Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan


sinus paranasalis. Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam
praktek dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
kesehatan tersering seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold)
yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat di
ikuti infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus
maksilaris dan etmoid, sedangkan sinus frontalis lebih jarang dan sinus sfenoidalisalis
lebih jarang lagi. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi
ke orbita dan intra kranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit
di obati.
Rinosinusitis diklasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut,
rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronik. Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat
diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa. Kasus rinosinusitis kronis itu
sendiri sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap
tahunnya dan kira-kira sejumlah 200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi
rinosinusitis per tiap tahunnya

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


1. Hidung
1.1. Anatomi
Hidung merupakan suatu organ yang berperan pada sistem respirasi atas
maupun sistem indera sebagai organ penghidu. Secara anatomi, hidung
dibagi menjadi dua bagian, yaitu hidung bagian luar (nasus external) dan
rongga hidung (nasus interna atau cavum nasi).
Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir
atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas :
kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung
(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala
nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang
hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis
os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior
kartilago septum.

2
Gambar 2.1. Anatomi hidung luar. A) tampak lateral B) tampak basal

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari


os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka
inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan
meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior
oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila,
krista palatine serta krista sfenoid.
Kavum nasi terdiri dari:
- Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.

3
- Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
- Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

Gambar 2.2. Struktur dinding lateral cavum nasi

- Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior;
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka

4
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok
sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu
atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka
superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal,
tempat bermuaranya sinus sfenoid.(2)
Meatus media merupakan salah satu celah yang penting yang
merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior.
Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior
sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan
sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan
hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid.
Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum. Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga
meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira
antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

5
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis
os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. Di bahgian atap dan
lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila,
etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap
ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah
rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang
dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian
lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium
dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri
ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris
interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
arteri fasialis. Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach merupakan anyaman
pembuluh darah pada septum nasi bagian anterior.
Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum
anterior & posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior.
Pecahnya plexus Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis
anterior.

6
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris
dari nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior.
Rongga hidung bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus
maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis
posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina.
Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek
persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan
vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang
dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut
halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk
melembabkan rongga hidung.

KOMPLEKS OSTIOMEATAL
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal.

7
Gambar 2.3. Dinding lateral cavum nasi yang menunjukkan berbagai muara sinus

1.2. Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas;
2) pengatur kondisi udara (air conditioning); 3) sebagai penyaring dan
pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara; 6) proses bicara; 7)
refleks nasal.(4)
1) Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke
atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di
bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.

8
2) Pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara
optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 37o C.
3) Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari
debu dan bakteri dan dilakukan oleh : (4)
- Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
- Silia
- Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan
ke nasofaring oleh gerakan silia.
- Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4) Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini

9
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.
5) Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau.
6) Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal
(m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka,
palatum molle turun untuk aliran udara.
7) Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi
mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti.
Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung
dan pankreas.

2. Sinus Paranasal
2.1. Anatomi
Sinus paranasal merupakan rongga-rongga di dalam tulang kepala yang
berada di sekitar nasal dan memiliki hubungan dengan cavum nasi melalui
ostiumnya. Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus frontalis,
sphenoidalis, ethmoidalis dan sinus maksilaris.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah
janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang
menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus
usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoidalisalisalis dan sinus frontalis. Sinus
maksilaris dan sinus etmoidalis telah ada saat anak lahir, saat itu sinus

10
maksilaris sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih
rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat.
Sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoidalisalisalis dimulai
pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia
antara 15-18 tahun.
a. Sinus maksilarisris
Pada waktu lahir sinus maksilaris hanya berupa celah kecil
disebelah medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada
dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga
pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi.
Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna
terjadi setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai
antara usia 15 dan 18 tahun. Sinus maksilaris atau Antrum Highmore,
merupakan sinus paranasal yang terbesar, bentuk piramid ireguler
dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya kearah
apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut Moris pada buku
anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7–8 x 4–
6 mm dan untuk usia 15 tahun 31–32 x 18–20 x 19–20 mm. Sinus
maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksilaris bervolume 6–8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat
dewasa.
Perdarahan pada sinus maksilaris meliputi cabang arteri
maksilaris termasuk infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri
sfenopalatina, arteri greater palatine serta anterior superior dan
posterior dari arteri alveolaris, sedangkan vena yang mendarahinya

11
adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan plexus vena
pterygoid.
Sinus maksilaris ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris
(V2) yang mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior
nasal dan cabang superior alveolar dari nervus infraorbita.3
Sinus maksilaris mempunyai beberapa dinding yaitu:
a. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis
os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris
konka inferior dan sebagian kecil os maksilaris. Dinding medial
sinus maksilaris merupakan dinding lateral hidung dimana
terdapat ostium sinus yang menghubungkan sinus maksilaris
dengan infundibulum ethmoid. Ostium ini terletak pada bagian
superior dari dinding medial, biasanya pada pertengahan posterior
dari infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posterior duktus
nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke lamina
papyracea dari tulang etmoid.
b. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari
tulang yang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis.
c. Dinding posterior–inferior atau dasarnya biasanya paling tebal
dan dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar
palatum durum. Dinding posterior memisahkan sinus dari fossa
infratemporal dan fossa pterigomaksila.
d. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang
berhadapan dengan fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit
pipi.
Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada
anak letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan pada dewasa
letaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum nasi.

12
Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke
mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan ronggga
sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
b. Sinus frontalis
Perkembangan sinus frontalis dimulai pada bulan keempat
kehamilan kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian
frontal reses. Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga
tahun kedua setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara
lambat kearah vertikal pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia
remaja. Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan
dari sinus ini. Ukuran sinus frontalis pada orang dewasa sekitar 28 x 27
x 17 mm dengan volume 6 sampai 7 ml.
Perdarahan pada sinus frontalis meliputi cabang supra troklear
dan supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior
optalmikus yang mengalir kedalam sinus kavernosus. Sensasi mukosa
sinus frontalis ini mendapati persarafan dari percabangan supratroklear
nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (V1).
Sinus frontalis terletak pada tulang frontal dibatas atas
supraorbital dan akar hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara
vertikal dibatas midline dengan ukuran masing-masing yang bervariasi.
Sinus frontalis sangat berhubungan erat dengan tulang etmoid anterior.
Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior oblik dan
posterior dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita.
Ostium alami dari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar sinus.
Sel-sel infraorbita bisa terobstruksi dan membentuk mukokel yang
terisolasi dari ostium dan sinus etmoidalis.

13
c. Sinus etmoidalis
Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat
setelah kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung
pada daerah meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior
(etmoid posterior). Saat setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru
tampak.
Secara embriologis, sinus etmoidalis ini terbentuk dari lima
etmoturbinal. Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid
basal lamella (ground lamella), konka superior dan konka suprema.
Sel-sel sinus etmoidalis ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada
usia dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel
anterior dan 20 x 20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel
etmoid ini biasanya mengandung 10–15 sel persisi dengan total volume
14–15 ml.
Perdarahan pada sinus etmoidalis meliputi cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri
optalmikus dari arteri karotis interna. Sedangkan aliran vena berasal
dari vena maksilaris dan etmoidalis yang mengalir kedalam sinus
kavernosus. Inervasi persarafan dari sinus etmoidalis ini berasal dari
cabang posterolateral hidung dari nervus maksilaris (V2) dan cabang
nervus etmoidalis dari nervus optalmikus (V1).
Anatomi dari sinus etmoidalis ini cukup kompleks, bervariasi dan
merupakan subjek penelitian yang baik. Sinus etmoidalis memiliki
dinding yang tipis dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada
bagian lateral berbatasan dengan dinding medial orbita (lamina
papyracea) dan bagian medial dari kavum nasi. Sinus ini terletak di
inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan midline. Beberapa sel
melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila. Kelompok sel

14
anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatus media,
sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus superior.

d. Sinus sfenoidalisalis
Sinus sfenoidalis mulai berkembang saat bulan ketiga setelah
kelahiran yang merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior
posterior dari kavum nasi, yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal
recess.
Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-
kanak dan mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun.
Sinus ini mengalami pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah
berusia 12 sampai 15 tahun.
Sinus sfenoidalis kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi
oleh septum intersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada
tahun pertama dan 14 x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas
sinus berkisar 7,5 ml.
Perdarahan sinus sfenoidalis meliputi cabang arteri sfenopalatina
dan arteri etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena
maksilaris dan pleksus pterigoid. Inervasi persarafan dari sinus
sfenoidalis ini berasal dari cabang nervus etmoidalis posterior dari
nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal dan sfenopalatina dari nervus
maksilaris.
Sinus sfenoidalis ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan
dengan arteri karotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta
sinus interkavernosus. Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga,
keempat opthalmikus dan maksilaris dari nervus kranialis kelima dan
ke-enam.
Dibagian superior terletak lobus frontalis dan bagian olfaktori.
Dibagian posterior terdapat fosa pituitari. Nervus dan pembuluh darah

15
sfenopalatina terletak didepan dari sinus sfenoidalis ini, sedangkan
nervus vidianus terletak dibagian inferiornya.
2.2. Fisiologi
Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan
masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa
sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya
sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat
membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,
melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan
penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanya
berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit.6
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan
dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat
sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang
defenitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak
mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak
terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala

16
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan
tulang, hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari
berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara
dan mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara
resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategi.

B. RHINOSINUSITIS
1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus
paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus

17
paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat
sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua
mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di
belakang dahi).
Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2007 (EP3OS), British Society for Allergy and Clinical
Immunology (BSACI) Rhinosinusitis Initiative (RI), Joint Task Force on
Practice Parameters (JTFPP), dan Clinical Practice Guidelines : Adult
Sinusitis (CPG:AS), 4 diantaranya sepakat untuk mengadopsi istilah
rinosinusitis sebagai pengganti sinusitis, sementara 1 pedoman yakni
JTFFP, memilih untuk tidak menggunakan istilah tersebut. Istilah
rinosinusitis dipertimbangkan lebih tepat untuk digunakan mengingat
konka nasalis media terletak meluas secara langsung hingga ke dalam sinus
ethmoid, dan efek dari konka nasalis media dapat terlihat pula pada sinus
ethmmoid anterior. Secara klinis, inflamasi sinus (yakni, sinusitis) jarang
terjadi tanpa diiringi inflamasi dari mukosa nasal di dekatnya. Namun, para
ahli yang mengadopsi istilah rinosinusitis tetap mengakui bahwa istilah
rinosinusitis maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian,
mengingat istilah rinosinusitis baru saja digunakan secara umum dalam
beberapa dekade terakhir.

2. Klasifikasi
Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling
sederhana adalah pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala.
Rinosinusitis didefinisikan akut menurut 3 guidelines (pedoman) yakni
oleh RI, JTFPP, dan oleh CPG:AS yakni apabila durasi gejala berlangsung
selama 4 minggu atau kurang. Oleh CPG:AS rinosinusitis diklasifikasikan
sebagai subakut apabila gejala berlangsung antara 4 minggu hingga 12
minggu, sedangkan definisi dari JTFPP menentukan durasi subakut mulai

18
dari 4 minggu hingga 8 minggu. Lebih jauh lagi CPG:AS mendefinisikan
rinosinusitis akut berulang (recurrent) sebagai 4 episode atau lebih
rinosinusitis akut yang terjadi dalam setahun, tanpa gejala menetap di
antara episode, sementara JTFPP mendefinisikan rinosinusitis akut
berulang sebagai 3 episode atau lebih rinosinusitis akut per tahun. Untuk
rinosinusitis kronik, hampir semua pedoman sepakat bahwa rinosinusitis
kronik merupakan gejala rinosinusitis yang menetap selama 12 minggu
atau lebih, kecuali JTFFP yang menetapkan gejala rinosinusitis yang
menetap selama 8 minggu atau lebih sebagai kriteria rinosinusitis kronik.

3. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan kompleks ostiomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,
kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan
di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang
paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip
dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

19
Penyebab sinusitis dibagi menjadi:
1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-
lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi
edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak
menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan
sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar).
Bakteri penyebab adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhalis dan lain-lain. Penyebab yang yang cukup
sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya kerusakan
pada gigi. Dasar sinus maksila adala prosessus alveolaris tempat akar
gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi
jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau
melalui pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis
dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus yang purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian
antibiotik yang mencakup bakteria anaerob. Seringkali juga
diperlukan irigasi sinus maksila.

20
SINUSITIS JAMUR
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu
keadaan yang jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat
imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus,
neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis
jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis
Aspergillus dan Candida.1
Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus seperti
berikut : Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi antibiotik.
Adanya gambaran kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya membran
berwarna putih keabu-abu pada irigasi antrum. Para ahli membagikan
sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif dan non-invasif.
Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut fulminan dan
invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke
jaringan dan vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak
terkontrol, pasien dengan imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia,
pemakain steroid yang lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang
rendah dan invasi pembuluh darah meyebabkan penyebaran jamur menjadi
sangat cepat dan merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus
kavernosus. Di kavum nasi, mukosa konka dan septum warna biru-
kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering kali
berakhir dengan kematian. 1
Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan
ganguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik
progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi
gejala klinisnya tidak sehebat gejala klinis pada fulminan kerana perjalanan
penyakitnya berjalan lambat. Gejala-gejalanya sama seperti sinusitis

21
bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman
yang bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur. Sinusitis
jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam
ronggasinus tanpa invasi ke mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Sering
mengenai sinus maksila. Gejala klinik merupai sinusitis kronik berupa
rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa
jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna
coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di dalam sinus.1

4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
ostiomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa
yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus
secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi
ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ
yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan, akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam

22
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini boleh dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis aku bakterial dan
memerlukan terapi antibiotik.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

Gambar 2.4. Siklus dari peristiwa yang berulang yang mengarah pada sinusitis kronik 3

5. Gejala dan Tanda Klinis


Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali

23
turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik
seperti demam dan lesu.5,6,7
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (referred pain). nyeri pipi menandakan sinusitis maksila,
nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis
etmoida, nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga.1,2,5,6
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal
drip yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak. 1,2,5,6
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini: 1,2,5,6
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius
f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis,
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati.
g. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis.

6. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan palpasi sinus paranasalis dapat dijumpai adanya
nyeri tekan pada daerah sinus yang mengalami sinusitis. Pemeriksaan ini
didukung dengan pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior.
Pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih
tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinus
maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada
sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa

24
edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan
di daerah kantus medius.1,3
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya.1,3

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan.
Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan
mukosa. 1,3
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung
dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal
hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak
membaik dengan pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator
saat melakukan operasi sinus. 1,3
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila. 1,3
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi. 1,3

25
8. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius
(pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus
superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada
rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan pada kantus medius.Untuk membantu
diagnosis sinusitis, American Academy of Otolaryngology – Head and
Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan diagnosis yang disebut Task
Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996. Bagan ini didasarkan atas gejala
klinis yang dibagi atas kategori gejala mayor dan minor untuk diagnosis
rhinosinusitis. Gejala mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulent,
post nasal drip, gangguan penghidu, sedangkan gejala minor: nyeri kepala,
nyeri geraham, nyeri telinga, batuk, demam, halitosis. Riwayat yang
konsisten dengan rinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 mayor
dan 2 faktor minor pada pasien dengan gejala lbih dari 7 hari. Apabila
terdapat 1 faktor mayor atau 2 atau lebih faktor minor, ini menunjukkan
kemungkinan di mana rinosinusitis perlu dimasukkan ke dalam diagnosis
banding.6,7

9. Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung pada etiologi dari gejala rhinosinus. Tujuan
terapi sinusitis adalah:1
a. Mempercepat penyembuhan,
b. Mencegah komplikasi
c. Mencegah perubahan menjadi kronik.

26
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drenase
dan ventilasi sinus-sinus pulih alami.
Medikamentosa
1. Kebanyakan infeksi sinus akut disebabkan oleh virus, di mana
mayoritas pasien dapat membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan
antibiotik.8
2. Gejala awal dari infeksi saluran pernapasan atas dapat diobati dengan
obat-obatan lokal atau obat-obatan over-the-counter (OTC). 8
3. Irigasi dengan larutan salin normal direkomendasikan. 1,8
4. Dekongestan topikal, seperti oxymetazoline, dikombinasikan dengan
dekongestan oral, seperti pseudoephedrine, dapat membantu hidung
tersumbat dan untuk drainase. Pasien dinasihatkan tidak menggunakan
vasokonstriktor nasal topikal untuk jangka masa yang panjang karena
adanya risiko rinitis medikamentosa. Drainase medis dicapai dengan
vasokonstriktor topikal dan sistemik. Vasokonstriktor alpha-
adrenergik per oral termasuk pseudoefedrin dan fenilefrin bisa
digunakan selama 10-14 hari untuk mengembalikan fungsi mukosiliar
dan drainase menjadi normal. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per
oral bisa menyebabkan hipertensi dan takikardi, maka mereka
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Obat
ini juga dikontraindikasikan pada atlit yang mau berkompetisi karena
peraturan pertandingannya. Vasokonstriktor topikal (Oxymetazoline
hydrochloride) membantu drainase menjadi baik, tetapi harus
digunakan maksimal 3-5 hari, dengan peningkatan risiko rebound
congestion, vasodilatasi dan rinitis medikamentosa bila digunakan
untuk periode yang lama.6,7,8
5. Untuk rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri didapatkan dari
komunitas (community-acquired bakteri), antibiotik mengurangi
durasi penyakit dan membantu membasmi infeksi. Berdasarkan uji

27
klinis, amoksisilin, doxycycline, atau trimethoprim-sulfametoksazol
merupakan antibiotik yang disukai dan direkomendasikan selama 10
sampai 14 hari. Pilihan lain termasuk macrolide seperti azitromisin
atau klaritromisin, atau sefalosporin generasi kedua/ketiga. 5 Antibiotik
dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa
serta membuka sumbatan ostium sinus. Pada sinusitis, antibiotik
diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. 7,8
Antibiotik harus disediakan untuk pasien dengan gejala yang
disebabkan oleh bakteri. Namun, gejala rinosinusitis bakteri biasanya
tidak berbeda dari yang disebabkan oleh virus. Simptom yang
menunjukkan rinosinusitis bakteri termasuk demam, malaise seluruh
badan dan sakit kepala pada bagian frontal unilateral. Selain itu
rinosinusitis bakteri juga merupakan tanda komplikasi dini dan terjadi
pada pasien berisiko (immunodeficiency, usia lanjut, dll). Infeksi
bakteri harus dipertimbangkan jika gejala memburuk atau gagal untuk
membaik dalam 7-10 hari. Karena adanya peningkatan resistensi
penisilin pada bakteri patogen utama pada rinosinusitis, jadi pemilihan
antibiotik harus dipertimbangkan. Pada pasien yang tidak beresiko
resisten, amoksisilin merupkan terapi lini pertama. Alternatif lini
pertama yang lain termasuk trimethoprimsulfamethoxazole atau
doxycycline.8
6. Flurokuinolon mungkin juga berguna, tetapi belum disetujui untuk
populasi anak. Penggunaan selama 10 hari dapat memberikan
pemberantasan 90 %.9
7. Jika tidak ada perbaikan gejala klinis seperti penurunan batuk,
penurunan nanah hidung, resolusi demam atau berkurangnya hidung
tersumbat, standar pendekatan adalah dengan antibiotik lini kedua
dengan spektrum yang lebih luas dan diberikan lebih lama. Jika

28
responnya kurang pada antibiotik lini pertama, maka antibiotik harus
beralih ke cakupan yang lebih luas. Antibiotik lini kedua termasuk
amoksisilin-asam klavulanat, sefalosporin dan makrolida. 8,9
8. Parameter praktis oleh Joint Task Force on Practice Parameters for
Allergy and Immunology menetapkan penilaian respons gejala setelah
3-5 hari terapi dan diteruskan untuk tambahan 7 hari jika ada
perbaikan. Namun, jika tiada respon, antibiotik seharusnya ditukar. 6
9. Tambahan steroid hidung dapat meningkatkan keberhasilan
pengobatan lebih tinggi. Kortikosteroid yang digunakan intranasal bisa
efektif dengan melemahkan respon inflamasi, meskipun pada saat ini
manfaat mereka masih tidak menyakinkan. Penggunaan kortikosteroid
sistemik mungkin memiliki kelebihan dibandingkan dengan
penggunaan intranasal, seperti tingkat terapeutik yang tinggi dan tidak
ada risiko pelepasan buruk disebabkan oleh penyumbatan hidung.
Review Cochrane baru-baru ini yang mengenai terapi kortikosteroid
sistemik untuk rinosinusitis akut, melaporkan obat ini mempunyai efek
mengguntungkan jangka pendek.7
10. Pengobatan tambahan lainnya termasuk mucoevacuants untuk menipis
sekresi lendir. Ini termasuk guaifenesin dan kalium iodida. Golongan
mukolitik (guaifenesin) secara teori mempunyai manfaat seperti
menipiskan sekresi mukus dan memperbaiki drainase. Ia jarang
digunakan untuk praktek klinis pengobatan sinusitis akut.10
11. Belum data tersedia yang menunjukkan bahwa antihistamin
bermanfaat pada sinusitis akut. Antihistamin mungkin berbahaya
karena ia mengeringkan membran mukus dan menurunkan klirens
sekresi. Antihistamin bermanfaat untuk mengurangkan obstruksi
ostiomeatal pada pasien dengan alergi dan sinusitis akut; tetapi ia tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien sinusitis akut.
Antihistamin mungkin memburukkan drainase dengan terjadinya

29
penebalan dan tertumpuknya(pooling) sekresi sinonasal.6 Antihistamin
tidak diberikan rutin karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat,
sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua. 10
12. Peran antibiotik pada rinosinusitis kronis (CRS) masih dipertanyakan.
Pada penyakit ini sangat penting untuk mengidentifikasikan faktor
penyebab seperti rinitis alergi, kelainan struktur, immunodeficiency,
asap tembakau dan faktor lingkungan atau kerja. Menurut Kelompok
Kerja 2008 tentang CRS pada Dewasa, antibiotik harus disediakan
untuk pasien dengan sinus drainase yang purulen. Lama pengobatan
antibiotik masih kontroversial, tapi pengobatan antibiotik untuk
jangka panjang selama 3-6 minggu mungkin lebih efektif daripada
jangka waktu yang lebih pendek. Seperti pada rinosinusitis akut,
perawatan lain termasuk steroid topikal dan irigasi sinus. Steroid oral
jangka pendek mungkin bermanfaat dalam mengobati CRS terutama
CRSwNP(chronic rhinosinusitis with nasal polyps). Evaluasi lebih
lanjut diperlukan pada pasien yang gagal terapi medis dan mungkin
memerlukan intervensi bedah.11
13. Pada AFRs(allergic fungal rhinosinusitis), operasi biasanya diperlukan
untuk menegakkan diagnosis dan menghapuskan mukus yang
menebal. Setelah intervensi bedah, diberikan kortikosteroid oral yang
biasanya ditampering off secara bertahap ke dosis terendah yang
diperlukan untuk mengendalikan simptom. Selain itu, semprotan
hidung kortikosteroid topikal digunakan untuk mengendalikan
peradangan.10,11
14. Pengobatan antibiotik kronis mungkin memerlukan cakupan
anaerobik, seperti klindamisin, amoksisilin/klavulanat, metronidazole
yang dikombinasikan dengan macrolide, atau moksifloksasin.
Lamanya pengobatan adalah 4 sampai 6 minggu. 7

30
15. Pasien sinusitis dengan penyebabnya dental atau mereka dengan
discharge yang berbau busuk, pengobatan anaerobik diperlukan
dengan menggunakan klindamisin atau amoksisilin dengan
metronidazole.12
16. Pasien dengan sinusitis nosokomial akut memerlukan pengobatan
intravena yang adekuat untuk organisme gram negatif. Antibiotik
aminoglikosida biasanya merupakan drug of choice karena
mempunyai cakupan yang baik pada gram negatif dan penetrasi sinus.
Seleksi antibiotik biasanya berdasarkan hasil kultur yang diambil dari
sekresi maksila.8,9
17. Selain dari pembedahan, komplikasi sinusitis akut ditangani dengan
antibiotik intravena. Sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime,
ceftriaxone) dengan kombinasi vancomycin yang memberikan
penetrasi intrakranial yang adekuat, merupakan pilihan pertama. 10
18. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan
alergi yang berat.1

Non Medikamentosa
1. Pembedahan umumnya dicadangkan untuk pasien dengan kelainan
anatomi dan hanya setelah terapi medis maksimal gagal. Kriteria
mutlak untuk operasi meliputi setiap perluasan infeksi atau adanya
tumor di rongga hidung atau sinus. Indikasi relatif termasuk sinusitis
bakteri akut berulang, obstruksi oleh poliposis hidung, rinosinusitis
kronis yang tidak responsif terhadap pengobatan dan penyakit
penyerta seperti asma yang recalcitrant. Kerjasama yang erat dengan
otolaryngologist berpengalaman sangat penting dalam kasus-kasus
yang sulit. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)
merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan
operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah

31
sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan
tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1,5
2. Jika perlu, dapat diberikan terapi seperti analgetik, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). 1 Selain itu,
simptomnya juga dapat dikurangkan dengan humidifikasi/vaporizer,
kompresi hangat, hidrasi yang adekuat dan nutrisi seimbang. 6

10. Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Komplikasi infeksi rinosinusitis sangat jarang dan paling sering terjadi
pada anak dan imunocompromised. Perluasan yang tidak terkendali dari
penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya
terutama orbital dan otak.5,6
Komplikasi mungkin timbul dengan cepat. Komplikasi yang sering
adalah selulitis atau abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi
preseptal diobati dengan antibiotik dan tidak diperlukan pembedahan.
Komplikasi yang lain mungkin memerlukan pengobatan pembedahan
segera. Perluasan pada postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi
melalui lamina papyracea(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus
ethmoid. Sinus yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid, kemudian
sinus frontal dan maksila. Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Perluasan ini dapat melibatkan pembuluh darah ethmoid
yang mengakibatkan terjadinya trombosis . Gejalanya meliputi edema
kelopak mata yang progresif, eritema, chemosis dan proptosis, yang jika
tidak diobati, dapat berkembang menjadi oftalmoplegia dan kebutaan.
Perluasan pada intrakranial termasuk terjadinya meningitis, abses epidural
atau subdural, abses otak atau sagital, atau trombosis sinus cavernosus.
Setiap pasien dengan sejarah rinosinusitis dan demam tinggi, peningkatan

32
sakit kepala atau terjadi perubahan status mental harus dicurigai memiliki
komplikasi intrakranial.1,5
Osteomielitis dapat menyebabkan komplikasi lokal. Pada tumor Pott
bengkak(Pott’s puffy tumor), osteomyelitis dari plate anterior dari tulang
frontal menyebabkan dahi edema. Hal ini merupakan komplikasi akut yang
membutuhkan bedah drainase. Osteomelitis dan abses subperiostal paling
sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau
fistula pada pipi.5,6
Komplikasi lokal juga dapat terjadi dari mucoceles atau mucopyoceles.
Mereka merupakan lesi kronis, dimana terjadinya cystic pada sinus. Sinus
frontal adalah yang paling sering terlibat. Mereka lambat tumbuh dan
mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum gejala terjadi.
Keterlibatan sinus frontal dapat menyebabkan perubahan pada mata,
mengakibatkan diplopia. Dekompresi sering menyebabkan hilangnya
gejala. Erosi posterior oleh mucopyocele dapat menyebabkan infeksi .
Mucoceles terlihat pada anak-anak dengan cystic fibrosis.5,6
Komplikasi lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronik dan
bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan
paru disebut sinobronkitis. Selain itu juga dapat menyebabkan kambuhnya
asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.1

33
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. AE
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 47 tahun
Alamat : Gunung Nona
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Guru
Tanggal Pemeriksaan : 19 Juli 2018
Tempat Pemeriksaan : Poliklinik THT

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Hidung kanan tersumbat
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan hidung kanan yang tersumbat dialami
sejak kurang lebih 1 hari yang lalu, terus menerus. Sebelumnya pasien beringus
sejak kurang lebih satu bulan yang lalu, hilang timbul, kental, berwarna kuning
kehijauan, disertai bau, darah tidak ada. Keluhan disertai hidung gatal, bersin-
bersin, dan penurunan fungsi penghidu di hidung kanan. Pasien juga mengalami
nyeri di daerah pipi kanan disertai kepala yang terasa berat. Batuk kadang-kadang,
lendir (-), nyeri menelan dan suara parau disangkal. Telinga penuh, nyeri telinga,
telinga berdengung disangkal pasien. Pasien juga mengeluhkan gigi sebelah kanan
atas sakit hilang timbul, yang telah dirasakannya sejak sekitar 2-3 bulan terakhir.
Bila sakit gigi timbul, keluhan disertai nyeri kepala hebat sebelah kanan, telinga
kanan berdengung, dan terasa penuh. Keluhan demam disangkal. Riwayat
memasukkan benda asing ke dalam hidung sebelumnya disangkal.

34
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Sering pilek di pagi hari dan pada lingkungan berdebu (sejak sekitar 20 tahun
yang lalu)
- Riwayat asma, alergi obat disangkal
- Hipertensi disangkal
- Diabetes mellitus disangkal
Riwayat Kebiasaan : -
Riwayat Keluarga :
- Riwayat asma atau alergi dalam keluarga disangkal
Riwayat Pengobatan :
- Satu bulan yang lalu pasien memeriksakan dirinya ke dokter umum, dan
didiagnosis sinusitis maksilaris kanan, dan diberi obat alergi (nama obat tidak
diketahui) namun keluhan tidak membaik.

C. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : CM
TD : 110/80 P : 20x/m
N : 88x/m T : 36,80C

a. Pemeriksaan Telinga
Kanan Kiri
Inspeksi/Palpasi Bentuk/ukuran normal Bentuk/ukuran normal
Massa (-) Massa (-)
Otoskopi
- Daun telinga Nyeri tekan (-); Nyeri tekan (-);
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)

35
- Liang telinga Lapang, massa Lapang, massa
kecoklatan sedikit, kecoklatan (-),
sekret (-) sekret (-)
- Membran timpani Intak, refleks cahaya Intak, refleks cahaya
menurun (+)
Tes Pendengaran
- Tes Rinne + +
- Tes Weber + +
- Tes Schwabach s/d pemeriksa s/d pemeriksa
- Kesimpulan normal normal

b. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasalis


Kanan Kiri
Inspeksi/Palpasi
- Hidung Deformitas (-), Deformitas (-),
krepitasi (-) krepitasi (-)
- Sinus paranasalis Nyeri tekan (+) di Nyeri tekan (-)
sinus maksilaris
Rhinoskopi Anterior
- Cavum Nasi Sempit, sekret (+), Sempit, sekret (+),
massa (-) massa (-)
- Conchae Hipertrofi (+), Hipertrofi (+),
hiperemis (-), hiperemis (-),
warna: pucat warna: pucat
- Septum Nasi Deviasi (+) Deviasi (+)
Rhinoskopi Posterior: tidak dilakukan pemeriksaan

36
c. Pemeriksaan Mulut
- Trismus (-)
- Gigi: Caries (+) M1, M2 kanan atas, nyeri ketok (+)
- Lidah: stomatitis (-)

Gambar 3.1 Gambaran caries pada pemeriksaan mulut pasien Ny. AE

d. Pemeriksaan Tenggorokan
Tonsil T1/T1; permukaan licin, kripta (-), detritus (-), edema (-),
hiperemis (-)
Orofaring Permukaan berbenjol-benjol (granuler), hiperemis (+),
PND (-)
Uvula Deviasi (-), edema (-), hiperemis (-)

e. Pemeriksaan Laringoskopi Indirek


Tidak dilakukan pemeriksaan

37
f. Pemeriksaan Leher
- Kelenjar Getah Bening : tidak teraba
- Kelenjar Tiroid : tidak teraba
- Massa/tumor : tidak ditemukan

D. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: -
b. Rontgen : Foto polos sinus paranasalis posisi Waters

Gambar 3.2 Hasil foto polos sinus paranasalis posisi Waters pasien Ny. AE

Pada pemeriksaan foto polos sinus paranasalis posisi Waters pasien


didapatkan, gambaran perselubungan pada sinus maksilarisris kanan dengan
kesimpulan Sinusitis Maksilaris Kanan

c. PA: -
d. Audiometri: -

38
E. Resume
Seorang wanita berusia 47 tahun datang ke poli THT dengan keluhan hidung
kanan yang tersumbat dialami sejak kurang lebih 1 hari yang lalu, terus menerus.
Sebelumnya pasien beringus sejak kurang lebih satu bulan yang lalu, hilang
timbul, kental, berwarna kuning kehijauan, disertai bau, darah tidak ada. Keluhan
disertai hidung gatal, bersin-bersin, dan penurunan fungsi penghidu di hidung
kanan. Pasien juga mengalami nyeri di daerah pipi kanan disertai kepala yang
terasa berat. Batuk kadang-kadang, lendir (-), nyeri menelan dan suara parau
disangkal. Telinga penuh, nyeri telinga, telinga berdengung disangkal pasien.
Pasien juga mengeluhkan gigi sebelah kanan atas sakit hilang timbul, yang telah
dirasakannya sejak sekitar 2-3 bulan terakhir. Bila sakit gigi timbul, keluhan
disertai nyeri kepala hebat sebelah kanan, telinga kanan berdengung, dan terasa
penuh. Keluhan demam disangkal. Riwayat memasukkan benda asing ke dalam
hidung sebelumnya disangkal. Pasien memiliki riwayat sering pilek di pagi hari
dan pada lingkungan berdebu sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Riwayat atopi
disangkal. Satu bulan yang lalu pasien memeriksakan dirinya ke dokter umum,
dan didiagnosis sinusitis maksilaris kanan, dan diberi obat alergi (nama obat tidak
diketahui) namun keluhan tidak membaik.
Pada hasil pemeriksaan hidung dan sinus paranasalis, nyeri tekan sinus maksilariss
kanan (+). Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan kedua cavum nasi
sempit, sekret (+), kedua konka mengalami hipertrofi dan berwarna pucat, serta
adanya deviasi septum nasi kiri dan kanan. Pemeriksaan telinga dalam batas
normal. Pada pemeriksaan mulut ditemukan caries pada M1, M2 kanan atas, nyeri
ketok (+). Tonsil dan uvula dalam batas normal, sedangkan pada pemeriksaan
orofaring didapatkan permukaan yang granuler, hiperemis, PND (-). Pemeriksaan
leher dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan ialah,
pemeriksaan foto polos sinus paranasalis posisi Waters dengan kesimpulan
sinusitis maksilaris kanan.

39
F. Diagnosa
- Suspek rhinosinusitis maksilaris dextra akut ec Dentogen
- Periondontitis marginalis

G. Diagnosa Banding
- Sinusitis jamur non-invasif
- Rhinitis vasomotor

H. Terapi
a. Tindakan: pro ekstraksi (oleh dokter gigi)
b. Medikamentosa
1. Klindamisin 3 x 300 mg/po
2. Metilprednisolon 2 x 8 mg/po
3. Vitamin B6 2 x 1/po

I. Anjuran
- Hindari lingkungan yang dingin dan berdebu
- Istirahat yang cukup

40
BAB IV
DISKUSI

Pasien atas nama Ny. AE, usia 47 tahun datang ke poliklinik THT dengan
keluhan hidung kanan yang tersumbat sejak kurang lebih 1 hari yang lalu, terus
menerus. Sebelumnya pasien beringus sejak kurang lebih satu bulan yang lalu, hilang
timbul, kental, berwarna kuning kehijauan, disertai bau, darah tidak ada. Keluhan
disertai hidung gatal, bersin-bersin, dan penurunan fungsi penghidu di hidung kanan.
Pasien juga mengalami nyeri di daerah pipi kanan disertai kepala yang terasa berat.
Batuk kadang-kadang, lendir (-). Pasien juga mengeluhkan gigi sebelah kanan atas
sakit hilang timbul, yang telah dirasakannya sejak sekitar 2-3 bulan terakhir. Bila sakit
gigi timbul, keluhan disertai nyeri kepala hebat sebelah kanan, telinga kanan
berdengung, dan terasa penuh. Pasien memiliki riwayat sering pilek di pagi hari dan
lingkungan berdebu sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Riwayat atopi tidak ada.
Berdasarkan hasil anamnesis, gejala-gejala sinusitis yang sesuai dengan Task
Force Rhinosinusitis (1996) untuk penegakkan diagnosis rinosinusitis ialah;
1. Gejala mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulent, dan gangguan penghidu
2. Gejala minor: nyeri kepala, nyeri geraham, batuk, dan halitosis
Diagnosis rinosinusitis pada pasien ini juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik dan penunjang. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan pada
sinus maksilaris kanan, serta pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan cavum
nasi sempit, sekret (+), hipertrofi konka, konka berwarna pucat, dan deviasi septum
bilateral. Pada pemeriksaan mulut didapatkan adanya caries pada M1, M2 kanan atas,
nyeri ketok (+). Berdasarkan pemeriksaan foto polos sinus paranasalis posisi Waters,
didapatkan gambaran perselubungan pada sinus maksilaris kanan dengan kesimpulan
sinusitis maksilaris kanan.
Penatalaksanaan pasien ini berupa antibiotik, yaitu klindamisin yang merupakan
pilihan antibiotik lini pertama untuk infeksi odontogenik. Pasien juga mendapatkan
terapi antiinflamasi, yaitu metilprednisolon, serta vitamin B6.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskndar N, Baharuddin, Restuti. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2012
2. Dhingra PL. Disease of Ear Nose and Throat. 6th Ed. New Delhi, India: Elsevier,
2014. P 187-197
3. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1994.p.173-
240
4. Stammberger H, Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In:
Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck
Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold, 2008.p.1318-1320
5. Broek PVD, Feenstra L. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal. Buku Saku Ilmu
Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta: EGC, 2010.p. 99-
100
6. Zacharek MA, Malani PN, Benninger MS. An approach to the diagnosis and
management of acute bacterial rhinosinusitis. 2005. Diunduh dari
informahealthcare.com/doi/pdf/10.1586/14787210.3.2.271. 22 Juli 2018
7. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 23 April 2014.
8. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK. Canadian clinical practice guidelines for
acute and chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011;7(1):2
9. Georgy MS, Peters AT. Chapter 8: rhinosinusitis. Allergy Asthma Proc. 2012 ;33
Suppl 1:24-7
10. Cunha J P, Stoppler M C, Doerr S. Sinus infection. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/sinus_infection/page12_em.htm#sinus_infecti
on_prevention, 23 April 2014
11. Hallet R, Naguwa SM. Severe rhinosinusitis. Clinical reviews in allergy and
immunology. California : Human Press Inc. 2003; 5(3):177-90

42
12. Lee KC, Lee SJ. Clinical Features and Treatments of Odontogenic
Sinusitis. Yonsei Medical Journal. 2010;51(6):932-937.
doi:10.3349/ymj.2010.51.6.932.

43

Anda mungkin juga menyukai