Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No.

2, September 2014

STUDI ARSITEKTUR RUMAH BETANG KALIMANTAN


TENGAH
Oleh:
Noor Hamidah dan Tatau Wijaya Garib1
1,2

(nhamidah04@gmail.com;tatauw@yahoo.com)
Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Palangka Raya

Abstrak :

Rumah Panjang atau disebut ”Betang”merupakan rumah tinggal tradisional


masyarakat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah.Betangmempunyai nilai historis dan
sakral merupakan bentukpermukiman awal dan mata rantai kebudayaan masa
lampau, kini dan masa mendatang. Betang berlokasi di sepanjang Daerah Aliran
Sungai Kapuas, Kahayan, Barito, Mentaya dan Katingan.Betangmerupakan cikal
bakal proses perkembangan kota-kota di Kalimantan Tengah (Riwut, 1979).
Betangdalam penelitian ini mengangkat dua studi kasus yaitu BetangBuntoi dikenal
dengan Huma Gantung Buntoi merupakan pecahan betang terletak di Desa Buntoi,
Kabupaten Pulang Pisau, dan Betang Toyoi terletak di Kabupaten Gunung Mas,
Provinsi Kalimantan Tengah.
Huma Gantung Buntoi di masa lalu dihuni oleh seorang kepala adat
bergelar Singa (Singa Jalla) yaitu pemimpin yang taat pada adat dan tradisi Suku
Dayak Ngaju.Perubahan lingkungan Huma Gantung Buntoi terjadi ketika masa
kolonial Belanda, kondisi lingkunganyang belum aman menyebabkan Huma
Gantung Buntoi tertutup pagar tinggi disebut Bakota sebagai usaha proteksi
terhadap serangan musuh.Perubahan terlihat ialah bangunan penunjang telah
dinyatakan hilang, perubahan fungsi ruang dan perubahan pada bentuk fisik Huma
GantungBuntoi.Untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai bentuk awal
Huma Gantung Buntoi diperlukan obyek lain sebagai pembanding yaitu Betang
Toyoi di Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas memiliki sejarah lebih tua dari
Huma Gantung Buntoi. Huma Gantung Buntoi dan Betang Toyoimemiliki
keistimewaan: (1) Sebagai mata rantai perkembanganBetangterletak di sepanjang
DAS; (2) konsep tata ruang rumah Betang; dan (3) elemen bangunan rumah Betang.
Metode penelitian melaluipengamatan lapangan (field observation) dan
wawancara(depth interview) dengan nara sumber tokoh masyarakat yang
mengetahui betul mengenai:(1) sejarah; (2) elemen bangunan; (3) Perubahan fungsi
tata ruang padaHuma Gantung Buntoi dan Betang Toyoi. Hasil penelitian ini
terungkap bahwa tiga faktor dominan dalam filosofi rumah Betang, yaitu: (1)
sejarah perkembanganBetang (sepanjang DAS)(2) elemen bangunan; dan (3) pola
ruang dan lingkungan.

Kata Kunci:Konsep, Rumah, Betang.

1
Staf pengajar di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Palangkaraya

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 19


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

2
Mahasiswa S3, di Jurusan Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
1. Pendahuluan
Salah satu kekhususan Indonesia adalah lingkungan alamnya yang
merupakan kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari sekitar 17.508 pulau yang
membentang sepanjang 5.210 km dari timur ke barat dan dihuni oleh sekitar 300
suku bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Terdiri dari 33 propinsi dengan keaneka-
ragaman sifat lingkungannya dan terdapat berbagai tempat permukiman pedalaman
yang penduduknya lebih berorientasi dan mempunyai akses ke daerah
pedalamannya, antara lain melalui sungai-sungai yang menghubungkan penduduk di
hulu dan hilir sungai, seperti masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Kubu
di Sumatera. (Indonesia Heritage, 1992).
Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam merupakan
keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan alami di
Indonesia secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari
banyaknya suku bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber
daya alam yang berbeda-beda. Kesemuanya itu terwujud dalam keaneka ragaman
sifat permukiman, dari yang modern dengan heterogenitas dan pertumbuhan tinggi
sebagaimana ibukota Jakarta, sampai pada permukiman dari suku-suku terasing dan
kehidupan tradisional tetap bertahan tidak tersentuh oleh perubahan. Kemampuan
permukiman itu untuk berlanjut berbeda-beda dan perkembangannya akan memiliki
makna berbeda karena tempat yang berbeda. (Indonesia Heritage, 1992). Tautan
lingkungan alami tercermin melalui karakteristik fisik ini merupakan sifat alami,
dimana sungai memiliki keunikan lingkungan berwujud permukiman tradisional
sebagai respon sifat lingkungannya. Permukiman tradisional masyarakat Indonesia
ditinjau dari segi historis banyak berada di daerah aliran sungai karena akses
transportasi. Akses Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan karakteristik
permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya suatu kota,
selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.
Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh kota di Indonesia yang memiliki
pola permukimann terletak di tepian sungai-sungai besar. Permukiman ini dikenal
dengan nama Betang artinya Rumah Panjang merupakan rumah tinggal tradisional
masyarakat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Betang mempunyai nilai historis dan

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 20


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

sakral merupakan bentuk permukiman awal dan mata rantai kebudayaan masa
lampau, kini dan masa mendatang. Betang berlokasi di sepanjang Daerah Aliran
Sungai Kapuas, Kahayan, Barito, Mentaya dan Katingan. Betang merupakan cikal
bakal proses perkembangan kota-kota di Kalimantan Tengah (Riwut, 1979). Betang
dalam penelitian ini mengangkat dua studi kasus yaitu Betang Buntoi dikenal dengan
Huma Gantung Buntoi merupakan pecahan betang terletak di Desa Buntoi,
Kabupaten Pulang Pisau, dan Betang Toyoi terletak di Kabupaten Gunung Mas,
Provinsi Kalimantan Tengah. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah:
bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor dominan dalam filosofi rumah Betang, ditinjau
dari: (1) sejarah perkembangan Betang (sepanjang DAS) (2) elemen bangunan; dan (3) pola
ruang dan lingkungan. Sedangkan tujuan dari tulisan ini ialah mampu mengevaluasi faktor-
faktor dominan dalam filosofi rumahBetang baik Betang Tumbang Anoi maupun Huma
Gantung Buntoi, melalui: (1) sejarah perkembangan Betang (sepanjang DAS) (2) elemen
bangunan; dan (3) pola ruang dan lingkungan yang terekam dalam gambar dan sketsa
melalui time series mengenai perubahan bentuk ruang dan elemen bangunannya.

2. Kajian Pustaka
A. Arsitektur Vernakular
Kajian arsitektur filosofi rumah Betang mengacu pada teori arsitektur
vernakular. Definisi vernakular menunjukkan pada sesuatu yang asli, etnik, rakyat
dan arsitektur tradisional. Istilah Vernakular dalam arsitektur mengidentifikasikan
pada bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan, termasuk
iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak, denah,
struktur, detail-detail, ornamen, dan sebagainya) (sumalyo, 1993).
Vernacular is comparising the dwellings and all other buildings of the people.
Related to their environmental contexts and available researches they are
costumarily owner or community-built, utilizing traditional technologies. All form of
vernacular architecture are built to meet a specific needs, acommodating the values,
economies and ways of life of the cultures that pruduces them (Oliver, P, 1987)
Essensi arsitektur vernakular seperti yang ditulis oleh Oliver, P (1987)
mengacu pada arsitektur kerakyatan, seperti bentuk rumah-rumah tradisional,
shelter, indegenious architecture, non formal architecture, spontaneous architecture,

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 21


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

folk architecture atau traditional architecture menunjuk pada arsitektur asli, etnik,
dan arsitektur tradisional. Cerminan arsitektur vernakular dapat dilihat pada uraian
Oliver, P (1987) yaitu dialog manusia dengan lingkungan, tanggap terhadap
lingkungan, keterbatasan material, budaya, dan teknologi, serta konteks relasi sosial.
Keberadaan lingkungan dan arsitektur bangunan selalu terlingkupi faktor lingkungan
fisik dan sosial-budaya karena lahir di dalam jejaring kehidupan manusia. (Oliver,
P, 1987: Leach, 1997).
Permukiman vernakular mempertimbangkan kondisi-kondisi fisik yang
melingkupinya selain unsur-unsur ekonomi sosial-budaya-religi dan berpengaruh
terhadap karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat ialah kebutuhan manusia pada
lingkungan budaya. Struktur sosial mempengaruhi karakter khusus pada hunian,
permukiman, desa dari lingkungan budaya yang berbeda. Tradisi ritual suatu
masyarakat mempengaruhi organisasi spasial di suatu desa. Demikian juga tradisi
perkawinan dan tradisi-tradisi lain, berpengaruh pada tata letak dan pengembangan
desa-desa suatu masyarakat. Ciri spesifik pada sosial masyarakat akan menghasilkan
arsitektur vernakular seperti bangunan, permukiman, desa yang spesifik pula (Oliver,
P, 1987).
Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya
dan memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk antara
manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial/keruangan
dipisahkan dan disatukan oleh ruang. Oleh karena itu, karakteristik sosial dan budaya
suatu lingkungan tercermin didalam tatanan sosialnya. Ruang ialah ruang tiga
dimensi yang mengelilingi manusia, relasi antara elemen-elemen didalamnya
membentuk tatanan tertentu yang disebut organisasi spasial (Rapoport, 1977:
Haryadi dan Setiawan, 2010). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan
ruang, dimana space sebagai aspek permukaan, dan spatial sebagai struktur
didalamnya, yang mencerminkan karakteristik space (Bacon, E., 1967: Hiller, 1989).
Ruang selalu terkait realistis manusia dan kehidupannya dimana manusia terhadap
artefak-artefak, membentuk „spasial budaya‟. Spasial budaya ialah tatanan ruang
tertentu yang mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak berdasarkan prinsip
tatanan sosial. Relasi bolak-balik antara tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial,

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 22


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

mencerminkan bahwa pada momen tertentu tatanan spasial dipengaruhi oleh tatanan
sosial, begitu pula sebaliknya.
Manusia sangat mencerminkan keunikan suatu bangunan, permukiman dan
desa, khususpada arsitektur permukiman vernakular. Keunikan tercermin dari cara
manusia berperilaku terhadap lingkungan yang menjadi ruang kehidupan manusia
(Madanipour, 1996). Perilaku me-ruang manusia mempunyai sistem tertentu, dan
berpengaruh terhadap tatanan spasial yang terbentuk sebagai wadah kehidupannya
(Waterson, R, 1990). Perbedaan individu, kelompok, dan masyarakat, menghasilkan
konsep dan wujud yang berbeda (Rapoport, 1969: Haryadi dan Setiawan, 2010).
Bentukan lingkungan merupakan hasil pikiran dan perilaku manusia. Setiap
kelompok etnis memiliki image yang khas tentang lingkungannya, karena perilaku
masing-masing etnis juga khas. Bentukan lingkungan tidak hanya disebabkan kondisi
iklim dan lingkungan yang unik, tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri.

B. Permukiman
Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal, yang sifatnya sementara
maupun menetap. Tempat tinggal atau tempat kediaman secara umum disebut
permukiman dan secara khusus disebut sebagai bangunan rumah (Hudson dan
Hammond, 1979). Permukiman menurut Barlow dan Newton (1971) mengacu ke arti
kolonisasi di suatu daerah baru dengan proses pemindahan penduduk, dan
permukiman yang mengacu pada arti kelompok-kelompok bangunan rumah tempat
tinggal manusia yang dibedakan ke dalam dukuh (dusun), desa, kota kecil, dan kota
besar. Selanjutnya Barlow dan Newton (1971) mengemukakan istilah permukiman
(settlement) adalah semua tipe tempat tinggal manusia baik berupa gubuk atau
pondok tunggal beratap dedaunan atau rumah-rumah di perladangan hingga kota
yang sangat besar dengan ribuan bangunan atau ribuan rumah tempat tinggal.
Permukiman ialah sebagai wadah kehidupan manusia, bukan hanya
menyangkut aspek teknis dan fisik saja, tetapi juga juga menyangkut aspek sosial,
ekonomi dan budaya dari penghuninya. Sedangkan Rapoport (1977) mendefinisikan
permukiman (settlement) pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah dimana
penduduk (pemukim) tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan usaha,

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 23


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

berhubungan dengan sesama pemukim sebagai suatu masyarakat serta memenuhi


berbagai kegiatan kehidupan.Hubungan ini oleh Rapoport (1977) digambarkan
sebagai interaksi antara manusia dan lingkungan dan memahami karakteristik
manusia yang akan menggunakan atau merancang ataupun membentuk
lingkungannya, sehingga manusia akan berperilaku berbeda dalam setting tertentu.
Perilaku manusia beragam dan berubah tergantung pada setting dimana tempat
manusia itu berada.
Menurut Rapoport (1969) perwujudan dari sebuah bentuk rumah dipengaruhi
oleh dua hal, aspek fisik dan aspek sosio-culture dimana aspek kedua memerlukan
penekanan yang lebih mendalam. Aspek kedua ini merupakan aspek yang dominan
yang menentukan bentuk dari sebuah rumah. Bentuk rumah bukan merupakan
sebuah hasil kekuatan faktor fisik atau faktor tunggal lainya, tetapi merupakan
konsekwensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam pengertian
yang lebih luas. Dalam hal memilih bentuk bangunan. Bentuk-bentuk tertentu
dipilih sesuai kesepakatan bersama dengan melihat pada tradisi yang telah turun
temurun. Bentuk-bentuk tertentu diterima apa adanya, dan perubahan di tolak
dengan keras karena mereka cendrung berorientasi pada tradisi. Itulah sebabnya
bentuk-bentuk tertentu tersebut bertahan sangat lama.Bentuk rumah primitif dan
vernakuler tidak hanya sebagai hasil keinginan individu akan tetapi lebih sebagai
tujuan dan keinginan dari kesatuan masyarakat untuk kenyamanan lingkungan
bersama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek sosial budaya sangat
menentukan perwujudan bentuk dari sebuah rumah tradisional bahkan lebih jauh
aspek ini merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan bentuk
rumah.
Sebuah karya besar dalam dunia arsitektur tidak bisa diartikan secara
sederhana dengan bentuk dan wujud yang memiliki ukuran besar. Apalagi pada masa
sekarang dengan perkembangan teknologi konstruksi yang memungkinkan
pembangunan dengan skala besar dan raksasa, ukuran besar menjadi relatif. Besar
untuk masa lalu menjadi kecil dan hampir tak nampak untuk saat sekarang.Namun
demikian dalam dunia arsitektur, kebesaran sebuah karya tidak dilihat sebatas ukuran
akan tetapi ada yang hal spesifik yang tidak mungkin luntur karena perkembangan

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 24


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

jaman. Hal spesifik tersebut adalah keunikan, kelangkaan, kejamakan dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan makna kultural dari masyarakat termasuk didalamnya
religi. Kenyataan yang ada kesadaran dan motivasi kita sering terlambat untuk
menilai sebuah karya arsitektur yang mempunyai nilai ini. Bangunan sudah terlanjur
hancur ataupun telah berubah sama sekali sehingga sangat sulit untuk ditelusuri
bentuk awal yang sebenarnya.

C. Arsitektur Betang
Betang atau Huma atau Lamin artinya Rumah Panjang merupakan rumah
tinggal tradisional masyarakat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Betang
mempunyai nilai historis dan sakral merupakan bentuk permukiman awal dan mata
rantai kebudayaan masa lampau, kini dan masa mendatang. Betang berlokasi di
sepanjang Daerah Aliran Sungai Kapuas, Kahayan, Barito, Mentaya dan Katingan.
Betang merupakan cikal bakal proses perkembangan kota-kota di Kalimantan
Tengah (Riwut, 1979). Betang dalam penelitian ini mengangkat dua studi kasus yaitu
BetangBuntoi dikenal dengan Huma Gantung Buntoi (1897) merupakan pecahan
betang terletak di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau, dan Betang Toyoi (Antara
abad 17 sampai 18 M) terletak di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan
Tengah.
Pada awalnya Betang merupakan pemukiman tradisional masyarakat Dayak
disebut pemukiman keluarga, terdiri dari satu buah rumah induk dan beberapa
bangunan pelengkap lain seperti sandong (tempat tulang), pasah lisu (tempat
lesung), pasah parei (lumbung padi), pasah pali (tempat pemujaan), serta kandang
ternak. Rumah induk merupakan bangunan terbesar berada di tengah-tengah kavling
yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan kecil lainnya. Halaman depan memiliki
luasan yang besar sebagai kegiatan upacara-upacara adat, areal bermain, serta
kegiatan berkumpul lainnya. Komplek pemukiman masyarakat tradisional tepi
sungai memiliki orientasi menghadap sungai sehingga membentuk pola linear dari
kampung. Terdapat tiga hal mendasar pandangan masyarakat Dayak Ngaju pada
keberadaan sungai:

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 25


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

1. Sungai adalah sumber penghidupan: dari dalam sungai terdapat kekayaan


melimpah berupa ikan untuk kebutuhan sehari-hari dan merupakan sumber
penghidupan yang menjanjikan untuk anak cucu.
2. Sungai adalah sarana transportasi utama. Di daerah pedalaman Kalimantan
sungai merupakan sarana transportasi yang paling mudah, murah dan cepat.
Dengan menggunakan peralatan sampan kecil masyarakat dapat mencapai
tempat yang jauh melalui sungai ini.
3. Sungai sebagai sarana interaksi sosial.Keberadaan sungai memegang peranan
penting bagi usaha-usaha perdagangar barter bahan mentah dengan bahan
pokok sehari-hari dengan masyarakat luar. Sungai sebagai sarana hubungan
sosial antara masyarakat tradisional Dayak dengan masyarakat dari daerah
lain.

3. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan
penelitian kualitatif (A qualitative Exploratory Research). Pengumpulan data secara
naturalistik, sedangkan teknik analisa secara induktif. Data-data diperoleh
melaluiekplorasi data lapangan (field observation)mengenai nilai historis dan filosofi
bangunan betang dengan caraliterature review, survei, wawancara dan identifikasi
potensi permukiman Betang di sepanjang DAS Kahayan dan Kapuas.Penelitian ini
mengangkat dua studi kasus yaitu Betang Buntoi dikenal dengan Huma Gantung
Buntoi merupakan pecahan betang terletak di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau,
dan Betang Toyoi terletak di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah
yang merupakan awal permukiman tradisional, sedangkan transportasi sungai
merupakan potensi Geografi yang dimiliki Kalimantan Tengah. Oleh karena itu
kajian ini menggunakan berbagai kepustakaan untuk mengetahui filosofi dan konsep
pola ruang serta perubahan melalui kajian spasial keruangan dan sosial-budaya
permukiman Betang, khususnya Betang Toyoi dan Huma Gantung Buntoi di
Kalimantan Tengah.
4. Analisa dan Pembahasan
A. Betang Toyoi, Desa Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 26


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

A1. Sejarah
Betang Toyoipada Gambar 3.1. dibangun oleh Temanggung Runjan,pada
tanggal 15 Maret 1868 secara gotong royong,perkakas atau alat yang digunakan pada
saat itu untuk membangun betang ini sangat sederhana sekali, hanya memakai
parang, beliung dan pahat saja. Karena hanya itulah peralatan yang ada pada masa
itu di daerah ini. Dapat di katakan bahwa rumah betang ini di bangun hanya dengan
berdasarkan tekad dan kemauan hati yang keras dan dengan kecerdasan
memanfaatkan kekayaan alam setempat. Sebagai salah satu bangunan pertama Desa
Tumbang Anoi, Betang(dalam bahasa Ot Danum Behtang) ialah rumah yang
memiliki banyak keistimewaan yang berbeda dari rumah-rumah yang ada di desa
tersebut. Rumah betang ini terkenal karena pernah digunakan untuk
menyelenggarakan rapat perdamaian antara suku-suku Dayak se-Kalimantan yang
saling bertikai pada kurun waktu abad 17-18 yang dikenal dengan ”Rapat Damai
Tumbang Anoi”(Riwut, 1979).Sisi historikal Betang Toyoi, kini keberadaannya
hanya tersisa papan nama saja seperti terlihat pada Gambar 1, sedangkan bangunan
aslinya sudah hancur hanya tersisa tiang-tiang bangunannya (jihi) sebagai essensi
historis sebuah objek bersejarah.

Gambar 3.1. Papan Nama Situs Sejarah Betang Toyoi, di Desa Tumbang Anoi
A2. Elemen Bangunan Betang
(Sumber: Data Observasi, 2011)

Sebuah karya besar dalam dunia arsitektur tidak bisa diartikan secara sederhana
dengan bentuk dan wujud yang memiliki ukuran besar. Apalagi pada masa sekarang
dengan perkembangan teknologi konstruksi yang memungkinkan pembangunan
dengan skala besar dan raksasa, ukuran besar menjadi relatif. Besar untuk masa lalu
menjadi kecil dan hampir tak nampak untuk saat sekarang.Namun demikian dalam
dunia arsitektur, kebesaran sebuah karya tidak dilihat sebatas ukuran akan tetapi ada

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 27


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

yang hal spesifik yang tidak mungkin luntur karena perkembangan jaman. Hal
spesifik tersebut adalah keunikan, kelangkaan, kejamakan dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan makna kultural dari masyarakat termasuk didalamnya religi.
Kenyataan yang ada kesadaran dan motivasi kita sering terlambat untuk menilai
sebuah karya arsitektur yang mempunyai nilai ini. Bangunan sudah terlanjur hancur
ataupun telah berubah sama sekali sehingga sangat sulit untuk ditelusuri bentuk awal
yang sebenarnya. Hal ini pula yang terjadi pada Betang Toyoi di Desa Tumbang
Anoi seperti yang terlihat pada Gambar 3.2. merupakan salah satu bangunan betang
yang pertama di Kalimantan Tengah, maka sangat disayangkan jika saksi bisu dari
peristiwa bersejarah tersebut rusak/hancur dan tidak dapat difungsikan dengan baik
secara arsitektural
Bahan dan Alat
Keterbatasan teknologi dan alat membatasi bentuk yang muncul pada bangunan
tradisional. Bentuk-bentuk yang yang ada terkurung oleh bentuk dasar bahan kayu,
namun disanalah tersirat makna keeksotisan yang menjadi ciri bangunan tradisional.
Sebuah komposisi sederhana namun tetap berbalutkan citra dan nuansa estetika yang
bersimbiosis dengan alamnya.
Komposisi Betang Tumbang Toyoi dapat di jelaskan sebagai berikut:

Gambar 3.2. Betang Toyoi, di desa Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas
(Sumber: Data observasi lapangan, 2011)

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 28


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

Etnik
Atmosfir etnik tetap terasa sangat mengikat Meski komposisi arsitektural yang ada
kini hanya berupa irama jihi. Irama ini memberikan gambaran keharmonisan antara
sebuah arsitektur tradisional dan

A3. Pola Ruang


Filosofi Betang Toyoi ini mengacu pada teori Experiencing Architecture
dijabarkan oleh Rasmussen (1964), yaitu teori yang mengemukakan bahwa arsitektur
bukan hanya yang dapat dilihat dan diraba saja, yang didengar dan dirasa pun
merupakan bagian dari arsitektur. Melalui pendengaran ini ungkapan space dalam
pola tata ruang rumah Betang dapat menggambarkan sesuatu yang berhubungan
dengan struktur, bentuk dan material bangunan. Fungsi irama (Rhytme) ialah
memunculkan interpretasi yang mungkin akan berbeda antara orang yang satu
dengan yang lain. Interpretasi itu secara tidak langsung akan mengarah ke suatu
kualitas ruang. Meskipun hasil interpretasi tersebut bersifat maya, namun jika sudah
dapat menginterpretasikan sebuah kualitas ruang, berarti sebenarnya secara tidak
sadar kita sudah membentuk sebuah ruang di alam bawah sadar kita. Irama (Rhytme)
pada arsitektur bangunan tradisional Betang di Kalimantan Tengahberorientasi pada
irama upacara tiwah (Gambar 3.3.), melalui upacara tiwah ini irama dapat
mengekspresikan pola ruang dan kualitas ruang didalam rumah betang.

Gambar 3.3. Pola ruang rumah betang mengikuti irama prosesi upacara tiwah
(Sumber: Hasil analisa, 2011)

Komposisi arsitektur BetangToyoi, Tumbang Anoi dikaji melalui geometri dan


eksistensi, serta Proporsi dan dimensi. Berikut penjabaran komposisi arsitektur
Betang Toyoi.

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 29


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

Geometri dan Eksistensi


Bentukan geometri tidak harus simetris, tetapi harus mempunyai titik , sudut , garis
dan permukaan yang solid namun Eksistensi betang seolah berusaha mengajak kita
Kembali untuk memahami dan mengacu pada pemaknaan ruang yang salah satunya
mendefinisikan ruang sebagai sesuatu, merupakan wujud yang paling immaterial
(without physical substance).

Proporsi dan Dimensi


Jihi betangmemiliki bentukan geometris seperti pada Gambar 3.4. bentuk berupa
lingkaran; penerapan ini tidak sengaja digunakan.Bentukan dasar dari bahan sendiri
digunakan sehingga tercipta sebuah keragaman bentuk dan kesatuan (unity) namun
ditinjau dari dimensinya sendiri akan memiliki ukuran yang berbeda karena alam
menghasilkan pohon-pohon dengan dimensi berbeda yang digunakan sebagai bahan
bangunannya.

Gambar 3.4. Sketsa jihi BetangToyoi yang tersisa


(Sumber: Hasil analisa, 2011)

B. Huma Gantung Buntoi, Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau


B1. Sejarah
BetangBuntoi dikenal dengan Huma Gantung Buntoi (1897) merupakan pecahan
betang terletak di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau. Huma Gantung Buntoi, di
Kabupaten Pulang Pisau merupakan bentuk arsitektur tradisional diungkapkan
melalui pola ruang (Nueweinhuis, 1894). Huma Gantungini merupakan salah satu

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 30


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

tipe rumah tradisional Dayak, di Desa Buntoi Kabupaten" Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah. Huma Gantung di Buntoi ini pada masa lalu pernah dihuni oleh seorang
kepala adat bergelar Singa (Singa Jalla) yang masih taat pada adat dan tradisi lama.
Kondisi lingkungan Buntoi yang belum aman menyebabkan lingkungan Huma
Gantung di Buntoi tertutup pagar tinggi yang disebut Bakota sebagai usaha proteksi
terhadap serangan musuh dari luar. Adanya perubahan pada tuntutan penghuni, adat
dan tradisi serta kondisi lingkungan yang berangsur aman menyebabkan perubahan
besar pada bentuk Huma Gantung di Buntoi. Banyak dari elemen bangunan Huma
Gantung yang hilang atau berubah fungsi karena adanya tuntutan dari penghuni.
Usaha penelusuran bentuk awal Huma Gantung di Buntoi agar makna sejarah sosial
budaya masyarakat Dayak Ngaju di Buntoi dapat dimengerti dan dapat dilakukan
usaha konservasi yang benar untuk pelestariannya.

B2. Elemen Bangunan


Kajian mengenai penelusuran bentuk awal bangunan-bangunan pada komplek
Huma Gantung di Buntoi pada Gambar 3.5. sebagai langkah awal konservasi ini
akan diambil batasan waktu pada masa Singa Jalla sedang memegang jabatan
sebagai pemimpin adat (Demang) di kampung Buntoi. Penentuan waktu ini
didasarkan pada pemikiran bahwa pada masa tersebut komplek Huma Gantung telah
lengkap terdiri dari satu bangunan utama (Huma Gantung) dan beberapa bangunan
penunjang, sehingga secara keseluruhan mencerminkan kehidupan sosial masyarakat
Buntoi lama yang masih taat pada adat dan tradisi setempat (Nueweinhuis, 1894).
Pada masa sekarang dan beberapa bangunan yang pernah ada dan telah dinyatakan
hilang, antara lain:

a. Bangunan yang masih ada, terdiri dari:


1. Bangunan utama Huma Gantung.
2. Sandong (tempat tulang).
3. Pantar Sanggaran.
4. Kandang Ternak.
5. Bangunan bekas Direksi Keet Proyek.

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 31


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

6. Dermaga (Lanting).

b. Bangunan yang telah hilang, antara lain:


1. Tiang Sapundu.
2. Tiang Pantar.
3. Balai Sanggrahan (tempat berkumpul).
4.Pasah Parei (lumbung padi).
5. Tempat Pande Besi.
6. Bakota (pagar keliling).
7. Dermaga/ Lanting (pernah ada dua buah).

Gambar 3.5. Batas Fisik Kawasan Huma Gantung Buntoi


Sumber : hasil pengamatan, tahun 2011.

B3. Pola Ruang


Filosofi Betang Toyoi merupakan teori dasar untuk mengidentifikasi pola
ruang pada rumah tradisional di Kalimantan Tengah. Huma Gantung Buntoi, di
Kabupaten Pulang Pisau merupakan bentuk arsitektur tradisional diungkapkan
melalui pola ruang seperti pada Gambar 3.6.Huma Gantung merupakan salah satu
tipe rumah tradisional Dayak, salah satu contohnya adalah “Huma Gantung di Desa
Buntoi Kabupaten" Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Huma Gantung di Buntoi ini

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 32


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

pada masa lalu pernah dihuni oleh seorang kepala adat bergelar Singa (Singa Jalla)
yang masih taat pada adat dan tradisi lama. Kondisi lingkungan Buntoi yang belum
aman menyebabkan lingkungan Huma Gantung di Buntoi tertutup pagar tinggi yang
disebut Bakota sebagai usaha proteksi terhadap serangan musuh dari luar. Adanya
perubahan pada tuntutan penghuni, adat dan tradisi serta kondisi lingkungan yang
berangsur aman menyebabkan perubahan besar pada bentuk Huma Gantung di
Buntoi. Banyak dari elemen bangunan Huma Gantung yang hilang atau berubah
fungsi karena adanya tuntutan dari penghuni (Nueweinhuis, 1894). Usaha
penelusuran bentuk awal Huma Gantung di Buntoi agar makna sejarah sosial budaya
masyarakat Dayak Ngaju di Buntoi dapat dimengerti dan dapat dilakukan usaha
konservasi yang benar untuk pelestariannya.

Gambar 3.6. Perubahan Pola Ruang Huma Gantung a. (1870-1900) b. (1900-1920) c. kini
(Sumber : Narasumber Liuk Laga dan Ardiles H Jangga, 2011)

5. Penutup
Karya seni arsitektur yang hadir dari tradisi suku Dayak Ngaju berupa rumah betang
memiliki makna dan simbol yang merupakan sumber inspirasi bagi arsitekIndonesia.
Rumah betang Toyoi dan Huma Gantung Buntoi merupakan karya seni arsitektur
Dayak Ngaju yang dalam penciptaannya memiliki simbol dan makna yang tersirat
dari ungkapan (expression) masyarakatnya. Dayak Ngaju memiliki kekayaan
(heritage) dalam seni bangunan dan keseniannya, seni yang tercipta dari agama dan
budayanya, benda seni yang memiliki ruh, dan nilai estetika yang tinggi, dan juga
merupakan peninggalan sejarah yang bermakna tinggi dalam perjalanan kehidupan
leluhur dan kebudayaan masyarakatnya.

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 33


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

Perlu digarisbawahi faktor-faktor penyebab perubahan yang terjadi pada komplek


betang Toyoi dan Huma Gantung Buntoi secara umum, meliputi: perubahan tuntutan
penghuni; Perubahan adat dan tradisi setempat, dengan hilangnya kebiasaan
berkumpul seperti pesta adat dan ritual tiwah; Perubahan kondisi lingkungan fisik,
dengan adanya erosi dari Sungai Kahayan; dan perubahan bentuk elemen bangunan
betang, baik bentuk maupun bahan yang dipakai. Perubahan yang terjadi disebabkan
karena adanya perubahan fungsi dan tuntutan penghuni serta adanya akulturasi
budaya.
Oleh karena itu, karya seni arsitektur betang ini perlu dilestarikan agaranak cucu kita
tetap dapat menceritakan kehidupan Suku Dayak Ngaju yang begitu dekat dengan
alam, dan menghargai alam, dan juga meyakini kebesaran Tuhan.Fungsi lainnya
sebagai perekam (dokumentasi) sejarah dan kearifan leluhur (local wisdom) yang
ditinggalkan dapat kita lanjutkan sebagaimanamelanjutkan semangat leluhur.
Pemahaman akan karya seni arsitektur yang dihasil suku Dayak Ngaju berupa rumah
betang sangat di perlukan guna memperluas pengetahuan sejarah, dan menjaga
Daya, Simbol yang bermakna dan estetika sebagai karya adiluhung yang hadir di
kehidupan masyarakat Dayak Ngaju.

Ucapan Terimakasih:
Tulisan paper ini dapat selesai tepat pada waktunya karena bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua
Laboratorium Arsitektur Dayak, Prodi Arsitektur, Universitas Palangkaraya,
Mahasiswa Arsitektur Universitas Palangkaraya angkatan 2009, 2010 dan Angkatan
2011, terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh Bapak Dekan Fakultas
Teknik, Universitas Palangkaraya,untuk memberikan support kepada penulis dalam
mempresentasikan paper ini di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta dan
terima kasih kepada Bapak Ir. Syahrozi, MT.,atas diskusi yang telah dilakukan
selama pelaksanaan penelitian ini.

DaftarPustaka.
Bacon, Edmun (1967, 1975). Design of Cities, London: Thames and Hudson
Haryadi dan Setiawan (2010). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku: Suatu Pengantar
ke Teori, Metodologi dan Aplikasi, Gadjah Mada University Press.

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 34


Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan, Vol.1, No. 2, September 2014

Hiller, B dan Hanson, J (1984). The Social Logic of Space, Cambridge: Cambridge
University Press.
Madanipour (1996). Design of Urban space: An Inquiry Into Socio-Spatial Process,
Chichester: John Wiley and Sons.
Oliver, Paul (1987). Dwelling The House Across The World, UK: Phaidon Press
Limited, Oxford
Rapoport, Amos (1977). Human Aspects of Urban Form: Towards A Nonverbal
Communication Approach to Urban Form and Culture, New Jersey: Prentice
Hall.
Nueweinhuis, (1894) Perjalanan dari Barat ke Timur. Dalam Koentjaraningrat
menjelaskan bahwa pertemuan adapt Tumbang Anoi sebagai tonggak sejarah
suku dayak yang ada di Pedalaman Pulau Kalimantan untuk berdamai.
Rasmussen, S. E. (1964). Experiencing Architecture. Cambridge: The MIT Press.
Riwut, T (1979). Kalimantan Membangun, Percetakan Negara. Jakarta.
Sellato, Bernard (1989). Hornbill and Dragon. Periplus, Singapore.
Sumalyo,Yulianto (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Noor Hamidah & Tatau Wijaya Garib / Hal 19-35 35

Anda mungkin juga menyukai