I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.A
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Jl. Panyingkiran
Pekerjaan : -
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Asuransi : BPJS
Tanggal masuk RS : 21 Maret 2019
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Keluhan utama : penurunan kesadaran sejak malam hari sebelum masuk RS.
2. Keluhan Tambahan
Keluarga pasien mengeluh penurunan kesadaran sejak semalam SMRS. Penurunan
kesadaran disertai dengan mual muntah sebelumnya sebanyak 1 kali, banyak dan berisi
makanan yang dimakan. Keluhan tidak disertai demam. Keluarga mengaku lima hari
SMRS pasien sempat terpeleset dan pinggul membentur lantai, dan pasien sempat tidak
sadar, setelah itu siuman dan dapat berjalan kembali, namun pasien mengeluh lemah.
1
3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
masuk RS. Penurunan kesadaran diawali dengan mual muntah pasien sebanyak satu kali
dengan jumlah banyak dan isinya adalah makanan dan minuman yang telah dimakan
pasien.
Lima hari SMRS pasien sempat terpeleset ketika berjalan dirumah dan bokongnya
terbentur lantai, pasien sempat kehilangan kesadaran saat itu dan ketika terbangun merasa
nyeri pinggang, tetapi tidak berobat dan hanya meminum obat warung. Selama sebulan
belakangan pasien memang sering meminum obat anti nyeri golongan OAINS(Asam
mefenamat) yang dibeli di warung untuk mengurangi nyeri-nyeri sendi yang dideritanya.
Riwayat gangguan buang air kecil, gangguan buang air besar disangkal. Pasien sering
terbangun malam hari untuk buang air kecil. Pasien tidak memeriksakan kondisi
kesehatannya secara rutin ke rumah sakit.
Pasien memiliki riwayat penyakit DM, telah dimiliki selama 15 tahun tetapi tidak
teratur kontrol ke klinik ataupun rumah sakit. Pasien terkadang meminum obat diabetes yaitu
golongan sulfonylurea(glibenclamide).Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan tidak pernah
dikontrol dengan obat-obatan.
Pasien memiliki riwayat dyspepsia yag sudah lama dideritanya terutama jika telat
makan. Pasien memiliki riwayat stroke, terjadi kurang lebih tiga tahun lalu. Diakui pasien
terjadi kelemhan otot gerak kiri tetapi melalui fisioteraphy sudah bias beraktifitas seperti
biasa kembali.
2
5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat
diabetes mellitus dan hipertensi ada pada ayah pasien, tetapi riwayat penyakit lainnya
disangkal pasien.
6. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol, hanya pasien terbiasa
tidak mengatur makanan yang dimakan dan jarang sekali kontrol gula darahnya. Pasien juga
memiliki kebiasaan minum obat anti nyeri golongan AINS(asam mefenamat)diwarung untuk
mengurangi linu-linu badannya.
3
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 25.8
Status gizi : Gizi lebih(overweight)
Tanda vital : Tekanan darah: 230/130mmHg
Nadi: 120 x/menit
Respirasi: 28x/menit
Suhu: 37 °C
Taksiran umur : Sesuai dengan usia
Cara berbaring : Pasif
Cara berjalan : tidak dapat dinilai
Cara berbicara : tidak dapat dinilai
Sikap : tidak dapat dinilai
Penampilan : Cukup terawat
Status mental : Tingkah laku : tidak dapat dinilai
Alam perasaan : tidak dapat dinilai
Proses pikir : tidak dapat dinilai
STATUS GENERALIS
1. Kulit:
Warna : sawo matang, agak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada ruam
dan tidak terdapat hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi.
Lesi : tidak terdapat lesi primer seperti makula, papul vesikuler, pustule
maupun lesi sekunder seperti jaringan parut atau keloid pada bagian
tubuh yang lain.
Rambut : rambut putih, hamper merata, tidak mudah dicabut
Turgor : kurang baik
Suhu raba : hangat
2. Mata
Bentuk : normal, kedudukan bola mata simetris
Palpebra : normal, tidak ptosis, tidak lagoftalmus, tidak edema, tidak ada
perdarahan tidak blefaritis, tidak xanthelasma.
Gerakan : normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : tidak ikterik
Pupil : bulat isokor, diameter 3 mm, reflex cahaya langsung +/+
4
Reflex cahaya tidak langsung +/+
Eksoftalmus : tidak ditemukan
Endoftalmus : tidak ditemukan
3. Telinga
Inspeksi : Normotia, tidak hiperemis, tidak mikrotia, tidak cauliflower ear, liang
telinga lapang, serumen +/+, sekret -/-.
Palpasi : Nyeri tarik tragus -/-, nyeri tekan tragus -/-
4. Hidung
Bagian luar : normal, tidak ada deformitas, tidak ada nafas cuping hidung, tidak
sianosis, terpasang NGT.
Septum : di tengah, simetris
Mukosa hidung : tidak hiperemis, konka nasalis eutrofi
Cavum nasi : tidak ada perdarahan, tidak kotor, tidak ada sekret
5. Mulut dan tenggorok
Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis, sedikit kering
Gigi-geligi : oral hygiene cukup
Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis, berwarna merah muda, berbau aseton
Lidah : normoglosia, tidak pelo, tidak kotor
Tonsil : ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis, kripti tidak melebar tidak ada
detritus
Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
6. Leher
Bendungan vena : tidak ada bendungan vena
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
Trakea : di tengah
7. Kelenjar getah bening
Leher : tidak terdapat pembesaran di KGB leher
Aksila : tidak terdapat pembesaran di KGB aksila
8. Thorax
Paru-paru
Inspeksi : simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal
Palpasi : gerak simetris, vocal fremitus simetris kedua lapang paru.
5
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspkesi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : terdapat pulsasi ictus cordis pada ICS VI, 1 cm medial linea
midklavikularis sinistra
Perkusi
Batas jantung kanan : ICS III - V , linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS VI , 2-3 cm dari linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS III linea sternalis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I, II normal, regular, murmur (-), gallop
(-)
9. Abdomen
Inspeksi : abdomen cembung, tidak ada sagging of the flanks, sedikit buncit,
tidak smiling umbilicus
Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+), nyeri lepas
(-), ballottement (-)
Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok CVA.
Auskultasi : bising usus positif 6x/menit, Normal.
10. Ekstremitas
Tidak tampak deformitas, akral teraba hangat pada keempat ekstremitas, edema di
ekstremitas (-)
11. Refleks
Refleks Patologis -/-
Refleks Fisiologis +/+
12. Kekuatan otot
Lengan : 55555/44444
Kaki : 555555/4444
6
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Hasil Lab tanggal 21-03-2019 saat pasien dirawat di IGD
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Leukosit 15.2 ribu/μl 3.6 – 11
Eritrosit 4.2 juta/μl 3.8 – 5.2
Hemoglobin 12.5 g/dL 11.7 – 15.5
Hematokrit 37 % 35 – 47
Trombosit 342 ribu/μl 150 – 440
MCV 89.0 fL 80 – 100
MCH 29.9 Pg 26 – 34
MCHC 33.7 g/dL 32 – 36
RDW 13.0 % < 14
GDS 695 mg/dL < 110
ANALISA GAS DARAH
pH 7.44 7.35 – 7.46
pCO2 25 mmHg 35 – 45
pO2 126 mmHg 80 – 100
Bikarbonat 17 mmol/L 21 – 28
Total CO2 18 mmol/L 23 – 27
Saturasi O2 99 % 95 – 100
Kelebihan Basa -5.1 mEq/L -2.5 – 2.5
Keton Darah 3.7 <0.6
HATI
SGOT 10 mU/dL <27
SGPT 8 mU/dL <34
GINJAL
Ureum 47 mg/dL 13-43
Kreatinin 1.69 mg/dL <1.1
ELEKTROLIT
Natrium(Na) 140 mmol/L 135-155
Kalium(K) 3.9 mmol/L 3.6-5.5
Klorida(Cl) 104 mmol/L 98-109
7
Jam 6.00 594 mg/dL < 110
Jam 7.00 536 mg/dL < 110
Jam 8.00 466 mg/dL < 110
Jam 23.00 97 mg/dL < 110
ASTRUP
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
pH 7.46 7.35 – 7.46
pCO2 23 mmHg 35 – 45
pO2 81 mmHg 80 – 100
Bikarbonat 17 mmol/L 21 – 28
Total CO2 17 mmol/L 23 – 27
Saturasi O2 97 % 95 – 100
Kelebihan Basa -5.0 mEq/L -2.5 – 2.5
9
Kalium(K) 3.8 mmol/L 3.6-5.5
Klorida(Cl) 100 mmol/L 98-109
CT SCAN KEPALA
VI. RINGKASAN
Datang seorang wanita berusia 60 tahun ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak semalam sebelum masuk RS. Diawali mual muntah dengan
frekuensi satu kali, banyak, berisi makanan yang dimakan. Pasien memiliki riwayat DM
dan hipertensi yang telah diderita selama 15 tahun tetapi jarang kontrol ke klinik atau
RS. Pasien juga memilki riwayat dyspepsia dan pernah stroke 3 tahun yang lalu dengan
efek kelemahan otot gerak, tetapi sudah melalui fisiotheraphy dan dapat kembali
beraktifitas seperti semula.
10
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran somnolen, GCS 10(E2, V3,
M4). TD 230/130, HR: 120x/menit, RR 28x/ menit. Nafas berbau aseton. Hidung
terpasang NGT dan cairan keluar berwarna hitam.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan Leukosit 15,2 ribu/μl, GDS 695
mg/dL, Keton +3.7, PCO2 25, HCo3 17. Ureum: 47, Kreatinin: 1.69. Pemeriksaan EKG
menunjukkan hypertrophy ventrikel kiri. Pemeriksaan CT Scan menunjukkan adanya
infark cerebri ringan.
Pada pasien yang wajib dimonitor adalah kadar gula, elektrolit, AGD dan keton.
Selain protokol KAD yang diterapkan dapat diberikan antibiotik(ceftriaxon)
mengingat pada KAD pencetus utama biasanya adalah infeksi dan pada pemeriksaan
11
Rencana diagnostik tambahan yang diperlukan antara lain; rontgen thorax untuk
mencari fokus infeksi DM yang biasanya terjadi di paru, BNO dengan atau tanpa
kontras untuk melihat Ginjal, tes Urin makro dan mikro untuk mengetahui adanya
UTI sebagai salah satu infeksi tersering yang mencetuskan KAD. Konsul ke bagian
gizi untuk menentukan diet yang baik dalam masa recovery hingga di rumah.
Jika didasari dari LFG, pada pasien dengan menggunakan rumus Cockcroft-
Gault (CG) :
Maka didapatkan sebesar 32.4 yaitu CKD stage 3 atau moderate CKD.
12
Penatalaksanaan pada pasien antara lain pemberian cairan infuse Renxamin untuk
nutrisi serta memperbaiki kerja ginjal dibarengi dengan monitor urin(DC), pemberian
vip albumin untuk memperbaiki kadar albumin dalam darah, pemberian spironolakton
sebagai diuretik.
leukositosis pada pasien hingga 15.2 ribu/ μ l, dan dikarenakan penyebab KAD
tersering adalah karena adanya infeksi maka pemberian antibiotik diperlukan dalam
tatalaksana pasien.
Antibiotik pilihan antara lain golongan cephalosporin(ceftriaxone inj,
cefoperazone inj), dan beta-lactam(meropenem inj). Antibiotik yang dipakai spectrum
luas untuk infeksi paru dan UTI sebagai penyebab terbanyak KAD.
Rencana diagnostik infeksi antara lain pemeriksaan LED, foto thorax dan urine
test.
VIII. PROGNOSIS
13
Ad sanationam : dubia ad malam
IX. KESIMPULAN
Pasien ny.A masuk ke ruangan dari UGD dengan keluhan penurunan kesadaran, nafas
berbau aseton, NGT terpasang berwarna hitam. Pasien memiliki riwayat DM, HT, Stroke,
dan dyspepsia. Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan TD 230/130, RR28x/menit, HR
GDS 695 mg/dL, Keton +3.7, PCO2 25, HCO3 17 (Anion gap 19 meq/L). Ureum: 47,
Kreatinin: 1.69. Pemeriksaan EKG menunjukkan hypertrophy ventrikel kiri. Pemeriksaan CT
Scan menunjukkan adanya infark cerebri ringan.
Pasien didiagnosis dengan KAD karena memenuhi trias KAD dan dilakukan
penatalaksanaan dengan protokol KAD berupa; Rehidrasi, Insulin, Kalium, Bikarbonat. Serta
diberikan terapi antibiotic(sefalosporin,betalakam) untuk meredakan infeksi yang terjadi
sebagai pencetus KAD. Hipertensi diturunkan dengan medika mentosa(amlodipine,
candesartan, bisoprolol), lambung dipuasakan dan diberi medika mentosa(pumpitor inj),
pasien diberi nutrisi IVFD menggunakan Renxamin:K3A 2:1/8 jam untuk eningkatkan status
protein dan nutrisi pada pasien dengan gangguan ginjal, serta memperbaiki elektrolit(K+) .
Monitor keadaan pasien difokuskan dari keadaan umum, tanda vital, kadar gula dalam
darah, kontrol AGD, serta produksi urin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
14
Ketoasidosis diabetikum (KAD) tidak memiliki suatu definisi yang disetujui secara
universal dan beberapa usaha telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini dengan
menggunakan kriteria kadar beta-hidroksibutirat plasma. Teknik ini akan dibahas lebih lanjut
dalam bab diagnosis. Alberti mengusulkan untuk menggunakan definisi kerja KAD sebagai
keadaan diabetes tidak terkontrol berat disertai dengan konsentrasi keton tubuh >5 mmol/L
yang membutuhkan penanganan darurat menggunakan insulin dan cairan intravena.
Keterbatasan dalam ketersediaan pemeriksaan kadar keton darah membuat American
Diabetes Association menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih pragmatis, yakni
KAD dicirikan dengan asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat plasma <15 mmol/L,
glukosa plasma >250 mg/dL dan hasil carik celup plasma (≥ +) atau urin (++).1,2,3
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan KAD sebagai suatu trias yang
terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis (gambar 1). Patut diperhatikan bahwa
masing-masing dari komponen penyebab KAD dapat disebabkan oleh karena kelainan
metabolik yang lain, sehingga memperluas diagnosis bandingnya. Tabel 1 (satu) memberikan
suatu klasifikasi empiris mengenai KAD dan derajatnya dibandingkan dengan suatu kelainan
yang serupa namun memerlukan penanganan yang sedikit berbeda yakni koma hiperglikemik
hiperosmolar (KHH).2,3
Gambar 1. Trias ketoasidosis diabetikum, terdiri dari hiperglikemia, ketonemia dan asidosis metabolik. Patut
diperhatikan bahwa banyak kelainan lain yang dapat menyebabkan salah satu komponen dari KAD.
15
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan KAD pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) antara satu sampai
lima persen, berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat dan
nampaknya konstan dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara barat. Namun demikian
studi epidemiologi terbaru memperkirakan insidens total nampaknya mengalami tren
meningkat, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2
(T2DM). Laju insidens tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000 pasien
dengan diabetes. Sedangkan insidens T2DM sendiri di Indonesia, diperkirakan berkisar
antara 6-8% dari total penduduk.1,3,4
Hospitalisasi oleh karena KAD juga nampaknya meningkat dari tahun ke tahun dan
kini meliputi 4% sampai 9% dari indikasi perawatan pasien diabetes mellitus. Jumlah
hospitalisasi pasien diabetes mellitus dengan KAD di Amerika Serikat meningkat dari 62.000
per tahun pada 1980 menjadi 115.000 pada tahun 2003. Namun bila diperhatikan lebih jauh
terlihat bahwa peningkatan jumlah tersebut tidak diikuti oleh peningkatan laju insidens per
1000 pasien diabetes (gambar 2) yang menunjukkan adanya pengendalian yang lebih baik
untuk komplikasi akut diabetes mellitus.3,4
16
Gambar 2. Laju hospitalisasi per 1000 pasien diabetes. Walaupun terjadi peningkatan jumlah perawatan karena
KAD, laju hospitalisasi nampak menurun yang disebabkan oleh semakin membaiknya penanganan pasien
dengan diabetes.
17
Gambar 3. Laju mortalitas KAD. Nampak penurunan laju mortalitas CAD dari tahun ke tahun, menandakan
adanya penanganan yang lebih baik dan merata dengan menggunakan prosedur standar yang dibakukan.
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih
yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat
mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan infark
miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga dapat
menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya adalah: kortikosteroid, pentamidine, zat
18
simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik berlebihan pada pasien
lansia.3
Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi insulin kerja
pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan peningkatan insidens KAD
secara signifikan bila dibandingkan dengan metode suntikan insulin konvensional. Studi
Diabetes Control and Complications Trial menunjukkan insidens KAD meningkat kurang
lebih dua kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok injeksi konvensional. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh penggunaan insulin kerja pendek yang bila terganggu tidak
meninggalkan cadangan untuk kontrol gula darah.3
Pada pasien-pasien muda dengan T1DM, permasalahan psikologis yang disertai
dengan gangguan pola makan dapat menjadi pemicu keadaan KAD pada kurang lebih 20%
kasus. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pasien menghentikan penggunaan insulin
seperti ketakutan peningkatan berat badan, ketakutan hipoglikemia, pemberontakan dari
otoritas dan stres akibat penyakit kronik juga dapat menjadi pemicu kejadian KAD.2
IV. PATOGENESIS
19
Pada KAD, kadar insulin rendah yang dikombinasikan dengan peningkatan kadar
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan akan mengaktivasi lipase sensitif hormon,
kemudian menyebabkan pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas. Asam
lemak bebas ini akan diubah oleh hati menjadi badan-badan keton yang dilepaskan ke dalam
sirkulasi. Proses ketogenesis distimulasi oleh peningkatan kadar glukagon, hormon ini akan
mengaktivasi palmitoiltransferase karnitin I, suatu enzim yang memampukan asam lemak
bebas dalam bentuk koenzim A untuk menembus membran mitokondria setelah diesterifikasi
menjadi karnitin. Pada pihak lain, esterifikasi diputarbalikkan oleh palmitoiltransferase
karnitin II untuk membentuk asil lemak koenzim A yang akan masuk ke dalam jalur beta-
oksidatif dan membentuk asetil koenzim A (gambar 5).
Sebagian besar asetil koenzim A akan digunakan dalam sintesi asam beta-
hidroksibutirat dan asam asetoasetat, dua asam kuat relatif yang bertanggungjawab terhadap
asidosis dalam KAD (gambar 5). Asetoasetat diubah menjadi aseton melalui dekarboksilasi
spontan non-enzimatik secara linear tergantung kepada konsentrasinya. Asam beta-
hidroksibutirat, asam asetoasetat dan aseton difiltrasi oleh ginjal dan diekskresi secara parsial
di urin. Oleh karena itu, penurunan volume progresif menuju kepada penurunan laju filtrasi
glomerular akan menyebabkan retensi keton yang semakin besar. Ketiadaan ketosis pada
KHH walaupun disertai dengan defisiensi insulin masih menjadi misteri, hipotesis yang ada
sekarang menduga hal ini disebabkan oleh karena kadar asam lemak bebas yang lebih rendah,
lebih tingginya kadar insulin vena portal atau keduanya.7
20
Gambar 5. Mekanisme produksi badan keton. (a) Peningkatan lipolisis menghasilkan produksis asetil KoA
dari asam lemak, sebagai substrat sintesis badan keton oleh hati. Defisiensi insulin menyebabkan penurunan
utilisasi glkosa dan penurunan produksi oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk kondensasi
dengan asetil KoA berkurang; dan (c) menyebabkan asetil KoA digeser dari siklusi TCA dan (d) mengalami
kondensasi untuk membentuk asetoasetat diikuti reduksi menjadi beta-hidroksibutirat.
21
Diuresis osmotik terinduksi hiperglikemia akan menyebabkan kehilangan cairan yang
berat. Kekurangan cairan total tubuh biasanya berada pada kisaran 5 sampai 7 liter pada KAD
dan 7 sampai 12 liter pada KHH, keadaan ini mewakili kehilangan cairan sekitar 10% sampai
15% dari berat badan. Diuresis osmotik ini diasosiasikan dengan kehilangan kadar elektrolit
dalam jumlah besar di dalam urin.
Defisit natrium klorida pada KAD dan KHH biasanya berkisar antara 5-13
mmol/kgBB untuk natrium dan 3-7 mmol/kgBB untuk klorida (tabel 3). Awalnya
peningkatan kadar glukosa terjadi pada ruang ekstraselular, sehingga menyebabkan
perpindahan air dari kompartemen intraselular ke ekstraselular dan menginduksi dilusi
konsentrasi natrium plasma. Selanjutnya, peningkatan kadar glukosa lebih jauh akan
menyebabkan diuresis osmotik dan menyebabkan kehilangan air dan natrium di urin.
Kehilangan air biasanya akan lebih banyak dibandingkan dengan natrium, sehingga pada
akhirnya jumlah kehilangan air intraselular dan ekstraselular akan kurang lebih sama. Oleh
karena adanya pergeseran air secara osmotik, konsentrasi natrium plasma biasanya rendah
atau normal pada KAD dan sedikit meningkat pada KHH, walaupun terjadi kehilangan air
secara hebat. Pada konteks ini, konsentrasi natrium plasma harus dikoreksi untuk
hiperglikemia dengan menambahkan 1,6 mmol pada hasil pemeriksaan natrium, untuk setiap
peningkatan glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100 mg/dL kadar glukosa darah. Kadar
natrium plasma juga dapat terlihat lebih rendah pada keadaan hiperlipidemia berat.
23
VI. PENATALAKSANAAN
VII. KOMPLIKASI
Hipoglikemia dan hipokalemia
Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini dapat
dijumpai pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin dosis tinggi. Kedua
komplikasi ini diturunkan secara drastis dengan digunakannya terapi insulin dosis rendah.
Namun, hipoglikemia tetap merupakan salah satu komplikasi potensial terapi yang
insidensnya kurang dilaporkan secara baik. Penggunaan cairan infus menggunakan dekstrosa
pada saat kadar glukosa mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti penurunan laju dosis
insulin dapat menurunkan insidens hipoglikemia lebih lanjut. Serupa dengan hipoglikemia,
penambahan kalium pada cairan hidrasi dan pemantauan kadar kalium serum ketat selama
fase-fase awal KAD dan KHH dapat menurunkan insidens hipokalemia.
Edema Serebral
Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah dikenal lebih
dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara signifikan, melalu pemeriksaan
eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien KAD selama terapi. Meskipun
demikian, pada penelitian lainnya, sembilan anak dengan KAD diperbandingkan sebelum dan
sesudah terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan otak biasanya dapat ditemukan pada
24
KAD bahkan sebelum terapi dimulai. Edema serebral simtomatik, yang jarang ditemukan
pada pasien KAD dan KHH dewasa, terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering
lagi pada diabetes awitan pertama.
Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat memprediksi kejadian edema
serebral pada pasien dewasa. Namun, suatu studi pada 61 anak dengan KAD dan serebral
edema yang dibandingkan dengan 355 kasus matching KAD tanpa edema serebral,
menemukan bahwa penurunan kadar CO2 arterial dan peningkatan kadar urea nitrogen darah
merupakan salah satu faktor risiko untuk edema serebral. Untuk kadar CO2 arterial
ditemukan setiap penurunan 7,8 mmHg PCO2 meningkatkan risiko edema serebral sebesar
3,4 kali (OR 3,4; 95% CI 1,9 – 6,3, p<0,001). Sedangkan untuk kadar urea nitrogen darah
setiap penurunan kadar sebesar 9 mg/dL meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali (OR 1,7; 95%
CI 1,2 – 2,5, p=0,003). (19)
Suatu pengalaman lebih dari 20 tahun penanganan pasien KAD dengan edema
serebral pada sebuah rumah sakit Australia menyimpulkan langkah yang dapat dilakukan
untuk mencegah KAD. Disarankan protokol yang menggunakan hidrasi lambat dengan cairan
isotonik direkomendasikan untuk menangani pasien dengan KAD. Beberapa studi lain juga
menemukan hubungan antara edema serebral dengan laju pemberian cairan yang tinggi,
terutama pada jam-jam pertama resusitasi cairan. Rekomendasi terkini adalah membatasi
pemberian cairan pada 4 jam pertama terapi dengan <50 ml/kgBB cairan isotonik.
Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)
Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres napas
akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan
koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal. Perubahan ini disertai dengan
penurunan progresif tekanan oksigen parsial dan peningkatan gradien oksigen arterial
alveolar yang biasanya normal pada pasien dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa
subset pasien keadaan ini dapat berkembang menjadi ARDS. Dengan meningkatkan tekanan
atrium kiri dan menurunkan tekanan koloid osmotik, infus kristaloid yang berlebihan dapat
menyebabkan pembentukan edema paru (bahkan dengan fungsi jantung yang normal). Pasien
dengan peningkatan gradien AaO2 atau yang mempunyai rales paru pada pemeriksaan fisis
dapat merupakan risiko untuk sindrom ini. Pemantauan PaO2 dengan oksimetri nadi dan
pemantauan gradien AaO2 dapat membantu pada penanganan pasien ini. Oleh karena infus
kristaloid dapat merupakan faktor utama, disarankan pada pasien-pasien ini diberikan infus
cairan lebih rendah dengan penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak responsif
dengan penggantian kristaloid.
25
Asidosis metabolik hiperkloremik
Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat ditemukan pada
kurang lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir semua pasien KAD akan
mengalami keadaan ini setelah resolusi ketonemia. Asidosis ini tidak mempunyai efek klinis
buruk dan biasanya akan membaik selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal yang baik.
Derajat keberatan hiperkloremia dapat diperberat dengan pemberian klorida berlebihan oleh
karena NaCl normal mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54 mmol/L lebih tinggi
dari kadar klorida serum sebesar 100 mmol/L.
Sebab lainnya dari asidosis hiperkloremik non gap anion adalah: kehilangan
bikarbonat potensial oleh karena ekskresi ketoanion sebagai garam natrium dan kalium;
penurunan availabilitas bikarbonat di tubulus proksimal, menyebabkan reabsorpsi klorida
lebih besar; penurunan kadar bikarbonat dan kapasitas dapar lainnya pada kompartemen-
kompartemen tubuh. Secara umum, asidosis metabolik hiperkloremik membaik sendirinya
dengan reduksi pemberian klorida dan pemberian cairan hidrasi secara hati-hati. Bikarbonat
serum yang tidak membaik dengan parameter metabolik lainnya harus dicurigai sebagai
kebutuhan terapi insulin lebih agresif dan pemeriksaan lanjutan.
Trombosis vaskular
Banyak karakter pasien dengan KAD dan KHH mempredisposisi pasien terhadap
trombosis, seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular, keluaran jantung rendah,
peningkatan viskositas darah dan seringnya frekuensi aterosklerosis. Sebagai tambahan,
beberapa perubahan hemostatik dapat mengarahkan kepada trombosis. Komplikasi ini lebih
sering terjadi pada saat osmolalitas sangat tinggi. Heparin dosis rendah dapat
dipertimbangkan untuk profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi trombosis, meskipun
demikian belum ada data yang mendukung keamanan dan efektivitasnya.1,
VIII. PENCEGAHAN
Dua faktor pencetus utama KAD adalah terapi insulin inadekuat (termasuk non-
komplians) dan infeksi. Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini dapat dicegah
dengan akses yang lebih baik terhadap perawatan medis, termasuk edukasi pasien intensif
dan komunikasi efektif dengan penyedia layanan kesehatan selama kesakitan akut.
Target-target pencegahan pada krisis hiperglikemik yang dicetuskan baik oleh
kesakitan akut ataupun stres telah dibahas di atas. Target-target ini termasuk mengendalikan
defisiensi insulin, menurunkan sekresi hormon stres berlebihan, menghindari puasa
26
berkepanjangan dan mencegah dehidrasi berat. Oleh karena itu, suatu program edukasi harus
mengulas manajemen hari sakit dengan informasi spesifik pemberian insulin kerja pendek,
target glukosa darah selama sakit, cara-cara mengendalikan demam dan mengobati infeksi
dan inisiasi diet cair mudah cerna berisi karbohidrat dan garam. Paling penting adalah
penekanan kepada pasien untuk tidak menghentikan insulin dan segera mencari konsultasi
ahli pada awal masa sakit (gambar 9).
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and Williams,
G. Liverpool : s.n., October 2003, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
2. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Kitabchi, AE, et al. Suplement 1, January 1, 2004,
Diabetes Care, Vol. 27, pp. S94-S102.
3. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes. Kitabchi, AE, et al. 1,
January 1, 2001, Vol. 24, pp. 131-153.
4. Centers for Disease Control, Division of Diabetes Translations. Diabetes Surveillance
2001. Centers for Disease Control Website. [Online] January 18, 2005. [Cited: May 22,
2009.] http://www.cdc.gov/diabetes/statistics/.
5. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes mellitus: Clinical and biochemical
differences. Newton, Christopher A and Raskin, Phillip. September 27, 2004, Archive of
Internal Medicine, Vol. 164, pp. 1925-1931.
6. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis. TM,
Wallace and DR, Matthews. 2004, Q J Med, Vol. 97, pp. 773-780.
7. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
state. Chiasson, JL, et al. 7, April 1, 2003, Canadian Medical Association Journal, Vol. 168,
pp. 859-866.
8. Thirty years of personal experience in hyperglicemic crises: Diabetic ketoacidosis and
hypergycemic and hyperosmolar state. Kitabchi, AE, et al. 5, May 2008, J Clin Endrocinol
Metab, Vol. 93, pp. 1541-1552.
28