27
Berdasarkan dari 11 pasien tersebut, kami melakukan wawancara
langsung untuk menentukan faktor-faktor yang paling berperan dalam
menyebabkan gangguan jiwa di Desa Wonorejo. Berikut karakteristik pasien
yang mengalami gangguan jiwa:
Jenis Kelamin
36%
Laki-Laki
64%
Perempuan
b. Umur
Data tentang karakteristik pasien gangguan jiwa di Desa Wonorejo
berdasarkan umur dapat dilihat pada diagram 5.2.
28
Diagram 5.2. Distribusi Pasien Gangguan Jiwa menurut Umur
Umur
9% 18%
9%
20-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
64% > 50 tahun
c. Pendidikan
Data tentang karakteristik pasien gangguan jiwa di Desa Wonorejo
berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada diagram 5.3.
Diagram 5.3. Distribusi Pasien Gangguan Jiwa menurut Pendidikan
Pendidikan
18%
37%
Tidak sekolah
SD
27%
SMP
18% SMA
29
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pasien gangguan jiwa
yang tidak sekolah sebanyak 37% (4 orang), lulusan SD sebanyak 18% (2
orang), lulusan SMP sebanyak 27% (3 orang) dan lulusan SMA sebanyak
18% (2 orang).
d. Lama Sakit
Data tentang karakteristik pasien gangguan jiwa di Desa Wonorejo
berdasarkan lama sakit dapat dilihat pada diagram 5.4.
Diagram 5.4. Distribusi Pasien Gangguan Jiwa menurut Lama Sakit
Lama Sakit
0%
18%
< 1 tahun
1-5 tahun
82% > 5 tahun
30
Diagram 5.5. Distribusi Pasien Gangguan Jiwa menurut Jenis Gangguan
Jiwa.
9%
Skizofrenia
Depresi
91%
f. Pasung
Data tentang karakteristik pasien gangguan jiwa di Desa Wonorejo
berdasarkan Pasung dapat dilihat pada diagram 5.6.
Diagram 5.6. Distribusi Pasien Gangguan Jiwa menurut Pasung.
Pasung
27%
Ya
73% Tidak
31
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pasien gangguan jiwa
yang di pasung sebanyak 27% (3 orang) dan yang tidak di pasung
sebanyak 73% (8 orang).
32
f. Tidak Sekolah 4 23,5
g. Kehilangan orang berarti 4 23,5
5.2 Pembahasan
Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja, baik yang berusia muda,
dewasa maupun lansia. Gangguan jiwa juga dapat terjadi pada orang yang
tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Pada penelitian ini dilihat dari
karakteristik pasien gangguan jiwa seperti jenis kelamin, umur, pendidikan,
dipasung atau tidak, jenis gangguan jiwa. Kemudian dilihat pada faktor-faktor
terbanyak yang mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa.
Pada penelitian ini karakteristik pasien gangguan jiwa berdasarkan
jenis kelamin terbanyak pada laki-laki 64% (7 orang). Hal ini sesuai dengan
penelitian Wahyudi (2016), bahwa jenis kelamin laki-laki memiliki faktor
risiko 6,038 kali untuk terkena gangguan jiwa dibandingkan jenis kelamin
perempuan. Sesuai teori Adamo (2007), menyebutkan anak laki-laki memiliki
kecenderungan menunjukkan risiko tinggi mengalami gangguan jiwa sebab
laki-laki cenderung memiliki produksi hormon stress yang berlebihan. Sejalan
dengan Thorup (2007), di Denmark pada populasi dengan rentang umur 17-40
tahun menemukan bahwa angka insidensi laki-laki lebih besar (1,95%)
daripada perempuan (1,17%).
Karakteristek berdasarkan umur, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa usia terbanyak yang mengalami gangguan jiwa adalah usia dewasa.
Dimana rentang usia 31-40 tahun sebanyak 64% (7 orang). Usia dewasa
33
merupakan usia produktif dimana mereka harus mampu secara mandiri
menghidupi dirinya sendiri. Usia ini juga usia dimana seseorang telah
berkeluarga, sehingga masalah yang dihadapi juga semakin banyak, bukan
hanya masalah sendiri namun harus memikirkan masalah anggota
keluarganya. Hal ini memungkinkan orang dewasa mempunyai masalah yang
lebih kompleks dan berisiko mengalami gangguan jiwa (Rinawati, 2016).
Pada penelitian Yanuar (2011), proporsi pada pasien gangguan jiwa
mayoritas adalah berpendidikan rendah sebesar 73%. Begitu pula dengan
penelitian Erlina (2010), proporsi gangguan jiwa yang tinggi terjadi pada
pendidikan yang rendah. Namun jika di uji statistik tidak terdapat hubungan
bermakna. Sehingga tingkat pendidikan rendah bukan merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan jiwa. Tingkat pendidikan pada pasien gangguan jiwa
pada penelitian ini terbanyak 37% (4 orang) yang tidak sekolah. Namun,
dengan tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pengetahuan
pasien tentang gangguan jiwa menjadi rendah sehingga akan menjadi
hambatan dalam berinteraksi sosial maupun dalam mendapatkan informasi
tentang gangguan jiwa (Handayani, 2015).
Berdasarkan jenis gangguan jiwa pada penelitian ini yaitu skizofrenia
91% (10 orang) dan depresi 9% (1 orang). Dari data Riskesdas (2013), bahwa
prevalensi psikosis atau skizofrenia tertinggi 2,7% di Yogyakarta dan
terendah di Kalimantan Barat 0,7%. Kemudian, prevalensi gangguan mental
emosional yang ditujukan dengan gejala depresi dan kecemasan sekitar 6%
atau sebesar 37.728 orang. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental
emosional tertinggi di Sulawesi Tengah 11,6% dan terendah di Provinsi
Lampung 1,2%. Sehingga gangguan jiwa dengan skizofrenia dan depresi lebih
banyak terjadi.
Setelah melakukan penelitian di Desa Wonorejo, terdapat pasien
gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarganya sebanyak 27% (3 orang) dan
yang tidak dipasung 73% (8 orang). Metode pemasungan dengan cara
dikurung dilakukan dengan cara bervariasi yaitu pada pasien gangguan jiwa
34
pertama dikurung di dalam kamar yang berukuran sekitar 2 m x 2 m. Kamar
ini terpisah dengan rumah, yang letaknya berada di belakang rumah. Kamar
yang digunakan untuk mengurung adalah kamar yang telah dimodifikasi
sehingga pasien gangguan jiwa tidak bisa keluar, dengan menggunakan pintu
besi dan jendela yang dibuat kecil. Pada pasien kedua, dikurung di kamar
bersebelah dengan dapur. Dinding yang terbuat dari papan dan bambu. Salah
satu kaki pasien diikat dengan menggunakan rantai. Pada pasien yang ketiga,
dikurung atau dipasung jauh dari rumah sekitar lebih dari 50 meter. Tempat
pasung berupa gubuk kecil hanya tedapat atap seng dan dikelilingi beberapa
seng. Pasien pun diikat dengan menggunakan rantai pada salah satu kaki.
Dengan metode ini pasien gangguan jiwa melakukan segala aktivitas di dalam
kamarnya termasuk BAB, BAK, makan dan lain-lainnya.
Berdasarkan penelitian Wardhani (2011) dan Tyas (2008), ditemukan
bahwa diduga pasien gangguan jiwa yang dipasung lebih banyak dilakukan
oleh keluarga sebagai alternatif terakhir untuk penanganan gangguan jiwa,
setelah segala upaya pengobatan medis dilakukan keluarga. Namun
ketidaktahuan keluarga dan masyarakat sekitar atas deteksi dini dan
penanganan paska pengobatan di Rumah Sakit Jiwa menyebabkan penderita
tidak tertangani dengan baik. Hanya cara budaya yang diketahui keluarga
untuk menanganinya yaitu pemasungan supaya mencegah penderita gangguan
jiwa berat membahayakan diri dan orang lain. Selain sebagai cara keluarga
supaya bisa mengawasi penderita gangguan jiwa berat dari dekat (di
lingkungan rumah keluarga). Pasien yang dipasung dalam waktu yang lama
akan mengalami atropi otot, tidak bisa lagi berjalan, mengalami cedera hingga
pasien harus diterapi jika pasien tersebut dilepaskan dari pasung (Yusuf,
2017). Dampak lain dari pemasungan yaitu pasien mengalami trauma, dendam
kepada keluarga, merasa dibuang, rendah diri dan putus asa, muncul depresi
dan gejala niat bunuh diri (Lestari, 2014).
Faktor-faktor penyebab gangguan jiwa pada aspek biologis terbanyak
adalah genetik atau keturunan. Terdapat 50% (4 orang) yang memiliki riwayat
35
keturunan atau genetik gangguan jiwa. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Yanuar (2011), yang menemukan dominasi individu dengan
gangguan jiwa dengan faktor genetik atau keturunan gangguan jiwa. Genetik
memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi kepada generasi berikutnya
dan sebagai penentu sifat yang diturunkan. Terdapat kontribusi genetik pada
sebagian atau mungkin semua bentuk gangguan jiwa dan proporsi yang tinggi
dari variasi dalam kecenderungan gangguan jiwa sehubungan dengan efek
genetik. Risiko menderita gangguan jiwa sebesar 1% pada populasi umum
jika tidak ada keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita
gangguan jiwa maka insidensi untuk menderita gangguan jiwa sebesar 12%.
Jika kedua orang tua menderita gangguan jiwa insidensinya sebesar 40%
(Kaplan dan Sadock, 2006). Adapun peluang menurunnya gangguan jiwa
pada keturunan generasi kedua (second offspring) akan semakin menurun.
Peluang cucu untuk memiliki gangguan jiwa dari kakeknya hanyalah 5% atau
separuh dari peluang yang diturunkan salah satu orang tua yang mengidap
gangguan jiwa (Tsuang, 2005). Ditinjau dari peluang penurunan gangguan
jiwa menurut generasi keturunannya, Gershon (2013) menjelaskan bahwa
peluang pewarisan gangguan jiwa secara tidak langsung pada generasi kedua
secara genetis dapat terjadi meskipun probabilitasnya lebih kecil
dibandingkan pewarisan dari keturunan langsung atau first offspring. Selain
itu tidak semua individu dengan genotype gangguan jiwa akan menderita
gangguan jiwa selama tidak terdisposisi oleh faktor lingkungan.
Orang tua yang menderita gangguan jiwa lebih mungkin menularkan
gangguan jiwanya pada anak-anaknya melalui praktek membesarkan anak
yang salah ketimbang melalui gen-gen yang kurang baik (Semiun, 2010).
Townsend (2005), juga mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan
kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel pyramidal dalam otak,
dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal. Faktor neurobiology dan
neurotransmitter yaitu lesi pada lobus frontal, temporal dan area limbic
36
sehingga menyebabkan gangguan fungsi otak dan disregulasi neurotransmitter
seperti dopamine, serotonin dan glutamate (Varcarolis & Helter, 2010).
Pada aspek psikologis, faktor yang terbanyak adalah pengalaman yang
tidak menyenangkan 66,7% (10 orang). Pengalaman tidak menyenangkan
yang dialami pasien gangguan jiwa misalnya adanya trauma, aniaya fisik,
aniaya seksual, dikucilkan oleh masyarakat atau kejadian lain akan memicu
pasien mengalami gangguan jiwa. Pasien yang mempunyai mekanisme
koping maladaptive akan membuat pasien mudah mengalami gangguan jiwa
(Rinawati, 2016). Selain itu, perpecahan dalam keluarga seperti perceraian
orang tua, adopsi, kematian orang tua merupakan satu dari faktor risiko untuk
perkembangan anak. Jelas tidak hanya perpisahan itu sendiri tetapi periode
yang panjang dari perselisihan dan banyaknya ketidakharmonisan yang
akhirnya menimbulkan gangguan berikutnya pada anak (Erlina, 2010).
Penelitian Mallett et al (2002), yang melakukan penelitian pada etnik
asia yang menyatakan bukan faktor risiko antara terpisah dengan orangtua
terhadap timbulnya gangguan jiwa. Faktor kehilangan orangtua tidak
mempengaruhi untuk terjadinya gangguan jiwa, menurut peneliti karena
hubungan kekerabatan pada masyarakat kita (Asia) masih erat, sehingga
seorang anak masih mendapatkan kasih sayang dari keluarga yang lain, tetapi
walaupun demikian ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pada aspek sosial, faktor tidak sekolah dan kehilangan orang yang
berarti masing-masing 23,5% (4 orang). Pasien gangguan jiwa yang tidak
sekolah berarti tingkat pendidikannya rendah. Hal ini telah dijelaskan pada
paragraf sebelumnya. Status pendidikan tidak mempunyai pengaruh terhadap
timbulnya gangguan jiwa, tetapi tergantung kapan onset terjadinya gangguan
tersebut (Erlina, 2010). Menurut peneliti, yang menyebabkan faktor tidak
sekolah bisa dikarenakan letak geografis pasien yang berada di dataran tinggi.
Hal ini menyebabkan pasien sulit mendapatkan pendidikan karena jarak
sekolah yang jauh dan bisa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi yang mana
rata-rata bekerja sebagai petani.
37
Pada penelitian ini kehilangan orang berarti yaitu kehilangan ibu atau
ayahnya. Menurut Mallet et al (2002), kehilangan orangtua merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa. Kehilangan adalah suatu
kejadian dimana seseorang merasa kekurangan dengan apa yang tadinya ada
menjadi tidak ada. Kehilangan bisa karena kehilangan orang yang dicintai,
kehilangan barang maupun kehilangan pekerjaan. Disini rasa kehilangan akan
menyebabkan seseorang merasa cemas, rasa cemas yang berlebihan itulah
yang akan menyebabkan seseorang mengalami gangguan kejiwaan. Menurut
potter & perry (2005), kehilangan merupakan keadaan seseorang yang
mengalami perpisahan dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak
ada. Sedangkan menurut Stuart & Sudden (1998), kehilangan merupakan
keadaan seseorang mengalami berpindahnya sesuatu yang dimiliki dari yang
tadinya ada menjadi tidak ada. Selain kehilangan, kegagalan dan berduka juga
dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa.
Berduka merupakan respon emosi terhadap sesuatu yang telah hilang
yang di wujudkan dengan perasaan sedih, cemas, gelisah dll (potter & perry,
2005). Seseorang yang mengalami kehilangan, kegagalan dan berduka akan
merasakan perasaan yang tidak enak dan tidak nyaman. Perasaan yang
berlebihan akan menyebabkan seseorang tertekan dan terganggu kejiwaannya.
Perasaan cemas sangat mempengaruhi seseorang mengalami gangguan jiwa.
Menurut stuart & sudden (1998), kecemasan merupakan perasaan takut,
gelisah, ketidak nyamanan, kekhawatiran yang berlebihan dan perasaan takut
terhadap sesuatu yang diketahui maupun tidak diketahui (Saputri, 2016).
Keluarga maupun masyarakat masih memiliki pandangan yang buruk
terhadap orang yang menderita gangguan jiwa. Sehingga banyak penderita
gangguan jiwa telat dibawa ke pelayanan kesehatan jiwa. Kejadian ini
mengakibatkan penderita gangguan jiwa sukar untuk disembuhkan
(Handayani, 2015).
Pemberdayaan puskesmas dalam menyelenggarakan kesehatan jiwa
akan sangat membantu dalam mendekatkan pelayanan kepada pasien,
38
khususnya pasien-pasien di wilayah pedesaan yang jauh dari rumah sakit.
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia yaitu
WHO, pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas akan lebih efektif jika bisa
dilaksanakan secara optimal. Pelayanan kesehatan dengan pendekatan
holistik, meliputi pencegahan, maintenance pengobatan dan rehabilitasi sangat
memungkinkan untuk diterapkan di level pelayanan primer. Penyediaan
pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer dapat meningkatkan akses
pengobatan tanpa menjauhkan pasien dari keluarga. Perawatan kesehatan jiwa
di layanan primer diharapkan mampu menurunkan stigma dan diskriminasi
serta pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Penderita gangguan jiwa
sangat rentan mengalami tindak kekerasan dan penelantaran di masyarakat.
Penanganan kesehatan jiwa di layanan primer juga akan dapat meningkatkan
hasil terapi yang lebih baik karena kemungkinan besar kasus dapat
didiagnosis, ditangani dan dirujuk lebih dini sehingga mendapat penanganan
yang segera jika kasusnya memerlukan penanganan psikiater. Dengan lebih
dekatnya akses pelayanan, maka biaya perjalanan untuk menuju rumah sakit
atau klinik tertentu yang jauh dari masyarakat pedesaan juga bisa ditekan.
Optimalisasi program kesehatan jiwa di pelayanan primer akan terjadi apabila
ada kerjasama dan timbal balik antara pelayanan di level lainnya seperti
pelayanan sekunder dan tersier serta keluarga dan masyarakat sekitarnya
(Aryani, 2015).
Upaya preventif dan promotif perlu digalakkan untuk meningkatkan
kualitas kesehatan mental masyarakat. Peran serta aktif dari masyarakat akan
menjadi faktor pelindung utama bagi anggota masyarakat dalam menjaga
kondisi kesehatan mentalnya. Puskesmas bukan merupakan rumah sakit tetapi
garda terdepan dalam menjaga masyarakat sehat tetap sehat. Untuk ituah
panduan ini diperlukan untuk membantu para dokter layanan primer dalam
menjawab tantangan dari kesenjangan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di
daerah pedesaan dan terpencil (Aryani, 2015).
39
Pedoman untuk tindakan pencegahan primer, sekunder dan tersier
(Aryani, 2015):
1. Pencegahan primer meliputi kegiatan promosi kesehatan baik secara
individu maupun dengan pendekatan keluarga dan masyarakat.
2. Pencegahan sekunder berupa deteksi dini gangguan jiwa berat dalam
keluarga dan pengobatan awal sesuai ketersediaan obat-obatan di layanan
primer, serta merujuk pasien lebih dini ke rumah sakit ataupun psikiater.
3. Pencegahan tersier berupa pembatasan komorbiditas penderita gangguan
jiwa berat (penyakit terkait status gizi, cardiovascular, maupun penyakit
akibat efek samping obat). Rehabilitasi penderita gangguan jiwa yang telah
stabil dan terkendali juga akan dijelaskan dalam bagian spesifik untuk
mengembalikan kemampuan hidup dasar, perasaan percaya diri dan
kehidupan sosial orang dengan gangguan jiwa berat di masyarakat.
40