Anda di halaman 1dari 3

MELESTARIKAN TRADISI MENYAMBUT KEPULANGAN JAMA’AH HAJI

Perkembangan Islam di Indonesia, sarat akan budaya yang telah terwarnai dengan nilai nilai
keagamaan. Islam sebagai agama yang menghargai tradisi masyarakat ketika itu dipandang sebagai
agama yang lebih layak dianut oleh masyarakat. Imam Ibnu ‘Aqil didalam kitab al-funun mengatakan
“tidak sebaiknya keluar dari adat istiadat manusia, kecuali dalam perkara haram”. (Ibnu Muflih Al-
Maqdisi, Al-Adab Al-Syar’iyyah, Juz 2 Hal. 136-137).
Hal ini menjadi pijakan utama para penyebar Islam di belahan bumi Nusantara berdakwah dengan
melakukan pendekatan budaya yang telah “diislamkan”, berkat kebijaksanaan tersebut, masyarakat
tidak menganggap Islam sebagai agama yang asing, yang hanya menceritakan tentang azab dan siksa.
Hingga akhirnya Islam dapat tersebar di Nusantara tanpa pertumpahan darah.
Dahulu masyarakat di Indonesia biasa memberikan korban/ sesajen berupa anak gadis perawan
ke gunung merapi, agar gunung tersebut tidak erupsi dan sebagainya. Ketika para ulama melihat hal ini,
bila langsung dikatakan haram maka dakwah islam akan ditolak mentah-mentah. Maka para ulama yang
berdakwah di Indonesia “Mengganti” anak gadis perawan itu dengan seekor kerbau. Diawali dengan
do’a bersama untuk menyampaikan hajat kepada Allah, kemudian menyembelih kerbau untuk dimakan
bersama sama dan kepala kerbau itu dibuang ke gunung merapi, hingga akhirnya tidak ada lagi
korban/sajen dalam bentuk anak gadis perawan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika proses Islamisasi
budaya telah dilakukan, maka budaya tersebut boleh boleh saja dilaksanakan.
Tanpa terasa sebentar lagi kita akan menyambut kepulangan jama’ah haji yang kembali ke tanah
air. Masyarakat Indonesia biasanya melakukan beberapa prosesi penyambutan kepulangan para jama’ah
haji tersebut. Penyambutan tersebut biasa disebut “Walimah Safar”.
Soal : Apakah yang dimaksud dengan Walimah Safar ?
Jawab : Walimah Safar dalam literatur fikih dikenal dengan istilah an-naqi’ ah . yakni semacam kenduri
untuk menyambut kedatangan musafir, terutama yang kembali dari perjalanan jauh semisal haji. (Lihat
Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhir Raudhatit Thalib, juz 15, halaman 407).

Soal : Dalam acara walimah safar (naqi’ah) biasanya disediakan makanan untuk disantap bersama,
apakah hal ini diperbolehkan dan ada petunjuknya dari Baginda Nabi Muhammad Saw ?
Jawab : Dalam hal ini Imam An-Nawawi menyatakan “Disunahkan melangsungkan naqi’ ah , yaitu
makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau
orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.”(Majmu’ Syarh al-Muhazzab Juz 4 Hal. 400)
Rasulullah Saw juga melaukan walimah safar (Naqi’ah) ketika datang ke kota madinah, Beliau
menyembelih seekor sapi untuk kemudian disantap bersama para sahabat (Shahih Al-Bukhari Juz 4 Hal
77 No. 3089)
Beberapa keterangan diatas menunjukkan bahwa telah ada contoh yang dilakukan Rasulullah dan para
sahabat untuk menyambut kedatangan orang yang pulang dari safar. Dengan demikian tentu bertambah
kuatlah keyakinan kita bahwa tradisi tersebut boleh dilaksanakan.

Soal : Dalam prosesi walimah Safar, jama’ah haji yang pulang ketanah air juga ditepung tawari, bolehkah
tepung tawar tersebut dilakukan ?
Jawab : tepung tawar dalam tatanan hukum Islam masuk dalam masalah tafa’ul (harapan akan
berubahnya keadaan dengan isyarat tertentu). Tentunya hal ini boleh dilakukan. Diantara contoh tafa’ul
yang sering dilakukan adalah membaca do’a tolak bala dengan membalikkan punggung telapak tangan
keatas sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, ketika berdo’a setelah shalat sunnat istisqa’
(Lihat : Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 517 dan 518), menyiramkan air
yang suci dan sejuk ke kuburan dengan harapan bertambah baiknya keadaan mayit yang ada didalam
kubur (Lihat : Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Juz.II, Hal.119), Nabi juga sering mengunyah
kurma kemudian dimasukkan kedalam mulut bayi dengan harapan anak tersebut baik dan manis
akhlaknya, dan banyak contoh tafa’ul lainnya yang telah dicontohkan Rasulullah. Memercikkan air ke
tubuh orang yang baru pulang dari ibadah haji-pun merupakan salah satu bentuk tafa’ul dengan harapan
menghilangkan kelelahan dan berharap datangnya kebaikan dari Allah untuk orang tersebut. Rasulullah
pun pernah melakukan hal yang sama ketika menikahkan sayyidatina Fathimah dengan Sayyidina ‘Ali
Kwh. (Lihat : Al-Thabrany, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 263-264. No. Hadits :
18454

Soal : Berdasarkan hadits riwayat Imam At-Thabrani, Rasulullah hanya menepung tawari Sayyidah
Fathiman dan Sayyidina ‘Ali menggunakan air. Sedangkan diIndonesia ditambah dengan dedaunan,
beras dan bunga-bungaan, apakah hal ini tidak termasuk hal yang mubazir ?

Jawab : Pada dasarnya Allah menciptakan segala sesuatu dimuka bumi ini untuk dimanfa’atkan oleh
seluruh manusia (Qs. Al-Baqarah 29). Didalam riwayat Imam At-Thabrani tersebut, Rasulullah juga
meludahi air sebelum ditepung tawari kepada putri dan menantunya. Hal ini menunjukkan bahwa
Rasulullah mencampurkan sesuatu kedalam air. Setidaknya hal ini menjadi isyarat bahwa menepung
tawari tidak ada salahnya bila ditambah dengan dedaunan atau wewangian, termasuk menaburkan
beras / pulut pada prosesinya.

Hal tersebut tentu tidak termasuk mubazzir, sebab Ar-Razi didalam Mukhtar As-Shihhah dan Al-Jurjani
didalam at-Ta’rifatnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mubazzir adalah membagi-bagi harta
dengan jalan berlebihan /israf. Sedangkan dedaunan, bunga-bungaan yang digunakan biasanya
disimpan untuk menjadi pewangi, dan beras yang ditaburkan masih bisa dimanfaatkan dijadikan pakan
ternak.

Soal : Sudah menjadi tradisi pula setiap jama’ah haji yang pulang ke tanah air membawa oleh-oleh untuk
dibagikan kepada sanak family dan saudara, apakah hal ini diperbolehkan ?
Jawab : Membawa oleh oleh untuk dibagikan kepada sanak family dan saudara adalah hal yang
disunnahkan. Sebab hal tersebut termasuk perbuatan yang menyenangkan orang lain. Dalam hal ini
Rasulullah bersabda : “Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah membuat gembira terhadap seorang
muslim, atau menjauhkan kesusahan darinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan
laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku
cintai daripada beri’ktikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan.” (HR. Thabrani di dalam al-
Mu’jam al-Kabir, no. 13646). Imam Al-Ghazali pun menyatakan : "Dianjurkan untuk membawa oleh-oleh
(buah tangan) baik brupa makanan atapun yang lainnya untuk keluarga dan krabatnya disesuaikan
dengan kemampuannya. Dan hal yang seperti itu hukumnya sunnah...... Hal ini karena keluarga atau
krabat yang di rumah akan melihat pada apa yang di bawa dari bepergian. Hati mereka akan merasa
senang akan kedatangannya dan akan menjadi lebih bertambah bahagia manakala disertai dengan
oleh-oleh yang dibawanya." (Ihya' Ulumuddin juz 2 hlm 257)
Berdasarkan beberapa uraian singkat diatas, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa tradisi yang
sering dilakukan oleh masyarakat muslim di Indonesia khususnya adalah hal yang diperbolehkan dan
termasuk adat (‘Urf) yang shahih dan dibenarkan dalam syari’at Islam serta disunnahkan oleh Rasulullah
Saw. Oleh sebab itu alangkah baiknya kita melestarikan budaya budaya tersebut demi menjaga dan
memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik serta melaksanakan sunnah Rasulullah Saw. Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai