Anda di halaman 1dari 9

RESUME KEGIATAN BELAJAR 1

MODUL AKHLAK

KEKUATAN JIWA YANG MEMBENTUK AKHLAK AL-KARIMAH

1. DEFENISI AKHLAK AL-KARIMAH

Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari ‫ خلق‬/khuluqun

yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut

mengandung segi persesuaian dengan perkataan ‫ خلق‬/khalqun berarti kejadian, yang juga erat

hubungannya dengan ‫ خالق‬/khalik yang berarti pencipta, demikian pula ‫ مخلوق‬/makhluqun

yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang

memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk.

Definisi akhlak menurut para ahli berikut:

a. Ibnu Miskawih

‫الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وال روية‬

“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu

berpikir dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)

Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi

jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-

tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara

sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.


b. Al-Ghazali

َ ‫سر ِم ْن‬
‫غي ِْر حَاجَة إِلَى ِفكْر َو َر ِويَة‬ ُ ‫صد ُِر ْاْل ْف َعا َل ِب‬
ْ ُ‫س ُهولَة َوي‬ ْ ُ ‫ع ْنهَا ت‬ ِ ‫الخلق عبارة عن َه ْيئ َة فِي النَّ ْف ِس َرا‬
َ ‫س َخة‬

“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah

daging yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi gampang

tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 890)

Sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging yang dapat

menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat spontan.

Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak.

c. Prof. Dr. Ahmad Amin

Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab al-

Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang dibiasakan,

bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya.

Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik dengan

membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau buruk dari

perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk perbuatan yang

kelak akan dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt.

Pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar (ada

iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga sekan-

akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.

2. KEKUATAN JIWA DAN SUMBER TERBENTUKNYA AKHLAK AL-KARIMAH


Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang. Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa

di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting

dalam membentuk akhlak manusia. Sementara Imam Al-Ghazali menyebutkan sebagai

Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah)

sehingga genap menjadi empat kekuatan.

1. Quwwah al-Ilmi

Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah

manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong

dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan,

mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Dengan akal manusia dapat

mencipta dan mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih

baik dan lebih maju dari sebelumnya.

Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala

sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:

ِ َ‫شا ٓ ُۚ ُء َو َمن يُ ۡؤتَ ۡٱل ِح ۡك َمةَ فَقَ ۡد أُوتِ َي َخ ۡي ٗرا َكثِ ٗير ۗا َو َما يَذَّك َُّر إِ َّ ٓال أ ُ ْولُواْ ۡٱْلَ ۡل َٰب‬
٢٦٩ ‫ب‬ َ َ‫يُ ۡؤتِي ۡٱل ِح ۡك َمةَ َمن ي‬

Artinya: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al

Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang

dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya

orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS.

Al-Baqarah: 269)

Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang

bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing
kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa

manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)

Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah

satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama

diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini.

ِ َ‫ث ِْلُت َ ِم َم صَا ِل َح ْاْل َ ْخل‬


)‫ق" (رواه احمد‬ ُ ْ‫ "إِنَّ َما بُ ِعت‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ َقا َل َر‬:َ‫ قَال‬، َ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرة‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬

Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus

hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad)

Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir (baik

pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam

pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya)

a. Husnu at-Tadbir

Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas dan

lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan).

Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu memikirkan hal-hal yang abstrak

dengan benar sehingga dapat mengambil keputusan yang menghasilkan kebaikan-

kebaikan yang agung dan akhir yang mulia dalam berbagai urusan kehidupan.

b. Jaudat adz-Dzihn

Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni memiliki

kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika dihadapkan pada

pendapat yang mirip-mirip dan mengandung pertentanagan-pertentangan dalam

implementasi.

c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni

mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang dimilikinya

dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat.

d. Shawab azh-Zhann

Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni ia akan

mendapatkan taufiq dari Allah Swt.

Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi

dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah. Radzilah al-khabb

terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu. Logikanya kurang

sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali tidak benar,

apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.

Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab karena

kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot dan ketiga

kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.

Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam

membentuk menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk

konsep diri (manset) seseorang.

2. Quwwah al-Ghadhab

Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak

disenangi dan memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia bisa

menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta

menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya


Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa berani

berkorban apa saja untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya.

Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat

turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:

a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk mengambil

atau menerima keputusan penting dalam berbagai masalah yang menyangkut

kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.

b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong

siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad.

c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia

berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh

kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit

manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.

d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri dalam

menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat. e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan

emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak terpancing dalam keadaan apapun dan

marah. Sikapnya tetap santun dalam menghadapi semua orang.

e. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan,

banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan.

Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong perbutan yang buruk bagi seseorang.

Apa itu? Jawabnya adalah at-Tahawwur dan al-Jubn. Dengan adanya dorongan manusia

dari dalam dirinya untuk memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa
kemuliaan atau kekuasaan manusia bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan

tindakan yang bukan pada tempatnya.

Karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan kenikmatan

yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia bisa bersifat

Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri dari berbagai

masalah kehidupan.

3. Quwwah asy-Syahwah

Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang yang

mendorong perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang bersifat

zhahir, yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan minuman,

mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Quwwah asy-Syahwah yang baik disebut al-iffah.

Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan diri

dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang yang

'afif adalah orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam

menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun

jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk melanggarnya.

'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah

sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan

daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan

membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia.

Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a. ‫الحياء‬/haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan

oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya.

b. ‫القناعة‬/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw.,

sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang berlebih-

lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela menerima

keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya.

c. ‫السخاء‬/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi

memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan dari

yang diberi dalam bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar

ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9).

d. ‫الورع‬/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir

membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik.

4. Quwwah al-‘Adl

Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang

diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan penyeimbang

dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya. Ibnu Miskawaih meskipun tidak menyebutkan

secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya juga

mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.

Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan menjadi

baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan menjadi sumber

kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk membedakan yang benar dan yang
salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam perbuatan serta yang jujur dan

yang bohong dalam berkata-kata.

Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh akal

yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi sumber

berbagai akhlah yang baik.

Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik oleh

akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber dari

berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-lain. Dan

sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila congdong

pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila condong pada hal

dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).

Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus (‘itidal)

dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya.

Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok

keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.

Anda mungkin juga menyukai