Dan juga pada hipertensi, hiperlipidemia, DM dan merokok.

c) Farmakokinetik
Bioavalibilitas Rofecoxib rata-rata adalah 93%. Kadar puncak plasma setelah
dosis tunggal 25 mg adalah 2-3 jam. Metabolisme rofecoxib terutama dimediasi melalui
pengurangan oleh enzim sitosolik. Produk metabolisme utama adalah turunan cis-dan
trans-dihidro dihidro rofecoxib, yang mencapai hampir 56% dalam urin. Metabolit tidak

32
aktif sebagai COX-1 atau COX-2 inhibitor. Sekitar 72% dari dosis diekskresikan ke
dalam urin sebagai metabolit, dan 14% dalam tinja sebagai obat utuh.

d) Farmakodinamik
Menghambat sintesis prostaglandin melalui penghambatan COX-2. Pada kadar
terapetik, rofecoxib tidak menghambat isoenzim COX-1.

e) Efek Samping
Meningkatnya risiko kardiovaskuler. Kardiotoksisitas disebabkan karena supresi
prostasiklin yang berakibat pada inefesiensi vasodilatasi dan declumping. Rofercoxib juga
mengakibatkan premenstrual acne vulgaris.

f) Interaksi Obat
NSAID dapat mengurangi efek antihipertensi dari Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) inhibitor. Pada pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang, pemberian
25 mg harian Vioxx (rofecoxib) dengan ACE inhibitor benazepril, 10 sampai 40 mg
selama 4 minggu, dikaitkan dengan peningkatan rata-rata tekanan arteri rata-rata sekitar 3
mm Hg dibandingkan dengan ACE inhibitor saja. Interaksi ini harus diberikan
pertimbangan pada pasien yang memakai Vioxx (rofecoxib) bersamaan dengan inhibitor
ACE.

g) Dosis dan Sediaan


Untuk pasien osteoarthritis dan arthritis rematoid dosis maksimal per harinya adalah
25 mg. Sediaan: Tablet dan suspensi oral 12,5 mg atau 25 mg atau 50 mg untuk
administrasi oral.

2. 10.9.3 Valdecoxib
Valdecoxib merupakan agen anti inflamasi oral dan analgesik, termasuk pengobatan
nyeri pasca operasi gigi. Namun, hasil studi menunjukkan nyeri pascaoperasi yang
melibatkan valdecoxib dan intravena prodrug parecoxib pada pasien yang telah menjalani
prosedur CABG mengungkapkan bahwa hanya 10 hari terapi dengan valdecoxib atau
kombinasi dari 3 hari terapi dengan parecoxib diikuti oleh 7 hari terapi dengan valdecoxib
secara signifikan meningkatkan kejadian pascaoperasi serius yaitu sakit kardiovaskular. Hasil
ini, ditambah dengan kejadian yang sangat tinggi dari reaksi kulit serius termasuk sindrom
Stevens-Johnson yang dilaporkan oleh pasien yang memakai terapi valdecoxib, menyebabkan
penghapusan valdecoxib dari pasar pada bulan April 2005 lalu.

33
2. 10.9.4 COX-2 Inhibitor Lainnya
COX-2 inhibitor baru-baru ini telah mengembangkan 2 bentuk yang baru. Anggota
pertama dari grup ini, etericoxib, memiliki 106 kali lipat selektivitas COX-2. Bentuk ini
tersedia di Eropa tetapi ditolak oleh FDA di AS pada April 2007, karena tampaknya tidak
memberikan manfaat yang signifikan. Bentuk kedua yaitu lumiracoxib dengan lebih dari 200
kali lipat COX-2 selektivitas. Meskipun disetujui di Eropa, namun ditolak persetujuan nya
oleh FDA karena kekhawatiran tentang risiko kardiovaskular. Selain itu, Kanada dan
Australia manghapus obat ini dari pasaran karena banyak laporan toksisitas hati yang serius,
termasuk beberapa laporan kegagalan hati yang membutuhkan transplantasi.

2.10.10 Acetaminofen
Acetaminofen (Nacetyl-aminophenol) merupakan satu-satunya derivat aniline yang
digunakan di klinik. Dikenal sebagai pilihan antipiretik analgetic yang digunakan ketika
aspirin tidak dapat digunakan karena masalah gastrik atau kontraindikasi lainnya.

a) Farmakokinetik
Acetaminofen absorpsi paling baik di usus halus setelah administrasi oral.
Obat distribusi di cairan tubuh dan jaringan, dan secara bebas melewati plasenta.
Waktu paruh kurang lebih 2 hingga 4 jam dan tempat primer biotransformasi (oleh
konjungsi glucuronide) adalah di hati.metabolit minor lainnya termasuk konjungsi
sulfat dan metabolit hidrosilase. Reaktif tinggi dan metabilit hepatoxic, N-acetyl-p-
benzoquinoneimine (NAPQI), biasanya sedikit signifikan. Bagaimanapun juga pada
kasus overdosis acetaminofen dan beberapa individu pengkonsumsi berat alkohol dan
acetaminofen. Akan mengganggu akumulasi dari metabolit. Pengikat acetaminofen
dengan protein plasmabervariasi tetapi jarang melebihi 40% total obat. Eliminasi di
ginjaloleh filtrasi di glomelurus dan sekresi tubularproksimal aktif.

b) Farmakodinamik
Acetaminofen memiliki aktifitas analgetik dan antipiretik yang keduannya
sama esensialnya seperti aspirin. Mekanisme aksi obat adalah stem dari inhibisi dari
sisntesis PG, walaupun terdapat perbedaan dengan spektrum enzim COX yang
diinhibisi. Acetaminofen lebih aktif dibandingkan aspirin sebagai inhibitor CNS COX
(termasuk COX-3, enzim karakter baru) dan kurang aktif di perifer. Efek antiinflamasi
acetaminofen lebih lemah daripada aspirin. Acetaminofen merupakan selektif
inhibitor neuronal sintesis PG daripada aspirin. Mekanisme perifer acetaminofen
secara parsial berfungsi untuk efek analgesiknya. Terdapat peroksida di leukosit pada

34
jaringan inflamasi mengarahkan inhibisi acetaminofen yang disebabkan kombinasi
peroksida dengan acetaminofen . Acetaminofen tidak melihat PGs dan termasuk
aktivasi jalur spinal serotogenik dan inhibisi syahase nitric oksida.

c) Indikasi
Acetaminofen diindikasikan untuk meredakan secara temporer demam dan
sakit dan nyeri minor. Diindikasikan unutk meredakan nyeri ringan hingga sedang
karena sakit kepala, sakit otot, menstruasi, flu dan radang tenggorokan, sakit
punggung, reaksi suntuk dan untuk meredakan demam. Bisa juga untuk meredakan
nyeri osteoarthritis.

d) Kontraindikasi
Acetaminofen tidak dapat digunakan padapasien yang memiliki hipersensitif
terhadap acetaminophen

e) Mekanisme Kerja
Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan
lambung.
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat
peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid
sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri
ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan
keadaan lain.
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol
tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan
pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal,
Salsilamid maupun Parasetamol. Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol
mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-
anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada
pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat
diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif
terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri.

35
f) Sediaan dan Dosis
Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup
yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan
kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa
300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300
mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada
keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari.

g) Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya
berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian
kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune,
defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia
dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya
kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan
masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan
penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat
tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba
menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada
Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama
dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.

h) Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik
dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit
hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi,
sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis
sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi
ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama
Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.

i) Dosis Toksik

36
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis
lebih dari 20g.
bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang
menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena
produksi metabolit meningkat.

j) Gambaran Klinis Keracunan Parasetamol


Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
1. Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat,
berkeringat.
Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
2. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus,
nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula
gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
3. Stadium III ( 72-96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan
terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.
4. Stadium IV ( 7-10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat
terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana
Darsono 2002)

k) Penanganan Keracunan Paracetamol:


1 Dekontaminasi sebelum ke Rumah Sakit :
Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-
anak dengan waktu paparan 30 menit.

2 Rumah Sakit:
Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan
melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk

37
menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan
menghambat metionin.
3 Antidotum
- N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol. N-
asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan
mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif
bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit.
- Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi
absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein

l) Dosis
Cara pemberian N-asetilsistein
1. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit,
dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100
mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.
2. Oral atau pipa nasogatrik
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB
setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan
muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ).
Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan
sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum
metabolit terakumulasi.

m) Prescription
OBAT SEDIAAN DOSIS

DEWASA ANAK-ANAK

Ibuprofen Tablet Sehari 3 - 4 kali 200 1-2 tahun :sehari 3-4


mg kali 50 mg (1/4
(1 tablet) tablet)
3-7 tahun :sehari 3-4
kali 100 mg (1/2
tablet)
8-12 tahun :sehari 3-
4 kali 200 mg (1

38
tablet)
100 mg
Naproxen Tablet
Fenoprofen Kapsul: 200 mg, 250mg (3x sehari)
300mg. Tablet: 300-600 mg 3-4 kali
600mg. Sehari
Aspirin
Asam mefenamat Tablet
Tablet dan kapsul 500 mg (4jam sesuai
Ketoprofen kebutuhan)
Tablet Dosis oral 250 – 500
seha
mg 3 kali ri
(maximal 7 hari).
yan
Ketorolac Dosis awal g
Dislofenac Ampul dianjurkan: 75 mg 3
Paracetamol Tablet kali sehari atau 50
seha
Tablet mg 4 kali ri.
Dosis maksimum 300
mg sehari. 1-6 tahun:
10-30mg tiap 4-6jam. 60mg/kali,

Piroxicam 100-150mg sehari. 6-12 tahun: 150-300


Tenoxicam 300mg-1g per kali, mg/kali, dengan
Asam mefenamic dengan maksimum maksimum 1,2g/hari.
Tablet 4g per hari. Pada keduanya
diberikan maksimum
6 kali sehari.

10-20mg sekali
sehari.

39
10-20mg sekali
sehari.
250mg 4x sehari.

2.11 Tramadol
Tramadol merupakan obat analgesik yang bekerja secara sentral, bersifat agonis opioid
(memiliki sifat seperti opium/morfin), dapat diberikan peroral, parenteral, intravena,
intramuscular, dalam beberapa penelitian menunjukkan efek samping yang ditimbulkan oleh
karena pemberian tramadol secara bolus intravena diantaranya adalah mual, muntah, pusing,
gatal, sesak nafas, mulut kering dan berkeringat, selain itu tramadol menunjukkan
penggunaannya lebih aman bila dibandingkan dengan obat analgesik jenis morfin yang
lain.Dalam perkembangan untuk untuk mendapatkan analgesik yang ideal, tramadol menjadi
drug of choice sebagai analgesik, tramadol adalah campuran rasemik dari dua isomer, salah
satu obat analgesic opiate (mirip morfin), termasuk golongan aminocyclohexanol, yang
bekerja secara sentral pada penghambat pengambilan kembali noradrenergic dan serotonin
neurotransmission, dapat diberikan peroral, parenteral, intravena, dan intramuscular

a) Farmakodinamik
Tramadol mempunyai 2 mekanisme yang berbeda pada manajemen nyeri yang
keduanya bekerja secara sinergis yaitu agonis opioid yang lemah dan penghambat
pengambilan kembali monoamine neurotransmitter.5 Tramadol mempunyai
bioavailabilitas 70% sampai 90% pada pemberian peroral, serta dengan pemberian
dua kali sehari dapat mengendalikan nyeri secara efektif.6 Tramadol mempunyai efek
merugikan yang paling lazim dalam penggunaan pada waktu yang singkat dan
biasanya hanya pada awal penggunaannya saja yaitu pusing, mual, sedasi, mulut
kering, berkeringat dengan insidensi berkisar antara 2,5 sampai 6,5%. Tidak
dilaporkan adanya depresi pernafasan yang secara kllinis relevan setelah dosis obat
yang di rekomendasikan. Depresi pernafasan telah ditunjukkan hanya pada beberapa
pasien yang diberikan tramadol sebagai kombinasi dengan anastesi, sehingga
membutuhkan nalokson pada sedikit pasien. Pada pemberian tramadol pada nyeri

40
waktu proses kelahiran, tramadol intravena tidak menyebabkan depresi pernafasan
pada neonates.

b) Farmakokinetik
Setelah pemakaian secara oral seperti dalam bentuk kapsul atau tablet,
tramadol akan muncul di dalam plasma selama 15 sampai 45 menit, mempunyai onset
setelah 1 jam yang mencapai konsentrasi plasma pada mean selama 2 jam. Absolute
oral bioavailability tramadol kira-kira sebesar 68% setelah satu dosis dan kemudian
meningkat menjadi 90 hingga 100% pada banyak pemakaian (multiple
administration). Tramadol mengalami metabolisme hepatik, secara cepat dapat
diserap pada traktus gastrointestinal, 20% mengalami first-pass metabolism di dalam
hati dengan hamper 85% dosis oral yang metabolisir pada relawan muda yang sehat.
Hanya 1 metabolit, O-demethyl tramadol, yang secara farmakologis aktif. Mean
elimination half-life dari tramadol setelah pemakaian secara oral atau pemakaian
secara intravena yakni 5 hingga 6 jam.
Hampir 90% dari suatu dosis oral diekskresi melalui ginjal. Elimination half
life meningkat sekitar dua kali lipat pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
hepatic atau renal. Pada co-administration (pemakaian bersam-sama) dengan
carbamazepine untuk mempengaruhi enzim hepatic, elimination half-life dari
tramadol merosot Pada wanita hamil dan menyusui, tramadol dapat melintasi plasenta
dan tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum partus, hanya 0,1% yang
masuk dalam air susu ibu, meskipun demikian tramadol tidak dianjurkan selama masa
kehamilan dan laktasi.

c) Mekanisme Kerja
Tramadol bekerja dengan dua macam mekanisme yang saling memperkuat
yaitu :
1. Berikatan dengan reseptor opioid yang ada di spinal dan otak sehingga
menghambat transmisi sinyal nyeri dari perifer ke otak.
2. Meningkatkan aktivitas saraf penghambat monoaminergik yang berjalan
dari otak ke spinal sehingga terjadi inhibisi transmisi sinyal nyeri.

d) Dosis

41
Tramadol tersedia untuk pemakaian oral. Parenteral, intramuscular, rectal dan
subkutan. Dosis tramadol hendaknya dititrasi menurut intensitas rasa nyeri dan respon
masing-masing pasien dengan 50 sampai 100 mg 4 kali sehari biasanya untuk
memberikan penghilangan rasa nyeri yang memadai. Total dosis harian sebanyak
4000 mg biasanya cukup. Suntikan intravena harus diberikan secara perlahan-lahan
guna mengurangi potensi kejadian yang merugikan, terutama rasa mual. Berdasarkan
data farmakokinetik, perlu hati-hati pada pasien dengan disfungsi ginjal atau hepatik
karena potensi tertundanya eliminasi dan akumulasi obat yang ada. Pada sejumalah
pasien ini, interval dosis harus diperpanjang. Tramadol dapat digunakan pada anak-
anak dengan dosis sebesar 1 hingga 2 mg/kgBB

e) Penyerapan dan Distribusi


Setelah pemakaian secara oral dosis tunggal tramadol sebanyak 100 mg dalam
kapsul atau tablet pada relawan muda yeng sehat, konsentrasi plasma dapat dideteksi
dalam waktu sekitar 15 sampai 45 menit, dan puncak konsentrasi plasma obat (Cmax)
sebesar 280 sampai 308 ug/L tercapai pada 1,6 hingga 2 jam pasca dosis (tmax). Mean
Bioavailabilitas tramadol oral setelah pemakaian morfin, petidin dan pentazocine,
yang semuanya ini cenderung memiliki biovailabilitas rendah dan variable/berubah-
ubah. Setelah beberapa pemakaian secara oral tramadol 100 mg 4 kali sehari selama 7
hari, Cmax 16% lebih tinggi dan di bawah kurva waktu konsentrasi plasma (AUC)
36% lebih tinggi setelah satu dosis tunggal sebanyak 100 mg. yang menunjukkan
bahwa biovailabilitas oral meningkat sekitar 90 hingga 100% terhadap beberapa kali
pemakaian (multiple application). Mean bioavalibilitas mutlak setelah pemakaian
intramuscular yaitu sebesar 100% dan setelah pemakain rectal sebesar 78%. Tramadol
terdistribusi dengan cepat setelah pemakaian intravena dengan distribusi waktu paruh
(half-life) pada fase awal selama 6 menit setelah fase distribusi yang lebih lambat
dengan waktu paruh selama 1,7 jam.

f) Kontra Indikasi
 Pasien dengan hipersensitivitas terhadap tramadol
 Intoksikasi akut dengan alkohol, analgesik, opioid, obat hipnotik dan psikotropik.
 Pasien yang menggunakan inhibitor MAO dalam waktu 14 hari terakhir.
 Pasien dengan hipersensitivitas opioid

42
g) Efek Samping
Efek samping yang sering timbul adalah sakit kepala,dan mulut kering. Efek
samping yang jarang timbul adalah takikardi, depresi pernafasan, dispepsia, pusing.
Tramadol merupakan obat dengan kategori C ( tidak menyebabkan efek teratogenik
dan toksik pada penggunaan dosis terapeutik).

BAB III
KESIMPULAN

43
NSAIDs atau Non Steroid Anti Inflamation Drugs merupakan salah satu obat yang
sering digunakan dalam mengatasi inflamasi. NSAIDs bekerja dengan cara menghambat
enzim cylooxygenase-1 dan 2 (COX-1 dan COX-2) sehingga menurunkan produksi
prostaglandin (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) yang merupakan mediator inflamasi sehingga
mengakibatkan terjadinya vasokontriksi. Selain mengakibatkan vasokontriksi, penghambatan
produksi prostaglandin ini berefek pada meningkatnya retensi natrium. Berdasarkan
mekanisme tersebut maka penggunaan NSAIDs ini dapat berdampak pada timbulnya
beberapa komplikasi seperti hipertensi, edema, gangguan fungsi ginjal, dan perdarahan
gastrointestinal

44
DAFTAR PUSTAKA

1 Ari Sudewa Ida Bagus, Budiarta I Gede. Siklooksigenase Jalur Arakidonat dan Non
Steroidal Anti Inflamation Drugs. Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana. 2017
2 Fournier JP, Sommet A, Durrieu G, Pourtrain JC, Mestre ML, dkk. Drug interactions
between antihypertensive drugs and non-steroidal anti-inflammatory agents : a
descriptive study using the French Pharmacovigilance database. Fundamental &
Clinical Pharmacology. 2014 ; 28 (1) 230-5
3 Puri Zahra A, Carolia Novita. Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS). Fakultas
Kedokteran. Universitas Lampung. 2017
4 Putri Imananta Fadhilla, Sulistiyaningsih. Artikel Tinjauan : Penggunaan NSAIDs
(Non Steroidal Anti Inflamation Drugs) menginduksi peningkatan tekanan darah pada
pasien Arthritis. Universitas Padjajaran. 2018

45
46
47
48

Anda mungkin juga menyukai