Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TOKSOKOLOGI

”Toksisitas Antibiotika Golongan Aminoglikosida”

Anggota Kelompok :

1. Ana Pratiwi (18334706)


2. Isnaini Fahru Razi (17334730)
3. Mila Hanifah (18334730)
4. Putri Yolanda Tanjung (15534063)

Dosen Pembimbing : Tahoma Siregar, Msi, Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat,
dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Toksikologi yang
berjudul “Toksisitas Antibiotika Golongan Aminoglikosida”. Terima kasih kami ucapkan
kepada :
1. Bapak Tahoma Siregar, Msi, Apt selaku dosen mata kuliah Toksikologi
2. Rekan- rekan yang memberikan masukkan dan saran kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
serta masih banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat dinantikan guna
penyempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan
kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud kami. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan serta bermanfaat bagi kami
maupun pembaca. Semoga Tuhan senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada
kita semua.

Jakarta , Desember 2018

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... ..1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1 Definisi Keracunan ......................................................................................................... 3
2.2 Diagnosis ........................................................................................................................ 4
2.2.1 Anamnesis.............................................................................................................4
2.2.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................................................4
2.2.3 Laboratorium.........................................................................................................5
2.2.4 Analisis Urin dan Darah........................................................................................5
2.2.5 Respon Antidot......................................................................................................5
2.3 Prinsip Umum Penanganan Keracunan............................................................................6
2.3.1 Perawatan Suportif................................................................................................7
2.3.2 Pencegahan Absorpsi Racun...............................................................................8
2.3.3 Percepatan Eliminasi Racun................................................................................11
2.3.4 Teknik Eliminasi Lainnya...................................................................................13
2.4 Definisi Antibiotik..........................................................................................................14
2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Antibiotik........................................................16
2.6 Efek Samping Antibiotik................................................................................................16

BAB III PEMBAHASAN...................................................................................................18


3.1 Antibiotik Golongan Aminoglikosida............................................................................18
3.1.1 Mekanisme Kerja Antibiotik Golongan Aminoglikosida.................................18
3.1.2 Efek Yang Tidak Diinginkan Dari Golongan Aminoglikosida......................18
3.2 Cara Mengatasi Terjadinya Toksisitas Antibiotik..........................................................21
BAB IV PENUTUP............................................................................................................24
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................................24
4.2 Saran...............................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara tropis dimana infeksi masih merupakan salah satu
penyebab kematian yang terjadi di Indonesia. Oleh karena iu, penggunaan antibiotik atau
anti infeksi masih paling dominan dalam pelayanan kesehatan. Jumlah dan jenis antibakteri
sangat banyak dan selalu bertambah seiring dengan perkembangan infeksi, sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai mikroba yang masih sensitif terhadap
antibakteri tertentu dan bagaimana perkembangan resistensi serta kinetiknya.
Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme
infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit, sedangkan
efek lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang
peka dan yang resisten. Konsekuensinya adalah gangguan ekologi mikrobia alami.
Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang berbeda jenisnya atau varian
resisten dari bakteri yang sudah ada.
Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun
1940. Pada era ini banyak macam antibiotik tersedia di pasaran. Terutama dengan
adanya ” tekanan promosi” yang sangat gencar, tidak jarang merangsang pemakaian
antibiotik yang menjurus ke arah ketidakrasionalan.
Salah satu golongan antibiotik yang tersedia dipasaran adalah antibiotik golongan
Aminoglikosida Aminoglikosida adalah kelompok antibiotik yang digunakan untuk
mengatasi infeksi yang disebabkan bakteri aerob gram-negatif. Antibiotik ini cukup efektif
dalam melawan bakteri seperti Mycobacterium Tuberculosis dan Staphylococcus.
Pemakaian obat ini dapat dikombinasikan dengan antibiotik lainnya. Aminoglikosida dapat
membunuh secara langsung bakteri yang bisa menyebabkan infeksi serius. Antibiotik
bakterisida ini bekerja dengan cara menghentikan produksi protein yang dibutuhkan
bakteri untuk bertahan hidup. Tingkat keefektifan aminoglikosida akan meningkat apabila
tingkat konsentrasinya tinggi. Penggunaan antibiotik golongan aminoglikosid melebihi
dosis dapat menyebabkan toksisitas berupa efek Ototoksik (gangguan pendengaran
dan keseimbangan), efek neurotoksik serta efek nefrotoksik.

1
Berdasarkan uraian di atas maka seorang farmasis perlu mengetahui bagaimana
toksisitas yang terjadi pada antibiotik golongan aminoglikosid serta antidot yang
digunakan untuk mengobati keracunan dari golongan aminoglikosid

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa dan bagaimana seseorang dapat menderita keracunan? khususnya keracunan
antibiotik golongan aminoglikosid?
2. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan dalam menangani seseorang yang
mengalami keracunan obat antibiotik golongan aminoglikosid?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang keracunan khususnya golongan
antibiotik golongan aminoglikosid serta cara penanganannya.
2. Dapat memanfaatkan wawasan dan pengetahuan ini untuk di aplikasikan dalam
kehidupan professional dan pribadi nantinya untuk melakukan edukasi di
masyarakat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Keracunan


Keracunan merupakan kejadian timbulnya efek samping obat, zat kimia, atau
substansi asing lainnya yang berhubungan dengan dosis. Terdapat variasi respon dan
kecenderungan individual terhadap dosis obat yang diberikan. Variasi ini terjadi baik
secara genetik maupun didapat (karena induksi enzim, inhibisi, maupun toleransi).
Berikut ini rute paparan suatu substansi racun yaitu dapat melalui:
a. Injeksi parenteral (0.3%)
b. Gigitan dan sengatan (3.9%)
c. Mata (6%)
d. Inhalasi (6.7%)
e. Kulit (8.2%)
f. Ingesti/per oral (74%)
Paparan racun yang paling sering ditemukan adalah dengan jenis : bahan
pembersih, analgetika, kosmetika, tumbuh-tumbuhan, obat batuk-pilek, gigitan/bisa
binatang. Bahan-bahan farmasi berperan dalam 41% kejadian keracunan dan 75% dari
keracunan serius atau fatal.
Beberapa kejadian keracunan yang tidak disengaja diantaranya :
a. Cara pemakaian yang salah dari bahan kimia pada saat bekerja/bermain
b. Kesalahan labelling suatu produk
c. Kesalahan dalam membaca label
d. Kesalahan identifikasi bahan kimia yang tidak berlabel
e. Ketidaktahuan dalam mengobati sendiri/kelebihan dosis (misuse)
f. Penyalahgunaan obat-obat psikotropika (abuse)
g. Kesalahan dosis oleh perawat, orang tua, ahli farmasi, dokter, dan penderita
lanjut usia
Sedangkan keracunan yang disengaja paling sering ditemukan pada percobaan
bunuh diri. Angka kematian tertinggi terjadi karena keracunan CO. Kematian akibat obat-
obatan paling sering diakibatkan karena analgetika, antidepresan, hipnotik sedatif,
neuroleptik, stimulan dan obat-obat yang disalahgunakan, obat kardiovaskular,
antikonvulsan, antihistamin dan obat asma.

3
Bahan bukan obat yang menyebabkan keracunan fatal termasuk di dalamnya adalah
alkohol, glikol, asap dan gas, bahan kimia, bahan pembersih, peptisida dan produk
automotif.

2.2 Diagnosis
Diagnosis yang benar diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi
laboratorium rutin dan toksikologi serta karakteristik klinisnya.

2.2.1 Anamnesis
Anamnesis harus mencakup: waktu, rute, lamanya terpapar, dan ruang lingkup
paparan (lokasi, kejadian yang menyertai, tujuan); nama dan jumlah masing-masing obat,
bahan kimia atau bahan-bahan yang berada di dalamnya; onset, keadaan, dan beratnya
gejala, jenis dan waktu pertolongan pertama, dan riwayat medis serta psikiatri.
Bila pada anamnesa tidak ditemukan riwayat paparan racun, karakteristik klinis
dapat menunjang ke arah keracunan. Keracunan khas terjadi secara cepat dan berubah
dengan cepat dibanding kelainan/penyakit lainnya. Gejala dan tanda-tanda keracunan akut
secara karakteristik timbul dalam hitungan jam setelah paparan, mencapai puncaknya
dalam beberapa jam, dan menghilang dalam beberapa jam berikutnya sampai beberapa
hari. Namun tidak adanya gejala-gejala dan tanda-tanda segera setelah kejadian overdosis,
tidaklah begitu saja menyingkirkan keracunan.

2.2.2 Pemeriksaan Fisik


Pertama-tama pemeriksaan fisik harus ditekankan pada tanda vital, sistem
kardiopulmoner, dan status neurologis. Berdasarkan nadi, tensi, frekuensi nafas, dan suhu
serta status mental, status fisiologik penderita dapat digolongkan menjadi: excited, depresi,
respon tidak sesuai, atau normal.
Menentukan derajat keracunan adalah penting untuk menilai respon terapi.
Penderita juga harus diperiksa terhadap adanya riwayat trauma dan penyakit dasarnya.
Manifestasi neurologis keracunan biasanya berupa kejang nonfokal, kecuali: keracunan
yang disebabkan CO, teofilin, dan obat-obat yang menyebabkan hipoglikemi atau
hipoksia. Karenanya, penemuan manifestasi fokal harus dapat menggambarkan dengan
tepat lesi struktural pada SSP.
Bila riwayat keracunan tidak jelas, semua orifisium harus diperiksa untuk menilai
adanya luka bakar kimia dan bungkus obat. Bau nafas atau muntah dan warna kuku, kulit
atau urine dapat menunjang diagnosis.

4
2.2.3 Laboratorium
Penilaian laboratoris dapat membantu mendiagnosis banding keracunan. Metabolik
asidosis dengan meningkatnya anion gap adalah karakteristik untuk keracunan methanol,
etilen glikol, dan salisilat, walaupun bisa saja terjadi pada keracunan agen lain (kadar laktat
serum < anion gap) ; serta keracunan yang terjadi pada gagal hati, gagal ginjal, atau gagal
nafas, kejang, atau syok (kadar laktat serum > atau hampir = dengan anion gap.
Anion gap yang rendah secara abnormal dapat terjadi karena tingginya kadar
bromida, kalsium, iodine, litium, magnesium, atau nitrat dalam darah.
Meningkatnya osmolal gap yaitu perbedaan >10 mmol/l antara osmolalitas serum
yang diukur dari turunnya titik beku dan osmolalitas serum yang diukur dari kadar natrium,
glukosa dan BUN serum menunjukkan adanya zat terlarut dengan BM rendah seperti:
alkohol, glikol, keton, elektrolit yang tidak terukur, atau gula Osmolal gap juga dapat
memperkirakan jumlah anion.

2.2.4 Analisis Urin dan Darah


Analisis urin dan darah (dan kadang-kadang cairan lambung serta sampel kimia)
dapat berguna untuk memastikan atau menyingkirkan dugaan keracunan. Walaupun
beberapa skrining test cepat untuk sejumlah penyalahgunaan obat sudah tersedia, untuk
menyelesaikan test tersebut diperlukan 2-6 jam dan penatalaksanaan segera haruslah
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan test rutin lainnya. Pemeriksaan skrining
bernilai bermakna bila dilakukan pada penderita dengan keracunan yang berat atau
keracunan yang tidak jelas, yang menderita koma, kejang, instabilitas kardiovaskuler,
asidosis metabolik atau respiratorik, dan irama jantung nonsinus.
Analisis kuantitatif berguna pada keracunan asetaminofen, aseton, alkohol
(termasuk etilen glikol), antiaritmi, antikonvulsan, barbiturat, digoksin, logam berat, litium,
paraquat, salisilat dan teofilin sebagaimana diperlukan untuk karboksihemoglobin dan
methemoglobin. Hasil dapat dibaca dalam 1 jam.

2.2.5 Respon antidot


Respon terhadap antidot juga berguna untuk tujuan diagnostik. Perbaikan status
mental dan perbaikan tanda vital yang abnormal dalam beberapa menit setelah pemberian
intravena dari dekstrosa, nalokson, atau flumazenil sangat jelas menggambarkan keracunan
agen yang menyebabkan hipoglikemi, narkotik, dan keracunan benzodiazepin. Walaupun
perbaikan dari manifestasi sentral dan perifer keracunan antikolinergik oleh fisostigmin

5
adalah bernilai diagnostik namun antidot ini dapat menyebabkan penderita dengan depresi
SSP karena berbagai sebab dapat terbangun kembali.

2.3 Prinsip Umum Penanganan Keracunan


Tujuan terapi keracunan adalah mengawasi tanda-tanda vital, mencegah absorpsi
racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot spesifik, dan
mencegah terjadinya paparan ulang.
Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya racun,
selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan
farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan sangatlah penting.
Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama adalah
dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan
singkat. Juga disarankan pemasangan i.v. line dan monitoring jantung, khususnya pada
penderita keracunan per oral serius atau penderita dengan anamnesis yang tidak jelas.
Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara
lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
toksikologi darah dan urin, serta dilakukan pemeriksaan kuantitatif bila ada indikasi.
Selama absorpsi dan distribusi berlangsung, kadar racun dalam darah akan lebih tinggi
dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak berhubungan dengan toksisitasnya. Namun
bila metabolit racun tinggi kadarnya dalam darah dan lebih toksik dibanding bentuk
asalnya (asetaminofen, etilen glikol, atau methanol), maka diperlukan interventi tambahan
(antidot, dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral dalam 4-6
jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila terdapat
keracunan per oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan motilitas usus
dimana disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan sendirinya juga lebih lambat. Pada
racun yang dalam tubuh akan diubah menjadi metabolit toksik, juga diindikasikan
observasi lebih lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan terjadinya
efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan klinis dan laboratoris. Setelah
overdosis, akan segera timbul efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan
tetap bertahan lebih lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan pada dosis terapi.
Prioritas pertama untuk dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien
yang simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan saturasi oksigen,

6
monitoring jantung, dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-
ray dapat berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus koma
maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v. (kecuali bila kadarnya
normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.
Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya percepatan eliminasi
racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan konfirmasi laboratoris. Dialisis intestinal
dengan pemberian karbon aktif berulang biasanya aman dan dapat mempercepat eliminasi.
Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat eliminasi sejumlah kecil racun, serta
memiliki potensi komplikasi. Metode ekstrakorporeal efektif untuk mengeluarkan banyak
racun, tetapi biaya dan resikonya juga besar, sehingga penggunaanya terbatas
pada.keracunan berat.
Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus kontinu dilakukan
sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik. Karena bahan-bahan
kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi dibandingkan yang dari jaringan, maka kadarnya
dalam darah selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan sehingga tidak berkorelasi
dengan toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi dari
jaringan dapat menyebabkan peningkatan balik racun dalam darah setelah selesainya
prosedur ini. Bila metabolit racun yang menyebabkan efek toksiknya, maka pada penderita
yang telah asimtomatis tetap harus diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik
kadarnya metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).

2.3.1 Perawatan Suportif


Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan homeostasis
fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah serta mengobati
komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak & paru, pneumonia,
rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit thromboembolik, dan disfungsi organ
menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan.
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada pelayanan kesehatan
umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD, tergantung dari lamanya kejadian
keracunan dan monitoring yang diperlukan (observasi klinis intermiten vs kontinu,
monitoring jantung dan pernafasan).Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan
observasi dan pemeriksaan kontinyu untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai
tidak mungkin lagi dilakukan upaya-upaya lebih lanjut.

7
2.3.2 Pencegahan Absorpsi Racun
a. Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu atau tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana
yang akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang telah
& akan terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta
beratnya keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang dan sukarelawan
menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase lambung, dan sirup ipecac
menurun sesuai jangka waktu keracunan. Tidak cukup data untuk menunjang/mengekslusi
manfaat penggunaan hal-hal tersebut pada keracuan yang sudah lebih dari 1 jam.
Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya & komplikasinya lebih
sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai, dibandingkan ipecac atau lavase
lambung. Karbon aktif merupakan metoda dekontaminasi gastrointestinal yang terpilih
untuk sebagian besar kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan sebagai suspensi dalam air,
baik sendiri atau dengan suatu katartik. Diberikan per oral melalui botol susu pada bayi
atau melalui cangkirsedotan, atau NGT berkaliber kecil.
Dosis yang direkomendasikan : 1 gr/kg BB dengan 8 ml pelarut untuk tiap gram
karbon aktif. Untuk memperbaiki rasanya, dapat ditambahkan pemanis (sorbitol), atau
penambah rasa (ceri, coklat, atau cola) dalam suspensinya. Karbon menyerap racun dalam
lumen usus, sehingga memungkinkan kompleks karbon-toksin dievakuasi melalui feses.
Kompleks tsb. dapat juga dikeluarkan dari lambung dengan induksi muntah atau lavase.
Secara in vitro, karbon menyerap > = 90% dari sebagian besar jenis racun bila diberikan
dalam jumlah10x lipat berat racun.
Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam sianida yang
terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa anorganik lainnya, tidak diserap
dengan baik oleh karbon. Pada studi binatang dan sukarelawan, karbon rata-rata akan
menyerap 73% ingestan bila diberikan dalam 5 menit setelah pemberian ingestan,
menyerap 51% bila diberikan dalam 30 menit, dan 36% dalam 1 jam. Karbon paling tidak
sama efektifnya dengan sirup ipecac atau lavase lambung. Dalam eksperimen, lavase yang
diikuti dengan pemberian karbon aktif lebih efektif daripada karbon aktif saja; pemberian
karbon aktif sebelum dan sesudah lavase lebih efektif lagi. Namun kenyataannya pada
penderita keracunan yang diberikan karbon aktif saja, hasilnya lebih baik daripada
kombinasi seperti di atas.
Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau konstipasi.
Karbon aktif juga menghambat penyerapan obat-obatan yang diberikan per oral.

8
Komplikasi pemberian karbon aktif meliputi : obstruksi mekanik dari jalan nafas, aspirasi,
muntah, obstruksi usus, dan infeksi. Kontraindikasi karbon aktif : penderita dengan
keracunan agen korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan mengaspirasi secara
bergantian cairan sebanyak 5 ml/kg BB melalui tube orogastrik no.28 (French) pada anak
dan No. 40 pada dewasa. Kecuali pada bayi, tap cairan dapat dilakukan. Penderita dalam
posisi Trendelenburg dan left lateral decubitus untuk mencegah aspirasi (kecuali bila
sudah dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira sama dengan ipecac.
Komplikasi lavase tersering adalah aspirasi (terjadi pada >10% penderita),
khususnya pada lavase yang kurang benar. Komplikasi serius berupa lavase trakheal,
perforasi esofagus dan gaster, terjadi kira-kira pada hampir 1% penderita. Karenanya
dokter harus melakukan sendiri pemasangan tube lavage dan mengkonfirmasi
letaknya dan pasien juga harus kooperatif atau diberi sedasi bila perlu selama prosedur.
Kontraindikasi lavage lambung adalah pada keracunan bahan korosif atau
petroleum distilate peroral karena bisa saja terjadi perforasi gastroesofageal dan aspiration
induced hydrocarbon pneumonitis.
Sirup ipecac dapat digunakan untuk penanganan pasien di rumah dengan keracunan
peroral yang terjadi karena kelalaian, riwayatnya jelas, dan toksisitasnya rendah. Ipecac
dapat menunda pemberian karbon aktif dan mengurangi efektifitas karbon aktif, antidot
oral, dan irigasi seluruh usus dan sangat jarang dipakai pada penderita yang ditangani
difasilitas pelayanan kesehatan. Pemberian ipecac secara oral dengan dosis 30 mg untuk
dewasa, 15 mg untuk anak, dan 10 mg untuk bayi. Pemberian ipecac diikuti dengan
pemberian cairan yang jernih. Ipecac menyebabkan iritasi lambung dan merangsang
kemoreseptor trigger zone dipusat. Muntah biasanya terjadi setelah 30 menit pemberian
ipecac. Bila tidak terjadi muntah dosis dapat diulang.
Efek samping ipecac berupa letargi pada anak-anak (12%) dan muntah yang
berlarut-larut (8-17%). Penggunaan kronik (oleh penderita dengan anoreksia nervosa atau
bulimia) dapat menyebabkan abnormalitas elektrolit atau cairan, toksis untuk jantung, dan
miopati. Komplikasi yang serius jarang kecuali aspirasi. Pernah dilaporkan terjadi perforasi
dan robeknya gaster atau esofagus serta stroke.
Kontraindikasi ipecac pada penderita yang baru saja dilakukan pembedahan
gastrointestinal, depresi SSP, atau kejang, dan pada mereka yang keracunan bahan korosif
peroral atau racun SSP yang bekerja cepat (camphore, sianida, antidepresan trisiklik,
propoksifen, strychnine).

9
Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan pembersih usus yang
mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely, Colyte) peroral atau dengan tube
gastric dengan kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada dewasa,
sampai diperoleh cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi duduk. Irigasi
seluruh usus mungkin sama efektifnya dengan prosedur dekontaminasi yang lain. Irigasi
usus dapat dilakukan pada penderita yang tertelan benda asing, bungkus obat illegal, obat
yang lepas lambat atau tablet salut dan agen yang tidak dapat diserap oleh karbon aktif
misalnya (logam berat).
Kontraindikasi irigasi usus pada penderita obstuksi usus, ileus, hemodinamik yang
tidak stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.
Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat dan sulfat, serta sodium
sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol), merangsang evakuasi rektal dari isi
lambung dan usus. Katartik yang paling efektif ialah sorbitol dengan dosis 1-2 gram/kg
BB. Katartik tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang tertelan dan sebaiknya tidak
digunakan untuk dekontaminasi usus. Penggunaan utamanya adalah untuk mencegah
konstipasi pada pemberian karbon aktif.
Efek samping katartik berupa kram perut, mual, dan kadang-kadang muntah.
Komplikasi dosis katartik yang berulang berupa hipermagnesemia dan diare yang hebat.
Katartik dikontraindikasi kan pada penderita keracunan bahan korosif peroral dan pada
penderita yang sedang diare. Katartik yang mengandung magnesium tidak boleh dipakai
pada penderita gagal ginjal.
Dilusi (minum air sebanyak 5 cc/kg BB atau cairan jernih lainnya) harus dilakukan
sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam-basa). Namun dilusi juga
meningkatkan kecepatan disolusi (dengan sendirinya absorpsi) dari kapsul, tablet, dan
bahan padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada keracunan karena bahan-
bahan ini.
Pada keadaan yang jarang, diperlukan tindakan endoskopik atau pembedahan untuk
mengeluarkan racun, seperti misalnya keracunan tertelan benda asing yang potensial
toksik, dimana benda ini gagal untuk transit di GI tract, keracunan logam berat dalam
jumlah yang potensial mematikan (arsen, besi, merkuri, thalium) atau bahan yang bersatu
dengan isi lambung atau bezoar (barbiturat, glutetimid, logam berat, lithium, meprobamat,
preparat lepas lambat). Penderita yang menjadi toksik karena kokain akibat kebocoran dari
banyak bungkus obat yang ditelan membutuhkan intervensi bedah segera.

10
b. Dekontaminasi Pada Tempat-Tempat Lain
Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan jernih lainnya
yang dapat diminum merupakan terapi inisial untuk eksposur topikal (kecuali logam alkali,
kalsium oksida, fosfor). Untuk irigasi mata dipilih salin.Untuk dekontaminasi kulit paling
baik dilakukan triple wash (air-sabun-air). Paparan racun melalui inhalasi harus diobati
dengan udara segar atau oksigen.

2.3.3 Percepatan Eliminasi Racun


Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang nyata atau
yang diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya, dan resiko terapi.
a. Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat eliminasi substansi yang
sebelumnya diabsorpsi dengan cara mengikatnya dalam usus lalu diekskresikan melalui
empedu, disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau difusi pasif kedalam lumen usus
(absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler). Dosis yang direkomendasikan 0,5-1
gram/kgBB tiap 2-4 jam, diberikan untuk mencegah regurgitasi pada pasien dengan
motilitas gastrointestinal yang berkurang.
Secara eksperimen terapi ini mempercepat eliminasi hampir semua substansi.
Efektifitas farmakokinetiknya mendekati seperti hemodialisis untuk beberapa agen
(misalnya fenobarbital, teofilin). Terapi dosis multipel ini tidak efektif dalam mempercepat
eliminasi dari klorpropamid, tobramisin, atau bahan yang tidak bisa diserap oleh karbon.
Komplikasinya berupa obstruksi usus, pseudoobstruksi, dan infark usus nonoklusif pada
penderita-penderita dengan motilitas usus yang rendah.

b. Diuresis paksa dan perubahan pH urin


Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat mencegah reabsorpsi
renal dari racun yang mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus dan sekresi aktif
tubuler. Karena membran lebih permeable terhadap molekul yang tidak terion
dibandingkan yang dapat terion, racun-racun yang asam (pKa rendah) akan diionisasi dan
terkumpul dalam urin yang basa. Sebaliknya racun-racun yang sifatnya basa akan
diionisasi dan dikumpulkan dalam urin yang asam.
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol, bromida, kalsium,
fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.

11
Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam) mempercepat
eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid, diflunisal, fluorida,
metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan
edema otak. Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus dimonitor dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin, kokain,
anestetik local, phencyclidine, kinidin, kinin, strychnine, simpatomimetik, antidepresan
trisiklik, dan tokainid. Namun penggunaannya banyak dilarang karena potensial terjadi
komplikasi dan efektifitas kliniknya tidak banyak.

c. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal


Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin, hemofiltrasi,
plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk mengeluarkan toksin dari aliran
darah.
Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus memiliki BM rendah(<500
Da), larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume distribusi kecil (<1liter/kg
BB), eliminasi memanjang (waktu paruh panjang), dan memiliki bersihan dialisis yang
tinggi relatif terhadap bersihan total dari badan. Berat molekul, kelarutan dalam air, atau
ikatan dengan protein, tidak mengurangi efektivitas metode ekstrakorporeal yang lainnya.
Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat, bromida, chloral
hydrate, ethanol, etilen glikol, isopropyl alcohol, lithium, methanol, procainamide, teofilin,
salisilat, dan mungkin logam berat.
Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan beberapa racun,
namun metode ini tidak sekaligus mengoreksi abnormalitas asam-basa dan elektrolit.
Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan : karbamazepin,
kloramfenikol, disopiramid, dan sedatif-hipnotik (barbiturat, ethchlorvynol, glutethimide,
meprobamat, methaqualone), paraquat, fenitoin, prokainamid, teofilin, dan valproat.
Baik metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama-sama memerlukan akses
vena sentral dan antikoagulan sistemik, serta dapat menyebabkan hipotensi sementara.
Hemoperfusi juga dapat mengakibatkan hemolisis, hipokalsemia, dan trombositopenia.
Dialisis peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya, tetapi metode ini
dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal lainnya, baik karena
terdapat kontraindikasi, maupun secara tehnis sulit (misalnya pada bayi). Tranfusi ganti

12
mengeluarkan racun-racun yang mempengaruhi eritrosit (seperti pada methemoglobinemia,
atau arsen–induced hemolysis).

2.3.4 Teknik Eliminasi Lainnya


Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi. Pengeluaran karbon
monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen hiperbarik.

a. Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun (reaksi
antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis efek fisiologis
racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi
metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan :
asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, -blocker, CCB, CO,
glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen
glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik, INH, metHb-emia,
narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang tertentu.
Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian besar juga
potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman membutuhkan identifikasi yang benar
keracunan spesifik atau sindromnya.

b. Pencegahan Paparan Ulang


Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa yang pernah
terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan obat dan bahan
kimia yang aman (sesuai yang tertera pada labelnya). Penderita yang menurun
kesadarannya harus dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh petugas
kesehatan membu-tuhkan pendidikan khusus bagi mereka. Penderita harus diingatkan
untuk menghindari lingkungan yang terpapar bahan kimia penyebab keracunan.
Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga harus diberi laporan bila terjadi keracunan
di lingkungan tertentu/tem- pat kerja. Pada anak-anak dan penderita overdosis yang
disengaja, upaya terbaik adalah membatasi jangkauan terhadap racun / obat / bahan /
minuman tersebut.

13
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi, dan
follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah yang terbatas dan dimonitor
kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.
2.4 Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme yang
dapat menghambat atau dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme jenis lain (Henry,
2001). Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semi sintetik atau sintetik penuh. Namun
dalam praktek sehari-hari antibiotikc sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba
(Sulfonamid dan Kuinolon) juga digolongkan sebagai antibiotik (Rianto, 2008).
Antibiotik dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan
susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika dilihat dari target atau sasaran
kerjanya diantaranya :

a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin, Polipeptida dan
Sefalosporin, misalnya ampisilin, penisilin G;
b. Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya
rifampisin, aktinomisin D, asam nalidiksat;
c. Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan
Makrolida, Aminoglikosida, dan Tetrasiklin, misalnya gentamisin, kloramfenikol,
kanamisin, streptomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, eritromisin, azitromisin;
d. Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomisin, valinomisin;
e. Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya
oligomisin, tunikamisin; dan
f. Antimetabolit, misalnya azaserine.
Beberapa hal penting mengenai antibiotika yang perlu di ketahui sebelum kita
memilih dan menggunakannya yaitu:
a. Sifat aktifitasnya
Bakteriostatik: menghambat pertumbuhan kuman dengan cara menghambat
metabolisme kuman
Bakteriosidik: Membunuh kuman misalnya dengan cara merusak dinding sel
Untuk infeksi yang berat apalagi kalau keadaan pertahanan tubuh penderita kurang
baik maka sebaiknya dipilih antibiotik yang bersifat bakteriosidik. Pengetahuan
tentang sifat aktifitas ini juga penting kalau kita ingin menggabung antibiotika.
Pemakaian gabungan antibiotika yang bersifat bakteriostatik bersama antibiotika

14
yang bakteriosidik akan mengurangi khasiat antibiotika bakteriosidik . Hal ini
disebabkan karena antibiotika yang bersifat bakteriosidik umumnya khasiatnya baik
bila kuman tersebut membelah dengan cepat, sedangkan antibiotik yang bersifat
bakteriostatik akan menyebabkan pembelahan kuman yang menurun sehingga
akan menghambat khasiat antibiotika yang bersifat bakteriosidik.
b. Spektrum antibiotika
Spektrum sempit: hanya menghambat atau membunuh kelompok kuman tertentu.
Spektrum luas: dapat menghambat baik kuman gram positif maupun gram negative
Pemakaian antibiotika spektrum sempit dilakukan bila jenis kuman yang
menyebabkan infeksi sudah diperkirakan atau dipastikan. Sedangkan bila jenis
kuman tidak dapat dipastikan maka dipakai antibiotika spektrum luas.
c. Mekanisme dan kerja antibiotika
i. Antibiotika golongan aminoglikosid, bekerja dengan menghambat sintesis
protein dari bakteri.
ii. Antibiotika golongan sefalosforin, bekerja dengan menghambat sintesis
peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada dinding sel bakteri.
iii. Antibiotika golongan klorampenikol, bekerja dengan menghambat sintesis
protein dari bakteri.
iv. Antibiotika golongan makrolida, bekerja dengan menghambat sintesis
protein dari bakteri.
v. Antibiotika golongan penisilin, bekerja dengan menghambat sintesis
peptidoglikan.
vi. Antibiotika golongan beta laktam golongan lain, bekerja dengan
menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada
dinding sel bakteri.
vii. Antibiotika golongan kuinolon, bekerja dengan menghambat satu atau lebih
enzim topoisomerase yang bersifat esensial untuk replikasi dan transkripsi
DNA bakteri.
viii. Antibiotika golongan tetrasiklin, bekerja dengan menghambat sintesis
protein dari bakteri.
ix. Kombinasi antibakteri
x. Antibiotika golongan lain
d. Pola Resistensi
Dalam pemakaian antibiotika perlu diperhatikan pola resistensi kuman setempat,

15
misalnya: Campylobacter jejuni di Indonesia masih sensitif terhadap siprofloksasin
tetapi di Thailand banyak resisten terhadap Siprofloksasin

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Antibiotik


Efektifitas dari antibiotik dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Aktivitas antimikroba sendiri
b. Faktor penderita
i. Umur pasien.
Bayi, orang dewasa dan manula memiliki perbedaan dalam hal fungsi organ
dan sistem enzim. Bayi pada umumnya belum memiliki fungsi organ dan
sistem enzim yang berkembang sepenuhnya. Sebaliknya pada manula, biasanya
fungsi dan organ dan sistem tertentu seringkali mengalami kemunduran. Untuk
itu, biasanya pemberian obat pada bayi atau manula seringkali harus
mendapatkan perhatian lebih dan disesuaikan dengan kondisinya masing-
masing.
ii. Kehamilan.
Perlu dipertimbangkan risiko dan manfaat pemberian obat pada ibu hamil. Ibu
hamil umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat tertentu, termasuk
antibiotik. Perlu juga diperhitungkan kemungkinan obat dapat menembus
plasenta dan menimbulkan efek pada janin.
iii. Genetik.
Hal ini erat hubungannya dengan sistem enzim. Adanya perbedaan genetik
dapat menimbulkan perbedaan reaksi terhadap obat.
iv. Kondisi kesehatan pasien
Perlu diperhatikan apakah pasien menderita penyakit tertentu. Misalnya:
pembengkakan hati, gagal ginjal, atau gangguan organ/sistem lainnya. Hal ini
terkait juga dengan metabolisme, detoksikasi racun dan ekskresi obat.

2.6 Efek Samping Antibiotik


Terdapat tiga macam efek samping antibiotik yaitu:
a. Reaksi alergi
Reaksi ini dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem
pertahanan tubuh dari pasien, dan tidak tergantung pada besar kecilnya dosis obat.

16
b. Reaksi idiosikratik
Merupakan reaksi kepekaan yang tidak biasa (abnormal) terhadap suatu obat
yang diturunkan secara genetik.
c. Reaksi toksik.
Pada dasarnya obat adalah racun, takaran dan dosis lah yang dapat membuatnya
bermanfaat. Artinya jika dosisnya tepat maka dapat digunakan sebagai obat.
Begitu juga dengan antibiotik. Efek toksik pada pasien dapat ditimbulkan oleh
semua antibiotik.
Disamping faktor jenis obat, berbagai faktor dalam tubuh juga ikut menentukan
terjadinya reaksi toksik; diantaranya fungsi organ atau sistem tertentu didalam
tubuh yang berhubungan dengan metabolisme dan pengeluaran obat dari tubuh
(ekskresi obat). Contohnya: kondisi hati, hati merupakan tempat dimana
sebagian besar obat di metabolisme dan tempat detoksikasi racun; kondisi
ginjal, dimana sebagian besar tempat pengeluaran obat dari tubuh; dan organ-
organ lainnya.

17
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 ANTIBIOTIK GOLONGAN AMINOGLIKOSIDA


Antibiotika Golongan Aminoglikosida merupakan antibiotika yang mengandung
amino dan glikosida ini bekerja secara langsung pada ribosom bakteri, membran sel dan
menghambat sintesa protein sehingga bakteri akan mati atau golongan antibiotika yang
bersifat bakterisid dan terutama aktif untuk kuman Gram negatif. Beberapa mungkin aktif
terhadap Gram positif. Streptomisin dan kanamisin juga aktif terhadap kuman TBC.
Termasuk di sini adalah amikasin, gentamisin, kanamisin, streptomisin, neomisin,
metilmisin dan tobramisin, antibiotika ini punya sifat khas toksisitas berupa nefrotoksik,
ototoksik dan neurotoksik.

3.1.1 Mekanisme Kerja Antibiotik Golongan Aminoglikosida


Aktifitas aminoglikosida contohnya gentamisin adalah bakterisid, berdasarkan
dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom (partikel partikel
kecil dalam protoplasma sel yang kaya akan RNA, tempat terjadinya sintesa protein) di
dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosentasa protein
dikacaukan. Untuk menembus dinding bakteri mencapai ribosom, aminoglikosida yang
bermuatan kation positif akan berikatan secara pasif dengan membran luar dinding kuman
gram negatif yang mengandung muatan negatif (Radigan dkk, 2009).
Terjadinya reaksi kation antibiotik akibat adanya potensial listrik transmembran
sehingga menimbulkan celah atau lubang pada membran luar dinding kuman selain
mengakibatkan kebocoran dan keluarnya kandungan intraseluler kuman memungkinkan
penetrasi antibiotik semakin dalam hingga menembus membran sitoplasma, proses ini
merupakan efek bakterisid aminoglikosida (Radigan dkk, 2009)
3.1.2 Efek Yang Tidak Diinginkan Dari Golongan Aminoglikosida
Semua Aminoglikosid bersafat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas cenderung ditemukan saat terapi dilanjutkan hingga lebih dari 5 hari, pada
dosis yang lebih tinggi, pada orang-orang lanjut usia dan dalam kondisi insufisiensi fungsi
ginjal. Penggunaan bersama diuretic loop (misalnya furosemid) atau agen antimikroba
nefrotoksik lain (missal vanomicyn atau amphotericyn) dapat meningkatkan nefrotoksisitas
dan sedapat mungkin dihindarkan dan kerentanan dari isolate tersebut.

18
1. Aminoglikosida Parenteral
a. Gangguan fungsi ginjal menghambat ekskresi, mempercepat efek nefrotoksik.
b. Pada bayi neonatus atau prematur, usia lanjut juga cepat menimbulkan nefrotoksik.
2. Aminoglikosida Non Sistemik
a. Neomisin, paromomisin dan framisetin tidak digunakan secara parenteral karena
terlalu toksik.
b. Neomisin yang diberikan 10 g secara oral selama 3 hari tidak mencapai kadar
toksik dalam darah.
c. Pada insufisiensi ginjal kadar neomisin dalam darah cepat meningkat sehingga
menimbulkan nefrotoksik.
d. Dosis harus dikurangi atau diganti kanamisin yang aktivitasnya sama tetapi kurang
toksik.
e. Neomisin pada anak-anak harus dibatasi, dosis 100 mg/kg BB. Jangan lebih dari 3
minggu.

Efek Samping Aminoglikosida


a. Alergi :
1) Potensinya untuk menimbulkan alergi rendah.
2) Kadang-kadang dapat terjadi reaksi kulit memerah, eosinofilia, demam, kelainan
darah, dermatitis, angioudem, stomatitis dan syok anafilaksis.
b. Reaksi iritasi:
1) Reaksi iritasi berupa rasa nyeri di tempat penyuntikan.
2) Suntikan diikuti radang dan peningkatan suhu 0,5-1,5 derajat C.
Misal: pada penyuntikan sreptomisin i.m

Efek Toksik
Reaksi toksik dapat terjadi pada SSP berupa
a. Efek Ototoksik (gangguan pendengaran dan keseimbangan)
Efek ototoksik terjadi pada saraf otak ke 8 (nervus auditorius) yang mengenai
komponen vestibular dan akustik. Setiap aminoglikosida berpotensi menyebabkan dua
efek toksik dalam derajat yang berbeda. Streptomisin dan gentamisin lebih
mempengaruhi vestibular. Neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin lebih
mempengaruhi akustik. Tobramisin mempengaruhi akustik dan vestibular.
Mekanisme ototoksik diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria, dan
pembentukan radikal oksigen bebas. Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak

19
pendengaran adalah penghancuran sel-sel rambut koklea, khususnya sel-sel rambut
luar.. Aminoglikosida menghasilkan radikal bebas di dalam telinga bagian dalam
dengan mengaktifkan nitric oksidasintetase yang dapat meningkatkan konsentrasi
oksida nitrat. Radikal oksigen kemudian bereaksidengan oksida nitrat untuk membentuk
radikal peroxynitrite destruktif, yang dapat secaralangsung merangsang sel mati.
Nampaknya aminoglikosida berinteraksi dengan logam transisiseperti sebagai besi dan
tembaga mungkin terjadi pembentukan radikal bebas tersebut. Akhirnyafenomena ini
menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar koklea, yangmengakibatkan
kehilangan pendengaran permanen.Gangguan pendengaran mempengaruhi
keseimbangan tubuh sehingga muncul tanda-tandavertigo.

b. Efek Nefrotoksik (gangguan pada ginjal)


Gejala : Kemampuan ginjal menurun, Protein uria ringan, Filtrasi glomerulus menurun,
Nekrosis tubuli berat ditandai dengan kenaikan kreatinin, hipokalemia, hipokalsemia,
Gangguan terjasi reversibel
Nefrotoksik
 Terkuat : Neomisin
 Terlemah : Streptomisin
c. Efek neurotoksik
1) Streptomisin i.p menyebabkan gangguan pernafasan.
2) Perubahan biologi:
 Gangguan mikroflora tubuh dan absorpsi usus.
 Dapat menyebabkan superinfeksi pseudomonas: kanamisin
3) Kandidiasis: Penggunaan oral gentamisin
d. Gangguan vestibular:
Gejala : sakit kepala, pusing, mual, muntah, gangguan keseimbangan
Pemulihan : 12-18 bulan ada yang menetap, dapat meluas ke ujung serabut saraf kohlea.
Dosis toksik:
2 g sehari selama 60-120 hari kejadian toksik sampai 75%
1 g sehari selama 60-120 hari kejadian toksik sampai 25 %
e. Gangguan akustik:
1) Gangguan tidak langsung di kedua telinga sekaligus tetapi bertahap.
2) Dapat berkembang jadi tuli saraf.

20
3) Kerusakan berupa degenarasi sel rambut organ corti.
4) Gangguan akustik terjadi pada anak-anak.
5) Frekuensi kejadian: Streptomisin 4-15%, Gentamisin, amikasin, tobramisin 25 %,
Kanamisin 30%
6) Neomisin paling sering menimbulkan tuli saraf.
7) Neomisin topikal 5% juga dapat menimbulkan tuli saraf

3.2 CARA MENGATASI TERJADINYA TOKSISITAS ANTIBIOTIK

Cara paling baik untuk mengatasi toksisitas antibiotika adalah dengan penggunaan
yang ‘tepat diagnosis’,tepat dosis” dan :tepat pemberian” yang sesuai dengan rejimen
terapi.

Berikut ini adalah prinsip-prinsip penggunaan antibiotik dalam klinik yang perlu
diperhatikan:
a. Penegakan diagnosis infeksi perlu dibedakan antara infeksi bakterial dan infeksi
viral. Selain itu juga perlu dicari tahu dari mana infeksi bersumber. Misalnya pada
pneumonia bakterial, etiologi terseringnya adalah Streptococcus pneumoniae.
b. Dalam setiap kasus infeksi berat, apabila memungkinkan lakukan pengambilan
spesimen (seperti darah, sputum, pus, urin atau usapan/swab) untuk diperiksa di
laboratorium. Pemeriksaan yang dilakukan di sini antara lain kultur bakteri,
sensitivitas antibiotik, pemeriksaan mikroskopis dan pewarnaan Gram. Namun
pada kenyataannya, praktik semacam ini agak jarang dilakukan karena
membutuhkan waktu lebih lama untuk memastikan mikroorganisme penyebab dan
antibiotik yang paling tepat untuk infeksi tersebut.
c. Selama menunggu hasil kultur, terapi antibiotik empiris sangat penting untuk
diberikan kepada pasien yang sakit berat. Kelemahan cara ini adalah dapat
mengganggu diagnosis etiologik berikutnya dan dapat memberi hasil negatif palsu
pada identifikasi mikroorganisme infeksius setelah pemberian antibiotik (apabila
diperlukan).
d. Pertimbangkan penggunaan antibiotik dalam terapi kasus gastroenteritis atau
infeksi kulit, karena kedua jenis infeksi tersebut jarang memerlukan antibiotik.
e. Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan dosis dan cara pemberian obat.
i. Mikroorganisme paling sensitif terhadap antibiotik mana saja. Hal ini dapat
diketahui dari uji sensitivitas, namun dapat diperkirakan berdasarkan

21
spektrum antibiotik atau dugaan klinis apabila sensitivitas atau jenis
mikroorganisme belum diketahui.
ii. Faktor pasien: umur, ada/tidaknya alergi, fungsi hati, fungsi ginjal, kondisi
imunologis, hamil/tidak dan faktor genetik.
iii. Berat/tidaknya infeksi: mempengaruhi jenis obat yang dipilih dan cara
pemberiannya. Sebagian antibiotik tidak begitu baik diabsorpsi apabila
diberikan peroral, misalnya aminoglikosida. Pada pasien sakit berat,
pemberian antibiotik biasanya dilakukan secara parenteral.
iv. Tempat infeksi: antibiotik seringkali tidak dapat menembus rongga abses
dengan baik, karena itu abses biasanya memerlukan drainase di samping
terapi antibiotik. Antibiotik tertentu (misalnya aminoglikosida) tidak dapat
menembus duramater, sehingga tidak digunakan untuk meningitis.
v. Adanya benda asing (misalnya katup prostetik, pecahan kaca) dapat
mengurangi respons jaringan terhadap antibiotik.
vi. Untuk terapi awal dalam kasus infeksi, antibiotik spektrum luas lebih baik
digunakan lebih dahulu, sampai hasil kultur tersedia. Apabila antibiotik
spektrum sempit yang digunakan dulu maka basil gram negatif, kokus gram
positif, dan fungi yang resisten mulai mendominasi dan terapi selanjutnya
menjadi sulit. Setelah hasil kultur diperoleh, barulah digunakan antibiotik
spektrum sempit yang spesifik untuk bakteri yang bersangkutan.
vii. Ganti antibiotik spektrum luas menjadi antibiotik spektrum sempit setelah
terapi berlangsung 3 hari, untuk mencegah penurunan imunitas pejamu.
f. Nilai keberhasilan terapi secara klinis atau secara mikrobiologis (kultur ulang).
Antibiotik tertentu dapat menimbulkan keracunan sehubungan dengan kadar yang
terlalu tinggi dalam darah, sehingga kadarnya dalam plasma perlu dipantau terus
(misalnya gentamisin).
g. Kombinasi antibiotik baru diberikan apabila:
i. Terdapat infeksi infeksi campuran (mixed infection), misalnya peritonitis.
ii. Pada kasus endokarditis karena Enterococcus dan meningitis karena
Cryptococcus.
iii. Untuk mencegah resistensi mikroba terhadap monoterapi, misalnya pada
tuberkulosis dan lepra.
iv. Apabila sumber infeksi belum diketahui dan terapi antibiotik spektrum
luas perlu segera diberikan karena pasien sakit berat, misalnya pada

22
sepsis.
v. Apabila dua antibiotik yang dipergunakan dapat memberi efek sinergisme,
misalnya penisilin dan gentamisin untuk terapi endokarditis infektif.
h. Antibiotik dapat digunakan untuk kebutuhan profilaksis (pencegahan infeksi).
Antibiotik profilaksis diberikan dalam jangka pendek (24 jam atau kurang), dengan
pilihan antibiotik sesuai pengalaman klinis. Indikasi antibiotik profilaksis antara
lain:
i. Sebelum prosedur operasi usus, penggantian sendi, dan ginekologi.
ii. Riwayat kontak erat dengan pasien tuberkulosis atau meningitis
meningococcal.
iii. Sebelum prosedur ekstraksi gigi pada pasien dengan katup jantung
prostetik, untuk mencegah endokarditis infektif.
iv. Pencegahan infeksi Streptococcus pada pasien dengan penyakit jantung
reumatik.
i. Perhatikan pola bakteri penyebab infeksi nosokomial setempat. Bakteri yang sering
menyebabkan infeksi nosokomial antara lain MRSA (meticillin-resistant
Staphylococcus aureus) dan Pseudomonas sp; namun distribusinya berbeda-beda di
berbagai tempat.

23
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Tujuan terapi keracunan adalah mengawasi tanda-tanda vital, mencegah absorpsi racun
lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot spesifik, dan mencegah
terjadinya paparan ulang.

Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya racun, selang
waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan farmakodinamik dan
farmakokinetik substansi penyebab keracuan sangatlah penting.

4.2 SARAN
Perlu ada regulasi yang mengatur bahwa ada petunjuk dalam setiap kemasan obat/brosur
(oleh produsen obat )yang memuat penanganan yang efektif dan cepat terhadap kasus
keracunan dari obat yang bersangkutan untuk kasus yang kemungkinan paling sering
terjadisehingga penanganannya dapat dilakukan secara benar.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2004, Cross-Allergenicity of Sulfonamide Antibiotiks & Other Drugs


Stereochemistry and Adverse Reactions to Sulfonamide Antibiotiks. (online database)
Available at: www.med.sc.edu. Acessed on December 30, 2009.
2. Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja, 1991, Obat-Obat Penting, Ed. Ke-4,
Jakarta. Hal.65
3. Anonim, 1996, Segala sesuatu yang perlu anda ketahui terapi medis, Gramedia,
Jakarta. Hal. 484-492
4. Anonim, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi ke 4, Bagian Farmakologi Fak.
Kedokteran UI, Jakarta. Hal.571-576
5. Anonim, 2008, Hypersentivity Reactions, (online database) Available at:
www.med.sc.edu. Acessed on Acessed on October 30, 2009. Block JH, Beale JM
(Eds), 2004, Wilson and Gisvold’s Textbook of Organic Medicinal and Pharmaceutical
Chemistry, 4
6. Dipiro, J. T., et al. 2005. Pharmacotheraphy Handbook. Sixth edition. The Mc. Graw
Hill Company. USA.
7. Ernst Mutschler,Dinamika Obat- Farmakologi dan Toksikologi,Edisi kelima
1991,Penerbit I T B.
8. https://www.alodokter.com/aminoglikosida

25

Anda mungkin juga menyukai