PENDAHULUAN
Dinegara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-
10% sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien lanjut usia angka kematian
dapat mencapai 25-50%. Angka kematian dapat meningkat lebih tinggi pada beberapa
keadaan yang menyertai KAD seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas,
pasien usia lanjut, konsentrasi glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan konsentrasi
keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda, umumnya dapat
dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional, serta memadai sesuai
dengan dasar patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya(1).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Ketoasidosis diabetikum (KAD) tidak memiliki suatu definisi yang disetujui secara
universal dan beberapa usaha telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini dengan
menggunakan kriteria kadar beta-hidroksibutirat plasma. Teknik ini akan dibahas lebih
lanjut dalam bab diagnosis. Alberti mengusulkan untuk menggunakan definisi kerja KAD
sebagai keadaan diabetes tidak terkontrol berat disertai dengan konsentrasi keton tubuh
>5 mmol/L yang membutuhkan penanganan darurat menggunakan insulin dan cairan
intravena. Keterbatasan dalam ketersediaan pemeriksaan kadar keton darah membuat
American Diabetes Association menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih
pragmatis, yakni KAD dicirikan dengan asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat plasma
<15 mmol/L, glukosa plasma >250 mg/dL dan hasil carik celup plasma (≥ +) atau urin
(++). (2,3,4)
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan KAD sebagai suatu trias yang
terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis (gambar 1). Patut diperhatikan bahwa
masing-masing dari komponen penyebab KAD dapat disebabkan oleh karena kelainan
metabolik yang lain, sehingga memperluas diagnosis bandingnya.
Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD dan KHH, namun
beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau kurangnya dosis insulin dapat
menjadi faktor pencetus penting. Tabel 2 memberikan gambaran mengenai faktor-faktor
pencetus penting untuk kejadian KAD. Patut diperhatikan bahwa terdapat sekitar 10-22%
pasien yang datang dengan diabetes awitan baru. Pada populasi orang Amerika keturunan
Afrika, KAD semakin sering diketemukan pada pasien dengan T2DM, sehingga konsep
lama yang menyebutkan KAD jarang timbul pada T2DM kini dinyatakan salah. (4,2)
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih
yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat
mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan infark
miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga dapat
menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya adalah: kortikosteroid, pentamidine, zat
simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik berlebihan pada
pasien lansia. (4)
Kondisi Pencetus Kasus (%)
Infeksi 19-56
Penyakit kardiovaskular 3-6
Insulin inadekuat/stop 15-41
Diabetes awitan baru 10-22
Penyakit medis lainnya 10-12
Tidak diketahui 4-33
Tabel 1. Kondisi – kondisi pencetus KAD pada pasien diabetes mellitus
Gambar 2. Patogenesis KAD dan KHH, perhatikan perbedaan yang terletak pada
defisiensi insulin absolute dan relative
Pada KAD, kadar insulin rendah yang dikombinasikan dengan peningkatan kadar
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan akan mengaktivasi lipase sensitif
hormon, kemudian menyebabkan pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak
bebas. Asam lemak bebas ini akan diubah oleh hati menjadi badan-badan keton yang
dilepaskan ke dalam sirkulasi. Proses ketogenesis distimulasi oleh peningkatan kadar
glukagon, hormon ini akan mengaktivasi palmitoiltransferase karnitin I, suatu enzim yang
memampukan asam lemak bebas dalam bentuk koenzim A untuk menembus membran
mitokondria setelah diesterifikasi menjadi karnitin. Pada pihak lain, esterifikasi
diputarbalikkan oleh palmitoiltransferase karnitin II untuk membentuk asil lemak
koenzim A yang akan masuk ke dalam jalur beta-oksidatif dan membentuk asetil koenzim
A.
Sebagian besar asetil koenzim A akan digunakan dalam sintesi asam beta-
hidroksibutirat dan asam asetoasetat, dua asam kuat relatif yang bertanggungjawab
terhadap asidosis dalam KAD. Asetoasetat diubah menjadi aseton melalui dekarboksilasi
spontan non-enzimatik secara linear tergantung kepada konsentrasinya. Asam beta-
hidroksibutirat, asam asetoasetat dan aseton difiltrasi oleh ginjal dan diekskresi secara
parsial di urin. Oleh karena itu, penurunan volume progresif menuju kepada penurunan
laju filtrasi glomerular akan menyebabkan retensi keton yang semakin besar. Ketiadaan
ketosis pada KHH walaupun disertai dengan defisiensi insulin masih menjadi misteri,
hipotesis yang ada sekarang menduga hal ini disebabkan oleh karena kadar asam lemak
bebas yang lebih rendah, lebih tingginya kadar insulin vena portal atau keduanya.
Asidosis pada KAD disebabkan oleh karena produksi asam beta-hidroksibutirat dan
asam asetoasetat berlebihan. Pada kadar pH fisiologis, kedua ketoasid ini mengalami
disosiasi sempurna dan kelebihan ion hidrogen akan diikat oleh bikarbonat, sehingga
menyebabkan penurunan kadar bikarbonat serum. Badan-badan keton oleh karenanya
beredar dalam bentuk anion, yang menyebabkan terjadinya asidosis gap anion sebagai
karakteristik KAD. Gap anion ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut [Na+ -
(Cl- + HCO3-)], berdasarkan rumus ini, gap anion normal adalah 12 (dengan deviasi
standar 2) mmol/L. Pada KAD, bikarbonat digantikan dengan asam beta-hidroksibutirat
dan asam asetoasetat sehingga jumlah konsentrasi bikarbonat dan klorida turun dan
terjadi peningkatan gap anion. Walaupun terjadi ekskresi ketoasid secara substansial di
dalam urin, penurunan konsentrasi bikarbonat serum dan peningkatan gap anion yang
diamati pada KAD kurang lebih sama.
Pada keadaan-keadaan normal, kadar asam beta-hidroksibutirat lebih tinggi kurang
lebih 2 sampai 3 kali lipat dari asam asetoasetat, hal ini disebabkan oleh karena perbedaan
dari status redoks mitokondria. Peningkatan status redok mitokondria, seperti yang terjadi
pada KAD, akan meningkatkan rasio asam beta-hidroksibutirat terhadap asam asetoasetat.
Kesalahan perkiraan jumlah keton dapat terjadi bila tidak dilakukan pengukuran terhadap
asam beta-hidroksibutirat.
Asidosis pada KAD disebabkan oleh karena produksi asam beta-hidroksibutirat dan
asam asetoasetat berlebihan. Pada kadar pH fisiologis, kedua ketoasid ini mengalami
disosiasi sempurna dan kelebihan ion hidrogen akan diikat oleh bikarbonat, sehingga
menyebabkan penurunan kadar bikarbonat serum. Badan-badan keton oleh karenanya
beredar dalam bentuk anion, yang menyebabkan terjadinya asidosis gap anion sebagai
karakteristik KAD. Gap anion ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut [Na+ -
(Cl- + HCO3-)], berdasarkan rumus ini, gap anion normal adalah 12 (dengan deviasi
standar 2) mmol/L. Pada KAD, bikarbonat digantikan dengan asam beta-hidroksibutirat
dan asam asetoasetat sehingga jumlah konsentrasi bikarbonat dan klorida turun dan
terjadi peningkatan gap anion. Walaupun terjadi ekskresi ketoasid secara substansial di
dalam urin, penurunan konsentrasi bikarbonat serum dan peningkatan gap anion yang
diamati pada KAD kurang lebih sama.
Pada keadaan-keadaan normal, kadar asam beta-hidroksibutirat lebih tinggi kurang
lebih 2 sampai 3 kali lipat dari asam asetoasetat, hal ini disebabkan oleh karena perbedaan
dari status redoks mitokondria. Peningkatan status redok mitokondria, seperti yang terjadi
pada KAD, akan meningkatkan rasio asam beta-hidroksibutirat terhadap asam asetoasetat.
Kesalahan perkiraan jumlah keton dapat terjadi bila tidak dilakukan pengukuran terhadap
asam beta-hidroksibutirat.
Pendekatan pertama pada pasien-pasien ini terdiri dari anamnesa yang cepat namun fokus
dan hati-hati serta pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus kepada:
a. Patensi jalan napas;
b. Status mental;
c. Status kardiovaskular dan renal;
d. Sumber infeksi; dan
e. Status hidrasi.
Langkah-langkah ini harus mempertimbangkan penentuan derajat urgensi dan
prioritas dari pemeriksaan laboratorium yang harus diutamakan sehingga terapi dapat
dilaksanakan tanpa penundaan. Ketoasidosis diabetikum biasanya timbul dengan cepat,
biasanya dalam rentang waktu <24 jam.
Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan gejala
yang sering diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada pasien
dewasa (lebih sering pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen. Meskipun
penyebabnya belum dapat dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan pengosongan
lambung dan ileus oleh karena gangguan elektrolit serta asidosis metabolik telah
diimplikasikan sebagai penyebab dari nyeri abdominal. Asidosis, yang dapat merangsang
pusat pernapasan medular, dapat menyebabkan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul).
Gejala-gejala seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas sebagai bagian dari
diabetes tak terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai empat minggu
sebelumnya dan pada beberapa kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan penurunan
berat badan yang bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam bulan
sebelum dengan rata-rata penurunan 13 kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut
yang timbul dalam waktu singkat, seperti nausea vomitus dan nyeri abdomen, di mana
dapat dijadikan sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah
KAD.
Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas seperti
buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui sistem
respirasi dan tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang
kering, takikardia dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran
penuh sampai letargi yang berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau
KHH yang diperawatan dengan penurunan kesadaran.
Laboratorium
Evaluasi laboratorium awal pada pasien dengan kecurigaan KAD harus melibatkan
penentuan segera analisa gas darah, glukosa darah dan urea nitrogen darah; penentuan
elektrolit serum,osmolalitas, kreatinin dan keton; dilanjutkan pengukuran darah lengkap
dengan hitung jenis. Kultur bakterial urin, darah dan jaringan lain harus diperoleh dan
antibiotika yang sesuai harus diberikan apabila terdapat kecurigaan infeksi.
Pengukuran Catatan
Investigasi
Glukosa kapiler Bila tidak meningkat
Beta-hidroksibutirat kapiler pertimbangkan penyebab
Bacaan meter asidosis alternative, ew.laktat.
Kadar harus menurn 1 mmol/L
dengan tatalaksana adekuat.
Analisa gas darah dan pH Ph darah vena Pengukuran darah vena
dengan heparinisasi dianggap
mencukupi kecuali dibutuhkan
Po2
Investigasi awal
Biokimia darah Urea dan elektrolit, bikarbonat Untuk konfirmasi, namun
Glukosa plasma jangan tunda terapi. Bila ada
CRP dan troponin indikasi klinis.
Hematologi Hitung darah lengkap Hitung neutrofil dapat
meningkat, namun tidak
spesifik
Urinalisa Tes carik celup untuk protein,
nitrat, leukosit dan darah
Mikrobiologi Specimen urin mid-stream Bila ada indikasi klinis
Kultur darah
Specimen tambahan
Kardiovaskular Elektrokardiogram Peningkatan resiko infark
miokard tanpa gejala pada
pasien DM
Radiologi Rontgen torak Bila ada indikasi klinis.
Konsolidasi mungkin tidak
terlihat pada rontgen pasien
dehidrasi.
Tabel 5. Pemeriksaan diagnostic awal pada pasien dengan KAD
Kriteria diagnosis KAD yang paling luas digunakan adalah kombinasi dari glukosa
darah >250 mg/dL, pH arteri <7,3, bikarbonat serum <15 mEq/L dan ketonemia dan atau
ketonuria. Akumulasi asam keton biasanya menyebabkan asidosis metabolik dengan
peningkatan gap anion. Sebagai catatan, walaupun kriteria diagnosis untuk KAD baik
diterapkan pada penelitian klinis, namun pada prakteknya kriteria ini dapat menjadi
terlampau sempit. Sebagai contoh, sebagian besar pasien dengan diagnosis KAD
menunjukkan asidosis metabolik ringan, namun mereka memperlihatkan adanya
peningkatan serum glukosa dan beta-hidroksibutirat. Kebanyakan pasien dengan
ketoasidosis ringan ini datang dengan kesadaran penuh dan dapat ditangani di bangsal
perawatan biasa. Kasus-kasus KAD yang lebih ringan, di mana pasien sadar dan mampu
mendapatkan intake oral, dapat saja dirawat dan diobservasi di unit gawat darurat selama
beberapa jam serta kemudian dipulangkan saat stabil. Selain itu, pada KAD yang timbul
pada pasien dengan T2DM rentan ketosis gambaran klinis dapat saja tumpang tindih
dengan KHH. Selain itu patut diperhatikan bahwa sepertiga pasien KAD datang dengan
hiperosmolaritas, dan penurunan kesadaran yang lebih terkait dengan hiperosmolaritas ini
dibandingkan dengan derajat asidemia. Keadaan ini dapat menimbulkan permasalahan
diagnosis bila seorang klinisi memakai kriteria dengan ketat, oleh karena tumpang tindih
dapat saja terjadi dalam gambaran klinis. Pemeriksaan diagnosis yang mampu
membedakan dengan baik antara KAD dan KHH, terlepas dari pH darah dan osmolaritas,
adalah pemeriksaan keton urin. Kasus-kasus dengan KAD keton urin selalu positif,
seorang klinisi harus mempertanyakan diagnosis KAD bila keton urin negatif, juga
sebaliknya pada kasus KHH bila keton urin positif maka lebih baik pasien ditegakkan
diagnosis sebagai KAD. (9)
Pasien dengan ketoasidosis berat biasanya datang dengan kadar bikarbonat <10 meq/L
dan atau pH arterial <7,0, mempunyai serum osmolaritas total >330 mOsm/kg, disertai
dengan penurunan kesadaran dan lebih sering mengalami komplikasi dibandingkan
dengan pasien KAD ringan atau sedang. Keadaan di atas menunjukkan bahwa, klasifikasi
KAD menurut derajatnya lebih penting secara klinis untuk membantu disposisi pasien
dan menentukan pilihan terapi. Klasifikasi ini harus disertai dengan pengertian dan
pengenalan akan kondisi penyerta pasien yang dapat mempengaruhi prognosis dan
kebutuhan terapi intravena untuk hidrasi.
Penilaian ketonuria dan ketonemia merupakan kunci diagnostik utama KAD dan
biasanya dilakukan dengan reaksi nitroprusida. Meskipun demikian, reaksi nitroprusida
hanya memberikan perkiraan semikuantitatif kadar asetoasetat dan aseton. Reagen ini
meremehkan derajat keberatan ketoasidosis oleh karena tidak dapat mengenali
keberadaan beta-hidroksibutirat, yang merupakan asam ketoat utama di dalam KAD. Oleh
karena itu, apabila mungkin, pengukuran beta-hidroksibutirat secara langsung, yang
sudah jamak ditemukan di rumah sakit, lebih disarankan dalam menegakkan diagnosis
KAD.
Pada beberapa kasus, diagnosis KAD dapat dipersulit oleh adanya kelainan asam basa
lainnya. Kadar pH darah dapat normal ataupun meningkat, tergantung dari derajat
kompensasi pernapasan dan adanya alkalosis metabolik dari muntah yang sering atau
pemakaian diuretik. Konsentrasi glukosa darah juga dapat normal atau hanya sedikit
meningkat pada 15% pasien dengan KAD (kadar glukosa <300 mg/dL), terutama pada
pasien alkoholik atau telah menerima suntikan insulin sebelumnya. Sebagai tambahan,
variabilitas luas dalam tipe asidosis metabolik juga telah dilaporkan. Pada sampai sebesar
46% pasien dengan KAD dilaporkan mempunyai asidosis gap anion tinggi, 43% dengan
asidosis gap anion campuran dan 11% hanya mempunyai asidosis metabolik
hiperkloremik. Konsentrasi natrium serum saat masuk perawatan biasanya rendah pada
pasien KAD, oleh karena adanya fluks osmotik air dari kompartemen intraselular ke
ekstraselular pada keadaan hiperglikemia. Untuk menilai keberatan defisit natrium dan
air, natrium serum dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq pada kadar natrium
serum terukur untuk setiap peningkatan glukosa darah 100 mg/dL di atas 100 mg/dL.
Konsentrasi kalium serum pada saat masuk perawatan biasanya meningkat oleh
karena adanya pergeseran kalium intraselular ke ekstraselular sebagai akibat dari
asidemia, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Pada sisi lain, pasien KHH biasanya
mempunyai kadar natrium yang normal atau sedikit meningkat oleh karena dehidrasi
berat. Pada keadaan ini, konsentrasi sodium serum terkoreksi dapat menjadi sangat tinggi.
Konsentrasi fosfat serum saat masuk perawatan pada KAD dapat pula meningkat
walaupun dengan penurunan fosfat tubuh total.
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) pada saat masuk perawatan sangat berharga di
dalam penatalaksanaan pasien dengan KAD. Beberapa keadaan seperti hipokalemia,
hiperkalemia, hipokalsemia, hiperkalsemia dan hipomagnesemia dapat terdiagnosis
dengan EKG. Selain itu EKG juga penting untuk menyingkirkan infark miokard akut
yang dapat terjadi dengan keluhan klinis tidak jelas pada pasien dengan diabetes mellitus
dan juga sering menyebabkan KAD.
Perkembangan dalam pemeriksaan diagnostic
Keton Urine dipstick vs. beta hidroksibutirat darah kapiler
Pemeriksaan carik celup keton urin yang utama biasanya menggunakan reaksi
nitroprusida (Ketostix, Acetest) dan memberikan pengukuran semikuantitatif
kadar asetoasetat, bereaksi lemah dengan aseton dan sama sekali tidak dapat
mendeteksi beta-hidroksibutirat. Aseton bertanggung jawab terhadap bau khas
buah atau pembersih kuteks pada KAD, namun tidak menyebabkan asidosis. Pada
KAD, rasio beta-hidroksibutirat terhadap aseto-asetat meningkat dari 1:1 sampai
ke 5:1, sehingga beta-hidroksibutirat dapat dikatakan sebagai keton tubuh utama
yang menyebabkan asidosis.
Pada saat asidosis berespons terhadap pengobatan, beta-hidroksibutirat akan
dioksidasi ke asetoasetat. Pada keadaan ini pemeriksaan urin dapat memberikan
kesan salah bahwa ketosis tidak membaik, dan dalam sudut pandang klinis dapat
menjadi masalah untuk mendapatkan sampel urin pada pasien yang datang dengan
dehidrasi berat. Keton darah kini dapat diperiksa secara langsung dengan sensor
portabel (Optium meter, Medisense/Abbott) yang mengukur beta-hidroksibutirat
dalam waktu 30 detik dengan sampel darah cucukan jari. Pengukuran keton darah
dengan menggunakan pengukuran beta-hidroksibutirat kini disarankan untuk
digunakan oleh American Diabetes Association dibandingkan tes keton urin untuk
menegakkan diagnosis dan pemantauan terapi KAD. (3)
Satu kegunaan dari pemeriksaan carik celup keton urin adalah untuk
menyingkirkan (rule out) diagnosis KAD. Penelitian yang dilakukan oleh Schwab
et al tahun 1999 pada 697 subyek dengan diabetes dan glukosa darah >200 mg/dL
di unit gawat darurat menunjukkan bahwa keton urin negatif dapat digunakan
untuk menyingkirkan KAD oleh karena sensitivitas yang tinggi, namun untuk
spesifisitas nampaknya rendah oleh karena banyaknya positif palsu terhadap
kaptopril. Sehingga disarankan pada pasien dengan tes carik celup keton urin
negatif kecurigaan KAD dapat disingkirkan dan pasien dengan carik celup positif
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan beta-hidroksibutirat darah untuk
menegakkan diagnosis. (13) Pemeriksaan beta-hidroksibutirat juga penting untuk
dilakukan sebagai sarana penegakan diagnosis KAD oleh karena parameter-
parameter laboratoris konvensional yang sering dijadikan tolok ukur sebelumnya
ternyata memberikan hasil yang tidak reliabel.
Pengukuran keton darah portabel juga disarankan untuk dilakukan pada
pasien-pasien rawat jalan dengan risiko tinggi mengalami dekompensasi akut ke
arah KAD. Pasien-pasien dengan risiko tinggi tersebut dapat diajarkan untuk
mengukur keton darah berkaitan dengan pengukuran glukosa darah mandiri.
Keadaan-keadaan yang disarankan untuk dilakukan pengukuran keton darah
setelah pengukuran glukosa darah mandiri adalah: kadar glukosa darah >250
mg/dL, adanya keadaan-keadaan pencetus KAD seperti infeksi dan adanya gejala-
gejala awitan KAD seperti mual muntah serta nyeri abdominal.
Kadar Glukosa darah Kadar Beta- Saran
hidroksibutirat
Penatalaksanaan KAD dan KHH yang baik memerlukan koreksi dehidrasi, hiperglikemia
dan gangguan elektrolit, dilanjutkan dengan identifikasi kejadian komorbid pencetus dan
di atas semuanya pemantauan pasien rutin.
Terapi cairan
Pasien dewasa (>20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan ekstravaskular serta
perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan kardiak, salin isotonik (0,9%)
dapat diberikan dengan laju 15-20 ml/kgBB/jam atau lebih selama satu jam pertama
(total 1 sampai 1,5 liter cairan pada dewasa rata-rata). Pemlihan cairan pengganti
selanjutnya bergantung kepada status hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin.
Secara umum NaCl 0,45% dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi apabila
kadar natrium serum terkoreksi normal atau meningkat. Salin isotonik dengan laju yang
sama dapat diberikan apabila kadar natrium serum terkoreksi rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus ditambahkan 20-30
mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan pasien stabil dan dapat
menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik untuk terapi pergantian cairan dinilai
dengan pemantauan parameter hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran
masukan/keluaran cairan dan pemeriksaan klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki
defisit perkiraan dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat terapi
tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung, pemantauan osmolalitas serum dan penilaian rutin status jantung, ginjal serta
mental harus dilakukan bersamaan dengan resusitasi cairan untuk menghindari
overloading iatrogenik.
Pasien anak dan remaja (<20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan ekstravaskular serta
perbaikan perfusi ginjal. Namun kebutuhan ekspansi volume vaskular harus diimbangkan
dengan risiko edema serebral yang dikaitkan terhadap pemberian cairan cepat. Cairan
dalam satu jam pertama harus salin isotonik (0,9%) dengan laju 10 sampai 20
ml/kgBB/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat, protokol ini dapat diulang, namun re-
ekspansi awal tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam pertama terapi. Terapi
cairan lanjutan dihitung untuk menggantikan defisit cairan secara seimbang dalam waktu
48 jam. Secara umum, NaCl 0,45 -0,9% (tergantung kadar natrium serum) dapat
diberikan dengan laju 1,5 kali kebutuhan maintenance 24 jam (kurang lebih 5
ml/kgBB/jam) dan akan memberikan rehidrasi yang mulus dengan penurunan
osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam.
Setelah fungsi ginjal terjaga dan kalium serum diketahui kadarnya, maka cairan infus
harus ditambahkan 20 – 30 mEq/L kalium (2/3 KCl atau kalium-asetat dan 1/3 KPO4).
Segera setelah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dL, cairan harus digantikan
dengan dekstrosa 5% dan 0,45 – 0,75% NaCl dengan kalium sebagaimana digambarkan
di atas. Terapi harus disertai dengan pemantauan status mental untuk mendektsi secara
cepat perubahan-perubahan yang dapat mengindikasikan kelebihan cairan, dengan
potensi menyebabkan edema serebral simptomatik.
7.2. Farmakoterapi
Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu merupakan
pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+ <3,3 mEq/L) disingkirkan,
bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu insulin
regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus diberikan. Insulin bolus
inisial tidak direkomendasikan untuk pasien anak dan remaja; infus insulin regular
kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin dosis rendah
ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan laju 50-75 mg/dL/jam sama
dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa plasma tidak turun 50 mg/dL dari
kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi; apabila memungkinkan infus
insulin dapat digandakan setiap jam sampai penurunan glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL di KHH
maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1
unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan infus.
Selanjutnya, laju pemberian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk
mempertahakan kadar glukosa di atas sampai asidosis di KAD atau perubahan kesadaran
dan hiperosmolaritas di KHH membaik.
Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik dibandingkan
dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada darah merupakan
metode yang disarankan untuk memantau KAD. Metode nitroprusida hanya mengukur
asam asetoasetat dan aseton serta tidak mengukur beta-hidroksibutirat yang merupakan
asam keton terkuat dan terbanyak. Selama terapi, beta-hidroksibutirat diubah menjadi
asam asetoasetat, sehingga dapat memberikan kesan ketoasidosis memburuk bila
dilakukan penilaian dengan metode nitroprusida. Oleh karena itu, penilaian keton serum
atau urin dengan metode nitroprusida jangan digunakan sebagai indikator respons terapi.
Selama terapi untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam
untuk mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum
(terutama KAD). Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak diperlukan,
pH vena (yang biasanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH arterial) dan gap anion
dapat diikuti untuk mengukur perbaikan asidosis. Pada KAD ringan, insulin regular baik
diberikan subkutan maupun intramuskular setiap jam, nampaknya sama efektif dengan
insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan badan keton. Pasien dengan KAD
ringan pertama kali disarankan menerima dosis “priming” insulin regular 0,4-0,6
unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh sebagai injeksi subkutan atau
intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun
intramuskular dapat diberikan.
Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, serum
bikarbonat ≥18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih
dipuasakan maka insulin dan penggantian cairan intravena ditambah suplementasi insulin
regular subkutan setiap 4 jam sesuai keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa,
suplementasi ini dapat diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap
peningkatan 50 mg/dL glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk
kadar glukosa ≥300 mg/dL.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang
sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena selama
1-2 jam setelah regimen campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar insulin
plasma yang adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan awitan
tertunda insulin subkutan dapat menyebabkan kendali yang memburuk; oleh karena itu
tumpang tindih antara terapi insulin intravena dan inisiasi insulin subkutan harus
diadakan.
Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis yang
mereka terima sebelumnya sebelum awitan KAD atau KHH dan disesuaikan dengan
kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru, dosis insulin inisial
total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam dua dosis dengan
regimen yang mencakup insulin kerja pendek dan panjang sampai dosis optimal dapat
ditentukan. Pada akhirnya, beberapa pasien T2DM dapat dipulangkan dengan
antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.
Terapi dengan menggunakan insulin analog baru-baru ini mendapatkan perhatian
lebih untuk dapat menggantikan insulin manusia, hal ini dikarenakan profil
farmakokinetik yang lebih baik sehingga membuat terapi dengan insulin analog lebih
mudah diprediksikan. Suatu studi acak terkontrol yang memperbandingkan terapi KAD
pada 68 subyek menggunakan insulin analog dibandingkan dengan insulin manusia,
menunjukkan efek samping hipoglikemia yang lebih rendah secara signifikan (41% vs.
15%, reduksi risiko absolut 26%, NNT=4, p=0,03). Studi ini menunjukkan regimen
insulin analog (glulisine dan glargine) memberikan efek terapi dan dosis yang serupa
dengan insulin manusia (regular dan NPH/regular). (17)
Pemberian terapi insulin analog lewat jalur subkutan juga menjadi fokus perhatian
studi-studi terbaru, terutama untuk memfasilitasi penatalaksanaan KAD di tempat dengan
sumber daya terbatas. Penelitian acak terkontrol terhadap 40 subyek KAD, 20 dirawat di
bangsal biasa atau pengawasan ketat dengan insulin lispro subkutan dan 20 dirawat di
unit rawat intensif dengan insulin regular intravena, menunjukkan efektivitas dan
keamanan yang sama. Demikian juga percobaan prosedur insulin aspart subkutan setiap 2
jam, untuk menyederhanakan terapi subkutan, mampu memberikan efektivitas dan
keamanan terapi yang serupa dengan insulin intravena. Fakta ini menunjukkan bahwa,
pada daerah-daerah dengan keterbatasan sumber daya, terapi insulin subkutan mampu
memberikan alternatif terapi yang aman dan efektif. Keuntungan yang diperoleh dari
regimen subkutan ini adalah biaya total rawat inap yang secara signifikan lebih murah
dibandingkan dengan regimen intravena.
Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan sedang
dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan
ekspansi volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia,
penggantian kalium dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L,
dengan mengasumsikan terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium
(2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan
kadar kalium serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang
dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini, penggantian kalium harus dimulai
bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian insulin ditunda sampai kadar kalium
mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka mencegah terjadinya aritmia atau henti
jantung dan kelemahan otot pernapasan.
Koreksi asidosis metabolik
Penggunaan bikarbonat pada KAD tetap kontroversial, dengan pH >7,0 memperbaiki
aktivitas insulin dapat menghambat lipolisis dan menghilangkan ketoasidosis tanpa perlu
tambahan bikarbonat. Penelitian acak terkontrol gagal menunjukkan apakah pemberian
bikarbonat pada pasien KAD dengan pH 6,9-7,0 memberikan perbaikan atau perburukan.
Sedangkan untuk pasien KAD dengan pH <6,9 belum pernah ada penelitian prospektif
yang dilakukan. Mempertimbangkan bahwa asidosis berat dapat menyebabkan berbagai
efek vaskular berat, nampaknya cukup beralasan untuk menatalaksana pasien dewasa
dengan pH <7,0 menggunakan 100 mmol natrium bikarbonat diencerkan dengan 400 ml
aqua bidestilata dan dan diberikan dengan laju 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9
sampai 7,0, maka 50 mmol natrium bikarbonat dapat diberikan setelah diencerkan dengan
200 ml aqua bidestilata dan diinfus dengan laju 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH di
atas 7,0 maka tidak diperlukan pemberian natrium bikarbonat.
Insulin, sebagaimana terapi bikarbonat, menurunkan kalium serum, sehingga
suplementasi kalium harus diberikan di dalam cairan intravena sesuai protokol di atas dan
dilakukan pemantauan hati-hati. Setelah itu, pH vena harus dinilai setiap 2 jam sampai pH
meningkat sampai 7,0 dan terapi diulang setiap 2 jam sesuai dengan keperluan.
Pada pasien anak, tidak ada penelitian acak terhadap subyek dengan pH<6,9. Bila pH
tetap <7,0 setelah hidrasi dalam satu jam pertama, nampaknya pemberian natrium
bikarbonat 1-2 mEq/kg selama 1 jam dapat dibenarkan. Natrium bikarbonat ini dapat
ditambahkan ke dalam lauran NaCl dan kalium yang dibutuhkan untuk membuat larutan
dengan kadar natrium tidak melebihi 155 mEq/L. Terapi bikarbonat tidak dibutuhkan bila
pH ≥7,0.
Fosfat
Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun fosfat
serum dapat normal ataupun meningkat saat presentasi. Konsentrasi fosfat menurun
dengan terapi insulin. Penelitian-penelitian acak prospektif gagal menunjukkan adanya
keuntungan terapi penggantian fosfat terhadap keluaran klinis KAD, dan terapi fosfat
berlebihan dapat menyebabkan hipokalsemia berat tanpa tanda-tanda tetani. Meskipun
demikian, untuk mengindari kelemahan jantung dan otot skeletal serta depresi pernapasan
akibat hipofosfatemia, terapi penggantian fosfat secara hati-hati dapat diindikasikan pada
pasien dengan disfungsi jantung, anemia atau depresi pernapasan dan pada pasien dengan
konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/dL. Pada saat dibutuhkan, kalium fosfat 20-30 mEq/L
dapat ditambahkan ke dalam cairan pengganti.
Tatalaksana lainnya
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko hipo atau
hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik harus diberikan
kepada pasien dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko gastroparesis dan aspirasi.
Kateterisasi urin harus dipertimbangkan bila terdapat gangguan kesadaran atau bila pasien
tidak mengeluarkan urin setelah 4 jam terapi dimulai. Kebutuhan pemantauan vena
sentral harus dipertimbangkan perindividu, namun diperlukan pada pasien tua atau
dengan keadaan gagal jantung sebelumnya. (8)
Pertimbangan harus diberikan kepada pemberian terapi antibiotika bila ada bukti
infeksi, namun hitung leukosit seringkali meningkat tajam pada KAD, dan tidak
mengkonfirmasi adanya infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisis, demam dan peningkatan
CRP merupakan biomarker yang lebih terpercaya. (8)
7.3. Pemantauan terapi
Pemantauan ketat tanda vital, kondisi klinis dan parameter laboratorium sangat
penting. Tanda-tanda vital harus diperiksa setiap setengah jam untuk satu jam pertama,
setiap jam untuk 4 jam berikutnya dan setiap 2 – 4 jam sampai KAD pulih. Pencatatan
akurat keluaran urin setiap jam sangat penting untuk memantau fungsi ginjal. Pada saat
masuk perawatan, pemeriksaan komprehensif meliputi paling tidak analisa gas darah
arterial atau vena, kadar glukosa plasma, elektrolit, nitrogen urea darah dan kreatinin,
kadar keton serum atau urin atau keduanya dan osmolalitas serum. Kadar glukosa darah
kapiler harus dipantau setiap jam untuk penyesuaian dosis infus insulin. Kadar elektrolit
harus dinilai setiap 1-2 jam awalnya dan setiap 4 jam kemudian. Pengukuran pH vena
dapat menggantikan pH arteri dan harus dilakukan setiap 4 jam sampai KAD
terkoreksi.(7)
Keberhasilan program seperti di atas bergantung kepada interaksi erat antara pasien
dan dokter serta pada tingkat keterlibatan pasien atau anggota keluarga dalam mencegah
diperlukannya rawat inap. Pasien/keluarga harus bersedia untuk mencatat glukosa darah,
keton urin, pemberian insulin, temperatur, laju napas dan nadi serta berat badan secara
akurat. Indikator perawatan rumah sakit termasuk: kehilangan berat badan >5%; laju
napas >30 kali/menit; peningkatan glukosa darah refrakter; perubahan status mental;
demam tak terkendali; dan nausea vomitus tak terobati. Selain isu edukasi seperti di atas,
beberapa studi melaporkan bahwa salah satu penyebab penting KAD pada pasien dengan
T1DM adalah penghentian insulin (67%). Alasan untuk penghentian insulin diantaranya
adalah permasalahan ekonomi (50%), kehilangan nafsu makan (21%), masalah prilaku
(14%) atau rendahnya pengetahuan manajemen hari sakit (14%). Oleh karena penyebab
paling umum dari penghentian insulin adalah alasan ekonomi, perbaikan pelayanan
kesehatan masyarakat dan akses pasien ke pengobatan adalah cara terbaik untuk
mengatasinya pada kelompok pasien ini.
BAB III
LAPORAN KASUS
3. 1 Data Subjektif
1. Identitas Pasien
1. Keluhan utama
Kejang
2. Riwayat penyakit sekarang
Kejang (kadang-kadang) sejak 2 hari terakhir, muntah (+), riwayat epilepsy (-),
kejang fokal ekstremitas atas, batuk (+), badan terasa lemas sejak 3 hari terakhir,
panas (-)
3. Riwayat penyakit dahulu
Sebelumnya belum pernah seperti ini
4. Riwayat penyakit keluarga
Ayah pasien mempunyai penyakit DM
5. Riwayat obat-obatan
Jamu – jamuan
3.2 Data Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : lemas
Kesadaran : compos mentis GCS 456
Vital sign
TD : 110/90 mmhg
Nadi : 110 kali/menit
RR : 27 x/menit
Suhu : 36, 50 C
Status umum
Kepala : AICD = +/-/-/-
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-),
Struma (-)
Pulmo :
Inspeksi : Dada simetris (+/+), retraksi (-/-), scar (-/-), pernafasan
torakoabdominal
Palpasi : Bagian dada tertinggal (-/-), vokal fremitus simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan; ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri; ICS IV line midclavikularis sisnistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar.distensi (-)
Palpasi : tidak teraba benjolan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Ascites : Shifting dullnes (-)
Auskultasi : Bising usus (-)
Ekstremitas
Ekstr.Atas : Akral hangat, edema (-/-), ikterik (-)
Ekstr.Bawah : Akral hangat, edema (-/-), ikterik (-)
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
3. 3 Diagnosa
3. 4 Terapi
PEMBAHASAN
Dalam kasus ini seorang pasien dating dengan keluhan kejang (kadang – kadang) sejak 2
hari terakhir, tidak ada riwayat epilepsy, kejang hanya pada ekstremitas atas saja, terdapat
batuk, tidak ada panas, dan badan terasa lemas sekali sejak 3 hari terakhir. Sebelumnya
pasien belum pernah mengalami seperti ini. Pada pemeriksaan GDA didapatkan hasil high
yaitu >500mg/dl. Dalam keluarga ayah pasien juga mempunyai diabetes mellitus. Riwayat
obat – obatan yang dipakai adalah jamu – jamuan. Keadaan umum pasien lemas, dengan
respiratory rate yang meningkat, GCS pasien 456. Hasil laboratorium menunjukkan adanya
peningkatan gula darah sewaktu, kalium dan trigliserida, dan juga terjadi penurunan pada
hemoglobin, eritrosit, hematokrit, MCV, MCH. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didiagnosis observasi kejang dan ketoasidosis diabetic karena adanya
hiperglikemi, pernafasan kussmaul.