Anda di halaman 1dari 11

13

2.2 Konsep Penyakit Fraktur


2.2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrim (Brunner & Sudarth, 2002). Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).

2.2.2 Klasifikasi
2.2.2.1 Berdasarkan tempat
Fraktur Humerus, Tibia, Klavikula, Ulna, Radius, dst.
2.2.2.2 Berdasarkan komplit dah ketidak komplitan fraktur
1. Fraktur komplit, yaitu garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.
2. Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang.
2.2.2.3 Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah

1. Fraktur komunitif, garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

2. Fraktur segmental, garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

3. Fraktur multipel, garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.

2.2.2.4 Berdasarkan posisi fragmen


1. Fraktur Undisplaced ( tidak bergeser), garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2. Fraktur displaced ( bergeser), terjadi pergeseran fragmen tulang.
14

2.2.2.5 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)


1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan duni aluar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

1) Tingkat 0, fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan


lunak,

2) Tingkat 1, fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan


jaringan subkutan,

3) Tingkat 2, fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak


bagian dalam dan pembengkakan, dan

4) Tingkat 3, cedera berat dengna kerusakan jaringan lunak yang


nyata dan ancaman sindroma kompartemen.

2. Fraktur terbuka (open/compound fracture), bila terdapat hubungan


antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu:
1) Grade I, luka bersih panjangnya kurang dari 1 cm,
2) Grade II, luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan luak yang
ekstensi, dan
3) Grade III, sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif.
2.2.2.6 Berdasarkan posisi Fraktur
1) fraktur 1/3 proksimal
2) fraktur 1/3 medial
3) fraktur 1/3 distal
2.2.2.7 Fraktur Kelelahan
Fraktur yang terjadi akibat tekanan yang berulang-ulang.
2.2.2.8 Fraktur Patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
15

2.2.3 Etiologi

1. Trauma langsung/ direct trauma


Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat diman bagian tersebut mendapat
ruda paksa (misalnya benturan dan pukulan yang mengkaibatkan patah
tulang).
2. Trauma tidak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat
terjadi fraktur pada pergelangan tangan.
3. Trauma ringan
Terjadi bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit
yang mendasari yang biasanya disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekanan, dan
penarikan.
16

2.2.4 Patofisiologi Phatway


17

2.2.5 Manifestasi Klinis

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur
lengan dan tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkannya dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontrasksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Framgmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 – 5 cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa secara palpasi, teraba adanya krepitasi yang
terjadi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakkan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikut fraktur. Tanda ini dapat
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. X-ray, untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram atau MRI scans.
3. Arteriogram, dlakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT, apabila diduga terjadi kerusakan otot.
5. Pemeriksaan darah lengkap.

2.2.7 Komplikasi

1. Komplikasi awal, seperti kerusakan arteri, sindrom kompartemen,


emboli lemak, infeksi, avaskuler nekrosis, shock, dan osteomyelitis.
18

2. Komplikasi dalam waktu lama, seperti delayed union, non-union, dan


malunion pada proses penyatuan tulang.

2.2.8 Penatalaksanaan Medis


Terdapat empat tujuan utama dalam penatalaksanaan medis pada kasus
fraktur, yaitu:
1. Menghilangkan rasa nyeri
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun
karena adanya luka di sekitar jaringan tulang yang patah. Untuk
mengaurangi nyeri tersebut, dapat diberika obat penghilang rasa nyeri
dan dengan teknik imobilisasi, yang dapat dicapai dengan cara
pemsangan gips atau bidai.
2. Menghasilkan dan Mempertahankan Posisi yang Ideal dari Fraktur
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi teknik yang lebih baik seperti
pemasangan traksi kontinyu, fiksasi internal, atau fiksasi eksternal
tergantung dari dari jenis frakturnya sendiri.
3. Penyatuan Tulang Kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu
dan akan menyatu dengan sempurna daam waktu 6 bulan. Namun
terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga
dibutuhkan graft tulang.
4. Mengembalikan Fungsi Seperti Semula

Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan


kakunya sendiri. Maka dari itu, diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin dengan menggunakan alat bantu mobilisasi seperti walker,
cruck, dan lainnya.
19

2.2.9 Manajemen Keperawatan

2.2.9.1 Pengkajian Keluhan Utama


Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung lamanya serangan.

2.2.9.2 Riwayat penyakit


1) Riwayat penyakit sekarang
Dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit sehingga bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
2) Riwayat penyakit dahulu
Dilakukan untuk menentukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit tertentu seperti Paget’s atau Ca tulang yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk disambung.
Selain itu penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kroni dan menghambat
proses penyembuhan tulang.
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.

2.2.9.3 Diagnosa Keperawatan


1) Resiko trauma b/d kehilangan integritas tulang (fraktur).
2) Nyeri b/d spasme otot, pergerakan fragmen tulang, edema,
trauma pada jaringan lunak, stres, dan cemas.
20

3) Resiko terjadi disfungsi neuromuskular periferal b/d trauma


jaringan, edema, adanya trombus, hipovolemia dan terhambatnya
aliran darah.

4) Resiko terjadi gangguan pertukaran gas b/d gangguan peredaran


darah/ emboli lemak dan perubahan membran alveolar.

5) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskular, nyeri,


restrictive therapy, dan imobilisasi.

6) Resiko terjadi gangguan integritas kulit/ jaringan yang


berhubungan dengan adanya fraktur, pemasangan gips/ traksi dan
gangguan sirkulasi.

7) Resiko terjadi infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan primer


(rusak kulit/ jaringan, prosedur invasif, traksi tulang).

2.2.9.4 Perencanaan Keperawatan


a. Resiko terjadi trauma b/d kehilangan integritas tulang
(fraktur) Hasil yang diharapkan:
1) Mempertahankan stabilisasi dan alignment fraktur,

2) Mendemonstrasikan mekanika tubuh untuk mempertahankan


stabilitas posisi tubuh, dan

3) Menunjukkan pertumbuhan valus yang baru pada bagan fraktur.

Rencana Tindakan:

1) Anjurkan bed-rest dengan memberikan penyangga saat


mencoba menggerakkan bagian yang fraktur. R/
Meningkatkan kemampuan, mereduksi kemungkinan
pengobatan.

2) Letakkan klien pada tempat tidur ortopedis. R/ Kelembutan


dan kelenturan alas dapat mempengaruhi bentuk gips yang
basah.
21

3) Beri penyangga pada fraktur dengan bantal, pertahankan


posisi netral dengan menahan bagian yang fraktur dengan
bantalan pasir, bidai, trochanter-roll, dan papan kaki. R/
Mencegah penakanan sehingga menghindari deformitas pada
gips.

4) Evaluasi pergerakan bidai untuk menghindari edema. R/


Bidai digunakan untuk memberikan imobilisasi ada fraktur
dan untuk mencegah terjadinya bengkak pada jaringan.
Edema akan hilang dengan pemberian bidai.

5) Pertahankan posisi dan integritas dari traksi. R/ Tarikan pada


traksi dilakukan pada tulang panjang yang fraktur dan
kemudian menjadikan otot tegang sehingga memudahkan
alignment.
6) Follow-up pemeriksaan X-ray. R/ Mengetahui proses
tumbuhnya calus untuk menentukan tingkat aktivitas dan
memerlukan perubahan atau tambahan terapi.

7) Pertahankan fisioterapi jika perlu. R/ Membantu menguatkan


pertumbuhan tulang dalam penyembuhan.

b. Nyeri b/d spasme otot, pergerakan fragmen tulang, edema,


traksi/imobilisasi karena penggunaan alat, stres dan kecemasan.
Hasil yang diharapkan:
1) Klien mengerti penyebab nyeri, 2) Klien mampu mengontrol
nyeri, dan 3) Tanda-tanda vital dalam rentang normal. Rencana
tindakan:
1) Lakukan imobilisasi (bed-rest, gips, bidai dan traksi). R/
Mengurangi nyeri dan mencegah perubahan posisi tulang serta
luka pada jaringan.
2) Tinggikan dan sangga daerah luka. R/ Meningkatkan aliran
vena, mengurangi edema dan mengurangi nyeri.
22

3) Tinggikan bagian depan tempat tidur. R/ Memberikan


rasa nyaman.

4) Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi nafas


dalam. R/ Meningkatkan kemampuan mengurangi rasa nyeri.

5) Lakukan latihan range of motion. R/ Mempertahankan


kemampuan otot dan menghindari pembengkakan pada
jaringan yanag luka.

6) Kolaborasi untuk pemberian obat sesuai terapi. R/


Meningkatkan relaksasi otot dan menekan rangsangan nyeri.

7) Evaluasi rasa nyeri, lokasi, dan karakteristik, termasuk


intensitas. Perhatikan juga rasa nyeri non-verbal (tanda vital,
emosi, pergerakan/ perilaku). R/ Monitor keefektifan
intervensi, tingkat kecemasan dapat menunjukkan reaksi dari
nyeri.
c. Resiko terjadi gangguan integritas kulit/jaringan b/d compound
fracture, pemasangan traksi, gangguan sensasi, sirkulasi dan
imobilisasi fisik.
Rencana tindakan:
1) Periksa kulit sekitar luka, kemerahan, perdarahan, perubahan
warna kulit. R/ Memberikan informasi gangguan sirkulasi
kulit dan masalah-masalah yang mungkin disebabkan oleh
penggunaakn traksi dan terbentuknya edema.

2) Masase kulit dan tempat yang menonjol, menjaga alat tenun


tetap kering, memberikan alas yang lembut pada siku dan
tumit. R/ Mengurangi penekanan pada daerah yang beresiko
lecet dan rusak.

3) Ubah posisi selang-seling sesuai indikasi. R/ Mengurangi


penekanan yang terus menerus pada posisi tertentu.
23

4) Kaji posisi splint ring traksi. R/ salah posisi akan


menyebabkan kerusakan kulit.

5) Pakai bed-matras/ air-matras. R/ Mencegah perlukaan setiap


anggota tubuh, dan untuk anggota tubuh yang kurang gerak
efektif untuk mencegah penurunan sirkulasi.

2.2.9.5 Implementasi Keperawatan


Merupakan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang telah
ditentukan agar kebutuhan klien terpenuhi secara optimal.
Pelaksanaan tindakan keperawatan dapat dilaksanakan sebagian oleh
klien, perawat secara mandiri, atau bekerjasama dengan tim
kesehatan lain. Dalam hal ini perawat adalah sebagai perencana dan
pelaksana asuhan keperawatan yaitu memberikan pelayanan
perawatan dengan menggunakan proses keperawatan.

2.2.9.6 Evaluasi Keperawatan


Merupakan tahap akhir proses keperawatan yang merupakan
aktivitas berkesinambungan dari tahap awal (pengkajian) sampai
tahap akhir (evaluasi) dan melibatkan klien/ keluarga. Evaluasi
bertujuan untuk menilai efektivitas rencana dan strategi asuhan
keperawatan. Ada tiga alternatif dalam menafsirkan hasil evaluasi,
yaitu:
1) Masalah teratasi, apabila klien menunjukkan perubahan perilaku
dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian
tujuan yang ditetapkan.

2) Masalah sebagian teratasi, apabila klien menunjukkan


perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari
kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Masalah belum teratasi, jika klien sama sekali tidak menunjukkan


perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul
masalah baru.

Anda mungkin juga menyukai