Anda di halaman 1dari 9

MODEL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA


Oleh. Ikama Dewi Setia Triana SH.,MH

A. PENDAHULUAN
Dalam hukum pidana terdapat tiga masalah pokok (The Holy Trinity) yaitu pertama
masalah perbuatan atau tindak pidana, kedua pertanggungjawaban pidana, dan ketiga pidana
serta sitem pemidanaan. Ketiga masalah pokok itu selalu menjadi bidang kajian dalam setiap
pembicaraan terhadap hukum pidana substansial-material.
Berkaitan dengan masalah kedua yaitu pertanggungjawaban pidana, orientasi study
diarahkan pada bagaimana pertangungjawaban pelaku terhadap tindak pidana yang telah
dilakukan. Tidak setiap pelaku tindak pidana dapat dipertangung- jawabkan, mengingat
pertanggungjawaban pidana harus berdasarkan pada ada atau tidaknya kesalahan pada diri
pelaku. Selain itu juga selalu dihubungkan dengan adanya asas ada atau tidaknya alasan
pemaaf dan pembenar terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Dalam kenyataan selama ini diketahui bahwa subyek hukum dapat berupa orang atau
manusia dan badan hukum (legal persoon). Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat
memperoleh hak dan kewajiban hukum. Dengan demikian badan hukum juga merupakan
pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia.
Namun demikian dalam masalah pertanggungjawaban pidana selalu dihubungkan
dengan subyek hukum berupa orang. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada
dasarnya yang menjadi objek pemindanaan hanya manusia saja, dan dengan sendirinya
korporasi atau badan hukum tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban secara pidana.
Dengan demikian dalam hal terjadi suatu tindak pidana, maka sudah jelas pelakunya adalah
manusia, sehingga sudah ada aturan hukum pidana yang akan menjerat pelakunya. Hanya
oranglah yang dapat dipertangungjawabkan dan dijatuhi sanksi pidana sebagaimana terumus
dalam Pasal 10 KUHP. Sekalipun dalam Pasal 59 KUHP diatur mengenai kemungkinan tindak
pidana dilakukan oleh pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris,
namun tetap saja pertanggungjawaban pidana terhadap koorporasi mengarah pada individu,
yaitu orangnya bukan organisasi atau badan usahanya. Mana mungkin korporasi atau badan
hukum di hukum mati, dipenjara atau dikurung seperti manusia. Dengan demikian, wajarlah
apabila korporasi atau badan hukum dikecualikan atau dikesampingkan sebagai objek
pemindanaan, karena hanyalah manusia yang dapat melakukan kesalahan atau kejahatan.

1
Namun, dalam perkembangannya dalam praktek, korporasi atau badan hukum
diterima pula sebagai objek pemindanaan, sebagai pengecualian dari asas umum hukum
pidana. Sehingga dengan sendirinysa masalah pertanggungjawaban pidana juga mengalami
perkembangan. Hal ini terutama terkait dengan terus meningkatnya kejahatan dari waktu ke
waktu, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan berbagai cara, seperti penggunaan
teknologi canggih, dan perubahan pola modus operandi yang dapat melahirkan kejahatan
white collar, misalnya kejahatan korporasi, kejahatan komputer, pemalsuan pajak, pencemaran
dan pengrusakan lingkungan hidup, penipuan konsumen sampai pada kejahatan yang disebut
sebagai kejahatan perkotaan (urban crime) yang menyangkut korban bukan saja individu
tetapi juga masyarakat luas bahkan negara.
Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sebenarnya
merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam menjalankan aktivitas usahanya.
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam hukum pidana positif sudah diakui, bahwa
korporasi dapat dipertanggung jawabkan secara pidana dan dapat dijatuhi pidana (dalam
beberapa peraturan perundangan di luar KUHP). Di negeri Belanda untuk menentukan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Arrest Kleuterscool Babbel yang
menyatakan bahwa perbuatan dari perorangan/orang pribadi dapat dibebankan pada badan
hukum/korporasi, apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial
sebagai perbuatan dari badan hukum.1
Di beberapa negara yang sudah maju pun, korporasi dimasukkan sebagai subjek
hukum pidana dalam perundang-undangannya. Dikemukakan oleh Lobby Loqman seperti
dikutip Rachmadi Usman, bahwa di Inggris sebenarnya telah lama dikenal bahwa korporasi
dapat ditertanggungjawabkan secara pidana, yakni pada Penal Code 1872 dan The General
Ordinance 1888 serta Companies Ordinance v of 1889. Telah diterima bahwa korporasi dapat
dianggap mempunyai pertanggungjawaban pidana.2
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk menolak korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Apalagi belakangan ini, korporasi, baik secara langsung
maupun tidak langsung dan juga secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi sering
kali terlihat dalam perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian bagi negara dan
masyarakat banyak. Ditambah lagi jika selama ini dikenakan hukuman pidana bukan
korporasinya, melainkan pengurusnya, walaupun yang melakukan perbuatan melawan
hukumnya korporasinya sendiri. Akibatnya, tidak membuat korporasi yang bersangkutan jera
1
D. Scaffmeister, et al, Hukum Pidana, (Yogyakarta : Liberty, 1995), hlm. 279.
2
Ibid, hlm, 413.

2
atau sebaliknya malahan dengan sekehendaknya korporasi melimpahkan pertanggungjawaban
pidananya kepada para pengurusnya yang bekerja dibawah perintahnya. Oleh karena itu,
untuk mengatasi kejahatan yang dilakukan korporasi, maka sudah sewajarnya jika yang
dikenakan hukuman pidana bukan saja pengurusnya, melainkan juga korporasinya atau
korporasi dan pengurusnya sekaligus.
Di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi ini juga sudah diatur dalam
beberapa peraturan perundangan di luar KUHP, hal ini seperti dikemukakan oleh Barda
Nawawi Arief, yang menyatakan bahwa korporasi sebagai subyek dan dapat
dipertanggungjawabkan, antara lain dalam :
1. Undang-Undang Nomor 7/Drt. 1955 (Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi);
2. Undang-Undang Nomor 11 Pnps. 1963 (Subversi; sudah dicabut);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 (Perindustrian);
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 (Pos);
5. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1985 (Perikanan);
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 (Pasar Modal);
7. Undang-Undang Nomor Tahun 1997 (Psikotropika);
8. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (Narkotika);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup);
10. UU No 5 Tahun 1999 (Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat);
11. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen);
12. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 (Tindak Pidana Korupsi);
13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang).3

B. Permasalahan
Mengingat sudah banyak peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur
tentang pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, menarik untuk penulis bahas adalah
”Bagaimanakah model-model pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan terhadap
korporasi mengacu pada beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini ?”
C. Pembahasan

3
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 224.

3
Masalah pertanggungjawaban pidana selalu terkait dengan tindak pidana. Tindak
pidana sebenarnya hanya menunjuk pada masalah perbuatan yang telah dilakukan dan
dilarang oleh undang-undang, sehingga keterkaitan itu tampak ketika seseorang melakukan
tindak pidana dan dia harus dipidana. Begitu pula ketika suatu badan hukum melakukan tindak
pidana maka terhadapnya juga harus dipidana. Untuk itulah disini diperlukan adanya
pertanggungjawaban pidana.
M. Hamdan seperti dikutip Rachmadi Usman, mengatakan motivasi dari adanya
sistem pertanggungjawaban korporasi ini didasarkan kepada perkembangan akhir-akhir ini
terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup. Bahwa ternyata untuk beberapa tindak
pidana tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidaklah
cukup. Misalnya dalam tindak pidana ekonomi, bukan mustahil keuntungan yang telah
diterima oleh badan hukum yang melakukan tindak pidana itu lebih besar jika dibandingkan
dengan denda yang dijatuhkan sebagai pidana terhadap pengurus. Atau di dalam denda yang
dijatuhkan sebagai pidana terhadap pengurus. Atau di dalam tindak pidana lingkungan hidup,
kerugian yang dialami oleh masyarakat atau negara akibat tindak pidana lebih besar jika
dibandingkan dengan pidana denda yang dijatuhkan kepada pengurus badan hukum yang
melakukan tindak pidana. Di samping itu, dipidananya (penjara) pengurus tidak memberikan
jaminan yang cukup bahwa badan hukum tidak lagi melakukan tindak pidana. Dengan
perkataan lain, “deterrent effect”-nya tidak dapat diharapkan dengan baik apabila hanya
pengurus saja yang dipidana.4
Pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Konsep KUHP
Nasional 2005 adalah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan secara
subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena
perbuatannya itu.
Untuk meneruskan celaan yang obyektif terhadap tindak pidananya, maka perlu
diketahui bahwa tindak pidana korporasi merupakan setiap tindakan yang dilakukan oleh
korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, baik di bawah hukum administrasi negara,
hukum perdata maupun hukum pidana.5 Jadi dalam tindak pidana korporasi di sini sebenarnya
tindak pidananya tidak didefinisikan secara khusus, namun untuk penghukumannya dapat
digunakan penyelesaian dengan sarana hukum administrasi, hukum perdata atau hukum
pidana.

4
Rachmadi Usman, Pembaharuan Hukum Lingkungan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 411
5
B. Clinard dan Peter C Yeager, dalam Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis dan
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Malang : Averroes Press, 2002, hal.27)

4
Sekalipun tidak menyebut secara khusus bentuk perbuatan yang termasuk dalam
tindak pidana korporasi, namun perlu diperhatikan adanya beberapa istilah yang sering
berhubungan dengan korporasi yaitu:
a. Crimes for corporation
Istilah inilah yang dimaksud dengan tindak pidana korporasi. Tindak pidana
korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi. Jadi korporasi di sini adalah sebagai
subyek dari tindak pidana (pelaku).
b. Crimes againts corporation
Istilah ini ditujukan terhadap korporasi yang justru menjadi korban. Pada
umumnya tindak pidana ini dilakukan oleh para karyawan atau pekerja dari korporasi itu
sendiri. Sehingga tindak pidana ini sering disebut sebagai employee crime
c. Criminal corporation
Istilah ini untuk menyebut korporasi yang memang sengaja dibentuk untuk
melakukan tindak pidana. Jadi korporasi di sini dijadikan sebagai topeng atau alat untuk
menyembunyikan tindak pidana yang sebenarnya.6
Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana (sebagai subyek tindak pidana)
sebagaimana pengertian dari crimes for corporation di atas, maka terdapat tiga model
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Ad a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab
Model ini bertolak dari kenyataan bahwa korporasi pada hakekatnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan menurut asas “universitas delinquere non potest” atau tidak dapat
melakukan tindak pidana sebagaimana dianutnya asas “societas delinquere non potest”.7
Pendirian ini sejalan dengan pendapat Von Savigny, yang mengatakan bahwa :
“badan hukum itu semata-mata buatan negara saja, sebetulnya menurut alam hanya
manusia sajalah yang menjadi subjek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja,
yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam
bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subjek hukum yang
diperhitungkan sama dengan manusia”.8

6
Ibid, hal 27-28
7
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op cit, hlm. 70.
8
Dwidja Priyatno, Op. Cit; hlm. 54-55.

5
Sementara itu ketentuan yang menunjukan bahwa tindak pidana hanya dilakukan oleh
manusia dapat dilihat dalam Pasal 59 KUHP, yang menentukan bahwa “dalam hal-hal di mana
karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus
atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Dengan demikian, jika pengurus dianggap berbuat dan penguruslah yang bertanggungjawab,
maka kepada pengurus tersebut dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban inilah
yang sebenarnya kewajiban dari korporasi. Pada model ini, Pengurus-pengurus yang tidak
dapat memenuhi kewajiban dari korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.
Beberapa ketentuan perundang-undangan yang dapat dipakai untuk memperjelas
model ini (pertanggungjawaban pengurus) adalah:
1. KUHP, seperti :
a. Pasal 169, yaitu turut serta dalam perkumpulan yang terlarang;
b. Pasal 392, 398 dan 399, tindak pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris dari
perseroan terbatas.
2. UU No 7 Drt Tahun 1955, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, dalam Pasal 15 ayat (1), menentukan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan, yaitu :
a. Badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan;
b. Yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin;
c. Kedua-duanya.
3. UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dalam Pasal 20 ayat (1), yang menentukan, bahwa “dalam hal tindak
pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”.
4. UU No. 15 Tahun 2002 Jo UU No. 25 Tahun 2003, tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, dalam Pasal 4 ayat (1), menentukan, bahwa “apabila tindak pidana dilakukan oleh
pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana
dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi”.
5. UU No. 20 Tahun 2002, tentang Ketenagalistrikan, dalam Pasal 65 ayat (1) yang
menentukan, bahwa ” dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini
dilakukan oleh Badan Usaha, pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau
pengurusnya”;

6
Ad. b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
Dasar digunakannya pertanggungjawaban pengurus atas tindak pidana yang dilakukan
korporasi adalah menunjuk pada wewenang yang diberikan oleh korporasi kepada pengurus
sesuai dengan anggaran dasarnya. Sehingga dapat dikatakan tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi pada hakekatnya adalah tindak pidana dari orang tertentu sebagai pengurus dari
korporasi yang bersangkutan.
Undang-undang yang menganut model ini, antara lain :
1. UU No. 22 Tahun 1957, tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dalam Pasal
27 ayat (1), disebutkan “jika sesuatu hal yang diancam dengan hukuman dalam undang-
undang ini dilakukan oleh badan hukum atau perserikatan, maka tuntutan ditujukan atau
hukuman dijatuhkan terhadap pengurus atau pemimpin badan hukum atau perserikatan
itu”.
2. UU No. 12 Drt Tahun 1951 Tentang senjata Api, Pasal 4 ayat (1) menyatakan
”bilamana suatu perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang ini dilakukan
oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan
hukuman dapat diatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat”
3. UU No. 10 Tahun 1998, tentang Perbankan, dalam Pasal 46 ayat (2), yang
menentukan bahwa “dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau
koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap
mereka yang memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai
pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Ad. c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.


Model pertanggungjawaban ini merupakan bentuk tanggungjawab langsung dari
korporasi yang melakukan tindak pidana. Adapun yang menjadi dasar dari sistem
pertanggungjawaban ini, adalah :
● Pertama, dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh
korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat lebih besar sehingga tidak seimbang
apabila pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja.;
● Kedua, dengan menjatuhkan pidana terhadap pengurus saja tidak atau belum ada jaminan
bahwa koporasi tidak akan mengulangi lagi tindak pidana di masa yang akan datang.9

9
Setiyono, Kejahatan Korporasi… , (Averroes Press, Malang, 2002), hlm. 19.

7
Undang-undang yang menganut model ini, antara lain :
1. UU No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dalam Pasal 46
ayat (1), ditentukan bahwa “jika pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagaimana pemimpin dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya”.
2. UU No. 35 Tahun 2009, tentang Narkotika, dalam Pasal 78 ayat (4), dinyatakan
bahwa “apabila tindakan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
korporasi, dipidana denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah).
3. UU No. 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 Terntang pemberantasan tindak
Pidana Korupsi, Pasal 20 ayat (1);
4. UU No. 7 Drt Tahun 1955, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, dalam Pasal 15 ayat (1).
Ketentuan tentang korporasi sebagai pembuat dan dapat dipertanggungjawabkan
telah pula dirumuskan oleh Tim Penyusun Naskah Rancangan KUHP Baru (2005) sebagai
berikut :
 Pasal 47 : Korporasi merupakan subyek tindak pidana;
 Pasal 49 : Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

C. KESIMPULAN
Dari pembahasan seperti yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa korporasi
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Mengacu
dari beberapa ketentuan perundang-undangaan yang ada di Indonesia, terdapat tiga model
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Pertanggungjawaban pidana dimaksud dapat
ditujukan baik kepada pengurusnya, korporasinya atau kedua-duanya.

8
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief. 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

-----------------------, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Dwidja Priyatno. 2004, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana


Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.

Hamzah Hatrik. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia
(Strick Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakrata.

Loebby Loqman, 2002, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta:Datacom

Muladi dan Dwidja Priyatno,. 1991, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Bandung.

Rachmadi Usman, Pembaharuan Hukum Lingkungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Scaffmeister, D., et al. 1995, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Setiyono, H. 2002, Kejahatan Korporasi Analisis Viktomologi dan Pertanggungjawaban


Korporasi Dalam Hukum Pidana, Averroes Press, Malang.

BPHN, Rancangan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2004/2005.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 7/Drt. 1955 (Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi);

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 (Psikotropika);

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 (Narkotika);

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup);

UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 (Tindak Pidana Korupsi);

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang).

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002, (Ketenagalistrikan).

UU No. 22 Tahun 1957, tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

UU No. 12 Drt Tahun 1951 Tentang senjata Api,

Anda mungkin juga menyukai