Anda di halaman 1dari 165

1

a. Skenario
SKENARIO 3
Mata dan Badan Ikterik
Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke dokter dengan keluhan mata dan
badan tampak kuning. Pasien juga mengeluhkan demam, mual, muntah, nyeri ulu
hati, serta BAK seperti teh sejak 5 hari yang lalu. Riwayat kebanjiran disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan dengan sklera
ikterik, hepar teraba 2 jari dibawah arcus costa, tepi tumpul, nyeri tekan (+). Hasil
laboratorium di dapatkan (Lihat grafik dibawah). Dokter memberikan
penatalaksanaan dan menjelaskan tentang penyakit tersebut pada pasien.

b. Klarifikasi Istilah
STEP 1
1. Ikterik: kondisi yang ditandai berwarna kuning dimata dan kulit

c. Rumusan Daftar Masalah


STEP 2
1. Mengapa pasien mengalami keluhan mata dan badan tampak kuning ?
2

2. Bagaimana mekanisme terjadinya muntah, nyeri ulu hati, BAK teh dan ikterik ?
3. Apa hubungan riwayat kebanjiran dengan kasus ?
4. Mengapa pada pasien tampak sakit ringan dengan sklera ikterik ?
5. Bagaimana penegakan diagnosis dan apa saja kemungkinan kelainan yang
terjadi pada pasien ?
6. Bagaimana interprestasi hasil grafik labolatorium pada kasus tersebut ?
7. Bagaimana faktor resiko sehingga bisa timbul gejala ?
8. Apa etiologi pada kasus ?
9. Bagaimana tatalaksana pada kasus ?

d. Analisis Masalah
STEP 3
1. - karena adanya hiperbilirubin pada pembuluh darah
- terjadinya obstruksi pada saluran empedu
- karena terganggunya sel-sel hepatosit di hepar
2. a. Demam : karena adanya inflamasi  hipotalamus 
meningkatkan suhu
b. Ikterik : adanya gangguan di bagian prehepatik/ intrahepatik/ posthepatik
c. BAK teh : bilirubin tak diekresikan dan sekresi dengan baik sehingga
pembuangan hanya terjadi melalui urin saja
d. Mual : ada peradangan di ulu hati menstimulasi n. Vagus  mual
e. Nyeri ulu hati: infeksi agen  hepar terinfeksi
3. Untuk menyingkirkan kemungkinan leptospirosis dan untuk memastikan
lingkungan dan makanan yang dimakannya itu bersih
4. Hepar teraba : hepar mengalami pembengkakkan
Sklera kuning : karena selaput dibagian mata tipis
5. Anamnesis
PF
PP : serologi, biokimia hati, USG abdomen
Kemungkinan kelainan
3

a. prehepatik = heme dan globulin


b. hepatik = obstuksi hepar
c. posthepatik= obstuksi di kandung empedu
6. Viremia = virus di pembuluh darah pada minggu ke 5
ALT (enzim hepar)  meningkat pada critical illnes
IgM  pada critical illnes meningkat setelah infkesi minggu 1 dan minggu ke
5 menurun
IgG  setelah infeksi menandakan infeksi kronis
Jadi infeksi kronis
7. a. penggunaan obat
b. kontak langsung
c. virus / bakteri
d. alkohol
e. sosial ekonomi
f. makanan / minuman terkontaminasi
g. obat-obatan toksik
8. Etiologi  virus hepatitis A,B,C,D,E
Kolesistitis
Kolelitiasis
9. Hepatitis A
Farmako
- simtomatik
- antivirus = hepatoprotektan

Non farmako

- higienitas
- cairan adekuat
- vaksinasi
- diet seimbang
4

STEP 4
1. Bilirubin
Heme  heme oksigenase  biliverdin  bilirubin bebas  albumin 
bilirubin konjugasi  urobilinogen  ginjal  urobilin
urobilinogen  colon sterkobilinogen  sterkobilin
2. ikterik: hemolitik  sebelum hepar peningkatan seluler
hepatoseluler  dihepar yang terganggunya albumin, feces pucat
obstruksi  penyumbatan diduktus
mual: terjadi hepatomegali  mendesak abdomen  peningkatan HCL
3. Kebanjiran  higienitas berkurang memudahkan virus / bakteri
bajir leptospirosis
4. hepatomegali = inflamasi  peradangan di hepar  hepatomegali  nyeri
5. Ikterus: cek urin pekat, cek bilirubin pada darah, kelainan pada darah
Anamnesis : mual, muntah, ikterik, nyeri kepala, urin gelap, nyeri perut kanan
atas, adanya hepatomegali
PF: hepatomegali, nyeri perut kanan atas, ikterik
PP: Serologi : IgM anti-VHA (+)  infeksi akut
IgG anti-VHA (+)  riwayat terinfeksi
Biokimia: ALT meningkat dibanding AST pada ikterik
Diagnosis : Hepatitis A
6. SGOT  selain hati jantung, 3-4,5µ/L
SGPT  dihati, 8-35µ/L
7. Tranfusi pakai selang bekas orang yang terkontaminasi
a. Fecal oral
b. Sex
8. Sudah cukup jelas
9. Lamivudin  untuk menhambat enzim virus
Ribavirin interveron  imunomodulasi ketika virus masuk  menghambat
replikasi virus
AARC  menghambat batu
5

Indikasi rawat inap  mual muntah hebat, cairan menurun


Amunoglobulin direkomendasikan sebagai profilaksis
Analgetik menghindari dari hepatitis A

Mind Map
Faktor resiko Etiologi
Diagnoasis
banding
Komplikasi

Hepatitis A,B,C,D,E
Sirosis hati Ikterus
Abses hati (Gangguan
Fatty liver Hepatobilier)
Kolelitiasis
Kolesistitis
CA Hepar
Koledocolitiasis
Kolangitis Pencegahan
Tatalaksana Penegakan
diagnosis

Farmako Anamnesis PF PP

Non
farmako
6

e. Sasaran Belajar
STEP 5
1. Bagaimana etiologi dan faktor resiko dari kelainan hepatobilier ?
2. Bagaimana patomekanisme sampai terjadinya manifestasi klinis kelainan
hepatobilier ?
3. Bagaimana penegakan diagnosis ?
4. Bagaimana penatalaksanaan kelainan hepatobilier farmako dan non farmako ?
5. Bagaimana pencegahanan kelainan hepatobilier ?
6. Bagaimana komplikasi dari penyakit hepatobilier ?

f. Belajar Mandiri
STEP 6
Belajar mandiri

g. Penjelasan
STEP 7
1. Bagaimana etiologi dan faktor resiko dari kelainan hepatobilier ?
a. Hepatitis A

Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati. Hepatitis A adalah
hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A Virus. Infeksi virus
hepatitis A dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, diantaranya
adalah hepatitis fulminant, autoimun hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis
relaps, dan sindroma pasca hepatitis (sindroma kelelahan kronik). Hepatitis
A tidak pernah menyebabkan penyakit hati kronik. 1

Etiologi Hepatitis A

Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk virus


RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri
ikosahedral, diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung.
Mempunyai protein terminal VPg pada ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung
7

3’nya. Panjang genom HAV: 7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus


dapat diklasifikasikan dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus. 2

Gambar Skematik virus Hepatitis A. 2


Faktor resiko dan transmisi

Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan minuman yang
terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini terutama
menyerang golongan sosial ekonomi rendah yang sanitasi dan higienenya kurang
baik. Masa inkubasi penyakit ini adalah 14-50 hari, dengan rata-rata 28 hari.
Penularan berlangsung cepat. 1

b. Hepatitis B
Etiologi

Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil


berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter
40-42 nm. Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90
8

hari. Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein,
sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core. 1

Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan


3200 nukleotida. Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open
Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih secara parsial protein
envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs),
medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang
merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam
amino 100-160 . HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe
antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HbsAg ini menyediakan
penanda epidemiologik tambahan . 1

Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang
mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan
terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal
sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen
virus ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan
terjadinya kanker hati. 1
9

Gambar Skematik virus hepatitis B. 2


Faktor resiko
Menurut WHO (2002), terdapat beberapa kelompok yang berisiko terinfeksi
virus hepatitis B:
1). Anak yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi hepatitis B.
2). Anak-anak kecil di tempat perawatan anak yang tinggal di lingkungan
yang endemis.
3). Tinggal serumah atau berhubungan seksual (suami -istri) dengan
penderita. Risiko tertular untuk orang yang tinggal serumah terjadi karena
menggunakan peralatan rumah tangga yang bisa terkena darah seperti pisau
cukur, sikat gigi.
4). Pekerja Kesehatan. Paparan terhadap darah secara rutin menjadi potensi
utama terjadinya penularan di kalangan kesehatan.
5). Pasien cuci darah
10

6). Pengguna narkoba dengan jarum suntik


7). Mereka yang menggunakan peralatan kesehatan bersama seperti pasien
dokter gigi, dan lain lain. Karena itu, seharusnya dokter menggunakan alat
sekali pakai atau mensterilkan alat setiap kali pemakaian.
8). Orang yang memberi terapi akupuntur atau orang yang menerima terapi
akupuntur.
9). Mereka yang tinggal di daerah endemis, atau sering bepergian ke daerah
endemis hepatits B.
10). Mereka yang berganti-ganti pasangan, dan ketidaktahuan akan kondisi
kesehatan pasangan. 1

c. Hepatitis C
Hepatitis C merupakan infeksi virus hepatitis C (VHC) pada hati yang umumnya
bersifat kronis. Menurut data WHO tahun 2014, lebih dari 185 Juta penduduk
dunia telah terinfeksi VHC dan 350.000 jiwa di antaranya meninggal setiap
tahunnya. Di Asia Tenggara prevelansi Hepatitis C ialah 2.0% pada populasi
dewasa. Berdasarkan Riskesdas 2007. angka seroprevalensi anti-VHC pada laki-
laki di Indonesia. yaitu 1.7% sementara pada perempuan ialah 2.4%. Namun
angka tersebut diprediksi lebih rendah karena banyaknya kasus yang tidak
terdeteksi. 1

Etiologi

VHC merupakan virus RNA rantai tunggal, sferis, dengan selubung glikoprotein
yang tergabung dalam family Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Protein pada
selubungnya akan membantu terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama HCV
adalah hepatosit, namun dapat punya menginfeksi leukosit, limfosit T, limfosit B,
dan limpa. VHC lebih lanjut dapat dikategorikan menjadi enam genotipe berbeda
dan lebih dari 50 subtipe. Enam genotipe tersebut juga memiliki distribusi
geografis yang berbeda, genotipe 6 merupakan yang paling dominan di wilayah
Asia Tenggara. Meskipun belum menjadi pemeriksaan rutin, identifikasi genotipe
11

VHC tersebut memiliki signifikansi terhadap rekomendasi regimen terapi yang


akan diberikan. 2

Faktor Risiko

a) Pengguna obat injeksi (67%)


b) Resipien darah atau produk datah di fasilitas dengan kontrol infeksi tidak
adekuat
c) Anak yang lahir dari ibu terinfeksi VHC. Tingkat transmisi VHC perinatal
ialah 48% (tanpa koinfeksi HIV) atau 17-25% (dengan koinfeksi HIV)
d) Individu yang berhubungan seksual dengan pengidap VHC.
e) individu dengan infeksi HIV
f) Individu pengguna obat intranasal
g) serta lndividu dengan tatto atau tindik. 1

d. Hepatitis D
Etiologi

Hepatitis D merupakan patogen RNA yang fungsinya bergantung pada


bantuan yang disediakan oleh virus hepatitis B dalam replikasinya. Virus
hepatitis D merupakan satu-satunya anggota Deltavirus. Virus hepatitis D
terdiri dari 8 genotipe yang berbeda pada sekuens nukleotida sebesar 40%.
Hepadnavirus lainnya dapat menunjang pertumbuhan virus hepatitis D.
Masing-masing virion berukuran sekitar 36 nm dan berada pada selubung
HBsAg. Genom tersebut terdiri dari molekul RNA sirkular untai tunggal
yang mengandung kira-kira 1.7 kb; masing-masing genom diasumsikan
sebagai struktur yang berbentuk mirip batang, sebagai hasil dari pasangan
basa ekstensif dan dua buah struktur fosfoprotein yang membagi aktivitas
antigen berupa HDAg. Karena genom tersebut hanya mengandung 1700
nukleotida, viruf hepatitis D merupakan virus hewan terkecil, mirip
dengan viroid RNA yang terdapat pada tumbuhan. 1
12

Virus hepatitis D hanya membutuhkan selubung HBsAg untuk berikatan


dengan hepatosit dan membentuk virion. Baik untai genomik maupun
untai antigenomik dari HDV-RNA mempunyai segmen yang mengandung
kurang dari 100 basa yang berperan seperti ribozyme. Replikasi virus
hepatitis D mempunyai siklus yang mirip dengan replikasi viroid dari
tumbuhan. Siklus hidup virus hepatitis D diregulasi oleh antigen hepatitis
D, satu-satunya protein yang diekspresikan oleh virus hepatitis D. Antigen
hepatitis D diperbaiki oleh adenin deaminase selular untai ganda menjadi
HDAg yang kecil (SHDAg, 195 residu asam amino; dan HDAg yang besar
(L-HDAg, 214 residu asam aminoi) dimana S-HDAg akan membantu
replikasi, sedangkan L-HDAg berperan dalam pembentukan virion. 1

Gambar Skematik virus Hepatitis Delta. 2


13

Faktor resiko

Infeksi virus hepatitis D endemik pada tahun 1980 pada banyak area di dunia.
Frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada area tropis dan subtropis yang
mempunyai prevalensi infeksi virus hepatitis B. Karena dalam 20 tahun terakhir
infeksi virus hepatitis B mulai dapat ditanggulangi, maka infeksi hepatitis D juga
menurun secara signifikan. 1

e. Hepatitis E
Virus hepatitis E (HEV) merupakan agen yang berbeda, tidak berhubungan
dengan HAV menyebabkan epidemik dan sebagian besar ditularkan melalui air
secara enterik, dan merupakan hepatitis akut. 1
Etiologi

Genom serat tunggal, poli (A) RNA dengan panjang sekitar 8000 pasangan basa.
Ukuran diameter 32-34 nm. Bentuk sferis, tidak mempunyai selubung,
mempunyai tonjolan pada permukaannya. Virus ini sensitif terhadap CsCl,
pembekuan pencairan berulang 2

Faktor resiko dan transmisi


Transmisi:
a) Terutama oral-fekal;
b) Infeksi HEV melalui makanan saat ini lebih banyak yang terdeteksi
c) Transmisi vertikal pada wanita hamil yang terinfeksi HEV mencapai 50%;
d) Transmisi parenteral tampak cukup rendah;
e) Tidak ada bukti transmisi terjadi melalui hubungan seksual.

Viremia biasanya berlangsung singkat, kecuali pada pasien imunosupresif


(misalnya pasien yang habis melakukan transplantasi ginjal), di mana dapat
berlarut-larut. Muncul fakta bahwa HEV dapat menyebabkan infeksi zoonotik dan
14

pejamu mamalia lainnya dapat menjadi reservoir penting untuk penyakit pada
manusia. 1
Tabel Perbedaan virus hepatitis. 3

f. Sirosis hati
Etiologi
Tabel Penyebab sirosis hati. 1
15

g. Abses hati
1) Abses hati amuba

Definisi

Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-


inflamatori purulen di dalam parenkin hati yang disebabkan oleh amuba,
terutama Entamoeba histolytica. 1

Etiologi

Parasit amuba, yang tersering entamoeba histolytica. 1

Faktor resiko

Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar
dengan kista. Konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi. 1

2) Abses hati piogenik


16

Definisi

Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada jaringan hati
yang disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran darah, sistem bilier,
maupun penetrasi langsung. 1

Etiologi

Kebanyakan AHP merupakan akibat infeksi dari tempat lain, dimana sumber
infeksi umumnya berasal dari infeksi organ intra abdomen lain. Kolangitis yang
disebabkan oleh batu maupun striktur merupakan penyebab tersering. Terdapat
15% kasus AHP yang sumber infeksinya tidak diketahui (abses kriptogenik).

Dengan menggunakan teknik isolasi kuman anaerobik yang ketat, saat ini
ditemukan 45-75% AHP disebabkan oleh bakteri anaerobik ataupun infeksi
campuran bakteri aerobik dan anaerobik. Bacteroides dan fusobacterium
merupakan bakteri anaerobik penyebab AHP terbanyak. Infeksi polimikrobial
umumnya disebabkan oleh bakteri anaerobik.

Escherichia coli dan klebsiella pneumoniae merupakan kuman yang paling


banyak diisolasi pada kelompok bakteri aerobik gram negatif. Klebsiella terutama
ditemukan pada pasien AHP dengan DM dan intoleransi glukosa. Pada kelompok
bakteri gram positif, staphylacocci paling sering ditemukan pada infeksi
monomikrobial, streptococci dan enterococci paling sering ditemukan pada
infeksi polimikrobial. Pada suatu studi besar, ditemukan s. Aureus an
streptococcus β-hemolyticus merupakan bakteri penyebab AHP pada trauma,
streptococcus grup D, K. Pneumonia, dan clostridium sp. Berhubungan dengan
infeksi sistem bilier, serta bacteroides dan clostridium sp. Berhubungan dengan
penyakit colon. 1

Faktor resiko

Makanan dan minuman terkontaminasi, konsumsi alkohol. 1


17

h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Definisi
Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidak-sepahaman dalam
terminologi penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan
istilah perlemakan hati non aikohoiik (nonalcoholic fatty liver = NAFL)
atau penyakit perlemakan hati non alkoholik (nonalcoholic fatty liver
disease = NAFLD). Pada umumnya disepakati bahwa steatohepatitis non
alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis = NASH) merupakan perlemakan
hati pada tingkat yang lebih berat.
Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di
hati (sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat
hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis
dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati. yaitu
ditemukannya minimal 5-10℅ sel lemak dari keseluruhan hepatosit.
Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian non
alkoholik. Batas untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak
bermakna sempat menjadi perdebatan, tetapi lebih banyak ahli yang
menyepakati bahwa konsumsi alkohol sampai 20% per hari masih bisa
digolongkan sebagai non alkoholik. 1

Etiologi
1) Primer, yaitu sindrom metabolik
2) Sekunder :
a) Nutrisional, seperti total parenteral nutrition, kehilangan
berat badan yang cepat, kelaparan, pembedahan bypass
pada saluran cerna.
18

b) Obat-obatan, seperti glukokortikoid, estrogen, tamoxifen,


metotreksat, zidovudin, amiodaron, tetrasiklin intravena,
didadosin, kokain, perhexilen, hipervitaminosis A,
diltiazem.
c) Toksin, seperti toksin jamur (Amanita phalloides, lepiota),
bahan petrokimia, fosfor, toksin Bacillus cereus.
d) Metabolik, seperti lipodistrofi, disbetalipoproteinemia,
penyakit Weber-Christian, penyakit Wolman dan sindrom
Reye.
e) Lain-lain, seperti inflammatory bowel disease, HIV,
divertikulosis usus halus dengan pertumbuhan bakteri. 1

Faktor resiko
Resistensi insulin, asupan asam lemak ke hati, berat badan. 1

2) Perlemakan hati alkoholik


Etiologi
Penyebab hepatitis alkoholik belum jelas, tetapi kemungkinan berawal
dari satu atau lebih hasil sampingan yang toksik dan hasil metabolisme
etanol yang toksik :
1) Acetaldehyde (mayoritas dari metabolit etanol).
2) Alkohol.
3) Reactive oxygen species (ROS) dihasilkan selama oksidasi etanol.
4) lnflamasi yang diperantarai sitokin. 1

Faktor resiko

Di negara barat lebih dari 60% penyakit hati kronik disebabkan oleh karena
konsumsi etanol yang berlebihan, dan sebanyak 40% sampai 50% kematian
19

disebabkan oleh sirosis karena alkohol. Perhitungan statistik berikut ini


membuktikan betapa besar problem ini di Amerika serikat:

a. Lebih dari 10 juta penduduk Amerika adalah alkoholik.


b. Penyalahgunaan alkohol termasuk dalam 5 besar penyebab kematian,
artinya penyalahgunaan alkohol tersebut bertanggung jawab atas 80.000
hingga 85.000 kematian pertahun; 20,000 di antaranya secara langsung
berasal dari stadium akhir sirosis, dan 10.000 hingga 20.000 disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
c. Pasien yang dirawat di rumah sakit 25%-30% memiliki problem yang
terkait dengan penyalahgunaan alkohol.

Konsumsi alkohol menahun menyebabkan banyak efek yang merugikan.


Perlemakan hati terjadi pada 90% sampai 100% peminum berat, dan 10%-
35% akan berkembang menjadi hepatitis alkoholik. Hanya 8%-20% yang
berkembang menjadi sirosis hepatis. Perlemakan hati, hepatitis alkoholik dan
fibrosis adalah entitas yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga tidak menyatakan
suatu proses perubahan yang berkelanjutan. Karsinoma sel hati dapat timbul pada
10% sampai 20% pasien dengan sirosis alkoholik. 1

i. Kolelitiasis

Etiologi

Batu empedu memiliki beberapa variasi. Sebagian besar terutama


terbentuk dari kolesterol dengan atau tanpa endapan kalsium. Pada pasien
dengan penyakit hemolitik kronik, dapat terbentuk batu bilirubin. Pasien
dapat memiliki satu atau lebih tanda berikut, bergantung pada kausa dan
mekanisme patofisiologis yang berperan: beberapa batu besar; atu kecil
tetapi banyak; atau "sludge" ("lumpur pekat"), suatu gel kental akibat
pemekatan empedu yang diperkirakan mudah membentuk batu. 4
20

Faktor resiko

Batu empedu umumnya asimtomatik, yang ditemukan secara kebetulan


saat otopsi atau pembedahan untuk penyakit lain. Dari pasien-pasien yang
memang mengalami gejala yang berkaitan dengan kolelitiasis gejala awal
dapat berkisar dari mual atau tidak enak diperut yang ringan setelah
mengkonsumsi makanan berlemak atau gorenngan hingga nyeri abdomen
midepigastrium atau kuadran kanan atas yang hebat serta ikterus. Riwayat
gejala ringan kronik yang berkaitan dengan makanan biasanya mendahului
serangan nyeri abdomen akut. 4

j. Kolesistitis

Etiologi

Faktor yangmempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah


stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung
empedu. Penyebab utama kolesisititis akut adalah batu kandung empedu
yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu .
Diperkirakan banyak factor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding empedu diikuti oleh reaksi inflamasi. 1

Faktor resiko

Mengkonsumsi makanan berlemak, alkohol. 1

2. Bagaimana patomekanisme sampai terjadinya manifestasi klinis kelainan


hepatobilier ?
a. Hepatitis A
21

Patogenesis Hepatitis A Virus

HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan traktus
gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian di
transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana
pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus
menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus
didalam feses dan hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi
terbesar virus yang di ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum
onset ikterus, dan akan menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan
bayi dapat terus mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala
klinis. Berikut ini merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A. 1
22

Gambar Patofisiologi hepatitis A. 5

Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari HAV;
Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro. Pada
periode inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan dengan
23

ketiadaan respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak terjadi.22
Banyak bukti berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal yang paling
berperan dalam patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang terjadi pada sel
hepar terutama disebabkan oleh mekanisme sistem imun dari Limfosit-T
antigen-specific. Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific, dan juga sitokin,
seperti gamma-interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α), interleukin-6 (IL-6),
dan tumor necrosis factor (TNF) juga berperan penting dalam eliminasi dan
supresi replikasi virus. Meningkatnya kadar interferon didalam serum pasien
yang terinfeksi HAV, mungkin bertanggung jawab atas penurunan jumlah
virus yang terlihat pada pasien mengikuti timbulnya onset gejala klinis.
Pemulihan dari hepatitis A berhubungan dengan peningkatan relatif dari sel
CD4+ virus-specific dibandingkan dengan sel CD8+. Immunopatogenesis dari
hepatitis A konsisten mengikuti gejala klinis dari penyakit. Korelasi terbalik
antara usia dan beratnya penyakit mungkin berhubungan dengan
perkembangan sistem imun yang masih belum matur pada individu yang lebih
muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan dan berlanjut kepada
manifestasi penyakit yang lebih ringan. Dengan dimulainya onset dari gejala
klinis, antibodi IgM dan IgG antiHAV dapat terdeteksi.Pada hepatitis A akut,
kehadiran IgM anti-HAV terdeteksi 3 minggu setelah paparan, titer IgM anti-
HAV akan terus meningkat selama 4-6 minggu, lalu akan terus turun sampai
level yang tidak terdeteksi dalam waktu 6 bulan infeksi. IgA dan IgG anti-
HAV dapat dideteksi dalam beberapa hari setelah timbulnya gejala. Antibodi
IgG akan bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi dan memberikan
imunitas seumur hidup. Pada masa penyembuhan, regenerasi sel hepatosit
terjadi. Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih dalam 8-12 minggu. 5

Manifestasi Klinis Hepatitis A Virus

Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi


asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminant
yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala
24

hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra
ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan).

Fase Inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya


gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis.
Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur
penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.2
Pada hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50 hari, dengan
rata-rata 28-30 hari.

Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan


pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious
ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala
saluran napas atas dan anorexia. Mual muntah dan anoreksia berhubungan
dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah umunya
terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di
kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan
tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.

Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak
terdeteksi. Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal,
tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.

Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus


dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan
akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan
klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. 1

b. Hepatitis B

Patofisiologi Hepatitis B
25

Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian
mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya
di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan
menembus sel dinding hati.

Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA
hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB
memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis
B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi .

Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti
banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan.
Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap
kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun,
makin besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host
dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang
ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-
restricted CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses
intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major
Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran
sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+. 1
Manifestasi Klinis Hepatitis B
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan.
Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya
riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya
menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:


26

1) Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan
ratarata 60-90 hari.
2) Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum,
mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia.
Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan
menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan
aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
3) Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4) Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan
sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang
menjadi fulminan

Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari
enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B
kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu :
1) Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus
tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus
27

Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat
tinggi.
2) Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi
virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak
dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah
mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
3) Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel
hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya
dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel
hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah,
HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta
konsentrasi ALT normal. 1

c. Hepatitis C

Patogenesis dan Patofisiologi

Berbeda dengan virus hepatitis B yang umumnya bersifat akut, infeksi VHC lebih
sering bersifat kronis sekitar 80%. lnfeksi VHC mengakibatkan hepatitis C kronis,
sementara 20% sisanya berupa infeksi akut atau sembuh spontan.

Masa inkubasi VHC rata-rata 50 hari (rentang 14-180 hari), meski RNA VHC
mulai dapat terdeteksi 7-10 hari setelah infeksi dan antiVHC dapat terdeteksi 2-8
minggu setelah paparan. Pada kasus hepatitis akut, RNA VHC masih-dapat
terdeteksi selama beberapa 12 minggu pertama, yang kemudian akan menurun
secara signifikan hingga terjadi resolusi penyakit secara spontan. Hanya 50%
pasien hepatitis C akut yang memiliki antiVHC positif.
28

Namun pada kasus hepatitis C kronis, RNA VHC masih terdeteksi selama
minimal 6 bulan. Sekitai 95% kasus juga memiliki nilai anti-VHC positif. Faktor
penentu suatu infeksi VHC menjadi hepatitis akut atau kronis belum diketahui
dengan jelas. Namun, resolusi spontan lebih sering ditemukan pada pasien
simptomatis, perempuan, serta VHC genotipe 3.

Pada hepatitis C kronis, adanya peningkatan transaminase serum menandakan


terjadinya kerusakan hati secara progresif, meski kerusakan juga dapat terjadi
pada kadar ALT normal. Laju progresivitas fibrosis pada hati diperkirakan sekitar
0.1-0.13 U/tahun pada pasien yang tidak diobati. 1

Tanda dan Gejala

l). Hepatitis C akut (80% kasus akut bersifat simtomads)

a. Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum ikterik). Gejala prodromal berupa


anoreksia, mual dan muntah, kelemahan, malaise, artralgia, mialgia,
demam, sakit kepala, fotofobia, faringitis, serta batuk dan flu. Satu hingga
5 hari sebelum kuning, dapat muncul warna urin yang lebih gelap dan
feses berwarna pucat.
b. Fase ikterik. Ikterus sering disertai dengan hepatomegali dan nyeri di
kuadran kanan atas. Gambaran klinis hepatitis virus akut pada umumnya
tidak jauh berbeda, kecuali durasi keluhan pasca ikterik lebih panjang pada
hepatitis B dan C akut.
c. Fase perbaikan (konvalesens)

2). Hepatitis C kronis. Umumnya asimtomatis, dapat juga berupa gejala tidak
spesifik seperti malaise dan keletihan. Pada kondisi lanjut, dapat ditemui tanda
gejala, serta komplikasi sirosis hati yang mudah dikenali, edema ekstremitas,
asites, hematemesimelena, perubahan status mental, dan sebagainya. 1

d. Hepatitis D
29

Patogenesis Infeksi Virus Hepatitis D Akut

Virus hepatitis D ditransmisikan dengan bantuan virus hepatitis B. Virus


hepatitis D paling banyak ditransmisikan melalui penggunaan obat-obatan
intravena dengan jarum yang tidak steril, namun kebalikan dengan hepatitis B
transmisi vertikal pada hepatitis D sangat jarang. Efisiensif transmisi virus
hepatitis D terutama bergantung pada status HBsAg carrier dan individu yang
ditularkan. Pada orang normal (HBsAg negatif), infeksi hepatitis D tidak
dapati ditransmisikan, kecuali pada pasien sebelumnya telah terinfeksi
hepatitis B; pada keadaan ini infeksi hepatitis D terjadi simultan bersama
dengan infeksi hepatitis B. Efisiensi dari transmisi tergantung pada titer
infeksius dari hepatitis B. Pada pasien dengan HBsAg positif. adanya infeksi
hepatitis B tersebut akan mempermudah aktivasi virus hepatitis D, dan infeksi
tersebut akan terjadi dengan cepat, hal tersebut dinamakan superinfeksi virus
hepatitis D pada infeksi virus hepatitis B. Carrier virus hepatitis B dapat juga
menjadi carrier hepatitis D. 1

e. Hepatitis E

Patogenesis
HEV merupakan anggota prototipe dari genus Hepevirus, famili Hepeviridae.
Virus ini pertama kali diidentifikasi dengan mikrograf imunoelektron pada
feses manusia yang terinfeksi. Virus ini berbentuk bulat dan memiliki virion
tidak berkapsul, dengan permukaan berduri dan gambaran indentasi mirip
cangkir.
Rute infeksi melalui oral sudah jelas ditunjukkan, dengan lokasi replikasi
utama belum dapat diidentifikasi, tetapi kecenderungan mengarah pada
saluran intestinal. Virus mencapai hati, kemungkinan melalui vena porta, dan
bereplikasi pada sitoplasma hepatosit. Virus dapat terus hidup pada kisaran pH
seiring virus tersebut melintas melalui saluran gastrointestinal. Manusia
merupakan pejamu alami, dengan hewan dengan dapat berperan menjadi
30

reservoir beberapa klaim infeksi pada domba dan babi setempat. Transmisi
HEV melalui hewan (zoonotik) juga telah ditunjukkan terjadi dari rusa ke
manusia. 7

f. Sirosis hati

Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada parenkim


hati seiring timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),
pembentukan nodul de-generatif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal
ini sebagai akibat dari nekrosis hepatosit kolapsnya jaringan penunjang
retikulin, bersama dengan deposito jaringanikat, distorsi jaringan vaskular
berakibat pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah hati
aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan
regenerasi nodular parenkim hati sisanya.

Terjadinya hati-hati fibrosis akibat aktivasi dari sel hati stellata. Aktivasi ini
dipicu oleh faktor pelepasan yang menghasilkan hepatosit dan sel Kupffer. Sel
stellate merupakan sel penghasil matriks utama ekstraselular (ECM) setelah
terjadi kerusakan pada hepar. Pembentukan ECM yang berhubungan dengan
pembentuk jaringan mirip. fibroblast yang menghasilkan sel stellate dan oleh
beberapa sitokin seperti transformasi faktor pertumbuhan B (TGF-B) dan
tumor necrosis factors (TNF a) .

Deposit ECM di ruang Disse akan membentuk dan memacu kapilarisasi


pembuluh darah. Kapilaris sinusoid kemudian mengubah normal aliran vena
porta dengan hepatosit, material yang dikonfigurasikan oleh hepatosit akan
dimasukkan ke dalam aliran darah dan menghambat material. Proses ini akan
ditujukan untuk hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular. 1
31

Gambar Patofisiologi sirosis hati. 6


32

g. Abses hati
1) Abses hati amuba
Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat berbentuk
sebagai trophozoit atau bentuk kista. Setelah menginfeksi, kista amuba
melewati saluran pencernaan dan menjadi trophozoit di usus besar,
trophozoit kemudian melekat ke sel epitel dan mukosa kolon dengan
gal/galNAc dimana mereka menginvasi mukosa. Lesi awalnya berupa
mikro ulserasi mukosa caecum, kolon sigmoid dan rektum yang
mnegeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel epitel. Ulserasi yang
meluas ke submukosa menghasilkan ulser khas berbentuk termos
(flask-shaped) yang berisi trophozoit dibatas jaringan mati dan sehat.
Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, tempat abses
dapat berkembang. Entamoeba histolytica sangat resisten terhadap lisis
yang dimediasi komplemen, oleh karena itu dapat bertahan di aliran
darah. Terkadang organisme ini menginvasi organ selain hati dan dapat
membuat abses dalam paru-paru atau otak. Pecahnya abses hati amuba
ke dalam pleura, perikard, atau ruang peritoneal juga dapat terjadi, di
dalam hati, E. histolytica mengeluarkan enzim proteolitik yang
berfungsi melisiskan jaringan pejamu. Lesi pada hati berupa “well
demarcated abscess” mengandung jaringan nekrotik dan biasanya
mengenai lobus kanan hati. Respon awal pejamu adalah migrasi sel-sel
PMN. Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan
enzim proteolitiknya, sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses hati
mengandung debris aselular, dan trophozoit hanya dapat ditemukan
pada tepi lesi. 1

2) Abses hati piogenik

Infeksi menyebar ke hati melalui aliran vena porta, arteri, saluran empedu,
ataupun infeksi secara langsung melalui penetrasi jaringan dari fokus
33

infeksi yang berdekatan. Sebelum era antibiotika, penyebab tersering


adalah apendisitis dan pileflebitis (trombosis supuratif pada vena porta).
Saat ini, infeksi yang berasal dari sistem bilier merupakan penyebab
terbanyak terjadinya AHP, diikuti oleh abses kriptogenik.

Abses hati piogenik dapat juga merupakan komplikasi lanjutan dari


tindakan endoscopic sphincteroctomy untuk mengatasi batu saluran
empedu, ataupun komplikasi lanjut yang terjadi 3 sampai 6 minggu setelah
dilakukan biliary-intestinal anastomosis. Dia asia timur dan asia tenggara,
AHP dapat merupakan komplikasi dari kolangitis piogenik rekuren yang
ditandai dengan adanya episode kolangitis yang berulang, pembentukan
batu intrahepatik, ataupun adanya infeksi parasit pada sistem bilier. 1

h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Patogenesis
Pengetahuan mengenai patogenesis steatohepatitis non alkoholik masih
belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan
steatohepatitis non alkoholik adalah obesitas dan diabetes melitus. serta
dua abnormalitas metabolik yang sangat kuat kaitannya dengan penyakit
ini adalah peningkatan suplai asam lemak ke hati serta resistensi insulin.
Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory
yang diajukan oleh Day dan James.
Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang
dapat terjadi karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes
melitus, dan obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal,
asam lemak bebas dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah
arteri dan portal. Di dalam hati, asam iemak bebas akan mengalami
metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi menjadi trigliserida
atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan
34

massa jaringan lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan


meningkatkan penglepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk
di dalam hepatosit Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan
menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses ini
terfokus di mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan
mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang disebut
sebagai hit kedua.
Peningkatan stres oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena
resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan
aktivitas un-coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom
P-450 2E1. Peningkatan cadangan besi dan menurunnya aktivitas anti
oksidan, Ketika stres oksidatif yang terjadi di hati melebihi kemampuan
perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi
akan berlanjut dengan inflamasi progresif. pembengkakan hepatosit dan
kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. Meskipun teori
two-hit sangat popular dan dapat diterima, agaknya penyempurnaan akan
terus dilakukan karena makin banyak yang berpendapat bahwa yang
terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit. 8
Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien dengan perlemakan hati nonalkoholik tidak
menunjukkan gejala maupun tandatanda adanya penyakit hati. Beberapa
pasien melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan
seperti mengganjal di perut kanan atas. Pada kebanyakan pasien,
hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan fisis yang didapatkan,
Umumnya pasien dengan perlemakan hati non alkoholik ditemukan secara
kebetulan pada saat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya dalam medical
check-up. Sebagian lagi datang dengan komplikasi sirosis seperti asites.
perdarahan varises, atau bahkan sudah berkembang menjadi hepatema. 1

2) Perlemakan hati alkoholik


35

Konsumsi dalam jangka pendek paling banyak 80 g etanol per hari (5-
6 beers atau 8-9 ons dari 80 minuman keras) pada umumnya dapat
menyebabkan perubahan hati ringan dan reversibel bisa berupa
perlemakan hati ringan. Konsumsi etanol menahun 40-80 g per hari
dianggap sebagai ambang batas dari faktor risiko untuk terjadinya
kerusakan hati berat. Adanya perbedaan perjalanan penyakit seperti
yang dikemukakan sebelumnya, beberapa alasan menyebutkan bahwa
terkait dengan penurunan metabolisme etanol di lambung dan adanya
perbedaan komposisi tubuh. Perempuan lebih rentan terhadap
kerusakan hati dibandingkan dengan pria. Tampaknya risiko kerusakan
hati yang terjadi sebanding dengan frekuensi dan volume yang
diminum. Sebagai contoh pesta mabuk-mabukan dampaknya terhadap
kerusakan hati lebih besar dibandingkan dengan mereka yang minum
dengan cara teratur dan dalam kadar rendah. Faktor individual seperti
faktor genetik kemungkinan besar berperan namun petanda yang dapat
dipercaya akan kemungkinan tersebut belum ada. Walaupun belum
diketahuinya secara nyata faktor-faktor yang berpengaruh pada
kerusakan hati, namun dianjurkan agar tidak mengkonsumsi alkohol di
atas ambang aman. 1
Metabolisme etanol oleh enzim alcohol dehidrogenase dan sistem
microsomail ethanol-oxidizing. Induksi terhadap cytochrome P450
pada peminum alkohol menahun akan meningkatkan perubahan obat
lain menjadi metabolit yang bersifat toksik. Secara khusus efek
tersebut dapat meningkatkan metabolisme asetaminofen menjadi
metabolit yang bersifat toksik kuat dan meningkatkan jejas hati
meskipun diberikan dalam dosis terapi. 3
Steatosis sel hati merupakan hasil dari beberapa mekanisme seperti
(1) terhindarnya substrat dari katabolisme dan mendekatnya substrat
pada biosintesis fipid. Sebab hasil metabolisme akan berlebihan
berupa nicotinamide adenine dinucleotide terreduksi yang merupakan
36

hasil metabolisme etanol oleh alkohol dehidrogenase dan asetaldehid


dehidrogenase; (2) terjadi kegagalan dalam penyusunan (assembly)
dan sekresi lipoprotein; (3) peningkatan katabolisme lemak perifer.
Penyebab hepatitis alkoholik belum jelas, tetapi kemungkinan
berawal dari satu atau lebih hasil sampingan yang toksik dan hasil
metabolisme etanol yang toksik :
1) Acetaldehyde (mayoritas dari metabolit etanol) menginduksi hasil
sampingan peroksidasi lipid dan asetaldehidrotein, yang dapat
merusak kerangka sel dan fungsi membran sel.
2) Alkohol, langsung merusak susunan kerangka sel (seperti yang
terlihat sebagai badan Mallory-Denk, fungsi mitokondria dan
kestabilan membran.
3) Reactive oxygen species (ROS) dihasilkan selama oksidasi etanol
oleh sistem microsomol ethonol oxidizing yang selanjutnya
bereaksi dan merusak membran sel dan protein. ROS Juga
diproduksi oleh neutrofil yang menyebuk ke area hepatosit yang
nekrotik.
4) lnflamasi yang diperantaral sitokin dan kerusakan sel hati pada
umumnya merupakan gambaran utama yang terjadi pada hepatitis
alkoholik dan penyakit hati alkoholik. TNF dianggap sebagai
pemeran utama dalam terjadinya jelas; IL-1, IL-6 dan 1L-8
mungkin juga berperan. Perangsang utama munculnya sitokin-
sitokin pada penyakit hati alkoholik adalah reactive oxygen
species dan produk mikroba (contoh endotoksin) yang berasal
dari bakteri usus.
Karena pembentukan turunan acetaldehyde dan radikal bebas
paling banyak di area sentriliobular maka area ini merupakan area
paling rentan terhadap jejas yang bersifat toksik. Fibrosis akan terjadi
di area sekitar sel dan di sekitar sinusoid di dalam lobulus. Apabila
terjadi bersamaan dengan hepatitis virus terutama hepatitis C, maka
37

merupakan penyebab utama percepatan terjadinya penyakit hati pada


alkohoiik. Prevalensi hepatitis C pada individu dengan penyakit
alkoholik berkisar sekitar 30% (dan sebaliknya).
Sirosis hanya teriadi pada sebagian kecil alkoholik kronik dengan
alasan yang belum diketahui. Pada semua individu alkoholik yang
dapat melakukan pantangan penuh memperlihatkan regresi fibrosis
dari mikrolobulus akan berubah menjadi sirosis makronodular; sirosis
yang mengalami regresi jarang terjadi. 1
Gambaran Klinis
Perlemakan hati mungkin tidak berbahaya atau hanya menyebabkan
pembesaran hati ringan, bilirubin serum serta alkali fosfatase;
kerusakan hati berat yang membahayakan jarang terjadi. Berhenti
sebagai peminum alkohol dan keteguhan untuk melakukan diet yang
adekuat merupakan penatalaksanaan yang mencukupi.
Diperkirakan bahwa seorang peminum berat memerlukan waktu
cukup lama 15 tahun hingga 20 tahun untuk menjadi sirosis alkoholik,
namun hepatitis alkoholik dapat terjadi hanya dalam waktu beberapa
minggu atau bulan pada peminum yang terus menerus. Awal
terjadinya khas, bersifat akut dan sering diikuti dengan kesakitan
terutama pada peminum berat. Gejala dan abnormalitas hasil
pemeriksaan laboratorium bervariasi dari minimal hingga berat. Pada
sebagian besar pasien ditemukan gejala berupa malaise, anoreksia,
rasa tak enak di bagian atas abdomen, pembesaran hati yang lunak,
demam. Gambaran hasil laboratorium antara lain hiperbilirubinemia,
peningkatan fosfatase alkali, leukositosis neutrofilik.
Aminotransferase alanin dalam serum dan aminotransferase aspartate
meningkat, namun biasanya masih di bawah 500 U/ml. Apa yang akan
terjadi kemudian tidak dapat diperkirakan sebelumnya kemungkinan
risiko kematian pada setiap serangan pada penderita hepatitis berkisar
10% hingga 20%, Serangan yang berulang ulang menyebabkan sirosis
38

pada 13 pasien dalam beberapa tahun kemudian. Hepatitis alkoholik


kemungkinan juga bisa terjadi pada sirosis.
Pada umumnya gejala awal dari sirosis terkait dengan komplikasi
hipertensi portal. Stigmata sirosis (contoh abdomen membesar terisi
asites, ekstremitas mengecil, caput medussa) merupakan gambaran
klinis yang dapat ditemukan. Kemungkinan lain pasien pertama kali
datang dalam kondisi yang membahayakan hidupnya, perdarahan
varises, ensefalopati hepatikum. Pada kasus lain memperlihatkan
gejala awal yang tenang berupa malaise, kelemahan, berat badan
menurun, kehilangan nafsu makan, yang mendahului gejala-gejala
berikutnya yaitu kuning, asites, edema perifer. Hasil pemeriksaan
laboratorium mencerminkan adanya penyakit hati antara lain
peningkatan transaminase serum, hiperbilirubinemia, peningkatan
alkali fosfatase yang bervariasi, hipoproteinemia (globulin, albumin
dan faktor pembekuan), serta anemia. Kemungkinan terakhir sirosis
tidak terdeteksi sama sekali secara klinis, dan ditemukan pada saat
autopsi atau ketika terjadi tekanan yang berat misalnya karena infeksi
atau trauma yang mengganggu keseimbangan sehingga terjadi
insufisiensi hati. Pada alkoholik menahun, alkohol akan menjadi
sumber kalori terbesar di dalam diet, yang kemudian akan menggusur
nutrien lain dan menggiring kearah malnutrisi serta defisiensi vitamin
(contoh tiamin, vitamin BI2). Sekumpulan kejadian tersebut di atas
menyebabkan gangguan fungsi pencernaan, terutama terkait dengan
kerusakan lambung kronik, kerusakan mukosa usus dan pankreatitis.
Apa yang akan terjadi dalam jangka panjang pada pasien dengan
gangguan hati akibat alkohol, bervariasi. Penatalaksanaan yang paling
penting adalah berhenti menjadi peminum alkohol. Angka harapan
hidup 5 tahun mencapai 90% pada pasien tanpa kuning, asites dan
hematemesis namun akan turun menjadi 5096-6096 apabila pasien
terus menjadi peminum. Mereka yang sudah berada pada stadium
39

lanjut dari penyakit hati alkoholik, yang segera dapat menyebabkan


kematian adalah:
1) Gagal fungsi hati.
2) Perdarahan gastrointestinal masif.
3) Infeksi berulang (terjadi pada mereka yang mempunyai
kecenderungan).
4) Sindrom hepatorenal.
5) Karsinoma sel hati 3%-6% kasus. 1
i. Kolelitiasis

Kolelitiasis memiliki beragam sebab. Namun, pembentukan batu empedu


kolesterol biasanya memerlukan pembentukan empedu dengan konsentrasi
kolestero yang lebih besar daripada kelarutannya. Proses-proses normal yang
mencegah terbentuknya batu empedu mungkin mencakup kenyataan bahwa
dalam keadaan normal empedu tidak cukup lama menetap di kandun untuk
menjadi litogenik (mudah membentuk batu). Karena itu, hilangnya motilitas
dinding otot kandung empedu (akibat penyakit intrinsik dinding otot,
perubahan kadar hormon seperti CCK, atau gangguan kontrol dan sfingter
yang terlalu kuat yang mengganggu pengosongan, menjadi faktor-faktor
redisposisi penting satu konsekuensi pengosongan kandung sehingga
konsentrasi empedu yang ini dapat terjadi. Hal dapat terjadi atau akibat
berkurangnya penyerapan air atau perubahan komposisi empedu sehingga
terjadi peningkatan saturasi atau kandungan kolesterol. Faktor-faktor lain
dapat menyebabkan peningkatan kecenderungan untuk membentuk batu pada
tingkat konsentrasi dan saturasi tertentu, termasuk adanya factor pemicu
pembentukan inti batu (nucleating factors) versus factor antinucleating dalam
empedu serta jumlah dan komposisi asam empedu. Faktor-faktor yang
mempermudah terbentuknya batu empedu, termasukestrogen, prostaglandin,
peningkatan produksi mukus dan glikoprotein oleh epitel kandung empedu,
dan kolonisasi kronik infeksi bakteri. 1
40

Estrogen dapat memiliki banyak peran, yang mula-mula memengaruhi


komposisi empedu (meningkatkan kolesterol dan kepekatannya dalam
empedu) tetapi juga mengurangi motilitas kandung empedu sehingga
mempermudah terjadinya stasis, pembentukan "lumpur” empedu, dan
litogenisitas). Prostaglandin, yang bersifat protektif dalam lambung dengan
meningkatkan produksi mukus, malah dapat berperan menimbulkan
litogenisitas melalui mekanisme yang sama. Karena itu, NSAID yang
menghambat pembentukan prostaglandin sering bermanfaat untuk mencegah
pembentukan batu empedu pada orang yang rentan, mungkin dengan
mengurangi produksi mucus. 1

Gambar Letak kolelitiasis. 6


j. Kolesistitis
Penyebab utama kolesistitis adalah batu empedu yang terletak di duktus
menyebabkan stasis cairan empedu. 1
41

Gambar Patofisiologi kolesistitis. 4


3. Bagaimana penegakan diagnosis ?
a. Hepatitis A

Pemeriksaan Klinis (Anamnesis)

Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam, kelelahan,


malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa individu
dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna
gelap, dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian.
Tingkat beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi
pada anak-anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang
bertahan selama seminggu sampai sebulan. 1

Pemeriksaan Fisik

Demam, tidak nyaman pada perut, Ikterus (kulit dan sclera menguning) 1

Pemeriksaan Penunjang
42

Serologis

Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold standard
untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A.7 Virus dan antibody dapat
dideteksi dengan metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan
diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total anti-HAV (IgM
dan IgG). IgM anti-HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-6 bulan
setelahnya. Dikarenakan IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi
akut, maka apabila seseorang terdeteksi IgG antiHAV positif tanpa disertai
IgM anti-HAV, mengindikasikan adanya infeksi di masa yang lalu.
Pemeriksaan imunitas dari HAV tidak dipengaruhi oleh pemberian passive
dari Immunoglobulin/Vaksinasi, karena dosis profilaksis terletak dibawah
level dosis deteksi. 1

Gambar Penanda serologis hepatitis A. 3


43

Rapid Test

Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan metode
immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis komersial yang
tersedia. Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi oleh antibodi,
yaitu “G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C”
(Control Line) yang terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M”
berwarna ungu akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM
anti-HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan
metode immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam
mendeteksi IgM anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan tingkat
sensitivitas hingga 97,6%.1

Pemeriksaan Penunjang Lain

Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan biokimia dari


fungsi liver (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen,
total dan direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT) dan aspartate
transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), prothrombin time (PT), total
protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap).
Apabila tes lab tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat
membantu untuk menegakan diagnosis. 1

b. Hepatitis B

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang.
Anamnesis
Umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi seperti pernah transfusi,
seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. 1
44

Pemeriksaan fisik
didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan
laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar. 1

Pemeriksaan laboratorium
Pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler .
Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada
biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.

Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari :


1) Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10 kali
nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit,
peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar
albumin serta kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik
VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10 kali
nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin meningkat
2) Pemeriksaan serologis
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis penanda
infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di serum >6
bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung
permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam darah
yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier.

Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien dan


terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena terdapat
variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu tenggang
waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang memisahkan
hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama periode tersebut, anti-
HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi VHB.
45

Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi
tetapi tidak terdeteksi di dalam serum . Hal tersebut dikarenakan HBcAg
terpencil di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat terlihat
dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama timbulnya
HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
minggu hingga beberapa bulan

Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul saat terjadinya
gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu
setelah HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti-
HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg tidak
terdeteksi (window period). Penanda anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc
IgG muncul dan akan menetap dalam jangka waktu lama

Hepatitis B envelope antigen merupakan peptida yang berasal dari core


virus, ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg positif. Penanda
HBeAg timbul bersamaan dengan dihasilkannya DNA polimerase virus
sehingga lebih menunjukkan terjadinya replikasi virus dan jika menetap
kemungkinan akan menjadi penyakit hati kronis

Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas untuk
menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub klinis
atau yang menetap . Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis
hepatitis adalah Immunochromatography (ICT),ELISA, EIA, dan PCR.
Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia pada
laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Peralatan rapid diagnostic
ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah dan tidak
memerlukan peralatan kompleks
46

Diagnostik dengan rapid test merupakan alternatif untuk enzym


immunoassays dan alat untuk skrining skala besar dalam diagnosis infeksi
VHB, khususnya di tempat yang tidak terdapat akses pemeriksaan serologi
dan molekuler secara mudah.

Pemeriksaan HBsAg (cassette) adalah pemeriksaan rapid


chromatographic secara kualitatif untuk mendeteksi HBsAg pada serum
atau plasma. Pemeriksaan HBsAg Diaspot® (Diaspot Diagnostics, USA)
adalah pemeriksaan kromatografi yang dilakukan berdasarkan prinsip
double antibody-sandwich. Membran dilapisi oleh anti-HBs pada bagian
test line. Selama tes dilakukan, HBsAg pada spesimen serum atau plasma
bereaksi dengan partikel anti-HBs. Campuran tersebut berpindah ke
membran secara kromatografi oleh mekanisme kapiler yang bereaksi
dengan anti-HBs pada membran dan terbaca di colored line . Adanya
colored line menandakan bahwa hasilnya positif, jika tidak ada colored
line menandakan hasil negatif. 1

Penanda HBsAg telah digunakan sebagai penanda diagnostik kualitatif


untuk infeksi virus Hepatitis B. Seiring dengan kemajuan perkembangan,
terdapat pemeriksaan HBsAg kuantitatif untuk memonitor replikasi virus.
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif adalah alat klinis yang dibutuhkan untuk
akurasi, mudah, terstandarisasi, dan secara luas tersedia untuk memastikan
perbedaan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium. Salah satu
pemeriksaan yang telah dikembangkan untuk penilaian HBsAg kuantitatif
adalah pemeriksaan HBsAg Architect (Abbott Diagnostics). Pemeriksaan
HBsAg Architect memiliki jarak linear dari 0,05-250 IU/mL.

Pemeriksaan HBsAg kuantitatif dilakukan dengan pemeriksaan HbsAg


Architect berdasarkan metode CMIA. Metode CMIA adalah generasi
terbaru setelah ELISA dengan kemampuan deteksi yang lebih sensitif.
47

Pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect memiliki dua langkah dalam


pemeriksaan. Langkah pertama, sampel dan mikropartikel paragmanetik
dilapisi anti-HBs dikombinasikan. Keberadaan HBsAg pada sampel akan
berikatan dengan mikropartikel yang dilapisi anti-HBs. Proses selanjutnya
adalah washing, kemudian acridinium-labeled anti-HBs conjugate
ditambahkan pada langkah kedua. Setelah proses washing kembali, larutan
pre-trigger dan trigger ditambahkan ke dalam campuran Larutan
pretrigger mengandung 1, 32% hydrogen peroksida, sedangkan larutan
trigger mengandung 0,35 mol/L natrium hidroksida. Hasil dari reaksi
chemiluminescent diukur sebagai Relative Unit Light (RLU) dan dideteksi
dengan system optic Architect. 1

Interpretasi hasil dari pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect adalah


nonreaktif jika spesimen dengan nilai konsentrasi <0,05 IU/mL dan reaktif
jika spesimen dengan nilai konsentrasi >0,05 IU/mL. Sampel nonreaktif
menandakan negatif untuk HBsAg dan tidak membutuhkan tes
selanjutnya. 1

Gambar Penanda serologis hepatitis B. A, Akut B, Kronis. 3


48

3) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium
untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma.
Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier,
menentukan prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaannya antara lain:
a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu
paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur
kerja dan limbahnya.
b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik
hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop
karena sistem deteksinya menggunakan substrat
chemiluminescence.
c. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA) bertujuan
untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari
beberapa target molekul asam nukleat.
d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah
dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA
VHB. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi
secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup. 1

Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat mendeteksi kadar VHB


DNA sampai dengan 102 kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan ini harus
diinterpretasikan dengan hati-hati karena ketidakpastian arti perbedaan
klinis dari kadar VHB DNA yang rendah. Berdasarkan pengetahuan dan
definisi sekarang tentang Hepatitis B kronik, pemeriksaan standar dengan
batas deteksi 105-106 kopi/mL sudah cukup untuk evaluasi awal pasien
dengan Hepatitis B kronik. Untuk evaluasi keberhasilan pengobatan maka
tentunya diperlukan standar batas deteksi kadar VHB DNA yang lebih
49

rendah dan pada saat ini adalah yang dapat mendeteksi virus sampai
dengan <104 kopi/mL. 1

c. Hepatitis C
Anamnesis
Infeksi hepatitis C akut
Ditemukan serokonversi anti-VHO pada pasien yang sebelumnya telah
diketahui anti-VHO negatif (tidak ada penanda serologi yang dapat
membuktikan infeksi akut HCV).
Infeksi hepatitis C kronis
Anti-VHC dan RNA VHC tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak
terinfeksi dengan gejala-gejala penyakit hati kronis. Pada hepatitis kronis,
titer anti-VHC dan RNA VHC positif tidak membedakan kasus hepatitis C
akut dengan eksaserbasi hepatitis C kronis atau hepatitis akut dari
penyebab lainnya pada pasien dengan hepatitis C kronis. 1
Pemeriksaan fisik
Hepatomegali, ikterus. 1
Pemeriksaan penunjang
1) Penanda serologis hepatitis C metode ELISA atau chemiluminescent
immunoassay (CLIAD). Apabila didapatkan anti-VHC positif, maka
individu dinyatakan terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan RNA VHC. Namun. hasil anti-HIV negatif palsu dapat
ditemukan pada HIV, pasien hemodialisis, dan pengguna imunosupresan.
Pada kelompok pasien tersebut dianjurkan untuk selalu memeriksa RNA
VHO. Selain untuk diagnosis, pemeriksaan RNA VHC juga digunakan
untuk memantau terapi anti virus. Oleh sebab itu, RNA VHC sebaiknya
diukur dengan metode realtime PCR yang mampu mendeteksi VHC
hingga muatan virus minimal <50 IU/ ml untuk dual terapi dam <15
IU/mL untuk tripel terapi. 1
50

Gambar Penanda serologis hepatitis C. A, Akut B, Kronis. 3


2) Biokimia hati. Pemeriksaan ALT, AST, gamma-glutamyl transpeptidase
(GGT), alkalin fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, serta pemeriksaan
darah perifer lengkap dan waktu protrombin.
3) USG dan biopsi hati. Menilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis pada
kasus infeksi kronis dan sirosis hati.
4) Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain bila diperlukan,
termasuk kemungkinan ko-infeksi hepatitis B dan/atau HIV. 1

d. Hepatitis D

Anamnesis

Infeksi hepatitis D yang didapatkan dari koinfeksi hepatitis B dan hepatitis D


mempunyai klinis yang serupa dengan infeksi hepatitis B akut. 1

Pemeriksaan fisik

Ikterus, hepatomegali, nyeri abdomen. 1

Pemeriksaan pemunjang

Koinfeksi akut dapat menunjukkan gejala bifasik dengan dua puncak


peningkatan ALT yang terpisah selama beberapa minggu. Tidak lebih dari 2%
pasien yang mengalami infeksi hepatitis D kronik. Perinfeksi hepatitis D
51

primer pada carrier hepatitis B biasanya menghasilkan gambaran kilnis yang


berat. Superinfeksi dapat tampak sebagai hepatitis B akut jika carrier HBsAg
tidak waspada terhadap infeksi hepatitis yang dideritanya. Pada carrier yang
sebelumnya telah terinfeksi hepatitis B kronik.Superinfeksi hepatitis D dapat
disalahartikan sebagai infeksi hepatitis baru. Superinfeksi biasanya
mangakibatkan infaksi hepatitis D kronik.

Adanya paparan virus hepatitis D pada pasian yang imunokompetan, pasien


tersebut akan meningkatkan konsentrasi antibodi lgG tarhadap HDAg (anti-
HO). Respons antibodi tersebut dapat berkurang pada pasien yang
imunokompromais, terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Deteksi anti-
HD merupakan langkah pertama dalam diagnosis infeksi hepatitis D. Deteksi
anti-HD tersebut sebaiknya dilakukan pada pasien carrier HBsAg dengan
gangguan hati.

Deteksi HDAg intrahepatik melalui pemeriksaan imunohistokimia merupakan


standar awal untuk diagnosis infeksi virus hepatitis D aktif. Namun,
sensitivitas pemeriksaan tersebut terbatas karena pada biopsi hati hanya bisa
terdeteksi pada 50% pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis D. Selain
itu, pemeriksaan tersebut tidak terdeteksi pada pasien fibrosis hati lanjut.

Adanya HOV-RNA pada serum menggunakan PCR merupakan pemeriksaan


yang paling sensitif dan paling spesifik untuk infeksi hepatitis D. Narnun,
kadar viremia hepatitis D tidak borkorelasi dengan beratnya penyakit hepatitis
D. Pemeriksaan real-time PCR kuantittif digunakan untuk pasien yang
menjalani terapi, dimana penurunan kadar HOV-RNA (dan HBsAg) selama
awal terapi dapat memprcdiksi respon torhadap terapi interferon.

Bila pemeriksaan HOV-RNA sulit dilakukan, maka pemeriksaan IgM anti-


HOV dapat digunakan untuk pemantauan infeksi hepatitis D. Antibodi
tersebut meningkat dengan titer tinggi bersamaan dengan anti-HD selama
infeksi hepatitis D akut, kemudian menurun dalam beberapa minggu pada
52

pasien yang mengalami perbaikan infeksi, sementara antibodi IgG dapat


bertahan selama beberapa waktu. IgM anti-HDV tetap berada pada titer tinggi
bersama dengan antibodi igG pada pasien hepatitis D yang progresif menjadi
infeksi kronik. Turunnya titer IgM anti-HD berkorelasi dengan respon
terhadap antivirus. Antibodi IgG terhadap HDAg dapat bertahan di serum
sebagai penanda serologi pada infeksi virus hepatitis D, di masa lalu, pada
pasien dengan HBsAg positif maupun HBsAg negatif. 1

Gambar Infeksi virus hepatitis D dan hepatitis B. 1


e. Hepatitis E
Anamnesis
53

Manifestasi infeksi HEV sebagai epidemic hepatitis sporadik di area


endemik mengikuti periode inkubasi 15-60 hari (rata-rata40 hari. Seperti virus
hepatitis lainnya, spektrum gejala yang terjadi meliputi:
a) Asimmtomatik (kemungkinan jauh lebih umum dibandingkan
penyakit ikterik)
b) Demam pada penyakit virus akut tanpa gambaran khusus. Ketika
infeksi bersifat simptomatik, hal ini akan mengakibatkan hepatitis
akut yang dapat sembuh sendiri berlangsung selama beberapa
minggu. Namun demikian, pada beberapa pasien terdapat
kemungkinan terjadi jalur kolestatik berkepanjangan. 7
Penyakit simptomatis dapat dibagi menjadi dua fase:
a) Fase pra-ikterik, berlangsung selama1-10 hari (rata-rata 3-4 hari) dengan
gejala saluran gastrointestinal (nyeri ulu hati (epigastrik), mual dan
muntah);
b) Fase ikterik, diawali tiba-tiba dengan ikterik, urin gelap, dan feses
berwarna mirip dempul (pucat). Sebanyak dua pertiga pasien juga
melaporkan gejala nyeri sendi (artralgia). Terdapat:
a. Peningkatan yang bervariasi pada bilirubin serum (terutama bilirubin
terkonjugasi); 7

b. Peningkatan bermakna pada amino transferase yang mendahului gejala


selama 10 hari dan mencapai puncaknya pada akhir minggu pertama
(derajat kenaikan aminotransferase tidak berkaitan dengan keparahan
penyakit). 7

Pemeriksaan fisik
Nyeri epigastrik, ikterik, nyeri sendi. 7

Pemeriksaan penunjang
54

a. HEVRNA pada feses dapat dideteksi pada fase pra-ikterik, dan kemudian
menurun menghilang seiring dengan puncak ALT
b. IgM anti-HEV pada serum diidentifikasi saat onset gejala, yang dapat
terdeteksi untuk 2 minggu sampai 3 bulan.
c. IgG anti HEV meningkat segera setelah IgM, bertahan selama beberapa
tahun pada 50% pasien.
Enzime immunoassay (EIA) dan imunokromatografi merupakan metode detek
yang paling cocok. Untuk penduduk ataupun mereka yang berpergian ke daera
endemik, pemeriksaan untuk infeksi HE harus diikutsertakan pada pemeriksaan
lini pertama untuk mendiagnosis hepatitis akut. 1

Gambar Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis E. 1


f. Sirosis hati
Anamnesis
Untuk anamnesis sirosis hati bisa ditanyakan beberapa gejala berikut:
Tabel Tanda-tanda klinis sirosis hati dan penyebabnya. 1
55

Pemeriksaan fisik
Perubahan kuku, palmar eritema, hipogonadisme, ukuran hati (besar,
normal, mengecil), splenomegali, asites, ikterus. 1
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Tabel Tes laboratorium pada sirosis hati. 1
56

Ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH kurang sensitif namun cukup


spesifik bila penyebabnya jelas. Gambararn USG mencerminkan ekodensitas hati
meningkat dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada sisi superfisial,
sedang pada sisi profunda ekodensitas menurun. Bisa dijumpai pula pembesaran
lobus caudatus, splenomegali, dan vena hepatika cermin terputus-putus. Hati
mengecil dan dijumpai splenomegli, endoskopi Gastroskopi dilakukan untuk
memeriksa varises di esofagus dan gasterpada penderita SH. Selain untuk
1
diagnostik, dapat juga digunakan untuk terapi dan terapi Varises.

g. Abses hati
1) Abses hati amuba

Anamnesis

Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan presentasi klinis yang akut
dibandingkan abses piogenik hati. Gejala telah terjadi rata-rata dua minggu pada
saat diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara infeksi hati usus
57

dan selanjutnya sampai bertahun-tahun, dan kurang dari 10% pasien melaporkan
riwayat diare berdarah dengan disentri amuba. 1

Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat dibandingkan
piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai mual, muntah,
anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan tubuh, dan pembesaran hati yang
juga terasa nyeri. Nyeri spontan perut kanan atas disertai dengan jalan
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan
gambaran klinis khas yang sering dijumpai. Dua puluh persen penderita dengan
kecurigaan abses hati amuba mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri.

Demam umum terjadi, tetapi mungkin polanya intermiten. Malaise, mialgia,


artralgia umum terjadi. Ikterus jarang ditemukan dan bila ada menandakan
prognosis yang buruk. Gejala dan tanda paru dapat terjadi, tetapi pericardial rub
dan peritonitis jarang ditemukan. Kadang-kadang friction rub terdengar di hati.
Gambaran laboratorium mirip dengan yang ditemukan di abses piogenik.
Koinfeksi dengan bakteri patogen jarang ditemukan. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah pecah di intra peritoneal, intra torakal, dan perikardial serta
kegagalan multiorgan. 1

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperatur, pembesaran


hati dan nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan, tetapi jika
didapatkan maka harus diduga adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah
terdapat penyakit hati kronis sebelumnya. Organisme diisolasi dari tinja
pada 50/% pasien. Aspirasi pada abses amuba harus dilakukan jika
diagnosis masih belum jelas dengan gambaran pasta cokelat kemerahan
dan berbau sedikit. Trophozoit hanya didapatkan pada 20% aspirasi. 1

Pemeriksaan penunjang
58

Hasil foto toraks abnormal didapatkan pada 50-80% pasien dengan gambaran
atelektasis paru lobus kanan bawah. Efusi pleura kanan dan kenaikan
hemidiafragma kanan.

USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karena non invasif dan
sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic dengan
internal ecoes. CT scan kontras digunakan terutama untuk mendignosis abses
yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat
memberikan informasi tentang lesi. MRI tidak memiliki sensitivitas yang lebih
tinggi dibandingkan CT scan, tetapi berguna jika hasil masih diragukan, diagnosis
membutuhkan potongan koronal atau sagital dan untuk pasien yang intoleran
terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan abses hati amuba
dengan piogenik. Abses amuba umumnya menyerang lobus kanan hepar dekat
dengan diafragma dan biasanya tunggal.

Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA, indirect hemaaglutination,


cellulose acetate precipitin, counterimmunoelectrophoresis, immuflourescent
antibody, dan tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi harus
diinterpretasikan dengan klinis pasien karena kadar serum antibodi mungkin
masih tinggi selama beberapa tahun setelah perbaikan dan atau penyembuhan.
Sensitivitas tes ±95% dan spesifitasnya lebih dari 95%. Hasil negatif palsu
mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis PCR untuk
mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi antigen
amuba pada serum sudah sering dilakukan pada penelitian. 1

2) Abses hati piogenik

Anamnesis

Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan atas. Demam
tinggi yang naik turun disertai menggigil merupakan keluhan terbanyak. Nyeri
59

perut kanan atas biasanya menetap dan dapat menyebar ke bahu kanan.
Kebanyakan pasien mengalami keadaan ini kurang dari 2 minggu, sebelum pergi
berobat. Gejala tidak khas lainnya meliputi keringat malam, muntah, anoreksia,
kelemahan umum, dan penurunan berat badan. Sekitar ⅓ kasus disertai dengan

diare dan ⅟₄ kasus mengeluhkan adanya batuk yang tidak produktif. Pasien juga

mungkin datang dengan keluhan pada sumber infeksi primernya, misalnya


apendisitis atau divertikulitis, sebelum gejala AHP berkembang.

Onset penyakit biasanya terjadi akut. Onset yang tersamar dapat terjadi pada
orang tua. Onset pada abses tunggal biasanya gradual dan umumnya merupakan
abses kriptogenik. Gambaran klinis pada asbes multiple biasanya menunjukkan
gambaran akut dan biasanya penyebab primernya diketahui. 1

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai nyeri pada kuadran kanan
atas. Ikterik dijumpai apabila penyakit telah lanjut. Beberapa pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri perut kuadran kanan atas ataupun tidak didapatkan
hepatomegali, biasanya gambaran klinis menunjukkan fever of unknown origin
(FUO). Adanya kelainan pada paru kanan berupa pekak pada perkusi dan
penurunan suara napas dijumpai apabila proses penyakit terjadi pada segmen
superior lobus kanan. Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan kelainan pada
sekitar 20-30% kasus anemia dan dehidrasi juga merupakan tanda fisik yang
sering ditemukan. 1

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan pencitraan
60

Saat ini, pemeriksaan pencitraan merupakan modalitas penting untuk menegakkan


diagnosis AHP. Adanya temuan klinis meliputi demam, nyeri perut kanan atas,
serta pembesaran hati yang disertai nyeri tekan, menjadi alasan untuk pemeriksaan
pencitraan lebih lanjut, meliputi pemeriksaan ultrasonografi (USG) computerized
tomography scan (CT scan), serta magnetic resonance imaging (MRI).
Pemeriksaan pencitraan dapat membedakan AHP dari kolesistitis, obstruksi aliran
empedu, maupun pankreatitis. Penggunaan zat kontras technetium 99m-sulfur
colloid sebelum pemeriksaan USG dan CT sensitif untuk mengetahui adanya lesi
dengan ukuran <3 cm, serta dapat memprediksi lokalisasi untuk dilakukan aspirasi
perkutaneus maupun drainase.

Pemeriksaan USG memperlihatkan adanya lesi hipoekoik, kadang-kadang dapat


ditemukan internal eko. Namun demikian, lesi yang terletak pada bagian atas
lobus kanan sulit untuk diidentifikasi. Gambaran AHP dengan CT menunjukkan
gambaran lesi densitas rendah, penggunaan kontras memperlihatkan peripheral
enhancement. Pemeriksaan CT juga dapat menunjukkan sumber infeksi
ekstrahepatik dari AHP, misalnya apendisitis ataupun divertikulitis. Walaupun
pemeriksaan CT dan USG dapat membedakan abses dari obstruksi saluran
empedu, namun tidak dapat membedakan AHP dari abses hati amebik (AHA).
Pemeriksaan dengan MRI walaupun masih sedikit digunakan, lebih sensitif untuk
menentukan AHP. 1

Kebanyakan abses, baik AHP maupun AHA, terletak pada lobus kanan. Adanya
abses multipel sangat mencurigakan suatu AHP. Tumor hati yang telah
mengalami nekrosis serta infeksi sekunder, seringkali memberikan gambaran
USG seperti AHP. Pemeriksaan rontgen dada dapat ditemukan adanya elevasi
hemidiafragma kanan serta atelektasis.

Pemeriksaa laboratorium
61

Pemeriksaan laboratorium didapati kelainan meliputi anemia ringan, leukositosis


dengan netrofilia, serta peningkatan laju endap darah. Dapat juga ditemukan
perubahan fungsi hati, yaitu peningkatan kadar serum alkali fosfatase. 1

Adanya antibodi antiamubik penting untuk membedakan AHA dari AHP. Lebih
dari 90% pasien dengan AHA mempunyai antibodi antiamubik titer tinggi
terhadap entamoeba histolytica.

Elemen kunci untuk diagnosis AHP adalah ditemukannya agen penyebab, baik
melalui kutur darah, maupun kultur pus dari aspirasi abses. Kultur darah positif
pada 50% kasus. Pada aspirasi abses, spesimen yang berasal dari AHP berwarna
kekuningan ataupun kehijauan serta berbau busuk. Spesimen yang berasal dari
AHA berwarna merah kecoklatan. Dengan pengecatan gram, pada AHA ditandai
dengan adanya netrofil tanpa bakteri, kecuali bila telah terjadi infeksi sekunder.
Sementara pada AHP, selalu terdapat bakteri. 1

h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Anamnesis
Keluhan tidak enak badan, rasa lemah, keluhan seperti mengganjal
di perut kanan atas, malaise1
Pemeriksaan Fisik
Hepatomegali. 1
Pemeriksaan Penunjang
i. Biopsi hati
Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih
menjadi satu-satunya metode untuk membedakan steatosis non
alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi.
Masih menjadi perdebatan apakah biopsi hati perlu dilakukan
sebagai pemeriksaan rutin dalam proses penegakan diagnosis
perlemakan hati non alkoholik. Sebagian ahli mendukung
62

dilakukannya biopsi karena pemeriksaan histapatologi mampu


menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, membedakan
steatosis dari steatohepatitis, memperkirakan prognosis, dan
menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu. Alasan dari
kelompok yang menentang biopsi hati antara lain prognosis
yang umumnya baik, belum tersedianya terapi yang benar-
benar efektif. dan risiko serta biaya dari tindakan biopsi itu
sendiri. Oleh karenanya pemeriksaan radiologis dan kimia
darah terus menerus diteliti dan dioptimalkan sebagai metode
pemeriksaan alternatif yang bersifat non invasif. 1
ii. Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa secara akurat
membedakan steatosls dengan steatohepatitis, atau perlemakan
hati non alkoholik dengan perlemakan hati alkoholik.
Peningkatan ringan sampai sedang, konsentrasi aspartate
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), atau
keduanya merupakan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium
yang paling sering didapatkan pada pasien-pasien dengan
perternakan hati non alkoholik. Beberapa pasien datang dengan
enzim hati yang normal sama sekali. Kenaikan enzim hati
biasanya tidak melebihi empat kali dengan rasio AST:ALT
kurang dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini dapat
mendekati atau bahkan melebihi satu. Perlu menjadi
perhatian beberapa studi yang melaporkan bahwa konsentrasi
AST dan ALT tidak memiliki korelasi dengan aktivitas
histologis, bahkan konsentrasi enzim dapat tetap normal pada
penyakit hati yang sudah lanjut. Pemeriksaan laboratorium lain
seperti fosfatase alkali, g-glutamiltransferase, feritin darah atau
saturasi transferin juga dapat meningkat, sedangkan
hipoalbuminernia, waktu protrombin yang memanjang, dan
63

hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang sudah


menjadi sirosis. 1
Dislipidemia ditemukan pada 21-83% pasien dan biasanya
berupa peningkatan konsentrasi trigliserida. Karena diabetes
merupakan salah satu faktor risiko perlemakan hati non
aikoholik. maka tidak jarang terdapat pula peningkatan
konsentrasi gula darah.
iii. Pencitraan
Berbagai modalitas pencitraan telah dicoba untuk mendeteksi
perlemakan hati. Agaknya ultrasonografi merupakan piiihan
terbaik saat ini, walaupun computerized tomography (CT) dan
magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat digunakan.
Pada ultrasonografi, infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan
peningkatan difus ekogenisitas (hiperekoik, bright liver) biia
dibandingkan dengan ginjal. Sensitifitas USG 89% dan
Spesivisitasnya 93% dalam mendeteksi steatosis.
Terbukti ketiga teknik pencitraan di atas memiliki
sensitifitas yang baik untuk mendeteksi perlemakan hati non
alkoholik dengan deposisi lemak di hati lebih dari 30%, tetapi
tidak satupun dari ketiga aiat tersebut dapat membedakan
perlemakan hati sederhana dari steatohepatitis.
Infiitrasi iemak di hati menghasilkan gambar parenkim hati
dengan densitas rendah yang bersifat difus pada CT, meskipun
adakaianya berbentuk tokai. Gambaran fokai ini dapat
disalahartikan sebagai massa ganas di hati. Pada keadaan
seperti itu MRI bisa dipakai untuk membedakan nodul akibat
keganasan dari infiltrasi fokal lemak di hati. 1
iv. Histologi
Secara histologis, perlemakan hati non alkoholik tidak dapat
dibedakan dengan kerusakan hati akibat alkohol. Gambaran
64

biopsi hati antara lain berupa steatosis, infiltrasi sel radang,


hepatocyte ballooning dan nekrosis, nukleus glikogen,
Mallory‘s hyaline dan fibrosis. Ditemukannya fibrosis pada
perlemakan hati non alkoholik menunjukkan kerusakan hati
lebih lanjut dan lebih berat. Dari berbagai penelitian terhadap
gambaran histologi hati yang pernah dilakukan terlihat bahwa
fibrosis daiam berbagai derajat ditemukan pada hampir 66%
kasus ketika diagnosis ditegakkan, 25% di antaranya dengan
fibrosis berat (fibrosis septa atau sirosis) dan 14% sirosis
nyata.
Karakteristik histotogis perlemakan hati non alkoholik
adalah ditemukannya perlemakan hati dengan atau tanpa
infiamasi. Perlemakan umumnya didominasi oleh gambaran
sel makrovesikular yang mendesak inti hepatosit ke tepi sel.
Pada fase awal atau steatosis ringan, lemak ditemukan pada
zona 3 hepatosit. Inflamasi merupakan kamponen dasar untuk
menyatakan adanya steatohepatitis non alkoholik. Sel-sel
inflamasi tersebut terdiri dari neutrofil dan sel mononuklear
yang ditemukan pada lobulus-lobulus hati. Bila sel-sel inflmasi
tidak ditemukan berarti pasien masih berada dalam tahap
perlemakan hati saja.
Adanya badan Mallory dan anak inti glikogen merupakan
variasi dari gambaran steatohepatitis non alkoholik. Biasanya
badan Mallory ini memiiiki ukuran lebih kecil daripada yang
biasa ditemukan pada steatohepatitis alkoholik. Sampai saat ini
masih terdapat perbedaan pendapat mengenai interpretasi
histopatologis steatohepatitis non alkoholik. Kontroversi
terutama mengemuka dalam hal penentuan kriteria untuk
membedakan perlemakan hati sederhana dengan steatohepatitis
non alkoholik. Di samping itu. meskipun penilaian derajat
65

fibrosis hampir seragam, para ahli patologi seringkali tidak


sepaham menyangkut grading inflamasi. Klasifikasi dari Brunt
merupakan kriteria histopatologis yang banyak dipakai untuk
menentukan derajat steatohepatitis non alkoholik. 1

2) Perlemakan hati alkoholik

Anamnesis

Malaise, anoreksia, rasa tak enak di bagian atas abdomen. 3

Pemeriksaan fisik

Pembesaran hati yang lunak, demam. 3

Pemeriksaan penunjang

Gambaran hasil laboratorium antara lain hiperbilirubinemia, peningkatan


fosfatase alkali, leukositosis neutrofilik. Aminotransferase alanin dalam
serum dan aminotransferase aspartate meningkat, namun biasanya masih
di bawah 500 U/ml. 3

i. Kolelitiasis
Anamnesis
Mual, rasa tidak enak di perut setelah mengkonsumsi makanan berlemak,
ikterus. 1
Pemeriksaan fisik
Nyeri abdomen midepigastrium/kuadran kanan atas yang hebat, ikterus. 1
Pemeriksaan penunjang
Endoscopic Ultrasonography: mendeteksi batu empedu
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography: saluran empedu akan
terlihat sebagai struktur yang terang, batu akan terlihat sebagai intensitas
sinyal rendah. 1
66

j. Kolesistitis

Anamnesis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh.
Kadang-kadang rasa sakit ke pundak atau scapula kanan dan dapat
berlangsung selama 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
ganggren atau perforasi kandung empedu. 1

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai
tanda-tanda peritonitis.

Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <4,0
mg/dl). Apabila bilirubin tinggi perlu diperkirakan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. 1

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya leukositosis serta


kemungkinan peninggian serum transminase dan fosfatase alkali.

Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu


bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis
akut.

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya digunakan secara rutin dan


sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. 1

4. Bagaimana penatalaksanaan kelainan hepatobilier farmako dan non farmako ?


67

a. Hepatitis A
Non farmako
Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,
yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori,
penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan
dari konsumsi alkohol. Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak
memerlukan rawat inap. 1
Farmako
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi,
kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat
hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan
cairan yang adekuat, penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang
serius, dan apabila pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan gejala-gejala dari hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati
fulminant, didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam waktu 8
minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant harus
dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi hati. 1
b. Hepatitis B

Non farmako
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan
aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik.
Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan
pada pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari. 1

Farmako
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi
atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat mengurangi
patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi
inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan DNA
68

VHB (dengan serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif)


dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan.

Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC
(Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang usia. Terapi
antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah
Interferon, Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir .1

Gambar Algoritma terapi Hepatitis B kronis pada beberapa kelompok


HbeAg Positif. 9
69

Gambar Algoritma terapi Hepatitis B kronis pada beberapa kelompok


HbeAg Negatif. 9
70

Gambar Mekanisme kerja Lamivudine pada HBV. 10

c. Hepatitis C

1). Pengkajian sebelum pemberian terapi

a. Mencari penyebab lain dari penyakit hati kronis, koinfeksi VHB dan HIV,
penyakit hati alkoholik, penyakit hati non-alkoholik, maupun autoimun.
b. Menilai derajat keparahan penyakit hati kronis, tarmasuk kemungkinan
terjadinya karsinoma hepatoselular, USG abdomen atau biopsi hati.
c. Menilai muatah virus RNA VHC dan genotipe virus.
d. Pemeriksaan genetik, deteksi gen IL28B untuk menentukan regimen terapi
pada hepatitis C genotip. 1
2). Tujuan Terapi

Tujuan terapi hepatitis C ialah mencegah komplikasi penyakit hati fibrosis,


sirosis, KHS, hingga kematian. Sementara, target terapi antivirus ditujukan
71

untuk mencapai sustained viral response (SVR) yakni tidak terdeteksinya RNA
VHC (<50 IU/ m1.) selama 24 minggu pascaterapi antivirus. Oleh sebab itu,
diperlukan pemeriksaan RNA VHC secara berkala. Pada pasien sirosis
kompensata terapi ditujukan untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya
sirosis dekompensata dan risiko terjadinya KHS. 1

3) lnisiasi standar Regimen

Terapi Regimen standar (terutama untuk genotipe 1 dan 4 ialah peg-interferon


a (peg-INF a) kerja panjang yang dikombinasikan dengan ribavirin. Peg-INF a
2a berupa peg-INF a 2a (dosis 180 mikrongram/minggu SK) atau peg-INF a-2b
(duosis 1,5 ug/KgBB/minggu SK). Sementara ribavirin diberikan dengan dosis
1000 mg/hari P.O. (untuk BB kurang dari 75 kg) atau 1200 mg/harl PO (untuk
BB >75 Kg). Konsensus PPHI tahun 2014 merekomendasikan pemberian
kombinasi peg-INF a dan ribavirin tersebut selama 24 minggu untuk VHC
genotipe 2 atau 3. Sebelum inisiasi terapi antivirus, sangat penting untuk
memastikan tidak ada kontraindikasi pemberian peg-INF a dan Ribavirin.
Khusus pada infeksi VHC genotipe 1, terapi Ribavirin dan peg-IFN a perlu
dikombinasikan dengan Boceprevir atau Telaprevir (disebut sebagai Tripel
terapi). Tripel tempt dengan boceprevir direkomendasikan selama 28-48
minggu. sementara tripel terapi dengan telaprevir direkomendasikan selama
24-48 minggu (telaprevir diberikan hanya 12 minggu). 1

Terapi Hepatitis Akut

Terapi dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk menunggu terjadinya reaksi
spontan, terutama pada hepatitis C akut yang simtomatis, kecuali pada pasien
dengan genotip IL28B non-CC yang dapat diterapi sejak 12 minggu karena
kemungkinan resolusi spontan lebih rendah. Durasi terapi pada VHC genotipe I
dilanjutkan selama 24 minggu, dan pada genotip 2 atau 3 dilanjutkan selama 12
minggu. Regimen terapi hepatitis C akut ialah monoterapi dengan peg-IFN a
72

selama 24 minggu. Dosis Peg-IFN a 2a ialah 180 pg/minggu SK, sedangkan dosis
peg-IFN a-2b ialah 1,5 pg/minggu SK. Umumnya eradikasi virus dapat dicapai
hingga >90%. Bila gagal pasien dimasukkan dalam terapi hepatitis C kronis. 1

4). Pemantauan Terapi

a. Pada dual terapi, pemeriksaan RNA VHC dilakukan pada awal terapi,
minggu ke 4,12, 24. akhir terapi antivirus dan 24 minggu setelah terapi
dihentikan. Pada tripel terapi menggunakan boceprevir, RNA VHC
dinilai pada awal terapi, minggu ke 4, 8, 12, 24, akhir terapi dan 24
minggu setelah terapi dihentikan.
b. Penilaian efek samping terapi harus selalu dilakukan setiap kali kontrol.
Keluhan yang sering muncul berupa flu-like symptoms, fatigue, sakit
kepala, dan demam. Beberapa pasien juga mengeluhkan iritabilitas
imsonia dan depresi.
c. Pemeriksaan darah untuk melihat keberadaan anemia, trombositopenia,
neutropenia, dan peningkatan ALT dinilai pada minggu ke l, 2. dan 4
sejak awal terapi dan selanjutnya dapat diulang dengan interval setiap 4-8
minggu.
d. Thyroid stimulating hormone (TSHs) dan kadar tiroksin dinilai pada awal
terapi dan diulang bila ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi tiroid.
e. Edukasi mengenai efek teratogenik ribavirin dan pentingnya
menggunakan kontrasepsi selama terapi sampai 6 bulan pemberian.
f. Bila didapatkan gejala neuropsikiatri berat atau jumlah neutrofil absolut
<750/mm atau jumlah trombosit <50.000/mm, maka perlu dilakukan
penyesuaian dosis peg-IFN dan pemantauan ketat. Terapi peg-IFN a
dihentikan bila jumlah neutrofil absolut <500/mm dan jumlah trombosit
<25.OOO/mm3.
g. Bila Hb <10 g/dL, dosis ribavirin diturunkan 200 mg dan dilakukan
penyesuaian dosis. Bila Hb <8.5 g/dL terapi ribavirin dihentikan.
73

h. Pada pasien dengan tripel terapi, efek samping lebih sering timbul.
Apabila muncul efek samping yang membahayakan dalam pemberian
boceprevir, lanjutkan dengan dual terapi. 1

5). Terapi pada Kondisi Khusus

a. Terapi Pada Sirosis Hati Kompensata

Terapi antivirus tetap direkomendasikan pada sirosis hati. salama tidak ada
kontraindikasi. meski peluang mencapai SVR bebih rendah dibandingkan pada
pasien tanpa sirosis. Diperlukan pemantauan ketat, setidaknya dua minggu sekali
karena risisko efek samping lebih tinggi.

4) Terapi Pada Sirosis Hati Dekompensata


Terapi antivirus lebih berisiko pada kelompok ini karena efek samping obat
lebih sering terjadi seperti neutropenia, trombositopenia, anemia, sepsis, dan
gagal hati.
5) Pasien dengan Ko-Infeksi HIV
Skrining rutin HIV sangat direkomendasikan pada pasien hepatitis C.
Termasuk penilaian risiko pajanan. Menurut konsensus WHO 2014. Semua
pasien ko-infeksi HIV-VHC adalah kandidat untuk mendapat pengobatan
antiretrovirus (ARV), tanpa melihat nilai hitung CD4+. Terapi ARV dibedakan
terlebih dahulu, sementara terapi hepatitis C menunggu hingga pasien stabil
dan hitung CD4+ >350 sel/mm3 .
Regimen terapi VHC pada koinfeksi HIV-VHC ialah kombinasi peg-IFN
a/ribavirin selama I tahun untuk semua genotip seperti pada pasien tanpa
infeksi HIV. Penundaan terapi HCV dapat dipertimbangkan pada HCV
genotipe 1 dan jumlah virus tinggi (>800.000 IU/ml.) jika hasil penilaian
fibrosis masih menunjukkan penyakit hati awal. Dosis ribavirin diberikan
berdasarkan berat badan pada pasien dengan HCV genotipe 1. sedangkan pada
genotipe 2 dan 3 ribavirin diberikan dengan dosis tetap 800 mg/hari. Pasien
74

hepatitis C yang akan diberikan serapi tidak boieh dikombinasi dengan ARV
jenis didanosin (dll), zidovudin (AZT) dan stavudin (d4T). 1

6) Pasien Konifeksi VHC-VHB


Kriteria pemberikan antivirus pada pasien koinfeksi VHC-VHB sama dengan
pasien monoinfeksi VHC. Pasien dengan anti-VHC, HbsAg, dan RNA VHC
positif diterapi dengan Peg-DEN a dan ribavirin selama 48 minggu untuk VHC
genotipe l atau selama 24 minggu untuk VHC genotipe 2 atau 3. Bila replikasi
atau reaktivasi VHB terdeteksi berikan terapi analog nukleotida. Pada pasien
hepatitis C dengan HBsAg dan anti-HBs negatif, direkomendasikan untuk
mendapat vaksinasi hepatitis B. 1

d. Hepatitis D

Masalah yang dijumpai pada terapi infeksi virus hepatitis D adalah tidak
adanya fungsi enzimatik spesifik pada virus yang dapat menjadi target terapi,
berbeda dengan hepatitis B dan hepatitis C yang mempunyai polimerase dan
protease. Virus hepatitis D bergantung pada HBsAg dan bukan terhadap
replikasi virus hepatitis B, sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh kadar
HBV-DNA dalam serum. Sekresi virus hepatitis D in vitro dan kadar HDV-
RNA in vivo berkorelasi langsung dengan kadar HBsAg serum, bukan dengan
titer HBV-DNA.

Interaksi antara virus hepatitis B dan hepatitis D den adanya fakta bahwa
sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis D mempunyai virus hepatitis B yang
secara spontan mengalami represi, menjelaskan mangapa antivirus sintetik
terhadap virus hepatitis B tidak bermanfaat. Tidak terdapat perbaikan klinis
dan virologis pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis D yang mendapatkan
terapi famciclovir, lamivudin, adefovir, dan ribavirin, baik berupa monoterapi
maupun terapi kombinasi dengan interferon. Pada infeksi hepatitis D kronik,
terapi yang digunakan adaiah interferon. Vaksinasi hepatitis B dapat
75

mencegah infeksi hepatitis D sampai saat ini vaksin hepatitis D belum


ditemukan. 1

e. Hepatitis E
Pengembangan vaksin dan pemeriksaan tetap dilakukan, namun saat ini
tidak ada vaksin yang dinilai cukup efektif. Strategi kontrol dan
pencegahan infeksi HEV bertujuan meningkatkan kondisi higiene pada
area endemik dan mendeteksi sumbe kontaminasi. Dengan meningkatka
sanitasi dan menyediakan air minum bersih serta sistem pembuangan
limbah yang baik dapat menurunkan angka infeksi. 1

f. Sirosis hati
Penanganàn SH kompensata berfokus pada Penyebab hepatitis kronis. Hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak
lebih lanjut dan menurunkan ulang karsinoma hepatoselular. Di Asia
Tenggara penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV Untuk HBV
dapat diberikan preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan
preparat analog nukleosida jangka panjang Preparat nukleosida analog ini
juga dapat diberikan pada SH dekompensata akibat HBV kronis selain
penanganan untuk komplikasinya. Sedang untuk SH akibat HCV kronis
bisa diberikan preparat Interferon. Namun pada SH dekompensata
pemberian preparat interferon ini tidak direkomendasikan. 1

g. Abses hati
1) Abses hati amuba

Medikamentosa

a. Jika didapatkan pasien muda yang telah melakukan perjalanan ke daerah


endemik, pada pencitraan didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat
toksik, dengan dugaan kuat abses amuba, maka pemeriksaan feses harus
76

dilakukan untuk mencari kista dan trophozoit amuba dan serum harus
diperiksa antibodi e. hystolitica.
b. Terapi dimulai dengan metronidazole 3x750 mg per oral selama 7-10 hari
atau nitoimidazole kerja panjang (tinidazole 2 gram PO dan ornidazole 2
gram PO) dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi kemudian
dilanjutkan dengan preparat luminal amubisida untuk eradikasi kista dan
mencegah transmisi lebih lanjut, yaitu: iodoquinol 3x650 mg selama 20
hari, diloxanide furoate 3x500 mg selama 10 hari, aminosidine
(paromomycin 25-35 mg/kg perhari TID selama 7-10 hari). Lebih dari
90% pasien mengalami respons yang dramatis dengan terapi
metronidazole baik berupa penurunan nyeri maupun demam dalam 72 jam.
c. Paromycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari
atau lini kedua diloksanide furoate 3x500 mg per oral selama 10 hari.
d. Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi alternatif, tetapi
sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan
gastrointestinal, selain karena tingginya angka relaps. Chloroquine
phosphate 1000 mg (chloroquine base 600 mg) diberikan oral selama 2
hari dan dilanjutkan dengan 500 mg (chloroquine base 300 mg) diberikan
oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis diharapkan dalam 3 hari. 1
Non medikamentosa

Aspirasi jarum perkutan

Indikasi aspirasi jarum perkutan:

a. Risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang didefinisikan dengan


ukuran kavitas lebih dari 5 cm
b. Abses pada lobus kiri hari yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan
frekuensi tinggi bocor ke peritoneum atau perikardium
c. Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari
d. Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien
dengan lesi multipel. 1
77

Drainase perkutan

Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT


scan abdomen. Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ intra
abdomen, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk
drainase. 1

Drainase secara operasi

Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus tertentu seperti
abses dengan ancaman ruptur atau secara teknis susah dicapai atau gagal
dengan aspirasi biasa/ drainase perkutan. 1

Reseksi hati

Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi
spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle) dan
disertai dengan hepatolitiasis, terutama pada lobus kiri hati. 1

Berdasarkan kesepakatan PEGI (perhimpunan endoskopi gastrointestinal


indoneia) dan PPHI (perhimpunan peneliti hati indonesia) di surabaya pada
tahun 1996:

- Abses hati dengan diameter 1-5 cm: terapi medikamentosa, bila respons
negatif dilakukan aspirasi
- Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
- Abses hati dengan diameter ≥ 8 cm: drainase perkutan. 1

2) Abses hati piogenik

Medikamentosa

Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika spektrum luas.


Ampisilin dan aminoglikosida diberikan bila sumber infeksi terdapat pada
saluran empedu. Sefalosporin generasi ketiga merupakan pilihan apabila
78

sumber infeksi berasal dari usus. Metronidazole diberikan pada semua


AHP dengan berbagai sumber infeksi untuk mengatasi infeksi anaerobik.
Regimen pilihan lain adalah kombinasi beta laktam dan penghambat
aktivitas beta laktamase yang diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi
dari usus, dimana kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi anaerobik.
Bila telah terdapat hasil kultur, antibiotika disesuaikan dengan kuman
yang spesifik. Antibiotik intravena diberikan sedikitnya selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 6 minggu. Apabila infeksi
disebabkan oleh streptococcus, pemberian antibiotika oral dosis tinggi
disarankan selama lebih dari 6 minggu. 1

Non medikamentosa

Drainase perkutaneus

Drainase perkutaneus dilakukan dengan tuntunan USG pada abses


berukuran >5 cm, menggunakan indwelling drainage catheter. Pada abses
multipel, hanya abses berukuran besar yang perlu untuk diaspirasi. Abses
kecil cukup dengan penggunaan antibiotika.

Drainase dengan pembedahan

Drainase dengan pembedahan dilakukan pada AHP yang mengalami


kegagalan setelah dilakukan drainase perkutaneus, ikterik yang tidak
sembuh, penurunan fungsi ginjal, serta pada abses multilokuler. Saat ini
drainase dengan pembedahan dilakukan dengan laparoskopis. 1

h. Perlemakan hati
1) Perlemakan hati non alkoholik
Sampai sekarang modalitas pengobatan yang terbukti baik masih terbatas.
Belum ada terapi yang secara universal dapat dikatakan efektif, strategi
pengobatan cenderung dilakuan dengan pendekatan empiris karena
patogenesis penyakit juga belum begitu jelas diketahui. Penelitian terapi
79

medikamentosa steatohepatitis non alkoholik yang dipublikasikan


sebagian besar merupakan uji klinis tanpa kontrol. Penelitian yang
menggunakan kontrol umumnya dilakukan terhadap pasien dalam jumlah
kecil atau bervariasi dalam menetukan kriteria steatohepatitis dan
parameter keberhasilan. Oleh karena itu. pengobatan lebih ditujukan pada
tindakan untuk mengontrol faktor risiko, seperti memperbaiki resistensi
insulin dan mengurangi asupan asam lemak ke hati, selanjutnya baru
pemakaian obat yang dianggap memiliki potensi hepatoprotektor. 1
Pengontrolan Faktor Risiko (non farmako)
a) Mengurangi berat badan dengan diet dan latihan jasmani.
Intervensi terhadap gaya hidup dengan tujuan mengurangi
berat badan merupakan terapi lini pertama bagi steatohepatitis
non alkohoiik. Target penurunan berat badan adalah untuk
mengoreksi resistensi insulin dan obesitas sentral, bukan untuk
memperbaiki bentuk tubuh. Penurunan berat badan secara
bertahap terbukti dapat memperbaiki konsentrasi serum
aminotransferase (AST dan ALT) serta gambaran histologi hati
pada pasien dengan steatohepatitis non alkoholik. Erikson dkk
melaporkan efek penurunan berat badan pada tiga pasien yang
sebelumnya mengalami kelebihan berat antara 50-60%.
Ternyata semua mengalami perbaikan dengan konsentrasi
enzim aminotransferase mendekati normal. dan dua pasien
menunjukkan normalisasi histologi hati. Sebuah studi lain di
Jepang yang menggunakan intervensi diet dan olahraga untuk
menurunkan berat badan juga memberikan hasil yang sarna.
Perlu diperhatikan bahwa penurunan berat badan terlalu drastis
atau fluktuasi berat badan yang bolak-balik naik turun
(sindrom yo-yo) justru memicu progresi penyakit hati. Hal ini
terjadi akibat meningkatnya aliran asam lemak bebas ke hati
sehingga peroksidasi lemakpun turut meningkat. Sebaliknya
80

penurunan berat badan bertahap temyata tidak mudah


dilakukan dan seringkali sulit untuk dipertahankan. Latihan
jasmani dan pengaturan diet menjadi inti terapi dalam usaha
mengurangi berat badan. Aktifitas fisik hendaknya berupa
latihan bersifat aerobik paling sedikit 30 menit sehari. Sangat
penting untuk mencapai target denyut nadi, tetapi tidak perlu
menjalankan latihan yang terlalu berat. 1
Esensi pengaturan diet tidak berbeda dengan diet pada
diabetes: mengurangi asupan lemak total menjadi 60% dari
total asupan energi, mengurangi asupan lemak jenuh,
mengganti dengan karbohidrat kompleks yang mengandung
setidaknya 15 gr serat serta kaya akan buah dan sayuran.
Walaupun dianjurkan untuk merujuk pasien kepada ahli gizi
untuk mendapatkan pengetahuan lebih rinci mengenai
pengaturan diet, namun setiap dokter diharapkan mampu
memberi informasi prinsip diet rendah lemak yang
sesungguhnya tidaklah terlalu rumit. 1
b) Mengurangi berat badan dengan tindakan bedah.
Setelah gagal dengan pengaturan diet dan latihan jasmani tidak
jarang pasien beralih kepada terapi pembedahan. Beberapa
penelitian melaporkan manfaat Operasi bariatrik terhadap
pasien dengan perternakan hati. Terlihat adanya perbaikan
pada gambaran histologi hati serta parameter umum sindrom
metabolik Sekali lagi harus diingat potensi timbulnya
eksaserbasi steatohepatitis pada penurunan berat badan yang
terlalu cepat. 1
Terapi Farmakologis
c) Antidiabetik dan insulin sensitizer
Metformin meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan
menurunkan produksi glukosa hati. 1
81

Penelitian dilakukan oleh Marcnesini dkk. Empat belas


pasien steatohepatitis nonalkoholik mendapat terapi metformin
3 x 500 mg/hari selama 4 bulan dan sebagai kelompok kontrol
adalah 6 pasien steatohepatitis nonalkoholik yang hanya
mendapat terapi diet. Didapatkan perbaikan konsentrasi rata-
rata SGPT, peningkatan sensitifitas insulin, dan penurunan
volume hati pada pasien yang mendapatkan terapi metformin.
Namun sayangnya. pada penelitian ini tidak dilakukan evaluasi
histopatologis setelah terapi. 1
Tiazolidindion adalah obat antidiabetik yang bekerja
sebagai ligan untuk PPARg dan memperbaiki sensitifitas
insulin pada jaringan adiposa. Selain itu. tiazolidindion juga
menghambat ekspresi leptin dan TNF-alfa. konstituen yang
dianggap terlibat dalam patogenesis steatohepatitis
nonalkoholik. Terdapat 3 tiazolidindion yang telah diproduksi.
Pertama, troglizatin telah ditarik dari peredaran karena
menyebabkan kerusakan hati, termasuk beberapa kematian
akibat penyakit hati. Caldwell dkk menggunakan obat ini
sebelum ditarik dari peredaran. Berdasarkan penelitiannya.
ditemukan normalisasi enzim tanpa perbaikan histologis pada
7 dari 10 pasien steatohepatitis nonalkoholik yang diterapi
troglizaton selama 6 bulan. Kedua, rosiglitazon yang telah
diteliti selama setahun pada 25 pasien dengan steatohepatitis
non alkoholik. Konsentrasi enzim-enzim hati (AST, fosfatase
alkali dan g-glutamil transpeptidase) membaik secara
bermakna seperti juga sensitifitas insulin. Biopsi hati yang
dilakukan pasca terapi menunjukkan adanya perbaikan derajat
fibrosis sentrilobular. Adanya beberapa kasus gangguan hati
akibat rosiglitazon, diperlukan studi terkontrol lebih besar
untuk menilai manfaat dan keamanan obat ini. Obat ketiga
82

adalah piaglitazon yang paling tidak telah dilaporkan pada tiga


studi pendahuluan. Ketiganya membuktikan terjadinya
perbaikan pada aminotransferase, dua penelitian juga disertai
perbaikan derajat steatosis dan nekroinflamasi. Sayangnya
penelitian tersebut melibatkan sampel kecil, delapan sampai
sepuluh pasien. sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan
dengan sampel lebih besar. 1
d) Obat anti hiperlipidemia
Studi menggunakan gemfibrozil menunjukkan perbaikan ALT
dan konsentrasi lipid setelah pemberian obat selama satu
bulan. tetapi evaluasi histologi tidak dilakukan. Uji klinis
terhadap statin juga telah dilakukan. Sebuah studi pendahulan
dengan sampel kecil memperlihatkan perbaikan parameter
biokimiawi dan histologi pada sekelompok pasien yang
mendapat atorvastatin. Sebaliknya studi lain menunjukkan
tidak adanya perbedaan bermakna antara kontrol dan pasien
yang menggunakan berbagaijenis statin. 1
e) Antioksidan
Berdasarkan patogenesisnya, terapi antioksidan diduga
berpotensi untuk mencegah progresi steatosis menjadi
steatohepatitis dan fibrosis. Antioksidan yang pernah
dievaluasi sebagai alternatif terapi pasien perlemakan hati non
alkoholik antara lain vitamin E (a-tokoferol), vitamin C, betain
dan N-asetilsistein. Penelitian-penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa vitamin E menghambat produksi sitokin
oleh lekosit Sementara itu uji klinis pada manusia
menunjukkan bahwa vitamin E dengan dosis sampai 300
lU/hari dapat menurunkan konsentrasi TGF-B. memperbaiki
inflamasi dan fibrosis, seperti studi yang melibatkan 12 pasien
dengan steatohepatitis berdasarkan biopsi dan 10 pasien
83

dengan perlemakan hati yang mendapat vitamin E 300 lU/hari


selama setahun. Tes fungsi hati menunjukkan perbaikan
bermakna dibandingkan data awal, sedangkan derajat steatosis,
inflamasi dan fibrosis membaik atau tetap stabil pada sembilan
pasien dengan steatohepatitis yang menjalani biopsi hati
ulangan pasca terapi. Studi lain dilakukan terhadap 45 pasien
dengan steatohepatitls non alkoholik yang menerima
kombinasi vitamin E 1000 lU/hari dan vitamin c 1000 lU/hari
atau plasebo selama enam bulan. Ternyata tidak teriihat
perbedaan bermakna antara kelompok kontroi dan plasebo
dalam enzim-enzim hati. derajat steatosis dan aktivitas
nekroinfiamasi. Untuk memastikan potensi efikasi vitamin E
terhadap pasien perlemakan hati non alkoholik masih
1
diperlukan penelitian terkontrol dengan jumlah lebih besar.
Betain berfungsi sebagai donor metil dalam pembentukan
lesitin daiam siklus metabolik metionin. Pada sebuah
penelitian oleh grup dari klinis Mayo, betain 20 ing/hari
diberikan pada delapan pasien dengan steatohepatitis non
alkoholik selama 12 bulan. Pasca terapi terlihat perbaikan
bermakna konsentrasi ALT, steatosis, aktifitas nekroinflamasi
dan fibrosis. 1
f) Hepatoprotektor
Ursodeoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu dengan banyak
potensi, seperti efek imunomodulator, pengaturan lipid. dan efek
sitoproteksi. Pertama kali digunakan secara empiris pada seorang
perempuan berusia 66 tahun dengan steatohepatitis non alkoholik yang
menunjukkan normalisasi enzim transaminase setelah terapi UDCA
selama satu tahun. Sampai saat ini terdapat empat uji klinis terbuka
untuk menilai manfaat terapi UDCA pada pasien steatohepatitis non
alkoholik. Pada sebuah studi pendahuluan terhadap 40 pasien yang
84

mendapat UDCA 13-15 mg/kg/hari seiama satu tahun terbukti adanya


perbaikan ALT. fosfatase alkali, g-GT, dan steatosis, tetapi tidak ada
perbaikan bermakna dalam derajat infiamasi dan fibrosis. Pada studi
lain tes fungsi hati mengalami perbaikan pada 13 pasien setelah
mendapat UDCA 10 mg/kg/hari selama 6 bulan. Studi paling akhir
menyangkut UDCA dilakukan terhadap 24 pasien dengan dosis 250
mg tiga kali sehari selama 6-12 bulan. Dilaporkan adanya perbaikan
konsentrasi aminotransferase dan petanda fibrogenesis.
2) Perlemakan hati alkoholik
Berhenti sebagai peminum alkohol dan keteguhan untuk melakukan
diet yang adekuat merupakan penatalaksanaan yang mencukupi. 1

i. Kolelitiasis
Non farmako: Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan
pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi
dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. 1

Farmako: Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk


mencegah komplikasi peritonitis, kolanngitis dan septisemia. Golongan
1
ampisilin, sefalosporin dan metronidazol.

j. Kolesistitis

Non farmakologi :

a) Istirahat total
85

b) Pemberian nutrisi parenteral


c) Diet ringan
d) Pembedahan 1

Farmakologi :

Obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian


antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
peritonitis, kolanngitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin
1
dan metronidazol.

5. Bagaimana pencegahanan kelainan hepatobilier ?


a. Hepatitis A

Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan
benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal
yang baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari
HAV.

Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum globulin


prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan. Akan
tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin tersebut
menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis yang
berkunjung ke daerah endemik dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang
lahir di daerah endemis HAV, orang dengan immunocompromised yang
memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan
setelah terpajan akibat pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi,
contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum
globulin prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar
dari kontaminan tersebut. Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV
yang terjadi di sekolah, rumah sakit, dan institusi lainnya.
86

Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat baik.
Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik,
untuk memusnahkan wabah, dan untuk melindungi pekerja kesehatan setelah
pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat risiko akibat pekerjaan.4 Vaksinasi
HAV memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV sebesar 94-100%
setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara terpisah, dengan
efek samping yang minimal. 1

b. Hepatitis B
Sebagian besar pencegahan penderita hepatitis B akut akan membaik atau
sembuh sempurna tanpa meninggalkan bekas. Tetapi sebagian kecil akan
menetap dan menjadi kronis, kemudian menjadi buruk atau mengalami
kegagalan faal hati. Biasanya penderita dengan gejala seperti ini akan
berakhir dengan meninggal dunia. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi
hal tersebut maka perlu diadakan pemeriksaan berkala. Sebelum
dilaksanakan pembedahan, pada waktu pembedahan, dan pasca
pembedahan. 1
c. Hepatitis C

Berbeda dengan hepatitis B, hingga saat ini belum ada vaksin yang mampu
mencegah infeksi VHC. Pencegahan pada dapat dilakukan dengan skrining
darah dan produk darah. pencegahan universal terhadap pasien infeksi VHC,
serta menghindari penggunaan alat cukur, sikat gigi, atau gunting kuku
bersama dengan pasien hepatitis C. Tidak ada pencegahan khusus pada bayi
yang lahir dari ibu dengan hepatitis C. Begitupun dengan pemberian ASI yang
tidak dibatasi. 1

d. Hepatitis D
Tidak ada vaksin tetapi otomatis orang akan terlindungi jika telah
diberikan imunisasi Hepatitis B. 1
e. Hepatitis E
87

Pencegahannya dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama


kebersihan makanan dan minuman. 1
f. Sirosis hati
Cara untuk mencegah terjadinya Sirosis dengan tidak mengkonsumsi
alkohol, menghindari resiko infeksi virus Hepatitis B dan Hepatitis C,
tidak mengkonsumsi obat yang memiliki efek toksik pada hati. Vaksinasi
terhadap virus Hepatitis B merupakan pencegahan yang efektif untuk
mencegah Hepatitis B yang dilakukan untuk menghindari resiko penularan
vertikal dari ibu kepada bayi. Vaksinasi hepatitis B diberikan pada bayi
baru lahir umur 0-7 hari (HB0). Vaksinasi ini dilakukan terutama kepada
kelompok resiko tinggi seperti pada bayi dari ibu pengidap virus Hepatitis
B, petugas pelayanan kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan,
petugas laboratorium), anggota keluarga pengidap hepatitis, kaum homo
seks, para tuna susila, dan pelanggan mereka, pecandu obat bius suntik,
mereka yang sering mendapat perawatan tusuk jarum yang suntiknya tidak
steril, mereka yang sering mendapatkan transfusi darah. Cara pencegahan
sirosis hati dapat dilakukan dengan cara tidak gonta-ganti pasangan sexual,
menghindari kontak darah dengan penderita Hepatitis B, hindari
penggunaan narkoba suntikan, hindari pengguanaan jarum suntik secara
bergantian, transfusi darah secara steril dan aman. 1
g. Abses hati
1) Abses hati amuba
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang
tercemar dengan kista. Karena pembawa asimtomatik dapat
mengeluarkan hingga 15 juta kista per hari, pencegahan infeksi
membutuhkan sanitasi yang memadai dan pemberantasan pembawa
kista. Pada daerah berisiko tinggi, infeksi dapat diminimalkan dengan
menghindari konsumsi buah dan sayuran yang tidak dikupas dan
penggunaan air kemasan. Karena kista tahan terhadap klor, desinfeksi
88

oleh iodine dianjurkan. Sampai saat ini tidak ada profilaksis yang
efektif. 1

2) Abses hati piogenik


Pencegahan terbaik adalah dengan mengetahui sedini mungkin
sumber-sumber infeksi yang dapat menyebabkan AHP, diikuti dengan
penanganan yang tepat. 1
h. Perlemakan hati
Penurunan berat badan, diet, suplementasi diet aktivitas fisik 1
i. Kolelitiasis dan Kolesistitis
Menghindari mengkonsumsi kolesterol berlebihan, menghindari alkohol,
rutin menjalankan aktivitas fisik 1
6. Bagaimana komplikasi dari penyakit hepatobilier ?
a. Hepatitis

Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis B akut.


Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut.
Kebanyakan penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala
hepatitis B akut yang jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang
paling ditakuti karena sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen
kasus hepatitis virus fulminan adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus
hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D atau
hepatitis C. Angka kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis fulminan
yang berhasil hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi atau
histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah transplantasi hati.

Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan
parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah
struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan
89

mengalami kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan


bahkan kehilangan fungsinya. 1

Hepatitis Fulminan
Gejala dan tanda gagal hati akut-penciutan hati, kadar bilirubin serum
meningkat cepat, pemanjangan waktu protrombin yang sangat nyata. 11

Hepatitis Kronis Persisten


Perjalanan klinis yang lebih lama 2-8 bulan. 11

Karsinoma Hepatoseluler
Infeksi HBV kronis dan sirosis terkait. 11

b. Sirosis hati

Komplikasi SH yang utama adalah portal hipertensi, asites, peritonitis


bakterail spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal,
ensefalopati hepatikum, dan kanker hati. 1
90

Gambar Manifestasi komplikasi sirosis hati. 11

HIPERTENSI PORTAL

Portal hipertensi (HP) adalah peningkatan hepatic. Tekanan vena vena


(HVPG) lebih 5 mmHg Hipertensi portal yang paling sering terjadi. Jika
gradien portal (perbedaan antara vena porta dan vena cava inferior) di atas 10
12 mmHg. komplikasi HP dapat terjact Hipertensi porta terjadi akibat adanya
1). Peningkatan resistensi intra hepatik terhadap aliran darah akibat adanya
91

nodul degeneratif dan 2) peningkatan aliran darah splankital akibat


vasodilatasi pada spianchnic vascularbed. 1

ASITES

Penyebab asites yang paling banyak pada SH adalah HP disamping adanya


hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal
yang akan meng-akibatkan jumlah cairan dalam peritoneum. Penanganan
asites yaitu tirah baring, diet rendah garam yaitu konsumsi garam 5,2 gram
atau 90 mmol / hari. Bila tidak berhasil dapat dikombinasikan dengan
spironolakton 100-200 mg / hari. Respons diuretik dapat dimonitor dengan
adanya berat badan 0,5 kg / hari tanpa edema dan 1 kg / hari bila ada edema.
Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg / hari, dengan dosis maksimal 160 mg /
hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites sampai
4-6 literperly disertaidengan pemberian albumin. 1

VARISES GASTROESOFAGUS

Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistermik yang paling


penting.Pecahnya varises esophagus (VE) yang terjadi perdarahan varises
yang berakibat fatal, Varises ini terdapat sekitar 50% pendenta SH dan Kontak
dengan derajat keparahan SH. 1

Tabel Tatalaksana sirosis hati dengan komplikasi. 1


92

c. Abses hati
1) Abses hati amuba

Tanpa terapi, abses akan membesar, meluas ke diafragma atau ruptur ke kavitas
peritoneal:

a) Ruptur abses ke dalam:


- Region toraks, menyebabkan:
a. Fistula hepatobronkial
b. Abses paru
c. Empiema ameba (20-30%)
- Pericardium, menyebabkan:
93

a. Gagal jantung
b. Perikarditis
c. Tamponade jantung
- Peritoneum, menyebabkan:
a. Peritonitis
b. Asites. 1
b) Infeksi sekunder (biasanya bersifat iatrogenic setelah tindakan aspirasi) 1
c) Lain-lain (jarang)
- Gagal hati fulminan
- Hemobilia
- Obstruksi vena kava inferior
- Sindrom bud chiari
- Abases cerebri (penyebaran hematogen): 0,1 %. 1

2) Abses hati piogenik


Komplikasi yang dapat terjadi seperti ruptur, penyebaran infeksi ke
organ sekitar terutama ke pleura (efusi pleura, empiema) dan paru.
Komplikasi lain berupa efusi perikardial, fistula torakal dan
abdominal, sepsis, serta trombosis. Trombosis dapat terjadi pada vena
porta maupun vena hepatika disebabkan karena infeksi bakteri
anaeroik. Trombosis dapat menyebabkan hipertensi portal ataupun
sindroma bud-chiari meskipun penanganan abses telah berhasil. Pasien
dengan abses yang besar sangat mudah mengalami sepsis. 1

d. Perlemakan hati
Sirosis dan Karsinoma hepatoseluler. 1
e. Kolelitiasis dan Kolesistitis
Kolesistitis gangrenosa: kolesistitis gangrenosa yang ditandai dengan :
defek pada dinding kandung empedu, cairan di perikolesistik dan tidak
ditemukan adanya batu empedu.
94

Kolesistitis emfisematosa: Vesika felea emfisematosa karena infeksi oleh


1
organisme yang membentuk gas.
95

Tambahan:
7. CA Hepar
Definisi
Karsinoma hepatoseluler/ hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan
penyakit neoplasma ganas primer hepar tersering yang terdiri dari sel
menyerupai hepatosit dengan derajat diferensiasi bervariasi. HCC adalah
istilah terminologi yang lebih baik dibandingkan hepatoma dan kanker liver
yang sebaiknya dihindari. 1
Pada manusia, sebagian besar HCC muncul dengan latar belakang
hepatitis kronis atau sirosis. HCC sudah menjadi masalah kesehatan global,
merupakan kanker kelima ter banyak di dunia, yaitu 5,4% dari semua jenis
kanker, dan penyebab kematian ketiga ter tinggi akibat kanker. HCC menjadi
salah satu keganasan terbanyak pada dewasa, lebih dominan pada laki-laki
dengan per banding an 2-4 : Angka kejadian tertinggi ditemu kan di Asia dan
Afrika dengan kelompok populasi berusia 20-40 tahun, sedangkan di negara
barat jarang terjadi sebelum usia 60 tahun. 1
HCC merupakan karsinoma kedua paling mematikan setelah karsinoma
pankreas. Hampir seluruh pasien meninggal dalam 6-7 bulan setelah
didiagnosis. Hal ini umum terjadi di daerah endemisitas tinggi. Prognosis
buruk ini berhubungan dengan masih kurang baiknya diagnosis awal dan
resistensi tumor terhadap tatalaksana. 1

Etiologi
HCC sangat berhubungan dengan penyakit hepar kronis, terutama infeksi
hepatitis B virus (HBV ) dan hepatitis C virus (HCV ). Sebanyak 52,3%
penderita HCC berasal dari infeksi HBV kronis dan 20% dari infeksi HCV.
Penyebab lain yaitu non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), afl atoksin,
dan penyakit hepar alkoholik. Risiko HCC pada sirosis ber kisar 1-6% per
tahun. Sirosis tanpa memandang etiologinya, mempunyai risiko HCC 3-4
96

kali lebih tinggi dibanding hepatitis kronis. Peningkatan proliferasi


hepatoseluler dapat mengarah pada aktivasi mutasi gen supresor tumor.
Perubahan ini yang nantinya menginisiasi hepatokarsinogenesis. 1

Patofisiologi
Hepatoma 75 % berasal dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya
yangdisebabkan oleh alkoholik dan post nekrotik. Pedoman diagnostik yang paling
pentingadalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada
penderita sirosishati yang disertai pembesaran hati mendadak. Matastase ke
hati dapat terdeteksi padalebih dari 50 % kematian akibat kanker.diagnosa sulit
ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang luas,
sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi. Stadium hepatoma :
1) Stadium i : satu fokal tumor berdiameter < 3 cm
2) Stadium ii : satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segment
iatau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati
3) Stadium iii : tumor pada segment i meluas ke lobus kiri (segment iv) atau
kelobus kanan segment v dan viii atau tumor dengan invasi peripheral ke
sistempembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi
hanyaterbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati
4) Stadium iv :multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan
lobuskiri hati. Atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati
(intrahepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau tumor denganinvasi
ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluhdarah
vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior-atau adanya metastasekeluar dari hati
(extra hepatic metastase). 1

Hepatokarsinogenesis dikenal sebagai proses tahapan yang sangat rumit


dan hampir setiap jalur yang terlibat dalam proses karsinogenesis akan
mempengaruhi derajat pada karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu, tidak
97

ada mekanisme molekuler tunggal yang dominan atau patognomonik pada


karsinoma hepatoseluler. 1

Hepatokarsinogenesis dianggap suatu proses yang berasal dari sel-sel


induk hati (namun, peran sel induk hati sebagai sel yang berkembang menjadi
karsinoma hepatoseluler masih dalam perdebatan) atau berasal dari sel
hepatosit yang matang dan merupakan perkembangan dari penyakit hati kronis
yang didorong oleh stress oksidatif, inflamasi kronis dan kematian sel yang
kemudian diikuti oleh proliferasi terbatas / dibatasi oleh regenerasi, dan
kemudian remodeling hati permanen. 1

Mekanisme hepatokarsinogenesis tidak sepenuhnya dipahami . Namun ,


seperti kebanyakan tumor solid lainnya, pengembangan dan perkembangan
kanker hati yang diyakini disebabkan oleh akumulasi perubahan genetik yang
mengakibatkan perubahan ekspresi pada gen yang terkait kanker , seperti
onkogen atau gen supresor tumor , serta gen lainnya yang terlibat dalam jalur
regulasi. 1

Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu tumor dengan faktor


etiologi yang paling dikenal. Karsinoma hepatoseluler umumnya merupakan
perkembangan dari hepatitis kronis atau sirosis di mana ada mekanisme
peradangan terus menerus dan regenerasi dari sel hepatosit.18 cedera hati
kronis yang disebabkan oleh hbv, hcv, konsumsi alkohol yang kronis,
steatohepatitis alkohol, hemokromatosis genetik, sirosis bilaris primer dan
adanya defisiensi α-1 antitrypsin menyebabkan kerusakan hepatosit permanen
yang diikuti dengan kompensasi besar-besaran oleh sel proliferasi dan
regenerasi dalam menanggapi stimulasi sitokin. Akhirnya, fibrosis dan sirosis
berkembang dalam pengaturan remodelling hati secara permanen, terutama
didorong oleh sintesis komponen matriks ekstraseluler dari sel-sel stellata hati.
1
98

Dalam lingkungan yang bersifat karsinogenik, perkembangan nodul


hiperplastik dan displastik akan segera menjadi kondisi pre-neoplastik. Namun,
diduga akumulasi dari berbagai peristiwa molekuler yang berurutan pada
berbagai tahap penyakit hati ( jaringan normal hati , hepatitis kronis , sirosis ,
nodul hiperplastik dan displastik dan kanker ) hanya dipahami secara parsial
saja. 1

Patogenesis secara molekul dari karsinoma hepatoseluler melibatkan


genetik atau terjadi penyimpangan epigenetik yang berbeda dan terdapat
perubahan dalam beberapa jalur sinyal yang mengarah pada heterogenitas
penyakit dalam hal biologis dan perilaku klinis. Bukti saat ini menunjukkan
bahwa dalam hepatokarsinogenesis, terdapat dua mekanisme utama yang
terlibat, yaitu sirosis dan yang berhubungan dengan regenerasi hati setelah
adanya kerusakan hati kronis yang disebabkan oleh beberapa faktor (infeksi
hepatitis, toksin atau gangguan metabolisme), serta adanya sejumlah mutasi
dna yang menyebabkan gangguan dari keseimbangan onkogenesis-
onkosupresor dari sel yang mengarah ke perkembangan sel-sel neoplastik.
Beberapa jalur penting dari sinyal seluler telah diamati menjadi bagian dari
keterlibatan onkogenetic pada karsinoma hepatoseluler. Jalur sinyal utama
pada karsinoma hepatoseluler adalah raf / mek / erk , pi3k/akt/mtor , ntb / β -
catenin , igf , hgf / c-met dan faktor pertumbuhan yang mengatur sinyal
angiogenik. Hepatokarsinogenesis dimulai pada lesi pre-neoplastik seperti
nodul makroregeneratif, nodul diplastik low-grade dan high grade. 1

Percepatan proliferasi hepatosit dan pengembangan populasi hepatosit


monoklonal terjadi pada semua kondisi pre-neoplastik. Akumulasi perubahan
genetik dalam lesi preneoplastik diyakini mengarah terjadinya karsinoma
hepatoseluler. Perubahan genom yang terjadi secara acak akan terakumulasi
dalam hepatosit yang displastik dan hepatosit pada karsinoma hepatoseluler.
Meskipun perubahan genetik dapat terjadi secara bebas dari kondisi etiologi,
99

beberapa mekanisme molekuler lebih sering berkaitan dengan etiologi spesifik.


1

Diagnosis
Manifestasi klinis, Anamnesis

1) Gangguan nutrisi
2) Penurunan berat badan yang baru saja terjadi
3) Kehilangan kekuatan
4) Anoreksia
5) Anemia
6) Nyeri abdomen dapat ditemukan, disertai dengan pembesaran hati yang
cepat serta permukaan yang teraba ireguler pada palpasi. 1

Pemeriksaan fisik

Nyeri abdomen, pembesaran hati, hati teraba ireguler. 1

Pemeriksaan penunjang

a. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutamaditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium afp itu benar pasti suatu
hepatoma cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh usg ataupun ctscann
mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi
dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang
berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan
tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di
sekitar tumor. 1
100

b. Radiologi
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat
menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di
dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah, dua buah
atau lebih atau bisasangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau
berkelompok di dalam hatikanan atau kiri membentuk benjolan besar yang
bisa berkapsul. 1
c. Ultrasonografi
Dengan usg hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati
yangnormal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen).usg
conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2cm
- 3 cm saja. Tapi bila usg conventional ini dilengkapi dengan perangkat
lunakharmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2
cm, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%.1
d. Ct scan
Ct scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam
satupotongan gambar yang dengan usg gambar hati itu hanya bisa dibuat
sebagian-sebagian saja. Ctscann dapat membuat gambar kanker dalam tiga
dimensi danempat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula
memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya. 1
e. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker
yang kitalihat dengan usg yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada
usg bisa sajaukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa
memperlihatkanukuran kanker yang sebenarnya. 1
f. MRI (magnetic resonance imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak magnetic
resonanceangiography(mra) sudah pula mampu menampilkan dan membuat
peta pembuluh darah kanker hati ini. 1
g. Pet (positron emission tomography)
101

Positron emission tomography (pet) yang merupakan alat pendiagnosis


kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau
fluorodeoxyglucose (fgd) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat
dandalam stadium dini.caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif
untuk mendiagnosis sel-selkanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan
bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel
yang terkena kanker, pet dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati
sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi
lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran). 1

Penatalaksanaan medis

Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil


pemeriksaanradiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah
dipastikan besarnyaukuran kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah
lesinya tunggal (soliter)atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang
sangat besar berkapsul, ataukanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada
tidaknya metastasis (penyebaran) ketempat lain di dalam tubuh penderita ataukah
sudah ada tumor thrombus di dalam venaporta dan apakah sudah ada sirrhosis
hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi duayaitu tindakan non-bedah dan
tindakan bedah. 1

A. Tindakan bedah hati digabung dengan tindakan radiologi


Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan
bedahyaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga
reseksidaerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang
seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada
penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi besar,
untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas antara
kanker dan jaringan yang sehat. Radiologilah satu-satunya cara untuk
menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan ct
angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat
102

sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan.maka


harus dilakukan ct angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.
Dilakukan ct angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker
sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab
memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat
tumbuh subur. Sesudahitu barulah dilakukan tindakan radiologi trans arterial
embolisasi (tae) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat
menyumbat pembuluh darah (feedingartery) itu sehingga menyetop suplai
makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikiankemampua hidup (viability)
dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang. 1
Sebelum dilakukan tae dilakukan dulu tindakan trans arterial
chemotherapy (tac) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih
dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker
yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel
kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-sel
ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah tak
mampu lagi bertumbuh. Tindakan tae digabung dengan tindakan tac yang
dilakukan oleh dokter spesialis radiologi disebut tindakan trans arterial
chemoembolisation (tace). Selain itu tae ini juga untuk tujuan supportif yaitu
mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan ukuran
kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. 1
Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan
pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan
yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir
sayatan sudah bebas kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya
sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam
hati penderita. Kemudian diberikanchemotherapy (kemoterapi) yang
bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampulagi tumbuh berkembang
biak. Pemberian kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam
bahagianonkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan
103

melalui pmbuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan


mitomycine c 10mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per
lima tahun90% dan per 10 tahun 80%.1
B. Tindakan non-bedah hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadiumlanjut..
Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah: 1
1) Embolisasi arteri hepatika (trans arterial embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen
yangdatangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada
kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan
oksigen,dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-
vascularisasi) yangmerupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah
ada disebutpembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) tindakan tae
inimenyumbat feeding artery.caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh
darah di paha (arterifemoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi
besar di perut (aortaabdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke
pembuluh darah hati (arteryhepatica) dan seterusnya masuk ke dalam
feeding artery. Lalu feeding arteryini disumbat (di-embolisasi) dengan
suatu bahan seperti gel foam sehinggaaliran darah ke kanker dihentikan
dan dengan demikian suplai makanan danoksigen ke sel-sel kanker akan
terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan
embolisasi dilakukan tindakan trans arterialchemotherapy yaitu
memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itumaka sel-sel
kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan.bila kedua cara ini
digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjaminmati dan tak
berkembang lagi.dengan dasar inilah embolisasi dan injeksikemoterapi
intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapanyang lebih
cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan
hiduppenderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai sampai
70% danper sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%.1
104

2) Infus sitostatika intra-arterial


Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normalberasal
dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel
ganasmendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri
hepatika. Bilavena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen
ke sel-sel hatinormal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati.
Dapatlah dimengertikenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan
vena porta ini . Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta
sampai ke cabangbesar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada
pasien tidak dapatdilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena
ketiadaan donor, atau karenapasien menolak atau karena
ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakaiadalah mitomycin c 10 – 20
mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 mgdicampur dengan nacl (saline)
100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan5fu (5 fluoro uracil).metoda
ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infussitostatika
intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double
lumenballoncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri
hepatika. Setelahballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah,
sitostatika diinjeksikandalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30
menit, tujuannya adalahmemperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan
cara ini maka harapanhidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh
tahunnya 30%dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan 10%. 1
3) Injeksi etanol perkutan (percutaneus etanol injeksi = pei)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak
semuatindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak
mampumembiayai tindakan lainnya maka tindakan pei-lah yang menjadi pilihan satu-
satunya.tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman,
efek sampingringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan.
Pei hanyadikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium
lanjut.sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk
105

kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal


dikerjakanpada garis tengah kurang dari 3 cm. Pemeriksaan histopatologi
setelahtindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang
lengkap.sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus
kanker inidengan jumlah lesi tidak lebih dari3 buah nodule, meskipun dilaporkan
bahwalesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam
pengobatan.walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong
tetapi tidak banyakpenelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan
membawatindakan ini memberi hasil yang cukup baik. 1
C. Terapi non-bedah lanilla
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan
hanyadilakukan bila terapi bedah reseksi dan trans arterial embolisasi
(tae)ataupun trans arterial chemoembolisation ataupun trans arterial
chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi radiofrequency
ablation therapy (rfa),proton beam therapy, three dimentionalconformal
radiotherapy (3dcrt), cryosurgery yang kesemuanya ini bersifatpalliatif (membantu)
bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya. 1
D. Tindakan transplantasi hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis
hatidan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruhhati
terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena
porta(thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi
daritransplantasi hati. Transplantasi hati adalah tindakan pemasangan organ
hatidari orang lain ke dalam tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkahlain
seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut di atas tidakmampu
lagi menolong pasien. Akan tetapi,langkah menuju transplantasi hati tidak mudah,
pasalnyaketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh
seiringkesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh.selain itu, biaya transplantasi
tergolong sangat mahal. Dan pula sebelumproses transplantasi harus dilakukan serangkaian
pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan
106

adanyakesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidakterjadi


penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa penggerogotanhati oleh zat-zat dalam
darah yang akan menimbulkan kerusakan permanendan mempercepat kematian penderita.
Seiring keberhasilan tindakantransplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang
lima tahun. 1

Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan
saluran cernabagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalahsuatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik,
kegagalan fungsi hati, hipertensiportal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan
sirkulasi darah sindrom inimempunyai risiko kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal
pada pasien dengansirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali
dideskripsikan oleh flintdan frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum
memuaskan; masihbanyak kegagalan sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien
dengan penyakitini buruk. 1

8. Koledokolitiasis
Definisi
Batu saluran empedu : adanya batu yang terdapat pada sal. empedu (Duktus
Koledocus). 1

Etiologi
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-
pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium
dan protein.
Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:
1) Batu empedu kolesterol, terjadi karena :kenaikan sekresi kolesterol dan
penurunan produksi empedu.
107

Faktor yang berperan dalam pembentukan batu:


a. Infeksi kandung empedu
b. Usia yang bertambah
c. Obesitas
d. Wanita
e. Kurang makan sayur
f. Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol. 1
2) Batu pigmen empedu , ada dua macam:
Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai
hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi
Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan
disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi. 1
3) Batu saluran empedu
Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada
dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan
akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan
ini memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu. 1

Patofisiologi
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
a. Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
b. Statis empedu
c. Infeksi kandung empedu
d. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling
penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan
mengendap dalam kandung empedu. 1
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut.
108

Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor


hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan
pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada
kelompok ini. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan
sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu
empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu. 1
Perjalanan Batu
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada
pembentukan foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan
memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus
sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan
menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi.
Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis
kolesistitis akut atau kronik. 1

Penegakan Diagnosis
Manifestasi Klinik, Anamnesis
a. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
b. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kwadran kanan atas
c. Kandung empedu membesar dan nyeri
d. Ikterus ringan
e. Rasa nyeri (kolik empedu) yang meneta.
f. Mual dan muntah
g. Demam (38,5oC) 1

Pemeriksaan Fisik

Nyeri epigastrium kanan, ikterus, demam. 1

Pemeriksaan penunjang
109

Tes laboratorium :

1). Leukosit : 12.000 - 15.000 /IU (N : 5000 - 10.000 IU).

2). Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).

3). Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).

4). Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena
obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbs vitamin K
5). USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya
batu empedu dan distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan
prosedur diagnostik)
6) Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan
untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus
duodenum.

7). PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras


untuk menentukan adanya batu dan cairan pankreas.
8). Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu di
sistim billiar.
9). CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu,
obstruksi/obstruksi joundice. 1

Prinsip penatalaksanaan

a. Mengurangi nyeri.

b. Pencapaian keseimbangan (Homeostasis).

c. Mencegah komplikasi seminimal mungkin. 1


110

Penatalaksanaan batu saluran empedu


ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk
mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi. Teknik ini telah berkembang
pesat dan menjadi standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket
kawat atau balon-ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju
lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan
melalui mulut bersama skopnya.
Pada awalnya sfingterotomi endoskopik hanya diperuntukkan pada
pasien usia lanjut yang mempunyai batu saluran empedu residif atau tertinggal
pasca kolesistektomi atau mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk
mengalami komplikasi operasi saluran empedu. Pada kebanyakan senter besar
ekstraksi batu dapat dicapai pada 80-90% dengan komplikasi dini sebesar 7-
10% dan mortalitas 1-2%.
Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batum meliputi
pankreatitis akut, perdarahan, dan perforasi. Keberhasilan sfingterotomi yang
begitu mengesankan ini dan kehendak pasien yang kuat telah mendorong
banyak senter untuk memperluas indikasi sfingterotomi endoskopik terhadap
orang dewasa muda dan bahkan pasien dengan kandung empedu utuh dengan
masalah klinis batu saluran empedu. 1

Komplikasi batu empedu

Kolesistitis Akut
Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami
kolesistitis akut. Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi
mual, muntah, dan panas.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas
dan sering teraba kandung empedu yang membesar dan tanda-tanda peritonitis
.Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan selain lekositosis kadang-
111

kadang juga terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faal hati kemungkinan
akibat kompresi lokal pada saluran empedu.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu
terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume
kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan iskemi dari
dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan
perforasi. Jadi pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada
tahap kemudian terjadi superinfeksi bakteri.
Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu
(kolesistitis akalkulus). Komplikasi lain seperti ikterus, kolangitis, dan
pankreatitis dibahas pada penanganan batu saluran empedu. 1

9. Kolangitis
Definisi

Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam, sakit
kuning, dan nyeri perut yang berkembang sebagai akibat dari stasis/sumbatan
dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot
sebagai penyakit yang serius dan mengancam jiwa, namun sekarang diakui
bahwa keparahan dapat berkisar dari ringan sampai mengancam.
Koledokolitiasis atau adanya batu diadalam saluran empedu/bilier merupakan
penyebab utama kolangitis akut. 12

A. Etiologi

Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi bilier saluran


(kolestasis) dan pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu).
Kolangitis aku membutuhkan kehadiran dua faktor: (1) obstruksi bilier dan (2)
pertumbuha bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Cairan empedu biasanya
normal pada individu yang sehat dengan anatomi bilier yang normal. Bakteri
dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui ampula vateri (
112

karena adanya batu yang melewati ampula/passing stone), sfingterotomi atau


pemasangan sten ( yang disebut kolangitis asending/ascending cholangitis)
atau bacterial portal, yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-
sinusoid hepatic dan celah disse (Space of Disse). Bakterobilia tidak otomatis
dengan sendirinya menyebabkan kolangitis pada individu yang sehat karena
efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri garam empedu,
dan produksi IgA. 12

Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan kolangitis akut


karena berkurangnya/ menurunnya aliran empedu (bile flow) dan produksi
IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kuffer dan rusaknya celah membrane
sel (biliary tight junction) menimbulkan refluks kolangiovena. Penyebab
sering obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, stenosis bilier jinak, striktur
anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Choledocholithiasis
digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-baru kejadian
kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas, sclerosing cholangitis,
dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat. Hal ini
melaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus akut
kolangitis . 12

B. Faktor Resiko

Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik. Namun, kultur


empedu positif mengandung mikroorganisme pada 16% dari pasien yang
menjalani operasi non-bilier, 72% dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien
kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan obstruksi bilier (level 4).

Bakteri dalam empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan


choledocholithiasis disertai dengan penyakit kuning (level 4) .13 pasien
dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu menyajikan tingkat kultur
empedu positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi lengkap dari
113

saluran empedu. Faktor risiko untuk bactobilia mencakup berbagai faktor,


seperti dijelaskan di atas

1) Faktor resiko lain terjadinya kolangitis yang disebut riwayat infeksi


sebelumnya
2) Usia >70tahun dan diabetes. 12

C. Patofisiologi

Kolangitis akut terutama disebabkan oleh infeksi bakteri pada pasien


dengan obstruksi bilier. Organisme biasanya naik dari duodenum, penyebaran
hematogen dari vena portal adalah sumber yang jarang dari infeksi . Faktor
predisposisi yang paling penting bagi cholangitis akut adalah obstruksi bilier
dan stasis. Penyebab paling umum dari obstruksi bilier pada pasien dengan
cholangitis akut tanpa saluran empedu stent adalah batu empedu (28-70
persen), stenosis jinak (5-28 persen), dan keganasan (10-57 persen. Selain itu,
kolangitis akut adalah komplikasi umum penempatan stent untuk obstruksi
bilier. Mekanisme masuknya bakteri pada saluran empedu Bakteri dapat
masuk ke saluran empedu ketika mekanisme penghalang normal terganggu.
Hal ini dapat mengakibatkan translokasi bakteri dari sistem portal atau
duodenum ke dalam pohon bilier. Mekanisme penghalang yang normal
termasuk sfingter Oddi, yang biasanya membentuk suatu penghalang mekanis
yang efektif untuk duodenum refluks dan naik infeksi bakteri. Selain itu,
tindakan pembilasan kontinu empedu ditambah aktivitas bakteriostatik garam
empedu membantu menjaga sterilitas empedu. Sekretorik IgA dan lendir
empedu mungkin berfungsi sebagai faktor anti-kepatuhan, mencegah
kolonisasi bakteri. 12

Obstruksi bilier mempromosikan pembendungan empedu dan bakteri


pertumbuhan dan juga dapat membahayakan mekanisme pertahanan
kekebalan tubuh inang. Karena anatomi yang khas , sistem bilier
114

kemungkinan akan terpengaruh terhadap tekanan intraductal


tinggi.Terjadinya bakteremia atau endotoksemia berkorelasi langsung
dengan tekanan intrabiliari. Meningkatnya tekanan intrabiliari akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas ductules empedu, memungkinkan
translokasi bakteri dan racun dari sirkulasi portal ke dalam saluran empedu.
12

Tekanan tinggi juga meningkatkan migrasi bakteri dari empedu ke dalam


sirkulasi sistemik, meningkatkan risiko septikemia. Selain itu, peningkatan
tekanan bilier merugikan mempengaruhi sejumlah mekanisme pertahanan
tuan rumah termasuk: Sel Kupffer , Aliran empedu ,Produksi IgA. Bakteri
duodenum dapat memasuki sistem empedu dalam konsentrasi tinggi ketika
mekanisme penghalang terganggu, seperti yang terjadi setelah
sphincterotomy endoskopi, bedah koledokus, atau penyisipan stent empedu.
12

Kolangitis akut sering berkembang setelah endoskopi atau


manipulasi perkutan dengan lengkap drainase bilier atau sebagai komplikasi
akhir dari penyumbatan stent empedu. Namun, bakteri juga bisa lewat secara
spontan melalui sfingter Oddi dalam jumlah kecil. Kehadiran benda asing,
seperti batu atau stent, kemudian dapat bertindak sebagai media untuk
kolonisasi bakteri. Empedu yang diambil dari pasien tanpa obstruksi steril
atau hampir steril . Sebagai perbandingan, sekitar 70 persen dari semua
pasien dengan batu empedu memiliki bukti bakteri dalam empedu . Pasien
dengan batu empedu saluran memiliki probabilitas lebih tinggi empedu
budaya positif dibandingkan dengan batu empedu di kandung empedu atau
duktus sistikus. 12

Bakteri juga dapat dikultur dari batu empedu. Dalam satu studi,
misalnya, 80 persen batu pigmen coklat adalah biakan positif, dan 84 persen
menunjukkan pemindaian elektron bukti mikroskopis struktur bakteri.
115

Organisme yang khas yang terlihat pada kolangitis (enterococci - 40


persen; Escherichia coli – 17 persen, Klebsiella spp - 10 persen), meskipun
rasio enterococci dan E. Coli terbalik dari yang biasanya ditemukan dalam
empedu yang terinfeksi. Beberapa hal yang dapat meningkatkan
patogenisitas dalam pengaturan ini meliputi:

1) Pili eksternal dalam gram negatif Enterobacteriaceae, yang


memfasilitasi keterikatan pada permukaan asing, seperti batu atau stent.
2) Sebuah matriks glycocalyx terdiri dari exopolysaccharides yang
dihasilkan oleh bakteri yang melindungi organisme dari mekanisme
pertahanan tuan rumah dan dapat menghalangi penetrasi antibiotik. 12

D. Penegakan diagnosis
1) Tanda dan Gejala

Diagnosis defenitif kolangitis akut memerlukan konfirmasi infeksi


bilier sebagai sumber gejala sakit sistemik, misalnya dengan aspirasi cairan
bilier purulen pada ERCP. Namun demikian, kolangitis akut biasanya
didiagnosis secara klinis dengan adanya trias Charcod : ( 1 ) demam dan / atau
bukti inflamasi Tanggapan seperti peradangan , ( 2 ) penyakit kuning dan
Hasil tes fungsi hati yang abnormal seperti kolestasis , dan ( 3 ) riwayat
penyakit empedu , nyeri abnormal dan empedu dilatasi , atau bukti etiologi
seperti manifestasi empedu .Ini dianggap bahwa kasus-kasus ini memenuhi 3
kategori dapat didiagnosis sebagai cholangitis akut, karena tidak adanya
metode yang mudah untuk mendapatkan cairan empedu untuk pemeriksaan
dan kultur selain dengan aspirasi pada ERCP, pungsi perkutan dan
pembedahan. Suatu studi prospektif melaporkan hanya 22% pasien dengan
cairan empedu purulen pada operasi koledoktomi memenuhi criteria triad
Charcot. Adanya tambahan syok septic dan delirium (confusion) pada triad
Charcot dikenal sebagai pentad Reynold. Morbiditas dari kolangitis akut
116

dikaitkan dengan terjadinya cholangiovenous dan cholangiolymphatic refluks


bersama dengan tekanan tinggi di saluran empedu dan infeksi empedu akibat
obstruksi saluran empedu yang disebabkan oleh batu dan tumor. Kriteria
Diagnostik TG13 Akut Cholangitis kriteria untuk menegakkan diagnosis
ketika kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau tes darah
di samping manifestasi empedu berdasarkan pencitraan yang hadir. 12

Kriteria diagnosis kolangitis akut

a) Sytemic inflammation
b) Fever and/or shaking chills
c) Laboratory data:evidence of inflammatory respons
d) Cholestasis
e) Jaundice
f) laboratory data: abnormal liver function test
g) Biliary dilatation
h) Evidence of the etiology on imaging (stricture,stone,stent etc). 12
2) Pemeriksaan laboratorium

Kriteria untuk diagnosis definitive kolangitis akut adalah sebagai


berikut : adanya triad Charcot atau bila tidak ada, adanya 2 unsur triad Charcot
ditambah adanya bukti laboratorium adanya respons inflamasi ( leukosit
abnormal, meningkatnya CRP atau perubahan-perubahan lain yang
mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati abnormal ( Alkali
phospatase, gamma glutamil transpeptidase, SGOT/SGPT) dan temuan-
temuan pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya batu,
striktur atau sten). Partisipan pada pertemuan Tokyo mendefinisikan suatu
diagnosis suspek kolangitis akut bila terdapat 2 atau lebih dari salah satu
criteria berikut: riwayat penyakit bilier, demam dan/atau menggigil, ikterik
dan nyeri abdomen bagian atas atau kanan atas. Pedoman tersebut
menunjukkan adanya kemajuan dan suatu upaya yang jarang dalam
standarisasi definisi kolangitis kaut, namun pedoman tersebut dirasakan
117

kurang teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau ikterik,
begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas. 12

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk diagnostic kolangitis akut dapat


dilakukan dengan mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan penyebab
kolangitis akut adalah EUS ( endoscopic ultrasonography), MRCP ( magnetic
resonance Cholangiopancreotography) dan ERCP (endoscopic retrograde
cholangiopancreotography). Diantara semuanya hanya EMRCP yang tidak
bersifat invasive, namun tidak portable hanya dapat digunakan pada pasien
yang dapat dibawa keruang radiologi, umumnya studi menunjukkan sensivitas
>90% untuk MRCP dalam mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin
berkurang untuk batu yang kecil. ERCP selain memiliki sensivitas untuk
mendeteksi juga memiliki ponetsi untuk terapeutik, dalam mendiagnosis batu
CBD, EUS lebih baik dari ERCP, dalam hal keganasan EUS sama dengan
ERCP. Dilatasi intrahepatik tanpa adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan
suatu striktur jinak, sindrom mirri atau lesi di daerah hilus duktus biliaris
seperti tumor ganas. Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi
intrahepatik konsisten dengan obstruksi distal seprti batu CBD atau kanker
pancreas. Mengetahui penyebab dilatasi meminimalisai kebutuhan injeksi
kontras yang dapat meningkatkan tekanan bilier cukup kuat untuk
menimbulkan refluks cairan bilier kedalam sirkulasi sistemik dan
menghindarkan resiko injeksi yang tidak diinginkan kedalam segmen yang
tidak terdrainase (misalnya pasien dengan striktur daerah hilus yang
kompleks) yang secara potensial dapat menyebabkab terjadinya kolangitis
berat. MRCP dapat meberikan informasi serupa dengan EUS dan ERCP,
namun kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus dilakukan
sebagai prosedur terpisah. Meskipun USG transabdominal relative tidak
sensitive untuk mendeteksi batu CBD (biasanya <30%), namun tersedia ,
mudah dan dapat membantu bila batu atau tumor ditemukan. CT scan lebih
118

sensitive dari USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan


sensitivitas helical CT tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada
beberapa studi. Namun, EUS`lebih sensitive dari CT dan MRCP untuk
mendiagnosis batu dengan diameter <1cm. 12

E. Penatalaksanaan

Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan


segera setelah akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan
volume/dehidrasi dan menormalkan tekanan darah. Terapi kolangitis akut
terdiri dari pemberian antibiotic dan drainase bilier. beratnya kolangitis akut
menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah sakit. bila klinis
penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, teruma jika kolangitis akut ringan
yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien dengan batu intrahepatik).
Namun demikian umumnya dokter menyarankan perawatan rumah sakit pada
kasus kolangitis akut. kolangitis ringan sampai sedang dapat ditatalaksana di
ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat sebaiknya dirawat di ICU. 12

1) Terapi Antibiotik

Terapi antibiotic intravena harus diberikan sesegera mungkin.


Pedoman pemberian antibiotic sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik
dan resistensi lokal rumah sakit. Beberapa panduan (guidelines)
menyarankan pada kolangitis akut ringan sebaiknya pemberian jangka
pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi pertama atau kedua,
penisilin dan inhibitor β laktamase. Sedangkan kolangitis sedang sampai
berat sebaiknya pemberian antibiotic minimal 5-7 hari dengan sefalosporin
generasi ketiga atau keempat, nonbaktam dengan atau tanpa metronidazol
untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain (Jhon
Hopskin) menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut ringan
sampai sedang atau community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam
iv 3 gram setiap 6 jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin
119

iv 2gram setiap 6jam plus gentamicin iv 1.7mg/kgbb setiap 8jam atau


golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv 400 mg setiap 12
jam, levofloksasin iv 500mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral
400mg sekali sehari) ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam
untuk bakteri anaerob. Untuk pasien kolangitis akut berat atau nosokomial
(hospital acquired), direkomendasikan pemberian antibiotic sebagai
berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375gr iv stiap 6 jamatau 4.5 gr iv setiap
8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin
(100mg iv bolus, diteruskan 50mg iv sekali sehari) atau sefalosporin
generasi ketiga (misalnya seftriakson 1-2gr sekali sehari atau cefepim 1-2
gr setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk
bakteri anaerob. 12

Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen resistensi


antibiotic dapat diberikan imipenem iv 500mg setiap 6jam, meropenem iv
1gr setiap 8 jam atau doripenem iv 500mg setiap 8 jam.
Pengecualian/exception terdapat pada semua panduan, misalnya
sefalosporin generasi pertama tidak mencakup infeksi enterococcus spp.
Walaupun cefazolin disetujui FDA untuk terapi kolangitis akut. karena itu
pemilihan terapi antibiotic sebaiknya berdasarkan sejumlah factor meliputi
sensitivitas antibiotic, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati,
riwayat pemakaian antibiotic sebelumnya, pola resistensi kuman local dan
penetrasi bilier dari antibiotic. Pilihan antibiotic harus disesuaikan dengan
hasil kultur darah dan cairan empedu begitu diperoleh, namun pemberian
antibotik tidak boleh terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur.
Pada akhirnya yang lebih penting dari pemilihan terapi antibitik adalah
drainase bilier efektif, karena adanya obstruksi menghambat ekskresi bilier
antibiotic. pada suatu studi, dimana pasien mendapat satu antibiotic
(ceftazime, cefoperazone, imipenem,netilmisin atau siprofloksasin), hanya
120

siproflokasasin diekskresi kedalam sistem bilier yang obstruksi dan hanya


20% dari konsentrasi serum. 12

Tabel 9.1 Penatalaksanaan kolangitis. 12


121

Gambar 9.1 Alur penatalaksanaan kolangitis. 12

F. Komplikasi

Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat


tinggi (kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:

1) Abses hati piogenik


Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses
ini pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi
apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit
saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu
intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan
kolangiolitis dengan akibat abses multiple. 12
2) Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif
122

Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-


40%). Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh
karena etiologi utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi
bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.12
3) Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi
dan peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi
yang sangat fatal. 12
4) Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan
kolesistektomi atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak
sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah
tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
12

5) Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya
dapat mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan
operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk dikontrol. 12
6) Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat
pada pembedahan sistem bilier yang merupakan anastomosis yang
dibentuk antara duktus empedu dan usus besar bagian asendens.
Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif
sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang
menyebabkan drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem
bilier adalah abses subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien
yang mengalami demam beberapa hari setelah operasi.
123

Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada


pasien yang diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik
adalah perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus) dan sepsis. 12

10. Perbedaan Kolelitiasis, Kolesistitis, Koledocolitiasis dan Kolangitis


Kolesistitis
Keluhan khas pada kolesistitis adalah kolik perut disebelah kanan atas
epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh, kadang-kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung 60 menit
tanpa reda.
Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai
tanda-tanda peritonitis lokal. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, pemebriksaan
leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase. 1
Kolelitiasis
Terdapat kolik bilier. Keluhan iini didefinisikan sebagai nyeri perut
bagian atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya
lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan
prekordial. 1
Kolangitis
Pembeda yang khas itu terdapat trias chacod 1). Demam dan / atau
bukti inflamasi tanggapan seperti peradangan, 2). Penyakit kuning dan hasil tes
fungsi hati yang abnormal seperti kolestasis, 3). Riwayat penyakit empedu,
nyeri abnormal dan empedu dilatasi, atau bukti etiologi seperti manidestasi
empedu. 1
Koledokolitiasis
Ditandai epigastrium kanan terasa nyeri yang menetap dan spasme,
kandung empedu membesar dan nyeri, ikterus ringan, suhu febris 38,5 C. 1
124

11. Hepatitis A, B, C, D, E Penatalaksanaannya

Hepatitis A
Tidak ada terapi medikamentosa spesifik untu hepatitis A. terapi simptomatik
dan hidrasi yang adekuat sangat penting pada penatalaksanaan infeksi virus
hepatitis A akut. Penggunaan obat yang potensial berrsifat hepatotoksik
sebaiknya dihindari, misalnya parasetamol. Pencegahan penularan infeksi
hepatitis A dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu pemberian
immunoglobulin, vaksinasi, dan kondisi higienis yang baik, seperti cuci
tangan dan desinfeksi. 1

Hepatitis B akut

Infeksi virus hepatitis B akut tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang
diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar infeksi
hepatitis B akut pada dewasa dapat sembuh sponta. Terapi antiviral dini
hanya diperlukan pada kurang dari 1% kasus, pada kasus hapetitis fulminan
atau pasien yang imunokompromais.1

Hepatitis B kronik

Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi


atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan mengurangi patogenitas
dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau mengurangi nekroinflamasi
hati. Dalam istilah klinis, tujuan jangka pendek adalah mengurangi inflamasi
hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan HBV-DNA
(dengan serokonvers HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan
normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan.1

Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya terjadinya hepatitis flare


yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis
dan/atau HCC, dan pada akhirnya memperpanjang usia. 1
125

Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang


diterima secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional,
pegylated interferon α-2a, maupun pegylated interferon α-2b) dan golongan
analog nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri
atas lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, dan tenofovir. Semua jenis
obat tersebut telah tersedia dan beredar di Indonesia, namun khusus untuk
tenofovir, peredarannya di Indonesia hanya dikhususkan untuk pasien HIV.
Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing perbedaan kedua golongan obat ini dapat dilihat di
tabel 3.9

Tabel 11.1 Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleosida. 9


126

Interferon

Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi


dalam pertahanan terhadap virus. IFN-α konvensional adalah obat pertama
yang diakui sebagai terapi hepatitis B kronik sejak lebih dari 20 tahun yang
lalu. Senyawa ini memiliki efek antiviral, immunomodulator, dan
antiproliferatif.23 Interferon akan mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural
killer, dan makrofag. Selain itu, interferon juga akan merangsang produksi
protein kinase spesifik yang berfungsi mencegah sintesis protein sehingga
menghambat replikasi virus. Protein kinase ini juga akan merangsang
apoptosis sel yang terinfeksi virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah
127

singkat, yaitu sekitar 3-8 jam.24 Pengikatan interferon pada molekul


polyethilene glycol (disebut dengan pegylation) akan memperlambat absorbsi,
pembersihan, dan mempertahankan kadar dalam serum dalam waktu yang
lebih lama sehingga memungkinkan pemberian mingguan. Saat ini tersedia 2
jenis pegylated interferon, yaitu pegylated-interferon α-2a (Peg-IFN α-2a) dan
pegylated-interferon α-2b (Peg-IFN α-2b). IFN konvensional diberikan dalam
dosis 5 MU per hari atau 10 MU sebanyak 3 kali per minggu, sementara Peg-
IFN α2a diberikan sebesar 180 μg/minggu, dan Peg-IFN α2b diberikan pada
dosis1-1.5 μg/kg/minggu. Semua pemberian terapi interferon diberikan secara
injeksi subkutan. Pada awalnya, terapi interferon, terutama interferon
konvensional diberikan selama 16-24 minggu, namun pada Peg-IFN, bukti-
bukti terbaru menunjukkan bahwa pemberian Peg-IFN α-2a dengan dosis 180
μg/minggu selama 48 minggu ternyata menunjukkan hasil lebih baik daripada
pemberian selama 24 minggu.25 Panduan-panduan yang terbaru juga sudah
menganjurkan penggunaan Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 μg/minggu
selama 48 minggu. Data terbaru juga ternyata menunjukkan bahwa
penggunaan interferon pada pasien sirosis terkompensasi juga memberikan
hasil yang cukup baik. 9

Interferon pada Pasien dengan HBeAg Positif

Pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg positif, pemberian interferon


konvensional selama 4-6 bulan ternyata memberikan angka hilangnya HBeAg
sebesar 33%, jauh lebih tinggi dari kontrol (12%). Bila serokonversi HBeAg
terjadi maka hasil ini dapat bertahan lama pada 80% kasus. Hasil yang lebih
baik didapatkan pada penggunaan Peg-IFN. Sebuah penelitian yang
dilakukan pada tahun 2003 membuktikan bahwa terapi Peg-IFN α-2a
memberikan penurunan DNA VHB dan HBeAg kuantitatif yang lebih besar
daripada terapi IFN konvensional.26 Terapi berbasis interferon juga
dikatakan memiliki efektivitas yang setara dengan terapi analog nukleos(t)ida.
Sebuah studi acak tersamar berganda yang melibatkan 814 pasien (>85% ras
128

Asia) hepatitis B dengan HBeAg positif dan dipublikasikan pada tahun 2005
menyatakan bahwa penggunaan Peg-IFN α-2a memberikan hasil yang lebih
baik daripada penggunaan lamivudin atau kombinasi keduanya. Serokonversi
HBeAg terjadi pada 32% pasien yang menerima Peg-IFN saja. Angka ini
lebih baik daripada mereka yang mendapat kombinasi dan lamivudin saja
(27% dan 19%, p<0.001). Pasien yang medapat Peg-IFN saja atau kombinasi
juga memiliki kemungkinan mencapai kadar DNA VHB < 105 kopi/ ml yang
lebih baik daripada pasien yang hanya menerima lamivudin saja (32% vs
34% vs 22% secara berurutan). Respon terhadap terapi interferon umumnya
mampu bertahan dan bahkan meningkat pada pemantauan 5 tahun setelah
terapi interferon. Sebuah studi lain membuktikan bahwa sebagian besar
(81%) pasien yang mengalami hilangnya HBeAg pada akhir terapi akan tetap
dalam kondisi tersebut dalam pemantauan 3 tahun. 9

Interferon pada Pasien dengan HBeAg Negatif

Penelitian yang ada juga menunjang efektivitas interferon pada pasien dengan
HBeAg negatif. Sebuah penelitian klinis fase III yang melibatkan 564 pasien
(>60% ras Asia) hepatitis B dengan HBeAg negatif menunjukkan bahwa
terapi Peg-IFN α2a memberikan hasil yang lebih baik daripada lamivudin
dalam kriteria normalisasi ALT (59% vs 44%, p=0.004), penekanan DNA
VHB sampai < 2 x 104 kopi/mL (43% vs 29%, p=0.007), penekanan DNA
VHB sampai tidak terdeteksi (19% vs 7%, p<0.001). Hilangnya HBsAg
ditemukan pada 6.8% pasien dengan terapi Peg-IFN, sementara kondisi
tersebut tidak ditemukan pada satupun pasien dengan terapi lamivudin.30
Hasil yang serupa didapatkan pada studi-studi yang menggunakan peg-IFN α-
2b. 9

Bila dibandingkan dengan terapi analog nukleos(t)ida, salah satu keunggulan


terapi interferon adalah tingginya angka hilang atau serokonversi HBsAg.
Sebuah meta analisis yang dipublikasikan baru-baru ini menyatakan bahwa
terapi Peg-IFN memiliki angka kemungkinan serokonversi HBsAg yang jauh
129

lebih tinggi daripada terapi lamivudin (OR = 14.59, 95% CI=1.91-111.49, p=


0.01).31 Salah satu prediktor terkuat terjadinya serokonversi ini adalah
adanya serokonversi awal HBeAg (<32 minggu)29,32 Respon terhadap terapi
interferon juga dipengaruhi beberapa faktor lain, seperti kadar ALT basal dan
genotip VHB. Terapi interferon bekerja lebih baik pada pasien dengan ALT
basal yang tinggi. Pasien dengan infeksi VHB genotip A dan B juga terbukti
memiliki respon yang lebih baik terhadap interferon bila dibandingkan
genotip lain. 9

Komplikasi dari IFN mencakup gejala ”flu like” yang berat, depresi sumsum
tulang, gangguan emosi, reaksi autoimun, dan reaksi-reaksi lainnya.
Kebanyakan efek samping ini bersifat reversibel dan akan hilang bila obat
dihentikan.35 Literatur yang ada menyatakan bahwa efek samping yang
serius hanya terjadi pada 2-4% pasien dan secara umum obat ini dapat
ditoleransi dengan baik.27,36 Interferon secara umum memiliki beberapa
keuntungan, yaitu waktu pengobatan yang relatif singkat, respon pengobatan
yang baik dan cepat, serta tidak adanya resistensi terhadap obat ini. Namun
interferon memiliki kekurangan berupa efek samping yang berat,
pemberiannya yang melalui suntikan, dan tidak dapat digunakan pada pasien
dengan sirosis dekompensata. 9

Secara umum dapat disimpulkan bahwa terapi interferon boleh digunakan


pada pasien dengan karakteristik: 9

1) Pasien muda yang telah memenuhi indikasi terapi, tanpa penyakit


penyerta, dan memiliki biaya yang mencukupi.
2) Pada pasien yang diketahui terinfeksi VHB genotip A atau B, mengingat
penelitian yang ada telah membuktikan bahwa terapi interferon akan
memberikan efektivitas yang lebih baik pada infeksi VHB dari genotip
tersebut.
130

Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik:


9

1) Pasien sirosis dekompensata.


2) Pasien dengan gangguan psikiatri.
3) Pasien yang sedang hamil.
4) Pasien dengan penyakit autoimun aktif.

Lamivudin

Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan


polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan
menterminasi pemanjangan rantai DNA. Lamivudin (2, 3’-dideoxy-3-
thiacytidine) adalah analog nukleos(t)ida pertama yang pada tahun 1998
diakui sebagai obat hepatitis B. Obat ini berkompetisi dengan dCTP untuk
berikatan dengan rantai DNA virus yang akan menterminasi pemanjangan
rantai tersebut. Lamivudin (LAM) diminum secara oral dengan dosis optimal
100 mg/hari. Pemberian satu kali sehari dimungkinkan mengingat waktu
paruhnya yang mencapai 17-19 jam di dalam sel yang terinfeksi. 9

Lamivudin pada Pasien dengan HBeAg Positif

Salah satu studi besar yang paling awal mengenai lamivudin dilakukan oleh
Lai et al pada tahun 1999. Pada penelitian yang melibatkan 358 pasien
hepatitis B HBeAg postif dari China ini, ditemukan bahwa pemberian
lamivudin pada dosis optimal (100 mg per hari) mampu mengurangi derajat
inflamasi histologik pada 54% pasien (vs 25% pada plasebo, OR= 4.0, 95%
CI= 2.1-7.4, p<0.001), memicu serokonversi HBeAg pada 16% pasien (vs 4%
pada plasebo, p=0.02), dan normalisasi ALT pada 72% pasien (vs 24% pada
plasebo). DNA VHB juga tidak terdeteksi pada minimal satu pemeriksaan
sepanjang studi pada 96% pasien yang menerima lamivudin (vs 23% pada
plasebo, p<0.001). Sayangnya tidak diketahui jumlah pasien yang tetap
memiliki kadar DNA VHB tidak terdeteksi pada akhir terapi. Studi ini juga
131

menyatakan bahwa terapi lamivudin cukup aman namun memiliki angka


resistensi (mutasi genetik regio YMDD) 14% pada pemberian 1 tahun. Hasil
penelitian ini juga diperkuat oleh hasil penelitian lain yang dilaksanakan di
Amerika Serikat 1 tahun setelah studi tersebut. Studi di Amerika ini
menyebutkan efektivitas lamivudin dalam menekan kadar VHB sampai tidak
terdeteksi secara menetap sampai akhir terapi (respon virologis), yaitu 44%
pada kelompok lamivudin dan 16% pada kelompok plasebo (p<0.001).
Penelitian-penelitian tersebut tidak mencantumkan serokonversi HBsAg
sebagai hasil akhir terapi, namun beberapa data selanjutnya menunjukkan
angka serokonversi HBsAg 0-1% pada 1 tahun terapi. Angka hilangnya
HBsAg juga dilaporkan bisa meningkat sampai 2.8% pada terapi 96 minggu.
Serokonversi HBeAg umumnya dicapai pada pasien dengan ALT yang
tinggi.17,40 Lamivudin juga merupakan terapi dengan data keamanan jangka
panjang yang cukup baik. Beberapa studi telah membuktikan bahwa
pemberian lamivudin jangka panjang, selain dapat meningkatkan efektivitas
terapi, juga mempunyai efek samping yang minimal pada pemberian 52
minggu. Namun, penelitian-penelitian ini juga menggarisbawahi tingginya
angka resistensi pada pemakaian jangka panjang. 9

Resistensi merupakan masalah utama terapi lamivudin. Resistensi lamivudin


pada penggunaan selama setahun dilaporkan berkisar antara 15-30% dan
dapat meningkat sampai 70% pada penggunaan selama 5 tahun. Pembahasan
lebih lengkap mengenai resistensi dapat dilihat di bagian lain panduan ini.
Selain resistensi, masalah lain dengan terapi lamivudin adalah efektivitasnya
yang relatif kecil bila dibandingkan dengan terapi lain. Beberapa studi telah
mencoba membandingkan efektivitas lamivudin dengan interferon,
telbivudin, entecavir, maupun terapi kombinasi. Hasil yang didapatkan dari
semua penelitian tersebut menunjukkan bahwa lamivudin memiliki
efektivitas yang lebih rendah secara bermakna dalam menekan kadar DNA
VHB dan menginduksi serokonversi HBeAg. Bila dibandingkan dengan
132

interferon, lamivudin juga memiliki angka serokonversi HBsAg yang jauh


lebih kecil.38 Beberapa studi lain bahkan menyatakan bahwa dibandingkan
entecavir, lamivudin juga memiliki kemampuan menekan inflamasi secara
histologis dan kemampuan menghilangkan HBsAg yang lebih rendah, serta
memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi. Selain itu, relaps bisa terjadi
pada kira-kira 50% pasien dalam 5 tahun setelah penghentian terapi
lamivudin. 9

Lamivudin pada Pasien dengan HBeAg Negatif

Penggunaan lamivudin pada pasien dengan HBeAg negatif umumnya


memberikan respon yang lebih baik, walaupun respon pada kelompok pasien
ini lebih sulit dinilai dan relaps lebih mungkin terjadi. Sebuah studi
menyatakan bahwa pasien hepatitis B HBeAg negatif yang diterapi dengan
lamivudin selama 2 tahun memiliki kemungkinan mencapai kadar DNA VHB
tak terdeteksi yang lebih besar daripada plasebo (26% vs 6%, p=0.006).48
Penelitian lain berhasil menunjukkan adanya perbaikan histologis bermakna
pasien HBeAg negatif dengan terapi lamivudin 1 tahun bila dibandingkan
dengan plasebo. Namun penelitian ini juga menegaskan angka resistensi yang
tinggi (27%). Inferioritas lamivudin dibandingkan dengan terapi lain juga
tampak jelas pada pasien dengan HBeAg negatif, di mana penelitian yang
membandingkan lamivudin dengan interferon, telbivudin, maupun entecavir
juga telah banyak dilakukan. 9

Prediktor respon terapi dengan lamivudin adalah kadar DNA VHB yang
rendah dan ALT serum yang tinggi. Sebuah penelitian yang dipublikasikan
tahun 2009 mencoba membandingkan efektivitas lamivudin pada kelompok
pasien yang dibagi berdasarkan kadar DNA VHB dan ALT serum. Hasil yang
paling baik ternyata dicapai oleh kelompok pasien yang memiliki DNA VHB
<109 kopi/mL dan ALT >2x batas atas normal. Kelompok ini berhasil
mencapai angka DNA VHB <104 kopi/mL sampai 76.5% pada terapi 5
tahun, jauh lebih tinggi daripada kelompok pasien dengan DNA VHB <109
133

kopi/mL namun ALT <2x batas atas normal (22.7%) dan kelompok pasien
dengan DNA VHB >109 kopi/mL (11.4%). Kelompok ini juga ternyata lebih
unggul dalam kemungkinan serokonversi HBeAg, dengan angka masing-
masing kelompok mencapai 82.4%, 22.7%, dan 14.3%. Angka resistensi juga
ternyata jauh lebih sedikit pada kelompok pasien dengan DNA VHB <109
kopi/mL dan ALT >2x batas atas normal, dengan kejadian virologic
breakthrough yang disertai mutasi YMDD hanya ditemukan pada 23.5%
pasien pada pemakaian 5 tahun. Angka ini berbeda bermakna dengan 2
kelompok lain yang mencapai 50% dan 60%. Studi ini juga menyatakan hasil
yang lebih baik didapatkan bila pada minggu ke-4 terapi DNA VHB dapat
ditekan sampai di bawah 104 kopi/mL dan pada minggu ke-24 terapi DNA
VHB dapat ditekan sampai ke bawah 103 kopi/mL. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa terapi lamivudin terutama menunjukkan efektivitas yang
baik dan tingkat resistensi rendah pada pasien-pasien dengan ALT basal >2 x
batas atas normal namun, hasil yang paling baik dicapai pada pasien dengan
kadar ALT basal >5 x batas atas normal. Kemampuan lamivudin untuk
menekan DNA VHB pada minggu ke-4 dan minggu ke-24 juga merupakan
prediktor kegagalan terapi. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pasien
yang gagal mencapai penekanan DNA VHB sampai di bawah 104 kopi/mL
pada minggu ke-4 memiliki risiko kegagalan terapi sampai 83.8% dan pasien
yang gagal mencapai penekanan DNA VHB sampai di bawah 103 kopi/mL
pada minggu ke-24 memiliki risiko kegagalan terapi sampai 87.7%. Selain
itu, memperpanjang durasi terapi lamivudin juga bisa meningkatkan
efektivitas seperti dilaporkan pada penelitian di Italia baru-baru ini. 9

Secara umum dapat disimpulkan bahwa lamivudin adalah pilihan terapi yang
murah, aman, dan cukup efektif baik untuk pasien hepatitis B dengan HBeAg
positif maupun negatif. Namun tingginya angka resistensi dan rendahnya
efektivitas bila dibandingkan dengan terapi lain membuat obat ini mulai
ditinggalkan. Walaupun begitu, terapi lamivudin tetap bisa disarankan
134

menjadi terapi lini pertama di Indonesia dan masih bisa menjadi pilihan
utama pada beberapa kondisi seperti pada sirosis dekompensata atau
profilaksis pada pasien yang akan menjalani kemoterapi. Di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, alasan ekonomi adalah salah satu faktor yang
harus dipertimbangkan dalam menentukan pilihan terapi. Sebuah literatur
menyebutkan bahwa beban terapi hepatitis B di negara-negara Asia Pasifik
umumnya masih lebih besar dari pendapatan per kapita negara yang
bersangkutan sehingga lamivudin masih disarankan sebagai terapi lini
pertama di negara-negara ini.55 Namun, beberapa strategi harus diambil
untuk mencegah resistensi terhadap obat ini. Pemberian terapi sesuai dengan
indikasi terapi yang sudah disepakati merupakan salah satu cara untuk
mencegah resistensi. Lamivudin masih bisa menjadi terapi lini pertama di
Indonesia pada pasien dengan DNA VHB <109 kopi/mL (2 x 108 IU/mL),
status HBeAg positif, dan ALT >2x batas atas normal. Selain itu, bila pada
minggu ke-4 pasien tidak mencapai DNA VHB <104 kopi/mL (2 x 103
IU/mL) atau pada minggu ke-24 tidak mencapai DNA VHB <103 kopi/mL (2
x 102 IU/mL), maka penggantian terapi harus dipertimbangkan. 9

Lamivudin dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada: 9

1. Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif,
ALT >2x batas atas normal.
2. Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai DNA
VHB < 2 x 103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai DNA VHB <2 x
102 IU/mL. 9

Sebaliknya, lamivudin tidak boleh diberikan pada pasien dengan


karakteristik: 3

1. Pasien yang sudah resisten terhadap lamivudin, telbivudin, atau entecavir.

Adefovir Dipivoxil
135

Adefovir dipivoxil (ADV) adalah analog adenosine monophosphate yang


bekerja dengan berkompetisi dengan nukleotida cAMP untuk berikatan
dengan DNA virus dan menghambat polymerase dan reverse transcriptase
sehingga memutus rantai DNA VHB. Obat ini mulai diproduksi sejak tahun
2002 dan diberikan secara oral sebanyak 10 mg per hari.43 Obat ini memiliki
efek samping berupa gangguan fungsi ginjal (azotemia, hipofosfatemia,
asidosis, glicosuria, dan proteinuria) yang bersifat dose-dependent dan
reversibel. Efek samping ini juga jarang sekali muncul pada dosis 10 mg/hari
yang biasa digunakan, namun hendaknya dilakukan pemantauan rutin kadar
kreatinin selama menjalani terapi. 9

Adefovir Dipivoxil pada Pasien dengan HBeAg Positif

Sebuah penelitian yang melibatkan 515 pasien hepatitis B HBeAg positif


menyatakan bahwa persentase pasien yang mencapai kadar DNA VHB tak
terdeteksi ternyata lebih tinggi pada pasien yang mendapat adefovir 10 mg
per hari selama 48 minggu bila dibandingkan dengan plasebo (31% vs 0%,
p<0.001). Angka ini juga lebih tinggi daripada kelompok pasien yang
mendapat adefovir sebanyak 30 mg/hari (21%). Lebih jauh lagi, pemberian
adefovir 10 mg/hari juga lebih baik dalam memicu perbaikan histologis (59%
vs 25% pada plasebo, p<0.001), normalisasi ALT (55% vs 16% pada plasebo,
p<0.001), dan serokonversi HBeAg (14% vs 6% pada plasebo, p<0.01).
Penggunaan adefovir 10 mg/hari juga tidak menimbulkan frekuensi efek
samping yang lebih tinggi dibandingan dengan plasebo dan tidak
menimbulkan resistensi pada pemakaian 1 tahun. Studi jangka panjang
terhadap pemakaian adefovir selama 5 tahun juga tidak menunjukkan adanya
efek samping yang bermakna. Sebaliknya, terdapat peningkatan respon
virologis, serologis, biokimia, dan histopatologis. Walaupun begitu, resistensi
bisa terjadi pada pemakaian jangka panjang. 9

Adefovir Dipivoxil pada Pasien dengan HBeAg Negatif


136

Penelitian tentang penggunaan adefovir pada pasien dengan HBeAg negatif


juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Bila dibandingkan dengan
plasebo, pasien dengan adefovir memiliki angka DNA VHB tidak terdeteksi
yang lebih baik (54% vs 0%, p<0.001), normalisasi ALT yang lebih baik
(48% vs 29%, p<0.001), dan perbaikan histologis yang lebih baik (64% vs
33%, p<0.001). Pada penelitian ini juga tidak ditemukan efek samping dan
resistensi yang bermakna. Penelitian jangka panjang pada pasien HBeAg
negatif juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Pada pasien dengan
HBeAg negatif, pemberian adefovir selama 240 minggu memberikan hasil
DNA VHB < 200 IU/mL pada 67% pasien, normalisasi ALT pada 69%
pasien, perbaikan nekroinflamasi pada 83% pasien, dan regresi fibrosis pada
73% pasien. 9

Bila dibandingkan dengan lamivudin, adefovir memang memiliki efektivitas


yang sedikit lebih rendah, namun obat ini memiliki profil resistensi yang
lebih baik. Resistensi ditemukan pada 0% pasien HBeAg negatif yang
diterapi dengan adefovir selama 48 minggu. Angka ini dapat meningkat
sampai 3% pada mereka yang diterapi selama 2 tahun, 11% pada mereka
yang diterapi selama 3 tahun, 18% pada mereka yang diterapi selama 4 tahun,
dan 29% pada mereka yang diterapi selama 5 tahun. Mengingat resistensi
silang antara adefovir dengan lamivudin jarang terjadi, adefovir dapat
digunakan pada pasien hepatitis B kronik yang telah resisten terhadap
lamivudin. Sebaliknya, pasien yang resisten adefovir namun belum pernah
menerima lamivudin juga dapat diterapi dengan lamivudin. Walaupun begitu,
dapat terjadi peningkatan risiko resistensi adefovir pada pasien-pasien yang
resisten terhadap lamivudin.Kekurangan lain adefovir adalah adanya
kemungkinan efek samping pada pasien dengan gangguan ginjal.
Walaupunsecara umum penggunaan pada dosis 10 mg/hari dianggap aman,
namun sebuah studi menunjukkan adanya peningkatan kreatinin yang
137

reversibel pada 3% pasien yang mengkonsumsi adefovir 10 mg/hari selama 5


tahun. 9

Seperti halnya pada lamivudin, adefovir juga merupakan obat yang kurang
efektif bila dibandingkan pilihan terapi lain, namun efektivitasnya bisa
ditingkatkan bila diberikan hanya pada kelompok yang sesuai. Sebuah
penelitian terbaru menyatakan bahwa kelompok pasien naif yang mendapat
manfaat terbesar dari adefovir adalah kelompok pasien dengan HBeAg
negatif, DNA VHB basal rendah, dan ALT tinggi. Adefovir pada pasien
dengan HBeAg negatif mampu memberikan respon virologis pada akhir 48
minggu terapi pada 88.24% pasien, jauh lebih tinggi daripada hasil kelompok
HBeAg positif yang hanya mencapai 43.59% pasien (p< 0.05). Namun,
sayangnya tidak disebutkan berapa batas DNA VHB dan ALT pada penelitian
yang ada. Walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan antara respon
biokimia pada kedua kelompok, hasil ini bisa cukup menjustifikasi
penggunaan adefovir pada kelompok HBeAg negatif. Selain itu, adanya
kegagalan respon primer dan tidak tercapainya DNA VHB tidak terdeteksi
pada minggu ke-24 terapi juga merupakan prediktor respon yang buruk pada
penggunaan adefovir. Hasil yang serupa juga didapatkan pada penelitian lain
yang melibatkan pasien Asia dan Kaukasia. Maka bisa ditarik kesimpulan
bahwa adefovir dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada
pasien naif dengan HBeAg negatif, DNA VHB rendah, dan ALT tinggi. 9

Adefovir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut: 9

1) Pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, dengan DNA VHB rendah, dan
ALT tinggi.
2) Pasien dengan riwayat gagal terapi dengan pemberian analog nukleosida.

Sebaliknya, adefovir tidak disarankan pada pasien: 9

1) Hepatitis B kronik dengan gangguan ginjal.


2) Pasien hepatitis B yang resisten terhadap adefovir.
138

3) Pasien dalam pengobatan adefovir yang tidak menunjukkan respon pada


minggu ke-24 (bila hal ini terjadi, ganti strategi terapi dengan menambahkan
atau mengganti ke analog nukleos(t)ida lain. Keterangan lebih jelas dapat
ditemukan di bagian kegagalan terapi).

Entecavir

Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja dengan


menghambat priming DNA polimerase virus, reverse transcription dari rantai
negatif DNA, dan sintesis rantai positif DNA. Penelitian in vitro
menunjukkan bahwa obat ini lebih poten daripada lamivudin maupun
adefovir dan masih efektif pada pasien dengan resistensi lamivudin walaupun
potensinya tidak sebaik pada pasien naif. Entecavir diberikan secara oral
dengan dosis 0.5 mg/hari untuk pasien naif dan 1 mg/hari untuk pasien yang
mengalami resistensi lamivudin. Profil keamanan entecavir cukup baik
dengan barrier resistensi yang tinggi. Penelitian jangka panjang pada hewan
menunjukkan peningkatan risiko beberapa jenis kanker, namun diduga
kanker-kanker ini bersifat spesifik spesies dan tidak akan terjadi pada
manusia. 9

Entecavir pada Pasien dengan HBeAg Positif

Sebuah penelitian membandingkan efikasi entecavir pada pasien HBeAg


positif dibandingkan dengan lamivudin. Terapi dengan entecavir selama 48
minggu pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg positif memberikan
hasil DNA VHB tak terdeteksi pada 67% pasien. Hasil ini berbeda bermakna
dengan hasil pada kelompok lamivudin yang hanya mencapai angka 36%.
Serokonversi HBeAg terjadi pada 21% pasien yang diberikan entecavir dan
18% pada pasien yang diberikan lamivudin. Serokonversi HBsAg terjadi pada
2% pasien yang diberikan entecavir dan 1% pada pasien yang diberikan
lamivudin. Perbaikan histologis didapat pada 72% pada grup entecavir dan
62% pada grup lamivudin berurutan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
139

entecavir lebih baik dari lamivudin, terutama dalam hal menurunkan kadar
DNA VHB. Sebuah penelitian lain juga menyatakan bahwa terapi entecavir
selama 2 tahun memberikan hasil hilangnya HBsAg yang lebih baik daripada
lamivudin (5.1% vs 2.8%). Pasien yang terinfeksi virus genotip A dan D
memiliki kemungkinan hilangnya HBsAg yang lebih besar. 9

Efek jangka panjang entecavir juga telah diketahui baik. Sebuah penelitian
terbaru membuktikan bahwa pemberian terapi entecavir selama 5 tahun dapat
memicu penekanan DNA VHB sampai tidak terdeteksi pada 94% pasien,
normalisasi ALT pada 80% pasien, serokonversi HBeAg pada 23% pasien
dan hilangnya HBsAg pada 1.4% pasien. Tidak ada efek samping yang
bermakna selama 5 tahun dan <1% pasien yang mengalami resistensi.55
Penelitian lain juga menyatakan bahwa pada tahun ketiga terapi entecavir,
tingkat DNA VHB tak terdeteksi, serokonversi HBeAg, dan normalisasi ALT
mencapai 92.1, 43.9, dan 90.4%, dengan resistensi hanya ditemukan pada
1.2% pasien. 9

Entecavir pada Pasien dengan HBeAg Negatif

Efikasi entecavir terhadap pasien dengan HBeAg negatif juga ternyata cukup
baik. Pada sebuah studi acak buta berganda yang melibatkan 648 pasien
HBeAg negatif naïf, didapatkan hasil bahwa terapi entecavir selama 52
minggu memberikan hasil DNA VHB tak terdeteksi pada 90% pasien,
normalisasi ALT pada 78% pasien, perbaikan histologis pada 70% pasien,
dan tidak ditemukan adanya resistensi. Kesemua hasil tersebut lebih unggul
secara bermakna dibandingkan dengan lamivudin. Namun, pada pasien
dengan HBeAg negatif, penghentian terapi setelah target terapi dicapai
ternyata sering menimbulkan relaps. Maka pemberian terapi entecavir seumur
hidup mungkin harus dipertimbangkan pada pasien dengan HBeAg negatif. 9

Salah satu keuntungan entecavir adalah tingginya efektivitas dengan tingkat


resistensi yang relatif rendah. Terapi ini bisa menjadi pilihan pada pasien
140

dengan resistensi lamivudin. Sebuah studi melaporkan tercapainya perbaikan


histologis (pada 55% pasien) dan penurunan DNA VHB tak terdeteksi dan
normalisasi ALT (pada 55% pasien) pada kelompok pasien hepatitis B
refrakter lamivudin yang mendapat 1 mg entecavir per hari selama 48
minggu. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa pada pasien yang sudah
mengalami resistensi terhadap lamivudin, bisa dijumpai resistensi terhadap
entecavir. Hal ini disebabkan resistensi terhadap entecavir dapat terjadi bila
terdapat mutasi pada rtL180M, rtM204 V, dan ditambah salah satu dari
rtT184, rtS202, atau rtM250. Seperti yang kita ketahui, 2 mutasi pertama
adalah titik mutasi resistensi lamivudin. Sebuah studi menyatakan bahwa
bahwa virologic breakthrough entecavir pada tahun ke-4 adalah 0.8% pada
pasien naïf dan 39.5% pada pasien resisten lamivudin. 9

Dapat disimpulkan entecavir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut : 9

1) Pasien hepatitis B naif.


2) Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis.

Entecavir tidak disarankan untuk diberikan pada keadaan sebagai berikut: 9

1) Pasien hepatitis B yang resisten terhadap entecavir.

Telbivudin

Telbivudin (LdT) adalah analog L-nukleosida thymidine yang efektif


melawan replikasi VHB. Obat ini diberikan secara oral dengan dosis optimal
600 mg/hari. 9

Telbivudin pada Pasien dengan HBeAg Positif

Salah satu penelitian terbesar tentang telbivudin adalah studi GLOBE yang
membandingkan efektivitas terapi telbivudin dengan lamivudin pada 921
pasien hepatitis B HBeAg postif dan 446 pasien HBeAg negatif. Terapi
dengan telbivudin selama 52 minggu pada pasien hepatitis B kronik dengan
HBeAg positif memberikan hasil DNA VHB tak terdeteksi pada 60% pasien
141

dibandingkan dengan 40.4% pada pasien yang diberikan lamivudin. Waktu


rata-rata yang dibutuhkan untuk membuat DNA VHB menjadi tak terdeteksi
juga lebih rendah pada kelompok telbivudin. Dalam hal serokonversi HBeAg
serokonversi HBsAg, normalisasi ALT, dan perbaikan histopatologis,
telbivudin memiliki efektivitas yang sebanding dengan lamivudin. Hasil yang
serupa juga didapatkan pada pemberian telbivudin selama 2 tahun, namun
pada studi ini didapatkan temuan bahwa serokonversi HBeAg pada pasien
dengan ALT basal >2 kali batas atas normal ternyata lebih tinggi pada
kelompok telbivudin daripada lamivudin (36% vs 27%, p=0.022). Pada studi
lain juga didapatkan bahwa pemberian telbivudin selama 52 minggu lebih
superior daripada adefovir dalam menekan DNA VHB sampai tak terdeteksi
(60% vs 40%) dan serokonversi HBeAg (28% vs 19%). Respon terhadap
terapi telbivudin akan meningkat pada pasien dengan DNA VHB yang rendah
(<107 kopi/mL) dan ALT yang lebih tinggi. 9

Telbivudin pada Pasien dengan HBeAg Negatif

Studi GLOBE juga memberikan hasil yang lebih baik pada pemberian
telbivudin pada kelompok pasien dengan HBeAg negatif dengan DNA VHB
tak terdeteksi ditemukan pada 88.3% pasien. Angka ini berbeda bermakna
dengan kelompok pasien dengan lamivudin yang hanya mencapai 71.4%.
Lagi-lagi didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna untuk angka
serokonversi HBsAg, perbaikan histopatologis, dan normalisasi ALT. Hasil
pemantauan pada terapi selama 2 tahun juga menunjukkan hasil yang
sebanding dengan terapi 1 tahun. 9

Efek samping terapi telbivudin juga cenderung ringan, namun beberapa


laporan menyebutkan adanya peningkatan creatine kinase yang reversibel
bila terapi dihentikan. Dilaporkan juga adanya kasus myopati yang juga
reversibel dengan penghentian terapi. Kekurangan telbivudin adalah profil
resistensinya yang kurang baik. Studi GLOBE menunjukkan bahwa walaupun
tingkat resistensi telbivudin lebih rendah daripada lamivudin, namun
142

resistensi genotipik pada motif YMDD masih ditemukan pada 2.3-5% pasien
pada terapi tahun pertama dan 21.6% pasien pada terapi tahun kedua.
Resistensi terutama terjadi lewat mutasi titik M204I.40 Mengingat pola
mutasinya yang sesuai, resistensi silang antara telbivudin dan lamivudin
sangat mungkin terjadi. Sebuah penelitian oleh Zeuzem et al menyatakan
bahwa efektivitas telbivudin bisa ditingkatkan dan resistensinya bisa ditekan
bila terapi ini hanya diberikan pada kelompok pasien tertentu saja. Pada
pasien dengan HBeAg positif, DNA VHB basal <109 kopi/mL, ALT basal >2
x batas atas normal, dan terdapat DNA VHB tak terdeteksi pada minggu ke-
24 terapi, maka pada akhir 2 tahun terapi bisa tercapai DNA VHB tak
terdeteksi pada 89% pasien, serokonversi HBeAg pada 52% pasien, dan
resistensi hanya pada 1.8% pasien. Demikian pula pada pasien dengan
HBeAg negatif, DNA VHB basal < 107 kopi/mL, dan terdapat DNA VHB
tak terdeteksi pada minggu ke-24 terapi, maka pada akhir 2 tahun terapi bisa
tercapai DNA VHB tak terdeteksi pada 91% pasien dan resistensi hanya
ditemukan pada 2.3% pasien. Kelompok pasien dengan karakteristik tersebut,
atau disebut “super responders” adalah target utama terapi telbivudin. 9

Telbivudin dapat digunakan pada: 9

1) Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif,
ALT >2x batas atas normal.
2) Telbivudin juga dapat diteruskan bila pada minggu ke-24 mencapai DNA
VHB tak terdeteksi.

Sebaliknya, telbivudin tidak boleh diberikan pada pasien dengan


karakteristik:

1) Pasien yang sudah resisten terhadap lamivudin, telbivudin, atau entecavir.

Tenofovir Disoproxil Fumarate


143

Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah prekursor tenofovir, sebuah


analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan retrovirus. Obat ini
awalnya digunakan sebagai terapi HIV, namun penelitian-penelitian
menunjukkan efektivitasnya sangat baik untuk mengatasi hepatitis B.
Tenofovir diberikan secara oral pada dosis 300 mg/hari. Sampai saat ini
masih belum ditemukan efek samping tenofovir yang berat. Namun telah
dilaporkan adanya gangguan ginjal pada pasien dengan koinfeksi VHB dan
HIV. 9

Tenofovir pada Pasien dengan HBeAg Positif

Salah satu studi klinis besar yang meneliti mengenai efektivitas tenofovir
adalah studi yang dilakukan oleh Marcellin et al dan dipublikasikan pada
tahun 2008. Pada studi yang melibatkan 266 pasien HBeAg positif dan 375
pasien HBeAg negatif ini, efektivitas terapi 48 minggu dengan tenofovir
dibandingkan dengan adefovir. Pada populasi HBeAg positif, tenofovir
mampu menekan DNA VHB sampai <400 kopi/mL pada 76% pasien, jauh
lebih unggul daripada kelompok adefovir, di mana penekanan sampai di
bawah kadar tersebut hanya terjadi pada 13% pasien. Lebih jauh lagi,
tenofovir juga lebih unggul dari adefovir dalam memperbaiki kerusakan
histologis (67% vs 12%), normalisasi ALT (68% vs 54%, p=0.03), dan
serokonversi HBsAg (3% vs 0%, p=0.02). Tenofovir juga lebih unggul dalam
menginduksi serokonversi HBeAg, namun perbedaan ini tidak signifikan
(21% vs 18%, p=0.36). Pada studi ini juga tidak ditemukan timbulnya
resistensi terjadap tenofovir pada pemakaian 48 minggu. Sebuah studi lain
membuktikan bahwa pemakaian tenofovir jangka panjang (sampai 3 tahun)
relatif aman dan efektif. Terapi tenofovir selama 3 tahun mampu menekan
DNA VHB sampai di bawah 400 kopi/mL pada 72% pasien dengan HBeAg
positif. Ditemukan juga hilangnya HBsAg pada 8% pasien yang diterapi.
Terapi selama tiga tahun ini juga tidak memunculkan resistensi maupun efek
samping yang berarti. 9
144

Tenofovir pada Pasien dengan HBeAg Negatif

Pada pasien dengan HBeAg negatif, efektivitas tenofovir justru terlihat


meningkat. Studi oleh Marcellin et al metunjukkan bahwa pemberian
tenofovir selama 48 minggu pada pasien dengan HBeAg negatif akan
menekan DNA VHB sampai di bawah 400 kopi/mL pada 93% pasien, angka
yang jauh lebih besar daripada kelompok adefovir. Pemberian tenofovir juga
lebih unggul daripada adefovir dalam meningkatkan perbaikan histologis
pasien (71% vs 49%), walau respon keduanya sebanding dalam normalisasi
ALT.20 Studi pemantauan menunjukkan bahwa pemberian tenofovir selama
3 tahun pada pasien HBeAg negatif juga aman dan efektif. Penekanan DNA
VHB sampai di bawah 400 kopi/mL tercapai pada 87% pasien dan tidak
ditemukan adanya resistensi. 9

Tenovofir memiliki profil resistensi yang cukup baik sehingga obat ini efektif
digunakan pada pasien yang sudah mengalami resistensi dengan terapi lain.
Pada sebuah penelitian yang melibatkan pasien-pasien hepatitis B yang gagal
dengan terapi lamivudin atau adefovir, pemberian tenofovir mampu menekan
DNA VHB sampai di bawah 400 kopi/mL pada 95% pasien, menginduksi
serokonversi HBeAg pada 20% pasien, menormalisasi ALT pada 71% pasien,
dan menginduksi HBeAg pada 5% pasien. 9

Dapat disimpulkan tenofovir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut : 9

1) Pasien hepatitis B naif.


2) Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis.

Tenofovir tidak disarankan untuk diberikan pada keadaan sebagai berikut: 9

1) Pasien hepatitis B yang resisten tenofovir.


2) Pasien hepatitis B dengan gangguan ginjal.

Hepatitis C

1) Akut
145

Suportif dan simptomatik. 1


2) Kronis
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan nilai
ALT lebih dari batas atas nilai normal. Namun bila ALT tetap normal, biopsi
hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis yang sudah
terjadi. 1
Pengobatan nya adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin.
Umumnya disepakati bila genotipe VHC adalah genotipe 1 dan 4, maka terapi
perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup
diberikan selama 24 minggu. 1

Kontraindikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan


interferon dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb
<10 g/dl, leukosit darah < 2500/ul, trombosit < 100.000/ul, adanya gangguan
jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk terapi
dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjal juga tidak
diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat ganggunan
ginjal yang terjadi. 1

Untuk inteferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3


kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian.
Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau di kenal
dengan Peg-lnterferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kg BB/
kali (untuk Peg-inteferon 12 KD) atau 180 ug (untuk Peg-interferon 40 KD). 1

Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis


pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1.000
mg setiap hari, dan >70 kg 1.200 mg setiap hari dibagi daiam 2 kali
pemberian. 1
146

Pada akhir terapi dengan inteferon dan ribavirin, periu dilakukan


pemeriksaan RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC
resisten terhadap pengobatan dengan interferon yang tidak akan bermanfaat
untuk memberikan terapi lanjutan dengan interferon dan tidak memerlukan
pemeriksaan RNA VHC 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6
bulan setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA VHC kualitatif.
Bila RNA VHC tetap negatif maka pasien dianggap memunyai respons
virologik yang menetap (sustained virological response atau SVR) dan RNA
VHC kembali positif pasien dianggap kambuh (relapser). Mereka yang
tergolong kambuh ini dapat kembali diberikan interferon dan ribavinn
nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan
interferon konvensional, Peg-interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa
peneliti manganjurkan pemeriksaan RNA VHC kuantitatif 12 minggu setelah
terapi dimulai untuk menentukan prognosis keberhasalan terapi dimana
prognosis dikatakan baik bila RNA VHC turun > 2 log. 1

Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala gejala


menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan dan sejenisnya),
depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi
sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin
dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
samping tersebut pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan. Pada awal
pemberian interferon dan ribavirin dilakukan penentuan klinis, laboratoris
(Hb, leukosit, trombosit, asam urat, dan ALT) setiap 2 minggu yang
kemudian dapat dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila
Hb <8 g/dl, leukosit ,1.500/ul atau kadar neutrofil < 500/ul, trombosit <
50.000/ul, depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti-depresi
atau timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi. 1

a) Interferon
147

Interferon merupakan sitokin yang memiliki efek antivirus, imunomodulator


dan antiproliferatif, yang diproduksi oleh tubuh sebagai respon dari berbagai
stimulus. Ada tiga tipe utama interferon: alfa, beta, dan gama. Sediaan natural
dan rekombinan yang paling banyak digunakan dalam klinis adalah interferon
alfa. 13
A. Mekanisme kerja
Setelah berikatan dengan reseptor selular yang spesifik, interferon
mengaktivasi jalur transduksi sinyal JAK-STAT, menyebabkan translokasi
inti kompleks protein selular yang berikatan dengan interferon-specific
response element. Ekspresi aktivasi transduksi sinyal ini adalah sintesis lebih
dari dua lusin protein yang berefek antivirus. Efek antivirus interferon
dilangsungkan melalui hambatan penetrasi virus, sintesis mrna virus, translasi
protein virus dan/atau assembly dan penglepasan virus. Virus dapat dihambat
oleh interferon pada beberapa tahap, dan tahapan hambatannya berbeda pada
tiap virus. Namun, beberapa virus juga dapat melawan efek interferon dengan
cara menghambat kerja protein tertentu yang diinduksi oleh interferon. Salah
satunya adalah resistensi hepatitis C virus terhadap interferon yang
disebabkan oleh hambatan aktivitas protein kinase oleh HCV. 13
B. Farmakokinetik
Setelah injeksi intramuskular atau subkutan, absorbsi interferon mencapai
80%. Kadar plasma bergantung pada dosis. Kadar plasma puncak dicapai
setelah 4-8 jam dan kembali ke awal setelah 18-36 jam. Karena interferon
menginduksi efek biologis yang cukup panjang durasinya, aktivitas interferon
tidak selalu dapat diperkirakan dari karakteristik farmakokinetiknya. Setelah
pemberian intravena, konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 30 menit.
Setelah 4 hingga 8 jam setelah infus, interferon tidak lagi terdeteksi dalam
plasma karena mengalami klirens renal yang cepat. Setelah terapi interferon
dihentikan, interferon akan dieliminasi dari tubuh dalam waktu 18-36 jam. 13
Saat ini, efikasi interferon telah diperbaiki dengan mengganti interferon
standar dengan interferon yang terkonjugasi polietilen glikol (PEG-IFN,
148

Pegylated-Interferon). Bentuk sediaan interferon yang baru ini


memperlambat eliminasi interferon lewat ginjal sehingga meningkatkan
waktu paruh dan menyebabkan konsentrasi plasma interferon yang lebih
stabil. Keuntungan lainnya adalah penurunan frekuensi injeksi dari 3 kali
menjadi satu kali seminggu. Saat ini terdapat 2 macam Peg-Interferon yang
berbeda pada kualitas dan kuantitas interferon terkonjugasi: 12 kda PEG
linear untuk interferon 2b dan 40 kda rantai cabang PEG untuk IFN 2a.
Kedua jenis Peg-inteferon menunjukkan efektivitas dua kali lebih baik dari
non-pegylated interferon pada terapi hepatitis C kronik. Saat ini efikasi PEG-
IFN sedang dievaluasi untuk terapi hepatitis B kronik. 13
C. Indikasi
Infeksi kronik HBV, infeksi kronik HCV, sarkoma Kaposi pada pasien hlv,
beberapa tipe malignansi dan multiple sclerosis. 13
D. Dosis
Infeksi HBV. Pada dewasa: 5 MU/hari atau 10 MU/hari; pada anak-anak 6
MU/m2 tiga kali per minggu selama 4-6 bulan. 13
Infeksi HCV. Interferon alfa 2b monoterapi (3 MU subkutan 3 kali
seminggu). Umumnya terapi berlangsung selama 6 bulan, namun seringkali
dibutuhkan terapi dengan waktu yang lebih panjang (12-18 minggu) untuk
respon yang menetap. Peg-interferon alfa-2a (180 µg subkutan selama 48
minggu) memberikan respon yang lebih baik dibandingkan non-pegylated
interferon. Efikasi Peg-interferon lebih baik jika ditambahkan ribavirin pada
regimen terapinya. 13
Pada pasien dengan HIV, interferon juga menunjukkan efek anti-
retrovirus. Interferon alfa (3 MU 3 kali seminggu) efektif untuk terapi
trombositopenia oleh hlv yang disebabkan resistensi terhadap terapi dengan
zidovudin. 13
E. Efek samping
Efek samping yang paling umum timbul dengan terapi interferon alfa adalah
flu-like symptoms, fatigue, leukopenia dan depresi. Terdapat juga laporan
149

anoreksia, rambut rontok, gangguan mood, iritabilitas. Terapi interferon juga


dilaporkan dapat memperburuk pengobatan penyakit autoimun seperti
tiroiditis. Pasien yang diterapi dengan interferon alfa harus terus dimonitor
dan dievaluasi setiap bulannya. Kira-kira 30% pasien yang diterapi dengan
interferon alfa membutuhkan penurunan dosis dan 5% menghentikan obat
prematur karena efek samping. 13

b) Ribavirin
A. Mekanisme kerja
Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purin-nya tidak lengkap.
Setelah mengalami fosforilasi intrasel, ribavirin trifosfat mengganggu tahap
awal transkripsi virus, seperti proses capping dan elongasi mrna, serta
menghambat sintesis ribonukleoprotein. 13
B. Resistensi
Hingga saat ini belum ada catatan mengenai resistensi terhadap ribavirin,
namun pada percobaan di laboratorium menggunakan sel, terdapat sel-sel
yang tidak dapat mengubah ribavirin menjadi bentuk aktifnya. 13
C. Spektrum aktivitas
Virus DNA dan RNA, khususnya orthomyxovirus (influenza A dan B),
paramyxovirus (cacar air, respiratory syncytial virus (RSV) dan arenavirus
(Lassa, Junin, dll). 13
D. Indikasi
Terapi infeksi RSV pada bayi dengan risiko tinggi. Ribavirin digunakan
dalam kombinasi dengan interferon alfa atau pegylated interferon alfa untuk
terapi infeksi hepatitis C. 13
E. Dosis
Per oral dalam dosis 800-1.200 mg per hari untuk terapi infeksi HCV; atau
dalam bentuk aerosol (larutan 20 mg/ml). 13
F. Efek samping
150

Ribavirin aerosol dapat menyebabkan iritasi konjungtiva yang ringan, ruam,


mengi (wheezing) yang bersifat sementara. Ribavirin sistemik dapat
menyebabkan anemia reversibel yang tergantung dosis, serta supresi sumsum
tulang. Kadar tinggi ribavirin trifosfat dapat menyebabkan kerusakan
oksidatif pada membran, yang menyebabkan eritrofagositosis oleh sistem
retikuloendotelial. Bolus intravena dapat menyebabkan rigor. Sekitar 20%
pasien hepatitis C kronik yang mendapatkan terapi kombinasi interferon-
ribavirin menghentikan terapi karena efek samping. Selain dari toksisitas
interferon, ribavirin oral dapat meningkatkan risiko fatigue, batuk, ruam,
pruritus, mual, insomnia, dispnea, depresi dan anemia : Sekitar 8% pasien
membutuhkan penurunan dosis ribavirin karena anemia. Studi preklinik
memperlihatkan ribavirin bersifat teratogenik, embriotoksik, onkogenik dan
mungkin gonadotoksik. Ribavirin mutlak dikontraindikasikan pada wanita
hamil. 13

Hepatitis D
1
Lanjutin yang dari laporan tapi di paragraf akhir, diilangin obat famciclovir nya
a) Lamivudin
Lamivudin merupakan L-enantiomer analog deoksisitidin. Lamivudine
dimetabolisme di hepa. Tosit menjadi bentuk trifosfat yang aktif. Lamivudin
bekerja dengan cara menghentikan sintesis DNA, secara kompetitif
menghambat polimerase virus (reverse transcriptase, RT). Lamivudin tidak
hanya aktif terhadap HBV wild-type saja, namun juga terhadap varian
precore/core promoter. Selain itu, ada bukti bahwa lamivudin dapat
mengatasi hiperresponsivitas sel T sitotoksik pada pasien yang terinfeksi
kronik. 13
A. Resistensi
Resistensi terhadap lamivudin disebabkan oleh mutasi pada DNA polimerase
virus.
B. Farmakokinetik
151

Bioavailabilitas oral Iamivudin adalah 80%. Cmax tercapai dalam 0,5-1,5 jam
setelah pemberian dosis. Lamivudin didistribusikan secara luas dengan Vd
setara dengan volume cairan tubuh. Waktu paruh plasmanya sekitar 9 jam dan
sekitar 70% dosis diekskresikan dalam bentuk utuh di urin. Sekitar 5%
lamivudin dimetabolisme menjadi menjadi bentuk tidak aktif. Dibutuhkan
penurunan dosis untuk insufisiensi ginjal sedang (clcr < 50 ml/menit).
Trimetoprim menurunkan klirens renal lamivudin. 13
C. Indikasi
Infeksi HBV (wild-type dan precore variants).
D. Dosis
Per oral 100 mg per hari (dewasa); untuk anak-anak 1 mg/kg yang bila perlu
ditingkatkan hingga 100 mg/hari. Lama terapi yang dianjurkan adalah 1 tahun
pada pasien hbeag negatif ; dan lebih dari 1 tahun pada pasien yang hbe
positif. 13
E. Efek samping
Obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang terjadi
seperti fatigue, sakit kepala dan mual. Peningkatan kadar ALT dan AST dapat
terjadi pada 30-40% pasien. Biasanya peningkatan kadar ALT dan AST
berhubungan dengan munculnya mutan HBV yang resisten terhadap
lamivudin. Asidosis laktat dan hepatomegali dengan steatosis yang timbul
pada dosis yang lebih besar (300 mg, untuk HIV) tidak reriadi pada terapi
infeksi HBV. 13

b) Adefovir
A. Mekanisme kerja dan resistensi
Adefovir merupakan analog nukleotida asiklik. Adefovir telah memiliki satu
gugus fosfat dan hanya membutuhkan satu langkah fosforilasi saja sebelum
obat menjadi aktif. Adefovir merupakan penghambat replikasi HBV sangat
kuat yang bekerja tidak hanya sebagai DNA chain terminator, namun diduga
152

juga meningkatkan aktivitas sel NK dan menginduksi produksi interferon


endogen. Terapi dengan adefovir memberikan penurunan HBV-DNA kurang
dari 2 minggu. Obat ini aktif terhadap mutan yang resisten terhadap
lamivudin dan tidak ditemukan resistensi setelah terapi selama 48-60 minggu.
13

B. Spektrum aktivitas
HBV, hlv dan retrovirus lain. Adefovir juga aktif terhadap virus herpes.
C. Farmakokinetik
Adefovir sulit diabsorpsi, namun bentuk dipivoxil prodrug-nya diabsorbsi
secara cepat dan metabolisme oleh esterase di mukosa usus menjadi adefovir
dengan bioavailabilitas sebesar 50%. Ikatan protein plasma dapat diabaikan,
Vd setara dengan cairan tubuh total. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian
oral adefovir dipivoxil sekitar 5-7 jam. Adefovir dielimi13nasi dalam keadaan
tidak berubah oleh ginjal melalui sekresi tubulus aktif.
D. Indikasi.
Infeksi HBV. Adefovir terbukti efektif dalam terapi infeksi HBV yang
resisten terhadap lamivudin. 13
E. Dosis
Per oral dosis tinggal 10 mg perhari. 13
F. Efek Samping
Pada umumnya adefovir 10 mg/ hari dapat ditoleransi dengan baik. Setelah
terapi selama 48 minggu, terjadi peningkatan kreatinin serum 2 0,5 mg/dl di
atas baseline pada 13% pasien yang umumnya memiliki faktor risiko
disfungsi renal sejak awal terapi. Umumnya pasien melanjutkan terapi tanpa
penyesuaian dosis. 13

Hepatitis E
Suportif dan simptomatik. 1
153

12. Perbedaan Abses Hati Amuba dan Piogenik


Tabel 12.1 Perbedaan gambaran abses hati piogenik dengan abses hati amuba. 1

13. Abses Hati Amuba dan Piogenik Penatalaksanaannya


a. Abses Hati Amuba

Terapi
Metronidazol (35-50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7-10 hari) atau tinidazol
(60 mg/kg/hr selama 5 hari) merupakan terapi pilihan. Sembilan puluh lima
persen abses amuba tanpa komplikasi membaik dengan pemberian
metronidazol saja. Gejala klinis biasanya membaik dalam waktu 24 jam.8
Terapi metronidazol yang adekuat menyembuhkan 90% kasus. Dosis perlu
154

diperhatikan, karena metronidazol yang lebih rendah memudahkan terjadinya


relaps. 1
Aspirasi jarum atau drainase perkutan yang dipandu dengan alat
pencitraan telah menggantikan posisi intervensi bedah sebagai pilihan utama
untuk mengurangi ukuran abses. Salah satu dari tindakan tersebut dilakukan
jika hasil serologis negatif pada abses berukuran besar (> 3-4 cm), tidak
memberi respons terhadap terapi antiamuba setelah 4-5 hari atau jika terdapat
ruptur ke peritoneum, pleura atau perikardium. Tindakan drainase operatif
hanya diperlukan jika abses telah ruptur sehingga menyebabkan peritonitis
amuba atau jika pasien tidak berrespons terhadap obat walaupun sudah
dilakukan aspirasi dan drainase dengan kateter. 1

Mekanisme kerja metronidazol


Metronidazol dikenal sebagai antibakteri, antiprotozoa dan radiasisensitizer.
Antibakteri dalam mencegah penyebaran agen infeksi atau membunuh agen
infeksi tersebut supaya tidak menyebar. Mekanisme kerjanya yaitu
menghambat sintesis asam nukleat dengan merusak DNA. Sebagai
antiprotozoa, metronidazol bekerja dengan mendestruksi protozoa tersebut.
Sedangkan sebagai radiasi-sensitizer, metronidazol efektif mampu merusak sel
yang tidak diinginkan. 1

Spektrum aktivitas antibiotik metronidazol


Merupakan jenis antibiotika yang diindikasikan untuk mengobati penyakit
akibat infeksi bakteri basil anaerob gram negatif; Bacteroides fragilis spesies
(B. diastonis, B. ovatus, B. thetaiotaomicron, B. vulgatus), basil anaerob gram
positif; Clostridium species dan Eubacterium species, cocci anaerob gram
positif; Peptococcus species, Peptostreptococcus species, dan bakteri lainnya.
Selain itu metronidazol juga digunakan sebagai antiprotozoa pada infeksi
Trichomonas vaginalis dan amebae. 1
155

Farmakokinetik metronidazol
Metronidazol diabsorbsi baik melalui oral sekitar 80% dan didistribusikan
secara luas di dalam tubuh. Obat ini dimetabolisme di hepar sehingga dosis
harus diturunkan apabila diberikan pada penderita gangguan hepar.
Diekskresikan melalui urin dan feses. 1

Penggunaan klinis metronidazol


Dosis yang diberikan sesuai dengan jenis penyakit yang diderita, dimana pada
infeksi BV diperlukan dosis tunggal 2 gram per oral dan alternatif 500 mg tiap
12 jam selama tujuh hari per oral. Pada penderita yang diterapi metronidazol
seharusnya menghindari mengkonsumsi alkohol dan harus hati-hati apabila
diberikan pada penderita gangguan hepar, blood dyscrasia, kejang dan
neuropati.
Dalam penggunaannya, metronidazol juga efektif sebagai terapi infeksi
amoeba seperti giardiasis, trichomoniasis dan amoebiasis hati dan intestinal.
Selain itu dapat digunakan pada infeksi periodontal oleh Bacteroides dan
dracunculiasis oleh Dracunculus medinensis. Beberapa studi menyebutkan
metronidazol dikombinasi dengan bismuth dan antibiotik oral lain seperti
amoxicillin mampu menangani gastritis dan ulkus duodenum akibat
Helicobacter pylori. 1

Efek samping metronidazol


Efek samping yang pernah dilaporkan adalah kejang, neuropati perifer,
metallic taste, glossitis, stomatitis, neutropenia, pertumbuhan Candida,
perubahan EKG, dizziness, vertigo, ataxia, confusion, iritabilitas, depresi,
weakness, insomnia, ruam eritem, kemerahan, nasal congestion, membran
mukosa kering, demam, disuria, sistitis, poliuri, inkontinensia, dispareunia,
penurunan libido, distress, mual, muntah dan headache. 1
156

Sediaan dan Dosis

capsule
 375mg
tablet
 250mg
 500mg
tablet, extended-release
 750mg
infusion solution
 500mg/100mL. 14

Dosis Amebiasis

500-750 mg PO q8hr untuk 5-10 hari. 14

ADME
Mekanime Aksi
Menghambat sintesis asam nukleat dengan mengganggu DNA dan
menyebabkan kerusakan untai; amebicidal, bakterisida, trichomonacidal. 14

Absorpsi
Bioavailability: 80% absorpsi dari traktus gastrointestinal (per oral)
Protein (<20%)
Puncak waktu serum: 1-2 hr. 14

Distribusi
Didistribusikan secara luas; pola serupa untuk PO dan IV. 14

Metabolisme
Pada liver
157

Enzim penginhibisi: Hepatic CYP2C9. 14

Elimination
Waktu paruh: 25-75 jam (neonatus); 8 jam (lainnya); berkepanjangan pada
pasien dengan gangguan hati
Ekskresi: Urin (77%); feses (14%). 14

Paromomycin

Sediaan dan Dosis


kapsul
• 250mg
Dosis Amebiasis (E. Histolytica) 25-35 mg / kg / hari PO membagi q6hr
selama 5-10 hari
efektif dalam akut dan kronis tetapi tidak ekstraintestinal. 15

Kontraindikasi
Hipersensitivitas, obstruksi usus
Pengobatan jangka panjang dapat menyebabkan superinfeksi jamur atau bakteri
Perhatian pada gangguan ginjal atau pasien dengan lesi usus ulseratif. 15

Mekanisme aksi
Aminoglikosida; mengganggu sintesis protein bakteri dengan mengikat subunit
ribosom 30S; memiliki antibakteri terhadap organisme patogen di saluran
pencernaan. 15

Farmakokinetik
Absorpsi: Kurang
Ekskresi: Feses (100% sebagai obat tidak berubah). 15
158

b. Abses Hati Piogenik

Prinsip pengobatan

Untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik. 1

Tujuan pengobatan

Mencegah komplikasi dari abses hati piogenik, karena pasien dengan abses yang
sangat besar sangat mudah mengalami sepsis. 1

Mekanisme pengobatan

Secara konvensional dengan drainase terbuka secara operasi dan


antibiotik spektrum luas. Penatalaksanaan saat ini, dengan menggunakan drainase
perkutaneus absesintraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau
tomografi computer,komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi
organ intraabdominal,infeksi, atau kesalahan penempatan kateter untuk drainase.
Kadang pada AHP multiple dilakukan reseksi hati.
Penatalaksanaan dengan antibiotik, pada terapi awal digunakan
penisilin.Selanjutnya dikombinasikan dengan antara ampisilin, aminoglikosida,
atausefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazol.Jika dalam waktu
48-72 jam, belum ada perbaikan klinis dan laboratoris,maka antibiotik diganti
dengan antibiotik sesuai hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan
secara perenteral dapat dirubah menjadi oral setelah 10-14 hari,dan kemudian
dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian. 1

Dosis

Penisilin atau Sefalosporin 1-2 gram/12 jam/IV


Metronidazole 500 mg/6 jam/ IV
Sefalosporin generasi ke 3.
159

ADME

Metronidazole

Mekanisme kerja : menghambat sintesis asam nukleat dengan mengganggu DNA


dan menyebabkan kerusakan untainya.

Absorpsi : Bioavailabilitas : 80 % absorpsi dari GI, Pengikatan protein (<20%),


Waktu serum puncak 1-2 jam

Distribusi : Didistribusikan secara luas, pola serupa untuk PO dan IV

Metabolisme : Hati, enzime penghambat Hepatic CYP2C9

Eliminasi : Waktu paruh 25-75 jam (neonatus), 8 jam (lainnya), berkepanjangan


pada pasien dengan gangguan hati, ekskresi: urin (75%), feses (14%). 14

Penicilin

Amoxicilin

Mekanisme kerja : Menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri


sehingga menyebabkan bakeri tersebut mati.
Absorpsi : Cepat diabsorpsi, bioavailably 74-92%, waktu serum puncak 2 jam
(capsule), 1 jam (suspensi)
Distribusi : Kebanyakan cairan tubuh dan tulang, CSF <1%, pengikatan protein
17-10%
Metabolisme : hati
Eliminasi : ekskresi urin. 16
160

Sefalosporin generasi III

Sefalosporin adalah kelompok antibiotik, yang mekanisme kerjanya membunuh


bakteri dengan cara menghambat pembentukan dinding sel bakteri. Struktuk kimia
sefalosporin mirip dengan struktur penisilin sehingga memiliki cara kerja yang
mirip dengan antibiotik tersebut. Khususnya sefalosporin generasi ke 3 yang
efektif dalam mengobati infeksi bakteri gram negatif. 1

1) Cefotaxime
Dosis :
Injeksi 20-40 ml
Bubuk untuk suntikan :
500 mg, 1 g, 2g , 10 g. 17

Mekanisme kerja:

Mengikat protein penicillin-mengikat dan menghambat langkah


transpeptidation akhir sintesis peptidoglikan, mengakibatkan kematian sel-
dinding; mencegah degradasi oleh beta-laktamase; dosis yang tepat dan rute
pemberian yang tepat ditentukan oleh kondisi pasien, keparahan infeksi, dan
kerentanan mikroorganisme. 17

Absorpsi :
Waktu plasma puncak: IM, 30 menit. 17

Distribusi :
Didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh dan cairan, termasuk aqueous
humor, cairan ascitic dan prostat, tulang, menembus CSF ketika meninges
meradang. Didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh dan cairan, termasuk
aqueous humor, cairan ascitic dan prostatic, dan tulang; menembus CSF ketika
meninges meradang. 17
161

Metabolisme :
Sebagian dimetabolisme di hati, metabolite Desacetylcefotaxime (aktif). 17

Eliminasi :
Induk obat, 1-1,5 jam; metabolit aktif, 1-1,9 jam
Ekskresi: Urine. 17

2) Cefixime
Dosis :
Kapsule 400 mg
Tablet 100-200mg
Oral 100mg/5ml. 18

Mekanisme kerja :
Sefalosporin oral generasi ketiga dengan aktivitas luas melawan bakteri gram
negatif; dengan mengikat ke 1 atau lebih protein penicillin-mengikat, itu
menangkap sintesis sel-dinding bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. 18

Absorpsi :
Bioavailabilitas: 40-50%
Konsentrasi plasma puncak rata-rata: 2 mcg / mL (tunggal 200 mg-tablet); 3,7
mcg / mL (tunggal 400 mg-tablet). 18

Waktu plasma puncak:


2-6 jam (tunggal 200mg, 400 mg-tablet atau 400mg suspensi); 2-5 jam (tunggal
200 mg-suspensi); 3-8 jam (tunggal 400 mg-kapsul)
Makanan mengurangi penyerapan setelah pemberian kapsul oleh ~ 15%
berdasarkan AUC dan 25% berdasarkan konsentrasi plasma puncak. 18
162

Distribusi:
Didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dan mencapai konsentrasi
terapeutik di sebagian besar jaringan dan cairan tubuh, termasuk sinovial,
perikardial, pleura, dan peritoneal; empedu, sputum, dan urin; tulang,
miokardium, kandung empedu, kulit, dan jaringan lunak. 18

Eliminasi
Ekskresi: Urine (50% sebagai obat tidak berubah), feses (10%). 18

3) Cefpodoxime
Dosis :
Tablet 100-200 mg
Oral 50-100mg/5ml. 19

Mekanisme kerja:

Bakterisida terhadap bakteri gram positif dan gram negatif; menghambat


sintesis sel-dinding bakteri dengan mengikat ke 1 atau lebih protein penicillin-
binding; Bakteri akhirnya melisis karena aktivitas enzim autolytic sel-dinding
berlanjut sementara perakitan dinding sel ditangkap. 19

Absorpsi:
Bioavailabilitas: 50%; asam stabil
Puncak waktu plasma: ≤1 jam. 19

Distribusi
Didistribusikan dengan baik ke dalam jaringan, termasuk paru-paru dan
amandel; menembus ke cairan pleura
Protein terikat: 18-23%. 19
163

Metabolisme:
Metabolisasi dalam hati menjadi metabolit aktif. 19

Eliminasi:
Ekskresi: Urin (80% sebagai obat tidak berubah) dalam 24 jam. 19
164

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
2. Syahrurachman A, dkk. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi.
Jakarta: FK UI; 2015.
3. Kumar V, Abbas A, Aster J. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi ke-9.
Philadelphia: Elsevier; 2013.
4. Hammer G, McPhee S. Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical
Medicine. Seventh Edition. New York: McGraw Hill; 2014.
5. Kowalak, Jennifer P. Buku Ajar Patofisiologi. Hal 363. Jakarta: EGC; 2011.
6. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Third Edition. New
York: Thieme; 2016.
7. Emmanueal A, Inns S. Lectue Notes Gastroenterologi Dan Hepatologi. Jakarta:
Erlangga; 2014.
8. Dianne Y, Delfican, Sayoeti Y. Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik pada
Anak. 36(2). Fakultas Kedokteran Andalas: Jurnal Kedokteran Andalas; 2012.
9. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis B. Jakarta: PPHI; 2012.
10. Firpi R, Martin P. Update on Hepatitis B Treatment. Medscape General
Medicine 4 (3). Medscape: 2013. From:
https://www.medscape.com/viewarticle/438376_4
11. Price S, Wilson L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6 Vol 1. Jakarta: EGC; 2006.
12. Kimura Y, Takada T, Strasberg S, Pitt H, Dirk J, Gouma et al. Current
Terminology, Etiology, and Epidemiology of Acute Cholangitis and
Cholecystitis. Japan: J Hepatobiliary Pancreat Sci; 2013.
13. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
165

Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit


FKUI; 2016.
14. Reference Medscape. Metronidazole (Rx). Juli 2016 [diunduh 3 Juni 2018].
Tersedia dari: https://reference.medscape.com/drug/flagyl-metronidazole-
342566#10
15. Reference Medscape. Paromomycin (Rx). Juli 2016 [diunduh 3 Juni 2018].
Tersedia dari: https://reference.medscape.com/drug/humatin-paromomycin-
342665
16. Reference Medscape. Amoxicillin (Rx). Juli 2016 [diunduh 3 Juni 2018].
Tersedia dari: https://reference.medscape.com/drug/amoxil-moxatag-
amoxicillin-342473
17. Reference Medscape. Cefotaxime (Rx). Juli 2016 [diunduh 3 Juni 2018].
Tersedia dari: https://reference.medscape.com/drug/claforan-cefotaxime-
342506
18. Reference Medscape. Cefixime (Rx). Juli 2016 [diunduh 3 Juni 2018].
Tersedia dari: https://reference.medscape.com/drug/suprax-cefixime-342503
19. Reference Medscape. Cefpodoxime (Rx). Juli 2016 [diunduh 3 Juni 2018].
Tersedia dari: https://reference.medscape.com/drug/vantin-cefpodoxime-
342498

Anda mungkin juga menyukai