Anda di halaman 1dari 7

MULTIPLE SCLROSIS

Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara

I. Pendahuluan

Multiple sclerosis (MS) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh
Sir Agustus D’este dari Inggris, akan tetapi Cruveilhier & Charcot memberi
gambaran lebih terperinci tentang adanya plak dan sclerosis pada susunan
saraf pusat.
Insiden penyakit ini di AS 250.000-350.000/tahun (Anderson, 1991)
walau dalam beberapa penelitian menunjukkan kecendrungan meningkat
(Kurtze, 1991) pada daerah Skotlandia, Finlandia, Norwegia, Itali, Irlandia
Utara.
Terdapat hubungan erat antara prevalensi dengan variasi geografik,
negara-negara ekuator menunjukkan insiden yang rendah, prevalensi
meningkat pada daerah yang jauh dari ekuator dan hemisfer misal negara
Eropa Utara terutama Scandinavia yang dianggap sebagai nenek moyang
penyakit MS ini. Prevalensi di Amerika Utara sekitar 100/100.000 sedangkan di
Amerika Selatan 20/100.000 (Kurtze, 1993).
Prevalensi menurut umur rata-rata onset MS baik wanita maupun pria
sekitar 31-33 tahun dengan usia rata-rata lebih rendah dari wanita, tetapi
dapat pada usia lebih tua, lebih dari 60 tahun.
Studi tentang migrasi, etnik, anak kembar membuktikan bahwa faktor
genetik dan lingkungan berpengaruh pada perkembangan MS. Studi tentang
migrasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan akan menentukan resiko terjadi
MS, misalnya pasien yang melakukan migrasi dari suatu daerah insidensi ke
daerah insidensi tinggi sebelum umur 15 tahun mempunyai resiko tinggi untuk
terjadi MS (Eber & Sadovnick, 1993). Studi tentang anak kembar ternyata
monozigot 30%, dizigot 5% menunjukkan faktor genetika memegang peranan,
tidak adanya lokus mendelian tunggal yang menyebabkan MS,akan tetapi
berupa interaksi antar gen-gen (Sadovnicks, 1993), gen-gen pada pasien MS di
Eropa Utara akan mengontrol fungsi immun (HLA-A3,B7,DR2,T-Cell reseptor
alpha, immunoglobulin subtype (Gm allotype, VH2-B5), antigen pitative target
(proteolipid protein, myelin basic protein, dan lain-lain)
Diet akan mempengaruhi MS, diet lemak tak jenuh akan
mempengaruhi pembentukan myelin otak, disamping adanya kelainan pada
pertumbuhan oligodendrolial yang berhubungan dengan diet. Diet lemak tak
jenuh berupa asam linoleat akan menurunkan eksaserbasi penyakit ini
(Dwarkin, 1984).
Etiologi penykit ini diantaranya infeksi virus, bakteri, kelainan
oligodendroglia, diet, genetika, dan lain-lain. Untuk mendiognosa penyakit ini
masih sulit, diperlukan pengalaman-pengalaman fase awal penyakit.
Pemeriksaan laboratorium akan membantu menunjang diagnosa.

2002 digitized by USU digital library 1


II. Manifestasi klinik

MS merupakan penyakit demyelinating yang mengenal serebelum,


saraf optikus dan medula spinalis (terutama mengenai traktus kortikospinalis
dan kolumna posterior), secara patologi memberi gambaran plak multipel di
susunan saraf pusat khususnya periventrikuler subtansia alba.

Gejala Klinia MS.

1. Kelemahan umum : biasanya muncul setelah aktivitas minimal,


kelemahan bertambah berat dengan adanya peningkatan suhu tubuh dan
kelembapan tinggi, yang disebut sebagai Uht holff fenomena (pada akson
yang mengalami demylisasi). Kelemahan seperti ini dapat dosertai
kekakuan pada ekstermitas sampai drop foot
2. Gangguan sensoris : baal, kesemutan, perasaan seperti diikat, ditusuk
jarum, dingin pada tungkai dan tangan, pada pemeriksaan fisik dengan
test lhermitte biasa + (30%) hal ini akibat adanya plek pada kolumna
servikal posterior yang kemudian meiritasi dan menekan medula spinalis.
3. Nyeri : pada kebanyakan pasien MS akan mengalami nyeri (Clifford &
Troter), nyeri bersifat menahun. Nyeri pada MS berbentuk:
a. Nyeri kepala relatif sering didapatkan (27%)
b. Nyeri neurolgia trigeminal: pada orang muda dan bilateral (Jensen,
1982) relatif jarang (5%)
c. Nyeri akibat peradangan nervus optikus akibat penekanan dura
sekitar nervus optikus
d. Nyeri visceral berupa spasme kandung kemih, konstipasi
4. Gangguan Blader : pada 2/3 kasus MS akan mengalami gangguan
hoperreflek blader oleh karena gangguan spincter, pada fase awal areflek
dan 1/3 hiporelek dengan gejala impoten.
5. Gangguan serebelum : 50% kasus memberi gejala intension tremor,
ataksia, titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari
Charcott: nistagmus, gangguan bicara, intension tremor
6. Gangguan batang otak : lesi pada batang otak akan mengganggu saraf
intra aksonal, nukleus, internuklear, otonom dan motorik, sensorik
sepanjang traktus-traktus.
a. Lesi N III-IV menyebabkan diplopia, parese otot rektus medial
yang menyebabkan internuklear ophtalmoplegi (INO)
patognomonis untuk MS
b. Lesi N VII menyebabkan Bell palsy
c. Lesi N VIII menyebabkan vertigor (sering), hearing loss (jarang)
7. Gangguan N Optikus (Neuritis optika) : terutama pada pasien muda
(Reder, 1997) sebanyak 31%, gejala berupa, penurunan ketajaman
penglihatan, skotoma sentral, gangguan persepsi warna, nyeri pada
belakang bola mata, visus akan membaik setelah 2 minggu onset neuritis
optika kemudian sembuh dalam beberapa bulan. Penambahan suhu tubuh
akan memperbesar gejala (uht holff)
8. Gangguan fungsi luhur : fungsi luhur umunya masih dalam batas
normal, akan tetapi pada pemeriksaan neuropsikologi didapatkan
perlambatan fungsi kognisi sampai sedang atau kesulitan menemukan
kata (Rao, 1991).

2002 digitized by USU digital library 2


III. Etiologi

Penyebab MS adalah suatu autoimmun yang menyerang myelin dan


myelin forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada MS
sebenarnya bukan suatu autoimmun murni oleh karena tidak adanya antigen
respon immun yang abnormal. Kausa MS terdiri dari:
a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock
protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin
c. Defek pada oligodendroglia
d. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi makrofag,
sintesa prostaglandin
e. Genetika : penurunan kontrol respon immun
f. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stress

IV. Dasar Biologi

Perjalanan MS dibagi dalam 4 fase yaitu fase awal, relaps, sembuh dari
relaps, kronik progresif. Awal serangan pertama MS biasanya tidak diketahui, faktor
genetik dan lingkungan memegang peranan penting (Page, 1993)
Plak MS terbentuk akibat proses aktivasi T-sel perifer yang melekat
pada post kapiler venule susunan saraf pusat. T sel melewati sel endotel untuk
bermigrasi ke parenkin periventrikuler akibat adanya proses inflamasi maka
terjadi kerusakan lapisan myelin dalam dan oligodenroglia. Proses inflamasi
akan mereda dalam waktu 2-6 minggu.
Relaps pada MS biasanya dipicu oleh infeksi virus, pada 1/3 kasus
infeksi saluran nafas atas akan menyebabkan eksaserbasi akut (Panisch, 1991).
Proses relaps ini akibat adanya aktivasi sistim immun.
Trauma dan stress diduga dapat menyebabkan MS atau menyebabkan
eksaserbasi walau hubungan stress dan trauma belum pasti. Sembuh dan
relaps berhubungan dengan immun-mediated. Pada lession experimental
alergic encephalomyelitis, inhibitory cytokin, immunoglobulin, profile sitokin
selama eksaserbasi dan sembuh pada MS adalah identik.

V. Diagnosa

Karena tidak ada yang spesifik untuk MS, maka diagnosa terutama
berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifokal
dan asimetrik pada traktus subtansia alba.
1. Clinically definite MS
Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih
dari satu lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI
atau evoked
2. Laboratory supported definite MS
Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya
saru lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked
potensial dan kadar Ig G abnormal
3. Clinically probable MS
Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya,
terbukti ada lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa
dan hanya satu dari pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya
bukti pada MRI lebih lesi dan pemeriksaan IgG CSF normal.

2002 digitized by USU digital library 3


4. Laboratory supported probable
Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser,
tetapi yang banyak adalah kriteria poser.

Kriteria Poser
Jumlah Bukti adanya >1 IgG

serangan lesi CSF


Klinik Lab
A. Clinically definite
A1 2 2
A2 2 1 dan 1
B. Laboratory–supported 1 atau 1
definite 2 +
B1 1 2 +
B2 1 1 dan 1 +
B3 1
C. Clinically probable
C1 2 2
C2 1 1 dan 1
C3 1
D. Laboratory-suported probable 2 0 +

VI. Laboratorium

Untuk mendiagnosa MS kadang sulit terutama pada fase awal


penyakit, sehingga pemeriksaan laboratorium yang spesifik dapat digunakan
untuk membantu diagnosa, pemeriksaan MRI, evoked potensial, pemeriksaan
CSF dapat membantu diagnosa sesuai kriteria poser.

1. Pemeriksaan CSF
a. Jumlah sel
• 3
Pada keadaan normal jumlah sel <5/mm , pada 50%
3
clinically MS dengan jumlah sel >5mm
• 3
Jumlah sel 5-35/mm
• 3
Jumlah sel > 25/ mm sangat jarang untuk MS (1%)
b. Pemeriksaan isoelektrik oligoclonal IgG bands
Pemeriksaan ini sangat membantu diagnosa,akan tetapi pemeriksaan
ini tidak spesifik untuk MS oleh karena kadarnya juga meningkat pada
1/3 kasus dengan penyakit inflamasi susunan saraf pusat, infeksi
susunan saraf pusat
c. Deteksi gangguan blood brain barrier (BBB)
Study tentang CSF dapat menerangkan gangguan BBB berupa adanya
peningkatan immunoglobulin G abnormal antara CSF-SSP dapat
menunjang diagnosa MS

CSF IgG CSF albumin

IgG Indek = :
Serum IgG Serum albumin

2002 digitized by USU digital library 4


Pada 7% clinically defenite MS mempunyai IgG>0,7

d. Pemeriksaan protein
Peningkatan albumin quosien (CSF albumin/serum albumin) ditemukan
pada 10-15 % pasien clinically definite MS. Jumlah protein dapat
normal atau meningkat (jarang>100 mg/dl).

2. Pemeriksaan evoked potensial


• Visual evoked respon sangat sensitif untuk menentukan adanya
plak pada N optikus, kiasma, traktus, respon abnormal terdapat
pada clinically definite MS (85%)
• Brainstem auditory: digunakan untuk menentukan lesi di pons.
Respon abnormal didapati pada 64% definite MS dan 41%
probable MS
• Somatosensory: digunakan untuk mengetahui gangguan sensoria
pada pasien MS yang pada pemeriksaan klinik normal. Respon
abnormal terdapat pada 77% definite MS, 67% probable MS.
3. MRI
Pada pemeriksaan MRI terjadi peningkatan low intensitas signal T2-
weighted, hal ini disebabkan oleh karena reaksasimolekul air yang di
fasilitasi dengan berbagai protein pada selubung myelin. Pada MS terjadi
kerusakan myelin sehingga molekul air terbebas dari komperment,
dengan ada air bebas maka relaksasi time lebih lama sehingga
menyebabkan peningkatan signal T2-weighted.
Sayangnya pemeriksaan MRI tidak spesifik untuk MS oleh karena proses
lain seperti edema, gliosis, inflamasi juga meningkatkan signal T2
Weighted. Gambaran lesi biasanya berbentuk ovoid, elipsoid oleh karena
infiltrasi peri venuler yang kemudian menyebar sekitarnya, yang dikenal
sebagai Dawson finger.
Untuk pemeriksaan MRI dikenal kriteria dari Paty dimana MRI scan sangat
membantu diagnosa MS. Kriteria Paty:
• 4 lesi ditemukan
• atau 3 lesi ditemukan dengan 1 bagian perivemtrikuler
Paty kriteria memiliki sensivitas sekitar 94% dan spesivitas jauh lebih
rendah <57%.

VII. Diagnosa banding

1. ADEM (Acute Disseminated Encephalomyelitis)


Sulit membedakan antara serangan pertama dengan ADEM, biasanya
timbul post infeksi atau post vaksinasi terutama pada anak-anak dengan
gejala utama demam, nyeri kepala, meningismus.
2. Lyme discase
Suatu infeksi kronis susunan saraf pusat oleh Borrelia burgdorferi, gejala
terdiri dari paraparese spastik, gangguan serebelum, gangguan saraf
otak, gambaran MRI dan CSF mirip dengan MS. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan riwayat penyakit akut dengan rasa dan adanya antibodi
terhadap antigen Borrellia yang tinggi dalam CSF, serum.
3. Sindroma paraneoplastik
4. Subakut combined degeneration (SCD),
Dibedakan dengan neuropati perifer dan penurunan kadar vitamin B12
5. Cerebro vasculer disease (CVD)

2002 digitized by USU digital library 5


6. Tumor otak dan medula spinalis
7. Neuromyelitis optika:
Ditandai neuritis optika akut bilateral danmyelitis transversa. Kriteria
diagnosa kelainan akut medula spinalis dan N optikus yang timbul
bersamaan atau terpisah dalam bulan-tahun tanpa gejala batang otak,
serebelum, kortek.

VIII. Prognosa

Perjalanan penyakit MS terdiri dari 4:


1. Relaps dan remiting sekitar 25 %
2. Chronic/progresif (sekunder progresif) sekitar 40%
3. Chronic/progresif dari onset sekitar 15%
4. Benign MS 20%
Pada MRI type kronik progresif: ada 18 lesi baru/tahun (mungkin
tanpa gejala klinis) sedangkan type jinak ditemukan 8 lesi baru/tahun,
rata-rata serangan MS sekitar 1-1,5/tahun

IX. Penatalaksanaan

1. Relaps akut:
Metyl prednisolon per infus 1 gram/hari selama 7-10 hari, kemudian
po(per oral) prednison 80 mg selama 4 hari kemudian tapering off
40,20,10 mg masing-masing 4 hari
2. Pencegahan relaps
Inferon B: efektif untuk mencegah relaps pada MS, cara pemberian
injeksi subkutan, obat ini untuk penderita 2 atau lebih serangan pada
2 tahun pertama. Sekarang digunakan intarvenous IgG dengan dosis
0,4 gr/koagulan.hari selama 5 hari, kemudian dibooster 0,4
gr/koagulan/hari setiap 2 bulan dalam 2 tahun.
3. Kronik progresif
Dapat diberikan immunosupresan misalnya azahioprin, methotrexate,
cyclophosphamide tetapi sayang hasilnya tidak memuaskan
4. Therapi simtomatis:
• Bangkitan dapat diberi carbamazepin
• Nyeri karena neuralgia trigeminal diberikan carbamazepin, fenitoin,
gabapentin, baclofen + amitriptilin
• Spastisitas diber baclofen
• Kelemahan umum dapat diberikan anti kolinergik misal ditropan,
propantelin 2-3 x/hari
• Gangguan emosi dan pseudobulber dapat diberikan amitriptilin 25
mg pada waktu malam

2002 digitized by USU digital library 6


DAFTAR PUSTAKA

Achiron A. Gabbay R. et.al. Intravenous immunoglobulin treatment in multiple


sclerosis: effect or relaps, in neurology, 1998:398-402
th
Adams RD, Victor M. principles of neurology, vol.2. 6 ed. New York:McGraw Hill,
1997; 902-21
Bates D, Barhoff F. Diagnosis of MS, in Proceedings of MS Forum Modern
Management Workshop, Berlin, 1993: 1-33
Clanet M. Arnason B. The Symptoms of multiples sclerosis and their management,
in Proceeding of the MS Forum Modern Management Workshop, Paris,
1994
rd
Geenberg MS. Hand book of neurosurgery. 3 ed. USA : Greeberg Graphics, 1994:
78-80
McDonell GV, Hawkins. Epidemiologic study of MS ib Norther Ireland, in
Neurology, 1998:423-27
Reder AT. Multiple sclerosis , Neurobase, 1998; 1-8
Riise T, Wolfsen C. The epidemiology study of exogenous factors in the etiology of
MS, in Official Journal of the American Academy of Neurology, Lippincott
: Raven, 1997:1-72
Sadiq SA, Miller JR. Demyelinating disease: Multiple sclerosis, in Rowland LP.
th
Merritt’s text book of neurology. 9 ed. Baltimore: William & Wilkins,
1995; 804-25
Thomson & McDonald. Multiple sclerosis and its pathophysiology, in Ashbury et al.
Disease of the nervous system clinical neurobiology, vol II,
Philadelphia:WB Sounders, 1992; 1209-24
Ucelli A, Hauser SL. Multiple sclerosis, in Mohr & Gautier. Guide to clinical
neurology. New York: Churchill, 1995: 851-61

2002 digitized by USU digital library 7

Anda mungkin juga menyukai