2, September 2014
(nhamidah04@gmail.com;tatauw@yahoo.com)
Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Palangka Raya
Abstrak :
1
Staf pengajar di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Palangkaraya
2
Mahasiswa S3, di Jurusan Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
1. Pendahuluan
Salah satu kekhususan Indonesia adalah lingkungan alamnya yang
merupakan kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari sekitar 17.508 pulau yang
membentang sepanjang 5.210 km dari timur ke barat dan dihuni oleh sekitar 300
suku bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Terdiri dari 33 propinsi dengan keaneka-
ragaman sifat lingkungannya dan terdapat berbagai tempat permukiman pedalaman
yang penduduknya lebih berorientasi dan mempunyai akses ke daerah
pedalamannya, antara lain melalui sungai-sungai yang menghubungkan penduduk di
hulu dan hilir sungai, seperti masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Kubu
di Sumatera. (Indonesia Heritage, 1992).
Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam merupakan
keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan alami di
Indonesia secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari
banyaknya suku bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber
daya alam yang berbeda-beda. Kesemuanya itu terwujud dalam keaneka ragaman
sifat permukiman, dari yang modern dengan heterogenitas dan pertumbuhan tinggi
sebagaimana ibukota Jakarta, sampai pada permukiman dari suku-suku terasing dan
kehidupan tradisional tetap bertahan tidak tersentuh oleh perubahan. Kemampuan
permukiman itu untuk berlanjut berbeda-beda dan perkembangannya akan memiliki
makna berbeda karena tempat yang berbeda. (Indonesia Heritage, 1992). Tautan
lingkungan alami tercermin melalui karakteristik fisik ini merupakan sifat alami,
dimana sungai memiliki keunikan lingkungan berwujud permukiman tradisional
sebagai respon sifat lingkungannya. Permukiman tradisional masyarakat Indonesia
ditinjau dari segi historis banyak berada di daerah aliran sungai karena akses
transportasi. Akses Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan karakteristik
permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya suatu kota,
selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.
Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh kota di Indonesia yang memiliki
pola permukimann terletak di tepian sungai-sungai besar. Permukiman ini dikenal
dengan nama Betang artinya Rumah Panjang merupakan rumah tinggal tradisional
masyarakat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Betang mempunyai nilai historis dan
sakral merupakan bentuk permukiman awal dan mata rantai kebudayaan masa
lampau, kini dan masa mendatang. Betang berlokasi di sepanjang Daerah Aliran
Sungai Kapuas, Kahayan, Barito, Mentaya dan Katingan. Betang merupakan cikal
bakal proses perkembangan kota-kota di Kalimantan Tengah (Riwut, 1979). Betang
dalam penelitian ini mengangkat dua studi kasus yaitu Betang Buntoi dikenal dengan
Huma Gantung Buntoi merupakan pecahan betang terletak di Desa Buntoi,
Kabupaten Pulang Pisau, dan Betang Toyoi terletak di Kabupaten Gunung Mas,
Provinsi Kalimantan Tengah. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah:
bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor dominan dalam filosofi rumah Betang, ditinjau
dari: (1) sejarah perkembangan Betang (sepanjang DAS) (2) elemen bangunan; dan (3) pola
ruang dan lingkungan. Sedangkan tujuan dari tulisan ini ialah mampu mengevaluasi faktor-
faktor dominan dalam filosofi rumahBetang baik Betang Tumbang Anoi maupun Huma
Gantung Buntoi, melalui: (1) sejarah perkembangan Betang (sepanjang DAS) (2) elemen
bangunan; dan (3) pola ruang dan lingkungan yang terekam dalam gambar dan sketsa
melalui time series mengenai perubahan bentuk ruang dan elemen bangunannya.
2. Kajian Pustaka
A. Arsitektur Vernakular
Kajian arsitektur filosofi rumah Betang mengacu pada teori arsitektur
vernakular. Definisi vernakular menunjukkan pada sesuatu yang asli, etnik, rakyat
dan arsitektur tradisional. Istilah Vernakular dalam arsitektur mengidentifikasikan
pada bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan, termasuk
iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak, denah,
struktur, detail-detail, ornamen, dan sebagainya) (sumalyo, 1993).
Vernacular is comparising the dwellings and all other buildings of the people.
Related to their environmental contexts and available researches they are
costumarily owner or community-built, utilizing traditional technologies. All form of
vernacular architecture are built to meet a specific needs, acommodating the values,
economies and ways of life of the cultures that pruduces them (Oliver, P, 1987)
Essensi arsitektur vernakular seperti yang ditulis oleh Oliver, P (1987)
mengacu pada arsitektur kerakyatan, seperti bentuk rumah-rumah tradisional,
shelter, indegenious architecture, non formal architecture, spontaneous architecture,
folk architecture atau traditional architecture menunjuk pada arsitektur asli, etnik,
dan arsitektur tradisional. Cerminan arsitektur vernakular dapat dilihat pada uraian
Oliver, P (1987) yaitu dialog manusia dengan lingkungan, tanggap terhadap
lingkungan, keterbatasan material, budaya, dan teknologi, serta konteks relasi sosial.
Keberadaan lingkungan dan arsitektur bangunan selalu terlingkupi faktor lingkungan
fisik dan sosial-budaya karena lahir di dalam jejaring kehidupan manusia. (Oliver,
P, 1987: Leach, 1997).
Permukiman vernakular mempertimbangkan kondisi-kondisi fisik yang
melingkupinya selain unsur-unsur ekonomi sosial-budaya-religi dan berpengaruh
terhadap karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat ialah kebutuhan manusia pada
lingkungan budaya. Struktur sosial mempengaruhi karakter khusus pada hunian,
permukiman, desa dari lingkungan budaya yang berbeda. Tradisi ritual suatu
masyarakat mempengaruhi organisasi spasial di suatu desa. Demikian juga tradisi
perkawinan dan tradisi-tradisi lain, berpengaruh pada tata letak dan pengembangan
desa-desa suatu masyarakat. Ciri spesifik pada sosial masyarakat akan menghasilkan
arsitektur vernakular seperti bangunan, permukiman, desa yang spesifik pula (Oliver,
P, 1987).
Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya
dan memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk antara
manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial/keruangan
dipisahkan dan disatukan oleh ruang. Oleh karena itu, karakteristik sosial dan budaya
suatu lingkungan tercermin didalam tatanan sosialnya. Ruang ialah ruang tiga
dimensi yang mengelilingi manusia, relasi antara elemen-elemen didalamnya
membentuk tatanan tertentu yang disebut organisasi spasial (Rapoport, 1977:
Haryadi dan Setiawan, 2010). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan
ruang, dimana space sebagai aspek permukaan, dan spatial sebagai struktur
didalamnya, yang mencerminkan karakteristik space (Bacon, E., 1967: Hiller, 1989).
Ruang selalu terkait realistis manusia dan kehidupannya dimana manusia terhadap
artefak-artefak, membentuk „spasial budaya‟. Spasial budaya ialah tatanan ruang
tertentu yang mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak berdasarkan prinsip
tatanan sosial. Relasi bolak-balik antara tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial,
mencerminkan bahwa pada momen tertentu tatanan spasial dipengaruhi oleh tatanan
sosial, begitu pula sebaliknya.
Manusia sangat mencerminkan keunikan suatu bangunan, permukiman dan
desa, khususpada arsitektur permukiman vernakular. Keunikan tercermin dari cara
manusia berperilaku terhadap lingkungan yang menjadi ruang kehidupan manusia
(Madanipour, 1996). Perilaku me-ruang manusia mempunyai sistem tertentu, dan
berpengaruh terhadap tatanan spasial yang terbentuk sebagai wadah kehidupannya
(Waterson, R, 1990). Perbedaan individu, kelompok, dan masyarakat, menghasilkan
konsep dan wujud yang berbeda (Rapoport, 1969: Haryadi dan Setiawan, 2010).
Bentukan lingkungan merupakan hasil pikiran dan perilaku manusia. Setiap
kelompok etnis memiliki image yang khas tentang lingkungannya, karena perilaku
masing-masing etnis juga khas. Bentukan lingkungan tidak hanya disebabkan kondisi
iklim dan lingkungan yang unik, tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri.
B. Permukiman
Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal, yang sifatnya sementara
maupun menetap. Tempat tinggal atau tempat kediaman secara umum disebut
permukiman dan secara khusus disebut sebagai bangunan rumah (Hudson dan
Hammond, 1979). Permukiman menurut Barlow dan Newton (1971) mengacu ke arti
kolonisasi di suatu daerah baru dengan proses pemindahan penduduk, dan
permukiman yang mengacu pada arti kelompok-kelompok bangunan rumah tempat
tinggal manusia yang dibedakan ke dalam dukuh (dusun), desa, kota kecil, dan kota
besar. Selanjutnya Barlow dan Newton (1971) mengemukakan istilah permukiman
(settlement) adalah semua tipe tempat tinggal manusia baik berupa gubuk atau
pondok tunggal beratap dedaunan atau rumah-rumah di perladangan hingga kota
yang sangat besar dengan ribuan bangunan atau ribuan rumah tempat tinggal.
Permukiman ialah sebagai wadah kehidupan manusia, bukan hanya
menyangkut aspek teknis dan fisik saja, tetapi juga juga menyangkut aspek sosial,
ekonomi dan budaya dari penghuninya. Sedangkan Rapoport (1977) mendefinisikan
permukiman (settlement) pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah dimana
penduduk (pemukim) tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan usaha,
jaman. Hal spesifik tersebut adalah keunikan, kelangkaan, kejamakan dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan makna kultural dari masyarakat termasuk didalamnya
religi. Kenyataan yang ada kesadaran dan motivasi kita sering terlambat untuk
menilai sebuah karya arsitektur yang mempunyai nilai ini. Bangunan sudah terlanjur
hancur ataupun telah berubah sama sekali sehingga sangat sulit untuk ditelusuri
bentuk awal yang sebenarnya.
C. Arsitektur Betang
Betang atau Huma atau Lamin artinya Rumah Panjang merupakan rumah
tinggal tradisional masyarakat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Betang
mempunyai nilai historis dan sakral merupakan bentuk permukiman awal dan mata
rantai kebudayaan masa lampau, kini dan masa mendatang. Betang berlokasi di
sepanjang Daerah Aliran Sungai Kapuas, Kahayan, Barito, Mentaya dan Katingan.
Betang merupakan cikal bakal proses perkembangan kota-kota di Kalimantan
Tengah (Riwut, 1979). Betang dalam penelitian ini mengangkat dua studi kasus yaitu
BetangBuntoi dikenal dengan Huma Gantung Buntoi (1897) merupakan pecahan
betang terletak di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau, dan Betang Toyoi (Antara
abad 17 sampai 18 M) terletak di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan
Tengah.
Pada awalnya Betang merupakan pemukiman tradisional masyarakat Dayak
disebut pemukiman keluarga, terdiri dari satu buah rumah induk dan beberapa
bangunan pelengkap lain seperti sandong (tempat tulang), pasah lisu (tempat
lesung), pasah parei (lumbung padi), pasah pali (tempat pemujaan), serta kandang
ternak. Rumah induk merupakan bangunan terbesar berada di tengah-tengah kavling
yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan kecil lainnya. Halaman depan memiliki
luasan yang besar sebagai kegiatan upacara-upacara adat, areal bermain, serta
kegiatan berkumpul lainnya. Komplek pemukiman masyarakat tradisional tepi
sungai memiliki orientasi menghadap sungai sehingga membentuk pola linear dari
kampung. Terdapat tiga hal mendasar pandangan masyarakat Dayak Ngaju pada
keberadaan sungai:
3. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan
penelitian kualitatif (A qualitative Exploratory Research). Pengumpulan data secara
naturalistik, sedangkan teknik analisa secara induktif. Data-data diperoleh
melaluiekplorasi data lapangan (field observation)mengenai nilai historis dan filosofi
bangunan betang dengan caraliterature review, survei, wawancara dan identifikasi
potensi permukiman Betang di sepanjang DAS Kahayan dan Kapuas.Penelitian ini
mengangkat dua studi kasus yaitu Betang Buntoi dikenal dengan Huma Gantung
Buntoi merupakan pecahan betang terletak di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau,
dan Betang Toyoi terletak di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah
yang merupakan awal permukiman tradisional, sedangkan transportasi sungai
merupakan potensi Geografi yang dimiliki Kalimantan Tengah. Oleh karena itu
kajian ini menggunakan berbagai kepustakaan untuk mengetahui filosofi dan konsep
pola ruang serta perubahan melalui kajian spasial keruangan dan sosial-budaya
permukiman Betang, khususnya Betang Toyoi dan Huma Gantung Buntoi di
Kalimantan Tengah.
4. Analisa dan Pembahasan
A. Betang Toyoi, Desa Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas
A1. Sejarah
Betang Toyoipada Gambar 3.1. dibangun oleh Temanggung Runjan,pada
tanggal 15 Maret 1868 secara gotong royong,perkakas atau alat yang digunakan pada
saat itu untuk membangun betang ini sangat sederhana sekali, hanya memakai
parang, beliung dan pahat saja. Karena hanya itulah peralatan yang ada pada masa
itu di daerah ini. Dapat di katakan bahwa rumah betang ini di bangun hanya dengan
berdasarkan tekad dan kemauan hati yang keras dan dengan kecerdasan
memanfaatkan kekayaan alam setempat. Sebagai salah satu bangunan pertama Desa
Tumbang Anoi, Betang(dalam bahasa Ot Danum Behtang) ialah rumah yang
memiliki banyak keistimewaan yang berbeda dari rumah-rumah yang ada di desa
tersebut. Rumah betang ini terkenal karena pernah digunakan untuk
menyelenggarakan rapat perdamaian antara suku-suku Dayak se-Kalimantan yang
saling bertikai pada kurun waktu abad 17-18 yang dikenal dengan ”Rapat Damai
Tumbang Anoi”(Riwut, 1979).Sisi historikal Betang Toyoi, kini keberadaannya
hanya tersisa papan nama saja seperti terlihat pada Gambar 1, sedangkan bangunan
aslinya sudah hancur hanya tersisa tiang-tiang bangunannya (jihi) sebagai essensi
historis sebuah objek bersejarah.
Gambar 3.1. Papan Nama Situs Sejarah Betang Toyoi, di Desa Tumbang Anoi
A2. Elemen Bangunan Betang
(Sumber: Data Observasi, 2011)
Sebuah karya besar dalam dunia arsitektur tidak bisa diartikan secara sederhana
dengan bentuk dan wujud yang memiliki ukuran besar. Apalagi pada masa sekarang
dengan perkembangan teknologi konstruksi yang memungkinkan pembangunan
dengan skala besar dan raksasa, ukuran besar menjadi relatif. Besar untuk masa lalu
menjadi kecil dan hampir tak nampak untuk saat sekarang.Namun demikian dalam
dunia arsitektur, kebesaran sebuah karya tidak dilihat sebatas ukuran akan tetapi ada
yang hal spesifik yang tidak mungkin luntur karena perkembangan jaman. Hal
spesifik tersebut adalah keunikan, kelangkaan, kejamakan dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan makna kultural dari masyarakat termasuk didalamnya religi.
Kenyataan yang ada kesadaran dan motivasi kita sering terlambat untuk menilai
sebuah karya arsitektur yang mempunyai nilai ini. Bangunan sudah terlanjur hancur
ataupun telah berubah sama sekali sehingga sangat sulit untuk ditelusuri bentuk awal
yang sebenarnya. Hal ini pula yang terjadi pada Betang Toyoi di Desa Tumbang
Anoi seperti yang terlihat pada Gambar 3.2. merupakan salah satu bangunan betang
yang pertama di Kalimantan Tengah, maka sangat disayangkan jika saksi bisu dari
peristiwa bersejarah tersebut rusak/hancur dan tidak dapat difungsikan dengan baik
secara arsitektural
Bahan dan Alat
Keterbatasan teknologi dan alat membatasi bentuk yang muncul pada bangunan
tradisional. Bentuk-bentuk yang yang ada terkurung oleh bentuk dasar bahan kayu,
namun disanalah tersirat makna keeksotisan yang menjadi ciri bangunan tradisional.
Sebuah komposisi sederhana namun tetap berbalutkan citra dan nuansa estetika yang
bersimbiosis dengan alamnya.
Komposisi Betang Tumbang Toyoi dapat di jelaskan sebagai berikut:
Gambar 3.2. Betang Toyoi, di desa Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas
(Sumber: Data observasi lapangan, 2011)
Etnik
Atmosfir etnik tetap terasa sangat mengikat Meski komposisi arsitektural yang ada
kini hanya berupa irama jihi. Irama ini memberikan gambaran keharmonisan antara
sebuah arsitektur tradisional dan
Gambar 3.3. Pola ruang rumah betang mengikuti irama prosesi upacara tiwah
(Sumber: Hasil analisa, 2011)
tipe rumah tradisional Dayak, di Desa Buntoi Kabupaten" Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah. Huma Gantung di Buntoi ini pada masa lalu pernah dihuni oleh seorang
kepala adat bergelar Singa (Singa Jalla) yang masih taat pada adat dan tradisi lama.
Kondisi lingkungan Buntoi yang belum aman menyebabkan lingkungan Huma
Gantung di Buntoi tertutup pagar tinggi yang disebut Bakota sebagai usaha proteksi
terhadap serangan musuh dari luar. Adanya perubahan pada tuntutan penghuni, adat
dan tradisi serta kondisi lingkungan yang berangsur aman menyebabkan perubahan
besar pada bentuk Huma Gantung di Buntoi. Banyak dari elemen bangunan Huma
Gantung yang hilang atau berubah fungsi karena adanya tuntutan dari penghuni.
Usaha penelusuran bentuk awal Huma Gantung di Buntoi agar makna sejarah sosial
budaya masyarakat Dayak Ngaju di Buntoi dapat dimengerti dan dapat dilakukan
usaha konservasi yang benar untuk pelestariannya.
6. Dermaga (Lanting).
pada masa lalu pernah dihuni oleh seorang kepala adat bergelar Singa (Singa Jalla)
yang masih taat pada adat dan tradisi lama. Kondisi lingkungan Buntoi yang belum
aman menyebabkan lingkungan Huma Gantung di Buntoi tertutup pagar tinggi yang
disebut Bakota sebagai usaha proteksi terhadap serangan musuh dari luar. Adanya
perubahan pada tuntutan penghuni, adat dan tradisi serta kondisi lingkungan yang
berangsur aman menyebabkan perubahan besar pada bentuk Huma Gantung di
Buntoi. Banyak dari elemen bangunan Huma Gantung yang hilang atau berubah
fungsi karena adanya tuntutan dari penghuni (Nueweinhuis, 1894). Usaha
penelusuran bentuk awal Huma Gantung di Buntoi agar makna sejarah sosial budaya
masyarakat Dayak Ngaju di Buntoi dapat dimengerti dan dapat dilakukan usaha
konservasi yang benar untuk pelestariannya.
Gambar 3.6. Perubahan Pola Ruang Huma Gantung a. (1870-1900) b. (1900-1920) c. kini
(Sumber : Narasumber Liuk Laga dan Ardiles H Jangga, 2011)
5. Penutup
Karya seni arsitektur yang hadir dari tradisi suku Dayak Ngaju berupa rumah betang
memiliki makna dan simbol yang merupakan sumber inspirasi bagi arsitekIndonesia.
Rumah betang Toyoi dan Huma Gantung Buntoi merupakan karya seni arsitektur
Dayak Ngaju yang dalam penciptaannya memiliki simbol dan makna yang tersirat
dari ungkapan (expression) masyarakatnya. Dayak Ngaju memiliki kekayaan
(heritage) dalam seni bangunan dan keseniannya, seni yang tercipta dari agama dan
budayanya, benda seni yang memiliki ruh, dan nilai estetika yang tinggi, dan juga
merupakan peninggalan sejarah yang bermakna tinggi dalam perjalanan kehidupan
leluhur dan kebudayaan masyarakatnya.
Ucapan Terimakasih:
Tulisan paper ini dapat selesai tepat pada waktunya karena bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua
Laboratorium Arsitektur Dayak, Prodi Arsitektur, Universitas Palangkaraya,
Mahasiswa Arsitektur Universitas Palangkaraya angkatan 2009, 2010 dan Angkatan
2011, terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh Bapak Dekan Fakultas
Teknik, Universitas Palangkaraya,untuk memberikan support kepada penulis dalam
mempresentasikan paper ini di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta dan
terima kasih kepada Bapak Ir. Syahrozi, MT.,atas diskusi yang telah dilakukan
selama pelaksanaan penelitian ini.
DaftarPustaka.
Bacon, Edmun (1967, 1975). Design of Cities, London: Thames and Hudson
Haryadi dan Setiawan (2010). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku: Suatu Pengantar
ke Teori, Metodologi dan Aplikasi, Gadjah Mada University Press.
Hiller, B dan Hanson, J (1984). The Social Logic of Space, Cambridge: Cambridge
University Press.
Madanipour (1996). Design of Urban space: An Inquiry Into Socio-Spatial Process,
Chichester: John Wiley and Sons.
Oliver, Paul (1987). Dwelling The House Across The World, UK: Phaidon Press
Limited, Oxford
Rapoport, Amos (1977). Human Aspects of Urban Form: Towards A Nonverbal
Communication Approach to Urban Form and Culture, New Jersey: Prentice
Hall.
Nueweinhuis, (1894) Perjalanan dari Barat ke Timur. Dalam Koentjaraningrat
menjelaskan bahwa pertemuan adapt Tumbang Anoi sebagai tonggak sejarah
suku dayak yang ada di Pedalaman Pulau Kalimantan untuk berdamai.
Rasmussen, S. E. (1964). Experiencing Architecture. Cambridge: The MIT Press.
Riwut, T (1979). Kalimantan Membangun, Percetakan Negara. Jakarta.
Sellato, Bernard (1989). Hornbill and Dragon. Periplus, Singapore.
Sumalyo,Yulianto (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.