Anda di halaman 1dari 4

Malam laknat.

Karya;
Dayen Tersa Manalu; yang di uplod di di grup facebook Komunitas Bisa Menulis.

SETELAH ibu meninggal tujuh tahun silam, kamar tempat ayah dan ibu tidur dulu, pintunya di tutup oleh
ayah dan tak pernah lagi di gunakan. Begitu juga dengan jendelanya, sama sekali tak pernah di buka.
Bahkan kami anaknya pun tidak di perbolehkan masuk, walau sekali. Kalau kami tanya, alasan ayah, ayah
sering terbayang ibu kalau masuk ke kamar itu, makanya di tutup terus. Kalau pun ayah perlu sesuatu ke
dalam kamar itu, ayah selalu masuk ketika kami tidak di rumah. Dalam kata lain, ayah masuk ketika tidak
kami lihat.
Sudah bertahun lamanya tapi ayah masih sering membayangkan kenangan bersama ibu. Kami pikir dulu,
sikap ayah itu cuma setahun atau dua tahun, tapi tidak, berlanjut sampai sekarang.

Waktu ibu masih hidup, ayah memang sangat sayang dengan ibu. Itu terbukti kalau ayah tak pernah kami
lihat sekalipun marah dengan ibu. Saban hari mereka seperti pacaran. Selalu mesra. Ibu benar-benar
wanita yang paling beruntung bisa menikah dengan ayah. Tapi sayang, takdir berkata lain. Ibu tak
berumur panjang menemani ayah membesarkan kami.

Sejak kematian ibu, ayah jadi pendiam. Gairah hidupnya seolah turut terkubur bersama ibu. Ayah jadi
sering menutup diri dengan siapa pun. Tak terkecuali kami anak-anaknya. Ayah tak pernah lagi menjelang
tidur duduk di warung Pak Kemet tempat orang-orang tua duduk menjelang tidur seperti sebelumnya.
Bahkan ayah pernah kulihat diam-diam menangis dan pergi ke makam ibu. Iba hatiku melihat ayah.
Karena kami semakin dewasa dan semakin mengerti, akhirnya kami menyarankan ayah menikah lagi agar
jangan larut dalam kesedihan. Tapi ayah malah bilang, "Ibumu tidak meninggal, ibumu masih hidup."
“Masih hidup? Apa mata kami buta menyaksikan ibu masuk ke liang lahat?“

Waktu melaju, berbilang pekan, bulan, dan tahun, berita tentang kamar yang di tutup ayah
kian santang di bicarakan tetangga kami. Tanpa pertimbangan empiris apapun, pada akhirnya, tetangga
kami menyimpulkan dalam keruhnya benak, kalau kamar itu tempat ayah bersemedi. Bahkan penyebab
kematian ibu karena ayah menjadikan ibu sebagai tumbal pesugihan. Dan parahnya lagi, ada juga yang
bilang ayah memelihara mahluk laknat bernama gondoruo. Kami di minta memata-matai ayah kalau
masuk kamar itu. Tapi belum pernah berhasil. Bahkan kami juga di suruh mengintai keadaan kamar itu
dari atas pelafon rumah, tapi sebelum kami lakukan.
Sering aku tersinggung dengan kesimpulan mereka yang tak berdasar itu, tapi aku nggak bisa
membuktikan kebenarannya kalau tuduhan mereka ”Tidak benar.“

Padahal hidup kami walau tidak pas pasan, tapi tidak tambah kaya sejak ibu meninggal. bahkan semakin
menurun. Karena sejak kepergian ibu, ayah semakin malas pergi ke sawah. Ritual sehari-hari ayah, tak
jauh dari mengerjakan sawah warisan kakek yang lumayan luas. Sejak ibu meninggal, sawah kami banyak
yang tidak terurus dengan baik. “Untuk apa ayah menjadikan ibu sebagai tumbal, atau ayah memelihara
gondoruo sedangkan sebelum ibu meninggal, kami sudah hidup berkecukupan? justru setelah ibu
meninggal baru kehidupan ekonomi keluarga kami, sedikit menurun?” Tak masuk akal tuduhan mereka.

Tentang kamar yang di simpulkan sebagai tempat guna-guna, semakin terpupuk, dan menyemai dalam
waktu, puncak fitnah itu tiba ketika tetangga kami Pak Kimpul meninggal mendadak yang di duga di
guna-gunai ayah.

“Aku yakin itu pasti di guna-gunai Pak dolah. Pak samiun, sebulan yang lalu meninggal mendadak. Pak
sarmin meninggal mendadak juga, anak Pak Kimin gitu juga, jadi kita paksa Pak Dolah membuka kamar
tempat pesugihannya. Aku yakin sekali kalau kamar itu tempat Pak Dolah bersemedi.” kata Pak Sobari
tetangga kami.

Akhirnya aku memberitahukan tuduhan itu pada ayah. Ayah dingin menanggapi berita miring itu. Itu yang
membuat aku kesal dengan sikap ayah. Seharusnya ayah bangkit menentang tukang fitnah itu.

Besoknya, beberapa masyarakat datang kerumah kami dengan sikap dingin mengintrogasi kamar yang di
tutup itu, ayah menjawab pertanyaan mereka seadanya. Ketika mereka meminta ayah membuka kamar itu,
ayah menolak. Akhirnya mereka pulang dengan tetap meyakini tuduhannya.
Jam 23.00. Mereka datang lagi dengan jumlah yang lebih banyak dan wajah yang lebih garang. Ayah
meminta aku dan kedua adikku untuk tetap tenang dan pergi kekamar belakang berharap agar kami tidak
mendengar percakapan mereka. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa
orang sebagai perwakilan. Sepertinya, itu suara Pak Sobari yang mendadak kaya beberapa tahun
belakangan ini. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya perbincangan mereka tegang
sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan
nama Tuhan.

--------------------------------

Kami dengar, ayah seperti tersudut dan tak berdaya di tuduh tetangga yang kebenarannya tak bisa di
pegang. Ayah tak kuasa atas rumahnya sendiri, dalam takut yang teramat sangat, kami mendengar pintu
kamar itu di buka paksa dengan cara di dobrak. Kadang terdengar seperti di congkel menggunakan linggis.
Di waktu yang bersamaan, ayah menemui kami di kamar belakang.

"Cepat pergi dari rumah ini lewat jendela. Pergi ke rumah bibik." kata ayah berbisik dengan wajah tegang
sambil memberikan uang sebagai ongkos kami. Malam itu juga, aku dan kedua adikku ku bawa pergi
melewati pematang sawah. cahaya bulan yang pucat, sangat kami harapkan menerangi langkah kami.
Kadang kakiku, kadang juga kaki adikku terperosok ke dalam lumpur sawah yang dingin. Kami tetap tak
perduli meski sangat mengganggu. Keselamatan jiwa kami dan rapalan doa buat ayah semoga ayah baik-
baik saja, itu yang terus ku pikirkan.

Sampai di pinggir jalan, bis malam yang melaju langsung kami stop, bis itu berhenti melampaui kami
saking kencangnya. Aku belum pernah melihat nama bis NIRWANA itu lewat jalan ini sebelumnya, tapi
aku nggak perduli, kalau bis itu berhenti, berarti dia masih mencari penumpang.

Sampai dalam bis, dengan heran kondektur bis paruh baya itu melihat wajah kami yang kusut ketakutan,
dan kaki berlumpur. Untung penumpang lain sudah pada tidur sehingga kami tidak jadi pusat perhatian.

"Melarikan diri ya?" tanyanya setengah berbisik sambil menerima ongkos dari kami. Aku sedikit
tersinggung dengan pertanyaannya. Terlalu berani dia menanyakan itu, sedang itu bukan urusannya. Ingin
aku mendamprat mulut kotornya yang menanyakan pertanyaan yang tidak penting itu, tapi mulutku seolah
terkunci. Besarnya masalah yang sedang kami hadapi membuatku melupakan pertanyaan kernet paruh
baya kurang ajar itu. Tampangnya yang seram dan janggutnya yang brewok, menambah rasa jijikku
melihat dia. Kalau menurut taksiranku, seharusnya dia tidak pantas jadi kondektur, karena usianya
sepantaran dengan ayah. Tapi walau bagaimana pun yang namanya orang tua, membuatku merasa perlu
sekedar menjawab demi menyenangkan hatinya, tentu berharap dia pergi setelah ku jawab.

"Ada masalah keluarga." jawabku dingin lalu pura-pura menyibukkan diri membersihkan kaki agar dia
segera enyah. Aku nggak ingin dia menanyakan pertanyaan yang lain. Ini bukan waktu yang tepat. Dan
aku ingin menenangkan diri.

"Tinggal di mana? Soalnya tempat kalian naik tadi, di desa DAMAI, Bapak pernah tinggal di sana waktu
saya masih lajang, Bapak sering main ke rumah Sobari, pandai besi itu." katanya menerangkan. Perasaan
saya mendadak berubah. Pernyataannya membuatku melupakan sejenak masalah kami. Aku sedikit
tertarik menanyakan beberapa hal baik tentang dia maupun Pak Sobari yang menuduh ayah sebagai
tukang guna-guna.

"Oh bapak kenal dengan Pak Sobari? Dia sekarang sudah kaya. Bukan pandai besi lagi." jawabku sambil
menunggu dia cerita lebih banyak tentang Pak Sobari dan tentang desa DAMAI semasa tinggal di sana.

"Saya juga sudah tebak kalau sekarang dia pasti kaya mendadak. Mungkin dia putus asa dengan usahanya
yang tidak kunjung berkembang, sehingga dia harus melakukan pesugihan biar kaya." jawabnya sambil
tersenyum kecut mengenang Pak Sobari.

"Kok begitu Pak? Darimana bapak tahu kalau Pak Sobari pernah melakukan pesugihan? Bapak tahu kalau
Pak Sobari pernah melakukan pesugihan? Bapak fitnah itu namanya kalau Bapak menuduh Pak Sobari
kaya karena melakukan pesugihan." kataku semakin berharap agar kondektur paruh baya itu cerita
banyak. Aku jadi tambah penasaran dengan ceritanya.
"Ceritanya panjang, Bapak delapan tahun yang silam pulang kampung. Kampung Bapak di gunung kidul,
Bapak kebetulan bertemu dengan Pak Sobari, kami cerita banyak sebagai kawan lama. Dia menyampaikan
tujuannya ke gunung kidul ingin melakukan pesugihan minta kekayaan, sekaligus minta diantarkan
ketempat. Kebetulan keponakan Bapak yang mengantarkan dia ke sana. Mengantarkan orang-orang yang
mau melakukan pesugihan merupakan penghasilan tambahan bagi pemuda-pemuda setempat."

"Masa iya Pak? Berarti Pak Sobari pernah melakukan pesugihan ya?" tanyaku memotong percakapannya.
Aku ingat, sekitar delapan tahun yang silam, anak Pak Sobari ada yang meninggal. Mungkin itu jadi
Tumbalnya.

----------------------------------------------------

"Iya. masa Bapak bohong?“

"Terus di desa DAMAI, Apa yang Bapak tahu tentang Pak Sobari?" tanyaku lagi. Sekarang, justru aku
yang merasa butuh dengan kondektur separuh baya itu.

"Dia dulu pernah jatuh cinta dengan kembang desa bernama Satim, tapi di tolak Satim karena kelakuannya
sendiri yang suka mabuk-mabukan, suka bikin keributan dan berjudi. Satim memilih dolah. Lalu mereka
menikah, Sobari dendam dengan Dolah yang dianggapnya sebagai teman yang menghianatinya. Sobari
pernah berjanji akan menghabisi Dolah suatu saat nanti." katanya santai sambil berdiri tanpa mau duduk di
bangku sebelah yang kosong. Aku terkejut dengan ceritanya. Satim nama almarhum ibuku dan Dolah
ayahku. Aku merasa bukan kebetulan menumpang bis malam ini. Ini sumber petunjuk yang bisa di
jadikan titik terang. Tak mungkin dia berbohong. Apa untungnya?

"Oh begitu ya Pak?" jawabku tetap tenang seolah-olah Dolah bukan ayahku, Satim bukan almarhum
ibuku, dan kami tidak dalam keadaan menghadapi masalah besar.

"Kalian tinggal di mana di sana?"

"Sekitar 500 meter sebelum rumah Pak Sobari."

"Sudah banyak kayaknya orang baru di sana, saya mungkin sudah nggak kenal dengan orang-orang baru
di sana. Sudah 15 tahunan saya tidak dari sana. Saya kangen dengan Dolah. Budinya nggak bisa saya
lupakan."

"Budinya. Budinya apa Pak?"

"Waktu Bapak masih lajang, Bapak merantau ke desa DAMAI, Dolah yang menampung dan
mempekerjakan Bapak di ladangnya sebelum dia menikah. Dia sangat baik sama pekerjanya. Sekitar dua
tahun Bapak bekerja dengan Beliau. Beliau menikah, lalu Bapak pergi dari desa DAMAI itu. Kenal
dengan Dolah kan?" tanyanya. Saya berpikir sejenak.

"Hmmmm.... kenal Pak? Ngomong ngomong Pak, Tanda orang yang melakukan pesugihan, apa Pak?"

"Emm.... biasanya di rumahnya ada ruangan khusus tempatnya bersemedi. Ruang tersebut tidak di
perbolehkan siapa pun masuk ke sana selain dia. Tapi walaupun begitu, tidak selalu begitu rumah orang
yang melakukan pesugihan. Bisa jadi di tempat lain ruangan dia bersemedi itu di bangunnya. Kan
uangnya banyak?"

"Iya juga ya Pak. Hmmmm.... kalau dia menjadikan orang lain sebagai tumbalnya, bisa nggak Pak?"

"Wah... Bapak kurang tahu itu. Tapi menurut cerita kuncen di kampung Bapak, bisa."

"Dari tadi kita cerita Pak, nama Bapak siapa? Besok kalau aku pulang ke desa Damai, aku bisa sampaikan
salam Bapak untuk Pak Sobari dengan Pak Dolah."

"Bilang saja Pak Komar, Mereka pasti masih ingat. Apalagi Pak Sobari, pasti dia kaget kalau adik sampai
nama Bapak."
"Begitu Ya Pak? Ngomong ngomong Pak. bis NIRWANA ini sama sekali belum pernah saya lihat sama
sekali."

"Wah... setiap malam bis ini lewat, adik saja mungkin yang nggak pernah perhatikan."

"Oh begitu yang pak? Sebentar lagi kami sampai Pak, Terima kasih sudah banyak memberikan informasi
buat saya."

"Oh... nggak apa-apa dik."

--------------------------------------------------

Sampai kami turun dari bis NIRWANA itu, aku seperti sadar keadaan ayah yang sedang genting.
Ingatanku seperti hilang tentang ayah selama ngobrol dengan kondektur paruh baya itu. Seolah aku nggak
perduli dengan keadaan ayah.

Samppai di rumah bibik, bibik terkejut dengan kedatangan kami. Apalagi melihat kaki kami bekas lumpur
yang sudah mengering. Aku ceritakan semua kejadian yang menimpa kami. Bibik nggak bisa berkata apa-
apa kecuali menyesali semua keadaan. Bibik cuma meminta paman membawa kami besok pagi pulang ke
rumah melihat keadaan ayah dan rumah menggunakan mobil Paman.

Besoknya, sampai di rumah, kami melihat kamar itu sudah terbuka dan pintunya rusak bekas di congkel
paksa. Ku lihat ayah seperti orang linglung dan trauma. Wajahnya lebam seperti bekas pukulan. Darahku
mendidih melihat semua itu, aku beserta beberapa orang sekampung yang simpati dengan keadaan kami,
langsung pergi ke rumah Pak Sobari, Pak Sobari seperti terkejut melihat kedatangan kami.

"Brengsek kau, kau fitnah ayahku tukang guna-guna. Padahal kau yang tukang guna-guna. Di rumahmu
ada ruangan khusus tempat guna-guna. Pak Komar yang bilang kau melakukan pesugihan ke gunung
kidul, makanya satu anakmu mati, kau tumbalkan." kataku dengan nada melengking. Ketika ku sebut
nama ”Komar,“ Pak Sobari semakin terkejut. Aku langsung masuk ke rumahnya yang besar dan di ikuti
rombonganku tadi. Pak Komar bingung tak bisa berkata apa-apa.

"Ayo kita periksa ruangan khusus dia bersemedi." ajakku sama semua rombongan. Melihat keberanianku,
mereka semua jadi bersemangat. Pak Sobari cuma berdiri mematung tanpa bisa mencegah langkah kami.
Dan apa yang di katanya Pak Komar, ternyata benar. Setelah kami dobrak paksa, Semua menyaksikan
sendiri ruangan khusus Pak Sobari bersemedi yang di design khusus. Kami menemukan mangkok
tempatnya membakar kemenyan dan berbagai peralatan pesugihan seperti kemenyan, tengkorang binatang
dan berbagai macam bunga. Tak bisa di bendung, penduduk berdatangan satu persatu dengan kemarahan
yang meluap. Kacung Pak Sobari tak satupun yang berani menunjukkan batang hidungnya. Akhirnya
rumah tersebut di bakar penduduk dan Pak Sobari menjadi bulan bulanan massa tanpa ada yang bisa
mencegah.

Beberapa hari kemudian, saya berniat mencari Pak Komar kondektur bis NIRWANA itu untuk
mengucapkan terima kasih karena sudah menjadi petunjuk bagiku. Siapapun yang ku tanya tentang bis
NIRWANA itu menyatakan "Tak pernah ada," dan "Tak pernah melihat."

Tamat.

Cerita ini hanyalah fiksi.

Karya;
Dayen Tersa Manalu;
https://www.facebook.com/dayen.manalu.52

Anda mungkin juga menyukai