Anda di halaman 1dari 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Preeklamsia
a. Definisi
Preeklamsia adalah penyakit hipertensi kehamilan tertentu yang dapat
disebabkan oleh kegagalan fungsi endotel vaskuler dan vasospasme
pembuluh darah dengan keterlibatan multisistem yang terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu. Preeklamsia dapat berlangsung hingga 4-6 minggu
post-partum. Penyakit ini ditentukan oleh kejadian hipertensi onset baru
ditambah onset baru proteinuria dengan atau tanpa edema patologis. Tanda
dan gejala lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan, sakit
kepala, nyeri epigastrik, dan adanya edema (American College of
Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).
Insidensi preeklamsia sekitar 5% sampai 10% dari seluruh kehamilan,
dengan insidensi yang lebih tinggi pada kehamilan pertama, kehamilan
kembar, dan wanita dengan riwayat preeklamsia sebelumnya (Lindheimer
et al., 2008; Rugolo et al., 2011).

b. Faktor Risiko
1) Primipara
2) Riwayat preeklamsia pada kehamilan
Risiko preeklamsia meningkat tujuh kali lipat pada kehamilan dengan
riwayat preeklamsia sebelumnya.
3) Adanya hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
4) Usia Kehamilan
Preeklamsia pada kehamilan pertama dengan persalinan pada usia
kehamilan 32 minggu sampai 36 minggu akan meningkatkan risiko
preeklamsia pada kehamilan kedua sebesar 25,3 %.
5) Riwayat keluarga dengan preeklamsia
6) Obesitas
Wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) < 20 kg/m 2 memiliki risiko
sebesar 4,3% dan mereka dengan BMI > 35 kg/m 2 memiliki risiko
sebesar 13,3%

1
7) Donor oosit atau inseminasi donor dan riwayat trombofilia
8) Infeksi saluran kemih, diabetes melitus, penyakit vaskular kolagen,
mola hidatidosa, dan penyakit periodontal
9) Usia Ibu
Wanita yang hamil pada usia 35 tahun atau lebih memiliki risiko lebih
tinggi untuk mengalami preeklamsia.
10) Ras
Di Amerika Serikat, preeklamsia pada wanita berkulit putih 1.8 % dan 3
% pada wanita berkulit hitam.
11) Faktor tambahan yang mempengaruhi terjadinya preeklamsia adalah
kehamilan multipel, plasentasi yang buruk dan beberapa hal lain yang
meningkatkan massa plasenta dan perfusi plasenta yang buruk
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al.,
2014).

c. Patogenesis dan Patofisiologi


1) Implantasi Abnormal
Salah satu mekanisme yang berperan pada proses abormalitas
invasi trofoblas dan remodeling pembuluh darah adalah jalur Notch
signaling (American College of Obstetrics and Gynecology, 2013).
Jalur Notch signaling mengatur diferensiasi dan fungsi sel selama sel
kontak di dalam jaringan. Komponen ini adalah komponen penting di
mana sel-sel trofoblas janin menginvasi dan merubah pembuluh darah
ibu (Hunkapiller et al., 2011).
Notch2floxlflox; Tpbpa-Cre yang gagal merubah pembuluh darah ibu
secara adekuat akan menyebabkan penurunan perfusi plasenta.
Kegagalan transformasi fisiologis ini dikaitkan dengan tidak adanya
Notch2 karena berkurangnya diameter pembuluh darah dan perfusi
plasenta. Trofoblas mengkoordinasi peningkatan pasokan pembuluh
darah ibu melalui invasi progresif dan pelebaran pembuluh darah ibu.
Perivaskular dan endovaskular sitotrofoblas sering gagal untuk
mengekspresikan JAG1 yang merupakan ligan Notch di preeklamsia
memberikan bukti lebih lanjut bahwa kelainan pada Notch signaling

2
memiliki peran penting dalam patogenesis preeklamsia (Hunkapiller et
al., 2011).
2) Stres Oksidatif dan Nitrat Oksida
Disfungsi Nitrat Oksida (NO) merupakan salah satu jalur yang
terlibat dalam patogenesis preeklamsia. NO adalah vasodilator utama
dan radikal bebas yang sangat reaktif, disintesis oleh sel endotel dari
L-arginine. Penurunan konsentrasi NO dalam plasma dan plasenta
dapat menyebabkan kurangnya efek vasodilatasi parakrin pada aliran
darah uteroplasenta (Rugolo et al., 2011).
Penurunan bioavailabilitas NO terjadi melalui pengurangan
produksi atau peningkatan konsumsi NO oleh stres oksidatif. Stres
oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksin akan
merangsang kerusakan sel endotel pembuluh darah yang nantinya akan
menimbulkan disfungsi endotel (Roeshadi, 2006; Rugolo et al., 2011).
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan antara produksi
zat-zat vasodilator (misalnya prostasiklin dan nitrat oksida) dengan
vasokonstriktor (misalnya endotelium I, tromboksan, dan angiotensin
II) sehingga terjadi vasokontriksi dan menyebabkan hipertensi
(Roeshadi, 2006).
3) Disfungsi Endotel
Gangguan sel endotel jika dibiarkan akan menimbulkan kebocoran
khususnya pada sistem mikrovaskular yang akan direspon tubuh
dengan manifestasi agregasi tombosit. Dalam keadaan normal, sel
endotel akan memproduksi prostasiklin (PGI2) dan trombosit akan
memproduksi tromboksan 2 (TXA2). (Birawa et al., 2009).
Prostasiklin (PGI2) merupakan vasodilator kuat otot polos yang
bekerja pada reseptor spesifik sel otot polos dan merangsang
pembentukan cyclic adenosinmonophosphate (cAMP) melalui siklus
adenylate serta faktor relaksasi yang kuat. Tromboxan (TXA)
merupakan vasokonstriktor kuat. Akibat rasio PGI2 : TXA meningkat
maka efek vaskonstriktif akan tinggi dan menyebabkan terjadinya
hipertensi. Disfungsi endotel akan menyebabkan keluarnya mediator

3
inflamasi seperti TNF-α, Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6),
Interleukin-8 (IL-8), Interleukin-10 (IL-10) dan fibronektin serta
mikropartikel endotel yang terbukti meningkat pada preeklamsia
(Birawa et al., 2009).
4) Faktor Angiogenik
Pada plasenta ibu terdapat dua protein yang dapat mencapai jumlah
abnormal di sirkulasi ibu. Pertama adalah solubleFms-like tyrosine
kinase 1 (sFlt-1) yang merupakan reseptor placental growthfactor
(PIGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan
kadar sFlt-1 ibu akan menurunkan konsentrasi sirkulasi PIGF dan
VEGF sehingga terjadi disfungsi endotel. Inaktivasi VEGF bebas
menyebabkan endoteliosis gromular sehingga terjadi proteinuria.
Kedua, protein antiangiogenik, soluble endoglin (sEng) yang dapat
mengganggu pengubahan ikatan growth factor β1 menjadi reseptor
endotelial sehingga mengurangi nitrat oksida endotel dan
menyebabkan terjadinya preeklamsia (Lindheimer et al., 2008;
American College of Obstetrics and Gynecology, 2013).
5) Renin - Angiotensin System ( RAS )
Angiotensin II type-1 receptor autoantibody (AT1–AA) ikut
berperan dalam peningkatan sel endotel dan sensitivitas tekanan darah
serta sensitivitas angiotensin II (ANGII) (Wenzel et al., 2011). Sel
endotel meningkatkan sekresi endhotelin-1 (ET-1) dalam merespon
ANGII atau AT1-AA. Ketika AT1-AA dan ANGII bergabung, sekresi
sel endotel ET-1 meningkat 200 kali lipat dibandingkan jika hanya
merespon ANGII atau AT1-AA saja. Sementara itu, baik ANGII atau
AT1-AA akan meningkatkan tekanan darah selama kehamilan. AT1-
AA memiliki peran penting untuk meningkatkan sensitivitas sel
endotel ataupun tekanan darah terhadap ANGII selama kehamilan
(LaMarca B, 2012).
6) Sistem Imun

4
Respon inflamasi memiliki peran penting selama plasentasi,
natural cell killer mensekresi sitokin yang akan meningkatkaninfiltrasi
trofoblas ke arteri spiral sehingga menyebabkan respon inflamasi
desidua. Plasentasi yang buruk dan berkurangnya suplai darah
uteroplasenta menyebabkan hipoksia plasenta yang diikuti pelepasan
beberapa mediator seperti faktor pertumbuhan dan reseptor
terlarutnya, sitokin inflamasi, debris plasenta, dan produk stres
oksidatif plasenta. Hal ini menyebabkan respon inflamasi sistemik
yang berhubungan erat dengan disfungsi sel endotel dan aktivasi
leukosit (Rugolo, 2011).
Genbacev dalam Uzan et al. (2011) menyatakan preeklamsia dapat
terjadi akibat penurunan sistem kekebalan ibu yang mencegah
pengenalan unit fetoplasenta. Produksi berlebihan sel imun
menyebabkan sekresi tumor necrosis factor α (TNFα) yang akan
menginduksi apoptosis sititrofoblas ekstravili. Colbern et al. dalam
Uzan et al. (2011) juga menyatakan bahwa sistem Human Leukocyte
Antigen (HLA) juga memainkan peran dalam invasi arteri spiral, dan
wanita dengan pre-eklampsia menunjukkan penurunan kadar HLA-G
dan HLA-E.

Gambar 3.1 Patogenesis Preeklamsia (Rugolo et al., 2011)


d. Diagnosis dan Klasifikasi Preeklamsia
1) Menurut Onset

5
Menzies et al. dalam Hypertesive Disease in Pregnancy
menggolongkan preeklamsia menjadi dua jenis yaitu preeklampsia
onset awal dan preeklamsia onset lambat. Preeklamsia onset awal
cenderung berkembang sebelum usia kehamilan 34 minggu,
preeklamsia onset lambat muncul pada atau setelah usia kehamilan 34
minggu. Preeklamsia onset awal biasanya dikaitkan dengan disfungsi
plasenta, penurunan volume plasenta, IUGR, abnormalitas uterus dan
evaluasi Doppler arteri umbilikus, disfungsi multiorgan, kematian
perinatal dan luaran maternal dan neonatal yang kurang baik.
Preeklamsia onset lambat diperkirakan muncul dari gangguan
konstitusional ibu, hal itu lebih terkait dengan plasenta yang normal
dan hasil evaluasi Doppler yang baik, berat lahir normal dan luaran
ibu dan janin yang baik (Arulkumaran et al., 2014).
2) Menurut Derajat
a) Preeklamsia ringan
Preeklamsia ringan didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan
darah ≥ 140/90 mm Hg) tanpa bukti kerusakan organ. Pasien yang
sebelumnya sudah memiliki hipertensi esensial, preeklamsia
didiagnosis jika tekanan darah sistolik telah meningkat sebesar 30
mmHg atau jika tekanan darah diastolik telah meningkat sebesar
15 mm Hg (Lim et al., 2014).
b) Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan
morbiditas perinatal yang tinggi dan didefinisikan sebagai tekanan
darah sistolik ibu ≥ 160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg atau lebih tinggi dua kali lipat pada pemeriksaan
setidaknya 6 jam terpisah; gangguan neurologis maternal seperti
sakit kepala terus-menerus, tinnitus yang menyebar, refleks
tendon polikinetik, eklamsia, edema paru akut, proteinuria ≥ 5
g/hari atau lebih dari 3+ pada dua sampel urin yang dikumpulkan
secara acak minimal 4 jam terpisah, oliguria < 500 cc/hari,

6
kreatinin > 120 µmol/L, sindrom HELLP, trombositopenia <
100.000/mm3, edema paru atau sianosis, nyeri epigastrium dan
atau gangguan fungsi hati, dan kriteria pada janin terutama
pertumbuhan janin terhambat (PJT), oligohidramnion, kematian
janin dalam rahim, atau abrupsio plasenta ( Sibai dan Barton,
2007; Uzan et al., 2011; Lim et al., 2014).
Kriteria diagnosis preeklamsia berat menurut POGI tahun
2010 adalah preeklamsia dengan salah satu atau lebih gejala dan
tanda dibawah berikut :
(1) Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat tekanan
sistolik ≥ 160 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 110
mmHg
(2) Proteinuria, yaitu protein ≥ 5 gr/jumlah urin selama 24 jam
atau dipstick 4 +
(3) Oliguria, adalah produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
(4) Kenaikan kreatinin serum
(5) Edema paru dan sianosis
(6) Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen.
(7) Gangguan otak dan visus antara lain perubahan kesadaran,
nyeri kepala, skotomata, dan pandangan kabur.
(8) Gangguan fungsi hepar
(9) Hemolisis mikroangiopatik
(10) Trombositopenia; yaitu trombosit< 100.000 cell/ mm3
(11) Sindroma HELLP
POGI (2010) membagi preeklamsia berat dalam beberapa
kategori :
(1) Preeklamsia berat tanpa impending eklamsi
(2) Preeklamsia berat dengan impending eklamsi, dengan
gejala impending : nyeri kepala, mata kabur, mual dan
muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri kuadran kanan atas
abdomen.
Penatalaksanaan preeklamsia berat bertujuan mengendalikan
tekanan darah dan mencegah terjadinya eklamsia, persalinan
pervaginam pada pasien dengan kehamilan cukup bulan dan
operasi caesar pada kasus mendesak atau ketika induksi

7
persalinan gagal, dengan pengaturan waktu yang seimbang antara
keselamatan ibu dengan risiko kelahiran janin yang berpotensi
prematur (kurang bulan). Manajemen kehamilan hanya untuk
beberapa pasien yang jauh dari usia kehamilan cukup bulan tetapi
stabil pada pemberian terapi obat antihipertensi, dengan hasil
pemeriksaan laboratorium stabil dan profil biofisik janin yang
meyakinkan (Turner, 2010).
Norwitz dan Funai (2008) memberikan pedoman untuk
mengidentifikasi kondisi di mana manajemen kehamilan dapat
digunakan untuk pasien dengan preeklamsia berat:
(1) Tidak ada istilah preeklamsia sedang – hanya ada ringan
atau berat.
(2) Ketika janin dapat dilahirkan dengan aman, segera
melakukan proses persalinan, dengan catatan ada
perawatan neonatal yang baik.
(3) Tidak ada manfaat bagi ibu untuk melanjutkan kehamilan
ketika sudah terdiagnosis preeklamsia berat.
(4) Tidak ada pengelolaan konservatif untuk keadaan: terdapat
gejala utama eklamsia, edema paru, gangguan
serebrovaskular, oliguria atau gagal ginjal, kerusakan hati
atau gangguan hemopoetic, dan ditandai dengan adanya
growth restriction (hambatan pertumbuhan).
(5) Pengobatan anemia hemolitik, peningkatan enzim hati, dan
jumlah trombosit yang rendah (sindrom HELLP) dengan
steroid terbukti meningkatkan beberapa marker atau tanda
dari preeklamsia berat tetapi tidak dapat memperbaiki
keluaran ibu atau janin, sehingga tetap diindikasikan untuk
melakukan persalinan.
(6) Kontrol tekanan darah, tekanan darah sistolik harus kurang
dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik harus kurang
dari 105-110 mmHg.
(7) Mempertahankan kehamilan ketika sudah didiagnosis
preeklamsia berat hanya boleh dilakukan di rumah sakit

8
pusat ketiga dengan memberikan informed concent yang
lengkap setelah konseling dengan spesialis fetomaternal dan
neonatologis.
Komplikasi preeklamsia berat pada ibu meliputi edema
pulmo, infark miokardial, acute respiratory distress syndrome,
koagulopati, gagal ginjal berat, dan retinal injury. Komplikasi
pada janin dan bayi baru lahir berasal dari insufisiensi
uteroplasenta atau kelahiran prematur, atau bisa dari keduanya
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013).

e. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria. Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.
Dengan adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan
kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-
gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif, antara lain: nyeri kepala frontal, gangguan visual dan
nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif, antara lain: hiperreflexia,
eksitasi motorik, dan sianosis (Artikasari, 2009).
Diagnosis banding untuk preeklamsia berat antara lain: hipertensi
menahun, penyakit ginjal, dan epilepsi.

f. Penanganan
Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan
melahirkan bayi sehat.11
1. Preeklampsia Ringan
a) Rawat jalan:
 Tirah baring (miring) tidak total
Tirah baring posisi miring: menghilangkan tekanan uterus pada
vena kava inferior  meningkatkan aliran darah balik
meningkatkan curah jantung meningkatkan aliran darah ke organ-
organ vital  ginjal: filtrasi glomerolus meningkat diuresis

9
meningkat  ekskresi Na meningkat  menurunkan reaktivitas
kardiovaskular  mengurangi vasospasme.
Selain itu, peningkatan curah jantung juga menambah
oksigenasi plasenta sehingga memperbaiki kondisi janin.
 Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya,
dan roboransia prenatal.
 Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif.
 Dilakukan pemeriksaan lab: Hb, hematokrit, fungsi hati, fungsi
ginjal, dan urin lengkap.
b) Rawat inap:
 Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2
minggu.
 Ada satu/ lebih gejala dan tanda preeklampsia berat.
Selama di RS, lakukan:
- Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab.
- Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, Doppler, dan NST.
- Konsultasi ke bagian mata, jantung, dll (Cunningham,
2005; Saifuddin, 2006; Manuaba, 2007).
- Pada kehamilan preterm (< 37 minggu): bila tekanan darah
mencapai normal, persalinan ditunggu sampai aterm. Pada
kehamilan aterm (> 37 minggu): persalinan ditunggu
sampai muncul tanda-tanda persalinan alami. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan dengan induksi, bila perlu
memperpendek kala II (Cunningham, 2005; Saifuddin,
2006; Manuaba, 2007).
Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu
pengeluaran trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan
tindakan yang salah karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin.

g. Komplikasi
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada
liver dalam bentuk kemungkinan:
1) Perdarahan subkapsular

10
2) Perdarahan periportal sistem dan infark liver
3) Edema parenkim liver
4) Peningkatan pengeluaran enzim liver (Manuaba, 2007).
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan
dari kemampuan sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke
otak) dan menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis sebagai
berikut:
 Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
 Iskemia yang menimbulkan infark serebal
 Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
 Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
 Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital
medula Oblongata (Manuaba, 2007).
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utamaialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia
daneklampsia.
h. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu
42,2–48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya
pengawasan antenatal, di samping itu penderita eklampsia biasanya sering
terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena
perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal, dan
aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan
hipoksia intrauterin (Artikasari, 2009).

11
DAFTAR PUSTAKA

Artikasari K. Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian


Preeklampsia/Eklampsia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1
Januari–31 Desember 2008; 2009(Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).

Atmakusumah, T.D. Setyaningsih, I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu


jenis hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: InternaPublishing.

Atmakusumah, T.D., Wahidiyat, P.A., Sofro, A.S., Wirawan, R., Tjitrasari, T.,
Setyaningsih, I., Wibawa, A. 2010. Pencegahan Thalassemia. Hasil Kajian
Konvensi HTA. Jakarta: 16 Juni.

Cousens, N.E., Gaff, C.L., Metcalfe, S.A., Delatycki, M.B. 2010. Carrier
screening for Beta-thalassaemia:a review of International practice.
European Journal of Human Genetics, 18: 1077-1083.

Cunningham FG. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In


Williams Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp:
762-764; 2005.

Djannah SN, Arianti IS. Gambaran Epidemiologi Kejadian


Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun
2007–2009; 2010 Diakses dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2782/1506
pada tanggal 3 Mei 2016

Fatimah, Hadju et al. Pola Konsumsi dan Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil di
Kabupaten

Maros,Sulawesi Selatan. Makara,Kesehatan. 2011;Vol. 15(1): 31-36

Galanello, R., Cao, A. 2011. Alpha-thalassemia. Genetics in Medicine, 13(2):


83-88

12
Kilpatrick, S.J. 2014. Anemia and Pregnancy. In : Creasy, R.K., Resnik, R.
Iams, J.D., Lockwood, C.J, Moore, T.R., Greene, M.F. Creasy & Resnik’s
Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition. Elsevier.

Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31; 2007

Ojofeitimi EO, Ogunjuyigbe PO, Sanusi, et al. Poor Dietary Intake of Energy
and Retinol among Pregnant Women: Implications for Pregnancy Outcome
in Southwest Nigeria. Pak. J. Nutr. 2008; 7(3):480-484.

Old, J. 2013. Hemoglobinopathies and Thalassemias. In: Rimoin, D.L., Pyeritz,


R.E., Korf, I. Emery and Rimoin’s Essential Medical Genetics. Elsevier.

Pignatti, C. B., Galanello, R. 2014. Thalassemia and Related Disorders:


Quantitative Disorders of Hemoglobin Synthesis. In : Greer, J.P., Arber, D.
A., Glader, B., List, A.F., Means, R.T., Paraskevas, F, Rodgers, G.M.
Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th edition. Lippincott Williams&
Wilkins.

Purba RT. Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia/. Perbandingan Efektivitas Terapi Besi Intravena dan
Oral pada Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan. Maj Kedokt Indon,
Volum: 57, Nomor: 4, April 2007. Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta

Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ruangvutilert, P. 2007. Thalassemia is a Preventable Gen Disease. Siriraj Med


J, 59: 330-333.

Rund, D., Rachmileweitz, E. 2005. β-Thalassemia. N Engl J Med, 353: 1135-


1146.

Saifuddin AB, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : YBPSP, pp: M37-9; 2006.

Strong, J., Rutherford, J.M. 2011. Anemia and White Blood Cell Disorders. In:
James, D. High Risk Pregnancy Management. 4th edition. Elsevier.

Welch, E., Wright, J. 2010. Inherited red cell disorders. In: Pavord, S., Hunt, B.
The Obstetric Hematology Manual. Cambridge University Press.

13
Winkjosastro Hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan. Penerbit PT.EGC. Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai