Disusun Oleh:
Asyifa 190110160013
Tiffani Amalia 190110160040
Rahmatan Delwi Alif 190110160052
Chandra T. Giri Putri 190110160062
Pratama Rifqi P. 190110160066
Shahnaz Sabila R 190110160074
Agustina Nurshinta S 190110160075
Putri Shania M R 190110160079
Yumna Nahda Zhafira 190110160093
Saffana Ridha Asfa 190110160094
Rayhana Ratri R 190110160143
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
PSYCHOLOGICAL TREATMENTS FOR PRISONERS AND OTHER OFFENDERS
A. Introduction
Di seluruh dunia, kejahatan adalah isu politik. Banyaknya orang yang berada di
penjara merepresentasikan agenda politik modern. Memenjarakan orang yang bersalah
memakan biaya yang sangat banyak. Ada sebuah pandangan positif dimana penjara akan
membantu mengurangi angka kejahatan, namun treatment psikologi dengan biaya yang
jauh lebih murah terbukti mengurangi jumlah penjahat.
Walaupun terdapat argumen terhadap hal ini, secara umum, perawatan psikologi
yang modern terbukti mengurangi angka orang untuk berbuat kejahatan kembali sebesar
10% atau lebih. Namun hal ini juga bergantung kepada metode apa yang digunakan untuk
perawatan.
Secara umum, dapat diterima bahwa dari semua program intervensi psikologi,
program yang paling efektif untuk mengurangi residivis adalah CBT atau Cognitive
Behavioral Therapy yang didasarkan kepada prinsip-prinsip psikologi karena program ini
bekerja dengan cara memperbaiki defisit kognitif yang dimiliki oleh residivis (Blud,
1999)
Contoh defisit kognitif yang mungkin dimiliki oleh penjahat adalah:
● Cognitive style: memiliki hanya sedikit rasa empati dengan konsep sosial yang
abstrak, biasanya mereka memiliki pikiran yang tidak dapat diubah dan tidak
memiliki toleransi untuk mengubah pemikiran tersebut.
● Critical reasoning: pemikiran mereka biasanya tidak rasional dan tidak masuk
akal, mereka akan membenarkan tindakan yang mereka lakukan dengan cara
menyalahkan orang lain.
● Interpersonal problem solving: penjahat biasanya tidak memikirkan konsekuensi
yang akan terjadi dari perbuatan mereka, dan mereka juga terkadang tidak sadar
akan aksi dari masyarakat terhadap perbuatannya.
● Self control: mereka akan membenarkan impulsivitas mereka.
● Social perspective taking: penjahat biasanya hanya memikirkan diri mereka
sendiri (egosentris) dan tidak bisa melibatkan atau memikirkan mengenai orang
lain.
● Values: kemampuan mereka dalam hal moral sangatlah buruk. Mereka tidak akan
bisa menyadari ketidaksesuaian antara perilaku mereka dan kepercayaan mereka.
United Kingdom memiliki sistem akreditasi untuk program terapi, yang evaluasinya
berdasarkan:
● Kisaran target terapi.
● Lingkungan terapi yang terstruktur.
● Memiliki tujuan untuk mengubah perilaku dari target terapi.
● Model of change yang jelas.
● Partisipasi penuh dari partisipan.
● Pengontrolan perilaku yang dilakukan oleh pihak berwenang (terapis) bukan satu-
satunya cara untuk mengubah perilaku.
● Metode yang efektif.
● Challenging distorted thinking : aspek dari distorted thinking yang dimiliki oleh
masing-masing pelaku akan dipahami setelah beberapa saat mendengar penjelasan
dari pelaku. Cara mengatasi hal tersebut adalah dengan cara menanyakan bukti
yang dimiliki oleh pelaku terhadap hal-hal yang mereka ucapkan.
● Victim empathy work : menunjukan video korban pelecehan membahas tentang
dampak yang mereka rasakan dapat meningkatkan empati kita terhadap korban
tersebut. Hal ini juga dapat menyadarkan pelaku agar mereka mencoba
memposisikan diri menjadi korban pelecehan agar pelaku semakin merasa
bersalah.
● Fantasy modification : ada hubungan antara sex offending dan fantasy. Sebuah
keyakinan bahwa masturbasi pada sexual fantasy adalah dasar untuk
pengembangan melalui proses dari conditioning. Jika tidak mencoba
memodifikasi fantasi seksual biasanya akan dilakukan modifikasi perilaku
menggunakan salah satu dari empat cara yang bisa dilakukan oleh psikolog :
- Aversive therapy
Fantasi akan dikaitkan dengan beberapa konsekuensi negatif
- Masturbatory reconditioning
Mengubah fantasi yang lebih dapat diterima (dengan kata lain, pelaku
melakukan masturbasi dan beralih ke titik orgasme).
- Satiation
Pelaku berulang kali melakukan masturbasi fantasi sampai fantasi tidak
mampu menyebabkan gairah seksual.
● Convert Sensitisation : fantasi dikaitkan dengan konsekuensi negatif. Jadi fantasi
memperkosa seorang wanita dikaitkan dengan konsekuensi negatif dari
penangkapan, persidangan dan hukuman penjara.
● Social skills, assertiveness and anger control : ketiga faktor ini penting
diperhatikan bagi pelaku karena faktor-faktor tersebut memiliki andil yang cukup
besar dalam mengontrol diri untuk tidak melakukan pelecehan.
● Relapse prevention : tindakan preventif tidak mengulangi perbuatannya lagi
dengan menjauhkan hal-hal yang dapat memicu kejadian serupa terjadi, seperti
menitipkan anak dengan mantan pelaku dll.
Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih sistematis untuk meneliti
mengenai iatrogenic treatment.
Non-completers of Treatment
Sekitar seperempat dari pelaku pelanggaran gagal menyelesaikan program
treatment mereka (McMurran and Theodosi, 2007). Hal ini lebih sering terjadi pada
pelaku yang mendapatkan perawatan di komunitas dibandingkan di penjara. Beberapa
alasan mengapa perawatan tidak selesai yaitu (Wormith and Oliver, 2002):
● Persoalan administratif seperti keluar atau pindah LP selama perawatan
● Pelaku dikeluarkan dari program perawatan oleh staf karena tidak
kooperatif atau melanggar peraturan program
● Pelaku ingin keluar dari program
Penelitian lain oleh Studer dan Reddon (1998) di Alberta, Canada menemukan
bahwa program perawatan dapat memengaruhi prediksi risiko perilaku pelanggaran
seksual. Hasil penelitian menyatakan bahwa untuk laki-laki yang keluar dari program
perawatan, terdapat hubungan statistik yang positif antara perilaku pelanggaran seksual
dengan recidivism atau perilaku pelanggaran seksual yang ia lakukan terdahulu dapat
memprediksi pelanggaran yang akan ia lakukan di masa datang. Di sisi lain, bagi laki-laki
yang menyelesaikan program perawatan, tidak terdapat korelasi di antara keduanya.
Secara umum, tidak menyelesaikan program perawatan merupakan prediktor dari
pengulangan perilaku pelanggaran (Hanson dan Bussière, 1998).
Alasan yang mendasari hal ini adalah diduga karena orang-orang yang
dikeluarkan dari program perawatan oleh staf mungkin merasa terluka dan kecewa serta
mengembangkan sikap anti-otoritas dan antisosial (McMurran dan Theodosi, 2007).
Kualitas dari treatment sulit dijelaskan dan perlu diuji apakah treatment tersebut
sudah efektif atau belum. Salah satu cara untuk menilai kualitas treatment adalah dengan
mencocokan apakah treatment yang diberikan memenuhi kebutuhan krimatogenik dari
pelaku (offender). Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip RNR (Risk-Need-
Responsivity). RNR merupakan pendekatan yang cukup terkenal untuk memberikan
asesmen dan treatment bagi offender. Adapun kriteria dari RNR adalah:
- Risk principle: semakin besar risiko pelaku untuk menyerang kembali, maka
semakin besar juga usaha yang perlu dilakukan untuk mencegah hal ini
- Need principle: kebutuhan individu yang menyebabkan seseorang melakukan
perilaku kriminal perlu dicari tahu dan ditargetkan selama treatment berlangsung
- Responsivity principle: pertimbangan apakah pelaku belajar dari intervensi dan
treatment yang diberikan haruslah sangat dipikirkan. Pertimbangan ini mencakup
gaya belajar, motivasi dan kekuatan, serta kemampuan yang dimiliki oleh si
pelaku sebagai pertimbangan apakah materi yang disampaikan diterima dengan
baik.