Anda di halaman 1dari 28

Tugas Psikologi Forensik

Psikologi Forensik Dalam Setting Treatment


Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Forensik

Disusun Oleh:
Asyifa 190110160013
Tiffani Amalia 190110160040
Rahmatan Delwi Alif 190110160052
Chandra T. Giri Putri 190110160062
Pratama Rifqi P. 190110160066
Shahnaz Sabila R 190110160074
Agustina Nurshinta S 190110160075
Putri Shania M R 190110160079
Yumna Nahda Zhafira 190110160093
Saffana Ridha Asfa 190110160094
Rayhana Ratri R 190110160143

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
PSYCHOLOGICAL TREATMENTS FOR PRISONERS AND OTHER OFFENDERS

A. Introduction
Di seluruh dunia, kejahatan adalah isu politik. Banyaknya orang yang berada di
penjara merepresentasikan agenda politik modern. Memenjarakan orang yang bersalah
memakan biaya yang sangat banyak. Ada sebuah pandangan positif dimana penjara akan
membantu mengurangi angka kejahatan, namun treatment psikologi dengan biaya yang
jauh lebih murah terbukti mengurangi jumlah penjahat.
Walaupun terdapat argumen terhadap hal ini, secara umum, perawatan psikologi
yang modern terbukti mengurangi angka orang untuk berbuat kejahatan kembali sebesar
10% atau lebih. Namun hal ini juga bergantung kepada metode apa yang digunakan untuk
perawatan.
Secara umum, dapat diterima bahwa dari semua program intervensi psikologi,
program yang paling efektif untuk mengurangi residivis adalah CBT atau Cognitive
Behavioral Therapy yang didasarkan kepada prinsip-prinsip psikologi karena program ini
bekerja dengan cara memperbaiki defisit kognitif yang dimiliki oleh residivis (Blud,
1999)
Contoh defisit kognitif yang mungkin dimiliki oleh penjahat adalah:
● Cognitive style: memiliki hanya sedikit rasa empati dengan konsep sosial yang
abstrak, biasanya mereka memiliki pikiran yang tidak dapat diubah dan tidak
memiliki toleransi untuk mengubah pemikiran tersebut.
● Critical reasoning: pemikiran mereka biasanya tidak rasional dan tidak masuk
akal, mereka akan membenarkan tindakan yang mereka lakukan dengan cara
menyalahkan orang lain.
● Interpersonal problem solving: penjahat biasanya tidak memikirkan konsekuensi
yang akan terjadi dari perbuatan mereka, dan mereka juga terkadang tidak sadar
akan aksi dari masyarakat terhadap perbuatannya.
● Self control: mereka akan membenarkan impulsivitas mereka.
● Social perspective taking: penjahat biasanya hanya memikirkan diri mereka
sendiri (egosentris) dan tidak bisa melibatkan atau memikirkan mengenai orang
lain.
● Values: kemampuan mereka dalam hal moral sangatlah buruk. Mereka tidak akan
bisa menyadari ketidaksesuaian antara perilaku mereka dan kepercayaan mereka.
United Kingdom memiliki sistem akreditasi untuk program terapi, yang evaluasinya
berdasarkan:
● Kisaran target terapi.
● Lingkungan terapi yang terstruktur.
● Memiliki tujuan untuk mengubah perilaku dari target terapi.
● Model of change yang jelas.
● Partisipasi penuh dari partisipan.
● Pengontrolan perilaku yang dilakukan oleh pihak berwenang (terapis) bukan satu-
satunya cara untuk mengubah perilaku.
● Metode yang efektif.

B. Sex Offender Therapy in Prison


Treatment efektif untuk mengobati para penjahat seksual pertama kali ada pada
terapi perilaku pada tahun 1960an. Sebelum masa ini, Freud beranggapan bahwa penjahat
seksual tidak dapat diterapi menggunakan metode psikodinamik, namun memang pada
masa itu, terapi untuk penjahat seksual bukanlah prioritas utama.
Pendekatan dominan untuk treatment penjahat seksual adalah dengan
menggunakan CBT. terapis menggunakan cara-cara yang dapat menghasilkan perilaku
yang dapat diobservasi yang mana dapat meningkatkan keterbukaan diri, empati, dan
pengaturan terhadap pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Ruangan untuk terapi
harus bersih, rapi, dan sepi yang mana dapat menyebabkan mereka yang diterapi menjadi
lebih peka dan siap untuk belajar. Ruangannya juga tidak boleh dimasuki oleh sembarang
orang yang dapat mengganggu jalannya terapi tersebut.
Hal yang mendasar dalam sebuah program treatment adalah keputusan mengenai
bagaimana, kapan, dimana, untuk siapa, dan oleh siapa terapi itu akan dilakukan, yang
mana dapat dilihat sebagai berikut:
● Where: tempat di dalam penjara yang mana bisa menjadi tempat yang pantas
untuk mengadakan treatment.
● Who: prioritas diberikan kepada responden yang memiliki kemungkinan besar
untuk melakukan kejahatannya kembali.
● When: waktu yang tepat dari masa penahanan untuk mengadakan keseluruhan
treatment.
● By whom: pendekatan dapat dilakukan oleh segala kalangan, karena pendekatan
ini bersifat multidisiplin. Profesi selain psikolog juga bisa memberikan treatment,
dengan syarat mereka sudah mendapatkan pengetahuan dan pelatihan mengenai
CBT.
Terapi ini dilakukan dengan cara membuat group, dengan kombinasi 8 orang yang
diterapi (penjahat) dan dua orang tutor/terapis. Berikut merupakan beberapa metode yang
dapat dilakukan pada terapi berbentuk grup:
● Brainstorming dan FGD.
● Focus on the individual.
● Homework, such as diary.
● Role-playing.
● Smaller group.
● Videos or films.
Yang telah disebutkan diatas adalah metode-metode utama yang digunakan dalam
terapi kelompok. Namun, banyak area yang juga memakai metode:
● Describing the offence: biasanya penjahat seksual memberikan pernyataan-
pernyataan yang berusaha membuat diri mereka benar atau bahkan mereka akan
mengaku sebagai korban. Karakteristik penjelasan yang pelaku sex offenders
berikan seringkali tidak jelas dan berubah-ubah atau tidak konsisten. Berikut ini
adalah kutipan singkat dari wawancara dengan seorang pelaku sex offernders
(Howitt, 1995a, p. 95):
○ Interviewer : Did you kiss her on the breast?
○ Bennie : Maybe I did maybe I didn’t . . . [when you are arrested]
they try to use psychology on you, they make you say you did . . . so I am
going to say I did.
○ Interviewer : . . . that’s no use to me . . . I don’t want to know what they
say, I want to know what it is.
○ Bennie :. . maybe I probably did . . .
Pada akhir percakapan, pembaca mungkin merasa bingung apakah Bennie
melakukan “kiss her on the breasts” atau tidak. Meskipun demikian, Bennie
menggunakan frasa “maybe I probably did” yang membuatnya bebas secara
psychologically untuk mempertahankan posisi yang dia katakan bahwa dia
menerima tekanan dari orang lain sehingga mendorongnya untuk melakukan sex
offenders tersebut.
Terapis mungkin akan mendeskripsikan ini adalah ‘passive account’
karena tidak menggambarkan apa yang dilakukan oleh pelaku. Active account
akan lebih direct. Contohnya, pada contoh diatas, pelaku mungkin mengatakan ‘I
encouraged the girl to roll about in front of the television with me. We were
pretending to play at being animals. I pulled up her clothes and played at biting
her stomach. Then I took it further and sucked her breast for a couple of minutes.’
Kita harus membuat pelaku menjadi active account untuk memberikan informasi
tentang :
1. Proses perencanaan dari kejadian tersebut. Karena kejadian tersebut
pasti ada penyebabnya dan tidak terjadi begitu saja.
2. Tingkat emosional pelaku dengan korban.
3. Bagaimana pelaku bertanggung jawab untuk menjelaskan segala
hal yang terjadi.
4. Larangan yang pelaku sampaikan ke korban bahwa korban tidak
boleh menceritakan kasus kriminal ini kepada orang lain.

● Challenging distorted thinking : aspek dari distorted thinking yang dimiliki oleh
masing-masing pelaku akan dipahami setelah beberapa saat mendengar penjelasan
dari pelaku. Cara mengatasi hal tersebut adalah dengan cara menanyakan bukti
yang dimiliki oleh pelaku terhadap hal-hal yang mereka ucapkan.
● Victim empathy work : menunjukan video korban pelecehan membahas tentang
dampak yang mereka rasakan dapat meningkatkan empati kita terhadap korban
tersebut. Hal ini juga dapat menyadarkan pelaku agar mereka mencoba
memposisikan diri menjadi korban pelecehan agar pelaku semakin merasa
bersalah.
● Fantasy modification : ada hubungan antara sex offending dan fantasy. Sebuah
keyakinan bahwa masturbasi pada sexual fantasy adalah dasar untuk
pengembangan melalui proses dari conditioning. Jika tidak mencoba
memodifikasi fantasi seksual biasanya akan dilakukan modifikasi perilaku
menggunakan salah satu dari empat cara yang bisa dilakukan oleh psikolog :
- Aversive therapy
Fantasi akan dikaitkan dengan beberapa konsekuensi negatif
- Masturbatory reconditioning
Mengubah fantasi yang lebih dapat diterima (dengan kata lain, pelaku
melakukan masturbasi dan beralih ke titik orgasme).
- Satiation
Pelaku berulang kali melakukan masturbasi fantasi sampai fantasi tidak
mampu menyebabkan gairah seksual.
● Convert Sensitisation : fantasi dikaitkan dengan konsekuensi negatif. Jadi fantasi
memperkosa seorang wanita dikaitkan dengan konsekuensi negatif dari
penangkapan, persidangan dan hukuman penjara.
● Social skills, assertiveness and anger control : ketiga faktor ini penting
diperhatikan bagi pelaku karena faktor-faktor tersebut memiliki andil yang cukup
besar dalam mengontrol diri untuk tidak melakukan pelecehan.
● Relapse prevention : tindakan preventif tidak mengulangi perbuatannya lagi
dengan menjauhkan hal-hal yang dapat memicu kejadian serupa terjadi, seperti
menitipkan anak dengan mantan pelaku dll.

C. Does Treatment Work


Dalam sebuah artikel tentang kebijakan pemerintah dan pelaku kejahatan sexual serta
pengobatan dan rehabilitasi, Towl and Crighton (2016) berpendapat bahwa kebijakan pidana
dalam beberapa tahun terakhir telah mendukung penggunaan hukuman yang lebih keras untuk
meminimalkan kemungkinannya pelanggaran seks di masa depan.
D. Meta analytic Study
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa jenis treatment tertentu dapat
mengurangi residivisme. Hall (1995) melakukan meta analisis pada 12 studi mengenai
residivisme yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok yang
melakukan treatment dan kelompok yang tidak. Penelitian lainnya menunjukkan terdapat
hubungan antara residivisme dan treatment. Untuk tingkat residivisme, kelompok
treatment 15% dan kelompok non-treatment 68%. Treatment yang dilakukan tidak
terbatas pada metode cognitive behavioral, namun juga hormonal treatment. Secara
statistik tidak terdapat perbedaan antara metode cognitive behavioral dan hormonal
treatment dalam hal efektivitas. Hansol et al (2002) mengkaji 30 temuan penelitian
mengenai penjahat sex. Ditemukan rata-rata 17% dari individu yang tidak mendapatkan
treatment mengalami kekerasan seksual.
Tahun 2009, Duwe dan Goldman menemukan bahwa berdasarkan studi meta
analytic, individu yang mendapatkan treatment memiliki peluang 5 -10 % lebih rendah
untuk melakukan kekerasan seksual lagi. Studi ini juga menemukan bahwa metode
cognitive behavioral merupakan metode yang efektif untuk melakukan pencegahan
kambuh.
● The randomised control trial or true experiment
Kita perlu mempertimbangkan sejauh mana penelitian tersebut melibatkan teknik
random untuk membagi partisipan kedalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Hasil meta analisis Losel dan Schuker (2005) menemukan hanya 7% penelitian yang
menggunakan teknik random. Sebagian besar penelitian (84%) tidak menggunakan
random assignment atau matching technique untuk menyetarakan atau menyamakan
kelompok kontrol dan eksperimen. Sehingga dalam studi mengenai efektivitas treatment,
kita tidak dapat dengan yakin menyatakan bahwa treatment itu bekerja (Hanson,
Bourgon, Helmus, Hodgson, 2009. Kenworthy, Adams, Brook-Gordon dan Fenton
(2004) mempertanyakan etika dalam mengerahkan sumber daya untuk melakukan
treatment pada pelanggar sex ketika studi yang menggunakan teknik random
menghasilkan bukti terbatas mengenai keberhasilan pengobatan.
● Research lacking a control group
Salah satu contoh studi yang bermasalah pada efektivitas program seks adalah
program treatment penjahat seks UK. Wakeling, Beech, dan Freemantle (2013)
mempelajari perubahan psikometrik selama treatment, dan mempertanyakan apakah hal
tersebut berkaitan dengan residivisme. Sample studi ini sebanyak 4000 pelanggar seks
yang telah melakukan treatment di penjara selama periode 10 tahun dan telah dibebaskan,
dimana dua pertiga pernah terlibat dalam penganiayaan anak dan seperempat
pemerkosaan. Rata-rata para pelaku ditindak lanjuti selama 1500 hari untuk kemungkinan
residivisme.
Para peneliti menggunakan pendekatan “clinically significant change” (Kazdin,
2003). Ini berfokus pada situasi dimana terjadi perubahan dari offerend ke nonoefferend.
Analisis berfokus pada pelaku yang telah berubah secara keseluruhan, setidaknya tiga
dari empat domain seperti 1) Minat seksual; 2) pro-offending attitudes; 3) socio-affective
problems; dan 4) self-regulation problems. Pelaku diklasifikasikan kedalam lima
kategori :
❏ Deteriorated: individu berubah ke arah negatif
❏ Unchanged: individu tidak menunjukkan perubahan
❏ Improved: individu menunjukkan perubahan sehingga masuk dalam rentang
normal
❏ Recovered: individu membaik secara konsisten
❏ Already okay: individu sudah dalam kisaran yang diinginkan
Lebih tepatnya, penelitian ini membandingkan pelaku yang berhasil dan tidak
berhasil dalam treatment, sehingga tidak dapat secara akurat menggambarkan studi
mengenai efektivitas treatment. Tingkat reconviction mereka yang telah bebas setidaknya
selama 2 tahun adalah 12%. Namun pelanggar seksual tingkat reviction yang rendah
yaitu 1,7% dan 4,4% untuk gabungan sexual dan violent reconviction.
Individu yang memiliki nilai berada di kisaran normal sebelum dan sesudah
treatment memiliki kemungkinan lebih kecil untuk kambuh dibandingkan dengan mereka
yang nilainya tidak berubah. Partisipan yang telah berubah setidaknya pada tiga domain,
memiliki reconviction rendah dibanding mereka yang tidak berubah. Namun sebenarnya
temuan ini tidak terlalu mengesankan. Para peneliti menyarankan bahwa penemuan
mereka tidak lebih dari sekedar dukungan terbatas untuk penggunaan perubahan faktor
resiko untuk memprediksi residivisme di masa depan. Sebagian besar instrumen yang
digunakan memiliki hubungan yang kecil dengan residivisme. Wakeling et al
menyarankan ketika sumber daya langka, treatment mungkin tidak ditawarkan kepada
pelaku yang memiliki nilai di kisaran normal.
● What works with sex offenders?
Artikel Ho dan Ross (2012) mengulas kasus program treatment penjahat seks
yang dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Artikel tersebut hanya
mempertanyakan klaim yang dibuat oleh National Offender Management Service
(NOMC). NOMC adalah lembaga pemerintah yang menangani layanan penjara dan masa
percobaan. Program treatment penjahat seks dimulai tahun 1991, dan merawat 1000
tahanan setiap tahunnya di Inggris. Ho dan Ross menunjukkan banyak klaim berlebihan
mengenai efektivitas program treatment penjahat seks. Salah satu klaimnya adalah bahwa
penelitian skala besar menunjukkan bahwa penjahat seks yang menerima treatment
memiliki reconviction sexual yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak
menerima treatment. Hal ini didasarkan pada penelitian oleh Hanson et al (2002) yang
menemukan bahwa tingkat reconviction pelanggar seks yang mendapat treatment adalah
sebesar 12,3 %, sedangkan untuk pelanggar yang tidak menerima treatment sebanyak
16,8 %. Interpretasi tingkat residivisme ini perlu dipertimbangkan karna desain penelitian
yang melibatkan kelompok kontrol dan eksperimen tidak dapat dibandingkan. Kelompok
kontrol yang tidak mendapatkan treatment, misalnya, terdapat pelaku beresiko tinggi
yang diketahui lebih cenderung menolak pengobatan (Rice dan Harris, 2003)
Klaim lain dari NOMC adalah treatment behavioral cognitive merupakan metode
yang paling efektif, terutama jika dilakukan bersama dengan treatment farmakologis
(seperti diberi obat yang mengurangi dorongan seksual). Ho dan Ross mengatakan bahwa
hanya ada satu studi metodologis yang baik mengenai efektifitas dari treatment.
Psikoterapi (CBT) saja tidak mencegah kembalinya fantasi seksual, mastrubasi, dan
sexual deviancy dibandingkan dengan treatment kombinasi. Hal ini menunjukkan bahwa
treatment kombinasi lebih baik daripada CBT saja. Apa yang di klaim oleh NOMC
mungkin ada benarnya, namun yang pasti CBT sendiri tidak cukup efektif.

E. Can Therapy Cause Harm?


Ada kemungkinan sebuah treatment dapat memberikan bahaya bagi seseorang,
namun memberikan manfaat untuk yang lainnya. Welsh dan Rocque (2014) menyatakan
bahwa beberapa intervensi kriminologi seperti boot camp memberikan dampak yang
merugikan bagi resipiennya. Contohnya ialah pada orang-orang dengan kepribadian
psikopat. Bukti dari penelitian mengemukakan bahwa beberapa terapi tertentu dapat
membahayakan orang-orang seperti ini (Rice, 1997; Rice, Harris and Cormier, 1992).
Program perawatan ini ternyata memenuhi kebutuhan para psikopat di mana
ditemukan bahwa para psikopat yang mengikuti program treatment ini memiliki
kecenderungan untuk kembali melakukan perilaku menyimpang 40 % lebih tinggi
daripada yang tidak mengikuti program perawatan (Hare Psychopathy Checklist).
Sementara untuk orang-orang non psikopat, treatment ini malah menurunkan
kecenderungan untuk melakukan perilaku pelanggaran hingga 50%. Dari hal ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa psikopat adalah subkelompok yang berbeda dari offenders
lainnya karena bagi mereka, beberapa treatment tidak efektif atau bahkan kontraproduktif
terhadap outcome yang ingin dicapai. Hal ini diduga karena treatment yang bertujuan
untuk meningkatkan self-esteem malah membuat psikopat semakin gencar menggunakan
agresi dan treatment untuk meningkatkan empati malah membuat mereka semakin lihai
dalam memanipulasi orang lain.
Beberapa fitur dari treatment pada masa itu dianggap bermasalah, di antaranya (Harris,
Rice and Cormier, 1994):
● Perawatan diarahkan oleh peer mereka dengan keterlibatan profesional yang minim
setiap hari
● Melibatkan group therapy dalam dosis tinggi selama 8 jam per pekan yang setara dengan
11 jam group therapy perhari
● Melibatkan bertemu dengan kelompok bertelanjang
● LSD dan jenis narkoba lainnya terkadang digunakan dalam terapi
● Tidak ada bagian dari perawatan yang menyasar perubahan dalam perilaku dan sikap
kriminal
Sehingga pada perawatan ini, hanya pelaku pelanggaran yang kooperatif yang
mendapatkan dampak baiknya.
Jones (2007) mencetuskan konsep iatrogenic treatment yaitu pada beberapa klien,
suatu treatment bisa menghasilkan efek yang tidak diinginkan dan biasanya diaplikasikan
pada intervensi medis. Contohnya ialah pada orang-orang dengan kelainan kepribadian
yang melakukan perilaku yang melanggar. Beberapa outcome yang dapat membahayakan
offender adalah:
● Meningkatnya kemungkinan untuk melakukan perilaku pelanggaran seperti
sebelumnya untuk menunjukkan bahwa mereka berhasil mengalahkan terapi
karena merasa terpaksa ketika melakukan terapi
● Meningkatkan keterampilan untuk mengases korbannya, terutama pada psikopat
● Meningkatkan triggering salience, terutama pada sadistic offender
● Meningkatkan keterampilan untuk menghindari deteksi perilaku pelanggaran

Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih sistematis untuk meneliti
mengenai iatrogenic treatment.

Non-completers of Treatment
Sekitar seperempat dari pelaku pelanggaran gagal menyelesaikan program
treatment mereka (McMurran and Theodosi, 2007). Hal ini lebih sering terjadi pada
pelaku yang mendapatkan perawatan di komunitas dibandingkan di penjara. Beberapa
alasan mengapa perawatan tidak selesai yaitu (Wormith and Oliver, 2002):
● Persoalan administratif seperti keluar atau pindah LP selama perawatan
● Pelaku dikeluarkan dari program perawatan oleh staf karena tidak
kooperatif atau melanggar peraturan program
● Pelaku ingin keluar dari program

Untuk mengetahui dampak dari tidak menyelesaikan program perawatan, Dutton,


Bodnarchuk, Kropp dan Hart (1997) melakukan penelitian pada suami yang melakukan
kekerasan pada istri mereka di Vancouver, Kanada, yang mengikuti perawatan anger
management. Hasil dari penelitian tersebut berdasarkan pengukuran rasio recidivism ialah
sebagai berikut:
● Untuk suami yang tidak datang ke program perawatan: 9%
● Suami yang dianggap tidak cocok mengikuti program perawatan: 20%
● Suami yang dianggap cocok mengikuti program perawatan tapi tidak
menyelesaikan program: 11%
● Suami yang menyelesaikan program perawatan: 6%
Maka dari itu, program perawatan dapat menurunkan perilaku kekerasan yang dilakukan.

Penelitian lain oleh Studer dan Reddon (1998) di Alberta, Canada menemukan
bahwa program perawatan dapat memengaruhi prediksi risiko perilaku pelanggaran
seksual. Hasil penelitian menyatakan bahwa untuk laki-laki yang keluar dari program
perawatan, terdapat hubungan statistik yang positif antara perilaku pelanggaran seksual
dengan recidivism atau perilaku pelanggaran seksual yang ia lakukan terdahulu dapat
memprediksi pelanggaran yang akan ia lakukan di masa datang. Di sisi lain, bagi laki-laki
yang menyelesaikan program perawatan, tidak terdapat korelasi di antara keduanya.
Secara umum, tidak menyelesaikan program perawatan merupakan prediktor dari
pengulangan perilaku pelanggaran (Hanson dan Bussière, 1998).
Alasan yang mendasari hal ini adalah diduga karena orang-orang yang
dikeluarkan dari program perawatan oleh staf mungkin merasa terluka dan kecewa serta
mengembangkan sikap anti-otoritas dan antisosial (McMurran dan Theodosi, 2007).

Kualitas dari treatment sulit dijelaskan dan perlu diuji apakah treatment tersebut
sudah efektif atau belum. Salah satu cara untuk menilai kualitas treatment adalah dengan
mencocokan apakah treatment yang diberikan memenuhi kebutuhan krimatogenik dari
pelaku (offender). Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip RNR (Risk-Need-
Responsivity). RNR merupakan pendekatan yang cukup terkenal untuk memberikan
asesmen dan treatment bagi offender. Adapun kriteria dari RNR adalah:
- Risk principle: semakin besar risiko pelaku untuk menyerang kembali, maka
semakin besar juga usaha yang perlu dilakukan untuk mencegah hal ini
- Need principle: kebutuhan individu yang menyebabkan seseorang melakukan
perilaku kriminal perlu dicari tahu dan ditargetkan selama treatment berlangsung
- Responsivity principle: pertimbangan apakah pelaku belajar dari intervensi dan
treatment yang diberikan haruslah sangat dipikirkan. Pertimbangan ini mencakup
gaya belajar, motivasi dan kekuatan, serta kemampuan yang dimiliki oleh si
pelaku sebagai pertimbangan apakah materi yang disampaikan diterima dengan
baik.

Berdasarkan studi yang dilakukan selama beberapa tahun belakangan ini,


treatment yang dilakukan menurut RNR lebih efektif. Efek yang dirasakan paling kuat
ketika tiga kriteria RNR ini terpenuhi, dan begitu pula sebaliknya. Treatment yang efektif
dapat mengurangi risiko residivisme. Salah satu penelitian menemukan bahwa treatment
seperti pemberian senyawa kimia dan pengebirian menghasilkan perilaku yang lebih
efektif bagi pemerkosa.

F. Treating Violent Criminals


Kebutuhan akan metode untuk mengurangi perilaku kriminal adalah jelas. Selama
beberapa tahun, metode yang paling umum dilakukan adalah anger management.
- Anger Management
Anger management merupakan suatu bentuk treatment yang diterapkan dalam
banyak konteks, termasuk di penjara. Howells (1998) menganjurkan beberapa
strategi yang dapat digunakan dalam intervensi anger management. Hal ini
termasuk meningkatkan pemahaman agresi dan kejahatan mereka, cara
menghadapi stressor pada konteks konteks tertentu, meningkatkan dan
memperluaskan coping strategy, menghentikan perilaku-perilaku sosial yang
maladaptif, dan memperkuat motivasi atau komitmen untuk berubah. Anger
management biasanya terdiri dari 8 sesi dan satu kelompok biasanya terdiri dari 6-
8 orang serta dua fasilitator. Adapun komponen dari sesi anger management
adalah sebagai berikut.
Secara teoritis, penekanan program-program tersebut adalah pada komponen
kognitif dari kemarahan dan, khususnya, proses penilaian (Howells, Watt, Hall dan
Baldwin, 1997). Peristiwa ini dinilai dan respons emosional adalah konsekuensinya:
Event → Appraisal → Emotion

Meskipun namanya manajemen kemarahan, banyak program manajemen


kemarahan merekrut pelanggar dengan masalah kekerasan tanpa referensi apakah
masalah mereka adalah manajemen kemarahan. Kesulitannya adalah banyaknya variasi
penyebab kekerasan individu: 1) beberapa mungkin psikopat yang bertindak keras bukan
karena marah tetapi tanpa perasaan untuk mencapai tujuan khusus mereka - mungkin
untuk mendapatkan uang; dan 2) orang lain mungkin kurang percaya diri dan rentan
terhadap ejekan oleh orang lain. Mengenai keefektifan program manajemen kemarahan,
penelitian menunjukkan bahwa dampaknya terhadap kemarahan tidak cukup signifikan
secara klinis (Howells, 1998).

Violent Offender Programmes


Program terapi khusus untuk pelanggar kekerasan tidak umum dibandingkan
dengan program pelanggar seks. Menurut Attrill (1999), tiga temuan tentang pelaku
kekerasan adalah akar dari:
● Kekerasan adalah perilaku yang dipelajari yang diadopsi sebagai cara mengatasi
pengalaman hidup yang sulit. Kekerasan, kemudian, bekerja secara efektif dan
andal bagi mereka dan berfungsi untuk memperkuat perasaan mereka akan
kekuatan dan efisiensi diri mereka sendiri.
● Pola perilaku kriminal mencakup beragamnya tindakan kriminal dan jarang
terbatas pada perilaku kekerasan.
● Pola perilaku kekerasan dan kriminal terjalin dengan cara berpikir yang
mendukung tindakan tersebut.

G. The Aggression Training Programme (ATP)


ATP dikembangkan oleh Goldstein (Goldstein, 2004; Goldstein, Glick and Gibbs,
1998) untuk bekerja dengan pelanggar yang lebih muda. Asumsi dasarnya, agresi adalah
hasil dari banyak penyebab internal dan eksternal. Faktor internal nya adalah tiga kali
lipat lebih besar. Berikut beberapa indikasi yang digunakan dalam ATP untuk
mengurangi kekerasan:
● Defisit keterampilan umum yang bersifat pribadi, interpersonal, dan sosial-
kognitif
● Kontrol kemarahan yang rendah disertai dengan perilaku impulsif dan agresif
yang sering muncul.
● Defisit penalaran moral

Cognitive Skills and Cognitive Self-Change Programmes


Strategi mendasar mereka adalah untuk membantu pelaku meningkatkan kapasitas
berpikir mereka untuk menyelesaikan masalah interpersonal mereka khususnya.
Keyakinannya adalah bahwa defisit keterampilan sosial membuat individu berisiko lebih
besar untuk bertindak agresif karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai
tentang bagaimana menghadapi situasi tanpa kekerasan. Pelatihan ini melibatkan berbagai
keterampilan sosial seperti resolusi konflik; berpikir kritis; kontrol dan manajemen
impuls; kemampuan interpersonal; dan pemecahan masalah. Program ini dibagi menjadi
6 blok, masing-masing terdiri dari sesi-sesi yang berjumlah 100 jam. Adapun treatment
nya adalah:
● Keterampilan diajarkan yang memungkinkan pelaku untuk mengamati dan
melaporkan pikiran, perasaan, sikap dan kepercayaan mereka
● Pola berpikir diidentifikasi yang telah menghasilkan dan akan mengakibatkan
perilaku menyinggung dan kekerasan pada umumnya.
● Pelanggar mencoba mengidentifikasi cara berpikir baru dan cara menghentikan
kekerasan yang mendukung pola pikir ini.
● Rencana pencegahan hal yang sama terulang disiapkan dan strategi dipraktikkan.
● Para pelaku mempraktikkan rencana pencegahan relapse di penjara.
● Blok terakhir yaitu pelanggar kembali ke masyarakat dengan dukungan dan
pengawasan terstruktur.

H. Other Treatments for Violent Offending


a. Cognitive skills and cognitive self change programmes
b. Multi faceted interventions
Inovasi terbaru dalam program violent offenders jauh lebih intens daripada
program manajemen amarah yang asli. Contohnya: pengobatan mengenai
cognitive behavioural mungkin melibatkan lebih dari 300 jam pada sesi grup dan
individu dalam periode waktu 28 minggu, seperti pada kasus program preventif
kekerasan di New Zealand (Polaschek et al., 2004). Penilaian dari offenders yang
terlibat, seperti sejarah sosial dan personal mereka, bagaimana mereka merespon
terhadap situasi kelompok, dan detail pelanggaran mereka dan prosesnya dimasa
lalu dan sekarang. Programnya terdiri dari modul yang berbeda seperti:
● Cognitive restructuring of thinking leading to offending
● communication/ interpersonal skills
● Regulasi emosi
● Moral reasoning
● Offence chain identification
● Problem solving
● Planning for relapse prevention
● Victim empathy

I. Anger and Violence


Amarah bukan merupakan fitur yang penting pada kekerasan. Bukti bahwa
amarah bukan merupakan komponen yang penting dari kekerasan dapat dilihat dalam
observasi bahwa, meskipun pria dan wanita mungkin merasakan amarah yang sama, pria
lebih violent dibandingkan dengan wanita (Archer, 2004). Mirip, violent rapist, non
violent rapist, dan non-rapist offenders menunjukkan tidak ada perbedaan dalam amarah
(Loza and Loza-Fanous, 1999).
Kekerasan dapat dilihat sebagai pembalasan yang dibenarkan yang
memungkinkan pelaku mengekspresikan dan melepaskan perasaan negatif yang terkait
dengan ancaman. Selain itu perilaku kekerasan menyerang dan melukai korban melayani
fungsi sosial memulihkan tingkat kebanggan diri pelaku. Walker and Bright merujuk
pada tiga lapisan pemikiran yang dapat berkontribusi pada kekerasan:
● Layer one: negative automatic thoughts, hal ini sangat berhubungan dengan
emosi dan cepat berlalu, seperti mungkin mereka tidak diperhatikan. Offenders
harus mempelajari dalam terapi untuk waspada dan memonitor pemikiran seperti
itu
● Layer two: Dysfunctional assumptions. Adalah perilaku yang dimainkan oleh
individu atau berlaku untuk kehidupan mereka. Hal ini dapat ditemukan dengan
bertanya pada offenders untuk mengatakan peraturan apa yang mereka terapkan
dalam situasi tertentu, meskipun mereka mungkin tidak mengetahui dysfunctional
nature mereka. Dysfunctional assumptions berhubungan dengan core beliefs yang
dipegang teguh dan tidak dapat diakses secara sadar.
● Layer three: Cognitive beliefs or schemas. Hal ini merupakan level kognitif yang
paling dalam dan terdiri dari kepercayaan akan the self, dunia, dan masa depan.
Mereka biasanya agak ekstrim, seperti “aku tidak berguna”. Terapis mungkin
harus mengidentifikasi belief dan scheme untuk dapat mengerti bagaimana
mereka berhubungan dengan keadaan psikologis seseorang.
3 hal yang penting dalam terapi untuk kekerasan dan agresi bagi Walker dan Bright:
● Memahami komponen kognitif yang spesifik terhadap perilaku kekerasan
seseorang dan bagaimana perilaku itu mempengaruhi perilaku mereka
● Adalah tanggung jawab terapis untuk mengidentifikasi pikiran disfungsional yang
memainkan peran dalam kekerasan individu
● Modifikasi dari elemen kognitif yang perlu diubah selama terapi dan bahwa
individu mengakui perubahan tersebut sebagai milik mereka sendiri dan tanggung
jawab mereka untuk mempertahankannya
J. Manualisation
Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat, tampaknya ada bukti yang cukup
dari berbagai sumber yang menunjukkan bahwa program treatment bekerja. Tetapi
tampaknya terdapat inkonsistensi pada outcome dan variabel ini menyarankan bahwa
kualitas dari implementasi program sangat penting untuk efektivitasnya. Terapis yang
berbeda memang berbeda dalam hal efektivitasnya. Tapi terdapat hal yang lebih dari itu.
McMurran and Duggan (2005) di antara psikolog forensik dan kriminal menyarankan
bahwa pengobatan yang efektif 'didorong' oleh teori dan didasarkan pada bukti
penelitian. Terapis dalam program mendemonstrasikan integritas pengobatan yang bagus
akan tetap pada jalur yang ditentukan oleh prinsip-prinsip program perawatan dan tidak
akan menyimpang. Integritas treatment bergantung pada beberapa hal di mana pelatihan
personel yang berkelanjutan dan hati-hati merupakan komponen penting, seperti
pemantauan berkelanjutan. Manualisasi hanyalah proses mengubah prinsip-prinsip dasar
dari program perawatan menjadi manual yang terperinci dan sistematis yang
menggambarkan apa yang harus dilakukan dalam praktek.
Manualisasi, diambil pada nilai nominal, mungkin tampak sederhana, praktis
dalam meningkatkan efektivitas program terapi. Namun, sebenarnya membalik banyak
prinsip tradisional yang mendasari terapis psikologis. Hollin (2002) menyatakan beberapa
kritik terhadap manualisasi:
● Negation of theoretical principles: alih-alih menyesuaikan perawatan perilaku
kognitif dengan kebutuhan individu pelanggar. Mereka menyamakannya sama
rata
● Lack of individual case formulation: penilaian menyeluruh dari individu sebelum
perawatan diberikan dalam perawatan perilaku kognitif tradisional
● Lack of clinical artistry: Suatu proses dimana terapis penyesuaian secara
berkelanjutan pada kemampuan clinicians yang mengancam integritas dari
program treatmentnya
● Emphasis on single schools of therapy: Dapat menghambat pengembangan
pendekatan baru terhadap terapi karena mencegah hal-hal baru dari dicoba.

K. The High-risk Offender Problem


Pelanggar yang beresiko tinggi (high-risk offenders) dapat memperlihatkan
karakteristik seperti: agresi, marah, egosentris, gagal dalam sekolah, irritability, memiliki
sikap negatif terhadap sekolah, kekurangan secara neuropsikologis, tidak patuh, tidak
berusaha ketika tugas treatment semakin sulit, kurang dalam self-control, kurang
komitmen untuk berubah, ketidakpercayaan, kurang dalam kemampuan verbal, perasaan
untuk melakukan penipuan. Mereka akan kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain,
serta sulit berkonsentrasi dan belajar, sedangkan, hal tersebut adalah yang dibutuhkan
dalam pengobatan cognitive behavior-based yang modern.
Pelanggar beresiko tinggi, sebagai akibatnya akan merana dalam penjara selama
bertahun-tahun. Pengobatan mereka akan tergantung pada sistem. Menurut The Mental
Health Act 1983, individu dengan gangguan kepribadian dapat ditahan, hanya jika
pengobatan yang dilakukannya mengarah pada pengurangan kondisi atau mencegah
kemunduran.
Salah satu program pengobatan untuk high-risk offenders yang terkenal secara
internasional adalah the Clearwater Sex Offenders Treatment Programmes di Saskatoon,
Kanada. Ini adalah salah satu program terlama, yang dimulai sejak 1980. Olver dan
Wong (2013)memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai unit ini.
Latar belakang dari program ini adalah, pertama pengobatan diprioritaskan untuk
high-risk offenders, terdiri dari 48-bed-in-patient unit yang terletak di fasilitas kesehatan
mental, konsisten dalam penggunaan terapi behavioral cognitive dalam pengobatan,
mengalami peningkatan sampai bertemu RNR model. Saat sampai di unit, para pelanggar
dinilai dengan menggunakan prosedur penilaian berisiko dan pengukuran psikologis,
individu yang mengalami criminogenic butuh untuk diprioritaskan saat pengobatan
dilakukan. Kemudian, isu-isu responsivitas seperti kemampuan intelektual dan spesifikasi
budaya akan dinilai.
Karakteristik pelanggar dalam program ini adalah sebagai berikut: individu yang
memiliki sejarah kriminal sexual dan non-sexual mencirikan pelanggar yang mungkin
telah dijatuhi hukuman jangka panjang. Pelanggar pada program ini adalah yang masuk
kategori medium sampai tinggi dalam tes statik 99. Berdasarkan diagnosis psikiatris,
sebagian telah didiagnosis mengalami gangguan penyalahgunaan zat, sebagian
didiagnosis mengalami gangguan kepribadian antisosial atau sifat terkait, tetapi hanya
sebagian kecil yang mengalami major axis-1 dalam gangguan psikiatri. Sekitar 40 persen
adalah orang Kanada asli. Sekarang ini, pengobatan lebih difokuskan pada pelanggar sex
dengan kebutuhan khusus, seperti kerusakan otak, gangguan belajar, dan sakit mental
serius.
Fakta dasar tentang pengobatan: modul program rutin diikutsertakan, minimal 15
jam pertemuan terapi dalam seminggu, lama pengobatan biasanya selama delapan bulan,
program ini sekarang dibagi menjadi dua kelompok dengan 24 pasien yang dilaksanakan
bersamaan. Tangan yang berpengalaman akan menjadi mentor untuk yang baru, mereka
akan memberi bantuan dan dukungan pada sistem. Mereka dengan kemampuan
intelektual yang tinggi akan menerima informasi dengan tingkat yang lebih tinggi.
Pengobatan dapat diperpanjang jika memang dibutuhkan.
Tim dalam pengobatan termasuknya adalah para tetua aborigin, staf lembaga
kemasyarakatan, terapis, perawat psikiatris, psikiater dan psikolog. Penyampaian
pengobatan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Setiap klien ditempatkan pada psikiater utama yang membantu klien
mengembangkan keterampilan kognitif dan perilakunya dalam kehidupan sehari-
hari. Teknik yang digunakan adalah modelling, role play, menulis esai, dan
kelompok untuk membangun kemampuan khusus.
- Pengobatan dapat dilakukan secara individual atau kelompok
- Modul pengobatan terdiri dari sikap dan kognitif, pengembangan hubungan dan
sexuality yang sehat, kurang kemampuan inimasi, dan seterusnya.
- Modul pengobatan disampaikan kepada kelompok dengan 10-12 pelanggar.
- Setiap kelompok terdiri dari fasilitator dan co-fasilitator.
- Fasilitator dapat mengubah bagaimana langkah program dilakukan, dan jumlah
sesi dapat fleksibel sesuai respon dari peserta.
- Pemberian instruksi tentang framework dasar dan diskusi kelompok dilakukan
dengan menggunakan kertas dan pensil dan media audio/video.
- Perubahan kognitif, afektif dan perilaku diperlakukan sebagai proses memperoleh
keterampilan dibuat untuk mencegah pengobatan tertentu pada target.
- Para pelanggar belajar dengan modelling dari terapis tentang keterampilan
interpersonal dan teknik penyelesaian masalah.
- Harapannya adalah mereka juga dapat belajar dari pelanggar lainnya.
Kelompok pengungkapan dilakukan dua kali seminggu selama dua jam selama
proses perawatan dan mencakup persiapan autobiografi pribadi dan siklus pelanggaran,
termasuk dinamika kognitif, afektif, dan perilaku untuk pelanggaran seksual saat ini /
sebelumnya. Ini juga mencakup pengembangan rencana pencegahan kambuh. Kelompok
sikap dan kognisi antisosial membantu mengidentifikasi, menghadapi, dan menantang
kognisi yang menyimpang yang dikaitkan dengan pelanggaran seksual pelaku. Kelompok
regulasi emosi berfokus pada kemarahan dan konsekuensi negatifnya. Kelompok
keterampilan sosial berfokus pada ketegasan dan strategi untuk merespons secara prososial
terhadap masalah antarpribadi. Kelompok keintiman dan hubungan melibatkan keterampilan
mengatasi untuk mengendalikan kecemburuan, penolakan dan kesepian. Kelompok empati
dan kesadaran korban memberi pelaku kesempatan untuk menangani viktimisasi mereka
sendiri dan untuk lebih memahami dampak dari pelanggaran mereka terhadap korban
mereka sendiri. Ada kelompok lain seperti alkoholik anonim, narkotika anonim,
keterampilan kerja mandiri dan sejenisnya.
Setelah pengobatan selesai ada laporan perawatan akhir yang menunjukkan kemajuan
klien ke arah mengatasi faktor risiko dinamis mereka dan, akibatnya, risiko residivisme
mereka. Pendapat psikolog tentang pengelolaan pelaku di komunitas juga disertakan
bersama dengan apa yang diperlukan untuk mengelola risiko individu. Tim perawatan
berhubungan dengan lembaga masyarakat, dll. Tentang aftercare pelaku di komunitas.
Banyak fitur dari program perawatan pelanggar risiko tinggi dapat dilihat di program
Clearwater. Misalnya, pendekatan dosis tinggi terbukti dengan sendirinya, seperti juga fokus
pada kebutuhan kriminogenik individu. Penyesuaian perawatan dengan karakteristik
individu dari pelaku mungkin paling baik dilihat dalam hal penggunaan tetua Aborigin
sebagai bagian dari tim perawatan.
Terdapat pergantian fokus treatment pada pelanggar resiko tinggi. Kebutuhan dari
memprioritaskan treatment untuk high-risk offenders dapat dilihat dari prinsip RNR
Andrews dan Bonta (2010). Dalam prinsip ini, mereka membutuhkan penargetan sumber
daya pada para pelanggar yang kebutuhan kriminogenik nya lebih banyak, karena dianggap
efektif. Berikut merupakan pendekatan dasar dari prinsip RNR:

Menyetujui prinsip RNR berarti menganggap high-risk offenders harus diprioritaskan


untuk treatment dan berkonsentrasi pada meringankan faktor faktor yang membuat pelaku
beresiko terulang kembali tetapi dengan cara mempertimbangkan motivasi pribadi pelaku,
kemampuan intelektual, latar belakang budaya, dan lain-lain.
‘One-size-fits-all’ merangkum kritik-kritik dari banyak program untuk pengobatan
pelaku, yaitu bahwa terdapatnya suatu set standardisasi treatment yang diberikan kepada
semua pelaku. Akan tetapi, beberapa pelanggar sulit pada pengobatan, sulit untuk
diperlakukan, dan sangat antagonis terhadap pengobatan. Polascheck (2011) mengatakan
bahwa rumus program haruslah ‘many-sizes-fit-all’ yang merupakan perlu disediakan
perawatan untuk pelaku yang fleksibel, bervariasi, tetapi yang terpenting disesuaikan
dengan kebutuhan pelaku kejahatan individu jika pelaku kejahatan seks berisiko tinggi ingin
berhasil diobati. Ia juga mengatakan bahwa terdapat kebutuhan untuk pendekatan teoritis
sebagai desain program pengobatan. Polaschcek membagi program pengobatan menjadi tiga
level risiko (rendah, sedang, dan tinggi).

Perbedaan yang dibuat berdasarkan tiga terminologi: policy-related issues,


programme responses to offender characteristics, dan assumptions about the offender.
Karakteristik utama dari program perawatan sesuai dengan berbagai tingkat risiko pelaku.
Program resiko rendah lebih murah daripada program resiko tinggi. Karena, mereka dapat
memperkerjakan karyawan seperti pekerja penjara yang hanya memiliki kemampuan dasar.
Selain itu, para pekerja juga dapat bekerja dari standard manual yang ada karena pekerjaan
yang dilakukan tidak sulit.
Perawatan relatif rendah, membutuhkan sejumlah kecil sesi. Beberapa karakteristik
program, seperti pemantauan pengobatan dan pembayaran kepada fasilitator, jelas bersifat
manajerial, tentu saja. Tentu saja, risiko tinggi, sedang, dan rendah label sulit untuk
didefinisikan. Mereka adalah keputusan hakim dalam praktik, jadi bagaimana bisa definisi
yang ketat dikembangkan? Satu Pendekatan ini menggunakan skor pada instrumen penilaian
risiko di untuk menetapkan poin batas untuk setiap tingkat risiko. Bahkan lalu, apa yang
harus disebut tinggi, sedang dan rendah risiko? Berisiko tinggi, peluang 30 persen untuk
kembali ke dalam lima tahun dibebaskan dari penjara? Atau harusnya sederhana saja
bergantung pada label yang diberikan oleh pengembang instrumen risiko? Atau haruskah
keseriusan dari kemungkinan reoffence bagian dari kriteria? Secara umum, komentator
tentang masalah ini tampaknya puas menerima bahwa definisi risiko secara inheren
bermasalah, apa pun pendekatan yang diadopsi.
Bagaimanapun, terdapat dua isu tambahan yang diasosiasikan dengan konsep risiko
tinggi:
- Beberapa pelaku menunjukkan sedikit motivasi untuk treatment dan perilaku yang
sulit dan mengganggu selama sesi treatment.
- Psikopat dan risiko tinggi tidak identik, tetapi mereka berhubungan. Bukti penelitian
mengindikasikan bahwa high-risk offenders cenderung memiliki skor tinggi pada
pengukuran psikopat.
Kedua hal ini tidak hanya mempengaruhi risiko tetapi juga memunculkan masalah
responsif. Tanggung jawab (Bonta dan Andrews, 2007) berkaitan dengan sosiobiologis-
faktor kepribadian yang dapat mengganggu pengobatan. Kesiapan pengobatan adalah
gabungan dari karakteristik individu dan situasi terapeutik yang mendorong keterlibatan
dalam terapi dan karenanya meningkatkan kemungkinan perubahan terapeutik. Itu ide yang
didasarkan pada interaksi antara kesiapan klien dan kapasitas intervensi untuk merespons
klien.
Terdapat banyak masalah dalam mengevaluasi efektivitas program perawatan
intensitas tinggi untuk risiko tinggi pelanggar. Pada dasarnya, ini belum tentu kelompok
individu yang paling setuju atau siap untuk perawatan. Skor mereka pada instrumen
assessment penilaian risiko ’seperti the Psychopathy Checklist Revised (PCL-R) dan Level of
Service Inventory Revised (LSI-R) cenderung tinggi, yang juga menunjukkan tingkat
masalah yang mungkin mereka tampilkan. Di antara mereka akan ada beberapa pelanggar
yang gagal perawatan lengkap, beberapa yang tidak menyelesaikan perawatan sangat baik,
dan beberapa akan menjadi 'penghangat kursi' yang duduk melalui program tetapi tidak
bermanfaat sama sekali secara terapi dari pengalaman mereka. Beberapa akan menunjukkan
pola kemajuan sporadis dan tidak konsisten. Ini berarti terapi perubahan dan pengurangan
risiko mungkin yang paling tepat ukuran efektivitas daripada yang lebih sulit masalah
pengurangan residivisme.
Olver dan Wong (2013) melakukan review terhadap empat program treatment
berstandar internasional untuk high-intensity sex offender, yaitu Sex Offender Treatment
Evaluation Project California, USA), Custody-Based Intensive Treatment (CUBIT)
Program (New South Wales, Australia), Regional Treatment Centre’s Sex Offender
Program (Kingston Ontario, Canada), Clearwater Program-Correctional Service of
Canada’s Prairie Region. Olver dan Wong mendapatkan kesimpulan bahwa treatment untuk
sex offender dapat mengurangi risiko dari kasus kekerasan dan pelecehan seksual serta
meningkatkan fungsi psikologis sex offender. Namun kesimpulan tersebut disertai dengan
peringatan karena pada kenyataannya masih terdapat sex offender yang gagal
mengimplementasikan fungsi psikologis yang sehat. Terdapat pengembangan pada variabel
psikologis treatment, namun pengembangan tersebut belum tentu mampu mengurangi risiko
oleh sex offender.
Tidak bisa dipungkiri terdapat kemungkinan sex offender berhenti melakukan
treatment ini dan kembali melakukan perilaku sex offending. Olver dan Wong menjelaskan
mengenai solusi yang dapat dilakukan terkait hal tersebut seperti “therapeutic and safety
conundrum.” (Wong, Olver, Nicholaichuk, dan Gordon, 2003). Beberapa hal yang pernah
menyebabkan kegagalan pada treatment ini adalah berhentinya sex offender, atau sex
offender menjadi tidak termotivasi untuk mengikuti treatment. Sex offender dapat
dikeluarkan dari institusi tertentu, ditolak untuk menjalani treatment, dan pindah dari
komunitas sebelumnya akibat perlakuan buruk dari masyarakat. Golongan orang yang tidak
mendapatkan treatment secara menyeluruh ini termasuk grup violent dan domestic sex
offender. Dari 150 orang sex offender yang mengikuti program Clearwater Sex Offender
Treatment Program, hampir setengahnya adalah pemerkosa anak dibawah umur. Persentase
yang tinggi tersebut termasuk juga sex offender dengan gangguan kepribadian dan substance
abuse. Berdasarkan data statistik yang dikumpulkan oleh peneliti, dihasilkan asesmen
pengukuran Static 99 yang merupakan skala asesmen yang meliputi riwayat kejadian non-
seksual, karakteristik korban, dan demografi offender. Terdapat pula Violence Risk Scale
yang berfungsi sebagai asesmen perencanaan dan asesmen risiko sex offender. Selain itu
terdapat pula Psychopathy Checklist-Revised (PCL-R) sebagai asesmen dimensi afektif
interpersonal dan antisosial behavioral psikopatik. Sebanyak 15% dari partisipan memilih
untuk tidak melanjutkan atau dikeluarkan dari treatment. Alasan berhentinya mereka
melaksanakan treatment adalah kurangnya motivasi sebanyak 30%, perilaku disruptif
sebanyak 35%, frustasi dan ketidakinginan untuk berubah sebanyak 26%, dan alasan
administratif sebanyak 22% . Meskipun begitu, partisipan treatment tidak dapat dibedakan
berdasarkan usia, gangguan mental yang diderita, lama tahanan, jenis kejahatan, dan faktor
lainnya. Pada berbagai kasus pemberhentian treatment yang terjadi, 70% kasus disebabkan
oleh faktor emosional sex offender serta status lajangnya.
Sebab kejadian di atas, muncul pertanyaan mengenai apakah psikopat dapat
disembuhkan atau tidak. Psikopat merupakan patologi kepribadian yang memungkinkan
seseorang untuk terlibat lebih dalam kepada tindak kekerasan dan kriminal yang disoroti
oleh praktisi kesehatan dan hukum dunia. Namun sejatinya individu yang memiliki
kecenderungan psikopat harus diberikan treatment yang tepat dan perhatian langsung.
Penemuan riset mengenai efektivitas terapi dari populasi forensik termasuk psikopat tidak
koheren secara penuh dan sangat terbatas. Walaupun terdapat banyak perdebatan mengenai
tidak adanya treatment yang tepat kepada psikopat, namun Reidy et al percaya bahwa
terdapat metode yang dapat setidaknya mengurangi kecenderungan kekerasan pada psikopat.
Salah satu riset yang mendukung Reidy adalah “The Most Optimistic Interpretation,” yang
mengungkapkan bahwa intervensi yang dapat mengurangi kekerasan psikopatik adalah
intervensi yang intens dan rigorous. Polaschek dan Daly mengungkapkan bahwa psikopat
menunjukkan pengurangan yang sama dalam risiko kriminal bersamaan dengan partisipan
lain dalam target treatment. Psikopat harusnya dipandang sebagai gangguan yang memiliki
dimensi yang beragam, namun kurang jelas bagaimana gangguan tersebut mengarah kepada
kriminalitas. Sebuah program treatment harus dikonstruksi sedemikian rupa untuk
menghindari outcome yang counterproductive karena pada saat ini, psikopat sebagai sebuah
grup dianggap kebal terhadap treatment. Kesimpulannya, program treatment terhadap sex
offender dan evaluasinya harus selalu diawasi dengan baik perkembangannya.
Daftar Pustaka
Howitt, D. (2006). Introduction to forensic and criminal psychology. Pearson Education.

Anda mungkin juga menyukai