a. Skenario
SKENARIO 3
Mata dan Badan Ikterik
Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke dokter dengan keluhan mata dan
badan tampak kuning. Pasien juga mengeluhkan demam, mual, muntah, nyeri ulu
hati, serta BAK seperti teh sejak 5 hari yang lalu. Riwayat kebanjiran disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan dengan sklera
ikterik, hepar teraba 2 jari dibawah arcus costa, tepi tumpul, nyeri tekan (+). Hasil
laboratorium di dapatkan (Lihat grafik dibawah). Dokter memberikan
penatalaksanaan dan menjelaskan tentang penyakit tersebut pada pasien.
b. Klarifikasi Istilah
STEP 1
1. Ikterik: kondisi yang ditandai berwarna kuning dimata dan kulit
2. Bagaimana mekanisme terjadinya muntah, nyeri ulu hati, BAK teh dan ikterik ?
3. Apa hubungan riwayat kebanjiran dengan kasus ?
4. Mengapa pada pasien tampak sakit ringan dengan sklera ikterik ?
5. Bagaimana penegakan diagnosis dan apa saja kemungkinan kelainan yang
terjadi pada pasien ?
6. Bagaimana interprestasi hasil grafik labolatorium pada kasus tersebut ?
7. Bagaimana faktor resiko sehingga bisa timbul gejala ?
8. Apa etiologi pada kasus ?
9. Bagaimana tatalaksana pada kasus ?
d. Analisis Masalah
STEP 3
1. - karena adanya hiperbilirubin pada pembuluh darah
- terjadinya obstruksi pada saluran empedu
- karena terganggunya sel-sel hepatosit di hepar
2. a. Demam : karena adanya inflamasi hipotalamus
meningkatkan suhu
b. Ikterik : adanya gangguan di bagian prehepatik/ intrahepatik/ posthepatik
c. BAK teh : bilirubin tak diekresikan dan sekresi dengan baik sehingga
pembuangan hanya terjadi melalui urin saja
d. Mual : ada peradangan di ulu hati menstimulasi n. Vagus mual
e. Nyeri ulu hati: infeksi agen hepar terinfeksi
3. Untuk menyingkirkan kemungkinan leptospirosis dan untuk memastikan
lingkungan dan makanan yang dimakannya itu bersih
4. Hepar teraba : hepar mengalami pembengkakkan
Sklera kuning : karena selaput dibagian mata tipis
5. Anamnesis
PF
PP : serologi, biokimia hati, USG abdomen
Kemungkinan kelainan
3
Non farmako
- higienitas
- cairan adekuat
- vaksinasi
- diet seimbang
4
STEP 4
1. Bilirubin
Heme heme oksigenase biliverdin bilirubin bebas albumin
bilirubin konjugasi urobilinogen ginjal urobilin
urobilinogen colon sterkobilinogen sterkobilin
2. ikterik: hemolitik sebelum hepar peningkatan seluler
hepatoseluler dihepar yang terganggunya albumin, feces pucat
obstruksi penyumbatan diduktus
mual: terjadi hepatomegali mendesak abdomen peningkatan HCL
3. Kebanjiran higienitas berkurang memudahkan virus / bakteri
bajir leptospirosis
4. hepatomegali = inflamasi peradangan di hepar hepatomegali nyeri
5. Ikterus: cek urin pekat, cek bilirubin pada darah, kelainan pada darah
Anamnesis : mual, muntah, ikterik, nyeri kepala, urin gelap, nyeri perut kanan
atas, adanya hepatomegali
PF: hepatomegali, nyeri perut kanan atas, ikterik
PP: Serologi : IgM anti-VHA (+) infeksi akut
IgG anti-VHA (+) riwayat terinfeksi
Biokimia: ALT meningkat dibanding AST pada ikterik
Diagnosis : Hepatitis A
6. SGOT selain hati jantung, 3-4,5µ/L
SGPT dihati, 8-35µ/L
7. Tranfusi pakai selang bekas orang yang terkontaminasi
a. Fecal oral
b. Sex
8. Sudah cukup jelas
9. Lamivudin untuk menhambat enzim virus
Ribavirin interveron imunomodulasi ketika virus masuk menghambat
replikasi virus
AARC menghambat batu
5
Mind Map
Faktor resiko Etiologi
Diagnoasis
banding
Komplikasi
Hepatitis A,B,C,D,E
Sirosis hati Ikterus
Abses hati (Gangguan
Fatty liver Hepatobilier)
Kolelitiasis
Kolesistitis
CA Hepar
Koledocolitiasis
Kolangitis Pencegahan
Tatalaksana Penegakan
diagnosis
Farmako Anamnesis PF PP
Non
farmako
6
e. Sasaran Belajar
STEP 5
1. Bagaimana etiologi dan faktor resiko dari kelainan hepatobilier ?
2. Bagaimana patomekanisme sampai terjadinya manifestasi klinis kelainan
hepatobilier ?
3. Bagaimana penegakan diagnosis ?
4. Bagaimana penatalaksanaan kelainan hepatobilier farmako dan non farmako ?
5. Bagaimana pencegahanan kelainan hepatobilier ?
6. Bagaimana komplikasi dari penyakit hepatobilier ?
f. Belajar Mandiri
STEP 6
Belajar mandiri
g. Penjelasan
STEP 7
1. Bagaimana etiologi dan faktor resiko dari kelainan hepatobilier ?
a. Hepatitis A
Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati. Hepatitis A adalah
hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A Virus. Infeksi virus
hepatitis A dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, diantaranya
adalah hepatitis fulminant, autoimun hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis
relaps, dan sindroma pasca hepatitis (sindroma kelelahan kronik). Hepatitis
A tidak pernah menyebabkan penyakit hati kronik. 1
Etiologi Hepatitis A
Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan minuman yang
terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini terutama
menyerang golongan sosial ekonomi rendah yang sanitasi dan higienenya kurang
baik. Masa inkubasi penyakit ini adalah 14-50 hari, dengan rata-rata 28 hari.
Penularan berlangsung cepat. 1
b. Hepatitis B
Etiologi
hari. Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein,
sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core. 1
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang
mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan
terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal
sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen
virus ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan
terjadinya kanker hati. 1
9
c. Hepatitis C
Hepatitis C merupakan infeksi virus hepatitis C (VHC) pada hati yang umumnya
bersifat kronis. Menurut data WHO tahun 2014, lebih dari 185 Juta penduduk
dunia telah terinfeksi VHC dan 350.000 jiwa di antaranya meninggal setiap
tahunnya. Di Asia Tenggara prevelansi Hepatitis C ialah 2.0% pada populasi
dewasa. Berdasarkan Riskesdas 2007. angka seroprevalensi anti-VHC pada laki-
laki di Indonesia. yaitu 1.7% sementara pada perempuan ialah 2.4%. Namun
angka tersebut diprediksi lebih rendah karena banyaknya kasus yang tidak
terdeteksi. 1
Etiologi
VHC merupakan virus RNA rantai tunggal, sferis, dengan selubung glikoprotein
yang tergabung dalam family Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Protein pada
selubungnya akan membantu terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama HCV
adalah hepatosit, namun dapat punya menginfeksi leukosit, limfosit T, limfosit B,
dan limpa. VHC lebih lanjut dapat dikategorikan menjadi enam genotipe berbeda
dan lebih dari 50 subtipe. Enam genotipe tersebut juga memiliki distribusi
geografis yang berbeda, genotipe 6 merupakan yang paling dominan di wilayah
Asia Tenggara. Meskipun belum menjadi pemeriksaan rutin, identifikasi genotipe
11
Faktor Risiko
d. Hepatitis D
Etiologi
Faktor resiko
Infeksi virus hepatitis D endemik pada tahun 1980 pada banyak area di dunia.
Frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada area tropis dan subtropis yang
mempunyai prevalensi infeksi virus hepatitis B. Karena dalam 20 tahun terakhir
infeksi virus hepatitis B mulai dapat ditanggulangi, maka infeksi hepatitis D juga
menurun secara signifikan. 1
e. Hepatitis E
Virus hepatitis E (HEV) merupakan agen yang berbeda, tidak berhubungan
dengan HAV menyebabkan epidemik dan sebagian besar ditularkan melalui air
secara enterik, dan merupakan hepatitis akut. 1
Etiologi
Genom serat tunggal, poli (A) RNA dengan panjang sekitar 8000 pasangan basa.
Ukuran diameter 32-34 nm. Bentuk sferis, tidak mempunyai selubung,
mempunyai tonjolan pada permukaannya. Virus ini sensitif terhadap CsCl,
pembekuan pencairan berulang 2
pejamu mamalia lainnya dapat menjadi reservoir penting untuk penyakit pada
manusia. 1
Tabel Perbedaan virus hepatitis. 3
f. Sirosis hati
Etiologi
Tabel Penyebab sirosis hati. 1
15
g. Abses hati
1) Abses hati amuba
Definisi
Etiologi
Faktor resiko
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar
dengan kista. Konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi. 1
Definisi
Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada jaringan hati
yang disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran darah, sistem bilier,
maupun penetrasi langsung. 1
Etiologi
Kebanyakan AHP merupakan akibat infeksi dari tempat lain, dimana sumber
infeksi umumnya berasal dari infeksi organ intra abdomen lain. Kolangitis yang
disebabkan oleh batu maupun striktur merupakan penyebab tersering. Terdapat
15% kasus AHP yang sumber infeksinya tidak diketahui (abses kriptogenik).
Dengan menggunakan teknik isolasi kuman anaerobik yang ketat, saat ini
ditemukan 45-75% AHP disebabkan oleh bakteri anaerobik ataupun infeksi
campuran bakteri aerobik dan anaerobik. Bacteroides dan fusobacterium
merupakan bakteri anaerobik penyebab AHP terbanyak. Infeksi polimikrobial
umumnya disebabkan oleh bakteri anaerobik.
Faktor resiko
h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Definisi
Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidak-sepahaman dalam
terminologi penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan
istilah perlemakan hati non aikohoiik (nonalcoholic fatty liver = NAFL)
atau penyakit perlemakan hati non alkoholik (nonalcoholic fatty liver
disease = NAFLD). Pada umumnya disepakati bahwa steatohepatitis non
alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis = NASH) merupakan perlemakan
hati pada tingkat yang lebih berat.
Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di
hati (sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat
hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis
dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati. yaitu
ditemukannya minimal 5-10℅ sel lemak dari keseluruhan hepatosit.
Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian non
alkoholik. Batas untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak
bermakna sempat menjadi perdebatan, tetapi lebih banyak ahli yang
menyepakati bahwa konsumsi alkohol sampai 20% per hari masih bisa
digolongkan sebagai non alkoholik. 1
Etiologi
1) Primer, yaitu sindrom metabolik
2) Sekunder :
a) Nutrisional, seperti total parenteral nutrition, kehilangan
berat badan yang cepat, kelaparan, pembedahan bypass
pada saluran cerna.
18
Faktor resiko
Resistensi insulin, asupan asam lemak ke hati, berat badan. 1
Faktor resiko
Di negara barat lebih dari 60% penyakit hati kronik disebabkan oleh karena
konsumsi etanol yang berlebihan, dan sebanyak 40% sampai 50% kematian
19
i. Kolelitiasis
Etiologi
Faktor resiko
j. Kolesistitis
Etiologi
Faktor resiko
HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan traktus
gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian di
transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana
pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus
menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus
didalam feses dan hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi
terbesar virus yang di ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum
onset ikterus, dan akan menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan
bayi dapat terus mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala
klinis. Berikut ini merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A. 1
22
Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari HAV;
Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro. Pada
periode inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan dengan
23
ketiadaan respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak terjadi.22
Banyak bukti berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal yang paling
berperan dalam patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang terjadi pada sel
hepar terutama disebabkan oleh mekanisme sistem imun dari Limfosit-T
antigen-specific. Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific, dan juga sitokin,
seperti gamma-interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α), interleukin-6 (IL-6),
dan tumor necrosis factor (TNF) juga berperan penting dalam eliminasi dan
supresi replikasi virus. Meningkatnya kadar interferon didalam serum pasien
yang terinfeksi HAV, mungkin bertanggung jawab atas penurunan jumlah
virus yang terlihat pada pasien mengikuti timbulnya onset gejala klinis.
Pemulihan dari hepatitis A berhubungan dengan peningkatan relatif dari sel
CD4+ virus-specific dibandingkan dengan sel CD8+. Immunopatogenesis dari
hepatitis A konsisten mengikuti gejala klinis dari penyakit. Korelasi terbalik
antara usia dan beratnya penyakit mungkin berhubungan dengan
perkembangan sistem imun yang masih belum matur pada individu yang lebih
muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan dan berlanjut kepada
manifestasi penyakit yang lebih ringan. Dengan dimulainya onset dari gejala
klinis, antibodi IgM dan IgG antiHAV dapat terdeteksi.Pada hepatitis A akut,
kehadiran IgM anti-HAV terdeteksi 3 minggu setelah paparan, titer IgM anti-
HAV akan terus meningkat selama 4-6 minggu, lalu akan terus turun sampai
level yang tidak terdeteksi dalam waktu 6 bulan infeksi. IgA dan IgG anti-
HAV dapat dideteksi dalam beberapa hari setelah timbulnya gejala. Antibodi
IgG akan bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi dan memberikan
imunitas seumur hidup. Pada masa penyembuhan, regenerasi sel hepatosit
terjadi. Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih dalam 8-12 minggu. 5
hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra
ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan).
Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak
terdeteksi. Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal,
tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
b. Hepatitis B
Patofisiologi Hepatitis B
25
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian
mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya
di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan
menembus sel dinding hati.
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA
hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB
memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis
B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi .
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti
banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan.
Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap
kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun,
makin besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host
dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang
ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-
restricted CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses
intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major
Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran
sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+. 1
Manifestasi Klinis Hepatitis B
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan.
Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya
riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya
menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat
1) Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan
ratarata 60-90 hari.
2) Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum,
mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia.
Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan
menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan
aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
3) Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4) Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan
sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang
menjadi fulminan
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari
enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B
kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu :
1) Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus
tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus
27
Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat
tinggi.
2) Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi
virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak
dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah
mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
3) Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel
hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya
dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel
hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah,
HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta
konsentrasi ALT normal. 1
c. Hepatitis C
Berbeda dengan virus hepatitis B yang umumnya bersifat akut, infeksi VHC lebih
sering bersifat kronis sekitar 80%. lnfeksi VHC mengakibatkan hepatitis C kronis,
sementara 20% sisanya berupa infeksi akut atau sembuh spontan.
Masa inkubasi VHC rata-rata 50 hari (rentang 14-180 hari), meski RNA VHC
mulai dapat terdeteksi 7-10 hari setelah infeksi dan antiVHC dapat terdeteksi 2-8
minggu setelah paparan. Pada kasus hepatitis akut, RNA VHC masih-dapat
terdeteksi selama beberapa 12 minggu pertama, yang kemudian akan menurun
secara signifikan hingga terjadi resolusi penyakit secara spontan. Hanya 50%
pasien hepatitis C akut yang memiliki antiVHC positif.
28
Namun pada kasus hepatitis C kronis, RNA VHC masih terdeteksi selama
minimal 6 bulan. Sekitai 95% kasus juga memiliki nilai anti-VHC positif. Faktor
penentu suatu infeksi VHC menjadi hepatitis akut atau kronis belum diketahui
dengan jelas. Namun, resolusi spontan lebih sering ditemukan pada pasien
simptomatis, perempuan, serta VHC genotipe 3.
2). Hepatitis C kronis. Umumnya asimtomatis, dapat juga berupa gejala tidak
spesifik seperti malaise dan keletihan. Pada kondisi lanjut, dapat ditemui tanda
gejala, serta komplikasi sirosis hati yang mudah dikenali, edema ekstremitas,
asites, hematemesimelena, perubahan status mental, dan sebagainya. 1
d. Hepatitis D
29
e. Hepatitis E
Patogenesis
HEV merupakan anggota prototipe dari genus Hepevirus, famili Hepeviridae.
Virus ini pertama kali diidentifikasi dengan mikrograf imunoelektron pada
feses manusia yang terinfeksi. Virus ini berbentuk bulat dan memiliki virion
tidak berkapsul, dengan permukaan berduri dan gambaran indentasi mirip
cangkir.
Rute infeksi melalui oral sudah jelas ditunjukkan, dengan lokasi replikasi
utama belum dapat diidentifikasi, tetapi kecenderungan mengarah pada
saluran intestinal. Virus mencapai hati, kemungkinan melalui vena porta, dan
bereplikasi pada sitoplasma hepatosit. Virus dapat terus hidup pada kisaran pH
seiring virus tersebut melintas melalui saluran gastrointestinal. Manusia
merupakan pejamu alami, dengan hewan dengan dapat berperan menjadi
30
reservoir beberapa klaim infeksi pada domba dan babi setempat. Transmisi
HEV melalui hewan (zoonotik) juga telah ditunjukkan terjadi dari rusa ke
manusia. 7
f. Sirosis hati
Terjadinya hati-hati fibrosis akibat aktivasi dari sel hati stellata. Aktivasi ini
dipicu oleh faktor pelepasan yang menghasilkan hepatosit dan sel Kupffer. Sel
stellate merupakan sel penghasil matriks utama ekstraselular (ECM) setelah
terjadi kerusakan pada hepar. Pembentukan ECM yang berhubungan dengan
pembentuk jaringan mirip. fibroblast yang menghasilkan sel stellate dan oleh
beberapa sitokin seperti transformasi faktor pertumbuhan B (TGF-B) dan
tumor necrosis factors (TNF a) .
g. Abses hati
1) Abses hati amuba
Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat berbentuk
sebagai trophozoit atau bentuk kista. Setelah menginfeksi, kista amuba
melewati saluran pencernaan dan menjadi trophozoit di usus besar,
trophozoit kemudian melekat ke sel epitel dan mukosa kolon dengan
gal/galNAc dimana mereka menginvasi mukosa. Lesi awalnya berupa
mikro ulserasi mukosa caecum, kolon sigmoid dan rektum yang
mnegeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel epitel. Ulserasi yang
meluas ke submukosa menghasilkan ulser khas berbentuk termos
(flask-shaped) yang berisi trophozoit dibatas jaringan mati dan sehat.
Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, tempat abses
dapat berkembang. Entamoeba histolytica sangat resisten terhadap lisis
yang dimediasi komplemen, oleh karena itu dapat bertahan di aliran
darah. Terkadang organisme ini menginvasi organ selain hati dan dapat
membuat abses dalam paru-paru atau otak. Pecahnya abses hati amuba
ke dalam pleura, perikard, atau ruang peritoneal juga dapat terjadi, di
dalam hati, E. histolytica mengeluarkan enzim proteolitik yang
berfungsi melisiskan jaringan pejamu. Lesi pada hati berupa “well
demarcated abscess” mengandung jaringan nekrotik dan biasanya
mengenai lobus kanan hati. Respon awal pejamu adalah migrasi sel-sel
PMN. Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan
enzim proteolitiknya, sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses hati
mengandung debris aselular, dan trophozoit hanya dapat ditemukan
pada tepi lesi. 1
Infeksi menyebar ke hati melalui aliran vena porta, arteri, saluran empedu,
ataupun infeksi secara langsung melalui penetrasi jaringan dari fokus
33
h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Patogenesis
Pengetahuan mengenai patogenesis steatohepatitis non alkoholik masih
belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan
steatohepatitis non alkoholik adalah obesitas dan diabetes melitus. serta
dua abnormalitas metabolik yang sangat kuat kaitannya dengan penyakit
ini adalah peningkatan suplai asam lemak ke hati serta resistensi insulin.
Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory
yang diajukan oleh Day dan James.
Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang
dapat terjadi karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes
melitus, dan obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal,
asam lemak bebas dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah
arteri dan portal. Di dalam hati, asam iemak bebas akan mengalami
metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi menjadi trigliserida
atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan
34
Konsumsi dalam jangka pendek paling banyak 80 g etanol per hari (5-
6 beers atau 8-9 ons dari 80 minuman keras) pada umumnya dapat
menyebabkan perubahan hati ringan dan reversibel bisa berupa
perlemakan hati ringan. Konsumsi etanol menahun 40-80 g per hari
dianggap sebagai ambang batas dari faktor risiko untuk terjadinya
kerusakan hati berat. Adanya perbedaan perjalanan penyakit seperti
yang dikemukakan sebelumnya, beberapa alasan menyebutkan bahwa
terkait dengan penurunan metabolisme etanol di lambung dan adanya
perbedaan komposisi tubuh. Perempuan lebih rentan terhadap
kerusakan hati dibandingkan dengan pria. Tampaknya risiko kerusakan
hati yang terjadi sebanding dengan frekuensi dan volume yang
diminum. Sebagai contoh pesta mabuk-mabukan dampaknya terhadap
kerusakan hati lebih besar dibandingkan dengan mereka yang minum
dengan cara teratur dan dalam kadar rendah. Faktor individual seperti
faktor genetik kemungkinan besar berperan namun petanda yang dapat
dipercaya akan kemungkinan tersebut belum ada. Walaupun belum
diketahuinya secara nyata faktor-faktor yang berpengaruh pada
kerusakan hati, namun dianjurkan agar tidak mengkonsumsi alkohol di
atas ambang aman. 1
Metabolisme etanol oleh enzim alcohol dehidrogenase dan sistem
microsomail ethanol-oxidizing. Induksi terhadap cytochrome P450
pada peminum alkohol menahun akan meningkatkan perubahan obat
lain menjadi metabolit yang bersifat toksik. Secara khusus efek
tersebut dapat meningkatkan metabolisme asetaminofen menjadi
metabolit yang bersifat toksik kuat dan meningkatkan jejas hati
meskipun diberikan dalam dosis terapi. 3
Steatosis sel hati merupakan hasil dari beberapa mekanisme seperti
(1) terhindarnya substrat dari katabolisme dan mendekatnya substrat
pada biosintesis fipid. Sebab hasil metabolisme akan berlebihan
berupa nicotinamide adenine dinucleotide terreduksi yang merupakan
36
Pemeriksaan Fisik
Demam, tidak nyaman pada perut, Ikterus (kulit dan sclera menguning) 1
Pemeriksaan Penunjang
42
Serologis
Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold standard
untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A.7 Virus dan antibody dapat
dideteksi dengan metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan
diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total anti-HAV (IgM
dan IgG). IgM anti-HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-6 bulan
setelahnya. Dikarenakan IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi
akut, maka apabila seseorang terdeteksi IgG antiHAV positif tanpa disertai
IgM anti-HAV, mengindikasikan adanya infeksi di masa yang lalu.
Pemeriksaan imunitas dari HAV tidak dipengaruhi oleh pemberian passive
dari Immunoglobulin/Vaksinasi, karena dosis profilaksis terletak dibawah
level dosis deteksi. 1
Rapid Test
Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan metode
immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis komersial yang
tersedia. Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi oleh antibodi,
yaitu “G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C”
(Control Line) yang terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M”
berwarna ungu akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM
anti-HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan
metode immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam
mendeteksi IgM anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan tingkat
sensitivitas hingga 97,6%.1
b. Hepatitis B
Pemeriksaan fisik
didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan
laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar. 1
Pemeriksaan laboratorium
Pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler .
Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada
biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.
Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi
tetapi tidak terdeteksi di dalam serum . Hal tersebut dikarenakan HBcAg
terpencil di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat terlihat
dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama timbulnya
HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
minggu hingga beberapa bulan
Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul saat terjadinya
gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu
setelah HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti-
HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg tidak
terdeteksi (window period). Penanda anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc
IgG muncul dan akan menetap dalam jangka waktu lama
Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas untuk
menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub klinis
atau yang menetap . Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis
hepatitis adalah Immunochromatography (ICT),ELISA, EIA, dan PCR.
Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia pada
laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Peralatan rapid diagnostic
ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah dan tidak
memerlukan peralatan kompleks
46
3) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium
untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma.
Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier,
menentukan prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaannya antara lain:
a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu
paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur
kerja dan limbahnya.
b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik
hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop
karena sistem deteksinya menggunakan substrat
chemiluminescence.
c. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA) bertujuan
untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari
beberapa target molekul asam nukleat.
d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah
dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA
VHB. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi
secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup. 1
rendah dan pada saat ini adalah yang dapat mendeteksi virus sampai
dengan <104 kopi/mL. 1
c. Hepatitis C
Anamnesis
Infeksi hepatitis C akut
Ditemukan serokonversi anti-VHO pada pasien yang sebelumnya telah
diketahui anti-VHO negatif (tidak ada penanda serologi yang dapat
membuktikan infeksi akut HCV).
Infeksi hepatitis C kronis
Anti-VHC dan RNA VHC tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak
terinfeksi dengan gejala-gejala penyakit hati kronis. Pada hepatitis kronis,
titer anti-VHC dan RNA VHC positif tidak membedakan kasus hepatitis C
akut dengan eksaserbasi hepatitis C kronis atau hepatitis akut dari
penyebab lainnya pada pasien dengan hepatitis C kronis. 1
Pemeriksaan fisik
Hepatomegali, ikterus. 1
Pemeriksaan penunjang
1) Penanda serologis hepatitis C metode ELISA atau chemiluminescent
immunoassay (CLIAD). Apabila didapatkan anti-VHC positif, maka
individu dinyatakan terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan RNA VHC. Namun. hasil anti-HIV negatif palsu dapat
ditemukan pada HIV, pasien hemodialisis, dan pengguna imunosupresan.
Pada kelompok pasien tersebut dianjurkan untuk selalu memeriksa RNA
VHO. Selain untuk diagnosis, pemeriksaan RNA VHC juga digunakan
untuk memantau terapi anti virus. Oleh sebab itu, RNA VHC sebaiknya
diukur dengan metode realtime PCR yang mampu mendeteksi VHC
hingga muatan virus minimal <50 IU/ ml untuk dual terapi dam <15
IU/mL untuk tripel terapi. 1
50
d. Hepatitis D
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pemunjang
Pemeriksaan fisik
Nyeri epigastrik, ikterik, nyeri sendi. 7
Pemeriksaan penunjang
54
a. HEVRNA pada feses dapat dideteksi pada fase pra-ikterik, dan kemudian
menurun menghilang seiring dengan puncak ALT
b. IgM anti-HEV pada serum diidentifikasi saat onset gejala, yang dapat
terdeteksi untuk 2 minggu sampai 3 bulan.
c. IgG anti HEV meningkat segera setelah IgM, bertahan selama beberapa
tahun pada 50% pasien.
Enzime immunoassay (EIA) dan imunokromatografi merupakan metode detek
yang paling cocok. Untuk penduduk ataupun mereka yang berpergian ke daera
endemik, pemeriksaan untuk infeksi HE harus diikutsertakan pada pemeriksaan
lini pertama untuk mendiagnosis hepatitis akut. 1
Pemeriksaan fisik
Perubahan kuku, palmar eritema, hipogonadisme, ukuran hati (besar,
normal, mengecil), splenomegali, asites, ikterus. 1
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Tabel Tes laboratorium pada sirosis hati. 1
56
g. Abses hati
1) Abses hati amuba
Anamnesis
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan presentasi klinis yang akut
dibandingkan abses piogenik hati. Gejala telah terjadi rata-rata dua minggu pada
saat diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara infeksi hati usus
57
dan selanjutnya sampai bertahun-tahun, dan kurang dari 10% pasien melaporkan
riwayat diare berdarah dengan disentri amuba. 1
Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat dibandingkan
piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai mual, muntah,
anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan tubuh, dan pembesaran hati yang
juga terasa nyeri. Nyeri spontan perut kanan atas disertai dengan jalan
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan
gambaran klinis khas yang sering dijumpai. Dua puluh persen penderita dengan
kecurigaan abses hati amuba mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
58
Hasil foto toraks abnormal didapatkan pada 50-80% pasien dengan gambaran
atelektasis paru lobus kanan bawah. Efusi pleura kanan dan kenaikan
hemidiafragma kanan.
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karena non invasif dan
sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic dengan
internal ecoes. CT scan kontras digunakan terutama untuk mendignosis abses
yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat
memberikan informasi tentang lesi. MRI tidak memiliki sensitivitas yang lebih
tinggi dibandingkan CT scan, tetapi berguna jika hasil masih diragukan, diagnosis
membutuhkan potongan koronal atau sagital dan untuk pasien yang intoleran
terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan abses hati amuba
dengan piogenik. Abses amuba umumnya menyerang lobus kanan hepar dekat
dengan diafragma dan biasanya tunggal.
Anamnesis
Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan atas. Demam
tinggi yang naik turun disertai menggigil merupakan keluhan terbanyak. Nyeri
59
perut kanan atas biasanya menetap dan dapat menyebar ke bahu kanan.
Kebanyakan pasien mengalami keadaan ini kurang dari 2 minggu, sebelum pergi
berobat. Gejala tidak khas lainnya meliputi keringat malam, muntah, anoreksia,
kelemahan umum, dan penurunan berat badan. Sekitar ⅓ kasus disertai dengan
diare dan ⅟₄ kasus mengeluhkan adanya batuk yang tidak produktif. Pasien juga
Onset penyakit biasanya terjadi akut. Onset yang tersamar dapat terjadi pada
orang tua. Onset pada abses tunggal biasanya gradual dan umumnya merupakan
abses kriptogenik. Gambaran klinis pada asbes multiple biasanya menunjukkan
gambaran akut dan biasanya penyebab primernya diketahui. 1
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai nyeri pada kuadran kanan
atas. Ikterik dijumpai apabila penyakit telah lanjut. Beberapa pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri perut kuadran kanan atas ataupun tidak didapatkan
hepatomegali, biasanya gambaran klinis menunjukkan fever of unknown origin
(FUO). Adanya kelainan pada paru kanan berupa pekak pada perkusi dan
penurunan suara napas dijumpai apabila proses penyakit terjadi pada segmen
superior lobus kanan. Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan kelainan pada
sekitar 20-30% kasus anemia dan dehidrasi juga merupakan tanda fisik yang
sering ditemukan. 1
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan pencitraan
60
Kebanyakan abses, baik AHP maupun AHA, terletak pada lobus kanan. Adanya
abses multipel sangat mencurigakan suatu AHP. Tumor hati yang telah
mengalami nekrosis serta infeksi sekunder, seringkali memberikan gambaran
USG seperti AHP. Pemeriksaan rontgen dada dapat ditemukan adanya elevasi
hemidiafragma kanan serta atelektasis.
Pemeriksaa laboratorium
61
Adanya antibodi antiamubik penting untuk membedakan AHA dari AHP. Lebih
dari 90% pasien dengan AHA mempunyai antibodi antiamubik titer tinggi
terhadap entamoeba histolytica.
Elemen kunci untuk diagnosis AHP adalah ditemukannya agen penyebab, baik
melalui kutur darah, maupun kultur pus dari aspirasi abses. Kultur darah positif
pada 50% kasus. Pada aspirasi abses, spesimen yang berasal dari AHP berwarna
kekuningan ataupun kehijauan serta berbau busuk. Spesimen yang berasal dari
AHA berwarna merah kecoklatan. Dengan pengecatan gram, pada AHA ditandai
dengan adanya netrofil tanpa bakteri, kecuali bila telah terjadi infeksi sekunder.
Sementara pada AHP, selalu terdapat bakteri. 1
h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Anamnesis
Keluhan tidak enak badan, rasa lemah, keluhan seperti mengganjal
di perut kanan atas, malaise1
Pemeriksaan Fisik
Hepatomegali. 1
Pemeriksaan Penunjang
i. Biopsi hati
Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih
menjadi satu-satunya metode untuk membedakan steatosis non
alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi.
Masih menjadi perdebatan apakah biopsi hati perlu dilakukan
sebagai pemeriksaan rutin dalam proses penegakan diagnosis
perlemakan hati non alkoholik. Sebagian ahli mendukung
62
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
i. Kolelitiasis
Anamnesis
Mual, rasa tidak enak di perut setelah mengkonsumsi makanan berlemak,
ikterus. 1
Pemeriksaan fisik
Nyeri abdomen midepigastrium/kuadran kanan atas yang hebat, ikterus. 1
Pemeriksaan penunjang
Endoscopic Ultrasonography: mendeteksi batu empedu
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography: saluran empedu akan
terlihat sebagai struktur yang terang, batu akan terlihat sebagai intensitas
sinyal rendah. 1
66
j. Kolesistitis
Anamnesis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh.
Kadang-kadang rasa sakit ke pundak atau scapula kanan dan dapat
berlangsung selama 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
ganggren atau perforasi kandung empedu. 1
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai
tanda-tanda peritonitis.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <4,0
mg/dl). Apabila bilirubin tinggi perlu diperkirakan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. 1
Pemeriksaan penunjang
a. Hepatitis A
Non farmako
Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,
yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori,
penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan
dari konsumsi alkohol. Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak
memerlukan rawat inap. 1
Farmako
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi,
kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat
hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan
cairan yang adekuat, penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang
serius, dan apabila pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan gejala-gejala dari hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati
fulminant, didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam waktu 8
minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant harus
dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi hati. 1
b. Hepatitis B
Non farmako
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan
aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik.
Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan
pada pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari. 1
Farmako
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi
atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat mengurangi
patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi
inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan DNA
68
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC
(Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang usia. Terapi
antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah
Interferon, Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir .1
c. Hepatitis C
a. Mencari penyebab lain dari penyakit hati kronis, koinfeksi VHB dan HIV,
penyakit hati alkoholik, penyakit hati non-alkoholik, maupun autoimun.
b. Menilai derajat keparahan penyakit hati kronis, tarmasuk kemungkinan
terjadinya karsinoma hepatoselular, USG abdomen atau biopsi hati.
c. Menilai muatah virus RNA VHC dan genotipe virus.
d. Pemeriksaan genetik, deteksi gen IL28B untuk menentukan regimen terapi
pada hepatitis C genotip. 1
2). Tujuan Terapi
untuk mencapai sustained viral response (SVR) yakni tidak terdeteksinya RNA
VHC (<50 IU/ m1.) selama 24 minggu pascaterapi antivirus. Oleh sebab itu,
diperlukan pemeriksaan RNA VHC secara berkala. Pada pasien sirosis
kompensata terapi ditujukan untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya
sirosis dekompensata dan risiko terjadinya KHS. 1
Terapi dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk menunggu terjadinya reaksi
spontan, terutama pada hepatitis C akut yang simtomatis, kecuali pada pasien
dengan genotip IL28B non-CC yang dapat diterapi sejak 12 minggu karena
kemungkinan resolusi spontan lebih rendah. Durasi terapi pada VHC genotipe I
dilanjutkan selama 24 minggu, dan pada genotip 2 atau 3 dilanjutkan selama 12
minggu. Regimen terapi hepatitis C akut ialah monoterapi dengan peg-IFN a
72
selama 24 minggu. Dosis Peg-IFN a 2a ialah 180 pg/minggu SK, sedangkan dosis
peg-IFN a-2b ialah 1,5 pg/minggu SK. Umumnya eradikasi virus dapat dicapai
hingga >90%. Bila gagal pasien dimasukkan dalam terapi hepatitis C kronis. 1
a. Pada dual terapi, pemeriksaan RNA VHC dilakukan pada awal terapi,
minggu ke 4,12, 24. akhir terapi antivirus dan 24 minggu setelah terapi
dihentikan. Pada tripel terapi menggunakan boceprevir, RNA VHC
dinilai pada awal terapi, minggu ke 4, 8, 12, 24, akhir terapi dan 24
minggu setelah terapi dihentikan.
b. Penilaian efek samping terapi harus selalu dilakukan setiap kali kontrol.
Keluhan yang sering muncul berupa flu-like symptoms, fatigue, sakit
kepala, dan demam. Beberapa pasien juga mengeluhkan iritabilitas
imsonia dan depresi.
c. Pemeriksaan darah untuk melihat keberadaan anemia, trombositopenia,
neutropenia, dan peningkatan ALT dinilai pada minggu ke l, 2. dan 4
sejak awal terapi dan selanjutnya dapat diulang dengan interval setiap 4-8
minggu.
d. Thyroid stimulating hormone (TSHs) dan kadar tiroksin dinilai pada awal
terapi dan diulang bila ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi tiroid.
e. Edukasi mengenai efek teratogenik ribavirin dan pentingnya
menggunakan kontrasepsi selama terapi sampai 6 bulan pemberian.
f. Bila didapatkan gejala neuropsikiatri berat atau jumlah neutrofil absolut
<750/mm atau jumlah trombosit <50.000/mm, maka perlu dilakukan
penyesuaian dosis peg-IFN dan pemantauan ketat. Terapi peg-IFN a
dihentikan bila jumlah neutrofil absolut <500/mm dan jumlah trombosit
<25.OOO/mm3.
g. Bila Hb <10 g/dL, dosis ribavirin diturunkan 200 mg dan dilakukan
penyesuaian dosis. Bila Hb <8.5 g/dL terapi ribavirin dihentikan.
73
h. Pada pasien dengan tripel terapi, efek samping lebih sering timbul.
Apabila muncul efek samping yang membahayakan dalam pemberian
boceprevir, lanjutkan dengan dual terapi. 1
Terapi antivirus tetap direkomendasikan pada sirosis hati. salama tidak ada
kontraindikasi. meski peluang mencapai SVR bebih rendah dibandingkan pada
pasien tanpa sirosis. Diperlukan pemantauan ketat, setidaknya dua minggu sekali
karena risisko efek samping lebih tinggi.
hepatitis C yang akan diberikan serapi tidak boieh dikombinasi dengan ARV
jenis didanosin (dll), zidovudin (AZT) dan stavudin (d4T). 1
d. Hepatitis D
Masalah yang dijumpai pada terapi infeksi virus hepatitis D adalah tidak
adanya fungsi enzimatik spesifik pada virus yang dapat menjadi target terapi,
berbeda dengan hepatitis B dan hepatitis C yang mempunyai polimerase dan
protease. Virus hepatitis D bergantung pada HBsAg dan bukan terhadap
replikasi virus hepatitis B, sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh kadar
HBV-DNA dalam serum. Sekresi virus hepatitis D in vitro dan kadar HDV-
RNA in vivo berkorelasi langsung dengan kadar HBsAg serum, bukan dengan
titer HBV-DNA.
Interaksi antara virus hepatitis B dan hepatitis D den adanya fakta bahwa
sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis D mempunyai virus hepatitis B yang
secara spontan mengalami represi, menjelaskan mangapa antivirus sintetik
terhadap virus hepatitis B tidak bermanfaat. Tidak terdapat perbaikan klinis
dan virologis pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis D yang mendapatkan
terapi famciclovir, lamivudin, adefovir, dan ribavirin, baik berupa monoterapi
maupun terapi kombinasi dengan interferon. Pada infeksi hepatitis D kronik,
terapi yang digunakan adaiah interferon. Vaksinasi hepatitis B dapat
75
e. Hepatitis E
Pengembangan vaksin dan pemeriksaan tetap dilakukan, namun saat ini
tidak ada vaksin yang dinilai cukup efektif. Strategi kontrol dan
pencegahan infeksi HEV bertujuan meningkatkan kondisi higiene pada
area endemik dan mendeteksi sumbe kontaminasi. Dengan meningkatka
sanitasi dan menyediakan air minum bersih serta sistem pembuangan
limbah yang baik dapat menurunkan angka infeksi. 1
f. Sirosis hati
Penanganàn SH kompensata berfokus pada Penyebab hepatitis kronis. Hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak
lebih lanjut dan menurunkan ulang karsinoma hepatoselular. Di Asia
Tenggara penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV Untuk HBV
dapat diberikan preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan
preparat analog nukleosida jangka panjang Preparat nukleosida analog ini
juga dapat diberikan pada SH dekompensata akibat HBV kronis selain
penanganan untuk komplikasinya. Sedang untuk SH akibat HCV kronis
bisa diberikan preparat Interferon. Namun pada SH dekompensata
pemberian preparat interferon ini tidak direkomendasikan. 1
g. Abses hati
1) Abses hati amuba
Medikamentosa
dilakukan untuk mencari kista dan trophozoit amuba dan serum harus
diperiksa antibodi e. hystolitica.
b. Terapi dimulai dengan metronidazole 3x750 mg per oral selama 7-10 hari
atau nitoimidazole kerja panjang (tinidazole 2 gram PO dan ornidazole 2
gram PO) dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi kemudian
dilanjutkan dengan preparat luminal amubisida untuk eradikasi kista dan
mencegah transmisi lebih lanjut, yaitu: iodoquinol 3x650 mg selama 20
hari, diloxanide furoate 3x500 mg selama 10 hari, aminosidine
(paromomycin 25-35 mg/kg perhari TID selama 7-10 hari). Lebih dari
90% pasien mengalami respons yang dramatis dengan terapi
metronidazole baik berupa penurunan nyeri maupun demam dalam 72 jam.
c. Paromycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari
atau lini kedua diloksanide furoate 3x500 mg per oral selama 10 hari.
d. Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi alternatif, tetapi
sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan
gastrointestinal, selain karena tingginya angka relaps. Chloroquine
phosphate 1000 mg (chloroquine base 600 mg) diberikan oral selama 2
hari dan dilanjutkan dengan 500 mg (chloroquine base 300 mg) diberikan
oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis diharapkan dalam 3 hari. 1
Non medikamentosa
Drainase perkutan
Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus tertentu seperti
abses dengan ancaman ruptur atau secara teknis susah dicapai atau gagal
dengan aspirasi biasa/ drainase perkutan. 1
Reseksi hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi
spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle) dan
disertai dengan hepatolitiasis, terutama pada lobus kiri hati. 1
- Abses hati dengan diameter 1-5 cm: terapi medikamentosa, bila respons
negatif dilakukan aspirasi
- Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
- Abses hati dengan diameter ≥ 8 cm: drainase perkutan. 1
Medikamentosa
Non medikamentosa
Drainase perkutaneus
h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Sampai sekarang modalitas pengobatan yang terbukti baik masih terbatas.
Belum ada terapi yang secara universal dapat dikatakan efektif, strategi
pengobatan cenderung dilakuan dengan pendekatan empiris karena
patogenesis penyakit juga belum begitu jelas diketahui. Penelitian terapi
79
i. Kolelitiasis
Non farmako: Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan
pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi
dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. 1
j. Kolesistitis
Non farmakologi :
a) Istirahat total
85
Farmakologi :
Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan
benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal
yang baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari
HAV.
Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat baik.
Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik,
untuk memusnahkan wabah, dan untuk melindungi pekerja kesehatan setelah
pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat risiko akibat pekerjaan.4 Vaksinasi
HAV memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV sebesar 94-100%
setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara terpisah, dengan
efek samping yang minimal. 1
b. Hepatitis B
Sebagian besar pencegahan penderita hepatitis B akut akan membaik atau
sembuh sempurna tanpa meninggalkan bekas. Tetapi sebagian kecil akan
menetap dan menjadi kronis, kemudian menjadi buruk atau mengalami
kegagalan faal hati. Biasanya penderita dengan gejala seperti ini akan
berakhir dengan meninggal dunia. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi
hal tersebut maka perlu diadakan pemeriksaan berkala. Sebelum
dilaksanakan pembedahan, pada waktu pembedahan, dan pasca
pembedahan. 1
c. Hepatitis C
Berbeda dengan hepatitis B, hingga saat ini belum ada vaksin yang mampu
mencegah infeksi VHC. Pencegahan pada dapat dilakukan dengan skrining
darah dan produk darah. pencegahan universal terhadap pasien infeksi VHC,
serta menghindari penggunaan alat cukur, sikat gigi, atau gunting kuku
bersama dengan pasien hepatitis C. Tidak ada pencegahan khusus pada bayi
yang lahir dari ibu dengan hepatitis C. Begitupun dengan pemberian ASI yang
tidak dibatasi. 1
d. Hepatitis D
Tidak ada vaksin tetapi otomatis orang akan terlindungi jika telah
diberikan imunisasi Hepatitis B. 1
e. Hepatitis E
87
oleh iodine dianjurkan. Sampai saat ini tidak ada profilaksis yang
efektif. 1
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan
parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah
struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan
89
Hepatitis Fulminan
Gejala dan tanda gagal hati akut-penciutan hati, kadar bilirubin serum
meningkat cepat, pemanjangan waktu protrombin yang sangat nyata. 11
Karsinoma Hepatoseluler
Infeksi HBV kronis dan sirosis terkait. 11
b. Sirosis hati
HIPERTENSI PORTAL
ASITES
VARISES GASTROESOFAGUS
c. Abses hati
1) Abses hati amuba
Tanpa terapi, abses akan membesar, meluas ke diafragma atau ruptur ke kavitas
peritoneal:
a. Gagal jantung
b. Perikarditis
c. Tamponade jantung
- Peritoneum, menyebabkan:
a. Peritonitis
b. Asites. 1
b) Infeksi sekunder (biasanya bersifat iatrogenic setelah tindakan aspirasi) 1
c) Lain-lain (jarang)
- Gagal hati fulminan
- Hemobilia
- Obstruksi vena kava inferior
- Sindrom bud chiari
- Abases cerebri (penyebaran hematogen): 0,1 %. 1
d. Perlemakan hati
Sirosis dan Karsinoma hepatoseluler. 1
e. Kolelitiasis dan Kolesistitis
Kolesistitis gangrenosa: kolesistitis gangrenosa yang ditandai dengan :
defek pada dinding kandung empedu, cairan di perikolesistik dan tidak
ditemukan adanya batu empedu.
94
Tambahan:
7. CA Hepar
Definisi
Karsinoma hepatoseluler/ hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan
penyakit neoplasma ganas primer hepar tersering yang terdiri dari sel
menyerupai hepatosit dengan derajat diferensiasi bervariasi. HCC adalah
istilah terminologi yang lebih baik dibandingkan hepatoma dan kanker liver
yang sebaiknya dihindari. 1
Pada manusia, sebagian besar HCC muncul dengan latar belakang
hepatitis kronis atau sirosis. HCC sudah menjadi masalah kesehatan global,
merupakan kanker kelima ter banyak di dunia, yaitu 5,4% dari semua jenis
kanker, dan penyebab kematian ketiga ter tinggi akibat kanker. HCC menjadi
salah satu keganasan terbanyak pada dewasa, lebih dominan pada laki-laki
dengan per banding an 2-4 : Angka kejadian tertinggi ditemu kan di Asia dan
Afrika dengan kelompok populasi berusia 20-40 tahun, sedangkan di negara
barat jarang terjadi sebelum usia 60 tahun. 1
HCC merupakan karsinoma kedua paling mematikan setelah karsinoma
pankreas. Hampir seluruh pasien meninggal dalam 6-7 bulan setelah
didiagnosis. Hal ini umum terjadi di daerah endemisitas tinggi. Prognosis
buruk ini berhubungan dengan masih kurang baiknya diagnosis awal dan
resistensi tumor terhadap tatalaksana. 1
Etiologi
HCC sangat berhubungan dengan penyakit hepar kronis, terutama infeksi
hepatitis B virus (HBV ) dan hepatitis C virus (HCV ). Sebanyak 52,3%
penderita HCC berasal dari infeksi HBV kronis dan 20% dari infeksi HCV.
Penyebab lain yaitu non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), afl atoksin,
dan penyakit hepar alkoholik. Risiko HCC pada sirosis ber kisar 1-6% per
tahun. Sirosis tanpa memandang etiologinya, mempunyai risiko HCC 3-4
96
Patofisiologi
Hepatoma 75 % berasal dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya
yangdisebabkan oleh alkoholik dan post nekrotik. Pedoman diagnostik yang paling
pentingadalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada
penderita sirosishati yang disertai pembesaran hati mendadak. Matastase ke
hati dapat terdeteksi padalebih dari 50 % kematian akibat kanker.diagnosa sulit
ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang luas,
sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi. Stadium hepatoma :
1) Stadium i : satu fokal tumor berdiameter < 3 cm
2) Stadium ii : satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segment
iatau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati
3) Stadium iii : tumor pada segment i meluas ke lobus kiri (segment iv) atau
kelobus kanan segment v dan viii atau tumor dengan invasi peripheral ke
sistempembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi
hanyaterbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati
4) Stadium iv :multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan
lobuskiri hati. Atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati
(intrahepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau tumor denganinvasi
ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluhdarah
vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior-atau adanya metastasekeluar dari hati
(extra hepatic metastase). 1
Diagnosis
Manifestasi klinis, Anamnesis
1) Gangguan nutrisi
2) Penurunan berat badan yang baru saja terjadi
3) Kehilangan kekuatan
4) Anoreksia
5) Anemia
6) Nyeri abdomen dapat ditemukan, disertai dengan pembesaran hati yang
cepat serta permukaan yang teraba ireguler pada palpasi. 1
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
a. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutamaditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium afp itu benar pasti suatu
hepatoma cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh usg ataupun ctscann
mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi
dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang
berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan
tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di
sekitar tumor. 1
100
b. Radiologi
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat
menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di
dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah, dua buah
atau lebih atau bisasangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau
berkelompok di dalam hatikanan atau kiri membentuk benjolan besar yang
bisa berkapsul. 1
c. Ultrasonografi
Dengan usg hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati
yangnormal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen).usg
conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2cm
- 3 cm saja. Tapi bila usg conventional ini dilengkapi dengan perangkat
lunakharmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2
cm, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%.1
d. Ct scan
Ct scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam
satupotongan gambar yang dengan usg gambar hati itu hanya bisa dibuat
sebagian-sebagian saja. Ctscann dapat membuat gambar kanker dalam tiga
dimensi danempat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula
memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya. 1
e. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker
yang kitalihat dengan usg yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada
usg bisa sajaukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa
memperlihatkanukuran kanker yang sebenarnya. 1
f. MRI (magnetic resonance imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak magnetic
resonanceangiography(mra) sudah pula mampu menampilkan dan membuat
peta pembuluh darah kanker hati ini. 1
g. Pet (positron emission tomography)
101
Penatalaksanaan medis
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan
saluran cernabagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalahsuatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik,
kegagalan fungsi hati, hipertensiportal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan
sirkulasi darah sindrom inimempunyai risiko kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal
pada pasien dengansirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali
dideskripsikan oleh flintdan frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum
memuaskan; masihbanyak kegagalan sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien
dengan penyakitini buruk. 1
8. Koledokolitiasis
Definisi
Batu saluran empedu : adanya batu yang terdapat pada sal. empedu (Duktus
Koledocus). 1
Etiologi
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-
pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium
dan protein.
Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:
1) Batu empedu kolesterol, terjadi karena :kenaikan sekresi kolesterol dan
penurunan produksi empedu.
107
Patofisiologi
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
a. Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
b. Statis empedu
c. Infeksi kandung empedu
d. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling
penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan
mengendap dalam kandung empedu. 1
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut.
108
Penegakan Diagnosis
Manifestasi Klinik, Anamnesis
a. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
b. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kwadran kanan atas
c. Kandung empedu membesar dan nyeri
d. Ikterus ringan
e. Rasa nyeri (kolik empedu) yang meneta.
f. Mual dan muntah
g. Demam (38,5oC) 1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penunjang
109
Tes laboratorium :
4). Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena
obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbs vitamin K
5). USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya
batu empedu dan distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan
prosedur diagnostik)
6) Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan
untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus
duodenum.
Prinsip penatalaksanaan
a. Mengurangi nyeri.
Kolesistitis Akut
Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami
kolesistitis akut. Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi
mual, muntah, dan panas.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas
dan sering teraba kandung empedu yang membesar dan tanda-tanda peritonitis
.Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan selain lekositosis kadang-
111
kadang juga terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faal hati kemungkinan
akibat kompresi lokal pada saluran empedu.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu
terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume
kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan iskemi dari
dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan
perforasi. Jadi pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada
tahap kemudian terjadi superinfeksi bakteri.
Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu
(kolesistitis akalkulus). Komplikasi lain seperti ikterus, kolangitis, dan
pankreatitis dibahas pada penanganan batu saluran empedu. 1
9. Kolangitis
Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam, sakit
kuning, dan nyeri perut yang berkembang sebagai akibat dari stasis/sumbatan
dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot
sebagai penyakit yang serius dan mengancam jiwa, namun sekarang diakui
bahwa keparahan dapat berkisar dari ringan sampai mengancam.
Koledokolitiasis atau adanya batu diadalam saluran empedu/bilier merupakan
penyebab utama kolangitis akut. 12
A. Etiologi
B. Faktor Resiko
C. Patofisiologi
Bakteri juga dapat dikultur dari batu empedu. Dalam satu studi,
misalnya, 80 persen batu pigmen coklat adalah biakan positif, dan 84 persen
menunjukkan pemindaian elektron bukti mikroskopis struktur bakteri.
115
D. Penegakan diagnosis
1) Tanda dan Gejala
a) Sytemic inflammation
b) Fever and/or shaking chills
c) Laboratory data:evidence of inflammatory respons
d) Cholestasis
e) Jaundice
f) laboratory data: abnormal liver function test
g) Biliary dilatation
h) Evidence of the etiology on imaging (stricture,stone,stent etc). 12
2) Pemeriksaan laboratorium
kurang teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau ikterik,
begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas. 12
3) Pemeriksaan penunjang
E. Penatalaksanaan
1) Terapi Antibiotik
F. Komplikasi
5) Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya
dapat mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan
operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk dikontrol. 12
6) Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat
pada pembedahan sistem bilier yang merupakan anastomosis yang
dibentuk antara duktus empedu dan usus besar bagian asendens.
Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif
sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang
menyebabkan drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem
bilier adalah abses subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien
yang mengalami demam beberapa hari setelah operasi.
123
Hepatitis A
Tidak ada terapi medikamentosa spesifik untu hepatitis A. terapi simptomatik
dan hidrasi yang adekuat sangat penting pada penatalaksanaan infeksi virus
hepatitis A akut. Penggunaan obat yang potensial berrsifat hepatotoksik
sebaiknya dihindari, misalnya parasetamol. Pencegahan penularan infeksi
hepatitis A dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu pemberian
immunoglobulin, vaksinasi, dan kondisi higienis yang baik, seperti cuci
tangan dan desinfeksi. 1
Hepatitis B akut
Infeksi virus hepatitis B akut tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang
diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar infeksi
hepatitis B akut pada dewasa dapat sembuh sponta. Terapi antiviral dini
hanya diperlukan pada kurang dari 1% kasus, pada kasus hapetitis fulminan
atau pasien yang imunokompromais.1
Hepatitis B kronik
Interferon
Asia) hepatitis B dengan HBeAg positif dan dipublikasikan pada tahun 2005
menyatakan bahwa penggunaan Peg-IFN α-2a memberikan hasil yang lebih
baik daripada penggunaan lamivudin atau kombinasi keduanya. Serokonversi
HBeAg terjadi pada 32% pasien yang menerima Peg-IFN saja. Angka ini
lebih baik daripada mereka yang mendapat kombinasi dan lamivudin saja
(27% dan 19%, p<0.001). Pasien yang medapat Peg-IFN saja atau kombinasi
juga memiliki kemungkinan mencapai kadar DNA VHB < 105 kopi/ ml yang
lebih baik daripada pasien yang hanya menerima lamivudin saja (32% vs
34% vs 22% secara berurutan). Respon terhadap terapi interferon umumnya
mampu bertahan dan bahkan meningkat pada pemantauan 5 tahun setelah
terapi interferon. Sebuah studi lain membuktikan bahwa sebagian besar
(81%) pasien yang mengalami hilangnya HBeAg pada akhir terapi akan tetap
dalam kondisi tersebut dalam pemantauan 3 tahun. 9
Penelitian yang ada juga menunjang efektivitas interferon pada pasien dengan
HBeAg negatif. Sebuah penelitian klinis fase III yang melibatkan 564 pasien
(>60% ras Asia) hepatitis B dengan HBeAg negatif menunjukkan bahwa
terapi Peg-IFN α2a memberikan hasil yang lebih baik daripada lamivudin
dalam kriteria normalisasi ALT (59% vs 44%, p=0.004), penekanan DNA
VHB sampai < 2 x 104 kopi/mL (43% vs 29%, p=0.007), penekanan DNA
VHB sampai tidak terdeteksi (19% vs 7%, p<0.001). Hilangnya HBsAg
ditemukan pada 6.8% pasien dengan terapi Peg-IFN, sementara kondisi
tersebut tidak ditemukan pada satupun pasien dengan terapi lamivudin.30
Hasil yang serupa didapatkan pada studi-studi yang menggunakan peg-IFN α-
2b. 9
Komplikasi dari IFN mencakup gejala ”flu like” yang berat, depresi sumsum
tulang, gangguan emosi, reaksi autoimun, dan reaksi-reaksi lainnya.
Kebanyakan efek samping ini bersifat reversibel dan akan hilang bila obat
dihentikan.35 Literatur yang ada menyatakan bahwa efek samping yang
serius hanya terjadi pada 2-4% pasien dan secara umum obat ini dapat
ditoleransi dengan baik.27,36 Interferon secara umum memiliki beberapa
keuntungan, yaitu waktu pengobatan yang relatif singkat, respon pengobatan
yang baik dan cepat, serta tidak adanya resistensi terhadap obat ini. Namun
interferon memiliki kekurangan berupa efek samping yang berat,
pemberiannya yang melalui suntikan, dan tidak dapat digunakan pada pasien
dengan sirosis dekompensata. 9
Lamivudin
Salah satu studi besar yang paling awal mengenai lamivudin dilakukan oleh
Lai et al pada tahun 1999. Pada penelitian yang melibatkan 358 pasien
hepatitis B HBeAg postif dari China ini, ditemukan bahwa pemberian
lamivudin pada dosis optimal (100 mg per hari) mampu mengurangi derajat
inflamasi histologik pada 54% pasien (vs 25% pada plasebo, OR= 4.0, 95%
CI= 2.1-7.4, p<0.001), memicu serokonversi HBeAg pada 16% pasien (vs 4%
pada plasebo, p=0.02), dan normalisasi ALT pada 72% pasien (vs 24% pada
plasebo). DNA VHB juga tidak terdeteksi pada minimal satu pemeriksaan
sepanjang studi pada 96% pasien yang menerima lamivudin (vs 23% pada
plasebo, p<0.001). Sayangnya tidak diketahui jumlah pasien yang tetap
memiliki kadar DNA VHB tidak terdeteksi pada akhir terapi. Studi ini juga
131
Prediktor respon terapi dengan lamivudin adalah kadar DNA VHB yang
rendah dan ALT serum yang tinggi. Sebuah penelitian yang dipublikasikan
tahun 2009 mencoba membandingkan efektivitas lamivudin pada kelompok
pasien yang dibagi berdasarkan kadar DNA VHB dan ALT serum. Hasil yang
paling baik ternyata dicapai oleh kelompok pasien yang memiliki DNA VHB
<109 kopi/mL dan ALT >2x batas atas normal. Kelompok ini berhasil
mencapai angka DNA VHB <104 kopi/mL sampai 76.5% pada terapi 5
tahun, jauh lebih tinggi daripada kelompok pasien dengan DNA VHB <109
133
kopi/mL namun ALT <2x batas atas normal (22.7%) dan kelompok pasien
dengan DNA VHB >109 kopi/mL (11.4%). Kelompok ini juga ternyata lebih
unggul dalam kemungkinan serokonversi HBeAg, dengan angka masing-
masing kelompok mencapai 82.4%, 22.7%, dan 14.3%. Angka resistensi juga
ternyata jauh lebih sedikit pada kelompok pasien dengan DNA VHB <109
kopi/mL dan ALT >2x batas atas normal, dengan kejadian virologic
breakthrough yang disertai mutasi YMDD hanya ditemukan pada 23.5%
pasien pada pemakaian 5 tahun. Angka ini berbeda bermakna dengan 2
kelompok lain yang mencapai 50% dan 60%. Studi ini juga menyatakan hasil
yang lebih baik didapatkan bila pada minggu ke-4 terapi DNA VHB dapat
ditekan sampai di bawah 104 kopi/mL dan pada minggu ke-24 terapi DNA
VHB dapat ditekan sampai ke bawah 103 kopi/mL. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa terapi lamivudin terutama menunjukkan efektivitas yang
baik dan tingkat resistensi rendah pada pasien-pasien dengan ALT basal >2 x
batas atas normal namun, hasil yang paling baik dicapai pada pasien dengan
kadar ALT basal >5 x batas atas normal. Kemampuan lamivudin untuk
menekan DNA VHB pada minggu ke-4 dan minggu ke-24 juga merupakan
prediktor kegagalan terapi. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pasien
yang gagal mencapai penekanan DNA VHB sampai di bawah 104 kopi/mL
pada minggu ke-4 memiliki risiko kegagalan terapi sampai 83.8% dan pasien
yang gagal mencapai penekanan DNA VHB sampai di bawah 103 kopi/mL
pada minggu ke-24 memiliki risiko kegagalan terapi sampai 87.7%. Selain
itu, memperpanjang durasi terapi lamivudin juga bisa meningkatkan
efektivitas seperti dilaporkan pada penelitian di Italia baru-baru ini. 9
Secara umum dapat disimpulkan bahwa lamivudin adalah pilihan terapi yang
murah, aman, dan cukup efektif baik untuk pasien hepatitis B dengan HBeAg
positif maupun negatif. Namun tingginya angka resistensi dan rendahnya
efektivitas bila dibandingkan dengan terapi lain membuat obat ini mulai
ditinggalkan. Walaupun begitu, terapi lamivudin tetap bisa disarankan
134
menjadi terapi lini pertama di Indonesia dan masih bisa menjadi pilihan
utama pada beberapa kondisi seperti pada sirosis dekompensata atau
profilaksis pada pasien yang akan menjalani kemoterapi. Di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, alasan ekonomi adalah salah satu faktor yang
harus dipertimbangkan dalam menentukan pilihan terapi. Sebuah literatur
menyebutkan bahwa beban terapi hepatitis B di negara-negara Asia Pasifik
umumnya masih lebih besar dari pendapatan per kapita negara yang
bersangkutan sehingga lamivudin masih disarankan sebagai terapi lini
pertama di negara-negara ini.55 Namun, beberapa strategi harus diambil
untuk mencegah resistensi terhadap obat ini. Pemberian terapi sesuai dengan
indikasi terapi yang sudah disepakati merupakan salah satu cara untuk
mencegah resistensi. Lamivudin masih bisa menjadi terapi lini pertama di
Indonesia pada pasien dengan DNA VHB <109 kopi/mL (2 x 108 IU/mL),
status HBeAg positif, dan ALT >2x batas atas normal. Selain itu, bila pada
minggu ke-4 pasien tidak mencapai DNA VHB <104 kopi/mL (2 x 103
IU/mL) atau pada minggu ke-24 tidak mencapai DNA VHB <103 kopi/mL (2
x 102 IU/mL), maka penggantian terapi harus dipertimbangkan. 9
1. Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif,
ALT >2x batas atas normal.
2. Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai DNA
VHB < 2 x 103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai DNA VHB <2 x
102 IU/mL. 9
Adefovir Dipivoxil
135
Seperti halnya pada lamivudin, adefovir juga merupakan obat yang kurang
efektif bila dibandingkan pilihan terapi lain, namun efektivitasnya bisa
ditingkatkan bila diberikan hanya pada kelompok yang sesuai. Sebuah
penelitian terbaru menyatakan bahwa kelompok pasien naif yang mendapat
manfaat terbesar dari adefovir adalah kelompok pasien dengan HBeAg
negatif, DNA VHB basal rendah, dan ALT tinggi. Adefovir pada pasien
dengan HBeAg negatif mampu memberikan respon virologis pada akhir 48
minggu terapi pada 88.24% pasien, jauh lebih tinggi daripada hasil kelompok
HBeAg positif yang hanya mencapai 43.59% pasien (p< 0.05). Namun,
sayangnya tidak disebutkan berapa batas DNA VHB dan ALT pada penelitian
yang ada. Walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan antara respon
biokimia pada kedua kelompok, hasil ini bisa cukup menjustifikasi
penggunaan adefovir pada kelompok HBeAg negatif. Selain itu, adanya
kegagalan respon primer dan tidak tercapainya DNA VHB tidak terdeteksi
pada minggu ke-24 terapi juga merupakan prediktor respon yang buruk pada
penggunaan adefovir. Hasil yang serupa juga didapatkan pada penelitian lain
yang melibatkan pasien Asia dan Kaukasia. Maka bisa ditarik kesimpulan
bahwa adefovir dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada
pasien naif dengan HBeAg negatif, DNA VHB rendah, dan ALT tinggi. 9
1) Pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, dengan DNA VHB rendah, dan
ALT tinggi.
2) Pasien dengan riwayat gagal terapi dengan pemberian analog nukleosida.
Entecavir
entecavir lebih baik dari lamivudin, terutama dalam hal menurunkan kadar
DNA VHB. Sebuah penelitian lain juga menyatakan bahwa terapi entecavir
selama 2 tahun memberikan hasil hilangnya HBsAg yang lebih baik daripada
lamivudin (5.1% vs 2.8%). Pasien yang terinfeksi virus genotip A dan D
memiliki kemungkinan hilangnya HBsAg yang lebih besar. 9
Efek jangka panjang entecavir juga telah diketahui baik. Sebuah penelitian
terbaru membuktikan bahwa pemberian terapi entecavir selama 5 tahun dapat
memicu penekanan DNA VHB sampai tidak terdeteksi pada 94% pasien,
normalisasi ALT pada 80% pasien, serokonversi HBeAg pada 23% pasien
dan hilangnya HBsAg pada 1.4% pasien. Tidak ada efek samping yang
bermakna selama 5 tahun dan <1% pasien yang mengalami resistensi.55
Penelitian lain juga menyatakan bahwa pada tahun ketiga terapi entecavir,
tingkat DNA VHB tak terdeteksi, serokonversi HBeAg, dan normalisasi ALT
mencapai 92.1, 43.9, dan 90.4%, dengan resistensi hanya ditemukan pada
1.2% pasien. 9
Efikasi entecavir terhadap pasien dengan HBeAg negatif juga ternyata cukup
baik. Pada sebuah studi acak buta berganda yang melibatkan 648 pasien
HBeAg negatif naïf, didapatkan hasil bahwa terapi entecavir selama 52
minggu memberikan hasil DNA VHB tak terdeteksi pada 90% pasien,
normalisasi ALT pada 78% pasien, perbaikan histologis pada 70% pasien,
dan tidak ditemukan adanya resistensi. Kesemua hasil tersebut lebih unggul
secara bermakna dibandingkan dengan lamivudin. Namun, pada pasien
dengan HBeAg negatif, penghentian terapi setelah target terapi dicapai
ternyata sering menimbulkan relaps. Maka pemberian terapi entecavir seumur
hidup mungkin harus dipertimbangkan pada pasien dengan HBeAg negatif. 9
Telbivudin
Salah satu penelitian terbesar tentang telbivudin adalah studi GLOBE yang
membandingkan efektivitas terapi telbivudin dengan lamivudin pada 921
pasien hepatitis B HBeAg postif dan 446 pasien HBeAg negatif. Terapi
dengan telbivudin selama 52 minggu pada pasien hepatitis B kronik dengan
HBeAg positif memberikan hasil DNA VHB tak terdeteksi pada 60% pasien
141
Studi GLOBE juga memberikan hasil yang lebih baik pada pemberian
telbivudin pada kelompok pasien dengan HBeAg negatif dengan DNA VHB
tak terdeteksi ditemukan pada 88.3% pasien. Angka ini berbeda bermakna
dengan kelompok pasien dengan lamivudin yang hanya mencapai 71.4%.
Lagi-lagi didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna untuk angka
serokonversi HBsAg, perbaikan histopatologis, dan normalisasi ALT. Hasil
pemantauan pada terapi selama 2 tahun juga menunjukkan hasil yang
sebanding dengan terapi 1 tahun. 9
resistensi genotipik pada motif YMDD masih ditemukan pada 2.3-5% pasien
pada terapi tahun pertama dan 21.6% pasien pada terapi tahun kedua.
Resistensi terutama terjadi lewat mutasi titik M204I.40 Mengingat pola
mutasinya yang sesuai, resistensi silang antara telbivudin dan lamivudin
sangat mungkin terjadi. Sebuah penelitian oleh Zeuzem et al menyatakan
bahwa efektivitas telbivudin bisa ditingkatkan dan resistensinya bisa ditekan
bila terapi ini hanya diberikan pada kelompok pasien tertentu saja. Pada
pasien dengan HBeAg positif, DNA VHB basal <109 kopi/mL, ALT basal >2
x batas atas normal, dan terdapat DNA VHB tak terdeteksi pada minggu ke-
24 terapi, maka pada akhir 2 tahun terapi bisa tercapai DNA VHB tak
terdeteksi pada 89% pasien, serokonversi HBeAg pada 52% pasien, dan
resistensi hanya pada 1.8% pasien. Demikian pula pada pasien dengan
HBeAg negatif, DNA VHB basal < 107 kopi/mL, dan terdapat DNA VHB
tak terdeteksi pada minggu ke-24 terapi, maka pada akhir 2 tahun terapi bisa
tercapai DNA VHB tak terdeteksi pada 91% pasien dan resistensi hanya
ditemukan pada 2.3% pasien. Kelompok pasien dengan karakteristik tersebut,
atau disebut “super responders” adalah target utama terapi telbivudin. 9
1) Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif,
ALT >2x batas atas normal.
2) Telbivudin juga dapat diteruskan bila pada minggu ke-24 mencapai DNA
VHB tak terdeteksi.
Salah satu studi klinis besar yang meneliti mengenai efektivitas tenofovir
adalah studi yang dilakukan oleh Marcellin et al dan dipublikasikan pada
tahun 2008. Pada studi yang melibatkan 266 pasien HBeAg positif dan 375
pasien HBeAg negatif ini, efektivitas terapi 48 minggu dengan tenofovir
dibandingkan dengan adefovir. Pada populasi HBeAg positif, tenofovir
mampu menekan DNA VHB sampai <400 kopi/mL pada 76% pasien, jauh
lebih unggul daripada kelompok adefovir, di mana penekanan sampai di
bawah kadar tersebut hanya terjadi pada 13% pasien. Lebih jauh lagi,
tenofovir juga lebih unggul dari adefovir dalam memperbaiki kerusakan
histologis (67% vs 12%), normalisasi ALT (68% vs 54%, p=0.03), dan
serokonversi HBsAg (3% vs 0%, p=0.02). Tenofovir juga lebih unggul dalam
menginduksi serokonversi HBeAg, namun perbedaan ini tidak signifikan
(21% vs 18%, p=0.36). Pada studi ini juga tidak ditemukan timbulnya
resistensi terjadap tenofovir pada pemakaian 48 minggu. Sebuah studi lain
membuktikan bahwa pemakaian tenofovir jangka panjang (sampai 3 tahun)
relatif aman dan efektif. Terapi tenofovir selama 3 tahun mampu menekan
DNA VHB sampai di bawah 400 kopi/mL pada 72% pasien dengan HBeAg
positif. Ditemukan juga hilangnya HBsAg pada 8% pasien yang diterapi.
Terapi selama tiga tahun ini juga tidak memunculkan resistensi maupun efek
samping yang berarti. 9
144
Tenovofir memiliki profil resistensi yang cukup baik sehingga obat ini efektif
digunakan pada pasien yang sudah mengalami resistensi dengan terapi lain.
Pada sebuah penelitian yang melibatkan pasien-pasien hepatitis B yang gagal
dengan terapi lamivudin atau adefovir, pemberian tenofovir mampu menekan
DNA VHB sampai di bawah 400 kopi/mL pada 95% pasien, menginduksi
serokonversi HBeAg pada 20% pasien, menormalisasi ALT pada 71% pasien,
dan menginduksi HBeAg pada 5% pasien. 9
Hepatitis C
1) Akut
145
a) Interferon
147
b) Ribavirin
A. Mekanisme kerja
Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purin-nya tidak lengkap.
Setelah mengalami fosforilasi intrasel, ribavirin trifosfat mengganggu tahap
awal transkripsi virus, seperti proses capping dan elongasi mrna, serta
menghambat sintesis ribonukleoprotein. 13
B. Resistensi
Hingga saat ini belum ada catatan mengenai resistensi terhadap ribavirin,
namun pada percobaan di laboratorium menggunakan sel, terdapat sel-sel
yang tidak dapat mengubah ribavirin menjadi bentuk aktifnya. 13
C. Spektrum aktivitas
Virus DNA dan RNA, khususnya orthomyxovirus (influenza A dan B),
paramyxovirus (cacar air, respiratory syncytial virus (RSV) dan arenavirus
(Lassa, Junin, dll). 13
D. Indikasi
Terapi infeksi RSV pada bayi dengan risiko tinggi. Ribavirin digunakan
dalam kombinasi dengan interferon alfa atau pegylated interferon alfa untuk
terapi infeksi hepatitis C. 13
E. Dosis
Per oral dalam dosis 800-1.200 mg per hari untuk terapi infeksi HCV; atau
dalam bentuk aerosol (larutan 20 mg/ml). 13
F. Efek samping
150
Hepatitis D
1
Lanjutin yang dari laporan tapi di paragraf akhir, diilangin obat famciclovir nya
a) Lamivudin
Lamivudin merupakan L-enantiomer analog deoksisitidin. Lamivudine
dimetabolisme di hepa. Tosit menjadi bentuk trifosfat yang aktif. Lamivudin
bekerja dengan cara menghentikan sintesis DNA, secara kompetitif
menghambat polimerase virus (reverse transcriptase, RT). Lamivudin tidak
hanya aktif terhadap HBV wild-type saja, namun juga terhadap varian
precore/core promoter. Selain itu, ada bukti bahwa lamivudin dapat
mengatasi hiperresponsivitas sel T sitotoksik pada pasien yang terinfeksi
kronik. 13
A. Resistensi
Resistensi terhadap lamivudin disebabkan oleh mutasi pada DNA polimerase
virus.
B. Farmakokinetik
151
Bioavailabilitas oral Iamivudin adalah 80%. Cmax tercapai dalam 0,5-1,5 jam
setelah pemberian dosis. Lamivudin didistribusikan secara luas dengan Vd
setara dengan volume cairan tubuh. Waktu paruh plasmanya sekitar 9 jam dan
sekitar 70% dosis diekskresikan dalam bentuk utuh di urin. Sekitar 5%
lamivudin dimetabolisme menjadi menjadi bentuk tidak aktif. Dibutuhkan
penurunan dosis untuk insufisiensi ginjal sedang (clcr < 50 ml/menit).
Trimetoprim menurunkan klirens renal lamivudin. 13
C. Indikasi
Infeksi HBV (wild-type dan precore variants).
D. Dosis
Per oral 100 mg per hari (dewasa); untuk anak-anak 1 mg/kg yang bila perlu
ditingkatkan hingga 100 mg/hari. Lama terapi yang dianjurkan adalah 1 tahun
pada pasien hbeag negatif ; dan lebih dari 1 tahun pada pasien yang hbe
positif. 13
E. Efek samping
Obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang terjadi
seperti fatigue, sakit kepala dan mual. Peningkatan kadar ALT dan AST dapat
terjadi pada 30-40% pasien. Biasanya peningkatan kadar ALT dan AST
berhubungan dengan munculnya mutan HBV yang resisten terhadap
lamivudin. Asidosis laktat dan hepatomegali dengan steatosis yang timbul
pada dosis yang lebih besar (300 mg, untuk HIV) tidak reriadi pada terapi
infeksi HBV. 13
b) Adefovir
A. Mekanisme kerja dan resistensi
Adefovir merupakan analog nukleotida asiklik. Adefovir telah memiliki satu
gugus fosfat dan hanya membutuhkan satu langkah fosforilasi saja sebelum
obat menjadi aktif. Adefovir merupakan penghambat replikasi HBV sangat
kuat yang bekerja tidak hanya sebagai DNA chain terminator, namun diduga
152
B. Spektrum aktivitas
HBV, hlv dan retrovirus lain. Adefovir juga aktif terhadap virus herpes.
C. Farmakokinetik
Adefovir sulit diabsorpsi, namun bentuk dipivoxil prodrug-nya diabsorbsi
secara cepat dan metabolisme oleh esterase di mukosa usus menjadi adefovir
dengan bioavailabilitas sebesar 50%. Ikatan protein plasma dapat diabaikan,
Vd setara dengan cairan tubuh total. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian
oral adefovir dipivoxil sekitar 5-7 jam. Adefovir dielimi13nasi dalam keadaan
tidak berubah oleh ginjal melalui sekresi tubulus aktif.
D. Indikasi.
Infeksi HBV. Adefovir terbukti efektif dalam terapi infeksi HBV yang
resisten terhadap lamivudin. 13
E. Dosis
Per oral dosis tinggal 10 mg perhari. 13
F. Efek Samping
Pada umumnya adefovir 10 mg/ hari dapat ditoleransi dengan baik. Setelah
terapi selama 48 minggu, terjadi peningkatan kreatinin serum 2 0,5 mg/dl di
atas baseline pada 13% pasien yang umumnya memiliki faktor risiko
disfungsi renal sejak awal terapi. Umumnya pasien melanjutkan terapi tanpa
penyesuaian dosis. 13
Hepatitis E
Suportif dan simptomatik. 1
153
Terapi
Metronidazol (35-50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7-10 hari) atau tinidazol
(60 mg/kg/hr selama 5 hari) merupakan terapi pilihan. Sembilan puluh lima
persen abses amuba tanpa komplikasi membaik dengan pemberian
metronidazol saja. Gejala klinis biasanya membaik dalam waktu 24 jam.8
Terapi metronidazol yang adekuat menyembuhkan 90% kasus. Dosis perlu
154
Farmakokinetik metronidazol
Metronidazol diabsorbsi baik melalui oral sekitar 80% dan didistribusikan
secara luas di dalam tubuh. Obat ini dimetabolisme di hepar sehingga dosis
harus diturunkan apabila diberikan pada penderita gangguan hepar.
Diekskresikan melalui urin dan feses. 1
capsule
375mg
tablet
250mg
500mg
tablet, extended-release
750mg
infusion solution
500mg/100mL. 14
Dosis Amebiasis
ADME
Mekanime Aksi
Menghambat sintesis asam nukleat dengan mengganggu DNA dan
menyebabkan kerusakan untai; amebicidal, bakterisida, trichomonacidal. 14
Absorpsi
Bioavailability: 80% absorpsi dari traktus gastrointestinal (per oral)
Protein (<20%)
Puncak waktu serum: 1-2 hr. 14
Distribusi
Didistribusikan secara luas; pola serupa untuk PO dan IV. 14
Metabolisme
Pada liver
157
Elimination
Waktu paruh: 25-75 jam (neonatus); 8 jam (lainnya); berkepanjangan pada
pasien dengan gangguan hati
Ekskresi: Urin (77%); feses (14%). 14
Paromomycin
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, obstruksi usus
Pengobatan jangka panjang dapat menyebabkan superinfeksi jamur atau bakteri
Perhatian pada gangguan ginjal atau pasien dengan lesi usus ulseratif. 15
Mekanisme aksi
Aminoglikosida; mengganggu sintesis protein bakteri dengan mengikat subunit
ribosom 30S; memiliki antibakteri terhadap organisme patogen di saluran
pencernaan. 15
Farmakokinetik
Absorpsi: Kurang
Ekskresi: Feses (100% sebagai obat tidak berubah). 15
158
Prinsip pengobatan
Tujuan pengobatan
Mencegah komplikasi dari abses hati piogenik, karena pasien dengan abses yang
sangat besar sangat mudah mengalami sepsis. 1
Mekanisme pengobatan
Dosis
ADME
Metronidazole
Penicilin
Amoxicilin
1) Cefotaxime
Dosis :
Injeksi 20-40 ml
Bubuk untuk suntikan :
500 mg, 1 g, 2g , 10 g. 17
Mekanisme kerja:
Absorpsi :
Waktu plasma puncak: IM, 30 menit. 17
Distribusi :
Didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh dan cairan, termasuk aqueous
humor, cairan ascitic dan prostat, tulang, menembus CSF ketika meninges
meradang. Didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh dan cairan, termasuk
aqueous humor, cairan ascitic dan prostatic, dan tulang; menembus CSF ketika
meninges meradang. 17
161
Metabolisme :
Sebagian dimetabolisme di hati, metabolite Desacetylcefotaxime (aktif). 17
Eliminasi :
Induk obat, 1-1,5 jam; metabolit aktif, 1-1,9 jam
Ekskresi: Urine. 17
2) Cefixime
Dosis :
Kapsule 400 mg
Tablet 100-200mg
Oral 100mg/5ml. 18
Mekanisme kerja :
Sefalosporin oral generasi ketiga dengan aktivitas luas melawan bakteri gram
negatif; dengan mengikat ke 1 atau lebih protein penicillin-mengikat, itu
menangkap sintesis sel-dinding bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. 18
Absorpsi :
Bioavailabilitas: 40-50%
Konsentrasi plasma puncak rata-rata: 2 mcg / mL (tunggal 200 mg-tablet); 3,7
mcg / mL (tunggal 400 mg-tablet). 18
Distribusi:
Didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dan mencapai konsentrasi
terapeutik di sebagian besar jaringan dan cairan tubuh, termasuk sinovial,
perikardial, pleura, dan peritoneal; empedu, sputum, dan urin; tulang,
miokardium, kandung empedu, kulit, dan jaringan lunak. 18
Eliminasi
Ekskresi: Urine (50% sebagai obat tidak berubah), feses (10%). 18
3) Cefpodoxime
Dosis :
Tablet 100-200 mg
Oral 50-100mg/5ml. 19
Mekanisme kerja:
Absorpsi:
Bioavailabilitas: 50%; asam stabil
Puncak waktu plasma: ≤1 jam. 19
Distribusi
Didistribusikan dengan baik ke dalam jaringan, termasuk paru-paru dan
amandel; menembus ke cairan pleura
Protein terikat: 18-23%. 19
163
Metabolisme:
Metabolisasi dalam hati menjadi metabolit aktif. 19
Eliminasi:
Ekskresi: Urin (80% sebagai obat tidak berubah) dalam 24 jam. 19
164
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA