Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Didalam makalah ini akan menjelaskan konsep dari mekanisme
koping dengan menggunakan terapi koping. Terapi kognitif dikembangkan
pada tahun 1960-an oleh Aaron Beck dan berkaitan dengan terapi rasional
emotif dari Albert Ellis. Terapi kognitif akan lebih bermanfaat jika digabung
dengan pendekatan perilaku. Kemudian terapi ini di disatukan dan dikenal
dengan terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy). Terapi ini
memperlakukan individu sebagai agen yang berpikir positif dan berinteraksi
dengan dunianya.
Individu membentuk sudut pandang dan keyakinan serta memiliki afek
atau perasaan mengenai apa yang dianggap benar bagi diri sendiri,
lingkungan, dan mengenia pikiran serta perasaannya pada interaksi yang luas
dengan perilaku atau tindakan dalam rangkaian interaksi. Setiap interaksi
memperngaruhi interaksi lain.
Berdasarkan kognisi dan pengalaman masa lalu, individu membentuk
pandangan dan skema kognitif yaitu cara berpikir atau perspektif kebiasaan
mengenai diri sendiri, dunia dan masa depan. Misalnya, individu
mengembangkan pandangan psimistis mengenai cara mengontrol takdirnya
sendiri atau merasa takdirnya mampu dikontrol oleh orang lain dan tidak
mampu mengontrolnya sendiri. Dalam situasi tersebut, individu
mengembangkan pandangan negative serta merasa tidak berharga (disebut
pikiran otomatis negative) yang dapat menimbulkan stress, emosi, kecemasan
dan depresi. Individu cenderung mengolah keyakinan yang tidak masuk akal
tentang kemampuan dan berhubungan dengan orang lain. Hasil persepsi dan
distorsi yang salah ini ditandai oleh harapan yang tidak realistis terhadap diri
sendiri dan orang lain, metode koping yang tidak efektif, dan pandangan
tentang diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu.

1
1.2 Rumusan Masalah
Menjelaskan tentang mekanisme koping terapi kognitif.

1.3 Tujuan
Tujuan disusun makalah ini adalah agar mahasiswa mampu
memahami tentang mekanisme koping: terapi kognitif dan mahasiswa mampu
menerapkan kepada klien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Terapi Kognitif


Kognisi adalah suatu tindakan atau proses memahami. Terapi
kognitif menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan
kecemasan dan tanggapan maladaptif melainkan harapan masyarakat,
penilaian, dan interpretasi dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa
perilaku maladaptif dapat diubah oleh berhubungan langsung dengan
pikiran dan keyakinan orang (Stuart, 2009).
Secara khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon
maladaptif muncul dari distorsi kognitif. Distorsi kognitif
merupakan kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran, atau
pandangan individual dunia yang tidak mencerminkan realitas. distorsi
dapat berupa positif atau negatif. Misalnya, seseorang yang secara
konsisten dapat melihat kehidupan dengan cara yang realistis positif
dan dengan demikian mengambil peluang berbahaya, seperti
menyangkal masalah kesehatan dan mengaku sebagai "terlalu muda
dan sehat untuk serangan jantung". distorsi kognitif mungkin juga
negatif, seperti yang diungkapkan oleh orang yang menafsirkan semua
situasi kehidupan disayangkan sebagai bukti kurang lengkap
diri. Distorsi kognitif umum tercantum dalam tabel di bawah ini
(Stuart, 2009)

2.2 Karakteristik pasien yang memperoleh terapi kognitif


Terapi kognitif diberikan secara individu pada pasien dengan
gangguan emosional dan tingkah laku. Prinsip dasar terapi kognitif
adalah mengajarkan kepada pasien bahwa kepercayaan dan pemikiran
tidak rasional adalah penyebab dari gangguan emosional dan tingkah

3
laku. Terapi ini juga efektif dalam membantu pasien penyalahguna
alcohol dan obat-obatan terlarang.
Karakteristik klien yang memperoleh terapi kognitif antara
lain: (Wahyu, 2009 dan Ahmad Yusuf, 2015)
1. Depresi
2. Resiko bunuh diri
3. Menarik diri/Perilaku antisocial
4. Delusi, halusinasi terkontrol, tidak ada manic depresi, tidak
mendapat ECT
5. Penurunan motivasi
6. Gangguan cemas meliputi, gangguan obsesif kompulsif,
agoraphobia, fobia spesifik, gangguan cemas menyeluruh,
gangguan stress pasca trauma, dll.
7. Gangguan makan
8. Defisist perawatan diri
9. Harga diri rendah
10. Kecanduan
11. Hipokondriasis
12. Disfungsi seksual
13. Pengendalian kemarahan
14. Gangguan pengendalian impuls
15. Komunikasi inkoheren dan ide/topic yang berpindah-pindah
(flight of ideas)
16. Gangguan kepribadian
17. Terapi tambahan pada masalah kesehatan kronis, cacat fisik
18. Penatalaksanaan nyeri
19. Pentaalkasanaan stress umum

2.3 Teknik Terapi Kognitif


Menurut Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang
harus diketahui oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini
merupakan syarat agar peran perawat jiwa bisa berfungsi secara
optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini harus dipadukan dengan

4
kemampuan lain seperti teknik komter, milieu
therapy dan counseling. Beberapa teknik tersebut antara lain:

Tanggal Situasi Emosi Pikiran Otomatis Respon Rasional Hasil

Tanggal 1. kejadian nyata 1. Pikiran otomatis 1. Tulis respon 1. Tulis kembali tin
saat yang menyebabkan yang muncul khususnya rasional terhadap kepercayaan terhadap
masalah ketidaknyamanan sedih, cemas, marah. pemikiran otomatis persentase pikiran otom
dirasakan emosi. yang muncul 1-100%
2. Skala emosi dalam
2. Pokok pikiran, rentang 0% - 100 % 2. Tuliskan
khayalan yang persentase
menyebabkan kepercayaannya
ketidaknyamanan dalam rentang 0-
emosi. 100%

1. Teknik Restrukturisasi Kongnisi (Restructuring Cognitive)


Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam
melakukan pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan yang
muncul. Teknik restrukturasasi dimulai dengan cara memperluas
kesadaran diri dan mengamati perasaan dan pemikiran yang
mungkin muncul. Biasanya dengan menggunakan pendekatan 5
kolom. Masing-masing kolom terdiri atas perasaan dan pikiran
yang muncul saat menghadapi masalah terutama yang dianggap
menimbulkan kecemasan saat ini.
Perawat jiwa dapat memberikan blanko restructuring
cognitive, untuk kemudian diisi oleh klien. Setelah mendapat
penjelasan seperlunya, maka hasil analisa klien dan blanko yang
sudah terisi dibahas secara bersama.

5
2. Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar
membiasakan menuangkan pikiran-pikiran abtraknya secara
konkrit dalam bentuk tulisan untuk memudahkan menganalisanya.
Tahap selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat
memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk
mendukung keyakinan dan kepercayaannya. Klien yang
mengalami distorsi dalam pemikirannya seringkali memberikan
bobot yang sama terhadap semua sumber data atau data-data yang
tidak disadarinya, seringkali klien menganggap data-data itu
mendukung pemikiran buruknya. Data bisa diperoleh dari staf,
keluarga atau anggota lain dalam masyarakat sebagai support
dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan tersebut dapat
memberikan masukan yang lebih realistik kepada klien dibanding
dengan pemikiran-pemikiran buruknya. Dalam hal ini penemuan
fakta dapat berfungsi sebagai penyeimbang pendapat klien tentang
pikiran buruknya. Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien
bisa mengambil kesimpulan yang tepat tentang perasaanya selama
ini.
3. Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)
Bayak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat
karena tidak adanyaalternative pemecahan lagi. Khususnya pada
pasien depresi dan percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan
mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa
dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan
untuk menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah
paling ringan dulu. Kemudian mencari dan menemukan
alternatifnya. Klien depresi atau klien klien gangguan jiwa lain
menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai
masalah seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak

6
sakit, genteng bocor dan lain-lain. Bila diurutkan dari yang paling
ringan biasanya klien bisa menemukan alternatif – alternatif yang
bisa dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik belum dibayar
klien boleh memikirkan tentang : mungkin perlu surat keterangan
tidak mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan
alat penerangan lain, gabung dengan tetangga, bermusyawarah
dengan keluarga yang lebih mampu dan sebagainya. Disini
penting sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar
berani berfikir “lain dari yang biasany “ atau berani “berpikir
beda”.
4. Dekatastropik (decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan
apa ( the what-if then ). Hal ini meliputi upaya menolong klien
untuk melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba
memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah
untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk debngan apa-apa
yang mungkin terjadi.
Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:
“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila…”
“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul
terjadi…?”
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar
terjadi…?”
Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat
konsekuensi dari kehidupan. Dimana tidak selamanya sesuatu itu
terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh klien yang tinggal
dipantai harus berani berfikir : “ apa yang akan saya lakukan bila
tsunami tiba-tiba datang?; gempa tiba-tiba melanda?; suami tiba-
tiba tenggelam?; dan sebagainya.
5. Reframing

7
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi
klien terhadap situasi atau perilaku. Hal ini meliputi
memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari masalah
atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari sudut
pandang saja. Perawat jiwa penting untuk memperluas
kesadaran tentang keuntungan-keuntungan dan kerugian-
kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien melihat
masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif yang
baru. Dengan memahami aspek positif dan negatif dari masalah
yang dihadapi klien dapat memperluas kesadaran dirinya.
Strategi ini juga dapat memicu kesempatan pada klien untuk
merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu makna
berubah maka akan berubah perilaku klien. Sebagai contoh,
PHK dapat dipandang sebagai stressor tetapi setelah klien
merubah makna PHK, ia dapat berfikir bahwa PHK merupakan
kesempatan untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman
baru, banyaknya waktu bersama keluarga, saatnya
belajar home industry dan meraih peluang kerja yang lainnya.
6. Thought Stopping
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak
seperti bola salju bagi klien. Awalnya masalah tersebut kecil,
tetapi lama kelamaan menjadi sulit dipecahkan. Teknik
berhenti memikirkannya ( thought stoping ) sangat baik
digunakan pada saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai
masalah. Klien dapat menggambarkan bahwa masalahnya
sudah selesai. Menghayalkan bahwa bel berhenti berbunyi.
Menghayalkan sebuah bata di dinding yang digunakan untuk
menghentikan berpikir dysfunctional. Untuk memulainya, klien
diminta untuk menceritakan masalahnya dan mengatakan
rangkuman masalahnya dalam khayalan. Perawat menyela

8
khayalan klien dengan cara mengatakan keras-keras “berhenti”.
Setelah itu klien mencoba sendiri untuk melakukan sendiri
tanpa selaan dari perawat. Selanjutnya klien mencoba
menerapkannya dalam situasi keseharian.
7. Learning New Behavior With Modeling
Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru
dalam meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku
yang tidak dapat diterima. Sasaran perilakunya adalah
memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam beberapa
urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan observasi
pada seseorang yang berhasil memecahkan masalah yang
serupa dengan klien dengan cara modifikasi dan mengontrol
lingkungannya. Setelah itu klien meniru perilaku orang yang
dijadikan model. Awalnya klien melakukan pemecahan secara
bersama dengan fasilitator. Selanjutnya klien mencoba
memecahkannya sendiri sesuai dengan pengalaman yang
diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh pada klien
yang memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa ikut
magang dulu sambil belajar bisnis atau berdagang dengan
orang lain, setelah mendapat pengalaman klien bisa
melakukannya sendiri.
8. Membentuk Pola ( shaping )
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang
diberikan reinforcement. Misalnya anak yang bandel dan tidak
akur bdengan orang lain berniat untuk damai dan hangat
dengan orang lain, maka pada saat niatnya itu menjadi
kenyataan, klien diberi pujian.
9. Token Economy
Token economy adalah bentuk reinforcement positif
yang sering digunakan pada kelompok anak-anak atau klien

9
yang mengalami masalah psikiatrik. Hal ini dilakukan secara
konsisten pada saat klien mampu menghindari perilaku buruk
atau melakukan hal yang baik. Misalnya setiap berhasil bangun
pagi klien mendapat permen, setiap bangun kesiangan
mendapat tanda silang atau gambar bunga berwarna hitam.
Kegiatan berlangsung terus menerus sampai suatu saat
jumlahnya diakumulasikan.
10. Role Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar
menganalisa perilaku salahnya melalui kegiatan sandiwara
yang bisa dievaluasi oleh klien dengan memanfaatkan alur
cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat menilai dan belajar
mengambil keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi
yang ada dalam cerita. Klien biasa melihat akibat-akibat yang
akan terjadi melalui cerita yang disuguhkan. Misalnya klien
melihat role play tentang seorang pasien yang tidak mau
makan obat, tidak mau mandi dan sering merokok
11. Social skill Training.
Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa
keterampilan apapun diperoleh sebagai hasil belajar. Beberapa
prinsip untuk memperoleh keterampilan baru bagi klien adalah:
a. Feedback
Sebagai contoh bagi klien pemalas ( abulia ), dapat
diajarkan keterampilan membersihkan lantai, perawat
mendemonstrasikan cara membersihkan lantai yang baik,
selanjutnya perawat mengupayakan agar klien mempraktikkan
sendiri. Perawat melakukan feedback dengan cara menilai dan
memperbaiki kegiatan yang masih belum selesai harapan.
12. Anversion Theraphy

10
Anversion theraphy bertujuan untuk menghentikan
kebiasan-kebiasan buruk klien dengan cara mengaversikan
kegiatan buruk tersebut dengan sesuatu yang tidak disukai.
Misalnya kebiasaan menggigit penghapus saat boring dengan
cara membayangkan bahwa penghapus itu dianggap sebagai
cacing atau ulat yang menjijikan. Setiap klien kegemukan
melakukan kebiasaan ngemilmakanan, maka ia dianjurkan
untuk membayangkan kotoran kambing yang dimakan terus.
13. Contingency Contracting
Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang
dibuat antara therapist dalam hal ini perawat jiwa dengan klien.
Perjanjian dibuat denganpunishment dan reward. Misalnya bila
klien berhasil mandi tepat waktu atau meninggalkan kebiasaan
merokok maka pada saat bertemu dengan perawat hal tersebut
akan diberikan reward. Konsekuensi yang berat telah disepakati
antara klien dengan perawat terutama bila klien melanggar
kebiasaan buruk yang sudah disepakati untuk ditinggalkan.
Menurut Setyoadi, dkk (2011) teknik yang digunakan
dalam melakukan terapi kkognitif adalah sebagai berikut:
a. Mendukung klien untuk mengidentifikasi kognisi atau
area berpikir dan keyakinan yang menyebabkan
khawatir.
b. Menggunakan teknik pertanyaan Socratic yaitu
meminta klien untuk menggambarkan, menjelaskan dan
menegaskan pikiran negative yang merendahkan dirinya
sendiri. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa
asumsi tersebut tidak logis dan tidak rasional.
c. Mengidentifikasi interpretasi yang lebih realities
mengenai diri sendiri, nilai diri dan dunia. Dengan

11
demikian, klien membentuk nilai dan keyakinan baru,
dan distress enmosional menjadi hilang.
2.4 Distorsi Kognitif

2.4.1 Contoh Metode Panah Vertikal

Pikiran Otomatis Tanggapan Rasional


1. Dr. K mungkin berpikir saya 1. Hanya karena Dr.K menunjukkan
adalah seorang ahli terapi yang kesalahan saya, itu bukan berarti
buruk, “Jika memang ia bahwa selanjutnya ia akan berpikir
berpikir demikian, mengapa bahwa saya adalah seorang ahli
harus mengecewakan saya?” terapi yang buruk. Saya harus
menanyakan kepadanya hal yang
sebenarnya dia pikirkan, tetapi
dalam beberapa kesempatan ia telah
memuji saya dan berkata bahwa
saya mempunyai bakat unggul.
2. Itu artinya bahwa saya memang 2. Seorang yang berpengalaman pun
seorang terapis yang bodoh hanya dapat menunjukkan kekuatan
karena dia seorang yang serta kelemahan spesifik saya
berpengalaman, “andaikan saya sebagai seorang terapis. Setiap kali
memang seorang ahli terapi seseorang memberi cap buruk pada
yang buruk, lalu apa artinya saya, maka semua itu hanya suatu
bagiku?” pernyataan yang terlalu global,
merusak, dan tidak terlalu berguna.
Saya telah banyak berhasil dengan
kebanyakan pasien saya, sehingga
tidak benarlah saya buruk, tidak
peduli siapapun yang
mengatakannya.

2.4.1.1 Contoh Metode Teknik Tiga Kolom

Pikiran Otomatis Distorsi Kognitif Tanggapan Rasional


(Kritik Diri) Overgeneralisasi (Pembelaan Diri)
1. Saya tidak pernah Omong kosong! Saya juga
benar. banyak melakukan hal yang
baik.
2. Saya selalu Overgeneralisasi Saya tidak selalu terlambat.
terlambat Saya juga datang tepat waktu.
Meskipun sekarang lebih
sering terlambat dari
biasanya, namun saya akan

12
mengatasi masalah ini serta
mencari cara agar saya lebih
bisa tepat waktu.

2.4.2 Definisi Distorsi Kognitif


Distorsi kognitif adalah berpikiran secara berlebihan
dan tidak rasional diidentifikasi dalam terapi kognitif dan
variannya, yang dalam teori yang mengekalkan gangguan
psikologis tertentu. Teori distorsi kognitif pertama kali
diajukan oleh David D. Burns, MD.

Macam-macam distorsi kognitif menurut Burns (1988) adalah :


1. Pikiran “segalanya atau tidak sama sekali”, yaitu individu
melihat segala sesuatunya hanya berdasarkan kategorisasi
baik dan buruk. Individu yang sempurna adalah individu
yang berprestasi dengan baik, sedangkan jika individu
kurang dari sempurna maka dikatakan buruk atau gagal
total.
2. Over generalisasi, yaitu individu ketika mendapatkan
pengalaman yang tidak menyenangkan dianggap sebagai
sesuatu hal yang sangat mengganggu atau peristiwa yang
negatif yang berlebihan.
3. Filter mental, adalah ketika individu merasakan hal kecil
yang sifatnya negatifdalam situasi tertentu kemudian selalu
dipikirkannya sehingga mempersepsikan bahwa semua
situasi adalah hal yang negatif juga.
4. Mendiskualifikasi yang positif, adalah ketika individu
menolak pengalaman positif dan menganggap hal tersebut
bukanlah sesuatu yang berarti, sedangkan pengalaman
negatif dianggap sebagai sesuatu masalah yang berarti.
5. Loncatan ke kesimpulan, jika individu membuat penafsiran
negatif meskipun tidak ada fakta yang mendukung secara
jelas dari penafsiran yang telah dibuat.

13
6. Pembesaran dan pengecilan, terjadi ketika individu melihat
kesalahan atau ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang
berlebih-lebihan, sedankan ketika merasa melakukan hal
yang benar atau baik dianggap sesuatu yang biasa.
7. Penalaran emosional, jika individu menggunakan emosinya
dan merealisasikan dalam perbuatan, misalnya “saya selalu
merasa tidak enak badan, maka pastilah saya sedang sakit.”
8. Pernyataan harus, jika individu mencoba memotivasi diri
sendiri dan terbebani oleh kata-kata “saya harus mampu”,
atau “ saya harus dapat”. Pernyataan tersebut justru
menyebabkan individu merasa tertean dan tidak
termotivasi..
9. Memberi cap dan salah memberi cap, adalah suatu bentuk
ekstrim dari over generalisasi. Terjadi ketika individu
menciptakan gambaran diri yang negatif, misalnya “saya
memang seorang yang bodoh.”
10. Personalisasi, jika individu memandang dirinya sebagai
penyebab dari suatu peristiwa eksternal yang negatif.
(Burns, 1988)
11. Berpikir dikotomi, yaitu berpikir dengan ekstrim bahwa
semua hal adalah semuanya baik atau semuanya buruk.
Contohnya, “Jika suami saya meninggalkan saya, mungkin
saya akan mati.”
12. Pembencanaan, yaitu berpikir yang terburuk tentang orang
atau kejadian. Contohnya, “Saya lebih baik tidak
mengajukan diri untuk tes di tempat kerja saya karena saya
tidak akan mendapatkannya dan saya merasa diri saya
sangat buruk.”
13. Membuat abstrak yang selektif, adalah memfokuskan pada
detail tapi tidak pada informasi yang relevan. Contohnya,
“seorang istri percaya bahwa suaminya tidak mencintainya
karena ia pulang kerja larut malam, tetapi sang istri

14
menolak perhatian yang diberikan suami, hadiah yang
dibawa, dan acara khusus yang mereka rencanakan
bersama.”
14. Eksternalisasi harga diri, yaitu mengukur nilai seseorang
berdasarkan pendapat orang lain. Contoh, “Saya harus
selalu kelihatan cantik, kalau tidak, teman-teman saya tidak
akan mau berada di dekat saya”.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

15
Terapi kognitif menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang
menyebabkan kecemasan dan tanggapan maladaptif. Secara khusus,
terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif muncul dari distorsi
kognitif. Terapi kognitif diberikan secara individu pada pasien dengan
gangguan emosional dan tingkah laku. Prinsip dasar terapi kognitif
adalah mengajarkan kepada pasien bahwa kepercayaan dan pemikiran
tidak rasional adalah penyebab dari gangguan emosional dan tingkah
laku. Terapi ini juga efektif dalam membantu pasien penyalahguna
alcohol dan obat-obatan terlarang. Teknik pemberian terapi kognitif
terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain : Teknik
Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence, Teknik penemuan
alternatif ( examing
alternatives,Dekatastropik (decatastrophizing),Reframing, Thought
Stopping, Learning New Behavior With Modeling, Membentuk Pola
( shaping ), Token Economy, Role Play,Social skill Training,
Anversion Theraphy, Contingency Contracting.

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth Ari Setyarini & Albertus Budi Arianto. 2010. Pengaruh Terapi Kognitif
Perilaku terhadap Perubahan Tingkat Depresi Pada Lansia di Panti Werdha
Karitas Cimahi. Dapat diakses pada : http://e-

16
journal.kopertis4.or.id/file.php?
file=karyailmiah&id=1114&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&nam
e=Jurnal%20Penelitian%20terapi%20kognitif%20lansia.pdf
M Fatkul Mubin. 2009. Penerapan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa: Terapi
Kognitif pada Harga Diri Rendah di RW 09, 11 dan 13 Kelurahan Bubulak
Bogor. Jurnal Keperawatan FIKkes Vol. 2 No. 2 : 28-35
Setyoadi, dkk. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien
Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G.W. (2009). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis: Mosby
Wahyu Nur Ambarwati. 2009. Keefektifan Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Sebagai Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi
Budi Makarti Boyolali. Program Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Widodo, Siti Lestari, Endang Caturini S. 2013. Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap
Perubahan Kondisi Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Terpadu
Ilmu Kesehatan, Vol. 2 No. 2 : 93-99
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam
Yusuf, AH dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.

17

Anda mungkin juga menyukai