Tinjauan Pustaka
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang
sangat tinggi (tekanan diastolic > 120 mmHg) dengan kemungkinan akan timbulnya atau
telah terjadinya kelainan organ target.
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan,
sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. (tabel 2). Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam
satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel 3).
1
2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130
mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian
bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada
penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi
pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible
bila TD diturunkan.
2
Tabel 3 : Hipertensi urgensi ( mendesak)
Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
KW I atau II pada funduskopi.
Hipertensi post operasi.
Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari
tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa,
seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih
tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang
terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai
bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada
penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi
ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD
160/110 mmHg.
1.2.Patofisiologi
Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi dalam
merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme
autoregulasi) yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi.
Pada krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds
(terutama jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat perubahan
ini akan terjadi efek lokal dengan berpengaruhnya prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain
yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi
miointimal, dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin,
vesopresin, antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target. Jantung,
SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat melindungi organ
tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak turun atau naik. Misalkan
individu normotensi, mempunyai autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada
tekanan arteri rata-rata.
Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)
3
Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri rata-
rata (110-180mmHg).
Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang mendadak naik (krisis
hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian juga halnya
dengan jantung, ginjal dan mata.
1.3.Epidemiologi
Tekanan darah meningkat seiring meningkatnya usia. Tekanan darah sistolik meningkat
selama hidup, tetapi tekanan darah diastolic plateu pada decade kelima. Jadi, baik insidensi
maupun prevalensi hipertensi meningkat seiring usia, dan hipertensi sistolik terisolasi
menjadi subtype yang tersering pada usia tua. Pada dewasa usia menengah dengan tekanan
darah normal yang hidup mencapai usia 85 tahun, sisa usianya untuk menderita hipertensi
adalah 90%.
Sebagai tambahan, factor ireversibel lainnya yang berhubungan dengan peningkatan
risiko hipertensi termasuk ras Afrika-Amerika, atau riwayat keluarga dengan hipertensi.
Faktor reversible termasuk mengalami tekanan darah pada range prehipertensi, overweight,
pola hidup yang tidak sehat, konsumsi makanan tinggi natrium rendah kalium, intake alcohol
yang banyak, atau memiliki sindrom metabolic.
Sindrom metabolic didefinisikan sebagai terdapatnya 3 atau lebih factor risiko
kardiovaskuler berikut: obesitas abdominal (lingkar perut >40 inci (100cm) pada pria atau
>35 inci (88cm) pada wanita), kadar gula darah puasa terganggu (≥100 mg/dL), tekanan
darah 130/85mmHg atau lebih, meningkat kadar trigliserida plasma (≥150 mg/dL), atau
rendah kadar high-density lipoprotein (HDL) cholesterol (<40 mg/dL pada pria atau <50
mg/dL pada wanita). telah dkiyakini bahwa resistensi insulin dapat menjadi factor yang
mendasari terjadinya sinfrom metabolic. Dengan mengoreksi factor reversible dapat
menurunkan tekanan darah dan mencegah berkembangnya hipertensi. Pada dewasa muda dan
awal dewasa menengah, hipertensi lebih sering terdapat pada pria daripada wanita. pada
dewasa diatas usia 55 tahun, terjadi kebalikannya. Hipertensi lebih sering terjadi pada ras
Afrika Amerika daripada ras kulit putih pada segala usia, dan di antara kedua ras tersebut
tidak ada perbedaan status ekonomi.
Hipertensi merupakan factor risiko mayor untuk angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit kardiovaskular (seperti infark miokard, congestive heart failure, aterosklerosis
progresif), chronic kidney disease, dan demensia. Ia merupakan satu-satunya factor risiko
utama untuk stroke.
4
1.4.Faktor Risiko
Faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah:
1. Faktor resiko seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, dan
genetis.
2. Sistem saraf simpatis
a. Tonus simpatis
b. Variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi. Endotel
pembuluh darah berperan utama, tetapi remodelling dari endotel, otot polos dan
interstisium juga memberikan kontribusi akhir.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensis,
dan aldosteron.
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan
darah yang mempengaruhi rumus dasar Tekanan darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer.
1.5.Diagnosis
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
suatu krisis hipertensi.
5
1) Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang
penting ditanyakan :
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).
2) Pemeriksaan fisik :
3) Pemeriksaan penunjang :
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana ).
2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama ) :
6
a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi
renal ( kasus tertentu ).
b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT
Scan.
c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,
metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).
1.6.Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas
kardiovaskuler. Penurunan tekanan sistolik harus menjadi perhatian utama, karena pada
umumnya tekanan diastolik akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya tekanan sistolik.
Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dari perubahan gaya hidup berupa; diet
rendah garam, berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, aktifitas fisik yang teratur,
dan penurunan berat badan bagi pasien dengan berat badan lebih. Selain dapat menurunkan
tekanan darah, perubahan gaya hidup juga terbukti meningkatkan efektifitas obat
antihipertensi dan menurunkan resiko kardiovaskular.
Untuk hipertensi stage I tanpa faktor resiko dan tanpa kerusakan target organ, perubahan
pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai kelainan penyerta seperti
gagal jantung, pasca infark miokard, penyakit jantng koroner, DM, dan riwayat stroke, maka
terapi farmakologi harus dimulai sejak dini dimulai dari hipertensi tingkat satu. Bahkan untuk
pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes, pengobatn dimulai pada tahap prehipertensi.
8
- Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak
kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48
jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic
aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
- Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan
dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini
harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu,
misal : dissecting anneurysma aorta.
- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
9
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action 5 – 10 menit
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi,
dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action
10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih
sering dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 – 60 menit,
duration of action kira-kira 12 jam.
10
Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal
sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten,
obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100
cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal
setelah 1 jam atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat. Walaupun
akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara
pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman.
Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan
baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan
infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali
dalam beberapa menit. Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara
bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang
diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila
digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang
berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.
11
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loop
diuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.
6. Aorta disseksi :
Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist,
labetalol.
Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi :
Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium nitroprusside.
Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring
ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.
12
• Obat oral untuk hipertensi emergensi :
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan
obat oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi
emergensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan
captopril pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan
setelah menit ke 20. Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna
dalam menurunkan TD.
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual
kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga
dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila
penurunan TD diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD
diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom
dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60 menit
pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit
respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP masih >150mmHg,
tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran.
13
Captopril : pemberian secara oral/sublingual.
Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan.
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita
bilateral renal arteri sinosis.
Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikardi sakit kepala.
14
cerebro vascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak
Miokard (1%), diseksi aorta (1%).
Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan
penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi ginjal.
15
UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II
STATUS PASIEN
Nama : Ny. A
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Purus II tepi laut
16
ANAMNESIS :
Seorang pasien perempuan berumur 53 tahun datang ke Puskesmas Padang Pasir pada
hari Senin tanggal 25 Februari 2013 dengan :
Keluhan Utama :
Rasa berat ditengkuk yang semakin meningkat sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
1. Rasa berat ditengkuk yang semakin meningkat sejak 3 hari yang lalu
2. Rasa berat di tengkuk sudah sering dirasakan dalam beberapa tahun terakhir, hilang
timbul, semakin berat dirasakan sejak 3 hari terakhir.
3. Mata terasa kabur sejak 2 hari yang lalu
4. Riwayat gangguan penglihatan sebelumnya tidak ada, pasien tidak menggunakan kaca
mata
5. Mual-mual dirasakan sejak 3 hari yang lalu, meningkat sejak 1 hari ini. Mual disertai
nyeri di ulu hati.
6. Muntah tidak ada
7. Batuk tidak ada, sesak nafas tidak ada
8. Nyeri dada tidak ada, dada sering terasa berdebar-debar sejak 1 tahun ini.
9. BAB dan BAK tidak ada keluhan
10. Anggota gerak terasa lemah tiba-tiba tidak ada, penurunan kesadaran tidak ada
11. Pasien telah dikenal menderita hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, kontrol tidak teratur
karena merasa tidak ada keluhan dan merasa sehat. Tekanan darah paling tinggi yang
diketahui 160/100 mmHg.
Riwayat Pekerjaan
Pasien seorang ibu rumah tangga
17
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : cmc
Tekanan darah : 210/120 mmHg
Frekuensi Nadi : 92x/menit, teratur, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 22 x/menit, teratur
Suhu : 36,7oC
Tinggi Badan : 155cm
Berat Badan : 50kg
BMI : 20.8 (normoweight)
Sianosis : tidak ada
Edema : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Anemis : tidak ada
Kulit dan Selaput Lendir : Kulit tidak ikterik, spider naevi (-)
Kepala :
Rambut : Warna hitam tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak Ditemukan Kelainan
Hidung : septum deviasi tidak ada, obstruksi -/-
Gigi dan Mulut : caries (+), gusi berdarah (-)
KGB : tidak ditemukan pembesaran
Thorax :
Paru :
Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis terlihat 1 jari lateral linea midklavikularis sinistra
RIC VI
Palpasi : ktus kordis teraba 1 jari lateral linea midklavikularis sinistra
RIC VI
18
Perkusi : batas atas RIC II, kanan linea sternalis dekstra, kiri 1 jari lateral
linea midklavikularis sinistra RIC VI
Auskultasi : irama teratur, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : tidak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri ketok dan nyeri tekan CVA (-)
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : edema (-), ptekie (-)
DIAGNOSIS KERJA :
Krisis Hipertensi susp Hipertensi emergency
PEMERIKSAAN ANJURAN
Laboratorium : ureum, kreatinin, protein urin
Periksa Visus, Funduskopi
EKG
MANAJEMEN
a. Preventif :
- Mempraktekkan pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH) eating plan (kaya buah, sayur, dan makanan rendah lemak dengan
rendah kolesterol baik saturated maupun lemak total. Kaya kalium dan
kalsium.
- Memperhatikan asupan garam yang minimal, tidak lebih dari 2.4 gram natrium
atau 6 gram natrium klorida (galam dapur) per hari
- Olahraga aerobic seperti jalan cepat setiap hari selama 30 menit
- Istirahat yang cukup ± 8 jam sehari
- Menjaga agar berat badan tetap ideal
- Menghindari konsumsi alkohol
b. Promotif :
19
- Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai tindakan pencegahan
yang dapat dimodifikasi.
- Edukasi kepada pasien tentang penyakit hipertensi, krisis hipertensi, terutama
tentang faktor risiko, dan komplikasinya.
- Edukasi kepada pasien tentang penyakitnya saat ini yang kemungkinan sudah
mengenai target organ seperti jantung, lambung dan mata, sehingga
dibutuhkan penanganan lebih lanjut di rumah sakit rujukan.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa penyakit hipertensi ini harus
selalu dikontrol karena tidak bisa disembuhkan tetapi bisa dikontrol agar tidak
menjadi lebih berat dan menimbulkan berbagai komplikasi.
c. Kuratif :
- Captopril 25 mg sublingual, evaluasi 30 menit lagi, bila perlu bisa diulangi
tiap 30 menit.
- Rujuk IGD RSUP DR M Djamil Padang
d. Rehabilitatif :
- Kontrol tekanan darah secara teratur ke puskesmas
20
BAB III
Diskusi
Telah diperiksa seorang pasien perempuan usia 53 tahun di puskesmas Padang Pasir
Padang dengan diagnosis Krisis hipertensi susp Hipertensi emergency. Pasien datang dengan
keluhan utama berat ditengkuk yang semakin meningkat sejak 3 hari yang lalu. Pasien sudah
dikenal menderita hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, tetapi pasien tidak control secara teratur
ke puskesmas. Hal ini membuat tekanan darah pasien tidak bisa dikontrol sehingga bisa
menjadi krisis hipertensi. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya gejala mata kabur,
dimana pasien tidak ada riwayat kelainan pada mata dan tidak memakai kaca mata.
Kemungkinan ini adalah efek dari tekanan darah yang tinggi. Hal ini berarti sudah terjadi
kerusakan pada organ target tetapi belum progresif. Selain pada mata, system pencernaan
juga terlibat sehingga muncul gejala mual.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran cmc,
tekanan darah 210/120 mmHg, IMT : 20,8 dengan kesan normoweight, pemeriksaan thorak
didapatkan kesan left ventrikel hypertrophy dan abdomen tidak ditemukan kelainan. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik didiagnosis kerja pasien dengan krisis hipertensi ec susp
hipertensi emergency. Hal ini berdasarkan atas adanya kerusakan target organ yaitu mata
pasien yang semakin kabur, terdapat tanda pembesaran jantung kiri (LVH) dan TD 210/120
mmHg. Oleh karena adanya kerusakan target organ, perlu penurunan tekanan darah segera
untuk mencegah atau membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
Penatalaksanaan untuk pasien ini harus segera dirujuk. Namun secara komprehensif,
mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya promotif berupa
edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai tindakan pencegahan yang dapat dimodifikasi,
penyakit hipertensi, krisis hipertensi, terutama tentang faktor risiko, dan komplikasinya,
tentang penyakitnya saat ini yang kemungkinan sudah mengenai target organ seperti jantung,
lambung dan mata, sehingga dibutuhkan penanganan lebih lanjut di rumah sakit rujukan.
Upaya preventif berupa penerapan pola hidup yang sehat dengan menerapkan pola makan
DASH diet plan, olah raga erobik teratur setiap hari, retriksi garam, dan menghindari
konsumsi alcohol dan rokok.
Upaya kuratif berupa pemberian obat antihipertensi kerja cepat untuk membantu
menurunkan sedikit tekanan darah dan segera merujuk ke IGD RSUP M Djamil Padang.
Penting juga menerangkan kepada pasien tentang pentingnya kontrol tekanan darah
teratur ke puskesmas jika sudah stabil.
21
Daftar Pustaka
1. Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J Med,
323 : 1177-83. Diakses dari www.nejm.com tanggal 25 Februari 2013.
th
2. Kaplan N.M, 1986 : Clinical Hypertention, 4 Edition, William & Elkins, Baltimore,
2273-89.
3. Sanif E, 2008. Krisis Hipertensi, Metode Baru Pengobatan. Diakses dari
www.jantunghipertensi.com tanggal 25 Februari 2013.
4. Roesma J, 2006. Krisis Hipertensi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta:
Pusat Penerbitan FKUI.
5. Raharjo JP, 2001. Hipertensi Krisis. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
6. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with
Clonidine (catapres ), Med. Journal. Aust. 1 :829-831. Diakses dari
www.medicaljournal.com tanggal 25 Februari 2013.
7. Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual Captopril and
Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies, Arch, Intren. Med
Journal, 151 : 678-82. Diakses dari www.medicaljournal.com tanggal 25 Februari
2013.
8. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti
hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi sedang dan
berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83. Diakses dari
www.jantunghipertensi.com tanggal 25 Februari 2013.
9. Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in Hypertensive
Emergencies, Brmmed J, 286; 19-21. Diakses dari www.brmmedicaljournal.com
tanggal 25 Februari 2013.
10. Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45.
Diakses dari www.jam.com tanggal 25 Februari 2013
22