Anda di halaman 1dari 5

Take Home Test

Dinamika Kawasan Timur Tengah Dan Afrika

Kevin Martend (2013-22-078)

Konflik Israel dan Palestina

Perang antara Israel dan Palestina pecah pada tahun 1948 pasca berdirinya negara Israel.
Berdirinya negara zionis ini didasari oleh Resolusi Majelis Umum PBB 181 tahun 1947
tentang pembagian tanah historis Palestina yang hasilnya menghadiahi Israel bagian dari
tanah palestina sebesar 55%. Namun, Israel telah melakukan penambahan wilayah secara
paksa atas Palestina dengan penambahan sebesar 23% sehingga luas wilayah Israel menjadi
78% dari total tanah Palestina. Dalam kasus ini, menunjukkan adanya penindasan terhadap
warga sipil Palestina yang berlangsung secara terus-menerus. Dari sudut pandang inilah akan
dijelaskan sejauh mana pendekatan Neo-realis dapat menjelaskan dan memberikan solusi
bagi permasalahan ini.

Neo-realisme adalah sebuah teori dalam hubungan internasional yang pencetusnya adalah
Kenneth Waltz pada tahun 1979. Didalam buku yang berjudul Theory of International
Politics, Waltz mendukung pendekatan sistematik. Pendekatan sistematik ini adalah struktur
international bertindak sebagai pengekang perilaku negara, sehingga hanya negara yang
kebijakan-kebijakannya ada dalam cakupan tersebut yang diharapkan dapat bertahan. Sistem
ini sama bentuknya dengan model mikroekonomi ketika firma menetapkan harga dan
kuantitas berdasarkan pasar.

Neo-Realisme berpendapat bahwa negara adalah actor yang paling utama dalam hubungan
internasional. Struktur anarki perilaku setiap negara yang menyebabkan perebutan kekuasaan
bukan pada hakikat manusianya. Dalam sistem struktrual anarki, negara harus bertindak
semata-mata berdasarkan pada kepentingannya sendiri. Berikut beberapa asumsi dari Neo-
Realisme yang dikemukakan oleh Waltz yaitu (1) Organizing Principle, menurut Waltz
dalam pembuatan system hukum bagi tatanan dan kerjasama internasional selalu ditetapkan
pada kondisi yang anarki. (2) Functional Differentiation, yaitu tidak adanya pembagian kerja
dalam hubungan internasional, (3) Distribution of Capability, konsep ketiga ini menjelaskan
bahwa semua negara memiliki kedudukan yang sama dalam hubungan internasional, akan
tetapi yang membedakannya adalah kapabilitas negara tersebut. Dalam konteks kepentingan,
semakin besar power yang dimiliki suatu negara maka akan semakin besar potensinya untuk
menang dalam dunia internasional.

Neo-Realisme lebih menekankan pada isu keamanan internasional. Waltz berpendapat bahwa
setiap negara akan memiliki cara yang berbeda-beda dalam hal penjagaan Balance of
Power yang diterapkannya. Struktur bipolar yang didominasi oleh dua negara adidaya akan
lebih stabil daripada multipolar yang didominasi oleh tiga negara adidaya.

Argumen utama adalah adanya ketidakadilan yang didapatkan oleh individu-individu


Palestina yang tidak mendapatkan hak untuk hidup secara damai disebabkan konflik antar
kedua negara tersebut. Dalam hal ini, Neo-Realis tidak memihak kepada setiap individu
Palestina karena Neo-Realis hanya fokus pada bahasan state bukan pada individu. Sehingga,
pembahasan mengenai individu di dalam konflik Israel dan Palestina terabaikan. Dengan
adanya penggunaan perspektif neo-realisme akan sulit untuk memberikan solusi dalam
memecahkan masalah atas konflik yang terjadi. Berikut ini dijelaskan kelemahan dan
kelebihan neo-realis dalam menganalisa konflik Israel dan Palestina.

Penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina belum selesai hingga saat ini, berawal dari
adanya deklarasi Balfour tahun 1917 yang mengikat Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat
untuk mendukung negara bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina. Hal itulah yang menjadi
legitimasi bagi Israel untuk melakukan perluasan wilayah bagi pemukiman Yahudi melalui
agresi-agresi di tanah Palestina yang dianggapnya sebagai “Promised Land”. Agresi yang
dilakukan sudah sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 1948 yang menyebabkan rakyat
Palestina mengungsi ke Lebanon, Yordania, Syiria dan Mesir. Pada tahun 1982 Israel
menyerang Lebanon dan membantai pengungsi Palestina di Sabra dan Satila. Terakhir pada
tahun 2008 Israel melancarkan operasi Oferet Yetssuka yang menewaskan lebih dari 1000
warga Palestina.

Diantara beberapa persenjataan Israel yang dipakai secara illegal terhadap warga sipil
Palestina, Israel juga melakukan eksperimen dengan membuat senjata rakitan baru yang
memuculkan argument “Kejahatan Dalam Peperangan”. Jenis persenjataan baru tersebut
diatantaranya sebagai berikut :

· Bom Fosfor

Israel menggunakan bom ini secara illegal, bom fosfor putih di wilayah-wilayah sipil padat
penduduk. Berdasarkan penelitian dari tim pencari fakta dari Human Rights Watch,
penggunaan bom jenis ini terlihat di jalur Gaza yang memakan korban sipil yang amat besar.
Ledakan dari bom fosfor ini mencapai radius tiga kali lapangan sepakbola.

· Panah Besi (Flechette)

Flechette berbentuk besi panas berukuran 4 cm yang dimasukkan ke dalam peluru-peluru


tank Markava. Cara kerjanya adalah ketika ditembakkan, sekitar 5000 sampai 8000 panah
besi itu menyebar ke udara dengan radius 300 meter.

· Uranium Sisa (Depleted Uranium)

Penemuan jejak-jejak uranium sisa pada jenazah korban agresi Isral menunjukkan bahwa
Israel telah menggunakan senjata illegal dalam agresinya. Penggunaan uranium sisa ini
menurut Badan Energi Atom PBB sangat beresiko karena akan menyebabkan kanker karena
terpapar radiasi dari uranium tersebut. Konvensi Jenewa sebelumnya telah menggolongkan
amunisi-amunisi yang mengandung uranium sisa sebagai senjata pemusnah massal yang
illegal mengingat tingginya resiko radioaktif yang dikandungnya.

Palestina tidak diam terhadap semua tindakan Israel tersebut. Mereka melakukan sebuah
pemberontakan untuk memprotes tindakan Israel dan untuk mempertahankan otoritas politik
serta wilayahnya.

Pada September 1966, kerusuhan di Al-Aqsa terjadi. Kerusuhan tersebut terjadi karena
tindakan Israel yang dengan sengaja membangun terowongan dibawah fondasi bangunan Al-
Aqsa untuk memikat para turis. Namun, dengan pembangunan tersebut justru akan lebih
merusak mesjid Al-Aqsa. Setelah kejadian tersebut timbullah konflik-konflik berikutnya pada
Desember 2008, Israel menyerang Gaza dan menewaskan lebih dari 1000 orang.

Serangan-serangan di Gaza oleh Israel menimbulkan kecaman dari dunia internasional


terutama PBB dengan menyebut bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang dengan kata
lain bahwa Israel telah melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kemudian pada
Oktober 2009, kembali melakukan penyerangan terhadap warga sipil Palestina di halaman
masjid Al-Aqsa. Dalam beberapa kasus yang telah dipaparkan diatas, Israel selalu berupaya
untuk mengekspansi Palestina dengan menggunakan kekuatan militer yang dimilikinya. Salah
satu perlawanan yang dilakukan Palestina hanyalah dari gerakan politis Palestina (HAMAS)
yang selalu mengkoordinir rakyat untuk membalas serangan-serangan Israel.
Dalam kasus perebutan masjid Al-Aqsa dapat dijelaskan bahwa bangunan tersebut
merupakan bangunan dan tempat suci bagi umat muslim. Bangunan tersebut menyimpan
sejarah dan pernah menjadi arah kiblat sebagai patokan ibadah sebelum dipindahkan ke
Mekkah. Namun, Israel mengklaim bahwa bangunan tersebut didalamnya terdapat kuil
Sulaiman, sehingga Israel juga merasa berhak untuk memiliki bangunan tersebut.

Kaitannya dengan perspektif Neo-Realisme yaitu Kenneth Waltz sebagai penggagas


Neo-Realisme tidak lagi membahas mengenai kerjasama. Ia lebih berpendapat bahwa sulit
dilakukan dalam anarki dan masing-masing negara memiliki national interestnya. Dalam
pandangannya, Neo-Realis memfokuskan diri pada struktur system distribusi relative gain
daripada absolute gain yang berarti lebih mempertahankan security policies yang
melemahkan lawan daripada harus menyerang lawan. Waltz juga memberikan pendapatnya,
ada penyebab negara menemui konflik, yaitu sulitnya komunikasi antar masing-masing aktor,
karena hanya mementingkan national interestnya dan adanya biaya yang mahal dalam
melakukan kerjasama dalam anarki dan potensi untuk curang.

Argumen

Setelah mengamati berbagai konflik Israel dan Palestina dengan menggunakan perspektif
Neo-Realisme, setidaknya kita dapat mengungkap bahwa konflik antara Israel dan Palestina
hingga saat ini belum terselesaikan karena Israel merupakan aktor yang kuat di kawasan
timur tengah. Dalam pandangan Neo-Realisme, akan memiliki keuntungan yang besar
apabila memiliki wilayah yang besar dan memengaruhi wilayah lain disekitarnya sehingga
saling berkompetisi satu dengan lainnya. Hal tersebut dikarenakan negara memiliki kekuatan
maka dengan kekuatan yang sangat dominan tersebut digunakan untuk menunjukkan
eksistensi sebuah negara dalam sistem internasional. Israel memiliki kepentingan nasional
tersendiri sehingga mendapati konflik dengan Palestina dan negara-negara kawan timur
tengah lainnya. Dalam menggunakan pandangan Neo-Realisme, maka kepentingan Palestina
akan terabaikan karena kekuatan yang dimiliki oleh Israel yang memanfaatkan kedekatannya
dengan Amerika Serikat untuk mengejar kepentingan nasionalnya (Relative Gain).

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa perspektif Neo-Realis sangat menimbulkan


kerugian bagi Palestina. Dengan adanya aktor non-state yang terlibat dalam konflik tersebut
yaitu HAMAS yang tidak langsung mewakili rakyat Palestina, namun semua itu tidak dapat
dilihat dalam perspektif Neo-realis sendiri. Hal ini mempersulit dalam penyelesaian konflik
kedua negara tersebut dengan pendekatan perspektif ini. Kelemahan yang terdapat dalam
perspektif Neo-Realisme dalam menganalisa konflik Israel-Palestina ini tidak akan
menemukan titik terang, dikarenakan di dalam konflik tersebut telah terjadi pelanggaran Hak
Asasi Manusia terhadap individu yang tidak akan terpecahkan oleh perspektif Neo-Realisme
itu sendiri. Dengan begitu, teori yang dibutuhkan untuk kedua negara ini adalah teori yang
tidak hanya berhubungan dengan negara sentries dan kekuatan tetapi juga teori yang melihat
individu di dalamnya sehingga isu keadilan dapat dipecahkan.

Solusi yang paling memungkinkan untuk tercapainya perdamaian antar negara tersebut
adalah perundingan. Inti dari konflik Israel dan Palestina adalah pendudukan Palestina oleh
Israel yang harus segera diakhiri melalui proses perundingan. Perundingan adalah solusi
signifikan yang harus diambil untuk mencapai visi dua negara yang hidup berdampingan (two
states solution). Berbagai lembaga otoritatif harus mendesak Dewan Keamanan PBB untuk
segera mewujudkan visi dua negara yang hidup berdampingan (two states solution).

Referensi

Labib, Muhsin dan Irham Abdurrahman.(2009).“Gelegar Gaza”. Jakarta : Zahra Publishing


House

Khairi, Ahmad Gazali dan Amin Bukhairi.(2009). “Air Mata Palestina”. Jakarta : HI-Fest
Publishing

Sihbudi, Riza.(2007).“Menyandera Timur Tengah”. Jakarta : PT. Mizan Republika

Carr, William.G.(1993).“Yahudi Menggenggam Dunia”. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar

Nurdi, Herry.(2006).“Lobi Zionis & Rezim Bush-Teroris Teriak Teroris”. Jakarta : PT.
Mizan Republika

Jackson, Robert dan Georg Sorensen.(2009).“Pengantar Studi Hubungan Internasional”.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar

More than 1000 Killed in Gaza http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/7828884.stm diakses


pada 2 Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai