Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakterisktik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-keduanya. Insulin merupakan hormon yang menurunkan
kadar glukosa darah, dibentuk oleh sel-sel beta pulau Langerhans pankreas. Insulin
di dalam sel-sel tersebut menimbulkan efek seperti menstimulasi penyimpanan
glukosa dalam hati dan otot (dalam bentuk glikogen), meningkatkan penyimpanan
lemak dari makanan dalam jaringan adiposa dan mempercepat pengangkutan asam
amino (yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel.

2.2 Klasifikasi Diabetes

Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) terdapat 4 klasifikasi Diabetes


Melitus, yaitu:
1. Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen
insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens
diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan lebih sering
ternyata pada usia remaja. Diabetes tipe 1 dapat dibagi dalam dua subtype:
(a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan
(b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya.
Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan
Asia. Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus
atau faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin di
pankreas (Merck, 2008).
2. Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas
dan tipe nondepeden insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus
baru setiap tahunnya. Pada penderita Diabetes tipe 2 ini tidak ada kerusakan
pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang-
kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh penderita
resisten terhadap efek insulin, sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini sering terjadi pada dewasa
yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum dengan
peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe
2.
3. Diabetes gestational (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM
adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat
diabetes gestational terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai
hormone yang mempunyai efek metabolic terhadap toleransi glukosa, maka
kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik. Pasien-pasien yang
mempunyai predisposisi diabetes secara genetic mungkin akan
memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada
kehamilan. Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan
adalah kriteria yang diusulkan oleh O’Sullivan dan Manhan (1973).
Menurut kriteria ini, GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut
ini ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75g glukosa oral (puasa)
105 mg/dl; 1 jam, 190mg/dl; 2 jam, 165mg/dl; 3 jam, 145mg/dl. Pengenalan
diabetes seperti ini penting karena penderita berisiko tinggi terhadap
morbiditas dan mortalitas perinatal yang mempunyai frekuensi kematian
janin viable yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil harus
menjalani penapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 24 hingga 28
minggu.
4. Diabetes tipe khusus lain adalah (a) kelaian genetik dalam sel beta seperti
yang dikenali pada MODY. Diabetes subtype ini memiliki prevalensi
familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien
seringkali obesitas dan resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah
dikenali dengan baik dalam empat bentuk mutase dan fenotif yang berbeda
(MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4) ; (b) kelainan genetik pada kerja
insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan akantosis
negrikans; (c) penyakit pada eksokrin panckreas menyebabkan pankreatitis
kronik; (d) penyakit endokrin seperti sindrom Cushing dan akromegali; (e)
obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta; dan (f) infeksi.

2.3 Etiologi Diabetes


Etiologi diabetes melitus tipe 2 ini muncul akibat interaksi kompleks antara
lingkungan dan faktor genetik. Penyakit ini berkembang ketika gaya hidup yang
diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, pengeluaran kalori yang inadekuat,
obesitas) dibebankan kepada genotype yang rentan. Peranan genetic dalam diabetes
sangat kompleks dan belum sepenuhnya di mengerti. Studi mengatakan
keterlibatan beberapa gen dalam kegagalan sel beta pancreas dan insulin resisten.
Indeks massa tubuh (BMI) juga memainkan peranan dimana kelebihan berat
badan akan meningkatkan risiko untuk terjadinya diabetes, bervariasi dengan
perbedaan kelompok ras. Sebagai contoh, dibandingkan dengan ras Eropa, ras Asia
memiliki peningkatan risiko untuk terjadinya diabetes pada tingkat yang lebih
rendah dari kelebihan berat badan. Hipertensi dan Prehipertensi merupakan faktor
risiko untuk berkembang menjadi diabetes yang lebih banyak ditemukan pada
orang kulit putih daripada Afrika- Amerika.Sebagai tambahan berat badan lahir
rendah merupakan predisposisi pada beberapa individu untuk berkembang menjadi
diabetes.
Sekitar 90% pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2 mengalami obesitas.
Namun sebuah prospektif studi dilakukan pada populasi yang besar menunjukan
hasil bahwa diet tinggi kalori mungkin menjadi faktor risiko untuk terjadinya
diabetes, yang mana hal ini berbeda dari obesitas. Diabetes sekunder mungkin
terjadi pada pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid atau ketika pasien dalam
keadaan antagonis dari aksi insulin (Sindrom cushing, akromegali,
pheochromocytoma)
Faktor risiko utama dari diabetes melitus tipe 2 ini adalah, sebagai berikut:
 Umur diatas 45 tahun
 Berat badan yang berlebihan
 Riwayat keluarga tingkat pertama yang memiliki diabetes ( orang tua
atau saudara)
 Hipertensi (140/90 mm Hg) atau dislipidemia ( kadar HDL Kolestrol <
40 mg/dl atau kadar trigliserida > 150 mg/dl)
 Hispanik, penduduk asli Amerika, Afrika, Amerika Asia, atau Penduduk
Kepulauan Pasifik
 Riwayat gangguan toleransi glukosa atau gula darah puasa
 Riwayat dibetes gestational atau melahirkan bayi lebih dari 4 kg
 Polycystic ovarian sindrom

2.4 Epidemiologi diabetes


Diabetes tipe 2 terjadi kebanyakan pada orang dewasa yang berumur diatas
40 tahun atau lebih tua, dan prevalensi penyakit ini meningkat sering bertambahnya
usia. Memang, semakin bertambah tua suatu populasi merupakan suatu alasan
bahwa diabetes melitus tipe 2 menjadi semakin umum. Pada hakikatnya semua
kasus diabetes yang terjadi pada individu yang lebih tua merupakan penderita
diabetes melitus tipe 2.
Usia sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah,
sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi
glukosa semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun
mengakibatkan perubahan
anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut
pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ, yang dapat mempengaruhi
fungsi homeostasis.
Pada tahun 2017 pusat control penyakit dan pencegahan (CDC) melaporkan
diperkirakan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 2015, 30.3 juta jiwa dari
berbagai umur atau sekitar 9.4% dari total populasi, menderita diabetes dan 84.1
juta jiwa dewasa (sekitar 33.9% dari populasi dewasa) menderita prediabetes.
Prediabetes, didefinisakan oleh American Diabetes Association ( ADA)
adalah keadaan dimana terjadi peningkata glukosa darah diatas normal namun tidak
terlalu tinggi untuk di diagnosis menjadi diabetes. Diduga bahwa kebayakan
individu dengan prediabetes selanjutkan akan berkembang menjadi diabetes. Pada
tahun 2015, berdasarkan laporan CDC, 23.1 juta jiwa ( usia 65 atau lebih) mengidap
prediabetes.
Diabetes melitus tipe 2 kurang umum terjadi di negara-negara non barat
dimana pemasukan kalori lebih sedikit dan pengeluaran harian kalori yang lebih
banyak. Namun, seiring manusia mengadopsi gaya hidup barat, terjadi peningktan
berat badan dan diabetes melitus tipe 2 hampir menjadi epidemi. Peningkatan
penderita diabetes terjadi di seluruh dunia. International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi bahwa penderita diabetes akan meningkat dari 366 juta pada tahun
2011 menjadi 552 juta di tahun 2030. Di amerika sendiri, prevalensi yang
terdiagnosis diabetes meningkat 2 kali lipat dari 3 dekade sebelumnya, sebagian
besar karena obesitas.
10 negara dengan penderita diabetes terbanyak saat ini adalah India, China,
Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Russia, Brazil, Italy, dan
Bangladesh. Di Indoensia sendiri, menurut Rikesdas unutk penderita diabetes
terjadi peningkatan dari 1,1 % pada tahun 2007 menjadi 2,1 % pada tahun 2013.
Berdasarkan data IDF 2014, saaat ini perkirakan 9,1 juta orang penduduk
didiagnosis sebagai penyandang diabetes. Dengan angka tersebut Indonesia
menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data IDF
tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang
penyadang diabetes.

2.5 Manifetasi Klinis


Menurut Price and Wilson (2006), manifestasi klinis DM dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien dengan defisiensi insulin tidak
dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi
glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi
ambang ginjal untuk zat ini, maka akan akan menimbulkan glukosa. Glukosa ini
akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine
(poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine,
maka pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang .
rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalor. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, poliuria, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi
selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan
timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan
segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan
umumnya penderita peka terhadap insulin.
Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada
hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia,
poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis
karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis.
Apabila terjadi hiperglikemia berat dan pasien berespon terhadap terapi diet, atau
terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk
menormalkan kadar darahnya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan
sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin
berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk
mempertahankan kadar glukosa darah normal (Price and Wilson,2006).

2.6 Fisiologi insulin


Pertama-tama yang dibahas secara singkat adalah metabolisme insulin
normal karena banyak aspek dalam pengeluaran dan kerja insulin yang penting
untuk dipertimbangkan dalam patofisiologi diabetes melitus
Gen insulin diekpresikan pada sel beta islet pancreas, tempat insulin
disintesis dan disimpan dalam granula sebelum dikeluarkan. Pengeluaran dari sel
beta berlangsung dalam suatu proses bifasik yang melibatkan dua simpanan insulin.
Peningkatan kadar glukosa darah mendorong pelepasan segera insulin, yang
diperkirakan berasal dari simpanan pada granula sel beta. Jika rangangan sekretorik
tersebut berlanjut, timbul respon tipe lambat dan berkepanjangan yang melibatkan
sintesis aktif insulin. Rangsangan terpenting yang memicu pengeluaran glukosa
adalah insulin, yang juga memacu sintesis insulin. Perubahan dalam metabolism
intrasel yang dipicu oleh glukosa ini, disertai input kolinergik normal dari sistem
saraf otonom, meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta. Zat lain, termasuk
hormone usus dan asam amino tertentu (leusin dan arginine), serta sulfonylurea,
merangsang pengeluaran insulin, tetapi tidak sintesisnya.
Insulin adalah hormone anabolic utama. Insulin diperlukan untuk (1)
pengangkutan glukosa dan asam amino melewati membran, (2) pembentukan
glikogen dalam hati dan otot rangka, (3) perubahan glukosa menjadi trigliserida, (4)
sintesis asam nukleat, dan (5) sintesis protein. Fungsi metabolik utamanya adalah
meningkatkan laju pemasukan glukosa ke dalam sel tertentu di tubuh. Sel tersebut
adalah sel otot serat lintang,termasuk ke sel miokardium;fibroblast;dan sel lemak,
yang secara kolektif mewakili sekitar dua pertiga dari seluruh berat tubuh
Insulin bereaksi dengan sel sasarannya mula-mula dengan berikatan dengan
reseptor insulin; jumlah dan fungsi reseptor ini penting untuk mengendalikan kerja
insulin. Reseptor insulin adalah suatu tirosin kinase yang memicu sejumlah respons
intrasel yang mempengaruhi jalur metabolisme. Salah satu respon dini yang penting
terhadap insulin adalah tranlokasi glucose transport unit (GLUTs, yang memiliki
banyak tipe spesifik - jaringan) dari apparatus golgi ke membrane plasma, yang
mempermudah penyerapan glukosa oleh sel. Oleh karena itu, hasil utama dari kerja
insulin adalah dibersihkannya glukosa dari sirkulasi.
Gambaran terpenting pada diabetes melitus adalah gangguan toleransi
glukosa. Hal ini dapat terungkap dengan uji toleransi glukosa oral yangmemeriksa
kadar glukosa darah setelah puasa semalam, dan kemudian beberapa menit sampai
jam setelah pemberian glukosa per oral. Pada orang normal, kadar glukosa darah
hanya sedikit meningkat, dan respons insulin oleh pancreas berlangsung cepat yang
memastikan pulihnya kadar ke tingkat normoglikemik dalam satu jam. Pada
pengidap diabetes dan pada mereka yang berada pada stadium praklinik,glukosa
darah meningkat ke kadar yang terlalu tinggi secara berkepanjangan. Hal ini dapat
terjadi akibat kekurangan mutlak insulin yang dikeluarkan dari pankreas atau akibat
gangguan respons jaringan sasaran terhadap insulin, atau keduanya.
2.7 Patofisiologi Diabetes
Patofisiologi diabetes menurut Robins (2007) adalah sebagi berikut:

Diabetes Melitus tipe 2


Patofisiologi diabetes tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini
merupakan yang sering di temukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme
atoimun berperan. Gaya hidup jelas berperan, yang akan jelas jika kegemukan
dipertimbangkan. Meskipun dahulu dianggap penyakit orang dewasa, saat ini
timbul kekhawatiran adanya peningkatan epidemic insidensi diabetes tipe ini
pada anak-anak yang kegemukan, terutama diantara mereka yang berkulit
hitam, keturunan Spanyol, Amerika asli, dan Asia.
Pada tipe ini, faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan dengan
pada diabetes tipe 1. Diantara kembar identic, angka concordance adalah 60%
hingga 80%. Pada anggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada
kembar non identic), risiko menderita penyakit ini lima hingga sepuluh kali
lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak
memiliki riwayat penyakit dalm keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe 1,
penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologic
menunjukan bahwa diabetes tipe 2 tamoaknya terjadi akibat sejumlah defek
genetic, masing-masing memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing
juga dipengaruhi oleh lingkungan. Pemindaian genom terhadap pasien dan
anggota keluarga mereka memastikan bahwa tidak ada satupun gen yang
berperan utama dalam kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Saat ini sedang
dilakukan penielitian besar-besaran terhadap beberapa region genomik tempat
keberadaan gen kandidat.
Dua defek metabolic yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan
sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespon
terhadap insulin (resistensi insulin). Peran defek sekresi, dibandingkan dengan
resistensi insulin, masih terus diperdebatkan dan mungkin sebenarnya berbeda-
beda pada pasien yang berbeda dan pada stadium penyakit yang berlainan.
Ganguan sekresi insulin pada Sel Beta. Defek pada sekresi insulin bersifat
samar dan secara kuantitatif kurang berat dibangdingkan dengan yang terjadi
pada diabetes tipe 1. Pada kenyataannya, pada awal perjalanan penyakit, kadar
insulin bahkan mungkin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin.
Namun, kecil kemungkinannya bahwa diabetes tipe 2 hanya disebabkan oleh
resistensi insulin. Pada kasus yang jarang, mutasi di reseptor insulin
menimbulkan resistensi insulin yang parah, yang jauh lebih berat daripada
pasien dengan diabetes tipe 2. Namun, banyak pasien ini mempertahankan
kadar glukosa darah dalam batas normal karena sel beta normal dapat
meningkatkan produksi insulin.
Namun, pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi absolut
insulin yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibandingkan dengan
diabetes tipe 1. Penyebab defisiensi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum
sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan
diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi insulin menyebabkan
peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada
mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap diabetes tipe 2, kompensasi
ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi kehilangan 20% hingga
50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam
sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun, tampaknya terjadi
gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molekular gangguan
sekresi insulin yang dirangang oleh glukosa ini masih belum sepenuhnya
dipahami. Penelitian terakhir menunjukan ada suatu protein mitokondria yang
memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga
menghasilkan panas, bukan ATP). Protein ini, yang disebut uncoupling protein
2 (UCP2), diekspresikan pada sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi
menumpulkan respons insulin, sedangkan kadar yang rendah memperkuatnya.
Oleh karena itu dihipotesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di sel beta
orang dengan diabetes tipe 2 mungkin dapat menjelaskan hilangnya sinyal
glukosa yang khas pada penyakit ini. Banyak perhatian dipusatkan pada
masalah ini, Karena manipulasi terapeutik (untuk menurunkan) kadar UCP2
dapat digunakan untuk megobati diabetes tipe 2.
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2 ini dilaporkan
berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe
2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid,
yang mengedap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pancreas dan
disekresikan bersama insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa.
Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin pada fase awal
diabetes tipe 2 menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian
mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta
mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa.
Yang penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan
menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus diabetes tipe 2
tahap lanjut.
Resistensi Insulin dan Obesitas. Seperti telah dibahas, defisiensi insulin
terjadi belakangan selama perjalanan penyakit diabetes tipe 2; namun,
defisiensi ini tidak cukup besar untuk dapat menjelaskan gangguan metabolik
yang terjadi. Bukti yang ada menunjukan bahwa resistensi insulin merupakan
faktor utama dalam timbulnya diabetes tipe 2.
Sejak permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah suatu
fenomena kompleks yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada
kegemukan dan kehamilan, sensitivitas insulin jaringan sasaran menurun
(walaupun tidak terdapat diabetes), dan kadar insulin serum mungkin
meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin tersebut. Oleh karena itu,
baik obesitas maupun kegemukan, dapat menyebabkan terungkapnya diabetes
tipe 2 subklinis dengan meningkatkan resistensi insulin ke suatu tahap yang
tidak lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.
Dasar selular dan molekular resistensi insukin masih belum sepenuhnya
dimengerti. Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin; jaringan lemak dan otot;
di kedua jaringan tersebut insulin meningkatkan penyerapan glukosa, dan hati,
tempat insulin menekan produksi glukosa. Seperti telah dibicarakan, insulin
bekerja pada sasaran pertama-tama berikatan dengan reseptornya. Pengaktifan
reseptor insulin memicu serangkaian respons intra sel yang memengaruhi jalur
metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transport glukosa ke membrane
sel yang memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi insulin
dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal
(pascareseptor) yang diaktifkan oleh pengikatan isnulin ke reseptornya. Pada
diabetes tipe 2, jarang terjadi defek kualitatif atau kuantitatif dalam reseptor
insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan
dalam pembentukan sinyal pascareseptor.
Untuk memahami daar resistensi insulin, perlu ditekankan adanya hubungan
antara kegemukan dan diabetes tipe 2. Seperti yang telah dinyatakan, obesitas
berkaitan dengan resistensi insulin walupun tidak terdapat diabetes. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor
risiko lingkungan yang penting dalam pathogenesis diabetes tipe 2, dan
diperkiraka berperan penting dalam meningkatnya insidensi diabetes bentuk
ini pada anak. Untungnya, bagi banyak orang kegemukan dengan diabetes,
penurunan berat dan olahraga dapat memulihkan resistensi insulin dan
gangguan toleransi glukosa, terutama pada awal perjalanan penyakit saat
produksi insulin belum banyak terpengaruh.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa jaringan lemak bukanlah sekedar
tempat penimbunan untuk trigliserida tetapi merupakan suatu jaringan
“endokrin” aktif yang dapat berdialog dengan otot dan hati (dua jaringan
sasaran insulin yang penting). Efek adiposity jarak-jauh ini terjadi melalui zat
perantara yang dikeluarkan oleh sel lemak. Molekul ini meliputi faktor
nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin dan suatu faktor baru yang disebut
resistin. TNF, yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan
imunitas, disintesis di adiposit dan mengalami ekpresi berlebihan dalam sel
lemak orang yang kegemukan. TNF menyebabkan resistensi insulin dengan
memengaruhi jalur-jalur sinyal pasca reseptor. Pada kegemukan, kadar asam
lemak bebas lebih tinggi daripada normal, dan asam lemak ini meningkatkan
resistensi insulin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya di ketahui.
Leptin adalah suatu hormon adiposit yang menyebabkan obesitas hebat, tidak
seperti TNF, leptin memperbaiki resistensi insulin. Zat terakhir yang
ditemukan dalam jaringan adiposa adalah resistin, yang diberi nama demikian
karena zat ini meningkatkan resistensi insulin. Resistin dihasilkan oleh sel
lemak, penurunan kadar resistin meningkatkan kerja insulin dan, sebaliknya.
Yang cukup menarik, efek terapeutik obat antidiabetes oral tertentu yang
digunakan dalam penanganan diabetes tipe 2 pada manusia juga mungkin
berkaitan dengan kemampuan obat tersebut memodulasi produksi resisitin.
Obat antidiabetes golongan tiazolidinedion berikatan dengan reseptor yang
disebut peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPAR-γ) yang
diekpresikan di nukleus sel lemak. Dengan mengikat reseptor diadiposit, obat
golongan tiazolidinedion mengendalikan transkripsi resistin atau gen sel
adipose lainnya yang memengaruhi resistensi insulin. Diperkirakan sinyal
PPAR-γ dalam mengendalikan resistensi insulin ditunjang oleh penelitian
terhadap pasien yang mengalami mutase loss-of-function di gen PPAR-γ. Para
pasien ini, yang jarang ditemukan, memperlihatkan resistensi insulin dan
mengalami diabetes. Oleh karena itu, pengaktifan reseptor PPAR-γ oleh obat
menurunkan resistensi insulin, dan mutasi yang menggangu pembentukan
sinyal PPAR-γ meningkatkan resistensi insulin. Diperkirakan pemahaman
yang lebih mendalam tentang jalur-jalur semacam ini dalam sel lemak dapat
menghasilkan sasaran terapeutik baru untuk pengobatan diabetes tipe
2;sebagai salah satu contoh, obat yang menetralkan kerja resistin mungkin
bermanfaat dalam terapi diabetes tipe 2.
Sebagai ringkasan, diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit kompleks
multifactor yang melibatkan, baik gangguan pengeluaran insulin maupun
insensivitas organ sasaran. Resistensi insulin, yang berkaitan erat dengan
obesitas, menimbulkan stress berlebihan pada sel beta, yang akhirnya
mengalami kegagalan dalam menghadapi peningkatan kebutuhan insulin.
Faktor genetik jelas berperan, tetapi bagaimana faktor ini secara pasti bekerja
masih belum diketahui.
Sedangkan menurut (Perkeni, 2015) secara garis besar patofisiologi diabetes
tipe 2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis diabetes tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang.
2. Liver :
Pada penderita diabetes tipe 2 terjadi resistensi insulin yang beratdan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat

Gambar 2.1 organ yang berperan dalam patogenesis DM tipe 2


Sumber : (Perkeni,2015)
3. Otot:
Pada penderita diabetes tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioseluler, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(FFA= free fatty acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA disebut lipotoxicity.
5. Usus :
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan
GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita diabetes tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan.
6. Sel alpha pankreas:
Sel α pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel α berfungsi dalam sintesis glukagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan disbanding individu yang normal.
7. Ginjal :
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
diabetes tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita diabetes terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-
2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur
ini adalah SGLT-2 inhibitor.
8. Otak :
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obesitas baik yang diabetes maupun non diabetes, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi
insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak.

2.8 Kriteria Diagnosis Diabetes


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

Tabel 2.1 KriteriaDiagnosis DM

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam.
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Sumber : (Perkeni,2015)
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga harus
hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu
seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang
mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai
alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 - 6,4%.

Tabel 2.2 kadar tes laboratoium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes.

Hba1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam setelah


puasa (mg/dl) TTGO ( mg/dl)
Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140
Sumber : (Perkeni, 2015)

2.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.
Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi
anjuran:
 Mengikuti pola makan sehat.
 Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
 Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman
dan teratur.
 Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
 Melakukan perawatan kaki secara berkala.
 Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat.
 Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga
untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
 Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

2.9.1 Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian penting dari


penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 secara komprehensif. Kunci
keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya
diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang diabetes.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan
sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Komposisi Makanan
yang Dianjurkan terdiri dari:

a. Karbohidrat
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
 Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat
 makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa,
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).
 Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.

b. Lemak
 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
 Komposisi yang dianjurkan:
- lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
- lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
- selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream.
 Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.

c. Protein
 Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
 Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe.
 Pada pasien dengan nefropati diabetic perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi.
Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis
asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
d. Natrium
 Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu <2300 mg perhari.
 Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual.
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

e. Serat
 Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacangkacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat.
 Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal
dari berbagai sumber bahan makanan.

2.9.2 Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-
hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali
perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit
perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau
aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun
dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang.

2.9.3 Terapi Farmakologis


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.
A .Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
5 golongan:

1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)


Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal
hati, dan ginjal).

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
2.Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa
di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus diabetes tipe 2.
Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak
boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia. Efek samping yang
mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya
gejala dispepsia.

Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu
reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

3. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:


Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak
digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal
hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat
golongan ini adalah Acarbose.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV) Obat golongan
penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga
GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung kadar glukosa
darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.

5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

B. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

C. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga
terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat
badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di
Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal
0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk
mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai
dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan.
Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara
subkutan.

D.Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak
dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat
antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua
obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan
alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. Kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja
menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan
insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi
dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis
insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar
glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal
dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan
dengan hati-hati

2.10 Profil lipid darah

2.10.1 Lipid dan Lipoprotein

Di dalam darah kita ditemukan tiga jenis lipid yaitu kolesterol, trigliserid,
dan fosfolipid. Oleh karena sifat lipid yang susah larut dalam lemak, maka
perlu dibuat bentuk yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan suatu zat pelarut yaitu
suatu protein yang dikenal dengan nama apolipoprotein atau apoprotein. Pada
saat ini dikenal sembilan jenis apoprotein yang diberi nama secara alfabetis
yaitu Apo A, Apo B, Apo C, dan Apo E. Senyawa lipid dengan apoprotein ini
dikenal dengan nama lipoprotein. Setiap jenis lipoprotein mempunyai Apo
tersendiri. Sebagai contoh untuk very low density lipoprotein (VLDL),
Intermediate Density Lipoprotein (IDL), dan Low Density Lipoprotein (LDL)
mengandung Apo B100, sedang Apo B48 ditemukan pada kilomikron. Apo
A1, Apo A2, dan Apo A3 ditemukan terutama pada lipoprotein HDL dan
kilomikron. Setiap lipoprotein akan terdiri atas kolesterol (bebas atau ester),
trigliserid, fosfolipid, dan apoprotein. Lipoprotein berbentuk sferik dan
mempunyai inti trigliserid dan kolesterol ester dan dikelilingi oleh fosfolipid
dan sedikit kolesterol bebas. Setiap lipoprotein berbeda dalam ukuran,
densitas, komposisi lemak, dan komposisi apoprotein. Dengan menggunakan
ultrasentrifusi, pada manusia dapat dibedakan enam jenis lipoprotein yaitu
high density lipoprotein (HDL), low density lipoprotein (LDL), very low
density lipoprotein (VLDL), kilomikron, dan lipoprotein a kecil (Lp(a)).

2.10.2 Metabolisme Lipoprotein

Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur yaitu jalur


metabolisme eksogen, jalur metabolisme endogen, dan jalur reverse
cholesterol transport. Kedua jalur pertama berhubungan dengan metabolisme
kolesterol LDL dan trigliserid, sedang jalur reverse cholesterol transport
khusus mengenai metabolisme kolesterol HDL.

1. Jalur Metabolisme Eksogen


Makanan berlemak yang kita makan terdiri atas trigliserid dan
kolesterol. Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam usus juga
terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi bersama empedu ke usus halus.
Baik lemak di usus halus yang berasal dari makanan maupun yang berasal
dari hati disebut lemak eksogen. Trigliserid dan kolesterol dalam usus
halus akan diserap ke dalam enterosit mukosa usus halus. Trigliserid akan
diserap sebagai asam lemak bebas sedang kolesterol sebagai kolesterol. Di
dalam usus halus asam lemak bebas akan diubah lagi menjadi trigliserid,
sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester dan
keduanya bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein akan membentuk
lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron. Kilomikron ini akan masuk
ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus torasikus akan masuk ke
dalam aliran darah. Trigliserid dalam kilomikron akan mengalami
hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjadi
asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)=non-esterified fatty acid
(NEFA)). Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di
jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak
sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukkan
trigliserid hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian besar
trigliserid akan menjadi kilomikron remnant yang mengandung kolesterol
ester dan akan di bawa ke hati.

2. Jalur Metabolisme Endogen


Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hati dan disekresi ke dalam
sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam
VLDL adalah apolipoprotein B100. Dalam sirkulasi, trigliserid di VLDL
akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL), dan VLDL
berubah menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis dan berubah
menjadi LDL. Sebagian dari VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut
kolesterol ester kembali ke hati (Adam, 2009). LDL adalah lipoprotein yang
paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol di LDL
akan di bawa ke hati dan jaringan steroidogenik lainnya seperti kelenjar
adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk kolesterol
LDL. Sebagian lagi dari kolesterol LDL akan mengalami oksidasi dan
ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag dan akan menjadi
sel busa (foam cell). Makin banyak kadar kolestero-LDL dalam plasma
makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel
makrofag. Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar
kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa keadaan mempengaruhi
tingkat oksidasi seperti:
1. Meningkatnya jumlah LDL kecil padat (small dense LDL)
2. Kadar kolesterol-HDL, makin tinggi kadar kolesterol-HDL akan
bersifat protektif terhadap oksidasi LDL

3. Jalur Reverse Cholesterol Transport


HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang
mengandung apolipoprotein (apo) A, C dan E, dan disebut HDL nascent.
HDL nascent berasal dari usus halus dan hati, mempunyai bentuk gepeng
dan mengandung apolipoprotein AI. HDL nascent akan mendekati
makrofag untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. Setelah
mengambil kolesterol dari makrofag, HDL nascent berubah menjadi HDL
dewasa yang berbentuk bulat. Agar dapat diambil oleh HDL nascent
kolesterol (kolesterol bebas) di bagian dalam dari makrofag harus dibawa
ke permukaan membran sel makrofag oleh suatu transporter yang disebut
adenosine triphosphate-binding cassette transporter-1 atau disingkat ABC-
1. Setelah mengambil kolesterol bebas dari sel makrofag, kolesterol bebas
akan diesterifikasi menjadi kolesterol ester oleh enzim lecithin cholesterol
acyltransferase (LCAT). Selanjutnya sebagian kolestererol ester yang
dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan
ditangkap oleh scavenger receptor class B type 1 dikenal dengan SR-B1.
Jalur kedua adalah kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan
trigliserid dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer
protein (CETP). Dengan demikian fungsi HDL sebagai “penyerap”
kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung ke hati dan
jalur tidak langsung melalui VLDL dan IDL untuk membawa kolesterol
kembali ke hati (Adam, 2009).
2.10.3 Kadar lipid serum normal
Klasifikasi kolestrol total, kolestrol LDL, kolestrol HDL, dan trigliserid
menurut NCEP ATP III.
Tabel 2.3 klasifikasi kadar kolestrol
Kolestrol Total
<200 Optimal
200-239 Diinginkan
≥240 Tinggi

Tabel 2.4 klasifikasi kadar LDL


Kolestrol LDL
< 100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Diinginkan
160-189 Tinggi
≥190 Sangat Tinggi
Tabel 2.5 Klasifikasi Kadar HDL
Kolestrol HDL
<40 Rendah
≥60 Tinggi

Tabel 2.6 Klasifikasi Kadar Trigliserida


Trigliserida
<150 Optimal
150-199 Diinginkan
200-499 Tinggi
≥500 Sangat Tinggi

2.10.4 Dislipidemia pada Diabetes


Diabetes melitus dan sindroma metabolic mempunyai kealainan
yang sama yaitu adanya resistensi insulin. Pada mereka ini, metabolisme
lipoprotein sedikit berbeda dengan mereka yang bukan resistensi insulin.
Dalam keadan normal tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energi.
Pada keadaan resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan
adiposa akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adipose
semakin meningkat. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak bebas
yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian
akan digunakan sebagai sumber energy dan sebagian akan dibawa ke hati
sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. Dihati asam lemak bebas
akan menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh
karena itu VLDL yang dihasilkan pada keaadaan resistensi insulin akan
sangat kaya akan trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau VLDL
besar (enrich triglyceride VLDL= Large VLDL)
Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar
dengan kolestrol ester dari kolestrol-LDL. Hal ini akan menghasilkan LDL
Yang kaya akan trigliserid tetapi kurang kolestrol ester (cholesterol ester
depleted LDL). Trigliserid yang dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh
enzim hepatic lipase (yang biasanya meningkat pada resistensi insulin)
sehingga menghasilkan LDL yang kecil tetapi padat, yang dikenal dengan
LDL kecil padat (small dense LDL). Partikel LDL kecil padat ini sifatnya
mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid VLDL
besar juga dipertukarkan dengan kolestrol ester dari HDL dan
menghasilkan HDL miskin kolestrol ester tapi kaya trigliserid. Kolestrol
HDL bentuk demikian lebih mudah di katabolisme oleh ginjal sehingga
jumlah HDL serum menurun. Oleh karena itu pada resistensi insulin terjadi
kelainan profil lipid serum yang khas yaitu kadar trigliserid tinggi,
kolestrol-HDL rendah dan meningkatnya subfraksi LDL kecil padat,
dikenal dengan nama fenotip lipoprotein aterogenik atau lipid triad.

2.11 Tekanan darah


2.11.1 Tekanan darah dan Hipertensi
Tekanan darah adalah gaya atau dorongan darah ke dinding
arteri saat darh dimpompa keluar dari jantung ke seluruh
tubuh.
Tekanan darah tinggi atau hipertensi menurut the eighth
report of the joint National Committee in Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of Hiigh Blood Preasure
(JNC VIII) adalah keaadan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan/atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.
Nilai tekanan darah ditetapkan setelah melalui pengukuran
sebanyak minimal dua kali pada kunjungan yang berbeda dan
tidak sedang mendapat terapi Hipertensi.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya
interaksi berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor
pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat
dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur.
Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang
mengandung natrium dan lemak jenuh.
2.11.2 Klasifikasi hipertensi
Rerata hasil pengukuran tekanan darah tersebut kemudian
oleh JNC VIII digolongkan sebagai berikut:
Tabel 2.7 klasifikasi tekanan darah
Kategori TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat I 140-159 90-99
Hipertensi derajat II 160-179 100-109
Hipertensi derajat III ≥180 ≥110

2.10.3 Hipertensi pada Diabetes


Resistensi insulin, hyperinsulinemia dan pengeluaran
berlebihan asam lemak pada penderita diabetes diyakini dapat
meningkatkan resistensi vascular perifer dan konraktilitas otot
polos vascular melalui respon berlebihan terhadap
norepinefrin dan angiostensin II. Kondisi tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan darah melalui mekanisme
umpan balik fisiologis maupun system Renin-Angiostensin-
Aldosteron. Kondisi hiperglikemia pada penderita diabetes
juga menginduksi overekpresi fibronectin dan kolagen IV
yang memicu disfungsi endotel serta penebalan membrane
basal glomerulus yang berdampak pada penyakit ginjal
hipertensi.

Anda mungkin juga menyukai