Anda di halaman 1dari 318

1

Taring Padi - Seni Membongkar Tirani


© Lumbung Press, 2011

312 halaman / pages, 243 mm x 195 mm


1. Seni Rupa Modern Indonesia / Indonesian Modern Arts
2. Praktik Seni Rupa / Art Practice
3. Gerakan Sosial Budaya / Social Cultural Movement

ISBN 978-979-96625-1-4

Karya ini menerapkan lisensi Creative Commons untuk keperluan nonkomersial versi 3.0
This work is licensed under the Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0
Unported License.

Pengantar / Foreword: Alexander Supartono


Penulis / Authors: Dolorosa Sinaga, Kiswondo, Martin Aleida, Wulan Dirgantoro, Yayak Yatmaka,
Bambang Agung, Rheinhard Sirait, Emily M White, Jeffar Lumban Gaol, Erpan Faryadi,
Marco Kusumawijaya, Alexandra Crosby
Tim Reader / Readers : Lisabona Rahman, Alexander Supartono, Heidi Arbuckle
Editor Indonesia: Ardi Yunanto, Zen Hae, Lisabona Rahman
Editor English: Annie Sloman, Reuben, Jade Ella Trapp
Penerjemah / Translator: Rani Elsanti Ambyo, Paul Fauzan Agusta, Astrid Reza, Deanna Ramsay
Desain / Design: Hestu A Nugroho, Bintang Hanggono, Kolektif Taring Padi
Fotografer / Photographers: Paul Kadarisman, Arisendi

Semua gambar dan foto diambil dari koleksi Taring Padi dan kawan-kawan jaringan
All fotos and images taken from Taring Padi Collection and their Network
Ilustrasi cover / Cover illustration: Taring Padi, cukil kayu, cetak terbatas 2010 /
Taring Padi, limited woodcut graphic print 2010. by: Budi Santoso, Dodi Irwandi, Hardoko, Muhamad Yusuf
Penerbit / Publishing: Lumbung Press, Sembungan Dk XIX, Rt.02, Bangunjiwo Kasihan Bantul Yogyakarta
Telp: +62 (0) 8175410837, Email: lumbungpress@gmail.com
Cetakan Pertama / First Edition, Juni 2011
dicetak di atas kertas daur ulang bulky 90 gr. Typeface Calibri (body) 1000 exp

“Terbitan ini didukung oleh dana dari Ford Foundation”


“This publication was supported through a grant from the Ford Foundation”

2
Daftar Isi / Contents

6 Halaman Persembahan / Dedication


7 Kata Pengantar / Foreword ................................................................... Alexander Supartono
17 Taring Padi: Bukan Demi Wacana Seni Rupa /
Taring Padi: Not for the Sake of Arts Discourse .................................................. Dolorosa Sinaga
33 Ikonografi Manusia Separuh Anjing:
Kampanye Antimiliterisme dalam Karya-karya Taring Padi /
The Iconography of Half-Man-Half-Dog:
Antimilitarism Campaign in Taring Padi’s Artwork ........................................................ Kiswondo
69 Sebuah Gagasan Yang Tak Mati-mati / An Immortal Idea ...................................... Martin Aleida
87 Produksi Respon Taring Padi Terhadap Konflik Horisontal /
The Production of Taring Padi’s Responses toward Horizontal Conflicts .................... Kiswondo
115 Ideologi itu Berkelamin: Representasi Perempuan dalam Karya-karya
Taring Padi /
Ideology has a Gender: The Representation of Women in the Work of
Taring Padi People’s Cultural Institution ..................................................... Wulan Dirgantoro
135 Buruh Bersatu, Tak Terkalahkan / Workers United, Unbeatable .......................... Yayak Yatmaka
159 Menolak Ndoro Londo Balik Lagi, atau Globalisasi /
Rejecting Ndoro Londo’s Return, or Globalization ............................................. Bambang Agung
183 Koruptor Disayang Tuhan / God Loves Corrupters ............................................. Rheinhard Sirait
203 Omah Buku Taring Padi dan Aktivitas Edukasi Lainnya /
Omah Buku Taring Padi and Other Educational Activities ................................... Emily M. White
225 Musik Taring Padi Sebagai Instrumen Penyadaran /
Taring Padi’s Music as a Tool for Generating Awareness ............................... Jeffar Lumban Gaol
245 Reforma Agraria Sebagai Tuntutan Pokok dalam Perjuangan
Kaum Tani Indonesia / Agrarian Reform as the Primary Demand
of Indonesia’s Farmers Movement ......................................................................... Erpan Faryadi
275 Kondisi Manusia Dalam Persoalan Lingkungan /
The Human Condition in Environmental Issues ......................................... Marco Kusumawijaya
295 Membangun Jaringan Kebudayaan Global /
Growing Global Cultural Networks ................................................................... Alexandra Crosby
311 Tentang Penulis / About the Authors
312 Tim Kerja / Working Team
313 Terima Kasih / Acknowledgment

3
Buku ini kami persembahkan bagi mereka yang terping-
girkan serta pejuang-pejuang kemanusiaan dan lingkungan
yang masih semangat dan setia di muka bumi.

Salam Budaya Kerakyatan!

4
Pendahuluan

Alexander Supartono

Buku ini adalah retrospeksi karya kolektif


Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi (atau
populer dengan akronim “TP”) yang berdiri
di akhir 1998. Di dalamnya, 13 tema memilah
karya-karya mereka, mulai dari antimiliterisme,
korupsi, neoliberalisme, gerakan buruh dan
petani, pembebasan perempuan sampai masa-
lah lingkungan dan perpustakaan komunitas,
dengan satu tulisan “pembacaan” menyertai
setiap kategori tema. Dengan pengategorian
dan pembacaan, buku ini mendokumentasikan
reaksi radikal pekerja seni seperti TP terhadap
perubahan sosial-politik di Indonesia sejak
Reformasi 1998. Bentuk reaksi itu adalah kerja (a)
seni kolektif yang progresif, inklusif, militan, dan
berkelanjutan sampai sekarang. Introduction
Radikalisasi praktik berkesenian me-
mang jamak mengiringi gejolak sosial-politik.
Dalam situasi yang bergejolak, seni cenderung Alexander Supartono
keluar dari tatanan tradisionalnya untuk
bergabung dengan sejarah dan berpartisipasi
langsung dalam perubahan. Namun, bentuk This book is the retrospective publication of
dan terutama keberlanjutannya seperti jamur the work of a distinguished artist collective,
di musim hujan, marak bertebaran di sana- the Institute of People Oriented Culture of
sini, tapi tak panjang umur. Radikalisasi itu pun Taring Padi (widely known as TP), which was
jadi tampak seperti simplifikasi dogma bahwa founded at the end of 1998. Their collective
seni adalah cerminan dari hubungan sosial.1 body of work is divided here into thirteen
Ketika situasi sosial- politik kembali ‘normal’, socially engaged themes, ranging from anti-
kehidupan kesenian pun menjadi ‘normal’ militarism, anti-neoliberalism, and workers and
kembali, dan tidak ada lagi alasan menjadi peasants’ movements to women’s liberation and
radikal. Dalam radikalisme seumur jamur ini, environmental issues, with an accompanying
pemberontakan praktik artistik itu pada akhirnya text anchoring each theme. Through these
5
thematic categories and introductory texts,
this book documents the reactions of radical
artists like the founders of the Taring Padi to the
social and political changes in Indonesia since
the Reformasi in Indonesia in 1998. Continuing
unabated to the present, these reactions have
taken the form of collective works of art that are
progressive, inclusive and militant.
It is more than a truism that the
radicalization of artistic practice is part and
parcel of social and political upheavals. In
volatile social situations, art tends to depart
from traditional values and canons and becomes
part of the history in the making, seeking to
actively contribute to societal change. But, the
forms art takes and its sustainability in such
situations are more like mushrooms during the
rainy season; there may be plenty of diverse
and colourful sprouts scattered here and
there, but nothing lasts for long after the rain.
(b)
Radicalization in art may be often seen as if it
kembali bermuara (atau terbendung) di dalam
were an oversimplification of the doctrine that
ruang-ruang infrastruktur seni tradisional.
art is a reflection of social relations, implying
Kelenturan dan kemampuan adaptasi tatanan
that when social and political conditions return
seni tradisional beserta kejeliannya mengenali
to “normal”, artistic life may also return to
puncak-puncak pencapaian artisitik yang
“normal” having no reason to continue to be
lahir dari periode pancaroba semacam itu,
radical. In this respect, radicalized practices are
seringkali berhasil menjauhkan keterlibatan
supposed to return to traditional structures.1 At
langsung pekerja seni dengan sejarah yang the same time, the flexibility and adaptability of
direpresentasikannya. Perkara ini, tentu the art institution, whose sustenance is based
saja, tidak baru. Sejarah seni adalah catatan on the ability to recognize and integrate the
usaha kreatif penciptaan alternatif terhadap novel, the unorthodox and the radical in artistic
dominasi tatanan tradisional. Karena itu, hal achievement born in periods of transition, often
baru yang ditawarkan selalu tampak radikal. successfully overcast the direct involvement
Menjadi radikal bukanlah perkara yang terlalu and political engagement of artists in the
rumit. Namun, masalahnya adalah bagaimana history represented in their work. One could
memelihara dan menjaga radikalisme itu menjadi argue that this is nothing new as integration
praktik yang berkesinambungan dan berumur is equally sought by both establishment and

6
panjang. Atau dengan kata lain, menjadikan artists. Indeed, the history of art is punctuated
praktik berkesenian tidak hanya sebagai cermin by creative efforts that were born as alternative
tapi bagian dari hubungan sosial. propositions to the established order and as
Kebersinambungan ini memungkinkan such were coined as radical in their time, only
kerja kreatif berinteraksi dengan keseharian to become part of the official narrative in the
secara terus-menerus. Kerja seni bukan hanya course of history. Being (and being recognized
rangkaian reaksi atas realitas, tapi dialog yang as) radical is not what is at stake in the long
berjalan simultan dengan perkembangan sosial run as far as artistic practice is concerned; the
dari mana kreativitas artistik itu mendapatkan real problem lies in protecting and sustaining
bahan bakunya. Kebersinambungan ini pula radicalism, that is, making art that does not just
yang menghindarkan kita dari simplifikasi dogma stand as a mirror reflecting social relations, but
dalam radikalisasi seumur jamur di atas. which is an organic part of these relations.
Kebersinambungan ini juga memberi Such sustainability is made possible
ruang bagi munculnya generasi-generasi baru when creative work continuously interacts with
yang belajar, berkembang, dan bekerja di daily life, that is, when works of art are not
dalam atmosfir di mana tautan antara kerja mere reactions to reality, but are in constant

(c)

7
seni dan keseharian sudah menjadi sesuatu dialogue with the social developments that feed
yang diandaikan.2 Keberhasilan regenerasi artistic creativity. It is this aspect of sustained
dan kaderisasi ini layak mendapat catatan engagement that may also salvage radicalization
khusus mengingat kegagalan banyak organisasi from the oversimplified readings mentioned
seni radikal melanjutkan nafas hidup setelah above.
ditinggalkan eksponen-eksponen utamanya. Furthermore, sustainability in radical
Keberagaman karakter dan latar belakang art practice also creates a challenging as much
generasi terbaru yang sekarang menjadi motor as protective environment for the emergence of
utama organisasi dan kegiatan Taring Padi new generations that are nurtured, trained and
menunjukkan keterbukaan organisasional Taring come into artistic age in an atmosphere where
Padi sebagai kelompok seni. Keterbukaan ini art and the praxis of life are interconnected.2
ternyata berperan besar menjaga radikalisme It is this sustainability and success of the
Taring Padi collective as a radical group that
worth special note here, particularly in the
light of the decline of several local radical art
organizations once they lost their principal
advocates. The diversity of personalities and
backgrounds in the younger generation that is
now the main driving force behind Taring Padi’s
activities verifies the collective’s organizational
inclusivity. This openness has had a catalytic
impact on protecting the radicalism of Taring
Padi’s art; the multiperspectivalism and diversity
(d)
of orientations has effectively prevented the
praktik berkesenian Taring Padi sebab development of any form of exclusivity and
keberagaman pikiran dan orientasi tersebut secured the renewal and freshness of radical art
membebaskan mereka dari eksklusivitas seni. produced in its circle. This attitude is reflected
Hal ini tercermin dalam perubahan “nama resmi” in the change of the collective’s ‘official name’,
mereka dari “Lembaga Budaya Kerakyatan/LBK from “Lembaga Budaya Kerakyatan/LBK Taring
Taring Padi”, nama yang beraroma organisasi Padi” (the Institute of People Oriented Culture
kiri old school dan menyiratkan garis dan disiplin of Taring Padi) as they introduced themselves
organisasi yang ketat (sebagaimana mereka to the public in 1998, to the more recent “the
praktikkan pada awalnya) menjadi “Komunitas Community of Taring Padi” as younger members
Taring Padi.” Elemen penting lain yang menjadi felt that the former inscribed an orthodox old-
karakter unik mereka adalah ketika pencapaian school left organization, which required, as it
artisitik tidak menjadi satu-satunya ukuran were, rigid and strong organizational discipline.
keberhasilan, apalagi tujuan akhir. Perpaduan Another important element that defines the
elemen dan karakteristik inilah yang menjaga collective’s unique character is that artistic

8
kebersinambungan eksistensi Taring Padi. Buku achievement as such has never been the only
ini adalah dokumentasi, dan sekaligus perayaan, way to measure success, nor an end in itself.
dari kebersinambungan kerja seni radikal dari It is these qualities that have maintained the
Taring Padi. collective’s continuing existence. This book
Saat kali pertama Taring Padi memasang is meant to document and at the same time
baliho dan menempelkan cukil kayu mereka di celebrate Taring Padi’s ongoing radical practice.
ruang publik lebih dari 10 tahun lalu, mereka When Taring Padi installed posters and
menyasar publik seluas mungkin dalam arti woodcuts in public space for the first time more
yang paling harfiah. than ten years ago, they
Inklusivitas total ini targeted the widest—in
membuat Taring Padi the most literal sense—
tidak pernah mengharap audience possible.
tanggapan balik yang This was an act that
spesifik dari publik yang translated the collective’s
mereka sasar. Selama itu organizational inclusivity
pula, landasan berkarya into an inclusivity of
mereka praktis ber- beholders, making the
tumpu pada dinamika work physically accessible
kolektif mereka sendiri. to all members of the
Pilihan tema, artistik, public without necessarily
bentuk sampai eksekusi expecting feedback or
teknis diputuskan dan other interaction from
dilaksanakan bersama. the common viewer, let
Apa yang orang pikir alone the art institution.
tentang karya mereka, And throughout this time,
datang secara informal their work has developed
dan lisan, kadang along the dynamic of
ditanggapi dalam bentuk their collective alone.
refleksi internal, tidak (e) The choice of themes,
jarang pula mereka keras kepala tentang apa yang forms and technical execution is decided upon
mereka kerjakan. Respon justru datang dalam and implemented solely by the group. Fed
bentuk yang tak diduga: “pesanan karya” dari informally, more often than not by word of
berbagai organisasi sosial, mulai dari organisasi mouth and by people encountering their work in
hak asasi manusia sampai gerakan antikorupsi public space, external views of Taring Padi’s work
sebagai materi visual advokasi mereka. Dalam may trigger a process of internal reflection upon
kasus semacam ini pun, Taring Padi selalu specific work, but it is again the collective itself
leluasa menerjemahkan secara visual tema yang that determines the works’ focus and scope.
diberikan. Dari kerja semacam ini pun, tidak ada This is also true in the case of commissions as

9
catatan khusus reaksi balik dari pihak pemesan
berkait dengan visualiasi tema-tema tersebut.
Seturut konteks di atas, inilah kali
pertama, dalam buku ini Taring Padi secara
khusus mengumpulkan pendapat dari berbagam
kalangan tentang karya kolektif mereka. Pilihan
untuk hanya memasukkan karya kolektif
menunjukkan keinginan mereka dibahas
sebagai kolektif, walau harus meninggalkan
pembahasan penting tentang perkembangan
karya individu di dalam konteks kerja kolektif.
Mereka yang diundang untuk menulis datang
dari bermacam latar belakang sesuai klasifikasi
dan kategori karya. Proses dokumentasi,
klasifikasi, dan kategorisasi ini layak mendapat
catatan tersendiri karena menunjukkan karakter
dan watak Taring Padi sebagai organisasi.
Mudah diduga, pengumpulan karya
adalah tantangan awal terbesar. Selain
dokumentasi bukan kegiatan populer di Taring
Padi, banyak musabab lain yang membuat karya
mereka berceceran di mana-mana, seperti well. Having grown a reputation in the domain
pindah markas tiga kali, diserbu kelompok of public art, Taring Padi are often approached
fundamentalis, dan dirobohkan gempa bumi. by different social organizations, such as human
Ditambah lagi konsekuensi “teoretis”: karena rights groups and anti-corruption initiatives in
sejak awal mereka memutus hubungan Indonesia, to produce work on given themes.
kepemilikan pribadi dengan karya (agar tidak Even in these cases, the collective fully retains
jadi komoditas), maka karya Taring Padi pada the right to freely translate each commission’s
dasarnya adalah milik semua orang.3 Mereka brief. And for this there has barely been any
melepas karya ke publik lagi-lagi dalam arti yang critical response by the commissioning bodies.
paling harfiah, termasuk karya-karya yang tidak This is the first time, in the context of
bisa dicetak-ulang seperti baliho. Dampaknya this book, that Taring Padi actively sought the
harus ditanggung 10 tahun kemudian. Ketika views of others on their work and invited people
baliho-baliho yang dipinjamkan itu tak from all walks of life to respond in writing to the
juga dikembalikan, Taring Padi tidak punya works they produced collectively. The decision
landasan untuk menagihnya, selain berharap to use solely collective works indicates Taring
pada tetap berjalannya tepo seliro. Sebagian Padi’s desire to truly be seen as a collective,
karya itu “selamat” karena beberapa individu despite having to leave aside the significant
10
development of individual works within
the bosom of the collective. Those invited
to contribute to this venture were selected
according to the different themes and categories
of work chosen for the publication. This intricate
process of documentation, classification and
categorization of a live body of collaborative
work also reveals the nature and character of
Taring Padi as a collective organization.
It was also due to this collaborative
nature and inclusivity that the collection of
the featured artworks proved to be the biggest
challenge for their work tends to be scattered
and documentation of collaborative projects
is not among the highest priorities of the
collective. What is more, as their headquarters
have moved three times, have been raided by
a fundamentalist group and destroyed by an
earthquake, their archive of documents relating
(f) to specific works is far from complete. Another
implication was the fact that their work, by
anggota Taring Padi selalu tekun memulung definition and since the collective’s inception,
hasil kerja mereka sendiri untuk, di sini kita defies the private ownership of works as such,
melihat paradoks yang sangat menarik, “koleksi so that they do not become commodified; Taring
pribadi.” Padi’s works are meant to be owned by all.3 The
Karya-karya visual kolektif yang group makes their art public—again in the most
terkumpul ternyata membentuk sendiri literal sense—and this strategy includes items
klasifikasinya menjadi 11 kategori tema dengan that cannot be reprinted or easily replicated
dua kategori tambahan yang berdasarkan bentuk like handcrafted posters. The consequences of
kegiatan, musik, dan pendidikan komunitas. this overtly democratic approach were felt in
Walau bermateri utama karya rupa, namun buku the course of time as unique posters that were
ini tidak diniatkan menjadi buku eksklusif seni lent out to different agencies were hardly ever
rupa. Dari 12 penulis yang diundang, hanya dua returned to the collective. In principle, Taring
orang yang berlatar seni rupa, sedangkan sisanya Padi have no right to demand the return of
beragam: aktivis mahasiswa, aktivis lingkungan artworks once they become public, but rely
sampai koordinator gerakan reformasi on goodwill and appreciation to have them
agraria; mahasiswa magang, sastrawan, dan back. Interestingly enough, some of the works
pemusik. Dari 13 tulisan, hanya 4 tulisan yang presented here have been sourced by a few

11
menyinggung langsung karya visual Taring Padi. members of the Taring Padi, who over the years
Tulisan lain menjadikan karya tersebut sebagai have been diligent in hunting collaborative
pijakan untuk membahas lebih jauh pokok yang artworks down and collecting them for their
menjadi tema karya tersebut. own ‘private collection’, which as an act seems
Komposisi latar belakang para penulis di an oxymoron for a collective.
atas dan keberagaman disiplin pembacaannya Being mostly visual, the artworks
menunjukkan variasi apresiasi (dan harapan) amassed form their own distinct categories
dari berbagai kategori publik terhadap karya- and have been divided into eleven themes.
karya Taring Padi. Bagi seniman seperti Yayak Two other separate categories are based on
Yatmaka dan Jeffar Lumban Gaol, karya-karya music and community education. Although
Taring Padi mempunyai kenangan akan suatu the primary material presented here involves
masa perjuangan bersama. Sementara bagi works of art, this book is not intended to
Marco Kusumawijaya, Martin Aleida, dan be exclusively about art per se. Out of the
Alexandra Crosby, Taring Padi dan karyanya twelve writers that were invited to contribute
bersambut gayung dengan pikiran dan to the publication, only two of them have a
kepedulian mereka sehingga pembacaan background in the fine arts, whilst the rest come
mereka adalah apresiasi atas cara Taring Padi from diverse non-art backgrounds; for instance,
memanifestasikan kepedulian mereka ke dalam there are contributions by a student activist,
karya rupa. Tulisan Emily White dan Dolorosa an environmental activist and coordinator of
Sinaga menunjukkan kecenderungan serupa, agrarian reform movements, a student intern,
ditambah pengalaman mereka terlibat langsung a writer, and a musician. Out of the thirteen
dengan kegiatan Taring Padi. Tulisan Reinhard introductory texts, only four directly address
Sirait dan Erpan Faryadi, sebaliknya: tema visual the visual work of Taring Padi; all other essays
karya Taring Padi menjadi latar (atau pemicu) use the work as a subtext to discuss the bigger
untuk membahas bidang kerja mereka masing- picture of the themes in question.
masing tanpa mengait langsung dengan karya.
Bambang Agung, Kiswondo, dan Wulan
Dirgantoro memusatkan perhatian pada bahasa
gambar Taring Padi. Mereka memisahkan karya-
karya tersebut dengan konteks penciptaannya,
menarik kaitan mendasar antara gagasan dan
visualisasi, lalu menguji efektivitas bahasa
visual dan simbolisasi yang Taring Padi ciptakan.
Pembacaan kritis yang berjarak semacam ini
berhasil menunjukkan beberapa kelemahan
(atau bahkan kontradiksi) konseptual dalam
pilihan bahasa rupa Taring Padi, yang selama
ini tertutupi oleh hiruk-pikuk aksi massa dan

12
romantisme perjuangan, yang seringkali menjadi The diversity of disciplinary approaches
pusat apresiasi karya mereka. Dari pembacaan within these readings also reflects the variety
mereka, kita melihat bahwa radikalisme gagasan in the public appreciation (and expectation) of
dan visualisasi Taring Padi masih menyelipkan Taring Padi’s works. For artists like Yayak Yatmaka
unsur-unsur ideologi dominan yang justru and Jeffar Lumban Gaol, Taring Padi’s art holds
hendak dilawan seperti idealisasi perempuan memories of their time of struggle side-by-
sebagai ibu dan mistifikasi figur-figur antagonis. side. For Marco Kusumawijaya, Martin Aleida
Keberagaman latar para penulis dalam and Alexandra Crosby, this work exemplifies
buku ini, selain mencerminkan beranekanya their own concerns and thus their texts express
konteks dan intensitas ruang gerak Taring Padi, this appreciation. Emily White and Dolorosa
juga memanifestasikan keterbukaan metode Sinaga’s texts show a similar tendency, adding
pembacaan. Karena itu, kita dapat melihat buku their direct experience of Taring Padi’s activities.
ini sebagai miniatur sistematis dari ‘pembacaan’ It is in Reinhard Sirait and Erpan Faryadi’s
karya Taring Padi yang selama ini berlangsung contributions that the visual patterns of Taring
di ruang-ruang publik, di mana setiap orang Padi’s work become the conceptual trigger to
membawa karya-karya itu ke dalam konteks discuss similar issues in their own fields without
mereka masing-masing. Alih-alih membahas engaging directly with the work as such.
secara khusus karya Taring Padi, sebagian besar Bambang Agung, Kiswondo and Wulan
penulis justru membahas konteks dari karya- Dirgantoro focus their attention on the visual
karya itu dan menjadikannya titik awal dialog iconography in Taring Padi’s illustrations,
dengan mengacu pada pengalaman atau bidang separating the art and its social context from
keahlian mereka masing-masing. Proses inilah the visualization of ideas, and thus testing the
yang selama ini terjadi ketika karya Taring Padi effectiveness of their symbolism. These critical
dipajang di ruang publik. readings reveal conceptual contradictions in
Kontekstualisasi penerbitan buku ini di Taring Padi’s choice of visual repertoire that
have been, until now, overshadowed by the
(g) bruit of mass action and the romantic ideals of
the struggle, which are usually the centerpieces
in the appreciation of their work. It therefore
becomes evident that Taring Padi’s radicalism in
terms of ideas and visualization still incorporates
elements of the very dominant ideologies that
they have been striving to subvert, such as the
patriarchal idealization of women as mothers
and the animalistic mystification of antagonistic
figures.
The assortment of readings and
contexts of viewing showcased here manifests

13
luar wilayah wacana tradisional seni rupa adalah not only the diversity, plurality and intensity of
pilihan sadar dalam rangka merawat radikalisasi Taring Padi’s activities, but also the diversity in
di atas. Terlepas dari kebersinambungan reading their artworks. This is how this book is
kerja artistik Taring Padi lebih dari 10 meant to be read: as a sampling of the different
tahun terakhir, wacana dominan seni rupa interpretations of Taring Padi’s works as situated,
Indonesia masih kesulitan mengenali mereka, physically and conceptually, in public space,
tanpa menyederhanakan kompleksitasnya where each member of this public considers the
menjadi salah satu “kategori” dalam strategi works from their own perspective. This is why
berkesenian.4 Pengategorian ini (apalagi yang most writers in this publication discuss the wider
konvensional) berpotensi menghilangkan aspek social, political, ideological and other contexts
aktivisme sosial dari praktik berkesenian Taring that the works address drawing primarily on
Padi. Sebab kategori dalam kerangka ini adalah their own interests, expertise and experience.
pem-variasi-an (diversification) aliran/genre The contextualization of such a
yang berfokus pada pencapaian artistik, yang publication outside the traditional discourse of
pada gilirannya menetralisir metode radikal art is a conscious decision in order to maintain
berkesenian kolektif Taring Padi. Dengan the spirit of Taring Padi’s radicalism. Despite the
kata lain, memisahkan karya Taring Padi dari fact that Taring Padi’s artistic work has been
habitusnya yang inklusif.5 present in Indonesia for more than ten years
Penataan karya-karya kolektif Taring now, the local art discourse still has difficulties
in recognizing Taring Padi’s art without reducing
its complexity into a generalized art category
as is often the case.4 Such a simplification that
focuses solely on artistic achievement effectively
eliminates the aspect of social activism from
Taring Padi’s work, neutralizing the radical
methods that characterize their collective
practice and thus separating it from its inclusive
habitus.5
Together with the accompanying
discussion, the structure of the collective works
presented in this book is an attempt to propose
a new relationship to Taring Padi’s art. Readings
outside the context of the creation of each work,
as has been indicated by the writers mentioned
above, give birth to a new understanding
that may, at times, be even antithetical to the
collective’s creative intentions. Denouncing
(h) systemization, this arrangement produces new

14
Padi dalam buku ini beserta pembahasannya,
adalah usaha membangun hubungan baru
dengan karya-karya tersebut. Pembacaan
di luar konteks penciptaan setiap karya,
sebagaimana ditunjukkan para penulis di atas,
melahirkan pemahaman baru yang kadang
malah bertentangan dengan intensi awal
penciptaannya. Sebagaimana layaknya sebuah
proses pengarsipan, tatanan ini memproduksi
pengetahuan baru, baik dari kualitas
formal setiap karya maupun wacana yang (i)

melingkupinya. Lewat arsip ini, karya-karya itu


menyuarakan banyak hal yang belum terucap knowledge, based both on the formal quality of
saat penciptaannya.6 Pada saat yang sama every work and the interdisciplinary discourse
mereka jadi lebih dekat bagi apresiator yang that surrounds it. This idiosyncratic archive
jauh lebih luas. Di dalam arsip inilah karya-karya offers the opportunity to discuss elements of a
kolektif TP akan “berumah,” ke mana orang akan body of work that had not been touched upon
berkunjung untuk melihat-lihat dan membaca before, thus providing the discursive ground
ulang karya-karya itu dengan kemungkinan for deeper appreciation.6 Accommodated
pembahasan yang hampir tak terbatas. Karena within this archive, Taring Padi’s ephemeral
pembacaan adalah proses dinamis yang collective work will be accessible to the public
menuntut penyesuaian fokus terus-menerus, inviting them to (re)visit and reinterpret it in
maka materi yang sama akan menghasilkan time, a process which may and will expand the
pembacaan yang berbeda-beda dari waktu ke current discourse around it. As interpretation
waktu.7 Pembacaan yang berkesinambungan is a dynamic process that requires continuous
inilah yang menjadi cita-cita buku ini, yang adjustment of one’s focus, this material will lead
bersambut gayung dengan radikalisasi TP yang to different readings,7 a plurality of voices which
ingin terus dijaga itu. is the goal of this book and the reward of Taring
Padi’s radicalization.

Endnote
1
T. J. Clark, Image of the People: Gustave Courbet
and the 1848 Revolution, Berkeley: University of
Endnote
California Press, 1999 [1973].
1
T. J. Clark, Image of the People: Gustave Courbet 2 Peter Bürger, Theory of the Avant Garde, Minnesota,
and the 1848 Revolution, Berkeley: University of
University of Minnesota Press, 1984.
California Press, 1999 [1973]. 3 Julian Stallabrass, Art Incoporated: The Story of
2 Peter Bürger, Theory of the Avant Garde, Minnesota,
Contemporary Art, Oxford: Oxford Universtiy Press,
University of Minnesota Press, 1984.
3 Julian Stallabrass, Art Incoporated: The Story of
Contemporary Art, Oxford: Oxford Universtiy Press,

15
2004. 2004.
4 Blake Stimson and Gregory Sholette, ed., Collectivism 4 Blake Stimson and Gregory Sholette, ed., Collectivism
after Modernism: The Art of Social Imagination after after Modernism: The Art of Social Imagination after
1945, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1945, Minneapolis: University of Minnesota Press,
2007. 2007.
5 Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, Stanford: 5 Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, Stanford:
Stanford University Press, 1990. Stanford University Press, 1990.
6 Robin Kelsey, Archive Style: Photographs and 6 Robin Kelsey, Archive Style: Photographs and
Illustrations for U.S. Survey, 1850-1890, Berkeley and Illustrations for U.S. Survey, 1850-1890, Berkeley and
Los Angeles: University of California Press, 2007. Los Angeles: University of California Press, 2007.
7 Okwui Enwezor, Archive Fever, 2008. 7 Okwui Enwezor, Archive Fever, 2008.

Indeks Gambar Picture Index


Pendahuluan Introduction
a. Zine Terompet Rakyat, edisi XII, akhir November,
hlm. 6, 1999.
b. Zine Terompet Rakyat, edisi XV , akhir Februari,
hlm. 8-9, 2000.
c. Zine Terompet Rakyat, edisi XXI, September, hlm.
8-9, 2000.
d. Zine Terompet Rakyat, edisi I, Desember, hlm. 29,
1998.
e. Zine Terompet Rakyat, edisi Juli, sampul belakang,
2002.
f. Zine Terompet Rakyat, edisi II, Januari, hlm. 4-5,
1999.
g. Banner Penolakan Rancangan Undang-undang
(RUU) Anti Pornografi, 2007.
h. Zine Terompet Rakyat, edisi XI , akhir Oktober,
hlm. 2, 1999.
i. Zine Terompet Rakyat, edisi XII, akhir November,
hlm. 3, 1999.

16
17 (a)
(b)

18
Taring Padi: Bukan demi Wacana Taring Padi: Not for the Sake of Art
Seni Rupa Discourse

Dolorosa Sinaga Dolorosa Sinaga

Di tengah kondisi negeri yang masih karut- In the midst of the tumultuous condition of this
marut, mengisahkan Taring Padi ternyata nation today, recounting the story of Taring Padi
membesarkan hati saya. Sebab kiprah mereka uplifts my heart. This is because their journey
melahirkan semangat yang membuat kita tetap has given birth to a spirit that has kept us firmly
menggenggam erat harapan akan masa depan embracing a hope for a better future for this
yang lebih baik di negeri ini. Mereka muncul nation. Taring Padi emerged in 1998, a group of
pada tahun 1998, sekelompok anak muda ber- youngsters of artistic background, pledging to
latar belakang seni rupa, berikrar menggalang build the socio-political awareness of the people
kesadaran sosial-politik masyarakat melalui through art.
seni. This is how the story began. In 1997, news
Begini ceritanya. Sekitar tahun 1997, spread that their campus, Akademi Seni
tersiar berita bahwa kampus mereka, bekas Rupa Indonesia (ASRI),
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), di the Arts
Gampingan akan pindah ke kampus baru di
daerah Sewon, yang kemudian
diresmikan menjadi

19
Institut Seni Indonesia (ISI) terpadu. Perpindahan Academy of Indonesia) in Gampingan would be
ini menyebabkan kampus di Gampingan relocated to a new campus in the Sewon area,
kosong tak bertuan. Gedung berlantai tiga which was later inaugurated as Institut Seni
ini langsung saja mereka serobot, dijadikan Indonesia (ISI, the Arts Institute of Indonesia).
studio kerja dan tempat tinggal sementara. The relocation resulted in the Gampingan
Di antara para penyerobot ini ada yang masih campus being left vacant. They immediately
kuliah. Jadi, mereka kuliah pagi di kampus took over the three-storied building, converting
baru di Sewon lalu pulang ke kampus lama di it into work studios and temporary residency.
Gampingan. Dalam perjalanan waktu, ada di Amongst these squatters, there were those who
antara mereka yang berhenti kuliah karena tak were still in college. In the morning they would
mampu membayar, tapi ada juga yang tak mau attend classes at the new campus in Sewon
melanjutkan. “Suasana belajar di ISI sangat to later return home to the old campus in
kaku dan beku, membosankan karena banyak Gampingan. As time went by, there were those
pembatasan kreativitas dalam berkarya”, kata who dropped out for economic reason, but
salah satu mahasiswa yang memutuskan lebih there were also those who simply did not want
baik nongkrong di Gampingan untuk bertukar to continue their education. “The educational
pikiran dengan kakak kelasnya. atmosphere at ISI was very stiff, rigid, and boring
due to the many restriction on creativity in (our
Gampingan: Membangun Kampus Baru di artworks)”, expressed one of the students who
Kampus Lama had decided that it was more appealing to hang
Gampingan menjadi tempat berkumpul, out in Gampingan, and exchanging ideas with
hidup bersama, dan menjalin persahabatan. his seniors.
Menciptakan kampus baru di kampus lama,
menggalang semangat kreatif dan pikiran bebas Gampingan: Establishing a New Campus atop
merdeka yang semasa kuliah tak pernah bisa the Old
mereka ciptakan di kampus. Gampingan became a gathering place, an area
Jumlah mereka segera membesar dan where one shares a living and forges friendships.
lebih cair karena bukan hanya orang seni rupa They created a new campus on a top of the old,
atau mahasiswa ISI saja yang bergabung. Tempat building a spirit of creativity and free thinking
itu bahkan menjadi forum internasional. Tamu which they were not able to create at their
dari teman menjadi sahabat, tamu dari teman campus during their college days.
punya teman menjadi kawan. Their number swiftly grew and became
Mulai sore sampai terang tanah, mereka more fluid; no longer were artists or ISI students
bertukar pikiran, membedah masalah kampus the only ones who joined in. The place even
dan pendidikan serta menyoal berbagai hal. became an international forum. Guests of
Sebagai orang seni rupa, mereka juga menyimak friends fast became friends also, and then guests
dengan kritis perkembangan dunia seni rupa of friends of other friends became friends too.

20
(d)

21
Indonesia. Pada waktu itu, sudah terlihat tanda- From dusk until dawn, they exchanged
tanda dominasi pasar atas kreativitas seniman thoughts, analyzed campus and educational
yang semakin mengkhawatirkan. issues, and discussed numerous topics. As artists,
Saat era reformasi mulai bergerak, kaum they also critically observed the development of
penyerobot kampus Gampingan ini berdiri dan the Indonesian art scene. At the time, there were
berjabat tangan memproklamirkan diri sebagai already worrying signs of market domination
kelompok Taring Padi (TP) pada 21 Desember over the creativity of artists.
1998 dan bersumpah untuk melawan kekuasaan, When the reformation era began to
serta membela rakyat yang tertindas. progress, the squatters of the Gampingan
campus stood up and held hands proclaiming
Bukan demi Wacana Seni Rupa themselves as Taring Padi on December 21,
Berdirinya Taring Padi mengingatkan saya pada 1998 and pledged to fight against the authority,
kiprah sekelompok seniman di Cabaret Voltaire, and defend the oppressed.
tempat nongkrong di kota Zürich, Switzerland,
yang dikenang sebagai tempat kelahiran Not for the Sake of Arts Discourse
kelompok Dada pada 1916. Nama itu ditemukan The establishment of Taring Padi reminded me
tanpa sengaja, akibat sobekan pisau tajam di of the actions of a group of artists in Cabaret
atas kamus Prancis–Jerman yang merupakan Voltaire, a gathering place in Zürich, Switzerland,
aksi spontan dari salah satu anggotanya. also remembered as the birthplace of the Dada
Mereka adalah seniman dan sastrawan group in 1916. The name was decided upon
berpandangan anarkis yang secara berkala by accident due to the rip in a French-German
berkumpul di tempat itu. Tujuan mereka adalah dictionary caused by a sharp knife wielded
menghancurkan moral dan nilai sosial yang spontaneously by one of its members.
berkuasa. Mereka geram terhadap kebodohan They were artists and laureates with an
Perang Dunia I. Mereka menyatakan perang anarchicistic point of view who periodically
terhadap masyarakat yang terhormat dan gather in that area. Their aim was to destroy the
menantang hukum sebab-akibat sebagai ke- moral and social values of those in power. They
benaran. Dogma tentang keindahan dijungkir- were furious at the foolishness of World War I.
balikkan. Spontanitas dan intuisi yang tak They declared war on respected communities
berakar pada prinsip keindahan, diaktifkan. and opposed the notion of the law of action-
Sebagai landasan berkarya, mereka menyatakan reaction as truth. The dogma of beauty was
diri menganut hukum ketidaksengajaan (Law of deconstructed. Spontaneity and intuition not
The Accident): tanpa nalar, antiartistik, absurd. rooted in the principle of beauty was galvanized.
Di samping berpameran, mereka juga aktif As a foundation of creating their art, they
menerbitkan majalah 291. declared themselves as adhering the Law of the
Sepak-terjang kelompok ini bahkan Accident: no reasoning, anti-artistic, absurd. In
memicu penyair besar Prancis, Andre Bréton, addition to arranging exhibitions, they were also
actively publishing the 291 magazine.
22
(e)

mengabadikan karya dan pemikiran kaum The activities of this group even
pemberontak ini ke dalam sebuah teori yang prompted the great French poet André Breton
dikenal dengan nama Dadaisme. Sebuah kontri- to immortalize the works and thoughts of this
busi penting bagi dunia seni rupa, penjejak rebel group into a theory known as Dadaism,
landasan bagi arah perkembangan seni rupa an important contribution for the world of arts,
abad ke-20. a groundwork foundation for the direction of
Taring Padi membawa semangat per- 20th century art development.
lawanan, sebagaimana kelompok Dada, juga Taring Padi brought about the spirit
menyimpan amarah dan geram terhadap situasi of resistance, just as the Dada group, and also
sosial-politik pada zamannya. Namun ada amassed rage and resentment towards the
semangat lain yang membedakan. Semangat socio-political situations of its era. Even so, there
perlawanan Taring Padi tidak untuk membongkar was another spirit that set it apart. The spirit of
kemapanan dunia seni rupa Indonesia demi resistance of Taring Padi was not to deconstruct
perkembangan wacana seni rupa. Mereka the established art scene of Indonesia for the
sepakat menggunakan potensi kesenian mereka development of an artistics discourse. For them,
untuk berpihak pada perjuangan rakyat. Bagi art was to be used as ammunition to launch
mereka, karya seni adalah amunisi untuk critiques and demands of the government with
melancarkan kritik dan gugatan terhadap the hope of manifesting a better future.
pemerintah dengan harapan dapat mewujudkan
masa depan yang lebih baik.

23
Melalui karya seni, mereka menggalang Through art, they began building the
pemahaman rakyat untuk melawan ketidak- understanding of the people to fight against
adilan, membangun komunitas yang sadar injustice, helping to forge a community aware
lingkungan, sadar atas masalah sosial, politik, of environmental, social, political, and cultural
dan budaya serta mengajak masyarakat aktif issues, inviting the community to be active and
dan berani menyuarakan pendapat tentang courageous in voicing their real life experiences
kinerja pemerintah dan pengalaman hidup and their opinions of the performance of the
bermasyarakat. Taring Padi menjalankan kerja government. Taring Padi carried out activist
aktivisme, melihat dirinya sebagai aktivis ke- work, seeing themselves as a humanitarian and/
manusiaan dan/atau kesenian. Mereka turun or artistic activist group. They went into villages,
ke desa, ke komunitas masyarakat buruh tani to the farmer and factory laborer communities
dan buruh pabrik untuk memperkenalkan karya to introduce their artwork and to exchange
dan bertukar pikiran. Kadang ada kendala di ideas. At times there were obstacles within the
basis masyarakat. Penampilan eksentrik mereka community. The members of Taring Padi were
kadang disalahpahami. Namun, karya seni pula sometimes misunderstood because of their
yang menyelesaikan masalah seperti itu karena eccentric and arty appearance. Even so, it was
karya mereka selalu menarik perhatian warga. also artwork that solved this barrier because
Agenda kerja aktivisme ini dilakukan their artwork always attracted the interest of
dalam bentuk advokasi dan penyuluhan, the community.
lokakarya kesenian, belajar menggambar, Their activist agenda was carried out
membuat karya cukil kayu, belajar teknik sablon, in the forms of advocacy and seminars, art
membuat poster dan selebaran serta membuat workshops, painting lessons, wood carving, silk
spanduk dan baliho. Di beberapa komunitas screening workshops, making posters and fliers,
desa, bahkan muncul kesadaran melukis di as well as creating banners and billboards. In
tembok rumah. Karya-karya mural membuat a few of the village communities, there arose
desa-desa itu menjadi semarak, semua orang an awareness of painting murals on walls or in

(f)

24
(g)

bisa membaca pesan yang disampaikan. Dengan the house. These villages became more festive,
jalan ini, Taring Padi melaksanakan perjuangan while at the same time everybody could read
dengan menjadikan karya seni sebagai media the messages voiced. Through these, Taring Padi
pembelajaran politik dan membangun kesadaran implemented the struggle by utilizing artwork as
berbagai isu sosial. Di samping kegiatan seni a medium to teach and learn politics and to build
rupa, bersama warga desa mereka juga berteater consciousness around various social issues.
dan bermusik. Aside from visual art activities, Taring
Saya pernah ikut acara mereka yang Padi was also involved in theatre and music.
sangat menarik, yaitu pembuatan patung I once participated in one really amazing
bebegik (memedi sawah) di tengah sawah event, which was creating statues of bebegik
bersama warga setempat. Ada kepuasan dan (scarecrows) in the middle of the field with the
kegembiraan merona di wajah warga ketika local villagers. There was a sense of satisfaction
melihat berbagai ekspresi dan bentuk bebegik and joy on everyone’s faces when they saw the
yang dihasilkan. Ada gugatan dan pesan various expressions and forms of the resulting
yang dilekatkan di badan bebegik. Melalui statues. There were political demands and
kerja semacam itu, Taring Padi tidak hanya messages placed on the bodies of the statues
memperkenalkan karya seni sebagai media of the bebegik. Through such activities, Taring
pembelajaran, tapi juga mendekatkan karya Padi not only introduced artwork as a medium
seni kepada rakyat. Sama seperti saat mereka for learning, but had also brought artwork
membuatkan poster, baliho, banner, selebaran closer to the people. Similarly when they made
untuk dipakai sebagai atribut demonstrasi, posters, billboards, banners, or fliers those were
kampanye, pawai atau dipinjamkan untuk always used as resources for demonstrations,
menghiasi ruangan diskusi dan menjadi bagian campaigns, marches, or lent as decorations for
dalam acara peluncuran buku. discussion rooms and book launches.
Mengikuti Marshall McLuhan bahwa Following Marshall McLuhan that
“medium adalah pesan”, bagi Taring Padi “medium is the message”, to Taring Padi, the
sendiri, karya seni itu adalah pesan. Karena itu, artwork itself is a message. Because of this, an
25
(h)

(i)

26
karya harus mudah dipahami, bersifat realis dan artwork has to be easily understood, be realistic
konkret. Kesepakatan inilah yang merekat para and concrete. It was this understanding that
anggota Taring Padi. brought together and bound the members of
Taring Padi.
Kerja Kolektif dan Realisme
Collective Work and Realism
Mereka pernah bercerita kepada saya bahwa
mereka membangun tradisi diskusi sebelum Taring Padi members told me that they built
mengeksekusi sebuah karya. Sketsa awal di- a tradition of carrying out discussions before
bicarakan hingga tuntas, termasuk pembagian beginning new works of art. Preliminary
kerja dan tanggung jawab. Di tingkat ekspresi, sketches were thoroughly discussed until
keterampilan teknik realis dan kemampuan they had a complete idea, including work
visual mereka memang tidak sama kuat. and responsibility divisions. On the level of
Namun hal ini mereka atasi dengan kerja expression, their techniques and visual skills
kolektif, menggambar bersama, saling belajar, were not always equal. But they overcame
dan memotivasi kawan untuk meningkatkan this through collective work, painting together,
kemampuan dan keterampilan. Tradisi kerja learning from each other, and motivating fellow
kolektif ini juga membangun disiplin, sinergi, artists to increase their abilities and skills. This
dan pengorganisasian kerja. Memang tidak tradition of collective work also built discipline,
mudah menata kebiasaan hidup yang bebas dan synergy, and work organization. It was indeed
santai ke dalam suatu pola kerja dan tanggung not easy to restructure a free and laidback
jawab. Tetapi mereka telah membuktikannya lifestyle into a pattern of work and responsibility,
dan mampu menjadi kelompok yang padat-guna but they have proven themselves and were able
dalam melaksanakan kerja aktivismenya. to emerge as an purposeful and efficient group
Bagi saya, yang menarik untuk disimak in carrying out activist work.
dari karya Taring Padi adalah proses kerja To me, what is interesting to observe
mereka dari gagasan sampai bahasa visual. from the art of Taring Padi is their process
Ketika mereka mengerjakan karya kolektif mural of working, an idea into its fruition in visual
dan baliho misalnya, dan terjadi mobilisasi language. When they work on collectively such
kemampuan dan kepekaan visual yang tidak as mural or billboards, for example, and it came
merata, saya melihat bagaimana mereka yang about in the group that they have uneven skills
terampil membuat koreksi yang sangat berharga and visual sensitivity, I saw how those who were
sebagai pembelajaran bagi yang lain. more capable made corrections which really
Hal menarik lainnya adalah pendekatan valuable lessons for the others in the group.
ekspresi visual yang dominan dalam karya-karya Another interesting aspect to scrutinize
Taring Padi. Mereka sadar akan pentingnya is the dominant visual expression approach
kekuatan komposisi dalam karya dua within the works of Taring Padi. They realize the
dimensi. Karya-karya mereka menampak-kan importance of strong composition when making

27
pengetahuan atas prinsip penggunaan perspek- two dimensional artwork. Their artworks show
tif dan penyejajaran yang efektif. Pengelolaan a comprehension of the principals of the use
narasi gambar mereka selalu mempertimbang- of perspective and effective lining while their
kan peran pusat dalam bidang gambar sebagai direction of the visual narrative always takes
kekuatan ekspresi. Ada kalanya terlihat pe- into consideration the main role of centre of the
minjaman gaya poster propaganda dengan painting in creating powerful expression. There
adanya tulisan yang memperkuat daya pesan. are times one could see the borrowing of stylistic
Pada karya lain, mereka menggabungkan unsur properties of propaganda posters with the
komik, kartun, dan sketsa yang menyegarkan. inclusion of writings reinforcing the message. In
Ada kekuatan imajinasi dalam narasi gambar, other works, they combine refreshing elements
walau terkadang ngebanyol dan lucu, namun of comics, cartoons, and sketches. There exists
pesan itu menohok kesadaran pemirsanya. a strength of imagination within the narrative
Penggunaan simbol dan ikon yang of the paintings, although occasionally carefree
dikenal masyarakat juga menjadi kekuatan and humorous, always the message prods the
elemen rupa mereka. Mengikuti realisme, consciousness of the beholder.
karya-karya Taring Padi tidak dikerjakan secara The use of symbols and icons well-
intuitif atau spontan. Mereka tahu pendekatan known to the people also become the strength
intuitif tersebut akan menjauhkan karya mereka of Taring Padi’s works of art. Adhering to realism,
dari fungsi dan tujuan mereka berkarya. Namun the works of Taring Padi did not come into

(j)

28
selalu ada ruang toleransi bagi gagasan spontan
yang terlontar dalam proses kerja, sepanjang
hal itu tidak mengacaukan ekspresi utama dan
esensi tujuan berkarya mereka tercapai.

Taring Padi dan Sejarah Seni Rupa Kita


Lebih dari sepuluh tahun sudah sepak-terjang
(k)
Taring Padi mendapat banyak perhatian masya-
rakat. Di dalam tubuh Taring Padi sendiri juga
terjadi banyak perubahan. Para pendirinya saat realization intuitively or spontaneously. They
ini sudah mulai menapak kehidupan kesenian- knew that those intuitive approaches would
nya sendiri dengan alasannya masing-masing. distance their work from their function and
Ada yang berhasil menyandang nama besar purpose. Nevertheless, there is always room
sebagai seniman mandiri, membangun ekspresi for toleration for spontaneous ideas that came
keseniannya tanpa identitas Taring Padi. Ada about during the work progress as long as the
juga yang terus melakukan kerja aktivisme di ideas do not disrupt the main expression and as
basis dan meneruskan perjuangan di tempat long as the essential purpose of their work can
mereka menetap. Saat ini Taring Padi dijalankan still be realized.
oleh generasi penerus yang setia melanjutkan
cita-cita Taring Padi. Mereka belajar bersama Taring Padi and the History of Our Arts
masyarakat, membangun perpustakaan umum It has been more than a decade that the activities
bagi orang dewasa dan anak-anak. Studio dan of Taring Padi has caught the attention of the
perpustakaan Taring Padi di Dusun Sembungan people. Within the organization itself, there
juga terbuka bagi siapa saja yang mau belajar di have occurred many changes. The founders
sana. have already began their own individual journey
Kabar terakhir yang saya dengar in the arts for different reasons. There are those
tentang kegiatan mereka sangat membesarkan who have succeeded in establishing a name of
hati. Seorang aktivis lingkungan asal Italia yang their own as independent artists, building their
mampir kemudian tinggal bersama Taring Padi, artistic expressions outside of the identity of
mulai mengajarkan membuat sepeda sendiri. Taring Padi. There are also those who continue
Mengapa mereka membuat sepeda? Jawabnya, their work of activism at the base and continue
“Kami mau kampanye, dengan bersepeda the struggle from their respective places of
kami mau menyatakan diri mendukung settlement. Taring Padi is currently run by the
gerakan lingkungan hidup. Polusi udara di succeeding generation who faithfully continue
Yogyakarta semakin mengkhawatirkan dengan the goals of Taring Padi. They continue learning
bertambahnya kendaraan bermotor. Kami together with the community and build public
mau menjaga keasrian kota kami ini yang dulu libraries for adults and children. The Taring Padi

29
terkenal sebagai kota pelajar, kota budaya.” Studio now in the Sembungan area is also open
Taring Padi berhasil melahirkan ciri atau to anybody who wants to study there.
identitas kelompok yang bukan dalam konteks The latest news I received regarding
estetika, melainkan ideologi kerja seni. Gaya their activities is very encouraging. An
realis mereka, tentu saja, bukan hal baru. Sejarah environmental activist from Italy who visited
seni rupa Indonesia mencatat keberadaan and later resided with Taring Padi, began to
kelompok Persagi, Lekra, dan Bumi Tarung yang teach them how to build their own bicycle. Why
juga bergaya realis dalam konteks nasionalisme. are they constructing bicycles? The reply, “We
Persagi menolak karya kelompok Indonesia want to campaign. By cycling we want to declare
Molek yang hanya menceritakan Indonesia dari our support for the environmental movement.
sudut pandang eksotisme dan keindahan alam. Air pollution in Yogyakarta has become more
Lekra dan Bumi Tarung menolak pengaruh Barat worrisome with the increasing number of motor
yang mencerabut individu dari akar budayanya. vehicles. We aspire to preserve the beauty of
Sedangkan Taring Padi menggunakan ekspresi our city, which used to be known as a city for
realisme dalam semangat perlawanan untuk students, a city of culture.”
menggugat pemerintah. Taring Padi has succeeded in giving birth
Menurut saya, ada tiga hal yang harus to a character or group identity that is not so
ditimbang sebelum kita memikirkan posisi Taring much part of an aesthetic ideology but instead
Padi dalam sejarah seni rupa kita. Pertama, within the ideology of working through art.
karya Taring Padi bukan wacana eksplorasi seni The realist style is of course nothing new. The
rupa. Kedua, karya Taring Padi bukan ekspresi art history of Indonesia records the existence
pribadi, melainkan medium untuk melawan of Persagi, Lekra, and Bumi Tarung which also
dan menggugat. Ketiga, pekerja Taring Padi carries the style of realism within the context
memandang diri mereka bukan sebagai seniman, of nationalism. Persagi rejected the works
tapi sebagai aktivis yang menjalankan fungsi of the group Indonesia Molek Group (Lovely
mendayagunakan dan memfasilitasi pendidikan Indonesia) which only portrayed Indonesia from
masyarakat dalam bidang sosial-politik me- the viewpoint of exotism and natural beauty.
lalui media seni rupa. Dengan ketiga argumen Lekra and Bumi Tarung rejected Western
influence which uprooted the individual from
his cultural roots. Whereas Taring Padi utilizes
realistic expression together with their fighting
spirit to shake the foundations of government.
In my opinion, there are three elements
that one has to take into consideration before
we contemplate Taring Padi’s position within our
history of the arts. Firstly, the works of Taring
Padi are not an exploration into discourses of
visual arts. Secondly, the works of Taring Padi

(l)
(m)

ini, maka pertanyaan tentang bagaimana are not individual expressions, instead they
meletakkan karya Taring Padi dalam sejarah serve as a collective medium to fight and make
seni rupa Indonesia menjadi tidak tepat guna, change. Thirdly, the members of Taring Padi do
bahkan tidak dibutuhkan. not view themselves as artists, but as activists
Apa yang pernah dan masih mereka who carry out the function of empowering and
kerjakan sekarang akan selalu menarik untuk facilitating the education of community in socio-
disimak karena dari tangan mereka, kita mem- political matters through the medium of art. In
baca fungsi seni rupa dalam masyarakat yang relation to these three points of argument, the
tidak melulu menjadi persoalan komoditas. question of how to place the works of Taring
Investasi yang mereka lakukan, nilai pertaruh- Padi within the Indonesian history of the arts in
annya lebih dari pertukaran moneter. Taring fact becomes irrelevant and unnecessary.
Padi membawa seni rupa menjadi dekat dengan What Taring Padi have done and continue
masyarakat. Mereka memaknai kerja seni rupa to do will always be of interest to observe, for
sebagai media dan sarana untuk memahami arti from their hands we see the function of art
kemerdekaan dan kebebasan. within the community as being not just a matter
of commodity. The investment that Taring Padi
have made has a higher stake than monetary
exchanges. They bring art to the people. Taring
Padi give visual arts meaning as a medium and
as a tool to understand what is the meaning of
freedom.

31
Indeks Gambar Picture Index
Taring Padi: Bukan demi Wacana Seni Rupa Taring Padi: Not for the Sake of Arts Discourse

a. Semua gambar diambil dari kegiatan Taring


Padi.
b. Logo Taring Padi.
c. Eks Gedung ASRI, Gampingan.
d. Semua gambar diambil dari kelas diskusi Taring
Padi.
e. Aksi Dibabikan Penjahat Kemanusiaan, 1999.
f. Karnaval Peringatan 4 tahun Tragedi Lumpur
Lapindo, 2010.
g. Festival Memedi Sawah, 1999.
h. Atas: Banner People’s Justice, acrylic di atas
kanvas, 800cm x1200cm, Adelaide – South
Australia, 2002.
i. Bawah: Proses pembuatan Banner “People`s
Justice”.
j. Banner “Pengungsi #1”,, kerjasama dengan
Komnas Perempuan dalam acara Malam
Solidaritas Pengungsi Aceh, acrylic di atas
kanvas, 460 cm x 750 cm, 1999.
k. Critical Mass, Hari Bumi, 2010
l. Foto bersama sebelum Karnaval Sepeda 10 th
Taring Padi, 2009
m. Proses mencetak banner cukil kayu.

32
(a)
34 (b)
Bab I
Ikonografi Manusia Separuh Anjing:
Kampanye Antimiliterisme dalam Karya-
karya Taring Padi

Kiswondo

Visualisasi Militer dan Militerisme


Sepanjang pengetahuan saya, kampanye anti-
militerisme Taring Padi disampaikan melalui
berbagai media seni rupa seperti wayang,
baliho, rontek, spanduk, gambar, lukisan, kartu
pos, instalasi, dan seni performance. Kampanye
yang sangat kental mendedahkan sifat dan watak
militerisme rezim Orde Baru ini dilakukan dalam
kerangka wacana besar gerakan demokratisasi di
Indonesia dan perlawanan terhadap militerisme (c)
peninggalan rezim tersebut, terutama pada
doktrin kekaryaan Dwi Fungsi ABRI. Selain itu, Chapter I
Taring Padi juga mengkritisi perkembangan The Iconography of Half-Man-Half-Dog:
demokrasi di ranah tatanan global. Anti-militarism Campaign in Taring Padi’s
Hal yang paling menarik dalam Artwork
kampanye ini adalah bagaimana Taring Padi
menggambarkan militerisme sebagai figur
’manusia jejadian’. Figur tersebut berkepala Kiswondo
anjing, bersepatu bot, berpakaian militer leng-
kap dengan atributnya, baik seragam Pakaian
Dinas Lapangan (PDL) maupun seragam The Visualization of the Military and
kantoran. Penggambaran macam ini nampak Militarism
mencolok dalam wayang berjudul ”Anjing As far as I know, Taring Padi’s anti-militarism
Penjaga Modal” dan ”Militerisme”. campaign has been done through a range of art
Militerisme dalam baliho ”Sidang media, such as the wayang, hangings, pennants,
Rakyat” (hlm. 64) digambarkan sebagai tiga figur banners, drawings, paintings, post cards, works of
’manusia jejadian’. Satu figur berpakaian doreng installation, and performance art. The campaign
PDL berkepala anjing, satu figur berseragam that vigorously exposed the nature of militarism
kantoran pejabat tinggi militer berkepala celeng during the New Order era was held within the
35
(babi hutan), dan satu figur berpakaian safari framework of the democratization movement
sipil berkepala tikus. Ketiganya diarak massa in Indonesia and the fight against the regime’s
dengan tangan terborgol ke belakang. Sementara militarism legacy, especially in terms of ‘Doktrin
dalam baliho ”Mengadili Soeharto dan Para Kekaryaan’ or the Doctrine of the Non-Military
Jenderalnya” (hlm. 39), militerisme ditampilkan Function of the Indonesian Army. Taring Padi
tak jauh berbeda dengan kelaziman visual Taring also shrewdly comments on the development
Padi. Ada figur berukuran besar yang dikesankan of democracy on the global level.
sebagai Soeharto yang diikat bersama beberapa The most interesting aspect of this campaign
figur manusia berukuran lebih kecil. is how Taring Padi depicts militarism as a “half-
Mereka berpakaian PDL man-half-animal” figure. The figure has the head
militer, dikesankan sebagai of a dog, wears boots and complete military
jenderal penting di masa attire either the field uniform or daily office
kekuasaan rezim Orde Baru; uniform with all the relevant attributes. Such
ada yang berkepala manusia depiction appears prominently in the wayang
dan ada yang berkepala titled Anjing Penjaga Modal (Capitalism Watch-
anjing. dog) and Militerisme (Militarism).
Penggambaran militer In the banner of “Sidang Rakyat”
dan militerisme dalam bentuk (People’s Assembly, page 64), militarism is
’manusia jejadian’ semacam represented by three “half-man-half-animal”
itu hampir menempati figur figures. One of the figures has the head of a
utama dalam sebagian besar karya dog and wears the military camouflage suit;
Taring Padi, kecuali pada beberapa another figure has a boar head and wears the
penggambaran militer dengan office uniform of a high military official; and
figur manusia. Misalnya, figur the third figure wears safari suit and has the
separuh badan seorang prajurit berhelm head of a rat. The three figures are made to walk
tempur standar dengan dua telinga tersumbat in a mass parade, with their hands handcuffed
batangan bulat kayu, roman muka tegang, urat on their back. In the banner of “Mengadili
wajah tertarik, yang mengesankan kekerasan.1 Soeharto dan Para Jenderalnya”
Namun, dominasi penggambaran tetaplah (Bringing Soeharto and His General
figur manusia berkepala anjing yang menjadi to Justice, page 39), militarism is
semacam ciri khas karya Taring Padi. Mengapa presented in the usual Taring
penggambaran ini yang dipilih? Ada apa dengan Padi style. There is a large figure
anjing? made to look like Soeharto, tied
together with smaller human
Bahasa Ngoko Rakyat dalam Ikonografi Anjing figures who wear military field
Dalam bahasa Jawa ngoko (Jawa kasar), ”asu” uniforms and resemble important
adalah umpatan yang jarang diucapkan karena generals of the New Order regime
menempati derajat tinggi dalam ungkapan

36 (d)
(e)

kemarahan dan rasa bahasa yang sama juga some with human heads, others with that of a
termaktub dalam kata ”anjing” di bahasa dog.
Indonesia. Apalagi kalau di belakang umpatan The depiction of the military and
”asu” itu ditambahkan kata ”buntung” sehingga militarism in the form of “half-man-half-animal”
menjadi ”asu buntung” (anjing tanpa ekor). becomes the focus of attention in almost all of
Ketika seseorang berlatar belakang budaya Jawa Taring Padi works, with the exception of some
Tengah mengumpat ”asu”, berarti dia sudah tidak human portrayals of the military. There is, for
bisa lagi menoleransi kesabarannya. Orang yang example, the torso of a soldier wearing a standard
diumpat dengan sendirinya juga akan sangat combat helmet, his ears plugged with cylindrical
marah. Dalam pergaulan sehari-hari, umpatan pieces of wood, his expression tensed, his veins
”asu” biasanya sering dikromokan (dihaluskan) throbbed in his forehead, giving the impression
menjadi ”asem”. Tetapi tampaknya tidak ada of violence.1 The dominating images, however,
kromonisasi lagi dalam karya Taring Padi yang are still the dog-headed humans that seem to
lebih memilih ngoko. be characteristic of Taring Padi’s works. Why did
Dua pertanyaan menggelitik terselip they choose to use such images? What is it with
dalam benak saya ketika membaca ikonografi dogs?
militer dan militerisme dalam karya Taring Padi
tersebut. Pertama, sedang terjadi proses apa The Informal Ngoko Style of the People in the
di masyarakat kita sehingga para aktivis Taring
37
(f)
Padi yang mayoritas dibesarkan dalam budaya Iconography of Dogs
Jawa Tengah, sampai mengeluarkan umpatan In the informal ngoko style, the Javanese
yang biasanya dijadikan pilihan terakhir untuk word of “asu” is rarely used because it is a
mengekspresikan rasa jengkel, jengah atau highly offensive term to express anger, just as
marah? Kedua, darimana asal-usul ikonografi its literal translation in Indonesian, “anjing”
anjing dan mengapa itu yang dipakai? (meaning: dog), is also an offensive swearword.
Baiklah, saya mundur sedikit. Dalam The term becomes even more offensive if we
kartun yang menyoroti pemberontakan add the word “buntung”, producing the term
PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik “asu buntung” (or, literally, “lopped-off dog”).
Indonesia), kartunis Sibarani pernah If people coming from the Central Javanese
menggambarkan tokoh-tokoh pemberontak cultural background use the expletive “asu”, it
dalam figur berkepala serupa binatang. Achmad means they can no longer contain their anger.
Husein digambarkan berkepala babi dan The other person, at whom the expletive
Sjafrudin Prawiranegara diasosiasikan sebagai is targeted, will consequently become very
keledai. Benedict Anderson mengomentari hal offended, too. In everyday life, people usually
ini: ”Sibarani melakukan ’pembinatangan’ atau soften the expletive, changing “asu” into “asem”
penggunaan simbol-simbol binatang tertentu (which literally means tamarind but sounds
karena memiliki asosiasi verbal dengan kualitas similar to “asu”). Apparently, however, there is
moral tertentu.”2 no softening effort in Taring Padi’s works, which
Bagaimana penggunaan ikonografi deliberately choose to be rough.
dalam ’manusia jejadian’ Taring Padi? Saya Two intriguing questions came to my
menduga bahwa awalnya penggunaan ikono- mind when I observed the iconography of the
grafi anjing diadopsi dari frasa pokok yang military and militarism in Taring Padi’s works.
sering muncul, yakni watch-dog (anjing penjaga) First of all, what is going on in our society that has
yang dalam kasus ini diartikan sebagai anjing made Taring Padi activists, most of them having
penjaga modal. Di sisi lain, pilihan ikonografi been raised in the Central Javanese cultural
’musuh rakyat’ dalam bentuk anjing, babi, environment, choose to utter the expletive that
celeng, dan tikus, sebenarnya sudah dipandang would generally be the last choice in expressing
umum sebagai simbol kerakusan, keserakahan, annoyance or anger? Second, what is the origin
kejahatan, kejorokan, terlebih kenajisan. Kalau of the iconography of dogs, and why do they
benar demikian, maka pembacaan Anderson choose to use that very iconography?
di atas dapat secara paralel digunakan untuk Allow me to move back a little. In
melihat pilihan penggambaran Taring Padi the caricature about the rebellion of PRRI
sebagai asosiasi verbal tertentu atas kualitas (Revolutionary Government of the Republic of
moral militer dan/atau militerisme. Indonesia), the cartoonist Sibarani depicts rebels
Kualitas moral macam apa? Watak as characters whose heads resemble those of
represi rezim militeristik di Indonesia dipandang animals. Achmad Husein is depicted as having
banyak pihak sangat antihumanis, melanggar the head of a pig and Syafruddin Prawiranegara

39
hak asasi manusia, menghambat demokrasi, dan is associated with a donkey. Benedict Anderson
merupakan sumber bencana bagi warga bangsa. comments on this: “Sibarani embarks on an
Militer dan militeristik diidentikkan dengan effort of ‘animalization’, or the use of certain
cara-cara kekerasan dan pemerintahan tangan animal symbols because they have verbal
besi yang tidak bisa ditoleransi lagi. Kondisi associations with particular moral qualities.”2
inilah yang mungkin menyebabkan Taring Padi What about the iconography of the
mengumpat dalam asosiasi verbal manusia “half-man-half-animal” in Taring Padi’s works?
setengah anjing, babi, celeng atau tikus. I suspect that initially the iconography of dogs
was taken from an often-used term of “watch-
Teks Ujaran yang Sering Muncul dog”, which in this case is understood as the

(g) (h)

Semua ranah persoalan yang berkaitan dengan capitalism watch-dog. Then there is also the fact
Dwi Fungsi ABRI dan praktik-praktik militeristik that dogs, pigs, boars, and rats are commonly
rezim ini merupakan bahan baku yang kemudian seen as symbols of avarice, greed, crime, filth,
diolah menjadi tema karya-karya Taring Padi. and obscenity. If this is correct, then Anderson’s
Untuk melihat hal ini, kita akan menelusuri judul- above analyses can be used as the basis to view
judul karya dan isi segenap teks yang muncul di Taring Padi’s choice of image as signifying certain
dalamnya. Teks-teks ini selanjutnya saya sebut verbal associations about the moral quality of
sebagai ’ujaran’ Taring Padi. the military and/or militarism.
Dalam hal kekerasan, penindasan What kind of moral quality, though? The

40
(j)
terhadap rakyat dan pelanggaran hak asasi repressive character of the militaristic regime
manusia, ujaran itu, antara lain, adalah ”Tolak in Indonesia was seen as highly antihumanist,
Kekerasan Militer dan Negara” (gambar), violating human rights, impeding democracy,
”Militer Keparat Militer Pembunuh” (gambar), and a source of disasters for the citizens. It is
”Kekerasan adalah Fasis” (kartu pos), ”Akhiri this condition that might have caused Taring
Perang Sipil: Satu Bumi Tanpa Negara Tanpa Padi to curse, using the verbal associations of
Tentara” (gambar), dan ”Hentikan Konflik antar half-human-half-dog, half-pig, half-boar, or half-
Elit Politik dan Militer dan Adu domba SARA”. rat.
Dalam ranah Dwi Fungsi ABRI dan solusi
agar terjadi transisi dari kediktatoran militer The Often-used Texts
ke arah demokrasi, muncul ujaran ”Lawan All the issues related to the Dual Function of
Militerisme,”3 di mana terpampang gambar the Indonesian Army (Dwifungsi) and to the
tangan yang mengangkat secarik kain bertuliskan military practices of the regime serve as the
”Demokrasi”. Lalu ujaran ”Rakyat Bersatu Tolak raw materials that Taring Padi subsequently use
Militer yang Duduk di Parlemen” (gambar), ”38 for the themes of their works. Let us now look
Kursi Gratis untuk Menindas Rakyat” (gambar), back on the titles and contents of the works, or
“Hentikan Campur Tangan Militer” (poster), the whole texts that the works contain. I will
”Tuntaskan Reformasi Total Tanpa Darah Tanpa subsequently call these texts as Taring Padi’s
Tentara” (poster), ”Tolak Ratih” atau Rakyat “utterances”.
Terlatih (baliho ”Rakyat Demokratik”), dan In terms of violence, oppression to the
”Tolak RUU PKB/KKN”. people, and human rights violence, the following
Dalam hal hubungan antara militer dan utterances are found: “Reject the Military and
modal (baca: kapitalisme), ada ujaran keras State Violence” (drawing), “Damned Military,
”Anjing Penjaga Modal”. Ada juga karya yang Murderous Military” (drawing), “Violence is
berujar ”Awas Bahaya Laten Militer Kapitalis” Fascist” (post card), “End Civil War: One Earth
(poster). Masih dalam hubungan antara militer with Neither States and Nor Armies” (drawing),
dan modal, terutama dalam hal Hubungan and “Stop Conflict between the Political and
Industrial Pancasila, di mana militer dan polisi Military Elites and End Racial and Religious
sebagai bagian dari Muspika dan Muspida ter- Scapegoating”.
libat dalam lembaga arbitrase penyelesaian Concerning the issues of the Indonesian
sengketa perburuhan, Taring Padi mengeluarkan army’s dual function and the solutions to bring
ujaran ”Tolak Campur Tangan Militer Dalam about the transition from military dictatorship
Perusahaan” (gambar). to democracy, there are the utterances of “Fight
Ada satu ujaran tentang kasus represi Militarism”,3 in which there is the picture of a
yang menyebabkan aktivis buruh terbunuh. hand carrying a piece of fabric with the word
Salah satu kasus legendaris adalah Marsinah, ‘Democracy’. Then there are also the utterances
seorang buruh pabrik PT. Catur Putra Surya di of “People Unite against the Military in the
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang disinyalir Parliament” (drawing), “38 Free Seats to Oppress

44
(k)
(m)
(n)

oleh lembaga-lembaga pembela Hak Asasi the People” (drawing), “Stop Military Meddling”
Manusia dan Hak Buruh, tewas dibunuh militer. (poster), “Total Reformation with Neither Blood
Oleh karena itu, dan demi mengawetkan memori Nor Military” (poster), “Reject Ratih” (banner of
kolektif masyarakat, Taring Padi membuat Bilik “Democratic People”), and “Reject the National
Marsinah, sebuah ruang yang didedikasikan State Emergency Draft Bill”.
untuk Marsinah di kesekretariatan mereka di In terms of the relationship between
Ngijo, Sewon, Bantul. Penamaan bilik tersebut the military and capitalism, there is a harsh
adalah jenis ujaran yang berbeda, namun utterance of “Capitalism Watch-dog”. Then
bernada serupa dalam menggarisbawahi bahaya there is also a work that says “Beware of the
campur tangan militer dalam perusahaan dan Latent Danger of Capitalistic Military” (poster).
perburuhan. Still in terms of the relationship between the
Dalam menyikapi ’daftar hitam dosa- military and capitalism, especially in the context
dosa’ yang pernah dilakukan militer dan rezim of the Pancasila-based industrial relationship
militerisme di Indonesia pada masa lalu, Taring in which the military and police as members of
Padi memunculkan ujaran tentang perlunya the Muspika (Subdistrict Leaders Forum) and
mengadili rezim Orde Baru, pucuk pimpinan Muspida (Regional Leaders Forum) are involved
tertinggi diktator militeristik, dan para jenderal in the arbitral institution to solve industrial
pendukungnya. Simak ujaran ”Rakyat Menanti disputes, Taring Padi says: “Reject Military
Adili Para Jenderal Orde Baru” (gambar), ”Sidang Involvement in Companies” (drawing).
Rakyat” (baliho), ”Mengadili Soeharto dan Then there is an expression about a

50
(o)
(q)
(r)

Para Jenderalnya” (baliho), dan ”Adili Penjahat case of repressive actions that caused the death
Kemanusiaan” (wayang). of a worker-activist. One of the legendary cases
Sebenarnya, ketika membicarakan wa- is that of Marsinah, a worker at PT. Catur Putra
cana antimiliterisme, Taring Padi juga sedang Surya factory in Porong, Sidoarjo, East Java,
mempersoalkan militerisme di seluruh dunia who according to human right and workers’
sebagai penyebab terjadinya konflik dalam organizations had been murdered by the
negeri maupun perang antarnegara. Bagi komu- military. To preserve the collective memory of
nitas gerakan budaya yang berdiri pada 21 the people about the case, Taring Padi created
Desember 1998 ini, negara-negara besar selalu “Bilik Marsinah” (Marsinah’s Cell), a space
menggunakan militer dan cara-cara militeristik dedicated to Marsinah, at their secretariat in
untuk menekan negara lain agar mau menerima Ngijo-Sewon, Bantul. The naming of the cell
hegemoni dan dominasi mereka atas tatanan constitutes yet another form of expression, but
kapitalisme global. Dalam hal ini, hadir wayang it is still in the same note of emphasizing on
yang mengusung ujaran ”Bubarkan Angkatan the danger of military involvement in industrial
Bersenjata di Seluruh Dunia”. matters.

55
Selain itu, tak tertutup pula kemung- In responding to the “list of sins” that
kinan terjadinya konflik sipil di negara-negara the military and the Indonesian militaristic
Dunia Ketiga akibat adanya industri senjata, regime had committed in the past, Taring
manakala perang dan senjata menjadi komoditi Padi presented the utterance about the need
yang menguntungkan negara besar. Dalam to bring to justice the New Order regime, the
kasus ini, muncul ujaran ”Hentikan Perdagangan leader of the militaristic dictatorship, and his
Senjata Internasional” (poster, hlm. 50). Karena crony generals. Observe the utterances of
militer memang aparatus koersi negara, hadir “The People Await the Trial of the New Order
sebagai alat pemukul terhadap kekuatan Generals” (drawing), “The People’s Assembly”
oposisinya, maka Taring Padi memandang perlu (banner), “Bring Soeharto and His Generals
berujar ”Akhiri Perang Sipil: Satu Bumi Tanpa to Trial” (banner), and “Bring Perpetrators of
Negara Tanpa Tentara”. Human Rights Violence to Justice” (wayang).
Dari penggambaran dan ujaran yang In fact, when Taring Padi talks about
mengemuka dalam karya-karyanya, Taring Padi anti-militarism, they are actually also discussing
militarism in the world as the cause of internal
(s)

56
(t)
(u)
masih melihat militerisme sebatas praktik- conflicts as well as wars between countries. For
praktik yang pernah dilakukan oleh militer, proponents of this cultural movement, which
ABRI, jenderal-jenderal besar di zaman Orde was formally established on December 21,
Baru, dan Soeharto sendiri. Apakah praktik- 1998, big countries always use the military and
praktik militerisme dan militeristik hanya identik militaristic methods to coerce other countries
sebagai monopoli mereka? Kalau mereka sudah into accepting their dominance in the global
tidak ada, apakah kekerasan, represi, dan kontrol order of capitalism. There is thus the wayang
terhadap kebebasan berdemokrasi pasti akan with the utterance of “Disband All Armed Forces
lenyap dari masyarakat kita? Belum ada karya- in the World.”
karya Taring Padi yang menunjukkan pengertian Then there are also potential civil
militerisme di luar praktik militer. Sebab, ketika conflicts in Third World countries due to the
mempersoalkan nilai-nilai militerisme dan/ arms industry, as wars and weapons become
atau militeristik, sebenarnya sangat terbuka profitable commodities for big countries. Here
peluang munculnya nilai-nilai dan praktik- Taring Padi conveys the utterance of “Stop
praktik militerisme di tataran masyarakat sipil. International Arms Trade” (poster, page 50).
Nilai-nilai dan praktik-praktik militerisme ini pun Because the military is indeed an apparatus
bukan hanya berhenti di wilayah sosial politik, of state coercion and is present as a device to
bahkan juga dapat terjadi di wilayah budaya, strike the oppositions, Taring Padi feels the need
bahasa, dan terlebih, mungkin sudah masuk ke to say: “End Civil War: One Earth with Neither
dalam tataran pikiran umum masyarakat. Hal States Nor Armies”.
inilah yang kurang tergarap oleh Taring Padi. From the depictions and utterances
Sebagai penutup, ada baiknya kalau saya that appear prominently in their works, it is
sedikit membandingkan karya-karya Taring Padi evident that Taring Padi still views
dengan kartun antimiliterisme militarism within the confines
Yayak Iskra Ismaya.4 of the practices that the
Membandingkan military, the Indonesian
kartun dengan armed forces, the big New Order
media seni rupa generals, and Soeharto himself
lainnya dalam have taken. Are militaristic practices
kajian umum and militarism identical with those actors,
yang pendek ini, and done only by them? If they are gone, will
tentu berisiko. Hanya saja, secara violence, repressive practices, and restrictions
umum dapat dikatakan bahwa of democratic freedom disappear from our
kartun Yayak lebih kaya society? There is no work by Taring Padi that
mengangkat segi dan conveys the understanding of militarism outside
aspek ’daftar hitam dosa’ military practices. Actually, when we talk about
militer dan militerisme militarism and/or militaristic values, there are
di Indonesia dan possibilities that such values and practices also

(v) 59
(w)
disertai kasus-kasus nyata represi dalam sejarah originate from the civilians. Militarism values
awal kekuasaan rezim Orde Baru sampai masa and practices are not restricted to the social
akhir kekuasaannya. Sementara itu, karya-karya and political realms but can also be found in the
Taring Padi yang saya tilik disini, lebih merupakan cultural and linguistic territories, and perhaps
slogan umum kampanye, normatif, dan abstrak, already assert themselves into the minds of the
yang sudah banyak diusung oleh gerakan maha- general public. Taring Padi, however, has not
siswa, kalangan LSM, dan gerakan Pro-Demokrasi talked adequately about this.
lain pada masa yang sama dengan diproduksi- To close this essay, it might be good for
nya karya-karya ini serta kurang mengangkat me to compare works by Taring Padi with the
kasus-kasus nyata pelanggaran militerisme anti-militarism cartoons by Yayak Iskra Ismaya.4
secara khusus. Saya melihat karya-karya Taring It is certainly risky to compare cartoons with
Padi hanya merupakan reproduksi atas isu-isu other art media in this short essay. In general,
antimiliterisme yang banyak diperjuangkan oleh however, we can say that Yayak Ismaya’s
kalangan Pro-Demokrasi tersebut. cartoons are richer in their observations about
the “list of sins” of the military and militarism
in Indonesia, accompanied with real cases of
repressions from the beginning to the end of
the New Order regime. Meanwhile, Taring Padi’s
works that I analyze here serve more as general
campaign slogans. They are normative and
abstract in nature, and the issues have actually
been addressed by the students’ movements,
non-governmental organizations, and other
Pro-Democracy movements that emerged at
the same time when Taring Padi’s works were
being produced. Taring Padi did not specifically
talk about real cases of (human rights) violence
caused by militarism. In my view, Taring Padi’s
works are merely reproductions of the anti-
militarism issues as advocated by the Pro-
Democracy movement.

62 (x)
(y)
(z)
65
(aa)
Indeks Gambar Picture Index
Bab I Ikonografi Manusia Separuh Anjing: Kampanye Chapter I Militarism
Antimiliterisme dalam Karya-karya Taring Padi
a. Banner Justice People (Insert), acrylic on canvas, 800cm
x1200cm, 2002
a. Banner “People’s Justice” (Insert), acrylic di atas kanvas,
b. Comics Workshop on National Reconciliation, ink on paper,
800 x 1200cm, 2002. 2000
b. Workshop Komik Rekonsiliasi Nasional, tinta di atas kertas, c. People’s trumpet Edition August, Rear Cover, 2002
2000.
d. Alm Ipunk, anti-militarism procession, FKY XI 1999
c. Zine Terompet Rakyat, edisi Agustus, sampul belakang,
2002. e. Banner Prohibit Military Ties Between State, acrylic on canvas,
d. (Alm) Ipunk, arak-arakan anti militerisme, FKY XI 1999. 300cm x 600cm, 2004

e. Banner “Prohibit Military Ties Between State”, acrylic di f. Banner 38 free seats, acrylic on canvas, 300cm x 300cm, 1999
atas kanvas, 300cm x 600cm, 2004.
g. SITA Poster! Golkar and the military assets to the People
f. Banner “38 kursi gratis”, acrylic di atas kanvas, 300cm x Subsidy, 45cm x 65cm, 2001
300cm, 1999.
h. Poster Complete Reform Total Without Blood and Army, 32cm
g. Poster “SITA !!asset Golkar dan TNI untuk Subsidi Rakyat”, x 43cm, 2001
45 x 65cm, 2001. i. Banner Judging Suharto and his generals, Acrylic on fabric,
h. Poster “Tuntaskan Reformasi Total Tanpa Darah dan 300cm x300cm, 2000
Tentara”, 32cm x 43cm, 2001.
j. All Images are Rontek Series against Trafficking in Arms, 2004
i. Banner “Mengadili Soeharto dan Para Jenderalnya”, acrylic
di atas kain, 300cm x300cm, 2000. k. Calendar Poster Series, “We reject violence”, Woodcut print on
paper, 51cm X58 cm, 2005
j. Semua Gambar adalah Rontek Seri Anti Perdagangan
Senjata, 2004. l. People’s trumpet Prime Edition January, pages 8-9, 2002
k. Seri Poster Kalender, “Kami Menolak Kekerasan”, cukil kayu m. Banner Refugees # 2 cooperation with the National
di atas kertas, 51cm x58 cm, 2005. Commission of Women in Solidarity Night event Acehnese,
l. Zine Terompet Rakyat Edisi Perdana Januari, hlm. 8-9, 2002. Acrylic on canvas, 460cm x 750cm, 1999

m. Banner “Pengungsi #2” kerjasama dengan Komnas n. Carnival People’s Anti-Militarism (Karam), Jakarta, 2000
Perempuan dalam acara Malam Solidaritas Pengungsi Aceh,
acrylic di atas kanvas, 460cm x 750cm, 1999. o. All images of the action with his fangs Rice Network

n. Karnaval Rakyat Anti Militerisme (KARAM), Jakarta, 2000. p. All pictures taken from People’s horn
o. Semua gambar dari aksi Taring Padi bersama kawan q. Mural Rejection of State Cooperation in Arms Trade, Mays
Jaringan. lane, Sydney Australia, acrylic on panel, 2006
p. Semua gambar diambil dari zine Terompet Rakyat. r. Chat Ilalang, trumpet VII edition of People In late June, pages
q. Mural Penolakan terhadap Kerjasama Negara dalam 20-21, 1999
Perdagangan Senjata, Mays lane, Sydney Australia, acrylic di s. XIII edition of the People’s trumpet page Last December 3,
atas panel, 2006.
1999
r. “Obrolan Ilalang”, zine Terompet Rakyat, edisi VII, akhir
Juni, hlm. 20-21, 1999. t. Cardboard Puppet

s. Zine Terompet Rakyat, edisi XIII, akhir Desember, hlm. 3, u. People’s Revolutionary Democratic Banner, Acrylic on canvas,
1999. 500cm x 400cm, 1998
t. Wayang Kardus Anti Perdagangan Senjata. v. Series Banner “Populist Democratic Culture”, Acrylic on canvas,
270cm x 300cm, 2001
u. Banner “Revolusi Rakyat Demokratik”, acrylic di atas kanvas,
500cm x 400cm, 1998. w. Mural on Campus Ex ASRI Gampingan 1998-2002
v. Aksi Anti Perdagangan Senjata Internasional, Amsterdam, x. International Action against Trafficking in Weapons, The Hague,
2004.
2004
w. Mural di eks Kampus ASRI Gampingan 1998-2002.
y. Series Banner “Populist Democratic Culture”, Acrylic on canvas,
x. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional, tinta di atas 270cm x 300cm, 2001
kertas, 2000.
z. Posters Without the Army, War and Weapons, Woodcut print
y. Poster “Tanpa Tentara, Perang dan Senjata”, cukil kayu di on paper, 27cm x 27cm, 2007
atas kertas, 27cm x 27cm, 2007.
aa. Banner People’s Assembly, acrylic on canvas, 300cm x 300cm,
z. Seri Banner “Budaya Demokratis Kerakyatan”, Acrylic di atas
kanvas, 270cm x 300cm, 2001. 1999

aa. Banner “Sidang Rakyat”, acrylic di atas kanvas, 300cm x


300cm, 1999.

67
Endnote Endnote
1 Terompet Rakyat, edisi XIII, akhir Desember 1999. 1 Terompet Rakyat, XIII edition, end of December
2 Benedict R. O’G. Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah 1999.
Budaya-budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: 2 Benedict R. O’G. Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah
Mata Bangsa, 2000). Budaya-budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta:
3 Gambar sampul Terompet Rakyat, edisi VII, akhir Mata Bangsa, 2000). The book is the Indonesian
Juni 1999). translation of Benedict R.O’G. Anderson, Language
4 Yayak Iskra Ismaya, Militerisme di Indonesia untuk and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia,
Pemula, Jakarta: Penerbitan bersama, 2000. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1990.
3 The cover of Terompet Rakyat, VII edition, end of
June, 1999.
4 Yayak Iskra Ismaya, Militerisme di Indonesia untuk
Pemula (Militarism in Indonesia for Beginners, 2000),
Jakarta: Penerbitan bersama, 2000.

68
69
(a)
Indonesia Api dalam Sekammu

aku mendengar gegap gempita suara orang, khaki-khaki yang bergerak


tergopoh-gopoh dari segala arah dan ke segala arah. mereka bergerak
terus bergerak. basah kuyup dimana-mana. jejak-jejak penuh amarah,
begitu gaduh,begitu gaduh. sesungguhnya, aku melihat derap sepatu
lars yang berderap-derap sepanjang detik. banyak tembakan, jeritan
rakyat yang menjadi korban. bau mesiu, api membakar dimana-mana.
orang-orang berbaju loreng-loreng, bergerak memburu, menangkap
menyergap

Kiswondo, Yogyakarta, Indonesia, Desember 1999

(b)

70
Bab II
Sebuah Gagasan yang Tak Mati-mati

Martin Aleida

Kalau dibaca dengan hati bersih dan pikiran


merdeka, Taring Padi adalah sebuah fenomena
dengan gurat-gurat cukilan yang secara tegas
mengingatkan bahwa ide atau gagasan di
bidang kesenian dan kebudayaan, tak bisa
ditumpas dengan pembantaian, pemenjaraan,
pembuangan, stigmatisasi atau pengucilan
sekeji apapun. Sebagaimana penumpasan yang
dilakukan oleh rezim fasis Soeharto selama lebih
dari tiga dasawarsa.
Sejarah berulang dan tampuk peng-
ulangan itu berada di tangan Taring Padi. Dari
guratan yang mereka torehkan, terbaca dengan
jelas bahwa seni rupa bukanlah gelanggang (c)
akrobatik estetika yang memabukkan dan Chapter II
semata-mata menjadi tempat singgah untuk An Immortal Idea
mencari kepuasaan individual. Dari rangkaian
karya mereka yang sempat saya amati beberapa
waktu lalu di Perpustakaan Nasional Indonesia Martin Aleida
di Jakarta, saya sampai pada sebuah tafsir
bahwa bagi Taring Padi, sebuah garis tidak layak
hanya berdiri di ruang hampa. Garis, dan juga If seen with a pure heart and open mind,
warna, harus menunjukkan arah yang tegas Taring Padi can be seen as a phenomenon
untuk memihak para korban di zaman damai that has carved an eternal reminder that
maupun di masa konflik, yaitu kaum tani dan ideas in art cannot be destroyed by violence,
buruh, sebagai dua unsur penentu dalam gerak incarceration, stigmatization, or any cruel form
maju peradaban. Sebuah keyakinan yang pernah of marginalization such as the destruction
dijunjung tinggi oleh Lembaga Kebudayaan conducted by Suharto’s fascist regime for over
Rakyat (Lekra). three decades.
Setelah ditumpasnya petualangan History repeats itself and the repetition
G30S untuk mengarak kekuatan militeristik falls in the hand of Taring Padi. From the actions
71
(d)

ke singgasana kekuasaan politik, orang-orang they have carved, it is obvious that art is not an
progresif, kaum nasionalis sejati dan, tentu saja, arena for aesthetical acrobatics which make
golongan kiri habis dibinasakan oleh militer drunk and turn into a resting place to look for
dengan kekejian tiada tara dalam sejarah bangsa individual satisfaction. From a few of their works
ini. Gagasan-gagasan mereka pun berusaha I recently saw at the National Library in Jakarta,
dilenyapkan dengan pemberangusan dan pem- I came to an interpretation that to Taring Padi,
berlakuan ketentuan-ketentuan yang fasistis a line couldn’t merely stand in an empty space.
sampai sekarang ini. Gerakan buruh dan tani di- Lines, as well as colors must clearly point to a
kebiri dengan mengatasnamakan kepentingan direction, to the side of the victims during times
buruh dan tani, walaupun pada kenyataannya of peace or conflict; the farmers and laborers, as
mereka yang benar-benar tertindas itu tetap ter- two catalysts in the advancement through the
pinggirkan secara sistematis melalui berbagai ages. A belief that has been held high by Lekra
kebijakan pemerintah. Land reform, masalah (People’s Institute of Culture).
paling fundamental untuk menyelesaikan ke- After the destruction of the communist for
timpangan sosial, ekonomi, dan politik dibiarkan the purpose of cementing military control of
hanya sebagai kertas dan tinta yang menghias the political power, the progressives, the true
undang-undang. Buruh digunakan sekadar nationalists, and the left, were entirely crushed
sebagai tameng untuk membela kepentingan by the military never before experienced in the

72
(e)

penguasa yang bercumbu dengan pemodal history of this nation. Their ideas, too, were
busuk. silenced by violence and the instatement of
Dengan sadar, Taring Padi telah men- fascist rules that apply to this day. The laborers’
jatuhkan pilihan dalam pertarungan kehidupan and farmers’ movement were castrated under
berkesenian mereka untuk membela kedua the pretense of protecting their interests,
kelompok masyarakat yang paling luas tapi paling while in fact, those who are oppressed
tak berdaya itu: para buruh dan tani yang paling remain systematically marginalized by various
dihinakan. Pilihan ini adalah sebuah keyakinan. government policies. Land reform, the most
Keyakinan berkesenian! Sebuah pilihan dengan fundamental issue in solving social, economic,
resiko, sebagaimana para seniman terdahulu and political imbalance is allowed to be nothing
mengalaminya dengan kegetiran yang belum more than ink and paper adorning government
sempurna terlukiskan dalam karya seni rupa regulations that mean nothing. Labor is used as
maupun sastra. Getir karena sebagian dari a shield to protect the powerful while they sleep
seniman yang dulu memilih jalan yang juga dipilih with rotten capitalists.
kawan-kawan Taring Padi sekarang ini, ternyata Consciously, Taring Padi has set out
gagal memanggul keyakinan berkesenian itu. to fight their artistic battles to defend the two
Masih jelas dalam ingatan, beberapa waktu broadest but most disempowered elements of
lalu seorang penyair besar Lekra, dalam society: the scorned and oppressed laborers and

73
74
(f)
(g)

sebuah wawancara majalah terbitan Jakarta, farmers. This choice is one based on conviction.
menyatakan kutukannya pada keyakinan yang The conviction to create art! A risky choice, as
telah ia pilih dan mengatakan bahwa ide besar the elder artists who have suffered unimaginable
yang dulu merebut hati dan pikirannya hanyalah injustices could attest to. Until now the artists
“sebuah eksperimen yang gagal”. that have taken the road of Taring Padi have
Pengkhianatan pikiran tersebut terjadi mostly failed to carry the burden of their
setelah sang penyair dan kawan-kawannya, ikut convictions.
dibersihkan dalam Revolusi Kebudayaan yang I can clearly recall, a while ago, when a
melanda Tiongkok, di mana mereka terdampar Lekra poet was interviewed in a Jakarta-based
dan tak bisa pulang ke tanah air setelah magazine, he cursed the conviction he chose,
peristiwa G30S. Mereka digiring ke luar kota dan and said the grand idea that once stole his
dihukum sebagai “borjuis-borjuis” yang harus heart and mind was nothing more than “a failed
disucikan dengan menjalani hidup ala Spartan experiment”.
sebagaimana para petani Tiongkok ketika itu. This betrayal of mindset happened after
Mereka dipaksa bekerja, termasuk mengangkut this poet, and his compatriots, were ‘purified’
kotoran manusia untuk memupuk tanaman. in the Chinese Cultural Revolution and then
Sang penyair merasa dihina, dan inilah could not come home after the mass killings of
sepertinya yang membawa ia sampai pada communists in Indonesia. They were chased out

75
(h)

kesimpulan bahwa gagasan besar tentang of towns and labeled bourgeoisie that had to be
buruh dan tani sebagai kekuatan pendorong purified by leading the Spartan life of Chinese
sejarah itu, tak lebih dari sebuah utopia ke- farmers of the era. They were forced to work,
kanak-kanakan. Apalagi setelah ia dan kawan- including carrying human waste to be used as
kawannya menyaksikan runtuhnya Tembok fertilizer.
Berlin dan bercerai-berainya gugusan soviet The poet felt insulted, and this seems
di negara yang bernama Uni Soviet. Bagi sang to be the thing that made him deem the grand
penyair dan kawan-kawan seperjuangan, ga- idea of laborers and farmers as the engine of
gasan yang pernah mereka pilih rupanya tak history, as nothing more than a childish utopia.
lebih dan tak kurang hanyalah sebuah utopia Especially after he and his comrades saw the
bercandu. Mereka cuma siap untuk menang fall of the Berlin Wall and the disbanding of the
atas nama gagasan dan tidak siap untuk kalah. Soviet Union. For this poet and his comrades,
Dalam sebuah pertemuan terbatas, Oey the conviction they once held was no more
Hay Djoen yang dulunya adalah anggota pleno than a utopia-inducing opiate. They were only
pimpinan pusat Lekra, dengan berang bertanya prepared to win the name of their belief, and
tanpa mengharapkan jawaban, “Mereka yang di unprepared to lose.
luar, apa yang telah mereka kerjakan?!” In a closed conference, Oey Hay Djoen who
Secara tersirat, Oom Oey, begitu panggilan used to be a member of the Lekra Central
76
77
(i)
78
79
(j)
(k)

akrabnya, mengemukakan bahwa mereka yang Council, angrily asked without really expecting
kemudian dengan mewah disebut sebagai an answer “those abroad, what have they
“eksil”, ternyata tidak bisa menyelesaikan accomplished?!”
masalah di dalam diri mereka sendiri ketika Implicitly Oom Oey, as he was fondly
harus berhadapan dengan perubahan mendasar called, stated that those who were glamorously
yang sedang melanda. Mereka dininabobokan titled “exiles” actually were not able to solve
oleh hidup yang jauh lebih aman dan kehidupan their own inner conflicts when confronted with
ekonomi serba berkecukupan yang ditopang the current fundamental changes. They were
oleh kebaikan negara yang memberikan put to sleep by the lullabies of a safe life and
perlindungan kepada mereka. a comfortable economic existence promised by
Sebagian besar karya-karya mereka the countries that kindly gave them asylum.
menunjukkan kegagalan mereka dalam meng- Most of their works showed their failure
hadapi kehidupan nyata dimana mereka in facing the real world where they lived. They
memijakkan kaki. Mereka malah mencoba tried to fight for Indonesia, a faraway land for
memperjuangkan Indonesia, sebuah daratan them, armed with nothing more than second or
yang jauh, berdasarkan sumber-sumber tangan third hand political hear-say. What is explicit in
kedua dan ketiga atau gosip politik semata. Yang their works are nothing more than the bombastic

80
terbaca dari kebanyakan karya-karya mereka, statements and the pseudo-heroic attitudes of
tidak lebih dari pernyataan-pernyataan bombas people who miss their homeland.
dan sikap heroik dari orang-orang yang rindu But in actuality, their experiences didn’t
kampung halaman. fail to inspire those who remained in Indonesia
Sesungguhnya, pengalaman mereka and had to directly face the vile power of the
tidak kalah mengilhami sebagaimana pengalam- military. Imagine, being thrown out of Mainland
an kawan-kawan di Indonesia yang berhadapan China, they wandered for tens of years trying
langsung dengan keganasan kekuasaan yang to find a safe haven in Europe, so much so that
militeristik. Bayangkan, terusir dari Tiongkok, they abandoned their families’ long held religion
mereka mengembara mencari negara tempat of Islam and converted to other religions.
berteduh selama belasan tahun di daratan This final act of “Betrayal”, is definitely
Eropa, sampai-sampai ada yang berpaling dari a subject that breaks the heart. Unfortunately,
Islam yang dianut kuat oleh sanak-saudara dan to the those involved in this story their true
hijrah ke agama lain. suffering does not seem real, it doesn’t inspire
‘Pengkhianatan’ yang terakhir ini saja, when compared with writing songs about the
sesungguhnya merupakan suatu bahan tulisan degeneration of a faraway motherland. To
atau lukisan yang menyesakkan perasaan. fully understanding that is the issue. They are
Sayang, bagi yang bersangkutan, kegetiran yang imprisoned by their own lack of sensitivity
nyata itu rupanya kurang riil, tidak mengilhami, towards problems that directly affect them as
dibandingkan upaya untuk mendendangkan foreigners and nomads. Not knowing where
sebuah tanah air yang sudah berubah jauh they are going or where they might end the
menuju kemerosotan. Apa yang mereka bayang- journey.
kan jauh panggang dari api. Penghayatan, itu- History has shown its stern visage. Only
lah soalnya. Mereka terpenjara oleh tiadanya a small number of them kept their full allegiance
kepekaan pada masalah yang sangat dekat to their beliefs that, through history, have dealt a
dengan diri mereka sendiri, pada pergulatan diri heavy blow. People die, ideas and convictions do
sebagai orang asing, pengembara yang tak tahu not. Convictions always find a way to rise from
kemana dan dimana akhir dari perjalanan yang the grave because they are not meaningless
terpaksa mereka tempuh. goals rooted in the void of abstract ideas. They
Sejarah telah menunjukkan wajahnya are deeply rooted in reality, a reality so near that
yang keras. Hanya sedikit dari mereka yang
bersumpah pada sebuah gagasan, akhirnya
berhasil melalui sejarah yang memukul teramat
keras. Manusia boleh hancur, namun gagasan
tak pernah mati. Gagasan berulang kembali
karena ia bukan cita-cita yang berdiri di atas
kehampaan, namun di atas yang riil, yang begitu
dekat, yaitu mereka yang harus memegang

(l)
82 (m)
(n) 83
84
pusar perubahan zaman, kepada siapa sebuah those who believe in these convictions must
kesadaran telah berpihak. hold on tight to endure the cyclone of changing
Taring Padi sudah menyatakan sikap times, hold on tight to those who have taken
keberpihakan kepada mereka. Sekalipun sejarah sides with a certain consciousness.
telah menunjukkan bahwa sebuah sikap bisa Taring Padi has stated their conviction
ditindas dan keberpihakan bisa luluh karena ke- to side with them. Despite the fact history has
kejaman yang berada di luar batas ketahanan shown that convictions can be crushed and
manusia, namun gagasan tidak akan pernah dissipate with acts of violence way beyond the
mati-mati. Taring Padi menunjukkannya. Mereka limits of human endurance, it remains eternally
telah membuat sejarah berulang kembali. clear that convictions and ideas will never die.
Semoga mereka tidak mengulangi kegagalan Taring Padi has shown this. They have repeated
dalam mengarungi zaman. history. Let us hope that they don’t repeat these
failures also as time goes by.

(o)
Indeks Gambar Picture Index
Bab II Sebuah Gagasan yang Tak Mati-mati Chapter II An Immortal Idea

a. Painting Series 40 years the 1965 event,


a. Lukisan bersama untuk project poster Seri
40 tahun peristiwa 1965, “Bongkar Tuntas “Unloading Completed Suharto’s Crimes 65”, Acrylic
Kejahatan Suharto 65”, acrylic di atas kanvas, on canvas, 80cm x 108cm, 2005
80cm x 108cm, 2005.
b. People’s trumpet Edition XXII XXIII Edition of
b. Zine Terompet Rakyat, edisi Mei, hlm. 15, 2003. October and November, page 7, 2000
c. Zine Terompet Rakyat, edisi XXII, Oktober dan c. Comics Workshop on national reconciliation, ink
edisi XXIII, November, hlm. 7, 2000.
on paper, 2000
d. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional,
tinta di atas kertas, 2000. d. Comics Workshop on National Reconciliation,
“Compensation for Victims of New Order”, ink on
e. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional,
“Ganti Rugi Korban Orba”, tinta di atas kanvas, canvas, 140cm x 200 cm2000
140cm x 200 cm, 2000. e. Comics Workshop on National Reconciliation,
f. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional, “Democratization New First Reconciliation”, ink on
“Demokratisasi Dulu Baru Rekonsiliasi”, tinta di canvas, 140cm x 200cm, 2000
atas kanvas, 140cm x 200cm, 2000.
f. Painting Series 40 years the events of 1965,
g. Lukisan bersama untuk project poster Seri 40
tahun Peristiwa 1965, “Indonesia 1965, 40 “Indonesia 1965, 40 years silenced, 40 years without
tahun dibungkam, 40 tahun tanpa keadilan”, justice”, acrylic on canvas, 80cm x 108cm, 2005
acrylic di atas kanvas, 80cm x 108cm, 2005.
g. Comics Workshop on National Reconciliation, “No
h. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional, reconciliation without a Court Order against Crime”,
“Tidak Ada Rekonsiliasi tanpa Pengadilan ink on canvas, 140cm x 200cm, 2000
terhadap Kejahatan Orba”, tinta di atas kanvas,
140cm x 200cm, 2000. h. Comics Workshop on National Reconciliation,
i. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional, “Investigate Suharto Completed Treasure”, ink on
“Usut Tuntas Harta Soeharto”, tinta di atas canvas, 140cm x 200cm, 2000
kanvas, 140cm x 200cm, 2000.
i. There is no forgiveness without truth Poster,
j. Poster “Tiada Maaf Tanpa Kebenaran”, ELSAM Poster of National Reconciliation, ELSAM Jakarta,
Jakarta, offset printing, 2000.
Offset Printing, 2000
k. Semua gambar diambil dari hasil workshop
komik Rekonsiliasi Nasional, tinta di atas kertas, j. All images taken from the National Reconciliation
2000. Workshop comics, ink on paper, 2000
l. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional, k. Comics Workshop on National Reconciliation,
“Rakyat Pemilik Sejarah Sejati”, tinta di atas “People’s History of the True Owner”, Ink on canvas,
kanvas, 140cm x 200cm, 2000.
140cm x 200cm, 2000
m. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional,
tinta di atas kertas, 2000. l. Painting Series 40 years the 1965 event, “Admit
n. Lukisan bersama untuk project poster Seri State Responsible for the tragedy 1965”, acrylic on
40 tahun peristiwa 1965, “Akui Negara canvas, 80cm x 108cm, 2005
Bertanggung Jawab atas tragedi 1965”, acrylic m. Last Poster Caption Series 40 years the 1965
di atas kanvas, 80cm x 108cm, 2005.
event, “Admit State Responsible for the tragedy
o. Poster Belakang Keterangan gambar Seri 1965”, Offset Printing, 2005
40 tahun peristiwa 1965, “Akui Negara
Bertanggung Jawab atas tragedi 1965”, offset n. Sketch Comics Workshop on National
printing, 2005. Reconciliation, ink on paper, 2000
p. Hasil workshop komik Rekonsiliasi Nasional,
tinta di atas kertas, 2000.

86
(a) 87
88
Bab III
Produksi Respon Taring Padi terhadap
Konflik Horisontal

Kiswondo

Konflik antarkelompok masyarakat kerap


muncul di Indonesia menjelang Soeharto (b)
turun dari tampuk kekuasaan. Sejak 1996,
konflik makin meningkat hingga 1997 dan Chapter III
memuncak pada 1998, lalu berlanjut sampai The Production of Taring Padi’s Response
masa pascareformasi. Di sepanjang 1996, toward Horizontal Conflicts
pecah kerusuhan Tasikmalaya, Situbondo, dan
pembunuhan dukun santet di Banyuwangi. Pada
Desember 1996–Januari 1997 pecah konflik Kiswondo
Madura dan Dayak di Sanggauledo, Kalimantan
Barat. Sementara itu, antara 1998 – 2001 terjadi
beberapa konflik seperti di Ketapang, Jakarta Conflicts between different groups of people
Pusat (22–23 November 1998), di Ambon (awal often took place in Indonesia nearing the end
Desember 1998), kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, of Soeharto’s regime. From 1996, the conflict
dan kerusuhan di Poso (akhir 1998–2001). escalated in 1997, reached its peak in 1998,
Kerusuhan beruntun itu menunjukkan and went on until after the reformation. In
bahwa jargon-jargon Orde Baru tentang ke- 1996, there had been riots in Tasikmalaya
rukunan antarwarga bangsa hanyalah balon and Situbondo, and the murders of alleged
slogan. Indonesia memang indah di Taman witch doctors in Banyuwangi. In December
Mini Indonesia Indah dan, memang, selama 1996–January 1997, the conflict between
rezim ini berkuasa terdapat situasi yang relatif the Madurese and the Dayaks broke out in
rukun dan damai, tapi kedamaian itu semu dan Sanggauledo, West Kalimantan. Meanwhile, in
dipertahankan dengan represi. Bibit-bibit konflik 1998–2001, a number of conflicts also occured,
yang ada di masyarakat, alih-alih diselesaikan, e.g. in Ketapang, Central Jakarta (November
justru diinterupsi sehingga tetap membara di 22–23, 1998); in Ambon, the Moluccas (early
bawah permukaan. Ketika represi melemah, December 1998); in Jakarta (the May Riot in
bara tersebut segera menjadi kobaran api yang 1998); and in Poso, Central Sulawesi (late 1998–
meluluhlantakkan. 2001).
Kerusuhan yang muncul kemudian The series of conflicts proved that the
New Order’s jargons of harmony had been
89
dihubung-hubungkan dengan suatu konsep mere sloganeering. Indonesia is beautiful in
baku yang dikenal dengan nama konflik ’SARA’ Taman Mini Indonesia Indah (TMII) or Beautiful
yang dioperasikan rezim Orde Baru untuk me- Indonesia in Miniature and, indeed, when the
legitimasi peran, kekuasaan, dan otoritasnya New Order regime was in power, Indonesia
terhadap represi. Wacana turunannya ke- enjoyed a relatively peaceful time but the peace
mudian banyak diproduksi dan direproduksi was only in appearance and maintained with
seputar konflik oleh aparatus negara maupun repressive power. The seeds of conflict that
berbagai kelompok masyarakat dan media. existed within society had not been resolved,
Dalam wacana semacam ini, seluruh masyarakat and instead were left dormant under the
dianggap berpotensi amuk, maka dibutuhkan surface, flickering like embers in cinders. Once
negara yang kuat dan alat represi yang efektif the repressive power became weaker, the
untuk menjaga keamanan dan ketertiban. embers soon grew to become a razing flame.
Tulisan ini justru menolak untuk me- The ensuing riots were then linked to
mamah-biak wacana umum tentang ”konflik the oft-used idea of the “SARA” conflict: SARA
horisontal” itu dan ingin meneliti dengan being an acronym of the Indonesian words
cara bagaimana Taring Padi telah berusaha for ‘ethnic group’ (suku), ‘religion’ (agama),
menanggapi masalah tersebut. Untuk itu, akan and ‘race’ (ras) which the New Order regime
dipinjam perspektif pembanding dari tulisan usually manipulated to justify and legitimate
George Junus Aditjondro.1 Dengan mengaitkan its role, power, and authority in repressing
sejumlah kasus konflik daerah dengan berbagai the people. The derivative discourses of SARA
proses perubahan politik-ekonomi, Aditjondro were frequently produced and reproduced
memperlihatkan bahwa konflik Ketapang, as government agencies, as well as a range of
Ambon, dan belakangan Poso, lebih disebabkan societal groups and the media, were dealing
oleh pertarungan antarkelompok lokal yang with conflicts. In such discourses, the whole
mengalami peningkatan akibat adanya campur Indonesian society was seen as harboring the
tangan elit politik lokal dan nasional serta militer potential of becoming out of control and thus
dan modal. a strong state and effective means of repression
Dalam beberapa kasus, secara trans- were necessary to maintain security and order.
paran terlihat benturan kepentingan elit lama This essay rejects this common
lokal status-quo (satelit-satelit kekuatan lama discourse about the “horizontal conflict” and
Jakarta) dan elit baru yang menggantikan- analyzes how Taring Padi deals with the issue.
nya. Kelompok modal besar lokal, nasional For this objective, an article by George Junus
maupun global dan unsur aparatus kekuasaan, Aditjondro is used to provide a comparative
memanfaatkan konflik yang ada untuk men- perspective.1 Relating a series of local conflicts
capai tujuan masing-masing. Konflik dikesankan with various shifts in the political and economic
sebagai konflik SARA murni, namun sebenarnya landscape, Aditjondro showed that the conflicts
kental dengan unsur politisasi SARA demi in Ketapang and Ambon, and later on in Poso,
membalut kepentingan politik tertentu. were caused by local infighting that escalated

90
(d)
91
Dalam kobaran api konflik inilah due to the interference of the political elites on
hadir karya-karya Taring Padi. Kehadirannya the national and local levels, as well as from the
lebih digerakkan oleh panggilan keprihatinan military and capital owners.
kemanusiaan. Taring Padi mencoba menggugah In some cases, one could obviously see
warga bangsa untuk berpikir jernih agar tidak the clashes between the interests of the old,
terlibat konflik SARA. Karya-karya mereka local elites of the status quo (the satellites of
disebarkan ke tengah-tengah masyarakat men- the old power of Jakarta) and of the new elites
jelang Pemilu 1999 yang dibayangi ancaman that were replacing them. The big capital groups
kon-flik. on the local, national, and global levels, as well
Dari tigabelas karya yang disoroti as elements of the power apparatus, made use

(e)

di sini, hanya empat karya yang bukan karya of the existing conflicts to secure their own
grafis, yakni dua karya lukisan cat minyak di interests. The conflicts were presented as pure
atas kertas dan dua karya gambar di atas kertas SARA conflicts, but actually they were loaded
yang dipublikasikan di buletin Terompet Rakyat. with certain political interests masqueraded by
Sementara, sembilan karya sisanya sebagian the politicized SARA issues.
besar berbentuk poster grafis dari gambar It was in such flame of conflicts that Taring
hasil cukil kayu (selanjutnya disebut poster). Padi’s works came to being. Their presence was
Poster-poster ini pernah diproduksi secara driven by the call of humanity. Taring Padi tried

92
(f)
93
94
95
(g)
(h) 96
masif sebanyak 10.000 eksemplar to encourage people to think clearly
dan ditempelkan di ruang publik, and avoid such SARA conflicts. Their
setidaknya di sebelas kota works were distributed on the eve
besar menjelang Pemilu 1999. of the 1999 general election,
Atas kerjasama Taring Padi which was generally seen as
dan LSPP (Lembaga Studi Pers being under the threat of the
Pembangunan di Jakarta), SARA conflict.
poster-poster tersebut From the thirteen works that
dicetak-ulang sebanyak are analyzed here, only four of
1.000 eksemplar untuk them are not print works. They
ditempelkan di Ambon, are: two oil paintings on paper
Maluku, dan sekitarnya and two drawings on paper,
pada pascakonflik published in the Terompet
Ambon. Tulisan ini Rakyat (The People’s Trumpet)
akan lebih melihat bulletin. Meanwhile, the
bagaimana Taring remaining nine works are
Padi menanggapi mostly in the form of woodcut
berbagai konflik dengan (i) posters (henceforth called
visualisasi dan pembahasan pesan. simply ‘posters’). The posters were produced
on a mass scale; as many as 10,000 copies were
Penggambaran fisik printed and distributed in public spaces, in at
Dari cara penggambaran setidaknya ada dua least eleven Indonesian cities just before the
jenis karya. Pertama, karya yang menggambar- 1999 general election. Under the collaboration
kan pluralitas dan multikulturalitas sebatas of Taring Padi and LSPP (Institute for Press and
tampilan fisik dan stereotip. Tipe ini hampir Development Studies, in Jakarta), 1,000 posters
sebangun dengan cara Orde Baru mencitrakan were reprinted to be distributed in Ambon, the
kebhinekaan, yakni sebatas simbol-simbol Moluccas, and the surrounding areas after the
fisikal ala TMII. Kedua, tipe karya yang tidak Ambon conflict broke. This essay will analyze
menggambarkan pluralitas atau multikultura- how Taring Padi responded to a variety of
litas sebatas tampilan fisik dan stereotip. conflicts through the images and messages
Tipe pertama dapat dibagi lagi men- presented in these thirteen works.
jadi tiga kelompok karya. Pertama, pluralisme
ditampilkan secara stereotip dengan simbol- Physical Descriptions
simbol agama, tampak pada poster ”Berikan In terms of how the images are presented, there
Cinta pada Sesama” yang menampilkan stupa are at least two kinds of works. The first kind
candi, bintang Daud, swastika, salib, dan bulan are works depicting the plural and multicultural
bintang. Kedua, pluralitas digambarkan dengan conditions of Indonesian society in physical and
simbolisasi pakaian atau atribut yang dikena- stereotypical forms. This type of work is similar

97
with the way the New Order regime presented
the image of Indonesian diversity; i.e. merely in
physical symbols such as the TMII, the Beautiful
Indonesia in Miniature. The second type of work
consists of works that do not depict the plural
and multicultural conditions of Indonesian
society through physical and stereotypical
forms.
The first type of work can be separated
further into three categories. In the first
category, pluralism is presented stereotypically
with symbols of religion, as seen in the poster
of “Berikan Cinta pada Sesama” (Give Love to
All), which depicts stupas, the Star of David, a
swastika, the cross, and the star and crescent.
(j) In the second group, pluralism is presented
through fashion, for example the veiled woman
kan figur. Lihat, misalnya, perempuan berjilbab standing among a group of men and unveiled
di antara beberapa laki-laki dan perempuan tak women in the poster of “Semua Bersaudara”
berjilbab dalam poster ”Semua Bersaudara” (We’re All Family), or the poster of “Perdamaian
atau dalam poster ”Perdamaian Antar Umat” Antar Umat” (Peace among the Believers)
di mana ditampilkan figur berpakaian ala biksu, that depicts figures wearing the clothes of
muslim, dan tiga figur lain digambarkan saling a Buddhist priest and a Moslem, with three
menumpangkan tangan, tanda perdamaian other figures, all holding hands, symbolizing
dan kebersamaan. Pada karya lukis cat minyak peace and brotherhood. In the oil painting of
“Persaudaraan Sejati: Berperikemanusiaan”, “Persaudaraan Sejati: Berperikemanusiaan”
yang kemudian dijadikan sampul Terompet (True Brotherhood: Humanity), which was used
Rakyat edisi 24, keberagaman digambarkan as the cover of the 24th edition of Terompet
dalam pakaian identitas agama dan etnik. Rakyat bulletin, diversity is depicted through the
Ketiga, pluralitas dan multikulturalitas disajikan different fashion styles of various religious and
dalam visual bangunan rumah ibadah seperti ethnic groups. In the third category, pluralism and
tampak pada bangunan rumah ibadat yang multiculturalism are presented through images
berdampingan sebagai latar belakang dalam of religious buildings, as seen in the image of
poster dari lukisan cat minyak di atas kertas the different religious buildings standing side by
“Bangun Kebersamaan Dalam Perbedaan”. side in the background, in the poster based on
Namun, di luar berbagai jenis karya yang an oil painting on paper, “Bangun Kebersamaan
‘bertumpu’ pada stereotip itu, pada sejumlah dalam Perbedaan” (Develop Togetherness in
karya tipe kedua tak ditemukan lagi simbol Diversity).

98
agama maupun etnis yang mengandalkan Apart from the works that are based
ciri-ciri jasmani atau fesyen. Simak gambar on stereotypical images, there are works of the
”Manusia Beradab Tidak Suka Menyusahkan second type, in which we no longer find any
Sesama” dan ”Kekerasan Adalah Penindasan”; religious or ethnic symbols relying on physical
poster ”Bangun Nusantara Tanpa Tetes Darah”, attributes. See for example the pictures of
”Bersatulah Dalam Perbedaan”, ”Buktikan “Manusia Beradab Tidak Suka Menyusahkan
Pemilu Tanpa Tetes Darah”, ”Rukun Agawe Sesama” (Civilized Humans Do Not Inflict Pain
Santoso: Senjata Tidak Berkuasa atas Manusia”, on Others) and “Kekerasan Adalah Penindasan”
dan ”Saling Menghargai dan Setuju Untuk Tidak (Violence is Oppression); the posters of “Bangun
Sependapat”. Nusantara Tanpa Tetes Darah” (Build the Country
without Spilling Blood), “Bersatulah dalam
Bagaimana Pesan Dibahasakan Perbedaan” (Be United in Diversity), “Buktikan
Ada tiga tipe cara membahasakan pesan dalam Pemilu Tanpa Tetes Darah” (General Election
ketigabelas karya Taring Padi ini. Pertama, without Spilling Blood: Prove It Possible); “Rukun
karya yang menggunakan kalimat perintah Agawe Santoso: Senjata Tidak Berkuasa atas
langsung. Ringkas dan jelas, unsur perintah Manusia” (Peace Brings Welfare: Weapons Do
dalam kalimatnya cenderung sangat menonjol. Not Control Humans), and “Saling Menghargai
Pembaca kurang diajak merenung, berpikir dan Setuju untuk Tidak Sependapat” (Respect
atau berimajinasi sebab sudah disodorkan One Another and Agree to Disagree).
isi komando yang jelas dan lugas. Termasuk How the Messages Are Conveyed
dalam tipe pertama ini adalah kalimat “Bangun
Nusantara Tanpa Tetes Darah”, “Bangun (k)
Kebersamaan Dalam Perbedaan”, “Berikan Cinta
Pada Sesama”, “Bersatulah Dalam Perbedaan”,
dan “Buktikan Pemilu Tanpa Tetes Darah”.
Tipe kedua adalah kalimat yang bukan
kalimat perintah, melainkan lebih datar dan
netral dalam mendeskripsikan suatu utopia
kerukunan dan kedamaian yang, tentu saja,
bersifat umum, ideal, dan cenderung abstrak.
Misalnya dalam kalimat “Semua Bersaudara”,
“Perdamaian Antar Umat”, “Persaudaraan Sejati:
Berperikemanusiaan”, dan ”Saling Menghargai
dan Setuju Untuk Tidak Sependapat”. Kalimat-
kalimat ini lebih menawarkan suatu cita-cita,
mimpi, keadaan sosial yang layak dituju atau
menjadi dasar kehidupan.
Tipe ketiga, karya yang menyajikan
100
(l)
kalimat saran berupa tesis kesimpulan. Saran These thirteen works of Taring Padi can be
cenderung merupakan kalimat aktif yang men- separated into three groups based on how the
desakkan nilai pesan yang diembannya dengan messages are conveyed. First of all, there is the
cara menggugah, misalnya “Manusia Beradab type of work that conveys the message through
Tidak Suka Menyengsarakan Sesamanya”, direct command. Succinct and clear, the orders
“Senjata Tak selesaikan Masalah”, “Rukun Agawe or commands appear strong. The audience is
Sentosa: Senjata Tak Berkuasa atas Manusia” not invited to reflect, think, or mull over the
dan “Kekerasan adalah Penindasan”. ideas further, because they are presented with
Penyajian pesan pada tipe kedua clear and strong commands. Among the works in
dan ketiga lebih menarik dan berpeluang this group are those with the phrases; “Bangun
menggugah orang untuk berpikir-ulang atas Nusantara Tanpa Tetes Darah” (Build the Country
tindakan kekerasan dalam penyelesaian konflik. without Spilling Blood), “Bangun Kebersamaan
Khalayak umum diberi kesempatan berpikir, dalam Perbedaan” (Develop Togetherness in
mengambil kesimpulan serta menentukan sikap Diversity), “Berikan Cinta pada Sesama” (Give
masing-masing. Dengan demikian, tersedia Love to All), “Bersatulah dalam Perbedaan” (Be
ruang partisipasi dan dialog. United in Diversity), and “Buktikan Pemilu Tanpa
Pilihan kalimat-kalimat tersebut sangat Tetes Darah” (General Election without Spilling
aman karena bisa dimengerti oleh masyarakat Blood: Prove It Possible).
lapisan manapun. Pertanyaan berikut yang tak The second type of work presents
kalah penting adalah, apakah seruan kalimat- phrases that do not constitute direct orders,
kalimat tersebut dapat menyentuh masyarakat but are more neutral and plain in describing
luas secara efektif agar meninggalkan kekerasan the utopia of togetherness and peace that
dan senjata dalam menyelesaikan konflik sosial understandably are universal, idealized, and
dan lebih menempuh jalan damai? Sehingga tend to be abstract in nature. For example,
pada gilirannya akan membuat orang tidak there are the phrases of “Semua Bersaudara”
(We’re All Family), “Perdamaian Antar Umat”
(Peace among the Believers), “Persaudaraan
(m) Sejati: Berperikemanusiaan” (True Brotherhood:
Humanity), and “Saling Menghargai dan Setuju
untuk Tidak Sependapat” (Respect One Another
and Agree to Disagree). These phrases tend to
offer dreams, objectives, the social conditions
to be attained or things that should serve as the
foundation of life.
The third type of work presents phrases
of suggestions that contain conclusions.
The suggestions tend to be active sentences
or pleas that impose the messages on the

102
(n)
mudah terprovokasi oleh politisasi SARA guna audience in a persuasive manner, for example
kepentingan politik segolongan atau sekelompok “Manusia Beradab Tidak Suka Menyengsarakan
orang? Sesamanya” (Civilized Humans Do Not Inflict
Pain on Others), “Senjata Tak Selesaikan
Yang Hadir dan yang Absen dalam Poster Masalah” (Weapons Do Not Solve Problems),
Taring Padi “Rukun Agawe Santosa: Senjata Tak Berkuasa
Dari keseluruhan pembacaan atas simbolisasi atas Manusia” (Peace Brings Welfare: Weapons
visual dan pembahasan pesan dalam karya- Do Not Control Humans), and “Kekerasan adalah
karya Taring Padi, sebagian karya tersebut boleh Penindasan” (Violence is Oppression).
dikatakan masih didasari asumsi bahwa konflik- The messages conveyed in the works of
konflik yang terjadi adalah konflik SARA atau the second and third groups are more interesting
setidaknya berbau SARA. Penelusuran tentang and have a greater chance of encouraging people
kebenaran sesungguhnya, konflik tersebut to re-think the situation and mull over how acts
konflik SARA atau bukan, inilah yang tidak hadir of violence have been used in resolving conflicts.
dalam karya-karya Taring Padi. The general audience is given the chance to
Secara umum, seluruh karya Taring Padi think, come to certain conclusions, and decide
cenderung mereproduksi pesan kampanye yang on the stance they would take. There will thus
103
sudah umum, normatif, dan stereotip, terutama be room for participation and dialogue.
pada karya-karya yang menggambarkan dan The sentences and phrases constitute
membahasakan pesan secara fisik dan stereotip safe choices because people from any walk of
tentang keberagaman SARA. Kecenderungan life can understand them. The next question,
tersebut bukan merupakan pesan kreatif yang which is similarly important, is whether or not
dirumuskan dari suatu studi yang mendalam these pleas can reach the general public in an
terhadap persoalan seputar konflik yang nyata effective manner, encourage them to leave
terjadi. Para partisipan Taring Padi relatif kurang violence behind, stop using weapons in dealing
mendalami persoalan konflik yang hendak di- with social conflicts, and choose the peaceful
garap sebagai tema. path instead? Will it make sure that people will
Bandingkan pandangan saya dengan not be easily provoked by the politicized SARA
penilaian Heidi Leane Arbuckle berikut: issues of religion, race, and ethnicity, for the
political advantage of a few people or certain
”Taring Padi curiga bahwa melalui kampanye- groups?
kampanye yang dilancarkan oleh unsur-unsur
status quo di kalangan elit ini, akar penyebab
ketegangan sosial itu sendiri telah diremehkan. What Has Been Present or Absent in Taring
Di sini ketimpangan sosial ekonomi ditampilkan Padi’s Posters
sebagai ketidakharmonisan SARA. Sebab itu,
poster-poster cukil kayu itu dirancang di seputar From reading all the visual symbols and
tema-tema pengatasan masalah perpecahan messages conveyed in Taring Padi’s works, one
sosial, dan bukan agitasi”.2 can say that a large part of these works were still
Heidi seolah hendak mengatakan based on the assumption that the conflicts that
bahwa Taring Padi keluar dari politisasi SARA had taken place were indeed conflicts of SARA
dan mengambil posisi berseberangan dengan or at least had a tinge of the SARA conflict. The
status-quo yang berkepentingan menunjukkan analysis about the true nature of the conflicts
bahwa konflik tersebut adalah konflik SARA. whether or not they are truly religious, racial, or
Sikap Taring Padi ini bisa juga dimaknai ethnic conflicts has been absent from the works
sebaliknya. Dengan membawa pesan-pesan of Taring Padi.
perdamaian dan hidup damai berdampingan In general, all works by Taring Padi
walau berbeda secara SARA serta memproduksi tend to reproduce the common, normative,
penggambaran keberagaman yang stereotip, and stereotypical messages usually found in
sebenarnya Taring Padi sudah masuk dalam the New Order campaigns. This is especially
medan wacana status-quo itu sendiri. Sikap true in the works depicting the physical and
ini bisa dibaca sebagai ’menyetujui’ apa yang stereotypical attributes of religious, racial, and
disiapkan untuk mengalihkan akar konflik ethnic diversity. These works do not represent
horisontal sesungguhnya. Hal yang tidak creative messages formulated out of a thorough
muncul, yang sesungguhnya dapat ditempuh study about the conflicts. The participating
agar tidak tergiring wacana arus-besar adalah artists in Taring Padi did not delve deeper into
menghadirkan wacana menolak politisasi SARA. the heart of the matter that they have chosen

104
(o)

Selain itu, juga perlu menghadirkan semangat to take on as the themes of their work.
mencari resolusi konflik dan rekonsialisasi guna Compare this view with the assessment
membangun tatanan damai pascakonflik. of Heidi Leane Arbuckle:
Bandingkan, misalnya, pandangan
Taring Padi dengan kutipan pers dari pendapat Taring Padi was suspicious there had been a
trivialisation of the causes of social tensions,
pejabat militer dan sipil berikut, ”Semua tokoh promoted by status-quo elements in the elite.
masyarakat, termasuk pimpinan informal, In this sense socio-economic disparities had
pemuka agama, dan masyarakat agar terus been manifested in ethnic, racial and religious
disharmony. Accordingly, the woodcuts were
menjaga memelihara kerukunan (beragama)”, designed around the themes that would attend
begitu kata Jenderal Faisal Tanjung, Menpangab to the problem of social discord rather than
pada waktu itu, pascakerusuhan Situbondo.3 agitate it.2
Kalimat resmi ini hadir dari asumsi bahwa Heidi Arbuckle seems to say that Taring
kerusuhan yang terjadi atau setidak-tidaknya Padi has moved away from the politicized issues
dianjurkan dibaca sebagai konflik SARA, of religion, race, and ethnicity and taken the
terutama Agama. Sebaliknya, Wakil Presiden position that counters the status quo or the elite
Yusuf Kalla di Institut Teknologi Bandung justru who had wanted to show that the conflicts were
menilai “... semua konflik horisontal di Indonesia actually religious, racial, or ethnic conflicts.

105
106
(p)

107
seperti konflik Poso, Ambon maupun Aceh However, one could read Taring Padi’s stance
bukan karena masalah agama, namun adanya differently. By conveying messages of peace
perasaan ketidakadilan.”4 and of living in harmony despite the religious,
Hal lain yang tidak hadir dalam karya racial, and ethnic diversity, and by producing
Taring Padi adalah persoalan nyata dampak images about stereotypical diversity, Taring
konflik horisontal. Sebutlah, penderitaan para Padi has actually entered the discourse arena
pengungsi sementara, terlebih pengungsi of the status-quo. This stance can be perceived
permanen yang tidak bisa kembali ke daerah as an “agreement” to the prepared reasoning
asalnya, atau persoalan yang dihadapi di dalam that has made us forget the true root causes of
barak-barak pengungsian, bagaimana cara the horizontal conflicts. What has been absent,
mereka menyusun kembali kehidupan dan and what Taring Padi could have done to avoid
membangun tatanan damai pascakonflik. Belum being driven by the mainstream discourse, is
lagi penderitaan anak-anak dan perempuan; try to present a counterdiscourse that rejects
merekalah yang memikul beban paling berat the politicization of religious, racial, and ethnic
akibat kerusuhan atau konflik horisontal. Semua issues. Apart from that, there should be an
itu bahkan belum sampai menyentuh persoalan effort to encourage people to resolve problems
resolusi konflik, rekonsiliasi, dan penyembuhan and be engaged in efforts of reconciliations in
trauma pascakonflik. order to construct a peaceful social order after
Apakah seruan moral yang dilontarkan the conflict.
oleh karya-karya Taring Padi sudah mencukupi One can also compare Taring Padi’s
bagi suatu usaha mencegah terjadinya konflik views with the opinions of the military and
horisontal? Karya seni rupa sepertinya kurang government officials as quoted by the media:
cukup untuk usaha itu. Tetapi dengan membawa “All social leaders, including the informal
pesan moral ini ke ruang publik, setidaknya and religious leaders, should try to maintain
terbuka peluang bagi orang untuk berpikir dan harmony among people of different faiths,” said
merenung agar suatu saat berkata “Tidak!” pada General Faisal Tanjung, the then Military Chief
politisasi SARA, penyelesaian konflik dengan after the Situbondo conflict broke.3 This official
statement came from the assumption that the
conflict was, or should at least be perceived as
a SARA conflict particularly a religious conflict.
On the other hand, there was also a statement
by Jusuf Kalla, the then Vice President, given at
Bandung Institute of Technology, saying that “...
all horizontal conflicts in Indonesia, such as the
conflicts in Poso, Ambon, or Aceh, take place not
due to religious issues, but because of a sense of
injustice.”4
(q) Another thing that has been absent in

108
Taring Padi’s works is the concrete issue of the
impacts of the horizontal conflicts. There are,
for example, problems about the hardships of
the temporary refugees, and particularly the
permanent refugees who cannot return to
their original homes, or the problems in the
refugee camps and how the displaced people
try to reorganize their lives and develop a
peaceful society after the conflict. Then there
is the hardship suffered by women and children
who bear the greatest brunt of the riots or the
horizontal conflicts. There are also the issues
of conflict resolution, reconciliation, and the
healing of post-conflict traumas.
Are the moral pleas of Taring Padi’s
works enough to prevent horizontal conflicts
from happening? It seems that works of art are
not tools that we can use to deal adequately
with horizontal conflicts. By presenting these
pleas in public places, however, there is at least
(r) a chance that people might stop and mull over
kekerasan, senjata, dan pertumpahan darah. the issues, and one day say “No!” to efforts to
Tetapi, lebih dari itu, juga diperlukan tindakan politicize religious, racial, and ethnic issues, and
nyata, baik yang bersifat politis maupun kultural, efforts to stop conflicts by using force, weapons,
untuk mengatasi persoalan pokok penyebab and by spilling blood. But, more than that,
konflik. Bagaimanapun, langkah yang dilakukan there should be concrete actions, politically or
Taring Padi sangat relevan dan perlu dicatat culturally, to deal with the root causes of the
sebagai sumbangan konkret dari para pekerja conflicts. The actions that Taring Padi have taken
seni rupa komunitas ini secara khusus dan seni are nevertheless relevant and noteworthy, and
rupa Indonesia pada umumnya bagi usaha constitute real contributions from Taring Padi
mengatasi konflik. artists, and from the Indonesian art world in
general, to the efforts of dealing with conflict.

109
(s)

110 (t)
(u)

111
112
(v)

113
Indeks Gambar Picture Index
Bab III Produksi Respon Taring Padi Chapter III of SARA
terhadap Konflik Horisontal

a. Seri Poster Kemanusiaan, “Semua Bersaudara”, a. Humanitarian Poster Series, “All Brothers”,
cukil kayu di atas kertas, 40cm x 53cm, 1999. Woodcut print on paper, 40cm x 53cm, 1999
b. Zine Terompet Rakyat, Edisi VI, Akhir Mei, hlm. b. People’s trumpet, Edition VI, End of May, page 8,
8, 1999. 1999
c. c. Emblem, Woodcut on fabric, 2007
d. Banner “Podho-podho”, acrylic di atas kanvas, d. Banner Podho-podho, acrylic on canvas, 300cm x
300cm x 300cm, 1999. 300cm, 1999
e. Aksi Poster anti Kekerasan, “Tolak Teror e. Poster Action anti-violence, “Reject Terror
Kekerasan terhadap Kemerdekaan Berpikir”, Violence against Independence Thinking”, silkscreen
silkscreen di atas kertas, 49cm x 64 cm, 1999. on paper, 49cm x 64 cm, 1999
f. Aksi Poster anti Kekerasan, “Kekerasan adalah f. Poster Action anti-violence, “Violence is
Penindasan”, cukil kayu di atas kertas, 49cm x Oppression”, woodcut print on paper, 49cm x 64cm,
64cm, 1999. 1999
g. Seri Poster Kemanusiaan, “Secangkir Api g. Humanitarian Poster Series, “Coffee Revolution”,
Revolusi”, cukil kayu di atas kertas, 40cm x Woodcut print on paper, 40cm x 55cm, 1999
55cm, 1999.
h. (1-12) Series Poster Humanity, Woodcut print on
h. (1-12) Seri Poster Kemanusiaan, cukil kayu di paper, 40cm x 55cm, 1999
atas kertas, 40cm x 55cm, 1999.
i. People’s trumpet XIV Edition, End of January, page
i. ZineTerompet Rakyat Edisi XIV, akhir Januari, 16, 2000
hlm. 16, 2000.
j. Rersaudaraan True, Drawing on Paper, M Joseph,
j. Persaudaraan Sejati, drawing di atas kertas, 1999
1999.
k. Build Togetherness in Difference, Drawing on
k. Bangun Kebersamaan dalam Perbedaan, Paper, Dodi Irwandi, 1999
drawing di atas kertas, 1999.
l. (1-2) Kurusetra, Mixed Media, Acrylic on wood,
l. (1-2) Kurusetra, mixed media, acrylic di atas 2008
papan kayu, 2008. m. XVII edition of the People’s trumpet, late April,
back cover, 2000
m. Zine Terompet Rakyat, edisi XXI, September,
sampul depan, 2000. n. Public Art, Social Interaction in the village
Ciliwung, Jakarta Bukit Duri, 2000
n. Seni Rupa Publik, Interaksi Sosial di kampung
Ciliwung, Bukit Duri Jakarta, 2000. o. Banner Kampung Sembungan, Social Sembungan
interactive in the village of Yogyakarta, 300cm x
o. Banner Kampung Sembungan, Sosial interaktif 300cm, 2004
di kampung Sembungan Yogyakarta, 300cm x
300cm, 2004. p. All pictures taken from People’s horn
p. Semua gambar diambil dari Zine Terompet q. People’s trumpet, Edition VI, End of May, page 22,
Rakyat. 1999
q. Zine Terompet Rakyat, edisi VI, akhir Mei, hlm. r. Calendar Poster Series, “Build Equality”, woodcut
22, 1999. print on paper, 51cm x 58cm, 2005
r. Zine Terompet Rakyat, edisi XXVI, Maret, hlm. s. People’s trumpet XVI Edition, the end of March,
4, 2001 the front cover, 2000
s. Zine Terompet Rakyat, edisi XVI, akhir Maret, t. Chat Ilalang, trumpet VI People’s Edition, End of
hlm. 14, 2000 May, pages 20-21, 1999
t. Zine Terompet Rakyat, edisi XVI, akhir Maret, u.
sampul depan, 2000.
v.
u. Seri Poster Kalender, “Bangun Kesetaraan”, cukil
kayu di atas kertas, 51cm x 58cm, 2005.
v. “Obrolan Ilalang”, zine Terompet Rakyat, edisi
VI, akhir Mei, hlm. 20-21, 1999.

114
Endnote Endnote

1 George Junus Aditjondro, “Orang-orang Jakarta di 1 George Junus Aditjondro, “Orang-orang Jakarta di
Balik Tragedi Maluku”. Balik Tragedi Maluku” (Jakartans behind the Tragedy
2Heidi Leanne Arbuckle, Taring Padi: Praktik in the Moluccas)
Budaya Radikal di Indonesia (trans. Ari Widjaja), 2 Heidi Leanne Arbuckle, Taring Padi: Praktik Budaya
Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 102-103. Radikal di Indonesia (trans. Ari Widjaja), Yogyakarta:
3 Kompas, 17 oktober 1996. LKiS, 2010, p. 102-103. This is the Indonesian version
of Heidi Leanne Arbuckle, Taring Padi and the
4 ANTARA News, 7 April 2007. Politics of Radical Cultural Practice in Contemporary
Indonesia, unpublished thesis, Curtin University of
Technology, 2000, p. 65.
3 Kompas, 17 oktober 1996.

4 ANTARA News, 7 April 2007.

115
116
(a) 117
(b)

(c)

118
Bab IV
Ideologi itu Berkelamin:
Representasi Perempuan dalam
Karya-karya Taring Padi

Wulan Dirgantoro

Taring Padi yang didirikan pada Desember 1998


telah dikenal dalam medan sosial seni Indonesia
dan seni rupa internasional sebagai komunitas
seni yang memiliki komitmen politik. Taring
Padi berpedoman pada isu-isu kerakyatan,
yaitu seni yang egaliter, humanis, demokratis,
antidiskriminasi gender, berkeadilan sosial,
ekologis, liberalis dalam berpikir dan bertindak
serta terbuka bagi pengetahuan lokal. (d)
Dalam praktiknya, Taring Padi banyak
bekerja dengan masyarakat umum untuk Chapter IV
membangun kesadaran baru tentang per- Ideology has a Gender:
masalahan yang mereka hadapi. Advokasi ini The Representation of Women
menggunakan karya seni sebagai medium in the Work of Taring Padi
untuk mempelajari dan memahami persoalan
masyarakat serta menawarkan solusi yang
dapat berupa semangat untuk menghadapi Wulan Dirgantoro
permasalahan tersebut.
Karya-karya Taring Padi merepresentasi-
kan perjuangan rakyat yang terdiri dari petani, Established in December 1998, Taring Padi is
buruh, dan masyarakat miskin, baik di desa known within the Indonesian social arts and
maupun kota. Dalam karya-karya tersebut, Taring international arts scene as an art community
Padi memposisikan representasi elemen-elemen bearing political commitments. Taring Padi is
masyarakat secara setara dan seimbang melalui guided by issues of the people, namely art that
komposisi yang cermat dalam bidang gambar. is egalitarian, humanistic, democratic, gender
Sekilas kita dapat melihat bahwa isu kesetaraan anti-discriminative, socially just, ecological,
dan antidiskriminasi gender adalah salah satu liberal in thought and action, as well as open to
pilar penting dalam politik representasi Taring local wisdom.
Padi.

119
Tentu saja, representasi perempuan In practice, Taring Padi often colla-
dalam karya seni tidak pernah netral. Ada borates with the general public to build new
beberapa faktor umum yang memengaruhi awareness regarding the issues that the
representasi perempuan dalam karya seni: community faces. This advocacy utilizes art as
siapa subjek permasalahan dan perupanya a medium to study and comprehend the issues
serta untuk siapa, dan dalam konteks apa karya- of the people, and offers solutions which could
karya itu dibuat. Faktor terpenting dalam meli- take form as a will to face those issues.
hat karya-karya Taring Padi adalah latar bela- The works of Taring Padi represent the
kang konteks sosial-budaya Indonesia, tepatnya struggle of the people comprised of farmers,
dalam periode pasca-Orde Baru. laborers, and the underprivileged -- be it in
Periode tersebut, yang ditandai de-ngan suburban or urban areas. Within its works,
kemunculan partai-partai politik baru, kebebasan Taring Padi has positioned the representation
pers serta muncul kembalinya pernyataan of the elements of community in an equal and
identitas etnis Tionghoa Indonesia, memberikan balanced manner through careful composition
sebuah euforia dan optimisme baru akan masa in the paintings. We could observe at a glance
depan republik ini. Ruang demokrasi baru that the issue of gender equality and anti-
tersebut juga memberikan kesempatan untuk discrimination is one of the key pillars in Taring
mendefinisi-ulang identitas budaya dan politik Padi’s political concept.
yang direpresi selama tiga dekade sebelumnya. It is to be admitted that women repre-
Tetapi pada saat bersamaan, ruang demokrasi sentation in the arts is never neutral. There are
itu sangat rapuh, dan redefinisi yang several general factors that influence the
diharapkan, terutama oleh para aktivis representation of women in the arts:
kesetaraan gender, dalam masyarakat Who is the subject of the issue at hand
Indonesia yang masih berpegang and who is the artist, for whom is the
pada nilai-nilai patriarki itu, terjadi art intended for, and in what context
sangat perlahan. are those art works created.
Dalam periode pasca Orde The most important factor in
Baru, perempuan Indonesia observing the art works of
telah memberikan Taring Padi is the socio-
sumbangan berharga cultural background
melalui berbagai of Indonesia, to wit:
upaya advokasi untuk the post-New Order
meredefinisi identitas period.
keperempuanan This period
mereka. Tetapi, nilai- marked by the
nilai patriarki yang establishment of
sudah terjalin dalam new political parties,
kehidupan sehari-hari, freedom of the

120 (e)
(f)
121
terbentuk dalam bawah sadar setiap individu, press, as well as the ressurection of the Chinese-
sehingga upaya pembongkaran dan bahkan Indonesian identity statement made way for a
penjungkirbalikan nilai-nilai tersebut tidak new euphoria and optimism in regards to the
hanya melalui advokasi, namun juga harus future of the republic. This new democratic
melalui pembacaan-ulang tanda-tanda sosial breathing room also gave way for the opportunity
budaya. Di sinilah representasi perempuan to redefine the cultural and political identity
dalam karya seni seringkali mencerminkan arus repressed during the previous three decades. At
bawah kesadaran kolektif tentang gender dari the same time, this democratic breathing room
para perupanya sendiri. was very fragile, and the redefinition hoped for
Melalui pengamatan sekilas, sebagian in particular by the gender equality activists
besar perempuan yang direpresentasikan dalam within the very much patriarchal Indonesian
karya-karya Taring Padi adalah perempuan community, progressed at a very slow pace.
yang bertindak sebagai agen perubahan, During the post-New Order period, the
bukan semata-mata korban yang pasif. Dengan women of Indonesia have given their tremen-
penempatan figur di tengah bidang gambar, dous contribution through various advocacy
perempuan-perempuan itu dijadikan fokus efforts to redefine their female identity. But the
sebagai agen, yang turut mengacungkan kepalan patriarchal values already embedded within
tangan dalam semangat perjuangan untuk the daily lives have taken shape in the sub-
perubahan. Namun, pada sejumlah karya, kita consciousness of each individual, and so the
dapat melihat bahwa perempuan juga berlaku efforts of uprooting and even reconstruction of
sebagai agen perebak budaya kapitalis. Di dalam those values were carried out not only through
medan sosial seni, di mana terdapat jarak antara advocacy, but had also needed to be imple-
aktivisme politik, perempuan, dan produksi mented through reinterpretation of socio-
seni, karya-karya Taring Padi telah memberikan cultural markers. It is in this areas that the
kontribusi yang penting terhadap persilangan women representation in the arts oftentimes
tiga hal ini. reflects the gender collective subconsciousness
Secara konsisten, Taring Padi merepre- of the artists themselves.
sentasikan perempuan-perempuan berkebaya Through brief observation, most of the
yang mewakili kelas pekerja. Sedangkan figur women represented in the artworks of Taring
lainnya, yaitu perempuan sebagai agen kapitalis, Padi are women who act as agents of change,
justru jarang terlihat dalam rangkaian karya- not merely as passive victims. Through the
karya mereka. Figur perempuan berkebaya placement of figures at the center of the art
itu bisa dikatakan sebagai gagasan utama dari space, the women became the focus as agents,
representasi perempuan dalam karya-karya raising their fists in the fighting spirit for change.
Taring Padi. Tetapi melalui pembacaan yang lebih Even so, in some of the works we could observe
cermat, akan kita lihat bagaimana representasi- that women could also act as agents of spread
representasi tersebut justru merupakan for the capitalist culture. Within the socio-art
simbolisasi yang tidak stabil dan cenderung scene, where a gap exists among political activity,

122
(g)
merepresentasikan sebuah ide(alisasi) akan women, and the production of art, the works of
perempuan kelas pekerja. Taring Padi have played a key contribution to
Kebaya sebagai simbol adalah sebuah the crossover of these three elements.
penanda kepe-rempuanan yang tidak stabil. Consistently, Taring Padi represents
Melalui analisisnya tentang seksualitas dan women in kebaya, the traditional Indonesian
Negara dalam Orde Baru, Julia Suryakusuma female garment, representing the working class.
dalam “The State and Sexuality in New Order Other figures women as capitalist agents
Indonesia”, menyoroti kebaya sebagai are on the other hand rarely seen in
‘sesuatu yang esensial’ (sine qua Taring Padi’s artworks. The figures
non) bagi perempuan ‘Indonesia.’1 of women in kebaya could be said
Melalui ideologi ‘negara ibuisme’ to be the main idea of women
yang diedarkan lewat organisasi representation within the works
Dharma Wanita, kebaya bukan lagi of Taring Padi. But through more
sekadar identitas etnis perempuan careful observation, we would see
Jawa tetapi ‘seragam’ bagi seluruh how those representations in reality
perempuan Indonesia, baik etnis are unstable symbolyzations and tend
Jawa atau bukan di masa Orde Baru. to represent an idea(lization) of the
‘Seragam’ dalam konteks ini tidak working class women.
hanya berlaku sebagai sandang tapi Kebaya as a symbol is is a
juga penyeragaman pandangan dan marker of an unstable definition of
pemikiran; tentang perempuan ideal womanhood. Through her analysis
yang tidak menyalahi kodratnya serta in ‘The State and Sexuality in New
mendukung karir suami dalam sistem Order Indonesia,’ Julia Suryakusuma
birokrasi Orde Baru. highlighted kebaya as an “essential” (sine
Representasi perempuan qua non) for the women of ‘Indonesia’.1
berkebaya yang diangkat dalam karya- Through the ideology of a “motherism
karya Taring Padi akhirnya menjadi state” spread through the Dharma Wanita
problematis saat digunakan secara organisation, a women empowerment
berulang sebagai representasi state organisation, kebaya is no longer
perem-puan kelas pekerja. Di satu the mere identity of the women of
sisi, ia mencerminkan sebuah figur Javanese ethnicity, but serves as a
yang ‘ideal’, pakaian sebagai simbol (h) ‘uniform’ for all the women of Indonesia
kerakyatan atau perempuan kelas pekerja. Di in the New Order be it Javanese or not. ‘Uniform’
sisi lain, ia menegasi pesan kesetaraan yang in this context not only functions as a garment
dinyatakan oleh Taring Padi, bahwa kebaya but also the uniformity of viewpoints and way of
sebagai simbol tidak hanya menghapus ke- thinking; the ideal woman who does not breach
beragaman penanda etnisitas perempuan her nature and supports the career of her
Indonesia, ia juga seolah mengukuhkan hege- husband within the New Order beauracratical

124
(i)
125
moni simbolik dari sebuah rezim yang ditentang system.
oleh komunitas ini. In the end, the representation of women
Representasi perempuan dalam karya- in kebaya brought up in the works of Taring Padi
karya Taring Padi kembali berada dalam sebuah becomes problematic when utilized repeatedly
persimpangan makna ketika mereka diposisikan as representation of the working class women.
sebagai figur pengayom dan pengasih. Dalam On one hand, she depicts an ‘ideal’ figure,
karya bertema lingkungan, figur perempuan the garment as a symbol of the people or the
yang diasosiasikan dengan alam adalah sebuah working class woman. On the other hand, she
reinforces the message of equality expressed by
Taring Padi, that the kebaya as a symbol not only
erases the diversity denoting the ethnicities
of the Indonesian women, it is also as if she
reinforces the symbolical hegemony of a regime
opposed by this very community.
Women representation in the works of
Taring Padi is again at a crossroads when they
are positioned as nurturing and loving figures.
In nature-themed artworks, women figures
associated with nature is an essential traditional
viewpoint that then affirms the progressive
message that they want to fight for. Within this
viewpoint, biological factors such as giving birth
are main factors that define a woman; so it is
also with the viewpoint that women are givers,
gentle, and lovers just as nature is. Even though
essentialism could be strategically utilized to
(j)
give voice to the opressed by re-acknowledging
their liyan (“other”) identity as is the thinking
pandangan esensial tradisional yang kemudian of Gayatri Spivak but in the context of the
menegasi pesan progresif yang ingin mereka works of Taring Padi, it would seem that the
perjuangkan. Dalam pandangan ini, faktor representation is still entrapped in a classic
biologis seperti melahirkan adalah faktor utama binary opposition.
yang mendefinisikan seorang perempuan. Even though women are represented as
Demikian juga dengan pandangan perempuan agents as well as symbols, both key positions still
sebagai pemberi, lembut, dan pengasih depict ambiguity on the gender issue represen-
seperti layaknya alam itu sendiri. Walaupun tation of Taring Padi. Working class women are
esensialisme dapat digunakan secara strategis represented through a universal woman figure
untuk memberikan suara bagi kaum yang who in this context is in kebaya, whereas the

126
tertindas dengan mengakui kembali identitas environmental issue is represented through the
keliyanan mereka seperti pemikiran Gayatri feminine characteristics of a woman. In both
Spivak, namun dalam konteks kekaryaan Taring the first and second context, Taring Padi holds
Padi tampaknya representasi tersebut masih the belief of an idealization of womanhood, so
terjebak dalam oposisi biner yang klasik. that the representation shown in their works is
Walaupun perempuan direpresentasi- a patriarchal representation of women.
kan sebagai agen dan juga sebagai simbol, As was previously mentioned, the
kedua posisi penting ini masih mencerminkan women representation in works of art is never
ambiguitas tentang representasi isu jender
dari Taring Padi. Perempuan kelas pekerja
direpresentasikan melalui figur perempuan
universal yang dalam konteks ini berkebaya,
sedangkan isu lingkungan direpresentasikan
melalui sifat-sifat feminin perempuan. Baik
dalam konteks pertama maupun kedua, Taring
Padi sama-sama meyakini sebuah idealisasi
akan keperempuanan, sehingga representasi
yang tampil dalam karya-karya mereka adalah
representasi patriarki tentang perempuan.
Seperti telah disebutkan, representasi
perempuan dalam karya seni tidak pernah netral.
Walter Benjamin menyebutkan bahwa dalam
membaca konteks politik dalam karya seni,
kita harus melihat bagaimana karya tersebut
ditempatkan dalam relasi dengan produk-
produk pada zamannya, bukan tergantung dari (k)
pernyataan perupanya. Permasalahan dari
representasi perempuan dalam karya-karya
Taring Padi ialah, apabila kesetaraan adalah neutral. Walter Benjamin states that in reading
ideologi yang mereka perjuangkan, maka the political context in works of art, we have to
ideologi tersebut tampaknya masih berada pada examine how the artwork is placed in relation
tataran simbolis, belum pada agen perubahan to the products of its era, and not in relation to
yang diharapkan. the artist’s statement. The quandary of women
Dalam perjalanan mereka yang akan representation in the works of Taring Padi is
datang, tampaknya Taring Padi masih me- this: If equality is the ideology that they fight for,
miliki perjuangan yang panjang di dalam then it would seem that the ideology still rests
ideologi kolektif mereka sendiri. Isu gender at a symbolic plane, not yet reaching the agents
dan representasi perempuan memiliki lapisan- of change level as hoped.

127
lapisan makna yang terkait erat satu sama lain; In their future journey, it seems that
gender, kesetaraan, antidiskriminasi adalah Taring Padi still has a long struggle ahead within
isu kaum marjinal yang terus berkembang. Di their own collective ideology. Gender issue and
Indonesia, isu-isu ini tidak hanya berlaku bagi women representation have layers of meaning
perempuan kelas pekerja tapi juga mencakup closely interlaced with one another; gender,
kebanyakan perempuan urban dan kaum LGBTIQ equality, anti-discrimination are ever evolving
(Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, issues of the marginalized community. In
dan Queer) yang belum tersampaikan melalui Indonesia, these issues are not only relevant to
karya-karya mereka. the working class women, but also encompass
Hanya dengan melalui partisipasi artistik most urban women and LGBTIQ communities
yang lebih inklusif dari para anggota kolektif (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersexual,
Taring Padi, pesan kesetaraan tersebut dapat and Queer) who have not been voiced through
disampaikan dengan seimbang. Kolektivitas their artworks.
dan partisipasi dialogis yang selama ini menjadi It is only through a more inclusive artistic
kunci praksis Taring Padi memiliki potensi yang participation from the collective members
besar untuk melampaui aktivitas pembangkitan of Taring Padi that the message of equality
kesadaran yang telah mereka lakukan selama could be conveyed in a balanced manner. The
ini. collective nature and participatory dialogue
that insofar have served as Taring Padi’s praxis
Tasmania, Oktober 2008. key hold enormous potential to surpass the
consciousness-raising activities that they have
been carrying out.

Tasmania, October 2008.

128
129 (l)
130
131 (m)
132
(n)
133
134 (o)
Indeks Gambar Picture Index
Bab IV Ideologi itu Berkelamin: Chapter IV Woman
Representasi Perempuan dalam
Karya-karya Lembaga Budaya Kerakyatan a. Wayang Cardboard, 2004
Taring Padi
b. People trumpet the May issue, page 7, 2003
c. XVI edition of the People’s trumpet the end of
a. Wayang Kardus Anti Perdagangan Senjata, March, back cover, 2000
2004.
d. Mural on Campus Ex Gampingan ASRI
b. Zine Terompet Rakyat, edisi Juni, hlm. 9-10,
e. Calendar Poster Series “Independent Women”,
2002.
woodcut print on paper, 51cm x 58cm, 2005
c. Zine Terompet Rakyat, edisi Mei, hlm. 7, 2003.
f. People trumpets the June issue, page 6, 2002
d. Zine Terompet Rakyat, edisi XVI, akhir Maret,
g. Mural on Campus Ex Gampingan ASRI
sampul belakang, 2000.
h. Poster Women Reject the oppressed, Woodcut
e. Mural di eks Kampus ASRI Gampingan.
print on paper, 40cm x 52cm, 1999
f. Seri Poster Kalender “Perempuan Merdeka”,
i. Poster Same Same As satiety, Woodcut print on
cukil kayu di atas kertas, 51cm x 58cm, 2005.
paper, 41cm x 51.5 cm, 1999
g. Zine Terompet Rakyat, edisi Juni, hlm. 6, 2002.
j. Right to Vote Poster Give Us As A Woman, Wood-
h. Mural di eks Kampus ASRI Gampingan. cut print on paper, 40cm x 52cm, 1999
i. Poster “Perempuan Menolak Ditindas”, cukil k. People trumpets the June issue, page 11, 2002
kayu di atas kertas, 40cm x 52cm, 1999.
l. Pearl Sweat Book Cover Illustration, 2001
j. Poster “Sama Seiring Sama Kenyang”, cukil kayu
m. Mural “Art Agains The Machine”, Darwin, 2002
di atas kertas, 41cm x 51,5cm,.1999.
n. All Pictures taken from the mini banner Against
k. Poster “Berikan Hak Suara Kami Sebagai Se-
RUU Pornografi , 2001
orang Perempuan”, cukil kayu di atas kertas,
40cm x 52cm,.1999. o. VII edition of the People’s trumpet the end of
June, page 2, 1999
l. Ilustrasi Sampul Buku “Keringat Mutiara”, 2001.
m. Mural “Art Agains The Machine”, Darwin, 2002.
n. Semua Gambar di ambil dari rontek penolakan
Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Por-
nografi, 2007.
o. Zine Terompet Rakyat, edisi IX, akhir Agustus,
hlm. 4, 1999.

135
Endnote Endnote
1 Julia Suryakusuma, “The State and Sexuality in 1 Julia Suryakusuma, ‘The State and Sexuality in New

New Order Indonesia” dalam Laurie J. Sears [ed.], Order Indonesia,’ in Laurie J. Sears [ed.], Fantasizing
Fantasizing the Feminine in Indonesia, Durham & the Feminine in Indonesia, Durham & London: Duke
London: Duke University Press, 1996. University Press, 1996.

136
(a)
(b)
138
Bab V
Buruh Bersatu, Tak Terkalahkan

Yayak Iskra

Pameran Taring Padi di Eropa


Bersama Dodi Irwandi dan Lisabona Rahman,
saya ikut menghantarkan karya rupa Taring
Padi dalam pameran “Saudari-saudara Tak
Dikenal” (Unbekannte Schwester, unbekannter
Bruder) pada khalayak Dresden di Kunsthaus
Dresden, Jerman, pada akhir Januari 2004.
Puluhan mahasiswa seni dan masyarakat
muda mengikuti penjelasan sekilas tentang
situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
yang tergambarkan dalam semua karya yang
terpampang. Berkelilinglah kami dari ruang ke (c)
ruang.
Di tengah salah satu ruang yang penuh Chapter V
dengan karya grafis, tergantung karya seukuran Workers United, Unbeatable
tripleks, 244 x 122 cm, berjudul “Buruh Bersatu”.
Perhatian pun segera tersedot pada detail.
Lihatlah buruh berdemonstrasi. Lihatlah tentara Yayak Iskra
yang menghadangnya. Lihatlah penyiksaan
di kantor polisi atas buruh yang ditangkap.
Lihatlah juragan yang mendapat kenikmatan Taring Padi’s Exhibition in Europe
hidup di atas penderitaan dan penindasan atas Together with Dodi Irwandi and Lisabona
buruhnya. Lihatlah pekerja itu bergerak di depan Rahman, I introduced the artwork of Taring
mesin seperti robot. Lihatlah betapa beratnya Padi members at the exhibition “Unbekannte
pekerjaan yang harus dilakukan dengan upah Scwester, unbekannter Bruder” (Unknown
cukup sekali makan. Lihatlah bahwa buruh Sister, Unknown Brother) to the audience at
melawan, tak menerima kenyataan menyakitkan the Kunsthaus Dresden, Germany, at the end
itu setelah sebelumnya bersatu membangun of January 2004. Scores of art students and
serikat dan lantas bergerak bersama. Ada pula young members of society followed our brief
humor: seorang juragan menyembunyikan explanations about the political, economic,
uang upah di balik punggungnya saat beberapa social, and cultural situations as depicted in

139
(d)

buruh memintanya. Lalu, lihatlah gambar the displayed works. We made a tour from one
besarnya: buruh lelaki mengacungkan palu room to another.
dan yang perempuan mencengkeram gunting. In one of the rooms that was full of print
Berpakaian layaknya buruh pabrik, mereka works, there was a 244 x 122 cm work entitled
bukan tertawa sebagai tanda senang atas “Buruh Bersatu” (Workers United). Our attention
kerja yang membahagiakan, namun berteriak. was immediately focused on the details. Look at
Teriakan tanda marah, tak terima, menuntut the workers demonstrating. Look at the soldiers
hak, dan siap melawan. blocking their way. Look at the torture suffered
Lalu, bagaimana keadaan buruh by the detained workers at the police office.
sebenarnya pada waktu itu dan sebelum poster Look at the master enjoying his good life over
itu dibuat? Beberapa hal masih sama dengan the pains of the oppressed workers. Look at the
saat Indonesia masih berada di bawah rezim workers moving like robots before the machines.
Orde Baru. Dalam isi dan pelaksanaannya, Look how strenuous the workers’ jobs are, with
UU Ketenagakerjaan hasil pemerintahan di wages that barely cover one meal. Look how
masa reformasi masih belum berpihak pada the workers fight, refusing to accept this painful
kepentingan penyejahteraan buruh. Nyatanya, fact, having established a union and fighting
Pemerintah bersama DPR, didukung oleh together as one. There is also a humorous tone:
lembaga-lembaga internasional seperti IMF the master hiding the money for the wages
dan ILO, membuat Paket Reformasi Hukum behind his back, trying to conceal it from the
Perburuhan: UU No. 21 Tahun 2000 tentang workers who demand it. Then, look at the bigger
Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU No. 13 Tahun picture: the male workers brandishing a mallet;
2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 2 the female, scissors. Wearing the uniforms of
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan factory workers, they are not laughing-laughter
Hubungan Industrial (PPHI). Ketiga UU dalam being an indication that they are happy about

140
paket ini sesungguhnya hanyalah penerus politik their job-but are instead screaming, indicating
hukum perburuhan Orde Baru. anger, refusal to accept the oppressive condition,
Dalam gambar poster “Buruh Bersatu” demanding their rights, and preparing to fight.
ada potret Marsinah di antara poster yang What was the workers’ situations at the
dibawa buruh-buruh perempuan dalam time the poster was made and well before it?
demonstrasi. Marsinah, seorang buruh dari PT Some things from the New Order era remain. In
Catur Surya, pabrik pembuat jam di Sidoarjo, terms of its content and its execution in practice,
Jawa Timur, pada 1993 telah mati ditembak the Employment Law legislated during the
setelah sebelumnya diperkosa. Ia diciduk oleh Reformation era still does not side with workers,
pihak militer karena telah mengorganisasi nor does it strive to improve workers’ welfare.
buruh di pabrik tempatnya bekerja untuk mogok The government and the legislative assembly,
menuntut kenaikan upah dan pemenuhan supported by such international institutions
hak-hak lainnya sebagai buruh. Pembunuhnya as the IMF and ILO, produced the Reform
tak pernah tertangkap. Sama dengan tak Package of the Employment Law: Act No. 21 of
terungkapnya pembunuh Partono dari LBH 2000 on Trade Unions; Act No. 13 of 2003 on
Surabaya dan Titi Sugiarti, seorang buruh di Manpower; and Act No. 2 of 2004 on Industrial
Bandung. Keduanya aktif mengorganisasi Relation Disputes Settlement. In reality, these
(e) perlawanan buruh dan ditemukan mati tanpa acts are merely continuation of the politics of

141
sebab yang jelas di suatu sungai di Surabaya employment law during the New Order.
dan di suatu kolam di pinggiran kota Bandung. In the poster “Buruh Bersatu” (Workers
Kedua mayat itu penuh dengan bekas siksaan. United), there is a portrait of Marsinah among
Patah tumbuh hilang berganti, begitu the prints carried by the demonstrating female
motto para pejuang buruh. Pada 1995, Wiji workers. Marsinah was a worker at PT Catur
Thukul memimpin demonstrasi puluhan ribu Surya, a clock factory in Sidoarjo, East Java.
buruh tekstil di Solo dan Dita Sari memimpin She was found dead in 1993. Marsinah had
aksi buruh di Surabaya pada 1996. Keduanya been raped and then shot dead. Before the
adalah termasuk peristiwa demonstrasi buruh incident, she organized her fellow workers to
terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Orde strike, demanding an increase in their wages
Baru. Thukul mengambil risiko disiksa oleh and the fulfillment of their other rights as
tentara hingga salah satu matanya buta, tulang workers. The military took her afterwards, and
belulang retak, dan telinganya tuli. Dita Sari the murderer was never caught. A similar fate
pun dipenjara. Pada saat itu, demonstrasi atas struck Partono from Surabaya Legal Aid Institute
tuntutan apapun masih dilarang. and Titi Sugiarti, a female worker in Bandung,
who both had been active in organizing workers’
Poster untuk Penyadaran dan Pemerdekaan resistance and were found dead afterwards; the
Christiane Mennicke, kurator Kunsthaus first in a river in Surabaya, the latter in a pond
Dresden, menyatakan bahwa realisme sosial in the outskirts of Bandung. The bodies were
dalam karya Taring Padi berbeda dengan yang covered with marks of torture.
digambarkan para pekerja seni di Jerman A broken branch will grow back such is
Timur saat sebelum runtuhnya tembok Berlin. the motto of the worker-fighters. In 1995, Wiji
Ide karya-karya di Jerman Timur berasal dari Thukul led a demonstration of thousands of
pemerintah, sehingga dianggap ‘penindasan’ textile factory workers in Solo, and in 1996 Dita
bagi seniman, sementara karya-karya Taring Sari led the workers’ movement in Surabaya.
Padi menggunakan gaya realisme sosial yang di These two events were two of the largest
Indonesia dianggap tabu karena mewakili para workers’ demonstrations in the history of the
seniman yang dituduh antipemerintah. New Order regime. Thukul took the risk of being
Benar. Keduanya memang berbeda. tortured by military officers; one of his eyes
Seperti yang saya tahu pada 1980-an, ada tiga being blinded, his bones crushed, and his hearing
hal tabu bagi pers: pertama, menyiarkan dan impaired. Dita Sari was taken to jail. At the time,
membela perlawanan buruh dan petani karena demonstrations, with whatever demands, were
kedua hal itu berkonotasi kiri. Kedua, mem- forbidden.
bongkar kejahatan militer. Ketiga, membongkar
kejahatan keluarga Soeharto. Posters for Consciousness raising and for
Selama 1991, ketika saya berada di Liberation
bawah tanah demi menghindari kejaran aparat Christiane Mennicke, the curator of Kunsthaus
Orde Baru, saya pernah membuat satu poster Dresden, stated that social realism in Taring

142
(f)
144
(g)

145
komik besar yang mengungkap persoalan Padi’s works is different from the one presented
perburuhan yang bertajuk “Buruh Bangkit by East German artists before the fall of the
Bergerak”. Berisi satu rangkaian cerita, poster Berlin Wall. The ideas for the works made in
tersebut diawali dengan cerita tentang model East Germany originated from the government
pilihan ekonomi berupa neoliberalisme yang and therefore was considered as constituting
menjadi penyebab utama kesengsaraan buruh as oppression against the artists. Meanwhile,
di Indonesia, lalu tentang buruh anak dan the works by Taring Padi artists used the style
perempuan yang menerima upah di bawah of social realism that was considered a taboo in
buruh laki-laki, seleksi buruh melalui pelecehan Indonesia as it represented the artists who were
seksual, model-model pemerasan, cara-cara allegedly anti-government.
intimidasi dengan menggunakan tentara atau Mennicke was right. The two groups
polisi, pola-pola perlawanan buruh melalui of works are indeed different. I am aware of
pemogokan dan sabotase menuju perebutan the fact that in Indonesia during the eighties,
alat produksi, pengorganisasian, koperasi, three things were considered taboos for the
dan seterusnya. Narasi poster ditutup dengan press: First, reporting about workers’ and
slogan potongan puisi Thukul, “Hanya satu kata: peasants’ resistance and supporting it (this was
Lawan!” Tentu saja, poster itu tak bisa dicetak a taboo because workers’ resistance was seen
dan disebar secara terbuka. Namun secara diam- as leftist, and the regime disapproved of any
leftist movement). Second, unmasking military
misconducts. Third, exposing the wrongdoings
(h)
of the Soeharto family.
In 1991, when I was hiding underground
to avoid being captured by New Order law
enforcers, I made large poster-comics about
labor issues, entitled “Buruh Bangkit Bergerak”
(Workers Rising). The posters narrative begins
with a story in which neoliberalism is choosen
as the economic path for the country, and this
has been the main source of suffering for the
Indonesian workers. Then there is a story of the
female and child workers, who are paid lower
than their adult, male counterparts. This is then
followed by a story about sexual harassments in
the recruitment process; models of extortion;
intimidations using the military or the police;
forms of workers’ resistance including strike,
sabotage to seize the means of production,
organization, co-operation, and so on. A fragment
(i)

diam, poster itu tersebar ke banyak jaringan of Wiji Thukul’s poem concludes the narrative:
serikat buruh di luar Serikat Pekerja Seluruh “There is only one word: Fight!” Naturally, I could
Indonesia (SPSI). not openly publish and distribute the posters.
Model poster tersebut mirip poster Secretly, however, the posters were circulated
“Buruh Bersatu”. Perbedaannya adalah pada in the network of trade unions outside the SPSI
soal teknis. Karya saya dibuat untuk dicetak (Indonesian Workers’ Union, the government-
sedangkan poster Taring Padi dibuat dengan formed trade union).
teknik cukil kayu. Selain jumlah cetakan Taring The posters I made resembles the
Padi yang dibatasi kemampuan tangan, detail poster of “Buruh Bersatu” (Workers United).
informasi yang terungkap secara berbeda, karya The difference lies in the technical aspects. I
Taring Padi juga berbeda pada proses penciptaan, made the poster with the intention to print it,
dari sejak riset sampai penyelesaian. Inilah while Taring Padi’s poster was made using the
kelebihan dan menariknya model poster Taring woodcut technique. Apart from the possible
Padi: dilakukan secara kolektif. Dari awal sampai number of prints of Taring Padi’s poster, which
akhir telah banyak kepala dan tangan yang is restricted by human capability, and the
bekerja. Hanya saja, kalau dilihat dari besarnya differently-revealed details, Taring Padi’s work is
ukuran poster yang melebihi ukuran tripleks, also distinct in its process of creation, from the
patut dipertanyakan, kepada siapa sebenarnya research stage to the end. This is where Taring
poster ini ditujukan? Kepada masyarakat buruh Padi’s poster is superior and more interesting
atau masyarakat umum? Kecuali jika gambar compared to mine: It is produced collectively.

147
besar itu menjadi acuan untuk kemudian From the initial to the final stages, many minds
diperbanyak dengan dicetak menjadi poster and hands have contributed to the creation
seukuran pamflet, yang bisa dipajang di gubuk- of the work. But if we consider the size of the
gubuk atau kamar tidur para buruh. Dengan itu, poster that is bigger than the standard size of a
seni akan menjadi untuk semua. plywood panel, it is normal to ask: to whom is the
Penampilan dan pilihan isi poster, poster directed? To the workers, or the public at
tentu, mesti diperhatikan. Dalam perhitungan large? This poster is simply too large. Unless it
teknik komunikasi, isi poster mesti menyangkut serves merely as a point of reference that can be
pemahaman komunikan pada persoalan dan further copied and printed as pamphlet -sized
pemecahan serta cara mengatasi masalah posters, which workers can then stick on their
yang telah diungkap. Jika buruh melihat dan bedroom walls or in their shacks, it is difficult
mempelajari poster itu, apakah mereka merasa to say that the poster is meant for the common
terwakili? Apakah diri mereka termasuk di antara workers.
subyek di dalam gambar dan kemudian tergerak One must certainly consider the
mengikuti ajaran-ajaran yang tertuang? Tentulah appearance and content of the poster. To be
harapan utama Taring Padi adalah menghasilkan able to communicate well, the content, or
peningkatan kesadaran atas persoalan yang the message, must be in keeping with the

(j)

148
dihadapi dan dialami oleh para buruh, yang
akan menimbulkan usaha pembebasan diri
atau pemerdekaan diri sejak di jiwa, lalu akan
menggerakkan badan hingga para buruh punya
keberanian untuk melawan segala penindasan
atas diri mereka.
Dalam gambar poster, slogan pada
spanduk yang dibawa para demonstran seperti
slogan “Bangun Solidaritas Antar Buruh (sic)
Serta Rakyat Tertindas”, pasti merupakan
(k)
slogan harapan, sebuah target lain, yang akan
memperkuat pencapaian setelah slogan “Buruh understanding of the target audience about
Bersatu” terwujud dalam bentuk perserikatan the issue at hand. The poster must also present
buruh. Kemudian, dengan bekal kesetiakawanan solutions and propose ways to handle the
bersama rakyat tertindas lainnya, bolehlah depicted problems. If the workers see and
mereka berharap bahwa kemenangan rakyat observe the poster, can they connect with it?
akan tercapai pula. Itulah rahasia slogan Would they feel that the poster represents them?
tersebut. Do they feel that they are among the subjects
Dalam wilayah seni lain, misalnya musik, portrayed in the picture? Would the poster move
juga terdapat semangat perlawanan. Simaklah them to follow the ideas it conveys? Naturally,
kalimat dalam lirik-lirik lagu Taring Padi. Selain Taring Padi’s main expectation is to increase the
memperkuat semangat perlawanan melalui workers’ consciousness of the problems they
ritme dan melodinya, lirik lagu mereka juga face and experience on a day-to-day basis. As
membantu para buruh membuka kesadaran diri they become aware of their situations, their
atas persoalan yang dihadapi. minds might be liberated, and this might give
rise to courage to fight the oppressions.
Awalnya utang datang dari Eropa (Amerika/ Taring Padi’s poster depicts prints carried
Jepang)/ Diam-diam banyak beredar di sini/ by the protesters, with such slogans as “Develop
Sedikit orang memegangnya/ Demi enaknya Solidarity between the Oppressed Workers and
sendiri/ Sisanya jadi rebutan kanan kiri. the People”. These are, of course, expressions
Berdiri banyak pabrik ukuran raksasa/ Upah of hope, indicating another goal that they wish
buruhnya kecil, itulah kurang ajarnya/ to achieve after the slogan of “Workers United”
Makin banyak orang bisa diperas/ Makin has found its manifestation in the form of true
besar untung ada di tangan/Keadilan cuma trade unions. As the workers foster the feeling
omongan orang sekolahan. of solidarity among themselves and with other
Akhirnya kami buruh sadar tak terima/ oppressed members of society, the people’s
Harga tenaga sama besar dengan nyawa/ victory might be within reach. That is the
Dengan tangan mengepal teriak: Naikkan underlying message of the slogan.
149
150
(l)
Upah Kami!/ Semua untung jangan dimakan In other realms of art, for example music,
sendiri!/ Hentikan keserakahan, pemerasan, there is also the spirit of resistance. Look at the
dan penindasan/Itu bukan cara manusia lyrics in Taring Padi’s songs. Apart from boosting
mestinya/ Dengan tangan mengepal teriak: the spirit of resistance through the rhythm and
Naikkan upah kami! ... melody, the lyrics also help generate awareness
among the workers regarding the problems they
— “Awal Akhir Nasib”, lagu yang dinyanyikan
Marsinah pada 1993, saat memimpin
face.
pemogokan buruh di pabrik tempatnya Debts come from Europe (the US/Japan)/Here
bekerja atau selama berdemonstrasi bersama they quietly circulate /Those who lay hands
kelompok buruh lainnya di Surabaya.
on them are only a select few/Just for their
Harap selalu diingat bahwa gambar maupun own pleasure/The leftover is fought over from
bentuk seni lain tak hanya bisa dipakai sebagai left and right.
alat perjuangan rakyat, namun juga sebagai Many gigantic factories are built/But the wage
senjata rakyat, dan kawan-kawan Taring Padi is always low, that’s the filthy bit/The more
telah melakukannya people they can exploit/The bigger the profit/
Maju terus dan merdekalah. And fairness is only a matter for the educated
elite.
We workers finally realize/That our energy
equals our life/With clenched fists we yell:
Raise our wages!/Don’t eat up all the profits/
Stop greed, extortion, and oppression/That’s
not how life should be/With clenched fists we
yell: Raise our wages! …

— “Awal Akhir Nasib” (The Beginning and


End of Fate), a song that Marsinah sang
in 1993, when she led the strike at the
factory where she worked, and during
demonstrations with other workers’ groups
in Surabaya.

Let us not forget that drawings, or other forms


of art, can be used not only as a tool for the
people’s struggle, but also as a weapon. Our
friends at Taring Padi haves proved this.

Go forth and be free.

(m)

151
152
(n)
153
(o)
154
(p)

155
(q)
156
157 (r)
(s)
158
Indeks Gambar Picture Index
Bab V Buruh Bersatu, Tak Terkalahkan Chapter V Workers United, Unbeatable

a. Banner “Buruh Bersatu”, cukil kayu di atas a. Banner Workers Unite, Woodcut print on
kain, 122cm x 242cm, 2003.
fabric, 122cm x 242cm, 2003
b. Zine Terompet Rakyat, edisi XIX, akhir Juni,
hlm. 12, 2000. b. XIX edition of the People’s trumpet the end
c. Zine Terompet Rakyat, edisi XIII, akhir of June, page 12, 2000
Desember, hlm. 13, 1999.
c. XIII edition of the People’s trumpet Last De-
d. Banner “Tanpa Buruh Pabrik-pabrik Jadi cember, page 13, 1999
Rumah Hantu”, acrylic di atas kanvas, 2011.
e. Insert Mural di Mays Lane, Sydney, Austra- d. Mural on Campus Ex Gampingan ASRI
lia, 2006.
e. Mural at Mays Lane, Sydney, Australia, 2006
f. Zine Terompet Rakyat, edisi III, akhir Febru-
ari, hlm. 8-9, 1999. f. People’s trumpet III Final Edition February,
g. Semua Gambar diambil dari zine Terompet pages 8-9, 1999
Rakyat. g. All Pictures taken from the People’s horn
h. Insert Banner “Buruh Bersatu”, cukil kayu di
atas kain, 2003. h. Insert Banner Workers Unite, Woodcut print
i. Aksi Hari Buruh Internasional, Yogyakarta, on fabric, 2003
2008. i. Action International Labor Day, Yogyakarta,
j. Banner Anti Trafficking Manusia, acrylic di 2008
atas kanvas, 2004.
k. Zine Terompet Rakyat, edisi XVIII, Mei, j. Banners Anti-Trafficking in Persons, Acrylic on
hlm.2, 2000. canvas, 2004
l. Insert Banner “Buruh Bersatu”, cukil kayu di k. Insert Banner Workers Unite, Woodcut print
atas kain, 2003. on fabric, 2003
m. Zine Terompet Rakyat, edisi Perdana, hlm.
11, 2005. l. People’s trumpet Prime Edition, page 11,
n. Seri Poster Anti Trafficking Manusia, cukil 2005
kayu di atas kertas, 2004. m. Poster Series Anti-Trafficking in Persons,
o. Seri Poster Anti Trafficking Manusia, cukil Woodcut print on paper, 2004
kayu di atas kertas, 2004.
p. Zine Terompet Rakyat, edisi XVIII, Mei, n. Poster Series Anti-Trafficking in Persons,
hlm.17, 2000. Woodcut print on paper, 2004
q. Zine Terompet Rakyat, edisi III, Februari, o. People’s trumpet XVIII Edition, May, hala-
hlm. 11, 1999. man17, 2000
r. Zine Terompet Rakyat, edisi IV, akhir Maret,
hlm. 8, 1999. p. People’s Edition IV trumpet the end of
s. Poster “Naikkan Upah Buruh 100 %”, March, page 8, 1999
silkscreen di atas kertas, 31,5cm x 40,5cm, q. Poster Demanding Wage Increase, silkscreen
2000. on paper, 31.5 cm x 40.5 cm, 2000

159
160
(a)
161
162
Bab VI
MENOLAK NDORO LONDO BALIK LAGI,
ATAU GLOBALISASI

Bambang Agung

Marilah kita mulai dengan gambar.


Pada Januari 1998, media massa me-
nerbitkan gambar penandatanganan letter of Chapter VI
intent pengucuran dana pinjaman baru dari IMF Rejecting Ndoro Londo’s Return, or
untuk Indonesia. Indonesia diwakili Soeharto Globalization
sebagai presiden dan IMF diwakili ketuanya,
Michel Camdessus. Sang diktator duduk di
meja sementara bos (capo) IMF, dengan tangan Bambang Agung
berlipat, berdiri di belakangnya, mengawasi
Soeharto membubuhkan tanda tangan.1 Gambar
ini memancing gelombang komentar tidak hanya Let’s begin with an image.
di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. In January of 1998, the mass media
Benedict Anderson membaca gambar published a photo of the signing of a letter
ini sebagai tampilan peristiwa kekalahan telak of intent disbursing new loans from the
“Bapak Pembangunan”, yang saat itu lebih tepat International Monetary Fund (IMF) to Indonesia.
disebut “Bapak Pembangkrutan” di tangan Indonesia was represented by its president,
asing. Sementara Joseph E. Stiglitz membaca Soeharto, and the IMF was represented by its
lebih jauh lagi: Presiden Indonesia yang duduk head, Michael Camdessus. The exalted dictator
dan terhinakan, sebenarnya, dipaksa untuk sat at a table while the IMF boss, with folded
menyerahkan kedaulatan ekonomi negerinya arms, stood behind him, watching over Soeharto
ke IMF sebagai pengganti kucuran bantuan bagi as he added his signature.1 This image invited a
negerinya. 2 surge of commentary not only in this country,
Di samping itu, gambar ini juga meng- but in foreign countries as well.
ungkit ingatan lama masyarakat dalam idiom Benedict Anderson read this image as
kultural setempat tentang Ndoro Londo,3 yang depicting the unequivocal defeat of the “Father
kini telah balik lagi. Atau dalam rumusan pendek: of Development” who at that time would more
neokolonialisme. appropriately have been called the “Father
Bau neokolonialis IMF mudah terendus of Bankruptcy” at the hands of foreigners.
bila kita menelusuri motif ekonomis maupun Meanwhile, Joseph E. Stiglitz read further into
politisnya. Kucuran utang dari IMF dan Bank the image: the sitting Indonesian President
163
Dunia, salah satu pasangan dansanya, yang debased, and actually forced to relinquish
sering disebut “dana pembangunan” bagi sovereignty over his nation’s economy to the
negara-negara berkembang tiada luput IMF, the substitute in the stream of assistance
dari motif neoliberal. Mereka memaksakan to the nation.
pelaksanaan program penyesuaian struktural Alongside these readings, this photo also
sebagai prasyarat pengucuran dana. Di atas unearths an older memory in the community’s
kertas, tujuan program ini adalah reformasi local cultural idiom about the Ndoro Londo,2
mekanisme ekonomi internal agar ekonomi who has now returned again. Or more briefly:
negara-negara pengutang bisa lebih efisien dan neocolonialism.
mampu bersaing. The whiff of IMF neocolonialism is easy
to detect, if we examine economic and political
motives. The stream of debt held by the IMF and
World Bank, one of its “dance partners” which
is often referred to as “development loans” to
developing nations. These loans are not free
from neoliberal motives. The IMF and World
Bank force the implementation of structural
adaptation programs as a prerequisite for the
disbursement of funds. On paper, the program’s
goal is the reformation of internal economic
mechanisms so that debtor nation’s economies
can become more efficient and compete in
global markets.
However, the expense is usually much
too large while the benefits are far from what
(c)
is hoped. The flow of development funds
Namun, biaya untuk itu biasanya terlalu enters only the pocketbooks of corrupt and
besar sementara manfaatnya jauh dari yang authoritarian elites, together with small portions
diharapkan. Kucuran dana pembangunan ha- going to business cronies backed by security
nya masuk ke kantong pihak elit yang korup dan forces in each country. They pointedly better
otoriter bersama sebagian kecil kroni bisnis yang serve the interests of corporate capital from
dibekingi pihak keamanan di masing-masing other wealthy nations that give aid.
negeri. Terutama mereka yang lebih melayani What happens next is easy to guess:
kepentingan modal korporasi-korporasi dari the nation’s people become in debt and do not
negara-negara kaya pemberi bantuan. receive the necessary development aid that
Yang terjadi kemudian mudah ditebak: was channeled in their names. But, those who
rakyat negara pengutang tidak mendapat dana have to guarantee the bond settle it with a loan.
pembangunan semestinya yang dikucurkan Often debt payment bonds are large enough

164
(d)

165
atas nama mereka. Tapi, merekalah yang harus that the allocation of development funds fail.
menanggung kewajiban melunasi pinjaman. Economic liberalization demands also impact
Jumlah kewajiban pembayaran utang sering the severing of government fund allocations
begitu besar sehingga alokasi dana pembangun- that involve the daily needs of many people,
an terkalahkan. Tuntutan liberalisasi ekonomi like health programs, education, and other
juga berdampak pada pemotongan alokasi dana fundamental requirements. Both the IMF and
pemerintah untuk pos-pos yang menyangkut World Bank claim that debtor nations reduce
hajat hidup orang banyak seperti program the level of people’s living standart so that they
kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan dasar can pay off debt. Ultimately, there is increasingly
lain. Baik IMF maupun Bank Dunia menuntut marked economic imbalance within the nation,
agar negara-negara pengutang menurunkan increasingly longer lines of the unemployed and
tingkat kehidupan rakyat agar mereka bisa the poor, and a greater risk of social unrest.3

166
(e)

melunasi utang. Akibatnya, semakin tajam With a background like that, the image
kesenjangan ekonomi di dalam negeri, semakin discussed above instantly proffers the idea of
panjang barisan penganggur dan orang miskin, the IMF as the Ndoro Londo who has returned
dan semakin besar pula risiko terjadi keresahan again. Against this we would like to read Taring
sosial.4 Padi.
Dalam latar demikianlah, gambar Before its formal creation, Taring Padi
di atas serta merta menampilkan imaji IMF collective members, who were headquartered
sebagai Ndoro Londo yang balik lagi. Dalam latar in the heart of Javanese culture, Yogyakarta, had
demikian pula, kita mau membaca Taring Padi. already become entangled in several actions
Sebelum resmi terbentuk pun, para regarding issues emerging in the community. It
anggota kolektif Taring Padi yang bermarkas di was certainly not an issue for Taring Padi to seize
salah satu jantung budaya Jawa, Yogyakarta, on different sorts of cultural idioms together
with the source of problems and reverse them.
167
(f)
168
sudah banyak terlibat dalam berbagai aksi “Local” issues springing from those matters were
terhadap isu-isu yang berkembang di masya- actually bound to the centers of capital through
rakat. Tentu, bukan soal benar bagi Taring global capitalism. A situation which now is often
Padi untuk menangkap idiom-idiom kultur- referred to as globalization.
al semacam ini beserta isu maupun sumber In Taring Padi’s works we can read that
persoalan di baliknya. Isu-isu “lokal” yang “Taring Padi’s Popular Culture Institute seeks
sumber persoalan sebenarnya bertali-temali to develop arts and culture by exploring and
sampai ke pusat-pusat modal dari kapitalisme giving priority to the needs and wishes of the
global. Suatu keadaan yang kini sering disebut people,” and in another, “Reform of Global
sebagai globalisasi. Relations together with good Environmental Life
Dalam dokumen Taring Padi kita bisa Management.”4 These phrases indicate Taring
baca bahwa “Lembaga Budaya Kerakyatan Padi’s awareness that global injustice must be
Taring Padi berupaya mengembangkan seni changed through arts and culture.
dan budaya dengan menggali kebutuhan dan
keinginan rakyat dengan mengutamakan”,
antara lain, “Reformasi Hubungan Global serta
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baik”.5 Frasa
ini menunjukkan kesadaran Taring Padi me-
ngenai ketidakadilan global yang perlu diubah
dengan sarana seni dan budaya.
Simaklah, misalnya, gambaran aksi-
seni Taring Padi untuk menolak globalisasi
neoliberal.6 Taring Padi menjawab langsung (g)
dan telak dengan memutarnya ke arah sebalik- Observe carefully, for example, several
nya: menolak memperlakukan karya sebagai hints from Taring Padi’s arts action which rejects
komoditas. Mereka bergeming dalam sikap neoliberal globalization.5 Taring Padi responds
awal untuk tidak menjual karya-karya seperti directly and precisely by reversing directions:
baliho dan wayang. Alih-alih sebagai komoditas rejecting the treatment of work as a commodity.
kultural, karya-karya mereka gunakan sebagai Their earlier response was by not selling their
sarana propaganda dalam berbagai aksi publik. artwork like posters and wayang figures. On the
Strategi kedua adalah pilihan untuk contrary, as cultural commodities their work
berkolektif, baik dalam kehidupan sehari-hari, was used as propaganda through public action.
cara produksi dalam berkarya maupun peman- The second strategy is the choice to be a
faatan karya mereka dalam aksi-seni bersama collective; in daily life, in ways of producing work
dengan jaringan. and also through creating art action networks.
Dengan menciptakan karya kolektif, In imagining collective work, Taring Padi
Taring Padi menjalankan apa yang disarankan carries out what was suggested by El Lissitzky
El Lissitzky sekitar 90 tahun lalu: “aspek hak almost 90 years ago: “The private property

169
170
(h)
171
milik pribadi dari kreativitas harus dihancurkan; aspect of creativity must be destroyed; all are
semua adalah pencipta dan adanya pembagian creators and there is no reason of any sort for this
antara seniman dan bukan seniman sama sekali division into artists and nonartists.”6 Collective
tidak beralasan.”7 Karya seni kolektif, dengan artworks, in other words, are a critique of the
kata lain, adalah kritik terhadap reifikasi seni reification of art and the commodification of its
dan komoditifikasi senimannya. artists.
Dengan demikian, wajar pula bila karya Thus, the authentic collective artwork
seni kolektif sering dipandang berorientasi is often seen as having a political orientation
dasar politis ketimbang semata-mata artistik. at its base, compared with the solely artistic.
Pandangan yang sejalan dengan doktrin seni This perspective parallels the Taring Padi arts
Taring Padi yang tidak memisahkan seni dari doctrine, that art is not separated from politics,
politik atau malah menganggap seni sebagai and art is even considered a form of propaganda,
sarana propaganda, sebagai alat perjuangan. as an instrument of battle.
Jika di wilayah strategi perlawanan Taring If Taring Padi’s strategic opposition to
Padi terhadap globalisasi “neo-liberal”, salah satu “neoliberal” globalization recommended by
imbuhan kata sifat penjelas untuk globalisasi V. Burgman7 as a qualifying adjective to clarify
sebagaimana disarankan V. Burgman8, berporos globalization shifts to being anti-commodity
pada sikap antikomoditas dan kolektivisme, and collectivist, in the area of united resistance
di wilayah tematik perlawanan sama bisa we can detect themes among the choices. One

(i)

172
(j)

kita lacak pada pilihan tema. Tema gugatan theme is the resistance to global capital, which
terhadap modal global bisa mudah dilihat pada can easily be seen in the majority of Taring
sebagian besar karya, baik baliho, postcard, Padi’s works, whether banners, postcards,
poster maupun wayang. Karya-karya yang juga posters, or wayang. The works were also
mereka pakai dalam aksi-seni pada berbagai used in art actions in several events, like anti-
acara seperti konferensi antiimperalisme, anti imperialism conferences, anti-IMF conferences
IMF atau demo antiutang. Malah seakan tidak or demonstrations against debt. Seemingly not
puas dengan pencitraan visual yang sebenarnya satisfied with only visual imagery, which was
sudah lantang, gugatan-gugatan mereka actually already quite clear, Taring Padi’s claims
ekspresikan pula dalam wujud teks.9 are also expressed in the form of text.8
Perlawanan juga mereka wujudkan Taring Padi also demonstrate resistance
pada pembelaan terhadap kaum marginal, through the defense of marginalized groups,
terhadap pihak-pihak yang tergerus oleh ke- against those perspectives which are eroded
rakusan globalisasi neoliberal yang mengubah by the greed of neoliberal globalization that
semua barang menjadi komoditas, termasuk transforms all goods into commodities, including
yang menyangkut hajat hidup orang banyak goods that are the necessities of life for many
dan seharusnya menjadi milik bersama. Maka, people and should be owned collectively. Then
bisa kita jumpai karya-karya dengan tema we can see works with themes that return goods

173
(k)

pengembalian barang milik bersama seperti that should be owned together like the land, the
tanah, hasil laut, hutan, sumber daya alam.10 products of the oceans, forests and sources of
Kita bisa jumpai pula tema seperti natural resources.9
“hentikan campur tangan militer dalam perusa- We can detect other themes like “stop
haan” atau “anjing penjaga modal” berupa mixing the military with enterprise” or “dogs
wayang figur militer berkepala anjing dengan protect capital” in a wayang military figure with
gigi-gigi tajam siap mengerkah. Taring Padi a dog’s head and sharp teeth ready to bite.
menafsirkan aparatus negara lebih sering, Taring Padi interprets the nation’s instruments
sebagaimana ditulis Harvey, mengutamakan more often - as written by Harvey - as prioritizing
modal sembari mengorbankan buruh. capital while sacrificing labor.
Bila orientasi utama globalisasi neo- If the main orientation of neoliberal
liberal adalah menyerahkan semua produk, globalization is the transference of all products
termasuk produk pertanian ke mekanisme - including agricultural products - to free market
pasar (bebas), maka keterlibatan Taring Padi mechanisms, then Taring Padi’s involvement in
dalam kampanye pertanian organik, kampanye efforts to support organic produce, anti-pesticide
antipestisida, kampanye jamu sebagai peng- efforts, the campaign for jamu as an alternative
obatan alternatif yang bisa dikelola secara medicine that can be managed independently

174
(l)
mandiri, dan “not for comodity industry (sic!)”11 and “not for comodity industry (sic!)”10 is their
adalah jawaban terhadap orientasi tersebut. response. Taring Padi’s perspective is clear: what
Sikap Taring Padi jelas: yang diperlukan “fair is required is “fair trade”, not “free trade.”
trade”, bukan “free trade”. We can also see Taring Padi’s claims
Kita juga bisa melihat gugatan Taring about globalization in the way they present this
Padi terhadap globalisasi dari cara mereka new Ndoro Londo. Ndoro Londo together with
menampilkan rupa para Ndoro Londo baru ini. his cronies, although supporters of peace, often
Ndoro Londo beserta kroni maupun beking appear with animal heads like dogs, rats, and
keamanan sering ditampilkan dengan kepala pigs.
binatang seperti anjing, tikus, babi. Perhaps the clearest illustration of
Kiranya penggambaran paling gamblang neoliberal globalization appears in the form of a
mengenai globalisasi neoliberal nampak pada wayang figure shaped like a pink octopus, with
satu wayang berupa gurita berwarna pink dengan the head of a pig donning the tall hat of Uncle
kepala babi mengenakan topi tinggi Uncle Sam. Sam. The octopus’ tentacles envelop the earth,
Tangan-tangan gurita melingkupi bola dunia, including Indonesia which appears on the globe
termasuk Indonesia yang nampak petanya, in its hands, twisting sacks of money marked
sembari membelit pundi-pundi bertanda dolar with US dollar signs and rupiah. This image
Amerika Serikat dan rupiah. Penggambaran yang clearly indicates awareness that the power of
gamblang menunjukkan kesadaran bahwa kuasa global capital binds the entire earth, even in the
modal global menelikung seluruh bumi, bahkan most far off places. Taring Padi has strived to
sampai ke tempat-tempat terpencil. Kesadaran preserve this awareness until now.11
yang mereka berusaha jaga sampai kini.12 Taring Padi still work and if we can also
Taring Padi masih dan kalau boleh kita hope: They will continue to work.
pun berharap: mereka akan terus kerja.

(m)
Endnotes Endnotes
1 Benedict Anderson, “Exit Suharto: Obituary for a 1 Benedict Anderson, “Exit Suharto: Obituary for a
Mediocre Tyrant,” New Left Review, No. 50, March- Mediocre Tyrant,” New Left Review, No. 50, March-
April 2008, hlm. 40. April 2008, p. 40.
2 Dalam memori kolektif penutur bahasa Jawa, londo
2 In the collective memory of Javanese speakers,
mengandung arti harfiah Belanda meskipun dalam
londo has the literal meaning “Dutch” although in
penggunaan sehari-hari juga berarti orang Eropah
atau malah orang asing secara umum. Sementara everyday use it also has the meaning of “European”
Ndoro Londo dalam arti harfiah adalah Tuan Belanda. or even more generally “foreigner.” Ndoro Londo has
Namun, dalam kaitan dengan kolonialisme, ungkapan the literal meaning “Dutch Master.” However, in the
ini merujuk pada penjajah Belanda. Dalam tulisan colonial era, this expression referred to the Dutch
ini, Ndoro Londo dipakai di luar makna etnisnya, colonists. In this essay, Ndoro Londo is used outside
melainkan ‘penjajah secara umum’. the sense of ethnicity as a general colonizer.
3 Sebagian orang menyebut program penyesuaian 3 Some people refer to the program of IMF structural
struktural IMF sebagai “paket kerusuhan”. adaptations as a “riot package.”
4 Lihat “Mukadimah Lembaga Budaja Kerakjatan, 4 See “Mukadimah Lembaga Budaja Kerakjatan,
Taring Padi,” Yogyakarta, 2 Februari, 1999. Cetak Taring Padi [The Institute of People Oriented Culture
miring ditambahkan.
of Taring Padi’s Manifesto],” Yogyakarta, February 2,
5 Lihat juga Heidi Arbuckle, Taring Padi: Praktik
1999.
Budaya Radikal di Indonesia (terj. Ari Widjaja), 5 See also Heidi Arbuckle, Taring Padi: Praktik Budaya
Yogyakarta: LKiS, 2010.
6 El Lissitzky, “Suprematism in World Radikal di Indonesia (trans. Ari Widjaja), Yogyakarta:
Reconstruction” (1920) dikutip dari Blake Stimson LKiS, 2010. This is the Indonesia version of Heidi
dan Gregory Sholette, ed., Collectivism after Leanne Arbuckle, Taring Padi and the Politics of
Modernism: The Art of Social Imaginaion after 1945, Radical Cultural Practice in Contemporary Indonesia,
Minneapolis, MN:University of Minnesota Press, unpublished thesis, Curtin University of Technology,
2007, hlm. 12. 2000.
7 V. Burgmann dikutip dari Giorel Curran, 21st 6 El Lissitzky, “Suprematism in World Reconstruction”
Century Dissent: Anarchism, Anti-globalization and (1920), quoted from Blake Stimson dan Gregory
Environmentalism, New York: Palgrave Macmillan, Sholette, ed., Collectivism after Modernism: The
2007, hlm. 51. Art of Social Imaginaion after 1945, Minneapolis,
8 “Lawan sistem kapitalis yang jelas menindas hak dan MN:University of Minnesota Press, 2007, p. 12.
kreatifitas manusia,” “Sistem kapitalisme hidup di 7 V. Burgmann is quoted by Giorel Curran, 21st
atas bangkai-bangkai,” “kapitalis otoriter menghisap Century Dissent: Anarchism, Anti-globalization and
tenaga dan alam Indonesia” hanyalah beberapa
Environmentalism, New York: Palgrave Macmillan,
contoh dari sekian banyak ekspresi demikian.
9 Misalnya:
2007, p. 51.
“rebut kembali hak rakyat atas 8 “Fight the capitalist system which clearly exploits
pengembang-an kebudayaan rakyat,” “tanah untuk
petani penggarap,” “rebut hasil laut untuk umum,” rights and mankind’s creativity,” “The capitalist
“hutan milik rakyat,” “tanah adalah hidup kami system lives on carcasses,” and “Capitalist authority
(kembalikan hak milik rakyat),” “ciptakan tanah sucks Indonesia’s power and its nature” are just a
merdeka,” “aset rakyat dijual habis, aset koruptor few examples of many such expressions.
tidak digubris,” hasil laut milik rakyat,” “natural 9 For example: “Recover the people’s right to develop
resources for sale cheap! must sell quick.”
the people’s culture,” “land for cultivating farmers,”
10 Baliho People’s Justice, 2002.
“struggle for ocean products for the public,” “the
11 Berita terakhir mengabarkan keterlibatan Taring
forest is owned by the people,” “land is our life
Padi bersama warga Paguyuban Petani Lahan Pantai (return property to the people),” “imagine free land,”
(PPLP) Kulon Progo, Yogyakarta, melawan rangsekan “the people’s assets are sold, corrupters’s assets are
modal untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai ignored,” “the sea belongs to the people,” “natural
areal penambangan pasir besi.
resources for sale cheap! must sell quick.”
10 Banner People’s Justice, 2002.

177
(n)
178
(o)

179
(p)
180
181
182
(q)

183
Indeks Gambar Picture Index
Bab VI MENOLAK NDORO LONDO BALIK LAGI, Chapter VI Globalization
ATAU GLOBALISASI
a. Comics Workshop on National Reconciliation, ink
a. Workshop komik Rekonsiliasi Nasional, tinta di atas on paper, 2000
kertas, 2000.
b. XII edition of the People’s horn, the end of
b. Zine Terompet Rakyat, edisi XII, akhir November, November, Front Cover, 1999
sampul depan, 1999.
c. People trumpets June Edition, page 15, 2002
c. Zine Terompet Rakyat, edisi Juni, hlm. 15, 2002.
d. Solidarity Anti-Oppression, Woodcut print on
d. Solidaritas Anti Penindasan, cukil kayu di atas kain, fabric, 2004
2004.
e. Art Agains Imperialism (insert banner), Acrylic on
e. “Art Agains Imperialism”, acrylic di atas kanvas, 2001. canvas, 2001
f. Seri Kalender Poster, “Awas Jerat Rentenir f. People’s trumpet Edition May, page 1, 2003
Memiskinkan”, cukil kayu di atas kertas, 51cm x 58
cm, 2005. g. All Pictures taken from the People’s horn
g. Aksi Bersama Petani Wonosobo, Jawa Tengah, 2004. h. Farmers Joint Action Wonosobo, Central Java,
2004
h. Semua Gambar diambil dari zine Terompet Rakyat.
i. Aksi Bersama Petani Wonosobo, Jawa Tengah, 2004. i. Action Earth Day, 2003

j. Aksi Hari Bumi, 2003. j. Installation Action Poster Reject Fuel Price
Increase, Yogyakarta 2003
k. Aksi Pemasangan Poster Menolak Kenaikan Harga
BBM, Yogyakarta, 2003. k. Poster Reject Fuel Price Increase, Woodcut print
on paper, 28cm x 45 cm, 2003
l. Poster Menolak Kenaikan Harga BBM, cukil kayu di
atas kertas, 28cm x 45 cm, 2003. l. Calendar Poster Series, “Snare Beware loan sharks
m. Zine Terompet Rakyat, edisi VII, akhir Juni, hlm. 13, impoverish” Woodcut print on paper, 51cm x 58 cm,
1999. 2005
m. Zine Terompet Rakyat, edisi Mei, hlm. 1, 2003. m. VII edition of the People’s trumpet, the end of
June, page 13, 1999
n. 2 banner Pecel Lele, “Setiap Orang Berhak atas
Penghidupan yang Layak”, acrylic di atas kanvas, n. 2 Banner Pecel Lele, All Persons Eligible for a
290cm x 485 cm, 2005. Decent Livelihood, acrylic on canvas, 290cm x 485
o. Rebel Nation Mural, Kerjasama dengan kolektif Sakit cm, 2005
Kuning dan Cyclown Circus, Jogja Biennale IX, Jogja o. Rebel Nation Mural, Cooperation with Yellow
Nasional Museum, 2007. Fever and Cyclown kolektiv Circus, Biennale Jogja IX,
p. Zine Terompet Rakyat, edisi VII, akhir Juni, hlm. 15, Jogja National Museum, 2007
1999.
p. “Courage Never Die, Woodcut print on canvas,
q. “Keberanian Tak Pernah Mati”, cukil kayu di atas 122 cm x 242 cm, 2007
kanvas, 122 cm x 242 cm, 2007.

184
(a)
186
Bab VII
Koruptor Disayang Tuhan

Rheinhard Sirait

Menjelang peringatan hari kemerdekaan RI ke-


65 tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudho-
yono (SBY) memberikan grasi kepada Syaukani
Hassan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara,
yang terbukti menggelapkan uang negara Rp 93
milyar lebih. Grasi juga diberikan kepada Aulia
Pohan (besan SBY), Maman Soemantri, Bunbunan
Hutapea, dan Aslim Tadjudin. Keempat mantan
deputi gubernur Bank Indonesia ini tersangkut
kasus pengucuran dana Rp 100 milyar dari
Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia
(YPPI). Grasi pun membawa kelima terpidana
kasus korupsi ini menghirup udara bebas. Sedap
(b)
betul.
Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM), Patrialis Akbar, menyatakan Chapter VII
pembebasan Syaukani demi kemanusiaan. God Loves Corrupters
Dengan memainkan efek drama Patrialis
Akbar mengatakan Syaukani, “Sudah tidak bisa
bergerak. Matanya sudah tidak bisa melihat Rheinhard Sirait
dan badannya sudah kaku.” Wartawan pun
ia perbolehkan mempertontonkan kondisi
Syaukani kepada khalayak. Approaching the day of Indonesia’s 65th
Efek ucapan sang menteri langsung anniversary in 2010, President Susilo Bambang
terasa. Beberapa kalangan menilai keputusan Yudoyono (SBY) granted presidential clemency
presiden memberi grasi sebagai sikap mulia. to Syaukani Hassan Rais, former regent of
Dalam logika mereka ini, mengkritik presiden Kutanegara, who was found guilty of embezzling
kita adalah kebalikan dari segala sifat mulia: Rp 93 billion of the state’s money. Presidential
tukang curiga, tukang fitnah, dan penzolim. clemency was also given to Aulia Pohan (SBY’s
Memang orang-orang di Republik kita ini banyak in-law), Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea
yang sudah gila. Masak mereka yang korupsi kita and Aslim Tadjudin. These four former deputy

187
(c)

yang dituduh tidak bermoral. Yang benar saja! governors of Bank Indonesia were involved
Pengampunan koruptor terjadi terus- in the cash flow fraud of hundreds of billions
menerus di Indonesia selepas penggulingan re- of Indonesian Rupiah from the Indonesian
zim Orde Baru. Mantan Presiden Soeharto hingga Banking Development Foundation (Yayasan
meninggal tidak sempat diadili karena alasan Pengembangan Perbankan Indonesia/YPPI).
sakit. Harapan rakyat bahwa rezim Megawati The presidential pardon set all five convicts free.
(PDI-P) akan mengadili Soeharto berantakan. Very nice.
Selain melepaskan Soeharto, rezim Megawati Justice and human right minister Patrialis
ternyata meniru perilaku rejim lama: menguasai Akbar stated that Syaukani’s acquittal was for
mayoritas aset penting negara dan menjualinya the sake of humanity. Playing to dramatic effect,
jika mereka anggap menguntungkan. Seperti Patrialis Akbar announced that Syaukani “cannot
milik nenek moyang saja. move, his eyes are not able to see anymore and
Soeharto menjadi tauladan. Taktik his body is completely paralyzed”. The press
sakitnya sekarang laku di mana-mana. Setiap were also given permission to expose Syaukani’s
koruptor tertangkap mereka akan berlagak sakit. condition to the general public.
Selain berdalih sakit, ada lagi beberapa modus The minister’s statement soon came into
lain yang mereka tampilkan: berlaku seperti effect. Several circles consider the president’s

188
korban jebakan lawan politik, artis kondang atau decision as stately. Following their logic, those
figur keluarga yang baik. Mereka juga berusaha who shot criticism at the president’s decision
tampak religius dengan menunaikan ibadah are the opposite of stately: They are acting
secara demonstratif (diliput oleh media massa, suspicious, attempting to defame and oppress.
terutama televisi) sebelum diproses pengadil- There are certainly some people in this republic
an. Seolah-olah mereka ingin menunjukkan that have lost a few screws. How come that
bagaimana koruptor disayang Tuhan. instead of the people who have committed
Rupanya beginilah penguasa kita corruption, we are the ones who are considered
melihat masa depannya: mumpung berkuasa immoral? Seriously!
gunakan waktu sebaik-baiknya untuk merampok After the fall of the New Order regime,
sebanyak-banyaknya. Kelak kalau tertangkap, pardoning corruptors has become nearly a habit.
pura-pura sakit saja. Memang perlu berbagai Former president Soeharto, until his death,
pintu keluar jika nanti tertangkap. Apakah itu was not brought before a court due to health
dengan memperalat sakit dan ritus agama, reasons. People’s expectation for Megawati’s
‘mendandani kamar’ penjara, memindahkan administration (PDI-P) to put him on trial was
ruang tahanan atau dengan memanfaatkan brought to zero. Besides letting Soeharto get
fasilitas tahanan setengah hari. away with it, Megawati’s administration also
turned out to follow the old regime in terms of

(d)
(e)

Tak Tersembuhkan
Ketika bekerja di Aceh, suatu kali saya melihat administering the majority of the state’s vital
beberapa perwakilan kabupaten/kota menga- assets. They sold it if it looked like big time
muk di kantor Badan Rekonstruksi dan Rehabili- business, as if these assets were their family’s
tasi (BRR) Aceh/Nias di Banda Aceh. Pasalnya, estate.
uang yang mereka terima lebih kecil daripada Soeharto then became a role model.
kabupaten/kota lainnya. Pimpinan-pimpinan ini Anytime a corruptor is arrested they will pretend
berasal dari berbagai unsur, baik kekuatan rezim that they are sick. Besides acting sick, there are
lama maupun dari kekuatan baru (GAM). Mau several modi that they might play out: playing
lama mau baru, ternyata kelakuan mereka sama victim to a trap by political opponents, acting
saja. Dalam rapat semacam ini, menjadi susah like celebrities or acting like good family guys.
membedakan sepak-terjang mereka dengan They also try their best to look piously religious
lelaku para preman yang memperebutkan lapak by involving themselves in religious events
kekuasaan. Tak heran kalau sekarang banyak (meaning: covered by mass media, especially
‘alumni tsunami’ Aceh ini mendadak menjadi television) before they are brought before a
konglomerat dan sibuk membeli properti mahal court. So much fuss, as if they want to show
di mana-mana, termasuk di Jakarta. that God loves corruptors.

190
(f)
191
Korupsi memang identik dengan ke- I guess this is how people in power
kuasaan. Bagi mereka yang berkuasa, korupsi imagine their future scenario: While in power
sudah menjadi semacam keharusan, sedang bagi plunder as much as you can. If you get caught
mereka yang belum berkuasa, korupsi adalah just pretend to be sick. There are various escape
cita-cita. Richard Robison menggambarkan, di routes, if they are in trouble. It might be in the
Indonesia kekuasaan merupakan sebuah alat form of acting sick, exploiting the image of being
mobilisasi vertikal. Hanya dengan berkuasalah religious, ‘pimping’ prison cells to look like a five
orang bisa menjadi kaya dan bukan sebaliknya. star hotel, changing detention rooms, or plainly
Karena itulah, orang berlomba-lomba untuk just taking advantage of half day detaining
berkuasa, sekecil apapun kekuasaan itu. Jadi privileges.
kalau ada orang kaya masuk ke ranah politik,
bisa kita tebak tujuannya: tiada lain dari Incurable
memperkaya diri. Bagi mereka yang belum When I was working in Aceh, I saw several
‘kaya’, menapaki kekuasaan merupakan jalan representatives of regencies/cities going
pintas. Begitulah, kekuasaan seakan menjadi sisi berserk at the office of Rehabilitation and
lain dari keping kekuasaan itu sendiri di negeri Reconstruction Agency for Aceh-Nias (BRR).
kita ini. Tak heran, kalau korupsi berjamaah They were mad because the amount of money
berbiak di mana-mana. they got was smaller than what other regencies
Orang menjadi koruptor dimulai de- and cities received. These people came from
ngan menilap yang kecil-kecil sesuai dengan various backgrounds, both from the old regime
porsi kekuasaan yang dimiliki. Jumlah korupsi and the new forces of GAM. It didn’t make any
difference, both old and new people had similar
attitudes. In a meeting like this it was hard to
distinguish between them a thugs’ attitude
towards a turf war. No wonder that a lot of these
‘tsunami graduates’ turned out in the end to be
the new rich guys, busy buying costly properties
everywhere, including Jakarta.
Corruption is indeed identical with
power. For those in power corruption seemingly
is the norm, while for those not yet in power
corruption is an aspiration. Richard Robison
has shown that in Indonesia power is a means
for vertical mobilization. Only with power
can someone achieve wealth, but not vice
versa. Therefore people are competing to gain
positions and power, no matter how small. So
for those who are wealthy trying to join politics,

192 (g)
(h)

akan meningkat seiring pembesaran kekuasaan. we can only guess their goal: achieving more
Saya jadi teringat kawan-kawan saya. wealth. For those not yet filthy rich, stepping up
Belasan tahun yang lalu, ketika saya ikut the ladder to power is a shortcut. That’s it, in
dalam pembangunan gerakan mahasiswa Indonesia corruption and power are two sides of
untuk menumbangkan rezim Orde Baru, saya the same coin. No wonder collective corruption
menyaksikan dalam keseharian betapa kumal is proliferating in Indonesia.
dan miskinnya mahasiswa-mahasiswa yang ikut A corruptor starts his track record by
dalam gerakan. Kawan-kawan saya itu termasuk stealing small things according to his portion
dekil yang tidak dibuat-buat. Ketika gerakan of power. The intensity of his corruption will
membesar, dukungan terhadap mahasiswa pun escalate as their power grows bigger.
membesar. Berbagai pasokan logistik dalam It reminds me of my comrades. Years
pelbagai jenis mengalir tanpa penyaring. Aliran ago, when I was involved in the development of
itu kemudian mengilhami beberapa kawan the student movement to fight the New Order
secara terbuka menghubungi para cukong yang regime, I saw how messy and poor these students
mereka anggap berpotensi membantu gerakan. were. My comrades were also a part of this.
Alasan kawan-kawan ini adalah ‘mencuri logistik A true superficial mess. When the movement
lawan’. Aneh: mencuri kok terang-terangan. got bigger, the support towards these students

193
Tumbangnya Soeharto semakin mem- also became more intense. A lot of logistics
buka ruang yang lebih lebar bagi para aktivis were channelled to them without filters. These
untuk berhubungan dengan berbagai kalangan. logistics then inspired some comrades to openly
Lawan pun lama-lama menjadi kawan (barang- contact several financiers that they deemed
kali karena huruf ‘K’ bersebelahan dengan ‘L’?). potential supporters of the movement. Their
Kata-kata aktif menjadi pasif: mencuri – dicuri; reason - ‘to steal the enemy’s logistics’.
memanfaatkan – dimanfaatkan; menagih – di- This was odd, why blatantly steal?
tagih. Seperti terkena bius, gerakan menjadi The fall of Soeharto has opened a bigger
lumpuh tanpa dukungan dari luar. Perubahan chance for activists to increase their contacts
‘positif’ dalam politik nasional justru menjadi with various societies. Slowly but surely, the
pukulan balik bagi mahasiswa. enemies (lawan) became friends (kawan—is
Tahun 2002, menjelang ajal gerakan it because K is adjacent to L?). Passive words
mahasiswa, beberapa petinggi gerakan became active: steal became stealing; exploit
berlomba-lomba menjual diri. Acap terjadi became exploiting; demand became demanding.
pertengkaran sengit antarkawan. Salah satu As if anaesthetized, the movement became
slogan yang popular saat itu adalah ‘beda paralyzed without outside support. ‘Positive’
pendapat boleh tetapi beda pendapatan tidak’. national political changes backlashed against
Seperti garage sale, ‘proposal’ gerakan the students.
(biasanya dirancang sedemikian rupa agar In 2002, towards the end of the student
terkesan professional; sangat buruk kalau cuma movement, some movement leaders were
orat-oret) menumpuk di kantor-kantor cukong racing to sell themselves. Because of this,
atau makelar gerakan. Sebagian besar proposal disputes among friends frequently happened.
ternyata tak digubris. At this time, there was a popular slogan, “beda
Sadar bahwa jualannya sudah tidak laku, pendapat boleh tapi beda pendapatan tidak” /
anak-anak gerakan berlomba-lomba melompat ‘different opinions are allowed but not different
ke gerbong partai-partai politik untuk mencari incomes’.
tumpangan dan sumber penghidupan baru. Like a garage sale, the movement’s
Rupanya kendaraan politik yang dulu mereka ‘proposals’ (usually written professionally; it
hina sebagai pengkhianat sekarang berubah looked bad if they were only in draft) piled up in
menjadi mesias. Membabi-buta mereka masuk the offices of the movemement’s financers. In
ke partai apa saja yang mau menampung, fact, most of these proposal didn’t receive any
bahkan partai yang jelas-jelas konservatif dan attention.
antidemokrasi (terlibat dalam pelanggaran Realizing that their wares weren’t
HAM berat di masa lalu). Teman-teman ini selling well, the children of the movement
jugalah yang mati-matian menjual “nama baik” began jumping over each other to join political
partainya di berbagai pertemuan dan jejaring parties in search of a new ride and source of life.
sosial menjelang pemilu. Semangatnya yang Seemingly, the political vehicles that they had
menggebu-gebu seketika hilang ketika pemilu taunted before, had changed into the Messiah.

194
(i)
195
selesai. Beberapa teman memang ‘sukses’ Blindly, they went into any kind of party that
menapaki karir politik, namun mayoritas terseok- would take them in, even the conservative and
seok dalam kubangan. Mereka yang gagal ini anti-democracy parties (that were involved in
menjadi tua karena menyusu di kekuatan lama. serious human rights violations in the past).
Dunia para aktivis ’98 sudah berubah Afterwards, these friends worked furiously
betul. Dalam permainan kali ini, tidak ada lagi to sell their party’s ‘reputation’ in any kind of
kata pertemanan. Setiap kritik dari ‘kawan lama’ meeting and social network leading up to the
akan dianggap oleh mereka yang ‘sukses’ tadi general election. The vigorous spirit then just
sebagai isyarat rasa iri atau ketidakmampuan disappeared post-general election. Some of
‘bertarung’ di jalur politik yang ‘benar’. Persis these friends did indeed reach ‘success’ through
seperti cerita “Korupsi” Pramoedya Ananta their political careers; but the majority of them
Toer, seiring dengan kekuasaan, maka teman- shuffled back from where they came. Those
teman pun berubah. Teman-teman baru mereka who failed are now growing old because they
menjadi teman-teman khusus yang akan keep sucking on the old authority.
mendapatkan posisi khusus pula, yang biaya- The world of 98’s activists has changed
nya lagi-lagi akan dibebankan ke negara. a lot. In the game nowadays, the word friend
has lost its meaning. Every criticism from an ‘old
KKN friend’ would be considered by those who are
Korupsi seringkali kita lihat sebagai sesuatu hal ‘successful’ as a sign of jeaolusy or the inability
yang jauh. Padahal sangat dekat atau bahkan to ‘fight’ on ‘the right political path’. Just like
terlalu dekat. Saking dekatnya kita tidak bisa in Corruption by Pramoedya Ananta Toer,
melihatnya. Menyitir ucapan klasik Pramoedya friends will change along with authority. Their
Ananta Toer, korupsi adalah ketidaksanggup- new friends will be special friends with special
an seseorang untuk berproduksi, sementara positions, where the cost will be taken care of
senantiasa giat berkonsumsi. by the country.

KKN
(Korupsi Kolusi Nepotisme/Corruption, Collu-
sion, and Nepotism)
Corruption sometimes seems so far, but it is very
close, so close that we can not see it. Quoting
a classic saying by Pramoedya Ananta Toer,
corruption is someone’s incapability to produce,
while he never stops consuming.
Being consumptive isn’t only a bad habit
for us but for the whole of society. Again, I will
tell a story about my friend. This friend of mine
goes everywhere carrying three cellphones and
(j)
196
Sifat konsumtif ini tidak saja menjadi
penyakit penggede kita tetapi seluruh lapisan
masyarakat. Kembali saya akan menceritakan
perangai kawan-kawan saya. Seorang teman
saya, misalnya, ke mana-mana selalu menenteng
tiga telepon genggam sekaligus dan berpakaian
dengan merek tertentu pula. Sesungguhnya
orang tuanya tidak cukup kaya dan gajinya
pun tidak mencukupi untuk mengimbangi gaya
(k)
hidupnya. Untuk memenuhi standar gaya hidup
‘mahal’ ini, dia harus mengutang ke sana ke
mari. Terkadang, demi menjaga gengsi, dia tak likes to dress up in a specific brand. In fact, his
sungkan meminjam pakaian teman-temannya. parents are not rich and his salary is not enough
Dengan meluasnya penggunaan media to afford his lifestyle. To afford this ‘expensive’
jejaring sosial, orang-orang semakin dipaksa lifestyle, he sometimes has to go into debt to his
untuk menunjukkan kemewahannya. Seperti friends, and in the name of prestige, sometimes
berpose di salah satu lokasi di luar negeri atau borrows his friend’s branded clothes.
di tempat-tempat mahal. Jika tidak mampu, Because of the extension of social
minimal di mall atau kompleks perumahan yang networking media utilisation, people are
mengesankan seakan-akan mereka berada di increasingly forced to show off their luxury.
luar negeri. Pokoknya kita tidak mau menjadi Such as posing in overseas locations or in
‘Indonesia’ lagi. Hanya kalau mendengar expensive places, or at least, in the malls or
Malaysia berulah lagi, rasa nasionalisme kita housing complexes that give the impression as
terusik dan seketika kita berang: seolah Malaysia if they live abroad. The point is, we don’t want
bertanggung jawab atas pemiskinan yang ada di to be ‘Indonesian’ anymore. It is only when we
negeri ini, yang memaksa rakyat kita menjadi hear that Malaysia is acting up again, that our
pembantu atau buruh perkebunan di negara nationalism increases once more and we’re
jiran tersebut. angry; as if Malaysia is responsible for poverty
Kita mau menjadi ‘bukan Indonesia’ in this country, which forces our people to be
atau ‘asing’ walaupun harus membayar mahal. servants or laborers for them.
Meniru memang mahal dan belum tentu lebih We would love to be ‘not Indonesian’
baik. Tetapi itulah ideologi konsumerisme. or a ‘foreigner’, although we would have to pay
Ideologi ini merupakan salah satu ekses dari a high cost. Imitating is indeed expensive and
sistem pendidikan kita yang korup. Betapa bad, but that is the ideology of consumerism.
tidak, selepas reformasi sekolah-sekolah justru This ideology is one of the excesses of our
diperjualbelikan sehingga hanya orang-orang corrupted education system. How ironic it is:
kaya yang mampu menikmatinya. after reformation, schools became a commercial
object that only the haves can enjoy.
197
Penutup Conclusion
Ketika diminta menulis tentang KKN, emosi When I was asked to write about KKN, my
saya seperti meluap sampai saya kesulitan emotions overflowed until I felt it was very
untuk memulainya. Poster-poster yang menjadi difficult to start. Posters that were supposed
referensi justru semakin memperumit pikiran. to be my reference complicated my thoughts.
Mengomel kemudian menjadi cara yang saya Grumbling then became the path I chose
pilih karena inilah yang paling mudah. because it was the easiest way.
Seingat saya, KKN dari dulu memang As far as I can remember KKN has
selalu taksa makna. Satu dipahami sebagai always had two meanings. One is known as
singkatan dari Korupsi-Kolusi-Nepotisme, the abbreviation for Korupsi-Kolusi-Nepotisme
sedang yang lain Kura-Kura Ninja. Yang ter- (Corruption-Collusion-Nepotism), and the other
akhir ini musuh karena merupakan sebutan for “Kura-Kura Ninja” (Ninja Turtles). The last
mesra kami untuk Pasukan Huru-Hara (PHH – one is a nickname we gave to PHH (Pasukan
sering juga disebut Pasukan Hura-Hura) yang Huru-Hara/Insurrection Troops—also called
terkenal kejam dalam membubarkan barisan as Pasukan Hura-Hura/Hooray Troops). The
aksi massa pada masa itu. Dua-duanya adalah troops were well known for their cruelty in
musuh. Yang satu diasosiasikan dengan krimi- demobilizing mass action in that era. Both of
nal berdasi sedang yang lainnya adalah bandit them are enemies. One is associated with suit
berseragam. Kadang-kadang kriminal ini ber- and tie criminality, the other uniformed bandits.
dasi dan berseragam sekaligus. Sometimes these criminals where suit and ties
Kriminal-kriminal ini kita hadapi berkali- and uniforms at once.
kali tetapi mereka masih saja tumbuh. Bebera- We repeatedly fought these types of
pa dari kita bahkan sudah menjadi mereka. criminals but they never stop to grow. Some
Kata-kata korupsi pun sekarang sudah kehilang- of us have even became a part of them. The
an makna, berubah menjadi sekadar bunyi- word corruption seems to have lost its meaning,
bunyian. changing into simply a sound.
Semangat perubahan anak muda belas- The spirit of change from a couple of
an tahun lalu kini berubah cepat lapuk. Hal ini years ago is now weak. This situation has made
membuat banyak orang frustasi dan mereka pun a lot of people frustrated and they have left
melarikan diri dari perjuangan. Untuk mereka the struggle. For those who still survive, here I
yang masih bertahan perlu saya kutipkan quote a statement by Pramoedya Ananta Toer,
ucapan Pramoedya Ananta Toer ketika ditanya from when a group of young people asked him
sekelompok anak muda tentang apa yang harus about what to do now: “Don’t be stupid!”
dikerjakan saat ini: “Jangan pura-pura goblok!”
Four steps forward and go!
Empat langkah maju, jalan! RE-VO-LU-TION.
RE –VO – LU – SI

198
199
(l)
(m)
200
(n)

201
(o)
Indeks Gambar Picture Index
Bab VII Koruptor Disayang Tuhan Chapter VII God Loves Corrupters

a. “Tepat Janji”, drawing di atas kertas, 81cm a. Exactly Promise, Drawing on paper, 81cm x
x 109cm, 2008. 109cm, 2008
b. Zine Terompet Rakyat, edisi Februari, hlm. b. People’s Edition trumpet February, page 12,
12, 2002. 2002
c. Seri Poster Anti Korupsi, cukil kayu di atas c. Poster Series Anti-Corruption, Woodcut print
kertas, 35cm x 50cm, 2002. on paper, 35cm x 50cm, 2002
d. Seri Poster Anti Korupsi, cukil kayu di atas d. Poster Series Anti-Corruption, Woodcut print
kertas, 35cm x 50cm, 2002. on paper, 35cm x 50cm, 2002
e. Seri Poster Anti Korupsi, cukil kayu di atas e. Poster Series Anti-Corruption, Woodcut print
kertas, 35cm x 50cm, 2002. on paper, 35cm x 50cm, 2002
f. Seri Poster Anti Korupsi, cukil kayu di atas f. Poster Series Anti-Corruption, Woodcut print
kertas, 35cm x 50cm, 2002. on paper, 35cm x 50cm, 2002
g. Zine Terompet Rakyat, edisi VIII, Juli, g. Travel Stories Banner Children Nations,
sampul depan, 1999. Acrylic on canvas, 2000cm x 300cm, 2001
h. Banner “Perjalanan Anak Bangsa” di h. Cultural Night Event Poster Mash Culture of
pasang depan Departemen Kehakiman, Corruption, Woodcut print on paper, 30.5 cm x
Jakarta, acrylic di atas kanvas, 2000cm x 42cm, 2002
300cm, 2001.
i. Insert Paidi Anti-Corruption Books, 2002
i. Poster Acara Malam Budaya “Hancurkan
j. All Images are the Anti-Corruption Postcard,
Budaya Korupsi”, cukil kayu di atas kertas,
2002
30,5cm x 42cm, 2002.
k. Independent, Drawing on paper, 81cm x
j. Zine Terompet Rakyat, edisi Juni, hlm. 7,
109cm, 2008
2002.
k. Insert Buku “Paidi Anti Korupsi”, 2002.
l. Insert Buku “Paidi Anti Korupsi”, 2002.
m. Semua Gambar adalah Kartu Pos Anti
Korupsi, 2002.
n. Zine Terompet Rakyat, edisi XVII, akhir
april, hlm. 14, 2000.
o. “Mandiri”, drawing di atas kertas, 81cm x
109cm, 2008.

203
204
(a)
205
206
Bab VIII
Omah Buku Taring Padi dan Aktivitas
Edukasi Lainnya

Emily M. White

Tak banyak karya seni anggota Taring Padi yang


terkait dengan anak-anak dan pendidikan.
Karya semacam itu, yang saya tahu adalah etsa
dan gambar kreasi Fitriani Dwi Kurniasih, dan
beberapa gambar lain yang dibuat di Taring
Padi dari tahun ke tahun. Namun, ada sejarah
keterlibatan sosial Taring Padi dalam pendidikan
dan program anak-anak di tengah masyarakat,
dan keterlibatan ini terus tumbuh dalam skala
yang sungguh menjanjikan. Pengalaman pribadi (b)

saya dalam program edukasi Taring Padi di masa


lalu, dan kini akan saya bicarakan dalam artikel Chapter VIII
berikut ini. Omah Buku Taring Padi and Other
Saya mengenal Taring Padi sejak Educational Activities
2005. Setelah gempa bumi 27 Mei 2006, saya
memulai peran saya sebagai fasilitator program
pendidikan anak, bekerja sama dengan Taring Emily M. White
Padi. Berbasis di kemah di depan tempat tinggal/
galeri/studio mereka, Taring Padi mengadakan
serangkaian program relawan pasca gempa There is not a large amount of art by Taring Padi
untuk membantu penduduk desa yang members pertaining to children and education.
menderita akibat gempa. Salah satu program Those that I’m familiar with are the etchings and
ini ditujukan untuk mengantarkan seni dan drawings of Fitriani Dwi Kurniasih, and a small
pendidikan kepada anak-anak; banyak di antara amount of other drawings created in workshops
mereka yang kehilangan rumah dan anggota at Taring Padi over the years. There is, however,
keluarga, sedangkan sekolah mereka pun telah a history of Taring Padi’s social engagement
runtuh dan kegiatan belajarnya terganggu. with education and children’s programs in the
Didanai oleh sumbangan yang dikelola community, and this engagement is growing
oleh teman-teman di Jerman, Australia, dan at an excitingly promising scale. My personal
Amerika Serikat. Selama dua bulan saya bersama experience of past and current educational
207
anggota Taring Padi mengadakan beberapa programs hosted by Taring Padi is what I’ll
program seni selama dua bulan bersama discuss in the following article.
anak-anak. Selama delapan minggu itu, kami I have known Taring Padi since 2005.
mengadakan workshop seni rupa, teater, musik, Following the earthquake on May 27, 2006, my
serta membuat kostum dan topeng. Dalam role as a facilitator of educational programs for
setiap rangkaian kegiatan workshop, diakhiri children in collaboration with Taring Padi began.
dengan acara parade dan perayaan bersama. Based out of a tent in front of their destroyed
Setiap peserta mendapatkan buku tulis, gallery/living/studio space, Taring Padi
bolpoint, pensil, dan tas yang disablon gambar launched a series of post-earthquake volunteer
karya teman-teman Taring Padi. Intensitas masa programs to support local villagers who were
itu tak mudah dilupakan, sementara gempa- suffering from the unexpected devastation
gempa susulan mengikuti, dan teman-teman that had been caused by the earthquake. One
Taring Padi sendiri tengah berjuang mencari of these programs was aimed at bringing arts
tempat tinggal baru serta mengumpulkan and education to children many of whom had
apa yang tertinggal dari rumah mereka yang lost homes and family members whose schools
hancur. Meski dengan berbagai kesulitan had been destroyed and study activities
itu, kami berkumpul dua kali seminggu cancelled.
untuk menyema-ngati kelompok- Funded by donations arranged
kelompok besar anak-anak berusia through friends in Germany,
lima sampai duabelas tahun agar Australia, and the U.S., over the span
mereka tetap kreatif dan antusias of two months members of Taring
belajar, serta untuk mewujudkan Padi and I established several
kemampuan mereka bekerja eight-week art programs for
sama sebagai satu komunitas. children. Within these eight
Sebagaimana terlihat dalam weeks, we taught workshops
foto-foto dari masa itu, ada in visual art, theater,
binar rasa girang di wajah music, costume, and mask-
anak-anak saat membuat karya making. Each workshop series
seni bersama para anggota cumulated in a closing parade
Taring Padi. Pada hari arak- and community celebration,
arakan, gairah di mata anak- and participants were
anak menyala-nyala di balik provided with notepads,
topeng warna-warni, seraya pens, pencils, and hand-
(c)
mereka melompat-lompat, me- stenciled bags featuring
lewati reruntuhan rumah dan serakan batu Taring Padi member’s artwork. The intensity
bata, sambil meniup terompet buatan sendiri of that time cannot be easily forgotten, with
dan bersorak-sorai kompak. Para orangtua dan recurring aftershocks and Taring Padi members
anggota keluarga yang sedang sibuk bersih- alone struggling to find new places to live and

208
209
210
(e)
211
bersih dan membangun kembali, muncul dari recovering pieces from their broken homes.
reruntuhan untuk menyaksikan barisan anak- Despite this struggle, we gathered twice a week
anak dan anggota Taring Padi bernyanyi, menari, to encourage large groups of children aged five
dan tertawa bersama. to twelve to stay creative and eager to learn,
Program pendidikan yang kini ber- and realize their own ability to come together as
langsung di Taring Padi punya banyak potensi. a community. As reflected in photos from that
Setelah membeli tanah di Desa Sembungan, time, there was a feeling of joy on the children’s
Bantul, pada akhir 2007, Taring Padi membangun faces as they made art together with Taring Padi
perpustakaan anak, Omah Buku Taring Padi. members. On parade day the excitement in
Saat saya kembali dari kunjungan enam bulan their eyes shone through colorful masks as they
ke Amerika Serikat, saya melihat perpustakaan pranced through a scene of toppled down houses
penuh anak-anak yang bersemangat dan punya and scattered bricks, blowing on homemade
ruang untuk berkembang. Sejak Desember 2007, horns and cheering out in unison. Parents and
kami menerima donasi buku anak-anak dari family members, busy cleaning and rebuilding,
Keluarga Little dan komunitas sekolah mereka would emerge from the debris to watch a river
di Seattle, Washington, Amerika Serikat. Semua of children and Taring Padi members singing,
judul buku dicatat dalam katalog dan suatu dancing and laughing together.
sistem peminjaman telah dibentuk. Meskipun The current educational program at
koleksi buku Indonesia kami masih sedikit, Taring Padi has a lot of potential. Following
kami berencana menuliskan proposal agar their purchase of land in Sembungan Village,
dapat segera menerima lebih banyak donasi Bantul in the end of 2007, Taring Padi built a
dari penerbit-penerbit lokal. Saya mengajar di children’s library, Omah Buku Taring Padi. When
kelas membaca dan bahasa Inggris mingguan, I arrived back from a six-month visit in America
dan dalam kelas itu saya menggunakan seni I discovered a library full of eager children
dan teater untuk membuat anak-anak belajar and space to grow. Since December 2007,we
secara kreatif bersama-sama. Pada awal 2009, have been receiving donated children’s books
kami memulai serangkaian workshop seni untuk from a family, the Littles, and their school
anak-anak dengan community in Seattle, Washington.
Mat Ucup (M. Yusuf) All books are in the process of
sebagai pengajar. being catalogued, and a check-out
Kami telah system has been established.
membangun taman Although the Indonesian
bermain dan pusat ke- book selection is still
giatan warga di depan small, we’re hoping
perpustakaan Taring to write proposals to
Padi, juga didanai oleh receive more donations
Keluarga Little yang from local publishing
mengunjungi kami companies soon. Until
(f)
212
(g)

Project poster tema pemilu ini dibuat sebagai media pendidikan politik untuk menyampaikan aspirasi dan
mengkritisi Pemilu 2009 di Indonesia. Dalam proses pembuatan, nilai pendidikannya berada di tingkatan
bagaimana isu-isu bersangkutan didiskusikan dan diolah menjadi materi pembelajaran bersama kemudian
diaplikasikan kedalam bentuk poster agar mudah dipahami oleh semua kalangan. Poster ini ditempel di
seputar dinding kota Yogyakarta, Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia. Dari project ini diharapkan
dapat menumbuhkan sikap kritis masyarakat dalam proses demokrasi di Indonesia

Project poster theme of this election is made as a medium of political education to convey the aspirations
and criticized the 2009 elections in Indonesia. In the process of manufacture, the value of education is at
the level of how the relevant issues are discussed and processed into the learning material together and then
applied into a poster to be easily understood by all circles. This poster was taped to the wall around the city
of Yogyakarta, Jakarta and several other cities in Indonesia. From this project is expected to grow the critical
attitude of society in the democratic process in Indonesia

213
214
(h)

215
216
(i)

217
selama seminggu pada pertengahan Agustus mid 2009 I taught a weekly English and reading
dan memberi dukungan mereka. Dalam satu class, in which I use art and theater as ways for
minggu, kami membuat kolam ikan, ayunan, dan the children to learn creatively together. Since
kebun untuk menanam sayur-mayur, bumbu, early 2009, we started a weekly drawing class on
dan jejamuan. Kami juga membangun tempat Sunday afternoons with Mat Ucup (M. Yusuf), a
kompos, rumah pohon dari bambu dengan member of Taring Padi, as teacher.
papan luncur, dan membentuk sistem daur-ulang We began building a playground and
untuk mendidik masyarakat lokal mengenai community center in front of the library at
hidup lestari yang tidak merusak lingkungan. Taring Padi, which is also funded by the Littles,
Pada 17 Agustus 2008, saat Hari Kemerdeka- who came to visit us for a week in mid-August
an Indonesia, kami and give their
menyelenggarakan support. Within one
lomba lukis yang di- short week, we built
ikuti oleh sekitar 40 a fish pond, swings,
anak-anak dari desa and raised gardens
setempat dan desa- for growing herbs
desa sekitar. Acara and vegetables.
ini memperingati Currently being built
hari kemerdekaan is a bamboo tree
Indonesia ke-63 house with slide,
dan memberi ke- and a compost and
sempatan bagi established recycling
anak-anak untuk system aimed at
bersama-sama me- (j) educating the local
lukis berkelompok di kanvas-kanvas besar serta community about sustainable living that is not
merayakan peluncuran taman bermain Taring harmful to the environment. On August 17, 2008,
Padi. Karya-karya seni yang dibuat saat itu for Indonesian Independence Day, we hosted a
dipajang pada 30 Agustus 2008 di Balai Desa children’s painting contest, in which roughly
Sembungan, dan para pemenang menerima buku forty children from local and nearby villages
gambar dan krayon sebagai tanda keikutsertaan participated. The event, which celebrated
dan dukungan agar mereka terus berkreasi. sixty-three years of Indonesian independence,
Kami berharap pembangunan ruang komunitas offered the children a chance to paint in teams
yang baru di Taring Padi ini dapat mendorong on large canvases together, and celebrate the
penduduk desa setempat untuk berperanserta launching of the new playground at Taring Padi.
dalam kerja-kerja seni yang kami tawarkan, dan The resulting artwork was displayed on August
menjadi anggota aktif perpustakaan kami. 30, 2008, at Sembungan Village community
Pengalaman mengelola Omah Buku center, and winners received drawing books
Taring Padi sungguh menggairahkan bagi saya, and pastels as tokens of their participation and

218
dan semangat saya untuk bekerja bersama anak- support for continued creative activity. We hope
anak telah didukung dan dihargai oleh komunitas that the development of the new community
Taring Padi. Selain mengajar, saya juga membuat space at Taring Padi will encourage local villagers
blog online (http://thevillagelibrary.blogspot. to participate in art workshops that are offered,
com) untuk memperkenalkan berbagai kegiatan and become active members of the library.
di Omah Buku Taring Padi, serta memperkenalkan Taking on the role of coordinating Omah
anak-anak yang terlibat di Omah Buku kepada Buku Taring Padi has been an exciting experience
dunia luar. Saya berharap agar melalui blog for me, and my passion for working with
ini orang-orang di luar Indonesia dapat lebih children has been supported and appreciated
memahami kehidupan sekelompok anak dan by the Taring Padi community. In addition to
komunitas mereka di suatu desa kecil, dengan teaching, I have created an online blogsite to
sudut pandang dari komunitas itu sendiri. introduce the activities at Omah Buku Taring
Suatu waktu di masa depan mungkin kami Padi and the children involved to the outside
akan punya kesempatan menambah komputer world (http://thevillagelibrary.blogspot.com).
di perpustakaan, dan anak-anak di Taring It is my hope through the blogsite that people
Padi dapat belajar menggunakan komputer outside of Indonesia will come to understand
serta mengakses situs web perpustakaan dan more about the lives of a group of children and
berkomunikasi langsung dengan anak-anak di their community in a small village from within.
Seattle atau di manapun di dunia. Pendirian Someday in the future perhaps we will have the
Omah Buku Taring Padi dan pusat kegiatan warga opportunity to add computers to the library, and
tersebut merupakan langkah besar dalam upaya the children at Taring Padi can learn about using
membentuk komunitas lokal yang lestari, suatu a computer and be able to access the library
isu penting dalam visi Taring Padi. Saya merasa website and communicate directly with children
bahwa banyak hal yang ditampilkan dalam in Seattle and elsewhere in the world. The
karya-karya seni Taring Padi, yang berkaitan establishment of Omah Buku Taring Padi and the
dengan gerakan antikekerasan atau perjuang- community center is a large step in the direction
an melawan korupsi, usaha memperbaiki of creating a local, sustainable community, an
lingkungan hidup, mendukung hak-hak buruh, essential point in the Taring Padi vision. It is my
hak perempuan, dan pendidikan, dapat dibina feeling that many of the issues in all of Taring
melalui pemahaman yang terus berkembang Padi’s artwork, pertaining to non-violence
antara berbagai budaya di masa generasi movement or the fight against corruption, the
mendatang. Upaya kecil komunitas seperti yang promotion of better environment, labor rights,
kami lakukan di Taring Padi merupakan tempat women’s rights and education, can be fostered
bertumbuhnya rasa saling memahami dan by a growing understanding between cultures
berkembangnya proses saling belajar. in the next generation. Small community efforts
such as what we’re doing at Taring Padi are
where the expansion of education and mutual
understanding begins.

219
220
221
222
(m)
223
(l)
(n)

224
Indeks Gambar Picture Index

Bab IX Pendidikan Chapter VIII Education

a. Kegiatan di Omah Buku Taring Padi. a. Activities at Omah Taring Padi Books
b. Zine Terompet Rakyat, edisi Juli, hlm. 11, b. People’s trumpet Edition July, page 11, 2002
2002.
c. Wayang Cardboard, 2010
c. Wayang Kardus Peringatan 4 tahun Tragedi
d. People’s Edition XVI trumpet the end of
Lumpur Lapindo, 2010.
March, page 13, 2000
d. Zine Terompet Rakyat, edisi XVI, akhir Maret,
e. All images taken from the Joint Activity
hlm. 13, 2000.
Taring Padi Kids
e. Semua gambar diambil dari kegiatan Taring
f. Wayang Cardboard, 2010
Padi bersama anak-anak.
g. Election 2009 Poster Series, Woodcut print
f. Wayang Kardus Peringatan 4 tahun Tragedi
on paper, 40cm x 60cm, 2009
Lumpur Lapindo, 2010.
h. Election 2009 Poster Series, Woodcut print
g. Seri Poster Pemilu 2009, cukil kayu diatas
on paper, 40cm x 60cm, 2009
kertas, 40cm x 60cm, 2009.
i. Election 2009 Poster Series, Woodcut print on
h. Seri Poster Pemilu 2009, cukil kayu diatas
paper, 40cm x 60cm, 2009
kertas, 40cm x 60cm, 2009.
j. Cardboard Puppet 2010
i. Seri Poster Pemilu 2009, cukil kayu diatas
kertas, 40cm x 60cm, 2009. k. People’s Edition IX trumpet the end of
August, page 17, 1999
j. Zine Terompet Rakyat, edisi XIX, akhir Juni,
hlm. 2, 2000. l. All images taken from the Workshop Taring
Padi
k. Semua gambar diambil dari workshop Taring
Padi. m. All images takken from Terompet Rakyat
cover
l. Semua gambar diambil dari sampul zine
Terompet Rakyat. n. Series Banner “Populist Democratic Culture”,
Acrylic on canvas, 270cm x 300cm, 2001
m. Seri banner “Budaya Demokratis
Kerakyatan”, acrylic di atas kanvas, 270cm x
300cm, 2001.

225
226
(a)
227
228
Bab IX
Musik Taring Padi sebagai Instrumen
Penyadaran

Jeffar Lumban Gaol

Tahun 1998 adalah periode pergerakan mahasis-


wa Indonesia menuntut perubahan dan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia yang mencapai
puncaknya pada Mei 1998 dan mengakibatkan
runtuhnya rezim Orde Baru. Pada 21 Desember (b)

di tahun yang sama, serombongan anak muda


yang sebagian besar adalah mahasiswa Fakultas
Chapter IX
Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta,
memproklamirkan lahirnya komunitas Lembaga Taring Padi’s Music as a Tool for
Budaya Kerakyatan Taring Padi di LBH Yogya- Generating Awareness
karta. Saat itu, Toni Volunteero didaulat menjadi
presiden pertama Taring Padi. Gelora seni pem-
bebasan atau penyadaran melalui media seni Jeffar Lumban Gaol
rupa, termasuk sastra maupun seni musik, men-
jadi kredo Taring Padi.
Tentu sudah jelas bagaimana cara The year Nineteen Ninety-eight was the period
membahas gagasan dan aktivitas Taring Padi in which Indonesian students demanded
dalam ruang lingkup seni rupa, sebab mereka changes and justice for all Indonesians. The
mengusung realisme sosialis sebagai komitmen movement reached its peak in May 1998 and
sosial dan paham berkesenian mereka. Namun resulted in the downfall of the New Order
membicarakan aktivitas bermusik Taring Padi, regime. On December 21st of the same year,
tidaklah sesederhana memperbincangkan grup a group of youth, most of them students of
musik pop Padi. Bagi Taring Padi, dunia musik the Faculty of Art, Indonesian Arts Institute,
bukanlah prioritas utama, sekalipun memiliki Yogyakarta, proclaimed the establishment of the
fungsi yang sangat penting dalam kehidupan Taring Padi People’s Cultural Institute (Lembaga
dan keseharian mereka, yang pada saat itu Budaya Kerakyatan Taring Padi) at the LBH
masih berkedudukan di Gampingan, (bangunan (Legal Aid Institute) in Yogyakarta. At the time,
warisan ASRI). ‘Penting’ yang dimaksud di sini, Toni Volunteero was asked to be Taring Padi’s
229
adalah bahwa sejak semula Taring Padi sangat first president. The spirit of “liberation art”, or
memahami arti penting lirik dalam sebuah lagu of generating awareness through art, including
yang dapat mendukung gerakan kebudayaan, through works of literature as well as music,
baik bagi mereka sendiri maupun bagi masyara- serves as the source of Taring Padi’s principles.
kat yang lebih luas lagi. Dengan demikian, barulah It is obvious, how one should discuss
kita memahami bahwa musik yang mereka Taring Padi’s ideas and activities within the
gandrungi adalah musik yang mendahulukan scope of arts as they advocate social realism
penggunaan lirik yang sesuai dengan visi Taring as a social commitment and artistic principle.
Padi. To talk about Taring Padi’s activities in music,
Seringkali dalam melewati malam, however, will not be as simple as talking about
setelah seharian lelah berkutat dengan the pop band Padi. To Taring Padi, music is not
dunia seni rupa, kawan-kawan Taring Padi their main priority, although it plays a significant
berdendang bersama melantunkan syair dan role in their lives and their day-to-day activities.
lagu-lagu bertemakan perubahan sosial-politik, It is “significant” in the sense that Taring Padi
lingkungan hidup, pendidikan, kesetaraan is acutely aware of the importance of lyrics in
gender, dan berbagai tema progresif lainnya. Bisa songs that can support cultural movements,
juga mereka berdangdut riang gaya Mohamad either for themselves or for the public at large.
Yusuf (vokalis orkes dangdut Soekar Majoe). Given this fact, it is understandable that the
Komunitas Taring Padi memang membuka diri music they like is one that gives precedence to
terhadap berbagai genre musik, mulai dari lyrics that are in line with their vision.
punk rock, reggae, grindcore, hardcore hingga In their early years, Taring Padi was still
dendang kampungan. Komunitas ini tidak based at Gampingan, (at the ex-ASRI building).
membatasi diri pada genre musik tertentu saja. Passing time at night, after a full day of working
Maka, tidak mengherankan kalau Black Boots-- in the field of art, Taring Padi comrades would
sebuah grup musik rock bawah tanah--juga sing songs with themes of social and political
besar dan tumbuh di lingkungan seni Taring Padi. changes, or about the environment, education,
Dengan lirik-lirik yang menolak kemapanan dan gender equity, and a range of other progressive
feodalisme, mereka menjadi magnet tersendiri themes. On other occasions, they would merrily
bagi anak-anak muda pecinta musik punk sing dangdut songs in the style of Mohamad
dan underground yang saat itu tumbuh subur Yusuf (from the dangdut orchestra of Soekar
di Yogyakarta. Banyak anak muda yang mau Madjoe). The Taring Padi community is indeed
bergabung, juga bekerja sama dalam agenda open to a range of music genres, starting from
kerja komunitas Taring Padi. Beberapa peristiwa punk rock, reggae, grindcore, hardcore, to
yang pantas dicatat di sini, antara lain: folk songs. The community does not restrict
themselves to certain music genres. It is
• Pentas Musik Underground understandable, therefore, how Black Boots,
230
“Proklamasi Kemanusiaan”, 17 Agustus an underground punk rock band, also emerged
1999; Taring Padi bekerja sama dengan from the Taring Padi art circle. With lyrics that
The Last Palm Community, KPRP, KAKM reject the establishment and feudalism, the
dan FPMR Yogyakarta. band served as a distinct magnet for youngsters
• “Memedi sawah”, 12 - 19 Desember who loved punk rock and underground music,
1999, di Desa Kranggan, Kecamatan which was flourishing in Yogyakarta at the time.
Polanharjo, Delanggu, Klaten, Jawa This made many young people wanted to be
Tengah. involved in Taring Padi and assist Taring Padi’s
• Pentas Musik Underground “Buruh work. Some notable events were:
Butuh Hidup Layak”, Mei 2000, • The underground music performance
Yogyakarta; Taring Padi sebagai “Proklamasi Kemanusiaan” (Proclama-
fasilitator bersama The Last Palm tion of Humanity), August 17, 1999;
Community. Taring Padi in collaboration with the
• “Pesta Rakyat Temu Tani”, pentas musik Last Palm Community, KPRP (Komite
Dendang Kampungan dalam rangka Perjuangan Rakyat untuk Perubahan,

(c)

231
232
(d)
233
234
menuntut hak-hak petani, 4 - 6 Juni The People’s Committee of Struggle
2000, Kulon Progo, Yogyakarta. for Change), KAKM, and FPMR (Forum
Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat,
Kegiatan dan aktivitas Taring Padi di atas Youth and Students’ Forum for the
hanyalah sekelumit dari seluruh agenda kerja People), Yogyakarta
mereka selama 10 tahun terakhir. Namun dari • “Festival Memedi Sawah” (Scarecrows
daftar di atas, dapat terlihat bagaimana Taring Festival), December 12 – 19, 1999, in
Padi bergaul serta mensosialisasikan gagasan the village of Kranggan, Subdistrict of
kreatifnya dan, pada saat bersamaan, mampu Polanharjo, Delanggu, Klaten, Central
menampung gagasan dari komunitas lain sambil Java
bekerja sama. • The underground-music performance,
“Buruh butuh hidup layak” (Workers
Lokakarya need to live well), May 2000, Yogyakarta;
Dalam menggalang solidaritas budaya in which Taring Padi facilitated in
berbasis kerakyatan, peran Taring padi secara collaboration with the Last Palm
alamiah menjadi wahana interaksi dialog yang Community
saling memberi dan menerima, baik melalui • “Pesta Rakyat Temu Tani” (Peasants’
diskusi, lokakarya maupun sekadar bertukar Party), Dendang Kampungan (a
pengalaman. Sebagai contoh, ada sebuah grup Taring Padi folk inspired band) music
musik punk yang mencantumkan lagu milik performance, held to demand the rights
Taring Padi dalam sebuah albumnya, namun of the peasants, June 4 – 6 2000, Kulon
Taring Padi tidak merasa terganggu akan hal Progo, Yogyakarta
tersebut. Kawan-kawan Taring Padi justru
mendukung grup itu dengan memberikan Taring Padi’s above-mentioned activities form
lokakarya tambahan berupa teknik cukil kayu only a fraction of the organization’s whole
untuk penyablonan. Artinya, sebagai lembaga agenda for the last ten years. From the above list,
kebudayaan berbasis komunitas seni, Taring Padi however, we can see how Taring Padi promotes
telah mempunyai relasi budaya dengan lapisan its creative ideas and at the same time is able to
masyarakat yang cukup luas, bahkan hingga accept ideas from other communities while also
dunia internasional. Hal ini menyiratkan bahwa collaborating with them.
karya-karya mereka, baik dalam wujud seni rupa
maupun seni musik, telah mencapai sasaran Workshops
yang tepat. Sebab musik-musik yang dilahirkan In the effort to foster people-orientated cultural
di lingkungan Taring Padi memang bukan untuk solidarity, Taring Padi’s natural role is to serve
dipasarkan pada industri musik arus-besar. Bagi as an interactive arena of dialogue, through
mereka, musik yang diproduksi secara massal discussions, workshops, or simply by sharing
235
mempunyai kelemahan ketika berhadapan knowledge. For example, there was once a punk
dengan realitas sosial di tingkat basis. Dan ini music group that included a song by Taring Padi in
adalah sebuah kesadaran yang menolak musik its album, but Taring Padi did not mind. Instead,
sebagai komoditas belaka. Taring Padi supported the group by providing
a woodcut printmaking workshop. This means
“Revolusi Kebudayaan” that as an art-based cultural organization,
Ada beberapa lagu Taring Padi yang bagus dan Taring Padi maintains cultural relationships with
sangat bersemangat. “Revolusi Kebudayaan quite a diverse group of people, even on the
(Mars Pekerja Seni)” adalah salah satu lagu yang international level. This implies that their work,
cukup sering dikumandangkan, baik di dalam either in the form of visual art or in music, have
maupun di luar komunitas Taring Padi. Meskipun accurately hit the mark. Music produced within
tidak resmi menjadi lagu mars, namun lagu the Taring Padi circle is indeed not intended for
tersebut menjadi lagu favorit sebagai pendorong the mainstream music industry. To Taring Padi,
semangat bagi pekerja seni, agar terus berjuang mass-produced music has its weaknesses when
dan berkarya demi menegakkan wibawa budaya it stands face to face with social reality on the
kerakyatan yang menjadi visi Taring Padi. Mari basic level. This stance represents an awareness
kita simak lirik tersebut: that rejects music as a commodity.

Bangkitlah pekerja seni budaya/ “Revolusi Kebudayaan” (Cultural Revolution)


Bergerak bersama rakyat tertindas/ There are several great and zestful Taring Padi
Songsonglah fajar yang merah songs. Revolusi Kebudayaan (Mars Pekerja Seni)
cemerlang/ Bersatulah semua [Cultural Revolution – March of the Art Workers]
Hancurkan nilai budaya palsu/ Bangun is one of the songs that is often sung inside and
tatanan budaya baru/ Dengarlah outside the Taring Padi community. Although
seruan suara massa/ Ikuti panggilan it is not their official march, it is a much-loved,
spirit-lifting song for art workers, encouraging
them to keep on fighting and striving to assert
the importance of people-orientated culture,
which forms Taring Padi’s ideals. Let us look at
its lyrics closely:

Rise, cultural workers/Move along with


the oppressed/Welcome the bright red
dawn/Unite, unite all
Destroy false cultural values/Establish

(e)
237
238
(f)
239
sejarah new cultural order/Listen to the
Giat bekerja giat berkarya/ Angkat people’s demands/Follow the call of
penamu sapukan kuasmu/ Kabarkan history
perubahan segera datang/ Dan revolusi Work hard, create well/Wield your
kebudayaan pen, use your brush/Let people know
Satukan tekad kita/ Menuju esok that change is coming/And the Cultural
yang lebih baik/ Membangun tatanan Revolution
masyarakat/ Demokrasi kerakyatan Strengthens our resolve/For a brighter
tomorrow/Establish the social order/
Menyimak lirik tersebut, paling tidak kita dapat The people-orientated democracy
menyimpulkan bahwa Taring Padi cende-
rung menggabungkan musik sebagai media Looking at these lyrics, we can conclude
kampanye penyadaran untuk rakyat kelas that Taring Padi tends to use music for two
bawah dan pencerahan bagi Taring Padi sendiri. different objectives: as a campaign medium to
Mereka juga prihatin atas kondisi negeri ini generate awareness for the common people
karena para penguasanya masih mengguna- and as a source of encouragement for Taring
kan cara-cara militeristik dalam menyelesaikan Padi members themselves. Taring Padi also
persoalan-persoalan bangsa. Hal ini, tentunya, demonstrates its concerns about the national
seiring dengan paham Taring Padi yang menolak situation in which the rulers are still using
militerisme. Berikut kita simak lirik lagu militaristic methods to solve the nation’s
“Lawanlah” yang menggambarkan penolakan problems. This is naturally in line with Taring
mereka terhadap militerisme: Padi’s anti-militarism principles. Let us now look
at the lyrics of the song Lawanlah (Fight!), which
Lihatlah negeri kita/ Yang subur dan describes their rejection of militarism:
kaya raya/ Lihatlah negeri kita/ Dikuasai
manusia bersenjata Look at our country/Fertile and rich/
Mereka berebut kekuasaan/ Rakyat Look at our country/Ruled by armed
ditindas semaunya/ Banyak saudara men
kita jadi korban/ Dibantai oleh They fight for power/The people are
tentaranya oppressed/Our brothers become
Oh nusantara negeriku/ Bangkitlah victims/Murdered by the soldiers
lawanlah penguasa/ Oh rakyat O, my land, my country/Rise, fight the
rulers/O, the people of my land/Unite,
go forward, go on
nusantara/ Bersatulah terus maju dan

240
(g)
241
242
(h)
243
maju
Cabut, cabut Dwi Fungsi ABRI/ Cabut, Abolish the army’s dual role/Abolish
cabut Dwi Fungsi ABRI the army’s dual role

Sampai sekarang, lagu “Lawanlah” masih relevan So far, the song Lawanlah is still relevant. There
untuk dikumandangkan. Masih terjadi kasus are still cases of human rights violation, for
pelanggaran hak asasi manusia seperti di Alas example in Alas Tlogo, East Java, in 2007, when
Tlogo, Jawa Timur, pada 2007, di mana aparat the army forcefully removed people from a site
tentara memaksakan penggusuran dengan by shooting at the peasants who were trying to
cara menembaki petani yang mempertahankan fight for their land. The peasants had been using
lahannya. Padahal petani gurem tersebut sudah the otherwise unused land for scores of years. It
puluhan tahun menggarap lahan tidur itu. Kasus- is cases such as this that become Taring Padi’s
kasus seperti di Alas Tlogo inilah yang menjadi source of concern. At this time, this was how
kepedulian bagi mereka. Demikianlah cara Taring Padi affirmed their presence in a society
Taring Padi mengaktualisasikan kehadirannya di that had been swept away by the euphoria of
tengah-tengah masyarakat yang tengah dilanda the reform movement. The reform movement is
euforia reformasi pada waktu itu. Sekarang now stagnating. Certainly Taring Padi does not
reformasi masih berjalan di tempat, tentunya, want to stagnate. So, go forward, go on!
Taring Padi tidak mau jalan di tempat juga.
Maka, maju terus, majulah!

(i)
(j)
245
Indeks Gambar Picture Index
Bab IX Musik Taring Padi sebagai Chapter IX Taring Padi’s Music as a Tool for
Instrumen Penyadaran Generating Awareness

a. Cassette Front Cover Album 1 Dendang


a. Cover depan kaset, album perdana
Kampungan, 2003
Dendang Kampungan, 2003.
b. People’s trumpet Prime Edition January, the
b. Zine Terompet Rakyat, edisi perdana,
front cover, 2002
Januari, sampul depan, 2002.
c. Main Kampungan sang at the Festival
c. Dendang Kampungan pentas di “Festival
“Sunrise Always There” Endog Parang Beach,
Sunrise Masih Ada” di Pantai Parang Endog,
Yogyakarta
Yogyakarta.
d. All pictures taken from 1999-2010 events
d. Semua gambar diambil dari pentas musik
Kampungan Dendang
Dendang Kampungan, diantara tahun 1999-
2010. e. CD Album Cover 2 “Still Working” Dendang
Kampungan, 2009
e. Dendang Kampungan pentas di Adelaide-
South Australia, 2001. f. People’s trumpet Edition IV, End of March,
page 14, 1999
f. Cover CD Album kedua “Masih Kerja”
Dendang Kampungan, 2009. g. The sun and the Mari song Series Drawing
workshop results lino cut by Berliner
g. Zine Terompet Rakyat, edisi IV, akhir Maret,
Henpresser, Lino cut on paper, 2002
hlm. 14, 1999.
h. People’s trumpet XXI Edition September,
h Seri lagu “Mentari” dan “Mari
2000
Menggambar”, hasil workshop lino cut oleh
i. Rear Cassette Album Cover 1 Dendang
Berliner Handpresser, 2002.
Kampungan, 2003
i. Zine Terompet Rakyat ,edisi XXI,
September, 2000.
j. Cover Belakang kaset, album perdana
Dendang Kampungan, 2003.

246
(a)
(b)

248
Bab X
Reforma Agraria sebagai Tuntutan Pokok
dalam Perjuangan Kaum Tani Indonesia

Erpan Faryadi

Pengantar
Menyusul tumbangnya Soeharto dari kekuasaan
pada 1998, gerakan massa kaum tani tumbuh
subur dan pesat. Hal ini terjadi karena
sejumlah alasan. Pertama, meskipun komoditas
perkebunan di pasar internasional mengalami
lonjakan harga, banyak usaha perkebunan
Indonesia, baik swasta maupun badan-badan
usaha milik negara, yang mengalami krisis
keuangan sebagai akibat langsung dari krisis
ekonomi 1997–1998. Dengan begitu, banyak
usaha perkebunan yang dibiarkan tidak (c)

produktif oleh para pengelolanya. Pada saat


yang sama, rakyat petani di sekitar perkebunan Chapter X
sangat memerlukan tanah untuk menyambung Agrarian Reform as the Primary Demand
kebutuhan hidup. Sehingga banyak dari para of Indonesia’s Farmers Movement
petani tersebut yang menggarap lahan agar
tanah kembali produktif. Terjadilah aksi-aksi
perebutan tanah kembali, bahkan pendudukan Erpan Faryadi
tanah atas perkebunan yang terbengkalai itu.
Hal ini menyimpan banyak masalah karena
sejumlah perusahaan masih memiliki Hak Guna Introduction
Usaha (HGU) atas sebagian besar perkebunan Following the fall of the Soeharto regime in
yang di-telantarkan itu. Adanya HGU tersebut 1998, a mass movement of farmers grew
menjadi alasan bagi pihak perkebunan untuk rapidly across Indonesia. A number of factors
memanggil pihak kepolisian guna mengusir para contributed to this growth. Despite massive
petani dari tanah yang diperebutkan. increases in the prices of agricultural products
Kedua, wilayah-wilayah di sekitar hutan, on the international market, many agricultural
baik yang dikelola oleh Perusahaan Umum businesses in Indonesia, both private and
Kehutanan Negara Indonesia (Perum Perhutani) state-owned, were suffering financially as
249
di Pulau Jawa, PT. Eksploitasi dan Industri a direct consequence of the 1997-1998
Hutan (Inhutani) di luar Pulau Jawa maupun economic crisis. Many agricultural businesses
pihak swasta yang memiliki Hak Pengusahaan collapsed and much agricultural land was left
Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI), neglected and unproductive. At the same time
mengalami masalah kebangkrutan yang relatif farmers living around the respective areas,
sama. Eksploitasi hutan yang sangat berlebihan in desperate need of land to work, began to
oleh pihak swasta pemegang HPH dan HTI, reclaim, occupy and cultivate the neglected
sejak 1967 sampai 1998, telah menyempitkan fields. This land reclamation and occupation
luasan hutan produksi Indonesia. Dengan became problematic, however, when a number
sendirinya, membuat perusahaan-perusahaan of agricultural companies began to assert their
kayu raksasa tersebut mengalami kesulitan Business Access Rights (HGU) over much of the
bahan baku dan akhirnya dilanda ke- land. Their bussiness rights were protected
bangkrutan. Perusahaan-perusahaan kayu by the legislation, which was used as grounds
tersebut kemudian melakukan operasi to call in authorities to evict the farmers
penebangan di luar hutan produksi from the disputed land.
yang diizinkan bagi mereka serta The forestry industry, adminis-
melakukan penyelundupan kayu, tered by Perum Perhutani in Java and
yang pada gilirannya memperhebat P.T. Exploitasi and Industri (Inhutani)
perusakan hutan tropis Indonesia. outside Java and by private companies
Masalah kehutanan yang sangat granted Forest Access Rights (HPH)
menonjol pasca-Orde Baru adalah and Forest Plant Industry (HTI) status,
penebangan kayu ilegal. experienced similar financial strife and
Gabungan perusakan sistematis bankruptcy. Excessive exploitation
terhadap hutan Indonesia, perluasan over forests by private companies with
perkebunan monokultur seperti kelapa HPH and HTI status that had occurred
sawit, dan fenomena penebangan kayu between 1967 and 1998 significantly
ilegal selama 1999–2010, sekarang hanya decreased the size of productive
menyisakan masyarakat lokal yang semakin forests in Indonesia. The industry’s
miskin, hutan yang gundul, banjir yang (d) own unsustainable practices eventually
datang setiap tahun, sekaligus menyumbang resulted in such a depletion of resources that
pemanasan global. Indonesia memperoleh some giant logging companies were forced
julukan baru sebagai negara penghancur hutan into bankruptcy. These companies then began
tropis dengan tingkat kecepatan dan kerusakan operations outside authorised zones resulting in
nomor satu di dunia, yaitu rata-rata seluas 1,871 the development of an illegal logging industry,
juta hektar setiap tahun. Di atas lahan bekas causing irreparable damage to the tropical
hutan-hutan produksi inilah, rakyat bercocok forests of Indonesia. Illegal logging has become
tanam dengan tanaman produksi pertanian, di the most significant forestry issue facing post-
mana sebagian dari mereka sebelumnya adalah New Order Indonesia.

250
(e)

pekerja di perusahaan kayu dan kertas yang The systematic destruction of


mengalami kebangkrutan. Indonesia’s forests, characterised by the
Ketiga, permasalahan yang sama juga expansion of monocultural plantations (in-
terjadi di pertambangan berskala raksasa. cluding oil palms) and the continuing illegal
Namun, gerakan rakyat di wilayah-wilayah logging practices seen since 1999 has left local
pertambangan tersebut banyak menghadapi communities with little more than increasing
hambatan karena kepentingan imperialisme yang poverty, denuded lands, annual flooding and
sangat kuat. Banyak lokasi pertambangan besar at the same time has contributed to global
di Indonesia seperti konsesi Freeport, Newmont, warming. Indonesia has become known as the
Rio Tinto, dan Broken Hill dijaga sangat ketat oleh country which is destroying its tropical forests
tentara. Akibatnya, kekerasan yang terjadi di at the fastest rate of any country in the world

251
sana sangat kasar dan berdarah. Sebagai contoh, with 1.871 million hectares being destroyed
antara 1975–1977, ada sekitar 160 orang yang every year. On this denuded land local farmers
terbunuh di daerah pertambangan Freeport dan and previous employees of insolvent logging
sekitarnya. Hal ini terjadi karena militer, sebagai and pulp companies have begun re-cultivating
konsumen terbesar produk-produk tambang, the soil.
memiliki kepentingan yang sangat kuat dalam Similar problems have also occurred
industri pertambangan. within the mining industry. A people’s
Kepentingan eksploitasi serupa juga movement in this industry, however, faces many
terjadi pada tambang minyak Indonesia. obstacles due to the strength and influence of
Dengan diberikannya Kontrak Kerja Sama (KKS) foreign businesses and investors. Many large
oleh pemerintah pada Exxon Mobil scale mining operations in Indonesia including
untuk meng-eksploitasi minyak Freeport, Newmont, Rio Tinto and Broken Hill
di Blok Cepu sampai 2036, jelas are tightly protected by Indonesia’s military
ada kepentingan yang sama antara forces. As the largest consumer of mining
kabinet Indonesia Bersatu dan products, the Indonesian
raksasa minyak Exxon Mobil. military has significant
Menurut Kwik Kian Gie, investing interests in
“Jika setelah 60 tahun the mining industry.
merdeka tidak ada The fierce protection
orang Indonesia yang of these interests has
mampu mengeksploitasi led to much bloody
Blok Cepu, maka violence including the
kemungkinannya hanya killing of 160 people
ada dua: semuanya between 1975 and 1977
sudah disuap Exxon at and around Freeport mine in West
Mobil atau semuanya Papua.
masih bermental budak/ Similar exploitation can also
inlander.”1 be seen within the oil mining industry
(f) in Indonesia today. The provision of
Perebutan Kembali dan Pendudukan Tanah Cooperation Contracts (KKS) by the Indonesian
Merupakan Manifestasi dari Tuntutan government to Exxon Mobil authorizing the
Reforma Agraria exploitation of the Cepu mining block until 2036,
Berbagai perkembangan eksternal yang di- clearly demonstrates the close ties and common
sebabkan oleh krisis politik dan ekonomi, interests the government shares with Exxon
dengan demikian, membuat gerakan rakyat yang Mobil. According to the economist Kwik Kian
menuntut hak-hak demokratik menemukan Gie, “If after 60 years of independence there is
momentumnya, terutama di wilayah-wilayah no Indonesian capable of exploiting the Cepu
perkebunan, pertambangan, dan hutan. Aksi mining block, there are only two possibilities:

252
253 (g)
(h)
254
perebutan kembali maupun pendudukan tanah Either they have all taken bribes from Exxon
oleh penduduk setempat untuk menanami Mobil or they still have the mentality of slaves/
produk pertanian pangan di perkebunan dan inlander.”1
hutan, dan sejumlah perkembangan yang terjadi
pada tambang-tambang rakyat, merupakan Land Reclamation and Occupation as a
wujud dari kebangkitan perlawanan kaum tani Manifestation of the Demands for Agrarian
dan tuntutan pokok dari perjuangan mereka. Reform
Itulah jawaban kaum tani terhadap monopoli
Various developments in the agricultural, mining
dan perampasan tanah yang telah dan sedang
and forestry industries brought about by the
terjadi dewasa ini.
economic and political crisis
Jika struktur agraria yang terbentuk
of the late 1990s helped
dalam periode 1960-an disebabkan
provide the momentum
oleh pengepingan-pengepingan
for a grassroots people’s
tanah pertanian dan perluasan
movement to demand demo-cratic rights.
perkebunan, terutama untuk
Land was reclaimed and occupied by local
tebu, karet, teh, dan tembakau
inhabitants for the purposes of growing
pada masa kolonial Belanda,
food crops or in several instances to
maka struktur agraria
develop local mining businesses. This
yang terbentuk saat ini
was the response of Indonesian
disebabkan oleh monopoli
farmers to the monopolisation and
tanah dan dominasi modal
appropriation of land they have
besar dalam pertanian,
faced and their actions continue
perkebunan, perhutan-
to inspire Indonesia’s farmers
an, dan pertambangan
today.
di wilayah pedesaan
The agrarian structures
Indonesia. Meskipun
developed during the 1960s
sebagian besar pelaku
stem from the partitioning of
perampasan alat produk-
farming land and the expansion
si dan kondisi politik
of plantations (including
pedesaan, nasional
sugarcane, rubber, tea and
serta internasional
tobacco) that occurred
sudah berubah, hakikat
(i) during the colonial era. The
ketimpangan dari struktur agraria yang ada
agrarian structures in place today stem from
masih tetap sama, yakni monopoli tanah oleh
the monopolisation of land and big business
penghamba asing dan tuan tanah besar. Kaum
domination of the agricultural, forestry and
tani tak bertanah, petani kecil, buruh tani serta
mining industries. While most of those who
buruh perkebunan semakin terjerumus dalam
took control over the means of production
jurang kemiskinan.

255
256
(j)
257
Dengan demikian, program reforma have changed, and while political conditions
agraria dewasa ini semakin relevan karena struk- at a regional, national and international level
tur agraria yang ada masih tetap mengungkung have also changed, the essential inequality of
kehidupan tenaga-tenaga produktif sebagian agrarian structures in Indonesia have remained
besar rakyat pedesaan. Salah satu tujuan utama the same. Land continues to be monopolised by
reforma agraria adalah membebaskan tenaga foreign investors and large land owners causing
produktif rakyat pedesaan. Inti dari reforma landless farmers, small-scale farmers, farm and
agraria adalah redistribusi tanah secara adil dan plantation labourers to slip further into the
gratis kepada kaum tani tak bertanah dan petani depths of poverty.
kecil, serta penurunan sewa tanah dan penaikan Agrarian reform today is even more
upah buruh tani dan buruh perkebunan. Inilah relevant given the existing agrarian structures
yang dimaksud sebagai reforma agraria yang which continue to restrict the productive
sejati. potential of the majority of rural Indonesians.
Dari sejarah perjuangan agraria yang While one of the main goals of agrarian reform in
pernah ada, kaum tani yang merupakan Indonesia is to free this productive potential, the
mayoritas penduduk dan golongan essential point of agrarian reform itself is
yang paling dirugikan dalam sistem the fair and free redistribution of land
ekonomi yang sedang berlangsung, to landless and small scale farmers
dapat disebut sebagai salah satu as well as the increase of wages of
kekuatan pokok perubahan. Jadi, farm and plantation labourers. This
sekali kaum tani bangkit dan is the meaning of true and genuine
bergerak, terutama dalam agrarian reform.
negeri setengah kolonial An historical analysis
dan setengah feodal of the struggle for agrarian
seperti Indonesia, maka reform has shown that
kebangkitan dan perlawanan farmers and farm labourers,
kaum tani akan menentukan who form the majority
arah perubahan sosial. of the population but
Mereka yang berperan benefit least from existing
dalam setiap gerakan tidak economic systems, can
lain adalah para petani yang be considered the main
menolak penindasan dan force (alongside the
penghisapan akibat monopoli working class) of social
(k)
tanah yang sejak 1980-an sampai transformation. Therefore, once
sekarang terus berkembang luas. Keresahan- Indonesia’s farmers rise up and act together,
keresahan yang mengarah pada gerakan atau particularly within the half-colonial, half-feudal
pemberontakan itu tentu tidak lepas dari context of Indonesia, it will be their resistance
kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi para that will determine the direction of social

258
petani, yaitu perampasan tanah, tekanan pajak, transformation.
kenaikan barang kebutuhan pokok, beban ikatan Those who play a crucial role within any
relasi produksi setengah feodal (sistem bagi movement for social change are the farmers
hasil), persewaan tanah maupun liberalisasi who reject the oppression and exploitation
perdagangan produk pertanian. caused by the monopolisation of land. In the
Jika kemerosotan kedudukan ekonomi case of Indonesia, this has been occurring and
maupun politik kaum tani pada jaman kolonial growing rapidly since the 1980s. Restlessness
terjadi karena perubahan sosial dan ekonomi leading to a movement or uprising cannot be
kolonial yang intensif di sektor agraria, maka separated from socio-economic conditions
saat ini terjadi karena program pembangunan, facing farmers including land expropriation, tax
politik agraria, dan pertanian pada zaman Orde pressures, increasing prices of basic necessities,
Baru dan Reformasi yang dapat dikatakan justru the weight of a half-feudal system of production
memperkuat dan mengembangkan struktur (sharing yields system), land rents, and the
ekonomi kapitalisme, hanya melanjutkan basis liberalization of the agricultural market.
yang sudah dibangun kolonialisme. While the deterioration of economic
Politik agraria yang menghisap dan menindas and political life of Indonesia’s farmers during
kaum tani kini semakin menjadi. Kaum tani the colonial era was due to intensive
Indonesia di bawah rezim politik SBY- social and economic transformations
JK (dan sejak November 2009 of the agrarian sector, today’s
dilanjutkan oleh rezim politik deterioration is primarily
SBY-Boediono, dengan dominasi due to development
politik seluruhnya pada SBY) programs, agrarian and
terus mengalami perampasan agricultural political
tanah dan tindak kekerasan conditions instituted
dalam berbagai bentuk seperti during the New Order and
pemenjaraan, penangkapan, Reformation eras which
penahanan, intimidasi, served to develop and
penganiayaan, strengthen the capitalist
penembakan, economic structures thus
pembunuhan, dan continuing the legacy of
bentuk-bentuk colonialism .
pelanggaran hak asasi Oppressive and
manusia yang lain. Sebagai exploitative agrarian
contoh, menurut catatan (l) politics continue in
organisasi petani Aliansi Gerakan Reforma Indonesia today. These are the conditions
Agraria (AGRA), dalam tiga bulan terakhir pada experienced by Indonesia’s farmers. Under the
2008 saja, rezim SBY-JK telah menangkap, regime of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-
menahan, dan memenjarakan sekitar 46 orang Jusuf Kalla and SBY-Boediono since November

259
260
(m)
261
petani yang berjuang untuk hak-hak atas 2009 (with actual power still held by SBY
tanahnya. alone) Indonesia’s farmers face continuing
land expropriation, violence and human rights
Kesimpulan abuses including unlawful arrest, detainment,
Jalan keluar yang disodorkan oleh kaum imprisonment, intimidation, torture and killings.
kapitalis dalam krisis umum imperialisme saat According to one organisation of Indonesian
ini adalah dengan semakin mengintensifkan dan farmers, Alliance for Agrarian Reform (AGRA),
memperhebat monopoli melalui perampasan during the last three months of 2008 alone, the
tanah secara global dan SBY-JK regime arrested,
nasional. Juga melalui detained and imprisoned
pembangunan proyek- 46 farmers who were
proyek infrastruktur yang attempting to protect
menghancurkan lahan- their land rights.
lahan pertanian subur,
pembukaan pertanian Conclusion
pangan berskala The capitalist approach
besar (industrialisasi to resolving today’s
pertanian), pembukaan global crisis has been to
p e r k e b u n a n - intensify and strengthen
perkebunan baru untuk the monopoly of
kepenting-an proyek land through the
energi (agrofuel), expropriation of land
mengintensifkan on a national and global
eksploitasi barang scale. This approach
tambang, perluasan has also involved
proyek-proyek the development of
konservasi hutan dan infrastructure projects
taman nasional serta which has destroyed
pembangunan prasarana (n) fertile agricultural land,
dan infrastruktur militer. Apa yang dianggap the large-scale industrialisation of agriculture,
oleh pemerintah sebagai jalan keluar dari krisis deforestation and the development of agrofuel
ini sudah dijalankan dan akan terus digencarkan projects, intensification of mining projects, the
melalui kebijakan-kebijakan negara. expansion of forest conservation projects and the
Dengan demikian, akan semakin hebat further development of military infrastructure.
pertentangan antara rezim-rezim boneka dengan These have been the approaches taken by
rakyatnya di Indonesia. Terbitnya aturan-aturan the Indonesian government and will continue
terbaru yang terkait dengan tanah dan sumber through further implementation of government
daya alam di Indonesia, seperti Undang-Undang policies.

262
No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang- The approaches mentioned above
Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman will increasingly sharpen the conflict between
Modal, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Indonesia’s puppet regime and its citizens.
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Publication of recent legislations concerning
(Minerba), dan terakhir adalah Undang-Undang Indonesia’s land and natural resources, including
No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan legislation No. 18 regarding plantations (2004),
Pertanian Pangan Berkelanjutan, mencerminkan No. 25 regarding investment (2007), No. 4
watak boneka dari rezim ini karena memberikan regarding coal and mining (2009), and No.
fasilitas sedemikian 41 regarding the
luas pada modal protection of
asing untuk agricultural lands
mengeksploitasi (2009), serve to
kekayaan alam illustrate the true
Indonesia. puppet character
Pertanian of this regime,
terlalu penting untuk which provides
diperlakukan seperti foreign investors
benda perdagangan with generous
lainnya. Pengalaman incentives to exploit
menunjukkan the abundant
bahwa diperlukan natural resources
campur tangan of Indonesia.
dalam pasar produk Agricultural
pertanian untuk resources are too
melindungi tujuan important to be
mendasar tertentu treated like any
seperti penyediaan other commercial
pangan pokok yang p r o d u c t s .
(o)
stabil. Terlalu sederhana kalau menganggap Experience has shown some market intervention
bahwa liberalisasi pasar produk pertanian dapat in agricultural products to be necessary in order
membantu negara-negara mencapai keamanan to protect the very basic need for a secure
pangan. Dalam kasus Indonesia, misalnya, food supply. It is too simplistic to believe that
dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, liberalisation of the market in agricultural
konsumsi beras mencapai 32 juta ton per tahun products could help a country to achieve food
(proyeksi 2008). Sementara volume beras yang security. In the case of Indonesia for example, its
diperdagangkan pada pasar internasional dalam population of more than 220 million consumes
setahun berjumlah 42 juta ton dari produksi more than 32 million tons of rice each year. In
dunia sebesar 420 juta ton (proyeksi 2008). 2008, 42 million tons of total world production,

263
(p)

Maka, tidak akan mungkin bagi Indonesia untuk which was 420 million tons of rice, were traded
mengandalkan pasar global bagi pemenuhan on the international market. Given these
pangan penduduknya. Apalagi ketika dunia statistics, it is unlikely that Indonesia will have
sekarang mengalami krisis pangan dan energi, to rely on the global market to fulfill the food
yang merupakan manifestasi dari krisis umum requirements of its population. In the face of
imperialisme, di mana sejumlah negara eksportir global food and energy crises (manifestations
utama beras memutuskan untuk tidak menjual of a global crisis of imperialism), a number of
berasnya demi mengamankan stok nasionalnya prominent rice exporting countries decided
terlebih dulu. against the sale of their rice on the global
Kelaparan dan malnutrisi semakin me- market, instead choosing to save it for their own
ningkat sebagai konsekuensi dari kekurangan citizens first.
atau ketiadaan pangan dan meningkatnya Starvation and malnutrition are on the
harga-harga kebutuhan pokok. “Kerusuhan rise as a consequence of both food shortages and
pangan” terjadi di negara-negara terbelakang the rise in price of essential goods. Conditions
di mana kaum pekerja (kelas buruh) dan kaum of “food turbulence” are now occuring in the

264
tani semakin lama menjadi makin sulit untuk Third World where it is becoming increasingly
memperoleh makanan pokok. Hak-hak asasi difficult for people of working and farming
manusia yang paling dasar telah sedemikian classes to acquire essential foods. Thus, they
parahnya dibatasi. Ironisnya, hal ini terjadi di are facing a denial of their most basic human
negara yang memproduksi cukup pangan untuk right. The irony is, however, that this is occuring
semua orang. in a country that actually produces enough food
Selain itu, musim kering dan banjir telah for all its citizens.
memengaruhi produksi dan hasil panen serta While both droughts and floods have
meningkatnya harga bahan bakar minyak telah caused a reduction in food production, the
mendorong peralihan ke produksi berbahan increasing cost of oil leading to the increasing
bakar nabati yang semakin membebani produksi demand for argofuel has placed further pressure
pangan. Meskipun demikian, produksi dan on food production. In spite of this, global food
konsumsi pangan dunia yang sesungguhnya pada production and consumption in 2007 showed
2007 memperlihatkan bahwa hasil produksi dari the production of almost all food goods (corn and
hampir semua bahan pangan berada di atas wheat being the only exceptions) to be greater
daya konsumsi, kecuali untuk produksi gandum than the consumption of these products.
dan jagung. According to the International Monetary
Menurut IMF (Dana Moneter Fund (IMF), World Bank, Asian Development
Inter-nasional), Bank Dunia, ADB (Bank Bank (ADB), Food and Agricultural Organisation
Pembangunan Asia), FAO (Organisasi Pangan (FAO), and the World Trade Organisation (WTO),
dan Pertanian Dunia) dan WTO (Organisasi the way out of this global crisis is to extend
Perdagangan Dunia), jalan keluar dari krisis the processes of market liberalisation. This
umum imperialisme ini sama dengan approach has involved the re-opening and
jalan keluar model lama yang mereka completion post-Doha WTO negotations
rumuskan di masa lalu, yaitu liberalisasi as well as increasing and intensifying
yang lebih luas, terutama pembukaan giant agricultural projects. All of these
kembali dan penuntasan negosiasi- attempts, however, have served only to
negosiasi putaran WTO pasca- worsen the global food crisis while
Doha maupun mengintensifkan increasing the profits of trans-
dan meningkatkan perluasan national corporations.
pertanian raksasa. Secara In fact, the global food crisis is
bersamaan, semua hal ini hanya not a phenomenon that has sprung
semakin memperburuk krisis up out of the blue and the present
pangan global dan sebaliknya, manifestations of this crisis
meningkatkan keuntungan demonstrate both its systemic
perusahaan-perusahaan and structural nature. During
transnasional. the 1980s developing countries
Sesungguhnya, were forced to apply neoliberal
(q) 265
266
267 (r)
krisis pa-ngan dunia bukanlah kejadian yang policies through the World Bank’s Structural
berlangsung begitu saja. Dampak-dampak Adjustment Program and an IMF program which
negatif yang saat ini terjadi memperlihat- led to the WTO’s Poverty Reduction Strategy
kan bahwa krisis ini berwatak sistematis Program as well as other regional and bilateral
dan struktural. Dalam periode 1980-an, trade agreements. And indeed even long before
negara-negara berkembang dipaksa untuk this time, during the 1960s, developing countries
menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberal were forced to implement Green Revolution
melalui program Penyesuaian Struktural Programs to increase agricultural productivity. In
Bank Dunia dan program IMF yang kemudian relation to food and agriculture, these policies of
diikuti dengan Program Strategi Pengurangan globalization have involved trade liberalisation
Kemiskinan yang diintensifkan oleh WTO serta and investment in agriculture, privatisation
perjanjian-perjanjian perdagangan regional of public sectors, irrigation, food trade and
maupun bilateral. Bahkan jauh sebelumnya, a reduction of government intervention in
pada periode 1960-an, negara-negara ber- the market including a reduction of its role in
kembang telah dipaksa untuk menerapkan determining the price of basic goods. Aspects
Program Revolusi Hijau untuk meningkatkan of this neoliberal package have involved the
produktivitas pertanian. Dalam soal pangan expansion of exports in agricultural products,
dan pertanian, kebijakan-kebijakan globalisasi the conversion of more land into farm land,
the promotion of the primary resource industry
and other “development” projects dominated
by foreign investors and national elites thereby
strengthening their monopoly over agricultural
businesses. The impacts on farmers, agricultural
labourers, women, small scale food producers
and the poor in general has been devastating and
has included the removal of villagers from their
land, the continued destruction of resources
required for survival and the increase of poverty
and starvation.
For the last ten years Indonesia has
been a major importer of basic food staples
(including rice, soy beans, sugar, salt and corn)
and as such, has been hit hard by the global
food crisis. Ironically however, while many
primary food producing countries quickly
moved to prohibit the export of rice given the
ongoing nature of this crisis, Indonesian officials
(s) increased the promotion and rapid export of the

268
ini mencakup liberalisasi perdagangan dan
investasi dalam pertanian; privatisasi sektor-
sektor publik, irigasi, perdagangan pangan; dan
pengurangan peran-peran pemerintah dalam
penentuan harga dan pemasaran. Salah satu
bagian dari paket neoliberal adalah, tekanan
untuk perluasan produk tanaman ekspor,
konversi tanah pertanian, promosi industri
ekstraktif, dan proyek-proyek “pembangunan”
lain di bawah dominasi modal asing yang
semakin memperkuat kontrol monopoli atas
usaha-usaha agribisnis yang bekerja sama
dengan elit-elit nasional. Pada umumnya,
dampaknya terhadap petani, pekerja pertanian,
kaum perempuan, para produsen pangan kecil,
dan kaum miskin sangat dahsyat, termasuk
penggusuran masyarakat pedesaan, semakin
berkurangnya sumber-sumber penghidupan,
dan meningkatnya kelaparan dan kemiskinan. (t)
Indonesia sendiri yang selama sepuluh
successful 2008 harvest. This was a great insult
tahun terakhir merupakan negara pengimpor
to Indonesia’s farmers who produced the rice
utama bahan pangan (antara lain, beras,
but were then forced to suffer when the price
kedelai, gula, garam, dan jagung), tentu dapat
for their rice dropped as brokers and the Bulog
dipastikan mendapatkan pukulan yang paling
(government body in charge of food resources)
hebat dari krisis pangan dunia ini. Ironisnya,
played the global market.
sementara banyak negara penghasil pangan
The essential nature of the Indonesian
utama segera melarang ekspor beras karena
economy has not changed even with the changes
krisis imperialisme ini akan terus berlanjut,
of political regimes since Soeharto was forced
pejabat-pejabat Indonesia malah bergerak
to step down in 1998. Within this economic
cepat untuk mempromosikan ekspor beras
structure, the only changes to have occurred have
karena panen padi awal 2008 dianggap berhasil.
been superficial personnel changes. So indeed
Tindakan ini sungguh menyakitkan hati rakyat,
the essence has remained just the same and
karena kenyataannya para petani penghasil
continues to be based on continuing practices
padi menjerit ketika harga jual padinya merosot
of sucking the country dry of its remaining
drastis dan dipermainkan oleh tengkulak dan
natural resources, monopolising its raw energy
Bulog.
materials and manufacturing industries, relying
Dengan demikian, dasar ekonomi
on debts, prioritising giant infrastructure
Indonesia sesungguhnya tidak berubah,

269
meskipun rezim politik telah berganti projects and facilitating the process of foreign
beberapa kali sejak Soeharto ditumbangkan investors taking over commonly held land.
pada 1998. Dalam struktur ekonomi ini, yang This is the root of Indonesia’s current
berubah hanyalah sejumlah pelakunya seturut economic crisis and as long as it continues,
pergantian rezim politik, sedangkan wataknya the people of Indonesia will continue to suffer.
tetap sama, yaitu menguras sumber daya In other words, the root of this crisis is the
alam yang masih tersisa sampai kering, me- imperialism that has driven this country to the
monopoli industri bahan baku hingga industri half-colonial, half-feudal state it is now in. This
pengolahan, menggantungkan diri pada utang, can be seen in the way in which harvests and
mengutamakan proyek-proyek infrastruktur profits are shared as well as in excessive interest
raksasa yang rakus akan tanah-tanah yang rates resulting in the exploitation of Indonesia’s
luas, dan memudahkan investor asing untuk farmers. It is these half-feudal production
melakukan penanaman modal dan mencaplok relationships which continue to place pressure
tanah-tanah milik rakyat. on agricultural production and which pose the
Inilah akar dari krisis ekonomi yang largest obstacles for any genuine efforts to raise
melanda Indonesia dewasa ini. Sepanjang the living standards of Indonesia’s farmers.
akar krisis ini masih bercokol, selama itu pula Confronted by new contexts of
krisis ekonomi akan terus menerpa bangsa ini. oppression and exploitation, there is no other
Dengan kalimat lain, akar dari krisis ini adalah choice for Indonesia’s farmers but to strengthen
imperialisme yang menjadikan Indonesia
sebagai negeri setengah jajahan dan setengah
feodal. Masih bertahannya relasi produksi
setengah feodal dapat dilihat dalam sistem bagi
hasil yang menghisap kaum tani, dengan semua
gejala sampingannya seperti riba, gadai atau
ijon. Hubungan produksi yang setengah feodal
inilah yang terus menekan produksi agraria dan
menjadi halangan yang terbesar bagi tiap-tiap
usaha yang serius untuk menaikkan taraf hidup
petani.
Menghadapi konteks baru dari pe-
nindasan dan penghisapan ini, jawaban kaum
tani, tiada lain kecuali memperhebat perlawanan,
berjuang, mendidik diri lebih keras, memper-
kuat kerja-kerja aliansi, dan memperbanyak
aktivis-aktivis massa yang sungguh-sungguh
mengabdikan diri guna membebaskan kaum
tani Indonesia dari musuh-musuhnya, yakni (u)

270
imperialisme dan feodalisme. Tugas gerakan and expand their resistance, to continue their
massa tani sebagai bagian terpenting dari struggle, to maintain their self-dicipline, to
gerakan rakyat adalah menunjukkan jalan terang strengthen their alliances, and to increase the
kepada rakyat, terutama rakyat tani untuk number of activists prepared to join the struggle
memahami krisis ekonomi dan keadaan politik. to free Indonesia’s farmers from their enemies
Melalui perjuangan massa, gerakan of imperialism and feudalism. The most pressing
tani harus menekankan pentingnya reforma task for any movement of Indonesian farmers,
agraria sebagai jawaban utama untuk mengatasi who in fact represent the most essential
masalah-masalah besar yang dialami bangsa. component of an Indonesian grassroots people’s
Reforma agraria pun pada akhirnya tidak hanya movement, is to help spread understanding of
berbicara tentang peningkatan taraf hidup kaum political conditions and the current economic
tani dan upaya-upaya praktis untuk mengangkat crisis.
kaum tani dari masalah kemiskinan. Lebih dari Through the development of a large-
itu, reforma agraria akan memberikan fondasi scale resistance movement, Indonesia’s farmers
yang paling stabil untuk pembangunan secara must push for the prioritisation of agrarian
menyeluruh, menuju terbentuknya sebuah reform as the primary approach to resolving the
bangsa yang berdaulat secara ekonomi, politik, many problems facing Indonesian people today.
dan budaya. Secara ekonomis, kemiskinan Agrarian reform itself is not only concerned
dan kesengsaraan masyarakat perdesaan with raising the living standards of Indonesia’s
yang terkungkung dalam relasi produksi yang farmers and providing the practical steps for
berwatak feodalistik menjadi legitimasi historis them to free themselves from poverty, but also
yang semakin memperkukuh urgensi reforma has the capacity to provide the most stable
agraria. Secara politis, naiknya gerakan massa foundations on which to build an economically,
kaum tani di berbagai penjuru negeri dan politically, culturally independant Indonesia for
tingginya kekerasan bersenjata dalam sengketa- all its citizens. The reality of the poverty and
sengketa agraria di Indonesia memberikan basis the suffering of rural Indonesians trapped in
politik yang konkret untuk pelaksanaan reforma feudalistic production relationships reinforces
agraria. the urgency of the need for agrarian reform.
Oleh karena itu, tugas-tugas terdekat dari The growing movement of farmers across the
gerakan rakyat, termasuk gerakan tani, dewasa country and the increasing use of armed violence
ini adalah mengutamakan kembali gerakan in land disputes provides a concrete political
rakyat yang sejati sebagai tenaga penggerak base for the implementation of agrarian reform
utama perubahan maupun faktor penentu in Indonesia.
perubahan masyarakat. Dengan menggunakan Therefore, the most pressing task facing
momentum krisis umum imperialisme saat an Indonesian grassroots movement (farmers
ini, gerakan tani harus terus memperhebat included) is to recognise and prioritise the
perjuangan massa untuk menuntut hak-hak genuine people’s movement as an essential
sosial-ekonomi dan sekaligus meningkatkan driving force for social change. While taking

271
perjuangan pada bentuk-bentuk perjuangan advantage of this current global crisis, Indonesia’s
politik yang lebih maju. Inilah saat yang tepat movement of farmers must continue to grow
bagi gerakan rakyat Indonesia dan gerakan tani and strengthen in order to demand their social
khususnya untuk mengambil prakarsa politik and economic rights while at the same time
memimpin sendiri perjuangannya melawan work to raise their struggle to a more developed
rezim antirakyat dan antipetani. level of politics. This is the right moment for
a grassroots people’s movement (particularly
involving farmers) to take the initiative to lead
themselves in their struggle against the current
“anti-people” and “anti-farmer” regime.
Endnote:
1 dikutip dari M. Amin Rais, Agenda Mendesak
Bangsa: Selamatkan Indonesia!, Yogyakarta: PPSK 1 quoted in M. Amin Rais, Agenda Mendesak Bangsa:

Press, 2008, hlm. 165. Selamatkan Indonesia! (The Nation’s Urgent Agenda:
Save Indonesia!), Yogyakarta: PPSK Press, 2008, p.
165.

(w)

272
(v)

273
274
(x) 275
Indeks Gambar Picture Index
Bab X Reforma Agraria sebagai Tuntutan Pokok dalam Chapter X Farmer
Perjuangan Kaum Tani Indonesia
a. Land and Farmers Independent Living All, Woodcut
a. “Tanah dan Petani Merdeka Menghidupi Semua”, print on fabric, 122cm x 242cm, 2003
cukil kayu di atas kain, 122cm x 242cm, 2003.
b. VII edition of the People’s trumpet, the end of June,
b. Zine Terompet Rakyat, edisi VII, akhir Juni, hlm. 3, page 3, 1999
1999.
c. People’s trumpet Prime Edition January, page 1, 2002
c. Zine Terompet Rakyat, edisi perdana, Januari, hlm. 1,
2002. d. XIX edition of the People’s trumpet the end of June,
page 9, 2000
e. Zine Terompet Rakyat, edisi XIX, akhir Juni, hlm. 9,
2000. e. Land Is Our Life, Banner seagai encouragement to
farmers Kerawang, West Java, Acrylic on Canvas, 600cm x
f. “Tanah Adalah Hidup Kami”, banner dukungan untuk 600cm, 1999
Petani Kerawang, Jawa Barat, acrylic di atas kanvas,
600cm x 600cm, 1999. f. Wayang Cardboard, 2008
g. Wayang Kardus, 2008. g. Posters Land For Farmers Cultivators, Woodcut print on
paper, 40cm x 52cm, 1999
h. Poster “Tanah Untuk Petani Penggarap”, cukil kayu di
atas kertas, 40cm x 52cm, 1999. h. All images are the result of the Joint Workshop Poster
Farmers Wonosobo, woodcut print on paper, 42cm x
i. Semua gambar adalah hasil workshop poster 50cm, 2004
bersama petani Wonosobo, cukil kayu di atas kertas,
42cm x 50cm, 2004. i. Wayang Cardboard, 2008
j. Wayang Kardus, 2008. j. Above Stand Alone Power of Food, Mixed Media, Acrylic
on canvas, 300cm x 500cm, 2009
k. “Berdiri Diatas Kekuatan Pangan Sendiri”, mixed
media, acrylic di atas kanvas, 300cm x 500cm, 2009. k. Wayang Cardboard, 2008
l. Wayang Kardus, 2008. l. Wayang Cardboard, 2008
m. Wayang Kardus, 2008. m. All Pictures taken from the People’s horn
n. Semua Gambar diambil dari zine Terompet Rakyat. n. Reject Poster Party that does not fight for the Rights of
farmers, offset printing, 44cm x 63cm, 2004
o. Poster “Tolak Partai Yang Tidak Memperjuangkan
Hak-hak Petani”, offset printing, 44cm x 63cm, 2004. o. Calendar Poster Series, “Welcoming the Farmer’s Day”,
Woodcut print on paper, 51cm x 58cm, 2005
p. Seri Poster Kalender, “Menyambut Hari Tani”, cukil
kayu di atas kertas, 51cm x 58cm, 2005. p. Banner scarecrow, Acrylic on canvas, 1999
q. Banner Festival Memedi Sawah, acrylic di atas q. Cardboard Puppet
kanvas, 1999. r. All Pictures of some activities together Comrade Taring
r. Wayang Kardus. Padi Network
s. Semua Gambar dari beberapa kegiatan Taring Padi s. All Images are Wayang Cardboard Solidarity Rejection
bersama Kawan Jaringan. Kulonprogo Iron Sand Mine, 2009
t. Seri Poster Penolakan Tambang Pasir Besi t. People’s trumpet XXX Edition, July-August, pages 15-16,
Kulonprogo, cukil kayu di atas kertas, 2009. 2001
u. Seri Poster Penolakan Tambang Pasir Besi u. Series Banner “Populist Democratic Culture”, Acrylic on
Kulonprogo, cukil kayu di atas kertas, 2009. canvas, 270cm x 300cm, 2001
v. Seri Poster Penolakan Tambang Pasir Besi v. Poster Series Rejection Iron Sand Mine Kulonprogo,
Kulonprogo, cukil kayu di atas kertas, 2009. Woodcut print on paper, 2009
w. Zine Terompet Rakyat, edisi XXX, Juli-Agustus, hlm. w. Land For People, Acrylic on canvas, 140cm x 200cm,
15-16, 2001. 2000
x. Semua gambar adalah wayang kardus solidaritas
Penolakan Tambang Pasir Besi Kulonprogo, 2009.
y. “Tanah Untuk Rakyat”, acrylic di atas kanvas, 140cm
x 200cm, 2000.

276
277 (a)
(b)
278
Bab XI
Kondisi Manusia dalam Persoalan
Lingkungan

Marco Kusumawijaya

Dengan popularitas isu perubahan iklim ber-


samaan dengan figur Al Gore, orang mudah
melupakan bahwa ada banyak masalah
lingkungan lain yang tidak berkaitan dengan
perubahan iklim. Misalnya, terancamnya dan
menurunnya keanekaragaman hayati atau
kelangkaan air. Masalah-masalah ini memang
diperburuk oleh perubahan iklim, namun relatif
telah ada tanpa disebabkan atau menyebabkan
perubahan iklim secara langsung.
Sementara itu, dalam pengertian
‘kelestarian’ (sustainability) sendiri, yang ter- (c)
cakup bukan hanya kelestarian dalam hal
lingkungan tapi juga sosial dan ekonomi. Kini kita Chapter XI

menyadari bahwa masalah lingkungan sangat The Human Condition in Environmental


terkait dengan masalah ketidakadilan sosial dan Issues
ekonomi.
Dalam konteks tersebut, perhatian
Taring Padi pada masalah petani dan pertanian Marco Kusumawijaya
bahkan semakin penting sekarang dan di masa
mendatang. Sebab yang menonjol dalam
perhatian Taring Padi adalah kondisi manusia Al Gore’s popularity along with the issue of
itu sendiri. Masalah lingkungan memang bukan climate change has made it easy to forget that
‘masalah lingkungan’, melainkan ‘masalah there are many other environmental issues that
manusia’. Kita tidak perlu ‘menyelamatkan’ do not concern climate changes. For instance,
alam, melainkan menyelamatkan manusia itu the decline of and the impending extinction
sendiri karena manusia adalah satu-satunya of a variety of plants and the scarceness of
spesies yang bisa membuat keputusan dengan water. Although these issues are exacerbated
sadar, bukan hanya berdasarkan insting atau by climate change, they already existed without
kebiasaan, dengan mempertimbangkan yang being directly caused by or being the cause of
279
lain di waktu dan ruang climate change.
yang berbeda. Keputusan Meanwhile, in
ada di tangan manusia. the understanding of
Bahkan kalau sumber sustainability itself, what
energi matahari gratis is encompassed is not
se-panjang hari pun, just sustainability in an
manusia masih harus environmental sense,
memutuskan mau but also in a social
berjemur di pagi hari and economic sense.
atau sepanjang hari. We now realize that
Pada jantung environmental issues
persoalan lingkungan are directly connected
yang disebabkan to social and economic
oleh eksploitasi injustices.
berlebihan dan I n
sembarangan atas that context, Taring
sumber daya alam Padi’s concern for
selama dua setengah farmers and agriculture
abad terakhir, terdapat is becoming more
ketidakadilan dalam important and will
banyak hal dan bentuk yang mengorbankan (d) continue to do so in the time to come. Because
banyak manusia. Itulah sebabnya pewacanaan what stands out from Taring Padi’s awareness of
masalah lingkungan oleh Taring Padi yang environmental issues is their concern towards
menonjolkan keadaan manusia memiliki makna the human condition. The issue of environment
dan kritik tersendiri. is not an “environmental problem” but a “human
Sehubungan dengan perubahan iklim, problem”. We don’t have to “save” nature, but
pangan sendiri menjadi sangat penting karena save the humans themselves by helping them to
merupakan salah satu sumber besar CO2 learn how to make the correct decisions based
dan berkaitan dengan banyak masalah lain. on conscious awareness, instead of only instinct
Baru-baru ini dihitung, misalnya, 25 persen or habit. Decisions lie in human hands. For
dari emisi CO2 di Swedia yang disebabkan instance, the sun may provide an endless source
gaya hidup pribadi berasal dari pangan, sama of free energy all day long, but humans still have
banyaknya dengan yang berasal dari hunian dan to decide whether or not to bathe in sunlight in
transportasi. Dari 25 persen itu, 50 persennya the morning.
berasal dari konsumsi daging yang besar oleh At the heart of environmental issues
masyarakat Swedia. 1 caused by the over-exploitation of natural
Pangan semakin menjadi satu-satunya resources in the last two and a half decades
are many forms of injustice that have made

280
mata rantai yang masih menghubungkan victims of many people. This is why Taring
manusia secara langsung dengan alam. Tapi Padi’s environmental discourse emphasizing the
hubungan ini pun makin terancam oleh human condition contains its own significant
pengemasan, pengolahan, dan komodifikasi meanings and critiques.
yang berlebihan. Setidaknya, kita makin tidak In relation to climate change, food
tahu asal-usul makanan kita, cara-cara ia production has become a very important issue
ditanam dan dipelihara, apalagi tentang orang because of its high emissions of CO2, as well
per orang yang melakukan semua itu, yaitu para as being connected to many other issues. It
petani. was recently calculated that in Sweden, 25%
Oleh sebab itu, perkembangan upaya of CO2 emissions come from food production,
pertanian organik kini membersitkan juga the same percentage as from residents and
sesuatu yang sangat penting: hubungan yang transportation. 50 percent of the 25 percent

(e) 281
(f)

intim antara petani dan pelanggannya. Karena comes from the extensive use of meat products
kebetulan yang menguntungkan, yaitu penetrasi by the Swedish people.1
pangan organik ke dalam jaringan distribusi Food seems to be the only thing linking
arus-utama masih lemah, maka umumnya humans directly with nature. But excessive
pangan organik mencapai pelanggan melalui packaging, processing, and modification slowly
hubungan pendek, bahkan langsung dari threaten this link. Basically, it becomes harder
tangan petaninya sendiri. Pelanggan tahu nama for us to know where our food is coming from;
petaninya, begitu juga sebaliknya. Pelanggan how it’s grown and cultivated, let alone about
tahu bagaimana pangannya diproses. Petani the people involved in that.
tahu mengapa pembelinya menginginkan Therefore, the development of orga-
pangannya. Karena itu, sering terjadi hubungan nic farming also signifies something very
intim yang terbuka dan saling menghormati. important: an intimate link between the grower
Pangan menjadi berperan vital kembali dalam and the customer. Fortunately because of the
hubungan antara sesama manusia dan antara lack of penetration of organic foodstuffs into
manusia dengan alam. Petani dan pelanggan the mainstream food market, generally organic
tidak tereduksi hanya menjadi ‘produsen’ dan foodstuffs reach the buyer through a short
‘konsumen’ yang abstrak, melainkan menjadi chain of exchanges; often customers will even
makhluk sosial yang saling kenal nasib masing- receive the foodstuffs directly from the growers.
masing. Melalui pertanian organik, terbuka Customers and growers know each other by

282
283
(g)
(h) 284
kembali hubungan yang mengalir dua arah name. The growers know why the customer
antara kota dan desa, antara alam-budaya dan wants their goods. That’s why there often
alam-lingkungan. Apalagi kalau pertanian itu ada comes about an intimate and open connection
di dalam kota, yang kini menjadi aspirasi yang of mutual respect. Food has reclaimed its vital
meningkat penting: hubungan antara kota dan role in inter-human relations, as well as human-
desa menjadi cair lagi, dengan masing-masing nature relations. Growers and customers are
tidak lagi menjadi kategori yang eksklusif. no longer reduced to the abstract entities of
Melalui karya dan kegiatan keseniannya, “producers” and “consumers”, but now have
Taring Padi juga melihat masalah yang cukup become social animals that are aware of and
beragam seputar petani dan pertanian, antara acknowledge each other’s conditions. Organic
lain, masalah kelangkaan lahan di perdesaan farming has reopened the two-way street
dan perkotaan. Isu ini kini penting juga karena between cities and rural areas, nature and
perlunya mengembangkan pertanian di culture, nature and the social environment.
dalam wilayah perkotaan sebagai bagian dari Especially so with farms that being grown in
kelestarian. Pertanian perkotaan kini telah the city have become an increasingly important
menjadi salah satu program penting untuk kota aspiration: the relationship between cities and
yang lestari dan terus diperjuangkan. rural areas return to being fluid, with each entity
Masalah pestisida dan rekayasa genetika shedding their exclusivity.
yang juga disinggung oleh Taring Padi, terangkum Through their works and artistic
dalam penolakan oleh gerakan pertanian activities, Taring Padi also saw various problems
organik, yang sebenarnya sudah dimulai pada in regard to growers and cultivation, for example:
awal 1970-an, setidaknya di Jepang (Takahata, the scarcity of land in cities and rural areas. This
Prefektur Yamagata). Perjalanan masih panjang issue is now also important due to the need
untuk menjadikan pertanian organik sebagai to develop agriculture in urban areas as part
arus-utama. of overall sustainability. Urban agriculture has
Namun, ada kenaifan dalam presentasi become an important project that we need to
karya-karya Taring Padi. Pihak elit digambarkan continue to fight for.
dalam figur-figur besar individualistik dengan The issues of pesticides and genetic
stelan jas sedangkan pihak petani atau engineering, which is also challenged by Taring
masyarakat digambarkan berupa massa yang Padi, have been summarized in the rejection by
terdiri dari figur-figur kecil papa dengan pakaian the organic farming movement, which actually
compang-camping. Tetapi kenaifan ini terjadi began in the early 1970s, at least in Japan
karena karya-karya ini ditujukan kepada para (Takahata, Yamagata Prefecture). The road to
petani dan untuk membangun kesadaran tentang making organic farming mainstream is still a
perlunya perjuangan melawan ketidakadilan long one.
eksploitasi. But there’s a certain naïveté in the works
Taring Padi juga mengangkat masalah- by Taring Padi. The elite are often depicted in
masalah limbah industri, nuklir, dan soal-soal large individualistic figures in suits, while the

285
lingkungan lain yang lebih rumit seperti “Efek farmers are depicted as small figures in tattered
Rumah Kaca” dan “Hijaukan Hutan”. Tetapi clothing. This naïveté appears because the
kelihatannya dalam hal petani dan pertanian, works are intended for an audience of growers
karya-karya Taring Padi tampak lebih hidup who are not always art-conscious to rebuild
dengan penggambaran tubuh petani yang nyata their awareness in the need to struggle against
dan dihayati secara interaktif. injustices and exploitation.
Yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa Taring Padi also tackles issues such as industrial
Taring Padi mempraktikkan seni performance and nuclear waste, as well as other more complex
secara partisipatif dengan masyarakat (petani). environmental issues such as the Greenhouse
Bahan-bahan yang akrab di kalangan petani Effect and “Revitalizing Forests”. But it seems, in
seperti daun, jerami, dan padi, juga diangkat the case of agriculture and its practitioners, the
sebagai material proses kreatif. Ini setidaknya works of Taring Padi often appear more “alive”
memiliki dua kepentingan. Pertama, mengajak in their depictions of farmers and growers which
petani berkesenian dengan bahan-bahan yang they draw from their lived experiences.
diakrabinya. Kedua, mengangkat bahan-bahan What cannot be ignored is that Taring
itu menjadi memiliki makna simbolik yang dapat Padi practices participatory performance art
dikomunikasikan, baik sebagai representasi diri with the people. Materials common to growers
maupun sebagai suatu bahasa yang terkodifikasi such as leaves, hay, and rice are often used as
untuk menyampaikan pesan kepada ruang materials for the creative process. This practice
publik yang lebih luas. serves two purposes: Firstly, to involve the
Sedangkan dunia petani itu sendiri growers in creating art with materials they
menjadi panggung, tempat terjadinya kesenian. are familiar with, and secondly, to evoke easy
Ini punya potensi formal (alam sebagai latar to communicate symbolic meanings with
artistik) maupun potensi simbolik (sebagai those everyday objects. It serves the purpose
sumber pesan dan pesan itu sendiri). Selain of facilitating self-representation, as well as
itu, dunia petani dan para petani nampaknya delivering messages to a wider public through
codified language.
Meanwhile rural life itself has become
a stage where art is presented. This has the
potential to be formal (nature as background for
art) or symbolic (as not only the messenger, but
as the message itself). Other than that, the rural
life of the growers also seems to be intended
as a vehicle for the potential (re)genesis of
authentic and original art. Also, artistic media
and forms such as banners, woodcuts, open-air
(i) installations, murals, and posters are intended
for public consumption as well as a form of
287
(j)
(k)

dimaksudkan juga sebagai potensi (re)genesis action or call to action.


kesenian yang otentik dan orisinal. Selain itu, Overall the shape, format and methods
format dalam bentuk baliho, cukil kayu, instalasi of representation in the works and practices of
di alam terbuka, mural maupun poster adalah art by Taring Padi are consistent with their goal to
medium untuk orang banyak serta untuk aksi. tackle social issues by elevating the presence of
Secara menyeluruh, ada konsistensi those who have thus far been marginalized and
antara bentuk, format, dan cara-cara lost out in regard to environmental management
representasi pada karya dan praktik kesenian issues.
Taring Padi dengan tujuannya mengangkat soal- We have now entered an “Age of
soal sosial melalui kehadiran manusia yang Ecology”. All humankind is moving together to
berada pada sisi yang sementara terkalahkan save itself from the calamities of the climate
dalam pengelolaan lingkungan. change. But besides, what is really more
Kita sekarang memasuki awal ‘zaman important and more fundamental is that we
ekologis’. Seluruh kemanusiaan sedang ber- now have the opportunity to finally build an
gerak bersama untuk menyelamatkan diri entirely different way of life, a sustainable one
dari bencana perubahan iklim. Bersamaan that encompasses social and economic equality.

288
dengan itu, sebenarnya yang lebih penting dan The changes that need to be made for this to
mendasar lagi adalah bahwa sedang terbukanya come about range from the surface, such as
sebuah kesempatan untuk membangun suatu behavior, to deeper rooted issues such as values.
kehidupan alternatif yang lain sama sekali, The practice of art can help this process of
yang lestari, yang mencakup keadilan sosial change, not just by acting as a mirror to society,
dan ekonomi. Perubahan yang diperlukan itu but also as a critical dialectic antithesis. What
terdiri dari yang di permukaan, seperti perilaku, Taring Padi has pioneered can surely blossom
sampai ke yang mendalam, seperti nilai-nilai. in the aforementioned wider perspective,
Praktik kesenian dapat membantu agar proses while remaining critical towards the threat of
perubahan itu bukan hanya sebagai cermin dari pragmatic instrumentalization.
masyarakat, tapi sebagai antitesis dialektis yang
kritis. Apa yang telah dirintis oleh Taring Padi Endnote:
dapat berkembang dalam perspektif yang lebih 1 Herald Tribune, 23 October 2009.

luas itu, dengan tetap kritis terhadap ancaman


instrumentalisasi kesenian yang pragmatis.

289
290
(l) (l)
(m)

291
292
(n)

293
(o)

294
Indeks Gambar Picture Index
Bab XI Kondisi Manusia dalam Persoalan Chapter XI Environment
Lingkungan

a. Carnival Tragedy Warnings 4 years Lumpur Lap-


indo, Porong-Sidoarjo, 2010
a. Karnaval Peringatan 4 tahun Tragedi Lumpur
b. All Pictures taken from HasilWorkshop Etching for
Lapindo, Porong-Sidoarjo, 2010.
postcards that divided free on Earth Day, Etching,
b. Semua gambar diambil dari hasil workshop Etsa 20cm x 23cm, 2005
untuk kartu pos yang dibagi gratis pada Hari
c. Save the Earth or Towards Destruction, Woodcut
Bumi, Etsa, 20cm x 23cm, 2005.
print on paper, 40.5 cm x 53.5 cm, 1999
c. “Selamatkan Bumi atau Menuju Kehancuran”,
d. People trumpet Edition June-July, page 6, 2003
cukil kayu di atas kertas, 40,5cm x 53,5cm,
1999. e. Anti-Nuclear Banner, acrylic on canvas, 250cm x
300cm, 2007
d. Zine Terompet Rakyat, edisi Juni-Juli, hlm. 6,
2003. f. Time, 38 Paintings Aspects six sewn into one,
135cm x 234cm, 2007
e. Banner “Anti Nuklir”, acrylic diatas kanvas,
250cm x 300cm, 2007. g. Poster Series Rejection Cement Gresik in Pati,
Central Java, Woodcut print on paper, 40cm x 60cm,
f. “Sisa”, 38 Lukisan Segi 6 dijahit dijadikan satu,
2009
135cm x 234cm, 2007.
h. Poster Series Rejection Cement Gresik in Pati,
g. Seri Poster Penolakan Pabrik Semen Gresik di
Central Java, Woodcut print on paper, 40cm x 60cm,
Pati, Jawa Tengah, cukil kayu di atas kertas,
2009
40cm x 60cm, 2009.
i. All Pictures taken from Cardboard Puppet Tragedy
h. Seri Poster Penolakan Pabrik Semen Gresik di
Warnings 4 years Lumpur Lapindo, 2010
Pati, Jawa Tengah, cukil kayu di atas kertas,
40cm x 60cm, 2009. j. Rejection Solidarity Banner Kulonprogo Sand
Mine, Acrilic on cloth, 90cm x 600cm, 2010
i. Zine Terompet Rakyat, edisi September-
Oktober, hlm. 18, 2003. k. Insert trumpet XXVI People’s Edition of March,
page 8, 2001
j. Semua gambar diambil dari Wayang Kardus
Peringatan 4 tahun Tragedi Lumpur Lapindo, l. All Pictures taken from the People’s horn
2010.
m. “All Mining Is Dangerous”, Woodcut print on
k. Banner Solidaritas Penolakan Tambang Pasir canvas, 122 cm x 242 cm, 2010
Besi Kulonprogo, acrilic di atas kain, 90cm x
n. Banner Studio caping, “Stop the Exploitation of
600cm, 2010.
Nature”, 272cm x 300cm, Acrylic on canvas, 2001
l. Semua Gambar diambil dari Zine Terompet
Rakyat.
m. Insert Zine Terompet Rakyat, edisi XXVI, Maret,
hlm. 8, 2001.
n. “All Mining Is Dangerous”, cukil kayu di atas
kanvas, 122 cm x 242 cm, 2010.
o. Banner Sanggar Caping, “Hentikan Eksploitasi
Alam”, 272cm x 300cm, acrylic di atas kanvas,
2001.

295
296
(a)

297
298
Bab XII
Membangun Jaringan Kebudayaan Global

Alexandra Crosby

Dalam satu dasawarsa sejak pembentukannya,


Taring Padi telah begitu banyak terlibat dalam
proyek-proyek internasional. Di Australia, The
Adelaide Festival, Gang Festival, ‘We Refuse
to Become Victims’ dan if you see something
say something hanyalah sejumlah kecil acara
yang menampilkan kelompok ini. Di Amerika,
Malaysia, dan Eropa, daftar ini meluas menjadi
jejaring kerja yang rumit dan tumbuh subur.
Hal tersebut bisa jadi mengejutkan
mengingat santai dan kecilnya kelompok ini. (b)
Jadi, kolaborasi macam apakah yang telah
membentuk jejaring global ini? Bagaimana cara Chapter XII
kerjanya? Dan mengapa ia penting?
Growing Global Cultural Networks

Baik badut maupun profesor disambut baik:


jaringan sebagai praktik
Alexandra Crosby
Kerja berjejaring Taring Padi sama sekali bukan
praktik standar dalam dunia seni internasional.
Komitmen mereka terhadap sebentuk demokrasi
horisontal yang unik serta terhadap kebijakan In the decade since its formation, Taring Padi has
pintu terbuka yang kukuh, berarti bahwa bagi taken a lion’s share of international projects. In
para kurator, penulis, penyelenggara, juga se- Australia, The Adelaide Festival, Gang Festival,
sama seniman, segala hubungan dikembangkan ‘We Refuse to Become Victims’ and if you see
langsung antarmanusia, bukan melalui birokrasi. something say something are just a few events
Datanglah ke kampung Taring Padi, lebih bagus that have featured the collective. In America,
sambil membawa sajian gorengan atau makanan Malaysia, Singapore, and Europe, the catalog
kecil lainnya, dan mengobrollah. expands to a thriving and tangled web of working
Inilah jaringan kerja dengan pendekat- relationships.

299
an “nongkrong”. Tak ada formulir aplikasi This may be surprising considering
yang harus diisi, surat kontrak tak banyak di- the small, informal nature of the group. So,
tandatangani, dokumentasi sangat jarang, tetapi what kinds of collaborations form these global
jejaring diciptakan melalui praktik sosial berupa networks? How do they work? And, why are
percakapan yang dibagi dalam ruang-ruang they important?
kreatif bentukan Taring Padi. Praktik nongkrong
yang khas Indonesia ini memungkinkan pe- Clowns and professors welcome: networks as
nyusupan orang-orang asing, termasuk peneliti practice
seperti saya, ke dalam berbagai adegan budaya
Taring Padi’s networking is hardly standard
yang digambarkan di sini. Praktik ini juga
practice in the international art world. Their
telah ditafsir, diperluas, dan dirayakan di luar
commitment to a unique form of horizontal
Indonesia, contohnya dalam kegiatan Gang
democracy as well as a resolute open-door
Festival.1
policy means that for curators, writers,
Namun, ruang Taring Padi lebih
organisers, as well as other artists, relationships
daripada sekadar “scene” dalam artian sosial.
are developed directly between people, not
Dalam berbagai proyek, energi produktif yang
through bureaucracies. Show up to Taring Padi’s
timbul dari acara nongkrong telah menjadi
kampung (neighbourhood) preferably bearing

(c)
(d)

daya penggerak, sementara jaringan kerja an offering of gorengan (fried snacks) or other
menumbuhkan lebih banyak lagi peserta. delectable and have a chat.
Kebanyakan pengunjung Taring Padi, This is the nongkrong (hang out)
bahkan yang paling tak artistik sekalipun, dapat approach to networking. Application forms
bersaksi telah melukis sesudut mural dalam aren’t filled in, contracts are rarely signed,
kepungan asap kretek atau mengalihkan beban documentation is sporadic, but networks
tubuh mereka dari satu kaki ke kaki lainnya are generated through the social practice of
seraya mencetak poster cukil kayu. baru-baru conversation shared in the creative spaces that
ini, studio dan perpustakaan baru di Sembungan Taring Padi produces. The particularly Indonesian
dibangun bergotong-royong, dengan ember- practice of nongkrong has enabled infiltration
ember semen yang disalurkan secara berantai by many foreigners, including researchers such
lewat tangan-tangan para tamu juga warga as myself, into the cultural scenes described
setempat. here. It has also been interpreted, extended,
Lingkungan kerja sama spontan sema- and celebrated outside Indonesia, for example
cam itu, tentu saja, bukannya tanpa masalah. in Gang Festival activities.1
Bagaimana dengan soal menaati tenggat? Yet Taring Padi’s space is more than just
Pembukuan anggaran? Mengatasi pengucilan a ‘scene’ in the social sense. In many projects,
sosial? Semua itu merupakan tantangan dalam the productive energy that emerges from

301
jaringan kerja yang tidak seimbang di mana para nongkrong becomes the driving force, as the
partisipan bekerja dengan berbagai skala waktu network generates participants. Most visitors
dan tuntutan eksternal. Bagi mereka yang beker- to Taring Padi, even the least artistic amongst
ja dalam lembaga-lembaga, ketidakkonsistenan us, can attest to painting a corner of a mural
semacam itu kadang-kadang terasa amat tak in a cloud of kretek smoke or shifting their
nyaman. bodyweight from foot to foot to print woodcut
Namun, keterlibatan yang kadang sulit posters. Most recently, the new library and
dan tak nyaman ini sesungguhnya sangat penting studio at Sembungan was built gotong royong
bagi jejaring tersebut beserta segala arus (co-operative) style, with buckets of cement
budaya yang mengalir di antaranya. Antropolog passed along chains of visiting as well as local
Anna Tsing menggunakan metafora “friksi” hands.
bagi interaksi sosial yang sering terabaikan dan Such a spontaneous collaborative
hampir selalu berkonflik, yang membentuk setting is, of course, not without problems.
suatu keterhubungan global yang kreatif.2 What about meeting deadlines? Accounting for
Memelihara rasa percaya pada friksi ini budgets? Overcoming social exclusions? These
mungkin merupakan keunggulan utama Taring are indeed challenges in uneven networks
Padi selama ini, seraya mereka menumbuhkan where participants work with different external
jaringan kerja yang beraneka serta luas. demands and time scales. For those of us who
Hubungan dengan Goethe-Institut, contohnya, find ourselves situated within institutions,

(e)
(f)

berarti bahwa melalui berbagai rekanan such inconsistencies can occasionally become
global lembaga tersebut, Taring Padi berhasil uncomfortably apparent.
mengumpulkan dana besar untuk pulih dari What are sometimes awkward, sticky
bencana gempa 2006. Di ujung lain spektrum engagements, however, are fundamental to
ini, kemitraan yang berlanjut dengan Cyclown these very networks and the cultural flows
Circus, yang berkeliling dunia dengan sepeda- between them. Anthropologist Anna Tsing
sepeda tinggi, telah membuat aliran pengunjung uses the metaphor of ‘friction’ for these often
selama beberapa tahun terakhir, yang kerap overlooked, and almost always conflicted
kalau bukan rutin, mengunjungi lokakarya- social interactions that form creative global
lokakarya akrobat di kampung. Dan di antara connectedness.2
kedua parameter ini terdapat berbagai toko Nurturing a trust in this friction is perhaps
buku anarkis, galeri komersial, para penghuni what Taring Padi has been so good at over the
gedung-gedung kosong, dan ruang-ruang yang years, growing a network as diverse as it is wide.
dijalankan para seniman di seluruh dunia, yang Connections with the Goethe (German Cultural
memupuk akar jejaring global mereka bersama. Institute), for example, meant that through
the many global affiliates of the institution,
Melampaui model “seniman residen”
(artist-in-residence) Taring Padi was able to accumulate significant
funds for recovery from the 2006 earthquake.

303
304
(g)
305
At the other end of the spectrum, an ongoing
Lalu apa makna jaringan kerja ini bagi para partnership with the Cyclown Circus, who travel
seniman yang bernaung di dalamnya? Dengan the world on self assembled bicycles, has lead to
sejumlah biennale dan pameran-pameran a stream of visitors over the last few years and
besar lainnya di panggung internasional, para frequent, if not regular, acrobatics workshops
seniman sekarang diharapkan untuk kian gesit in the kampung. And within these parameters
berpindah, dari manapun mereka berasal. Para are anarchist bookshops, commercial galleries,
kritikus, pemirsa (dan banyak seniman), menaik- squats, and artist run spaces all over the world
kan nilai kondisi nomaden dan kebutuhan akan fertilizing the roots of their shared global
keterpindahan (displacement), yang telah network.
melekat dalam ide kita tentang keberhasilan
artistik.3 Beyond the ‘artist-in-residence’ model
Tapi kanon seni internasional meman-
So what do these networks mean for the artists
dang Taring Padi juga sebagai sesuatu dari
within them? With the number of biennales
“tempat yang lain”. Taring Padi termasuk di
and other large survey exhibitions on the
antara golongan seniman yang, oleh wacana
international stage, artists today are expected to
sama yang juga menuntut kesementaraan,
be increasingly mobile, wherever they are from.
diharuskan memelihara suatu identitas yang
Critics, audiences (and many artists) valorize
berakar pada situasi lokal dan mudah terbaca
the nomadic condition and the necessity of
demikian oleh para pemirsa global. Karena
displacement that have become so deeply
kanon ini membutuhkan hanya segelintir
embedded in our ideas of artistic success.3
bintang seni Indonesia, yang merupakan
But Taring Padi is also defined by
nomaden kosmopolitan dan secara bersama-
the international art canon as being from
an tetap “Indonesia”, kebanyakan hanya ada
‘somewhere else’. They are amongst the class of
sedikit seniman seperti itu sejauh ini. Apa yang
artists also required, by the very same discourses
digambarkan oleh seniman asal Nigeria dan
that require transience, to maintain an identity
seorang intelektual publik, Olu Oguibe, sebagai
grounded in local situations and legible as such
“kartu perbedaan” dapat dipakai ratusan kali
to a global audience. Because this canon has
hanyalah dalam permainan budaya yang kita
the need for only a limited number of individual
kenal sebagai seni global kontemporer.4
Indonesian art stars, those living simultaneously
Dengan memilih kolektivitas sebagai
as cosmopolitan nomads and remaining
inti kerjanya, Taring Padi menentang beberapa
‘Indonesian’, have, for the most part, only been
parameter paradoks dunia seni tersebut. Salah
a handful. What Olu Oguibe, the Nigerian artist
satu strategi yang diambil adalah melalui
and public intellectual, describes as ‘the card of
pendekatannya terhadap program seniman
difference’ can only be played so many times in
residensi (artist-in-residence). Sementara
the culture game that is contemporary global
jumlah program seperti ini terus bertambah,
art.4
model kerjanya tak berubah. Apakah berdasar-

306
kan keterlibatan sosial ataupun pengucilan
produktif, program-program seperti ini biasanya
masih dirancang sebagai pemberian peluang
bagi seniman individu, dan memandang ber-
bagai pendekatan budaya yang berbeda dalam
berkarya sebagai sesuatu yang eksotis, bukannya
mengawinkan bermacam pendekatan budaya
yang berbeda-beda tersebut.
Ketika Taring Padi telah dikenal karena
(h)
keberanian politiknya dan keterampilannya
yang tak tertandingi, sebagaimana ditunjukkan Taking collectivity as its core, Taring Padi
dalam esai-esai lainnya dalam buku ini, berbagai contests some of these paradoxical parameters
peluang muncul bagi para individu anggota- of the art world. One strategy is through its
nya untuk menghabiskan waktu mencipta dan approach to artist-in-residence programs. While
mengadakan pameran secara internasional. the number of these programs is growing,
Pada dasarnya, cara menjawab berbagai the model of how they function remains
undangan tersebut adalah sebagai berikut: 1) TP remarkably unchanged. Whether based on
menerima undangan. 2) TP mengadakan rapat social engagement or productive seclusion,
dan mempelajari suatu daftar mutakhir ang- they are usually still designed as opportunities
gota aktifnya (para anggota akan ditambahkan for individual artists, exoticising rather than
di urutan terakhir daftar saat mereka dianggap integrating different cultural approaches to art
cukup aktif untuk mewakili kelompok). 3) Ang- making.
gota TP di urutan teratas daftar akan ditawari As Taring Padi has become known for its
kesempatan untuk mewakili kelompok. 4) Saat political courage and unrivaled craftsmanship,
undangan diterima, dilakukan persiapan untuk as shown in other essays in this volume,
membuat paspor, visa, dan semacamnya. 5) opportunities have come up for individual
Saat kembali ke Indonesia, nama anggota TP members to spend time producing and exhibiting
tersebut kembali dimasukkan ke daftar di urutan internationally. Responding to invitations has
terbawah. basically worked like this: 1) TP receives an
Selain adil, pendekatan urut kacang invitation. 2) TP holds a meeting and consults
semacam ini menunjukkan pendekatan kolektif a running list of active members (members are
yang sesungguhnya terhadap kerja global, dan added to the bottom of the list as they become
fokusnya adalah apa yang bisa dibawa oleh active enough to represent the collective). 3)
para anggota dari pengalaman global mereka, TP member at the top of the list is offered the
saat mereka pulang kampung nanti. Strategi ini opportunity to represent the collective. 4) Upon
muncul alamiah bagi Taring Padi yang memiliki acceptance of the invitation, arrangements are
tradisi sendiri dalam hal nomadenisme, yang made for passport, visa, etc. 5) Upon return to
berakar dari kegiatan ngamen serta kebutuhan Indonesia, TP member goes to the bottom of

307
(i) 308
banyak orang Indonesia untuk pergi jauh dari the list again.
rumah untuk bekerja atau belajar, sembari tetap Besides being remarkably fair, this
menjaga hubungan dengan asal-usul mereka. round robin approach shows a real collective
Begitu di luar negeri, anggota Taring Padi approach to working globally where the focus
jarang sekali ditemukan terkucil dalam studio, is on what members can bring back from there
untuk membuat “seni untuk seni”. Yang lebih global experiences when they pulang kampung
mungkin terjadi adalah mereka menyiapkan (come back to the neighbourhood). The strategy
lokakarya cukil kayu dengan para pekerja garmen comes somewhat naturally to Taring Padi, who
(Thailand, 2009), melukis dengan komunitas has its own traditions of nomadism, rooted in
masyarakat asli yang terpencil (Australia, 2002 ngamen (busking) and the necessity for many
dan 2008), memprotes penahanan pengungsi Indonesians to travel far from home for work
secara tidak sah (Australia, 2002) atau or study, while maintaining connections to their
memetakan ketidak-adilan pemerintah mereka origins.
sendiri (Timor Leste, 2006) Once abroad, Taring Padi members are
Sementara kegiatan semacam itu hardly ever found isolated in a studio making ‘art
sering secara spontan disisipkan di antara for art’s sake’. More likely, they will be putting
berbagai persyaratan resmi saat sang seniman together an unexpected woodcut workshop
berada “dalam residensi”, kegiatan-kegiatan with garment workers (Thailand, 2009),
ini menunjukkan betapa para anggota Taring painting with remote Indigenous communities
Padi menilai diri sebagai lebih daripada (Australia, 2002 and 2008), protesting unlawful
sekadar seniman. Mereka pergi dan kembali ke detention of refugees (Australia, 2002), or
komunitas mereka sebagai aktivis kebudayaan, mapping the injustices of the own government
pendidik, dan agen sosial (social advocate). (East Timor, 2006). While such activities often
Berbagai gerakan lokal merupakan makanan get slipped in spontaneously between formal
bergizi yang memelihara jaringan mereka dan requirements when an artist is ‘in residence’,
memaksimalkan kualitas hubungan budaya they demonstrate that Taring Padi members
internasional. Ketimbang sekadar mendukung see themselves as much more than artists. They
karir individu, program-program residensi ter- depart and return to their community as cultural
sebut adalah tentang pengembangan budaya activists, educators, and social advocates. Such
berbasis komunitas dan keyakinan bersama local diversions are the nourishing roots of the
bahwa globalitas dapat sungguh-sungguh men- network, maximizing the quality of international
ciptakan lokalitas. cultural connections. Rather than only advancing
Ruang nongkrong yang tercipta, individual careers, this is about community-
kepercayaan pada friksi yang inheren dalam driven cultural development and a collectively
kolaborasi global, dan komitmen terhadap held belief that globality can truly generate
kolektivitas, menguntungkan Taring Padi dan locality.
memampukannya mengembangkan jejaring The nongkrong space it creates, the trust
yang dapat meningkatkan pemahaman dengan

309
cara memelihara perbedaan. Ketika kelompok in the friction inherent in global collaborations,
ini beradaptasi terhadap berbagai perubahan and a commitment to collectivity put Taring Padi
teknologi komunikasi yang membuat jejaring in good stead for growing networks that can
tersebut semakin rumit, kita pasti akan increase understanding by nurturing difference.
menjumpai lebih banyak lagi tunas yang tumbuh As the collective adapts to the changes in
di berbagai tempat yang paling tak terduga. communication technologies that make such
networks increasingly complex, we are sure to
see many more sprouts popping up in the most
unexpected places.

Endnote:
1 Suzan Piper, “A commentary on hanging out:
Endnote:
gendered public space in the Bali underground
music scene,” dalam Alexandra Crosby, Rebecca 1 Suzan Piper, ‘A commentary on hanging out:
Conroy, Suzan Piper, Jan Cornall (ed.), gang re:Publik gendered public space in the Bali underground music
indonesia-australia creative adventures, Sydney: scene’, in Alexandra Crosby, Rebecca Conroy, Suzan
Gang Inc., 2008, hlm. 105. Piper, Jan Cornall (ed.), gang re:Publik indonesia-
australia creative adventures, Sydney: Gang Inc.,
2 Anna Tsing, Friction: An Ethnography Of Global
2008, p. 105.
Connection, Princeton: Princeton University Press,
2005, hlm. 33. 2 Anna Tsing, Friction: An Ethnography Of Global
3 Miwon Kwon, “The Wrong Place,” dalam Art Journal, Connection, Princeton: Princeton University Press,
2005, p. 33.
Vol. 59, No. 1 (2000), hlm. 33.
3 Miwon Kwon, ‘The Wrong Place’, in Art Journal, Vol.
4 Olu Oguibe, ‘Double Dutch and the Culture Game’,
59, No. 1 (2000), p. 33.
Catalogue essay for the exhibition, Yinka Shonibare:
Be-Muse, Rome, 2001, hlm. 3, www.camwood.org/ 4 Olu Oguibe, ‘Double Dutch and the Culture Game’,
Olu_Oguibe_on_shonibare.htm Catalogue essay for the exhibition, Yinka Shonibare:
Be-Muse, Rome, 2001, p. 3, www.camwood.org/
Olu_Oguibe_on_shonibare.htm

310
Indeks Gambar Picture Index
Chapter XII Growing Global
Bab XII Membangun Jaringan
Cultural Networks
Kebudayaan Global

a. Karnaval Rakyat Anti Militerisme (KARAM),


Jakarta, 2000.
b. Hasil workshop cukil kayu, project
kolaborasi 3 negara (Thailand, Buma,
Indonesia) “Under After In between”,
Chiang Mai, Thailand, 2010.
c. Banner “We Refuse to be Victim”
Kolaborasi Culture Kitchen, Australia,
Komunitas Gembel, Timor Leste, Taring
Padi, Indonesia.
d. Banner “We Refuse to be Victim”
Kolaborasi Culture Kitchen, Australia,
Komunitas Gembel, Timor Leste, Taring
Padi, Indonesia.
e. Banner “We Refuse to be Victim”
Kolaborasi Culture Kitchen, Australia,
Komunitas Gembel, Timor Leste, Taring
Padi, Indonesia.
f. Banner “We Refuse to be Victim”
Kolaborasi Culture Kitchen, Australia,
Komunitas Gembel, Timor Leste, Taring
Padi, Indonesia.
g. Semua gambar adalah kegiatan Taring Padi
bersama kawan-kawan jaringan.
h. Hasil Workshop Wayang, project kolaborasi
3 negara (Thailand, Buma, Indonesia)
“Under After In between”, Chiang Mai,
Thailand, 2010.
i. Semua gambar adalah kegiatan Taring Padi
bersama kawan-kawan jaringan.

311
312
Penulis / Authors

Dolorosa Sinaga, lahir di Sibolga, Sumatra Utara 31 Oktober 1952. Lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada tahun
1977. Melanjutkan studinya di St. Martin’s School of Art, London, Inggris. Aktif mengikuti pameran, seminar dan
workshop seni rupa di dalam dan di luar negeri. Menerima penghargaan Krida Wanodya dari Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan atas prestasinya sebagai perempuan pematung dan pendidik dalam bidang seni rupa.
Menerima penghargaan Anugrah Seni dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2008. Menjabat sebagai
Dekan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta 1993 – 2001 dan terpilih menjadi Ketua Senat Fakultas pada
tahun 2008. Saat ini masih mengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta.

Kiswondo menulis sastra di beberapa media antara tahun 80-an akhir dan 90-an awal. Pernah bekerja sebagai
pekerja budaya. Bekerja sebagai jurnalis dan peneliti di beberapa program di beberapa LSM antara tahun 1997
sampai 2004.

Martin Aleida, lahir di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, 1943. Mulai menulis cerita pendek ketika masih
duduk di sekolah menengah atas, dan cerita-ceritanya antara lain dimuat di “Harian Rakyat” yang terbit di Jakarta.
Akhir 1962 dia pindah ke Jakarta dan menjadi mahasiswa Akademi Sastra Multatuli. Menjelang akhir 1963 dia
duduk sebagai anggota redaksi majalah kebudayaan “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai Apin. Ketika rezim
militeristis Suharto merangkak merebut kekuasaan, dia sempat ditahan. Supaya bisa terjun kembalai ke dunia
tulis-menulis, zaman memaksanya mengganti nama. Dia pernah menjadi wartawan majalah TEMPO selama 13
tahun (1971-1984).

Wulan Dirgantoro, adalah kurator/peneliti dan kandidat doktor di School of Asian Languages and Studies,
University of Tasmania, Australia. Dia juga kontributor di berbagai majalah seni rupa di Australia dan Indonesia.
Saat ini tinggal dan bekerja di Melbourne.

Yayak Yatmaka, Lahir tahun 1956 di Yogyakarta, 1977, belajar di FSRD ITB jurusan Desain Grafis. 1987, mendirikan
Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) Yogyakarta. Pernah menyelamatkan diri ke Jerman karena
menjadi buronan subversif pemerintahan Orba akibat terlibat jaringan perlawanan Orba dan pengorganisasian
rakyat petani dan buruh, diantaranya lewat pembuatan Poster Kalender “Tanah Untuk Rakyat” dan “Buruh Bangkit
Bergerak”, 1991. sejak 2005 banyak tinggal tak menetap di Indonesia, setelah 13 tahun tinggal di Jerman bersama
3 anaknya.

Bambang Agung, belajar psikologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan filsafat di STF Driyarkara, Jakarta.
Kini menetap di Yogyakarta, mengasuh anak sembari kerja lepas sebagai penerjemah dan editor, dan sesekali
menulis esai sastra-humaniora di media massa. Mulai belajar mandiri tentang senirupa dan media visual,
khususnya dalam hubungannya dengan memori dan pengingatan.

Rheinhard Sirait, Lecturer at School of Liberal Arts, Regional Studies Program (Southeast Asia), Walailak University,
Thailand. Saat ini saya anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP).

Emily M. White, asli dari California utara di Amerika Serikat, dan pernah tinggal di Yogyakarta pada tahun 2005
sampai 2009. Selama waktu itu Emily banyak kerja sama Taring Padi, dan membantu berdiri Omah Buku Taring
Padi pada tahun 2008. Emily sekarang masuk kuliah S2 di School of Art & Design di University of Michigan, untuk
M.F.A. di Studio Art dengan fokus teater visual dan interdisciplinary art sampai tahun 2012.

Jeffar Lumban Gaol, Jurusan Musik IKJ 1984, meluncurkan album seri World Music bersama Deutsche Welle

313
Radio tahun 1998. Menulis blues untuk Munir dan sempat menjadi reporter majalah Tapian. Membuat illustrasi
musik untuk Air Mata ibu, Reques Concert, Surti dan tiga Sawunggaling.

Erpan Faryadi, anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) [2009-2012] dan salah satu pengurus
Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) [2008-2010]. Sejak tahun 2005-2009, merupakan Council
Member dari International Land Coalition (ILC), yang berpusat di Roma, mewakili keanggotaan lembaga swadaya
masyarakat di Asia. Menjadi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam periode 2002-2005.
Sejak kuliah di Universitas Padjadjaran pada akhir tahun 1980-an, ia telah bergelut dalam perjuangan kaum tani
Indonesia yang di masa itu tanahnya mengalami perampasan oleh rezim Orde Baru. Menikah dengan Rasmiati
Handriani pada tahun 1992, dan kemudian diberkati dengan dua anak perempuan, yakni Mia Erviana (1996) dan
Dea Erviana Nusantara Faryadi (2003).

Marco Kusumawijaya, adalah seorang arsitek dan urbanis, direktur Rujak Center for Urban Studies sejak Mei
2010, mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (Juli 2006 - Januari 2010).

Alexandra Crosby, penelitian seni, budaya dan media. Dia juga menulis, kurator pameran dan berpikir proyek-
proyek kolaborasi menarik. Dia baru-baru ini terkoordinasi Camp Sambel untuk EngageMedia. Dia berdasarkan
NSW Central Coast dengan pasangannya dan anaknya di mana dia menyelesaikan PhD pada partisipasi budaya di
ruang-ruang aktivis Indonesia.

314
Tim Kerja / Working Team

Advisory Board
Lisabona Rahman
Heidi Arbuckle
Alex Supartono

Project Officer
Fitriani Dwi Kurniasih

Assistant Project Officer


Luk Retya Trisnantari

Tim Riset dan Dokumentasi


Aris Prabawa
Hardoko
Sudandyo Widyo Aprilianto
Djuadi

Designer
Koordinator :Hestu A Nugroho
Bintang Hanggono

Cover master
Budi Santoso
Dodi Irwandi
Hardoko
Mohamad Yusuf

Print Cover
Pemuda Sembungan
Silk Screen
Agung

Transkripsi & Editor Notasi


Restiadi & Armira Syahnas Tyagita

Image Curators
Alex Supartono
Lisabona Rahman
Muhamad Yusuf
Yustoni Volunteero
Ronny Agustinus

Editor
Ronny Agustinus (sampai akhir 2009)
315
Editor Bahasa Indonesia
Ardi Yunanto
Nurzain (Zen Hae)

Penerjemah Bahasa Inggris


Koordinator : Lisabona Rahman
Penerjemah : Rani Elsanti Ambyo
Paul Fauzan Agusta
Dian Astrid Widjaja
Deanna Ramsay

Editor Bahasa Inggris


Annie Sloman
Jade Ella Trapp
Reuben

Penyelaras Akhir
Bambang Agung
Christina Schott
Lauren Parker
Menik Siti

Photographer
Paul Kadarisman
Arisendi

Penulis:
Penulis untuk setiap tema :
Kiswondo (Militerisme & SARA)
Martin Aleida (1965)
Jeffar Lumban Gaol (Musik)
Marco Kusumawijaya (Lingkungan)
Erpan Faryadi (Tani/Reforma Agraria)
Wulan Dirgantoro (Perempuan)
Emily M. White (Pendidikan)
Alexandara Crosby (Jaringan Global TP)
Dolorosa Sinaga (Sejarah TP)
Bambang Agung (Globalisasi)
Yayak Yatmaka (Buruh)
Rheinhard Sirait (KKN)

316
Terima Kasih / Acknowledgment

Heidi Arbuckle (Ford Foundation), Dewan Kesenian Jakarta, Lisabona


Rahman, Alexander Supartono, Ronny Agustinus, Dolorosa Sinaga,
Kiswondo, Martin Aleida, Wulan Dirgantoro, Yayak Yatmaka, Bam-
bang Agung, Rheinhard Sirait, Emily M White, Jeffar Lumban Gaol,
Erpan Faryadi, Marco Kusumawijaya, Alexandra Crosby. Segenap tim
kerja dan kawan-kawan yang baik secara langsung maupun tidak te-
lah memberikan kontribusi dalam merealisasikan kerja buku ini sampai
selesai.

317
318

Anda mungkin juga menyukai