Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. LEUKIMIA MIELOBLASTIK KRONIK

A. Definisi
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik
adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu
penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).
Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait
dengan gen gabungan BCR-ABL (Vardiman, 2007).
Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit
tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan
diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006).
Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom
Philadelphia (Ph) (Hoffbrand et al, 2005).
Penyebab Penyakit ini berhubungan dengan suatu kelainan kromosom yang disebut
kromosom filadelfia (Philadelphia ditemukan pada sekitar 80% dari pasien dengan leukemia
mielositik kronis).
B. Etiologi
1. Radiasi. Hal ini ditunjang dengan beberapa laporan dari beberapa riset yang menangani
kasus Leukemia bahwa Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia, Penerita
dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia, Leukemia ditemukan pada korban
hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
2. Leukemogenik. Beberapa zat kimia dilaporkan telah diidentifikasi dapat mempengaruhi
frekuensi leukemia, misalnya racun lingkungan seperti benzena, bahan kimia inustri
seperti insektisida, obat-obatan yang digunakan untuk kemoterapi.
3. Herediter. Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar
dari orang normal.
4. Virus. Beberapa jenis virus dapat menyebabkan leukemia, seperti retrovirus, virus
leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.

C. Patofisiologi
LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan dengan
kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’ kromosom. Pada lebih dari 90
% pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G
abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya
translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9
pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik,
eritroid dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel
limposit B. Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung jawab untuk
kebanyakan gambaran klinisnya.

Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan panjang (q)
kromosom 22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoprotein-P210,
yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin
kinase inilah yang menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya
LMK. Terjadinya krisis blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang
memproduksi cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph’-2
kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut memiliki sifat mengaktifkan
pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian mendapatkan adanya T-sel resptor
abnormal denan teknik polimerase pada darah tepi penderita LMK. Khususnya fase
akselerasi dan blast.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :


1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan
sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan
darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis
akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit
meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh
stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
2. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase
akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung
selama beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
 Panas tanpa penyebab yang jelas.
 Spleenomegali progresif.
 Trombositosis.
 Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
 Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau
mononuclear yang besar.
 Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
 Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3. Fase Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang.
Sel blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan
limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena
sindrom hiperleukositosis.

D. Manifestasi Klinis
Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
o Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat
badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.
o Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien,
perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
o Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
o Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi
trombosit yang abnormal.
o Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan
purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
o Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapism.
E. Komplikasi
Beberapa masalah dalam penanganan LMK :
1. Masalah metabolik
Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya
hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di
terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.
2. Hiperkulositosis
Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi
leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit
kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat
peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan
sengan leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus
diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari
dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.
3. Priapism
Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya
penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran
lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat,
radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari
intravena).
4. Leukemia Meningeal
Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai
pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup
lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil.
Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah
dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan.
5. Myelofibrosis
LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi
kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

F. Prognosis
1. 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan itu
sekitar 25% meninggal setiap tahunya.
2. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya
terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast.
3. Angaka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang
bisa memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk.
Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya
meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun.
(Fadjari, 2006).
2. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri
granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga
presentasi eosinofil dan basofil. (Fadjari, 2006).
3. Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio
mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin,
tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
4. Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom
yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17).
(Fadjari, 2006).
5. Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.

1. Pemeriksaan Fisik: Dokter akan memeriksa pembengkakan kelenjar getah bening,


limpa, atau hati.
2. Hitung darah lengkap : Menunjukan normositik, anemia normositik.
- Hemoglobin: Dapat kurang dari 10g/100ml.
- Retikulosit: Jumlah biasanya rendah.
- Jumlah trombosit: Mungkin sangat rendah (<50.000/mm).
- SDP: Mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP imatur (“menyipang ke
kiri”). Mungkin ada blast leukemia.
3. PT/PTT: Memanjang.
4. LDH: Mungkin meningkat.
5. Asam urat serum/urine: Mungkin meningkat.
6. Muramidase serum (lisozim): Peningkatan pada leukemia monositik akut dan
mielomonositik.
7. Copper serum: Meningkat.
8. Zink serum: Menurun.
9. Biopsi sumsum tulang: SDM abnormal biasanya lebih dari 50% atau lebih dari SDP pada
sumsum tulang. Sering 60%-90% dari sel blast, dengan prekusor eritroid, sel matur. Dan
megakariositis menurun.
10. Foto dada dan biopsy nodus limfe: Dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap,
baik remisi hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik,
maupun remisi biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi
interferondan atau cangkok sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim
ribonukleotida reduktanse sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat
dengan akibat terhentinya sintesis DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan
menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100% (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari.
Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk
(Fadjari,2006).
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi,
dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis
rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi
terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga
pemeriksaan darah harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak
2-6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai
hitung leukosit mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai
kembali setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia,
hopotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan
katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru
yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan
mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia
mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya
kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-
ABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat
kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses
(Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit
terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan
dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan
sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau
pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit
meningkat dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi
neutropeni (<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT
dan bilirubin. Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta
IU/mk/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.
Sedangkan berdasar hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta
IU/mk/hari (Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi
sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang
tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).
Penanganan kasus penyakit Leukemia biasanya dimulai dari gejala yang muncul, seperti
anemia, perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan Leukemia
bisa dilakukan dengan cara single ataupun gabungan dari beberapa metode dibawah ini:
Penatalaksanaan terapi LMK bergantung pada 3 fase penyakit, yaitu :

1. Fase kronis

Obat pilihan :

o Busulphan (myleran) dosis 0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari, terapi dimulai jika leukosit naik
menjadi 50.000/mm3. Efek samping berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan,
fibrosis paru, dan bahaya timbulnya leukimia akut.
o Hidroksiurea dosis ditritasi dari 500-2.000 mg, kemudian diberikan dosis
pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3, efek sampingnya lebih
sedikit.
o Interveron alfa biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh
hidroksiurea.

2. Fase akselerasi

Sama dengan terapi leukimia akut, tetapi respons sangat rendah.

3. Transpalantasi sumsum tulang

Memberikan harapan penyembuhan jangka panjang, terutama untuk penderita yang


berusia kurang dari 40 tahun. Penanganan yang umum diberikan adalah allogeneic
peripheral blood stem cell transplantation.

4. Terapi dengan memakai prisipbiologi molekuler

Obat baru imatinib mesylate (gleevec) yang dapat menekan aktivitas tyrosin kinase,
sehingga menekan proliferasi sel mieloid.

II. CRONIC KIDNEY DISEASE


A. Definisi
Istilah baru CKD oleh NKF-K/DOQI, adalah pasien yang memiliki salah satu
kriteria sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, dimana terdapat abnormalitas struktur atau fungsi
ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, yang dimanifestasikan oleh satu atau beberapa
gejala berikut:

 Abnormalitas komposisi darah atau urin


 Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
 Abnormalitas biopsi ginjal
1. GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa tanda kerusakan ginjal
lainnya yang telah disebutkan sebelumnya di atas (Kanitkar,2009)
B. Klasifikasi
Sistem klasifikasi CKD yang sekarang dipakai diperkenalkan oleh NKFK/DOQI
berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis, laboratorium dan pencitraan.
Tujuan adanya sistem klasifikasi adalah untuk pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal,
dan penatalaksanaan yang dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari end
5-8
stage renal disease (ESRD). Namun demikian sistem klasifikasi ini hanya dapat
diterapkan pada pasien dengan usia 2 tahun ke atas, karena adanya proses pematangan fungsi
ginjal pada anak dengan usia di bawah 2 tahun (Hogg, 2003).

Stadium GFR (ml/mnt) Deskripsi

I ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan


GFR normal/meningkat

II 60-89 Kerusakan ginjal dengan


penurunan GFR ringan

III 30-59 Kerusakan ginjal dengan


penurunan GFR sedang

IV 15-29 Kerusakan ginjal dengan


penurunan GFR berat

V <15 atau dialisis Gagal ginjal


B. Patogenesis
Mekanisme yang dapat menyebabkan CKD adalah glomerulosklerosis, parut
tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular (Wilson, 1999)

Glomerulosklerosis

Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif glomeruli yang


dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular. Kerusakan sel intraglomerular
dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel) dan ekstrinsik
(trombosit, limfosit, monosit/makrofag).

Sel endotel dapat mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik,metabolik dan


imunologis. Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi fungsi antiinflamasi dan
antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan
mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta munculnya mikroinflamasi. Akibat
mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium sedangkan faktor
pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel
miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mampu
bereplikasi terhadap jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis
glomerulus dan menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal
menyebabkan formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi
material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut glomerulo-tubular sehingga pada
akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisial.

Parut tubulointerstisial

Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi fibroblas


interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan keseimbangan produksi
dan pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan fibrosis ireversibel

Sklerosis vaskular

Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi iskemi


interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan sumber miofibroblas
yang berperan dalam berkembangnya fibrosis interstisial ginjal (Warady, 2007)

C. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita CKD stadium 1-3 tidak mengalami gejala apa-apa atau
tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan metabolik yang
tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis biasanya baru
terlihat pada CKD stadium 4 dan 5. Beberapa gangguan yang sering muncul pada pasien
CKD anak adalah: gangguan pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein, gangguan elektrolit,
asidosis, osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi (Kanitkar, 2009)

C. Diagnosis
Keberadaan CKD harus ditegakkan, berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan tingkat
fungsi ginjal (GFR), tanpa memperhatikan diagnosis. Pada pasien dengan CKD, stadium
penyakitnya harus ditentukan berdasarkan tingkat fungsi ginjal menurut klasifikasi CKD dari
K/DOQI. CKD stadium awal dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin (Hogg,
2003).

Penghitungan GFR merupakan pemeriksaan terbaik dalam menentukan fungsi ginjal.


Dalam praktek klinis, GFR umumnya dihitung dengan 7 menggunakan klirens kreatinin atau
konsenstrasi kreatinin serum. Namun pengukuran klirens kreatinin seringkali sulit dilakukan
dan seringkali tidak akurat karena membutuhkan sampel urin 24 jam. Kreatinin serum
dipengaruhi oleh faktor lain selain GFR, terutama produksi kreatinin, yang berhubungan
dengan ukuran tubuh, khususnya massa otot. Pada banyak pasien GFR harus turun sampai
setengah dari nilai normal, sebelum kreatinin serum meningkat di atas nilai normal sehingga
sangat sulit untuk menilai tingkat fungsi ginjal dengan tepat atau untuk mendeteksi CKD
pada stadium awal.(Whyte, 2008)

Keakuratan penilaian GFR dengan menggunakan kreatinin serum pada pasien anak
dapat diperbaiki dengan menggunakan rumus perkiraan dengan memperhatikan tinggi badan,
usia, dan jenis kelamin pasien. Rumus perkiraan yang banyak dipergunakan untuk
menentukan GFR adalah rumus Schwartz dan rumus Counahan-Baratt, walaupun
berdasarkan data penelitian didapatkan bahwa hasil yang berlebihan dari rumus Scwartz
meningkat seiring penurunan GFR, demikian juga dengan rumus Counahan-Baratt.
Walaupun kurang tepat, namun rumus-rumus ini menyediakan metode yang lebih praktis
dibanding penilaian GFR dengan menggunakan urin 24 jam, selain itu pengukuran klirens
kreatinin menggunakan spesimen urin 24 jam tidak menghasilkan perkiraan GFR yang lebih
baik dibanding dari hasil rumus perkiraan. (Whyte, 2008)
Urinalisis dapat dilakukan untuk menapis pasien yang dicurigai mengalami gangguan
pada ginjalnya. Peningkatan ekskresi protein (proteinuria) persisten umumnya merupakan
penanda untuk kerusakan ginjal. Peningkatan ekskresi albumin (albuminuria) merupakan
penanda sensitif CKD yang disebabkan diabetes, penyakit glomerular, dan hipertensi. Pada
banyak kasus, penapisan dengan menggunakan metode dipstick dapat diterima untuk
mendeteksi proteinuria. Pasien dengan hasil tes protein dipstick positif (+1 atau lebih) harus
dikonfirmasi melalui pengukuran kuantitatif (rasio protein terhadap kreatinin atau rasio
albumin terhadap kreatinin) dalam 3 bulan. Pasien dengan 2 atau lebih hasil tes kuantitatif
positif dengan jeda waktu 1 sampai 2 minggu harus didiagnosis

menderita proteinuria persisten dan diperiksa lebih lanjut. Pada pasien anak dengan nefropati
diabetikum perlu dilakukan pemeriksaan mikroalbuminuria.2 Pemeriksaan sedimen urin
mikroskopis, terutama bersamaan dengan pemeriksaan proteinuria, berguna dalam
mendeteksi CKD dan mengenali jenis penyakit ginjal. Dipstick urin dapat mendeteksi sel
darah merah/hemoglobin (hematuria), neutrophil dan eosinofil (piuria) dan bakteri (nitrit),
namun tidak dapat mendeteksi sel epitel tubular, lemak, cast di urin. dilakukan untuk
mendeteksi keberadaan sel darah merah, sel darah putih, cast, kristal, fungi dan bakteri.

Pemeriksaan sedimen urin mikrospkopis dilakukan untuk mendeteksi halhal yang


tidak dapat dideteksi dipstick (Hogg, 2003). Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk
melihat kemungkinan adanya anemia sebagai salah satu manifestasi klinis kronis CKD.
Pemeriksaan kimiawi serum menilai kadar ureum dan kreatinin sebagai yang terutama dalam
diagnosis dan monitoring, sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat,
bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid, kolesterol, fraksi lipid yang berguna dalam
terapi dan pencegahan komplikasi.

Pemeriksaan pencitraan ginjal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan CKD dan
pada individu-individu yang beresiko mengalami CKD. Hasil abnormal pada pemeriksaan
pencitraan dapat menunjukkan penyakit ginjal vaskuar, urologis atau intrinsik. Pemeriksaan
ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna pada beberapa kondisi, dan tidak
dihubungkan dengan risiko terpapar radiasi atau kontras.

D. Penatalaksanaan

Terapi nonfarmakologis

 Pengaturan asupan protein


 Pengaturan asupan kalori 35kal/kgBB ideal/hari
 Pengaturan asupan lemak 30-40% dari kalori total
 Garam(NACl) 2gr/hari
 Kalium 40-70mEq/kgBB/hari
 Fosfor 5-10 mg/kgBB/hari
 Kalsium 1400-1600 mg/hari
 Besi 10-18 mg/hari
 Magnesium 200-300mg/hari
 Asam folat pasien HD 5mg
 Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml

Pembatasan asupan protein pada penyakit ginjal kronis

LFG (ml/mnt) Asupan protein gr/kg/hari

>60 Tidak dianjurkan

25-60 0,6-0,8/kg/hari

5-25 0.6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 gr asam amino


esensial atau asam keton

<60 (sindroma nefrotik ) 0,8/kg/hari (=1gr protein/gr proteinuria atau 0,3 gr/kg
tambahan asam amino esensial

Terapi Farmakologis

 Kontrol tekanan darah


- Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin
dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul
hiperkalemia harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
 Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas
nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
 Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
 Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
 Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
 Koreksi hiperkalemia
 Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
 Terapi ginjal pengganti (transplant ginjal atau dialisa). (Brenner, 2000)
Daftar Pustaka
.
Besa, E., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13.
Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
Dugdale, D., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
Fadjari, H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4th ed), Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi, (4th ed),
EGC, Jakarta.
Hogg RJ et al. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Children and
Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification. Pediatrics 2003;111:1416
1421.
Kanitkar CM. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective, update.
MJAFI 2009;65:45-49.
Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et al.
Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia after
failure of first-line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal of The American
Society of Hematology 2007;12: 5143-5150
Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI, 2002.
Markman, M., 2009. Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
Nafrialdi, Gan, S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5th ed),Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Price, S., A., Wilson, L., M., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Vardiman, J., W., 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+, American
Journal Clinical Pathology, 132, 248-249
Warady BA, Chadha V. Chronic kidney disease in children: the global perspective.
Pediatr Nephrol 2007;22:1999–2009.
Whyte DA, Fine RN. Chronic Kidney Disease in Children. Pediatr. Rev. 2008;29:335-
341.

Anda mungkin juga menyukai