Anda di halaman 1dari 43

Journal Reading

Prospective Study of Mechanical Asphyxial Deaths


Classification of Asphyxia : The Need For Standardization

Disusun Oleh:
Kresna Adhi Nugraha, S.Ked I4061152067
Farah Muthia, S.Ked I4061152068
Christina WiyaniPutri, S.Ked I4061162010
Nurul Atika Putri, S.Ked I4061162011
Reni Marselia, S.Ked I4061162013
Arif Padillah, S.Ked I1011131045
Herwandi, S.Ked I1011141003
Fitrhiyyah, S.Ked I1011151001
Ummul Hayati, S.Ked I1011151006
Ade Elsa Sumitro Putri, S.Ked I1011151065

Pembimbing:
dr. Adji Suwandono, Sp. FM.,S.H

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK &


MEDIKOLEG AL
RSUD. Dr. MOEWARDI – JAWA TENGAH
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA


SURAKARTA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Journal Reading dengan judul:

Prospective Study of Mechanical Asphyxial Deaths

Classification of Asphyxia : The Need For Standardization

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal

Disetujui Oleh Penyusun

dr. Adji Suwandono, Sp. FM.,S.H Penulis

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Journal Reading dengan judul
“Prospective Study of Mechanical Asphyxial Deaths” dan “Classification of
Asphyxia : The Need For Standardization”. Journal Reading ini dibuat sebagai
salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan
serta dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Adji Suwandono, Sp.FM., S.H.
selaku pembimbing journal reading di SMF Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah dengan sabar memberikan
bimbingan, kritik, serta saran yang membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga
kami ucapkan kepada para tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama
kami mengikuti kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan juga berbagai pihak lain yang tidak
dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi banyak
pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................... 3
1.3 Manfaat ......................................................................................................... 3
BAB II JURNAL ......................................................................................................... 4
2.1 Jurnal 1 .......................................................................................................... 4
2.2 Jurnal 2 ........................................................................................................ 15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 22
3.1 Definisi Asfiksia ............................................................................................ 22
3.2 Etiologi Asfiksia ........................................................................................... 22
3.3 Fisiologi Asfiksia ........................................................................................... 23
3.4 Jenis-Jenis Asfiksia ....................................................................................... 24
3.5 Patofiologi Asiksia ........................................................................................ 24
3.6 Gejala Klinis .................................................................................................. 25
3.7 Tanda Kardinal Asfiksia ................................................................................ 27
3.8 Tanda Khusus Asfiksia .................................................................................. 28
3.9 Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia ...................................................... 29
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 37

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Asfiksia adalah keadaan dimana oksigen (O2) dalam darah berkurang yang
disertai peningkatan kadar karbondioksida (CO2). Hal tersebut berhubungan dengan
terjadinya obstruksi (sumbatan) pada saluran pernapasan atau gangguan yang
diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gagasan umum dari asfiksia adalah
gangguan mekanis yang menghalangi pernapasan.1
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi
pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling
sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa
manusia. Mengetahui gambaran asfiksia khusunya pada postmortem serta keadaan
apa saja yang menyebabkan asfiksia, khususnya pada asfiksia mekanik mempunyai
arti penting terutama dikaitkan pada proses penyedikan.1
Dalam penyedikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. 1,2
Asfiksia merupakan salah satu kasus penyebab kematian terbanyak yang
ditemukan dalam kasus kedokteran forensik.1 Menurut Centers for Disease
Control(CDC) dari database kasus kematian 1999-2004, berdasarkan sertifikat
kematianpenduduk Amerika Serikat didapatkan sekitar 20.000 kasus kematian
disengaja maupun tidak, dalam jangka waktu berkaitan dengan berbagai jenis kasus
tipe asfiksia mekanik: tenggelam, gantung diri, jeratan, dan pembekapan. Penyebab
paling umum kematian berbeda antara kelompok usia. Kasus tenggelam mayoritas

1
2

sering terjadi pada kelompok usia 1-4 tahun, sedangkan gantung diri, jeratan dan
tenggelam paling umum di kelompok usia 35-44 tahun.2
Di Pakistan, menunjukkan bahwa jumlah total kematian akibat asfiksia
sebanyak 130 kasus kematian dari total 3.265 kasus kematian. Kematian akibat
gantung diri merupakan yang paling banyak terjadi. Studi yang dilakukan di India
mendapatkan hasil kematian akibat asfiksia sebanyak 3960 kasus (21,23%) dari total
kematian 18.648 pada tahun 2009-2011.6 Di Indonesia sendiri kematian akibat
asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL) dan trauma
mekanik.2
Salah satu studi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Citradurga India pada
periode 1 Januari 2012-31 Desember 2012 melalui rekam medik melaporkan bahwa
dari 343 kasus autopsi terdapat 36 kematian akibat asfiksia mekanik (10,50%). Yang
paling sering ditemukan ialah kematian yang disebabkan oleh gantung diri (80,60%)
diikuti kematian akibat tenggelam (8,30%). Kematian akibat jeratan (5,50%)
ditemukan lebih banyak daripada kematian akibat traumatis (2,80%). Dari data yang
dikumpulkan, ditemukan bahwa kelompok usia 21-30 tahun paling rentan terhadap
kematian asfiksia yang bersifat kekerasan, diikuti kelompok usia 31-40 tahun. Juga
didapatkan kasus pada laki-laki (75%) lebih banyak daripada perempuan (25%).3,4
Pada hasil penelitian di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito
tahun 2007-2012 diperoleh 72 kasus kematian akibat asfiksia mekanik dari total
rekam medis berjumlah 904. Subjek berjenis kelamin laki-laki memiliki prevalensi
lebih besar yaitu 48 korban (64%). Prevalensi kelompok usia 21-40 tahun merupakan
yang tertinggi yaitu 35 kasus (46,47%). Kasus terbanyak ialah kasus obstruksi jalan
nafas oleh benda asing sebanyak 32 kasus (42,67%). Prevalensi terbanyak kasus yang
ditemukan memiliki ciri yang sama pada kasus bunuh diri sebanyak 27 kasus (36%).5
3

1.2. Tujuan
Mengetahui klasifikasi dan mekanisme pada berbagai kasus kematian.

1.3. Manfaat
Menjadi salah satu referensi untuk memahami lebih mengenai asfiksia.
BAB II
JURNAL

Jurnal 1: Classification of Asphyxia: The Need for Standardization


(Anny Sauvageau, M.D.,M.Sc and Elie Boghossian, B.Sc ; 2010)
Asfiksia sering didefinisikan sebagai kegagalan sel untuk menerima atau
memanfaatkan oksigen. Dapat diperdebatkan bahwa definisi ini tidak terlalu berguna,
setidaknya untuk klasifikasi nosologis patologi forensik. Definisi alternatif dapat
dipertimbangkan: kematian non-kardiak, kurangnya pengiriman atau pemanfaatan
oksigen, kurangnya pengiriman oksigen ke alveoli paru-paru, kurangnya pengiriman
oksigen ke paru-paru dengan obstruksi di atas carina. Tak satu pun dari definisi ini
yang sempurna dalam praktik forensik modern.
Beberapa definisi terlalu besar, mencakup kondisi medis seperti status asma,
tension pneumothorax, atau krisis sel sabit yang umumnya tidak dianggap sebagai
bagian dari klasifikasi asfiksia forensik.

Klasifikasi Asfiksia
Dalam textbook forensik, klasifikasi yang sangat berbeda ditemukan
(Gambar. 1). Dalam textbook oleh DiMaio dan DiMaio, kematian asfiksia dibagi
menjadi tiga kelompok besar: suffocation, strangulation, dan chemical asphyxia
(Gambar.1A).6 Klasifikasi yang sangat mirip disajikan dalam textbook neuropatologi
forensik oleh Oehmichen et al satu-satunya perbedaan adalah penambahan tenggelam
sebagai bentuk suffocation (Gambar. 1B).7 Dalam sebuah artikel oleh Azmak,
klasifikasi DiMaio dan DiMaio juga digunakan, tetapi dengan penambahan
tenggelam sebagai kelompok keempat asfiksia sebagai subtipe suffocation(Gbr. 1C).8
Dalam textbook oleh Shkrum dan Ramsay, klasifikasi berdasarkan tingkat obstruksi
dalam asfiksia mekanik diusulkan (Gambar 1D). Yang terakhir berbeda dari
klasifikasi DiMaio dan DiMaio.9
Perbedaan yang paling jelas adalah dalam konsep asfiksia mekanik: istilah ini
digunakan dalam arti yang sangat ketat oleh DiMaio dan DiMaio, merujuk pada

4
5

bentuk asfiksia dengan tekanan pada bagian luar tubuh yang mencegah pernapasan,
sedangkan istilah yang sama digunakan dalam cara yang lebih besar oleh Shkrum dan
Ramsay, yang mencakup semua bentuk asfiksia dimana interferensi dengan
pertukaran oksigen dan karbondioksida disebabkan oleh cara mekanis. Sesuai dengan
penulis sebelumnya, Knight juga menggunakan istilah asfiksia mekanik dalam arti
yang lebih luas.10 Demikian juga, di bawah label ‘‘ kematian biasanya diprakarsai
oleh hipoksia atau anoksia’, oleh Gordon et al menuliskan berbagai jenis asfiksia
tanpa adanya kategorisasi. Akhirnya, oleh Spitz (Gambar. 1E) dan oleh Fisher dan
Petty (Gambar. 1F) menggambarkan dua klasifikasi kematian asfiksia yang sangat
berbeda.11
6

Gambar 1. Klasifikasi yang berbeda dari asfiksia ditemukan dalam literatur forensik, (A) Textbook oleh DiMaio dan DiMaio, (B)
Textbook oleh Oehmichen et al., (C) Studi oleh Azmak, (D) Textbook oleh Shkrum dan Ramsay, (E) Textbook oleh Spitz, (F)
Textbook oleh Fisher dan Petty.
7

Gambar 1. Klasifikasi yang berbeda dari asfiksia ditemukan dalam literatur forensik, (A) Textbook oleh DiMaio dan DiMaio, (B)
Textbook oleh Oehmichen et al., (C) Studi oleh Azmak, (D) Textbook oleh Shkrum dan Ramsay, (E) Textbook oleh Spitz, (F)
Textbook oleh Fisher dan Petty.
8

Klasifikasi dan Definisi Jenis Asfiksia dalam Literatur


1. Suffocation (Mati lemas)
Istilah Suffocation (mati lemas) tidak spesifik. Ini adalah istilah luas
mencakup berbagai jenis asfiksia, seperti atmosfir yang dirusak dan dibekap, yang
terkait dengan kekurangan oksigen. Mayoritas penulis setuju dengan definisi ini
(Tabel 1).12,13
Tabel 1. Definisi Mati Lemas
Referensi Definisi
9 Beberapa cadangan mati lemas istilah untuk kematian di ruang terbatas,
tetapi istilah '' mati lemas '' dan '' yg menyesakkan nafas '' umumnya
digunakan secara bergantian
6 Kegagalan oksigen untuk mencapai darah

10 Bukan istilah tertentu. Biasanya mengacu pada kematian yang disebabkan


oleh penurunan konsentrasi oksigen di atmosfer yang dihembuskan,
sebelumnya disebut '' suasana vitiated ''.Kurang sering digunakan untuk
menyertakan menyesakkan atau tersedak.
14 Bukan istilah tertentu. Biasanya mengacu pada kematian dikaitkan
dengan penurunan oksigen yang tersedia di udara yang dihembuskan.
Istilah yang sering digunakan untuk memasukkan kondisi seperti
menyesakkan.
7 Kekurangan oksigen

11 Obstruksi untuk perjalanan udara ke dalam saluran pernapasan yang


disebabkan oleh penutupan lubang pernapasan eksternal. Termasuk
kondisi menyesakkan dan overlay.
15 Obstruksi pada mulut dan hidung

16 Kekurangan oksigen, baik dari kekurangan oksigen di lingkungan


sekitarnya atau obstruksi dari saluran udara bagian atas.
17 Sebuah istilah yang luas meliputi berbagai jenis asfiksia: jebakan, gas
mencekik, dibekap, tersedak, asfiksia mekanik, asfiksia traumatik.
18 Penutupan lubang hidung dan mulut
9

2. Smothering dan Choking


Smothering dan Choking adalah kematian akibat asfiksia yang disebabkan
oleh obstruksi saluran napas. Tergantung pada tingkat penyumbatan, kondisinya
disebut satu istilah atau istilah yang lainnya. Untuk smothering, tiga definisi yang
berbeda : (i) obstruksi di tingkat hidung dan mulut, (ii) obstruksi saluran napas
eksternal dan (iii) obstruksi saluran napas atas (Tabel 2A). Definisi choking
bervariasi bahkan lebih luas: (i) sinonim dari inhalasi makanan atau benda asing
terlepas dari lokalisasi anatomi, (ii) obstruksi pada tingkat mulut, orofaring dan
laring, (iii) obstruksi laring, trakea atau bronkus , (iv) obstruksi jalan napas, (v)
obstruksi (v) obstruksi saluran udara internal, (vi) obstruksi saluran udara atas dan
(vii) obstruksi saluran udara internal atas (Tabel 2B).
Tabel 2. Definisi (A) Smothering dan (B) Choking
Referensi Definisi
(A)
9 Obstruksi pada tingkat mulut dan hidung

6 Asfiksia oleh obstruksi mekanik atau oklusi dari saluran udara eksternal,
yaitu, hidung dan mulut
21 Penyumbatan hidung dan mulut

10 oklusi mekanik dari mulut dan hidung


14 Penyumbatan saluran udara eksternal

7 Penyumbatan saluran udara eksternal

16 obstruksi eksternal dari saluran udara bagian atas

17 Suatu bentuk sesak napas di mana saluran udara eksternal (hidung


dan mulut) yang dikompresi atau diblokir
19 Obstruksi jalan napas eksternal, hidung, dan mulut
20 Hasil dari ketika lubang hidung dan mulut ditutupi dengan tangan
atau materi yang mencegah udara masuk
(B)
9 Obstruksi pada tingkat mulut, orofaring, laring.

6 Asfiksia oleh obstruksi dalam saluran udara


10

10 Penyumbatan saluran udara internal biasanya antara faring dan


bifurkasi trakea
14 Obstruksi saluran udara internal yang atas biasanya antara faring
dan bronkus utama
7 Penyumbatan saluran napas atas oleh benda asing (bolus, aspirasi)

11 Hasil dari impaksi benda asing di faring, laring, trakea, bronkus atau
bronkiolus.
16 Menghirup makanan

17 Suatu bentuk asfiksia di mana saluran udara internal terhalang

12 oklusi internal saluran udara, oleh badan-badan asing terhirup atau


makanan
18 Hasil dari sesuatu yang berdampak pada saluran udara, biasanya di glotis

19 obstruksi parsial atau lengkap dari saluran udara utama, laring,


trakea, bronkus atau oleh benda asing
20 Obstruksi saluran udara oleh benda asing

Kerusakan udara, Ruang sempit, dan Kimia Asfiksia


Jenis asfiksia yang terjadi ketika seorang individu berada pada suasana
habis oksigen dapat disebut (i) asfiksia di ruang sempit, (ii) jebakan atau sesak
napas lingkungan, (iii) pengecualian oksigen, (iv) sesak napas, (v) kematian yang
berhubungan dengan paparan gas di udara atau (vi) kerusakan udara (Tabel 4).
Istilah sesak nafas tidak dianjurkan, kata ini menjadi cukup tidak spesifik. Tiga
label yang muncul sedikit lebih umum adalah asfiksia di ruang terbatas, terjebak,
dan kerusakan udara. Kebanyakan penulis mempertimbangkan jenis asfiksia
sebagai subtipe sesak napas.9,10,14,17

Mekanik, postural, Posisi, dan Traumatik Asfiksia


Asfiksia mekanik telah didefinisikan oleh penulis yang berbeda baik sebagai
entitas tertentu ditandai dengan pembatasan gerakan pernapasan oleh tekanan
eksternal pada dada atau perut atau sebagai istilah yang luas meliputi beberapa jenis
asfiksia disebabkan oleh berbagai cara mekanis. Hal ini sesuai dengan literatur
11

forensik: berbagai penulis menggunakan asfiksia mekanik sebagai pengelompokkan


subtipe tertentu asfiksia, seperti gantung, pencekikan, dibekap, tersedak / aspirasi,
tenggelam, atau terjepit. Untuk menghindari kebingungan, dianjurkan untuk menjaga
frase asfiksia mekanik sebagai istilah khusus untuk menunjuk asfiksia oleh
pembatasan gerakan pernapasan.6,7,10
Ada kesepakatan umum bahwa asfiksia posisi mengacu pada jenis asfiksia
dimana posisi individu menentukan kemampuan untuk bernapas, sedangkan asfiksia
traumatik didefinisikan sebagai jenis asfiksia disebabkan oleh dada eksternal atau
kompresi perut dengan benda berat. kesepakatan umum ini juga ditemukan dalam
literatur forensik: asfiksia traumatik berkaitan dengan dada atau kompresi perut
dengan benda berat sementara asfiksia posisi dikaitkan dengan posisi tubuh yang
menghalangi pernapasan.

Penjeratan dan gantung diri


Penjeratan adalah bentuk asfiksia ditandai dengan penutupan pembuluh darah
dan / atau saluran udara dari leher sebagai akibat dari tekanan eksternal pada leher.
Semua penulis mendefinisikan setidaknya dua jenis penjeratan: Penjeratan terikat,
dan pencekikan manual. Tempat gantung, bagaimanapun, adalah kontroversial:
beberapa penulis menganggap gantung diri salah satu jenis pencekikan atau subtipe
dari pencekikan terikat, sedangkan penulis lain menganggap pencekikan dan gantung
diri sebagai hal yang berbeda. Untuk menentukan apakah gantung diri adalah bentuk
pencekikan atau jenis terpisah maka asfiksia adalah masalah pertama untuk
memecahkan.6,717,19,21
12

Gambar 3. Klasifikasi terpadu yang diusulkan dari asfiksia dalam konteks forensik

Masalah kedua adalah untuk menetapkan apakah gantung diri adalah subtipe
dari pencekikan terikat atau jenis ketiga yang terpisah dari cekikan. Semua penulis
setuju bahwa pencekikan terikat didefinisikan sebagai bentuk cekikan di mana
tekanan pada leher diterapkan oleh sebuah ikatan yang diperketat oleh kekuatan lain
selain berat badan. Semua penulis juga percaya bahwa gantung diri adalah bentuk
asfiksia ditandai dengan penyempitan leher oleh ikatan yang diperketat dengan berat
gravitasi tubuh atau bagian tubuh. Bahkan, biomekanik dari cekikan terikat identik
dengan yang di gantung, kecuali bahwa kekuatan pengetatan tidak dari berat tubuh.
Namun demikian, dua entitas ini sangat berbeda dalam pengaturan biasa mereka dan
semua klasifikasi asfiksia telah dipisahkan keduanya (Gambar. 1 A-F). Oleh karena
itu, dianjurkan bahwa gantung diri harus dianggap sebagai jenis pencekikan, bersama
dengan pencekikan dan pengikatan.
Hal ini juga harus disebutkan bahwa dua penulis buku menghitung bahwa
kecelakaan gantung diri juga dapat terjadi tanpa pengikat.9 Misalnya, mereka
menganggap kematian disengaja anak-anak dengan suspensi dari kursi tinggi, kaki
tempat tidur, atau tepi atas jendela. Mayoritas penulis percaya bahwa hiasan disengaja
13

dibatasi untuk beberapa bentuk pengikatan, seperti belitan di tali, kabel dot, atau tali
jemuran pakaian. Untuk menghindari kebingungan dianjurkan untuk membatasi
sebutan gantung diri untuk kasus-kasus yang melibatkan beberapa jenis ikatan yang
diperketat oleh berat tubuh. Selain itu, dianjurkan bahwa semua kematian asfiksia
yang disebabkan oleh tekanan eksternal pada struktur leher harus diberi label
pencekikan. Jika pencekikan tidak dapat disubklasifikasikan dalam salah satu dari
tiga jenis (manual, ikatan, atau gantung), itu harus dikategorikan sebagai non
strangulasi (tidak ditentukan). Sebagai contoh, seorang anak digantung di tepi atas
dari jendela mobil atau pasien rumah sakit digantung di tepi tempat tidur kasus lebih
baik diklasifikasikan sebagai non pencekikan. dianjurkan bahwa semua kematian
asfiksia yang disebabkan oleh tekanan eksternal pada struktur leher harus diberi label
pencekikan. Oleh karena itu, dianjurkan bahwa jenis khusus dari gantung tidak
termasuk dalam klasifikasi asfiksia. Akhirnya, ada kesepakatan umum bahwa
pencekikan adalah bentuk asfiksia ditandai dengan tekanan eksternal pada struktur
leher oleh satu atau kedua tangan, lengan anggota badan lainnya.6,14,11,15,19
Selain itu, istilah-istilah seperti pencekikan, mencekik, atau penjambretan kadang-
kadang digunakan. pencekikan mengacu pada penjeratan, biasanya dengan tangan
atau lebih jarang oleh likatan. Adapun penjambretan, itu awalnya dimaksudkan
penerapan tekanan pada leher dengan cara lengan bengkok sekitar dari belakang,
tetapi baru-baru ini telah melebar istilah untuk mencakup setiap jenis perampokan
dengan kekerasan. Berbagai ekspresi harus dihindari ketika mengklasifikasikan kasus
kematian asfiksia.22

Tenggelam
Tenggelam didefinisikan sebagai kematian yang disebabkan oleh perendaman
dalam cairan, biasanya air. Mekanisme kematian tersebut melibatkan hipoksia yang
pada akhirnya menjadi ireversibel. Meskipun asfiksia tentu merupakan komponen
penting dari kematian oleh tenggelam, tampaknya ada perselisihan apakah tenggelam
masuk atau tidak dalam klasifikasi asfiksia. Bahkan, beberapa penulis meninggalkan
14

entitas ini keluar dari klasifikasi utama asfiksia forensik (Gambar. 1 A, E) sedangkan
sebagian besar termasuk dalam model mereka (Gambar. 1 B-D, F).23,24,25
Oleh karena itu dianjurkan tenggelam harus dimasukkan dalam klasifikasi
forensik asfiksia. Namun, inklusi ini tidak berarti bahwa entitas harus dibahas dalam
bab asfiksia di buku pelajaran atau pengajaran formal. Pendekatan yang lebih baik
akan menyertakan tenggelam dalam klasifikasi asfiksia tapi membahasnya lebih
lanjut dalam konteks penyelidikan mayat yang ditemukan dalam air.
15

Jurnal 2: Prospective Study of Mechanical Asphyxial Deaths


( V. Krishna Murthy, P. Chandra Sekhara Rao;2018)

Kematian merupakan hal yang tidak dapat dihindari, namun baik pria dan
wanita selalu berusaha untuk melawannya. Mereka akan mencari cara untuk
menghindari jalannya kehidupan yang menyebabkan kematian seperti penuaan,
proses penyakit dan lainnya, serta cara yang tidak wajar seperti kematian asfiksia
mekanik yaitu, Hanging, Strangulasi, Drowning, dan Sufokasi.
Asfiksia merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh gangguan pernapasan
karena kurangnya oksigen di udara inspirasi yang menyebabkan jaringan kekurangan
oksigen (gagal bersama-sama untuk mengeliminasi CO2) sehingga menyebabkan
ketidaksadaran atau kematian. Istilah asfiksia mekanik diterapkan pada keadaan di
mana terjadi gangguan mekanik baik menghambat akses udara ke paru-paru, atau
mengurangi suplai darah ke kepala dan leher, atau penyebab henti jantung mendadak
karena stimulasi sinus karotis – mekanisme refleks vagal. Contoh: Hanging,
Strangulasi, Drowning, dan Sufokasi. Istilah sufokasi atau mati lemas mencakup
penyebab kematian yang disebabkan oleh halangan untuk respirasi bukan karena
tekanan eksternal dan segera diterapkan pada pipa angina. Strangulasi atau cekikan
didefinisikan sebagai bentuk asfiksia kekerasan yang disebabkan oleh konstriksi leher
oleh seseorang atau beberapa orang selain bukan akibat berat tubuh. Drowning atau
tenggelam didefinisikan sebagai istilah kematian yang terjadi ketika udara atmosfer
dicegah dari memasuki paru-paru karena perendaman tubuh dalam air. Hanging atau
gantung adalah jenis kekerasan mekanik, anoxic (asfiksia) kematian yang disebabkan
oleh penyempitan leher karena suspensi. Kekuatan suspense umunya berat dari tubuh
dan terkadang hanya kepala. Jumlah tekanan yang diperlukan untuk kompresi vena
jugularis adalah 4.4.1b, arteri karotis 11 lb, mengompresi trakea membutuhkan 33 lb
dan arteri vertebralis 66 lb.
16

Hasil

Studi prospektif ini diambil di Departemen Kedokteran Forensik, Guntur Medical


College, Guntur, selama periode satu tahun.

Dari jumlah total 1035 kasus diotopsi di kamar mayat, 54 kasus kematian
asfiksia diambil sebagai bahan studi. Setiap kasus dipelajari berikut proforma dan
observasi detail diriwayatkan dibawah. Insidensi kasus kematian asfiksia adalah dari
5,23% dari total jumlah kasus diotopsi. Total jumlah kematian akibat asfiksia
mekanik sebanyak 54 kematian. Dari 54 kematian 28 merupakan perempuan (51,8%),
26 adalah laki-laki (48,2%). Hal ini menunjukkan dominansi pada jenis kelamin
17

perempuan daripada laki-laki yang mengalami kematian asfiksia mekanik. Dari 28


kematian perempuan, kematian akibat gantung sebanyak 19 orang, kematian akibat
cekikan sebanyak 4 orang, kematian akibat tenggelam sebanyak 3 orang dan
kematian akibat mati lemas sebanyak 2 orang. Sedangkan dari 26 kematian laki-laki,
kematian akibat gantung sebanyak 16 orang, kematian akibat tenggelam 8 orang,
kematian akibat mati lemas sebanyak 1 orang, dan akibat pencekikan sebanyak 1
orang. Dari 54 kematian asfiksia mekanik, 35 kematian (64,8%) adalah karena
gantung, 11 kematian (20,1%) adalah karena tenggelam, 5 kematian (9,3%) adalah
karena cekikan dan 3 kematian (5,6%) adalah karena mati lemas. Tidak ada kematian
dilaporkan akibat asfiksia seksual (Tabel-1).
Dari 54 kematian akibat asfiksia mekanik, 17 kematian terjadi di kelompok
usia 31-40 tahun diikuti oleh 14 kematian pada usia 21-30 tahun, 11 kematian pada
kelompok usia 11-20 tahun, 4 kematian pada kelompok usia lebih dari 60 tahun, 3
kematian masing-masing pada usia 41-50 tahun dan kelompok usia 51-60 tahun dan
2 kematian di kelompok usia kurang dari 10 tahun. Sebagian besar kematian pada
laki-laki terjadi di kelompok usia 21-30 (10 kematian) diikuti oleh 6 kematian dalam
kelompok usia 21-30 tahun. Pada perempuan sebagian besar kematian terjadi di
kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun (8 kematian masing-masing) diikuti oleh
7 kematian di kelompok usia 31-40 tahun (Tabel-2). Di antara 54 kematian asfiksia
mekanik 35 kematian (64,81%) adalah karena gantung, 11 kematian (20,3%) adalah
karena tenggelam, 5 kematian (9,25%) adalah karena pencekikan, 3 kematian (5,5%)
adalah karena mati lemas dan tidak ada kematian dilaporkan akibat asfiksia seksual.
Di antara 35 kematian gantung semua kematian akibat bunuh diri. Di antara 11
kematian tenggelam, 6 kematian karena kecelakaan, 4 kematian karena bunuh diri
dan 1 kematian akibat pembunuhan. Sedangkan 3 kematian pencekikan diakibatkan
oleh pembunuhan.
Dari 54 kematian akibat asfiksia mekanik perselisihan keluarga merupakan
motif pada 17 kematian, depresi pada 14 kematian, motif tidak disebutkan sebanyak
12 kematian, motif pelecehan sebanyak 6 kematian, sakit sebanyak 3 kematian dan
masalah keuangan sebanyak 2 kematian. Di antara 10 kematian pada laki-laki
18

penyebab tidak disebutkan, depresi menyebabkan 6 kematian, perselisihan keluarga


menyebabkan 6 kematian. Pada perempuan perselisihan keluarga menjadi penyebab
11 kematian, depresi menyebabkan 8 kematian diikuti oleh pelecehan sebanyak 5
kematian (Tabel-4).

DISKUSI
Sebuah studi prospektif di bawah diambil di departemen Forensik
Kedokteran, Guntur Medical College, Guntur, Andhra Pradesh, selama periode satu
tahun untuk mengetahui total kejadian kematian akibat asfiksia mekanik dan untuk
mengetahui kejadian jenis kematian asfiksia mekanik dengan distribusi usia dan jenis
kelamin.
Otopsi dilakukan di kamar mayat modern, Rumah Sakit Umum
Pemerintah/Guntur Medical College, Guntur selama periode satu tahun adalah 1035,
dimana 54 kasus adalah kematian asfiksia mekanik. Total jumlah kematian akibat
asfiksia mekanik adalah 54 kematian. Tingkat kejadian kematian asfiksia mekanik
dalam penelitian ini adalah 5,20%. Temuan dari penelitian ini adalah serupa dengan
studi Chaurasia N, Pandey SK et al yaitu 6,95% dan Patel A, Bhoot Rajesh et al yaitu
5,63%. Namun Azmak D ( 15,70%), Lalwani S ( 11,21%) insiden yang lebih tinggi.
Alasan untuk variasi dalam kejadian kematian asfiksia mekanik di berbagai daerah di
dunia mungkin karena perbedaan geografis, genetik, etnis dan budaya.
Dari 54 kematian 28 adalah perempuan (51,8%), 26 adalah laki-laki (48,2%).
Ini menunjukkan dominan seks perempuan dibandingkan laki-laki dalam kematian
asfiksia mekanik. Dari 28 kematian perempuan, kematian akibat gantung sebanyak
19, kematian akibat cekikan sebanyak 4, kematian akibat tenggelam sebanyak 3 dan
kematian akibat mati lemas sebanyak 2. dari 26 kematian laki-laki, kematian akibat
gantung adalah 16, kematian akibat tenggelam adalah 8, kematian karena mati lemas
adalah satu dan kematian akibat cekikan adalah satu. Dari 54 kematian akibat asfiksia
mekanik, 35 kematian (64,8%) disebabkan oleh gantung, 11 kematian (20,1%) karena
tenggelam, 5 kematian (9,3%) disebabkan oleh pencekikan dan 3 kematian (5,6%)
disebabkan oleh mati lemas. Tidak ada kematian yang dilaporkan karena asfiksia
19

seksual Dalam penelitian kami, insiden di antara laki-laki adalah 26 (48,15%) dan
perempuan adalah 28 (51,85%). Ini sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan
68% pada laki-laki.
Dari 54 kematian akibat asfiksia mekanik, 17 kematian terjadi pada kelompok
usia 31-40 tahun diikuti oleh 14 kematian pada kelompok usia 21-30 tahun, 11
kematian pada kelompok usia 11-20 tahun, 4 kematian pada kelompok usia > 60
tahun, 3 kematian masing-masing dalam kelompok usia 41-50 tahun dan 51-60 tahun
dan 2 kematian pada kelompok usia <10 tahun. Sebagian besar kematian di kalangan
laki-laki terjadi pada kelompok usia 21-30 tahun (10 kematian) diikuti oleh 6
kematian pada kelompok usia 21-30 tahun. Di antara perempuan, sebagian besar
kematian terjadi pada kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun (masing-masing 8
kematian) diikuti oleh 7 kematian pada kelompok usia 31-40 tahun. Studi ini
menunjukkan distribusi usia pada kematian asfiksia mekanik pada kelompok usia 21-
40 tahun (57,4%) yang ditemukan lebih umum di antara laki-laki dibandingkan
dengan perempuan di antara kelompok usia 21-40 tahun. Temuan penelitian ini mirip
dengan penelitian Copeland AR, Auer A, Majumdar BC, Lalwani S et al dan
Chaurasia N et al.
Di antara 54 kematian akibat asfiksia mekanik 35 kematian (64,81%)
disebabkan oleh gantung, 11 kematian (20,3%) disebabkan oleh tenggelam, 5
kematian (9,25%) disebabkan oleh pencekikan, 3 kematian (5,5%) karena mati lemas
dan tidak ada kematian yang dilaporkan karena asfiksia seksual. Di antara 35
kematian karena gantung semua kematian adalah bunuh diri. Di antara 11 kematian
karena tenggelam 6 kematian adalah kecelakaan, 4 kematian karena bunuh diri dan
satu kematian adalah pembunuhan. Di antara 3 kematian karena mati lemas semua
kematian adalah pembunuhan. Di antara semua kematian akibat bunuh diri akibat
asfiksia mekanis ini dengan cara gantung adalah 64,81% diikuti oleh tenggelam
20,1%. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang termasuk dalam kelompok
usia 21-40 tahun adalah korban umum gantung di negara lain. Temuan penelitian ini
mirip dengan penelitian Copeland, Auer A, Majumdar BC, Lalwani S et al, Chaurasia
N et al. dan Patel et al. Remaja dan dewasa adalah fase paling aktif dalam kehidupan
20

di mana paparan kecemasan, stres, ketegangan dan berbagai keadaan buruk terjadi.
Masalah ekonomi, pengangguran, kegagalan dalam cinta, kecanduan alkohol, dan
ketidakstabilan emosional adalah alasan yang diduga untuk melakukan bunuh diri
pada kelompok usia ini. Tingginya tingkat bunuh diri dapat dikaitkan dengan
meningkatnya jumlah penduduk yang mengakibatkan semua serba kekurangan
makanan, tempat tinggal, fasilitas pendidikan dan kesehatan, kesempatan kerja yang
menempatkan populasi masyarakat saat ini dalam risiko segala macam.
Dalam penelitian ini, 39 (72,2%) kasus menikah, 10 (18,5%) korban belum
menikah dan dalam 5 (9,3%) kasus status perkawinan tidak diketahui. Selanjutnya, 29
(53,7%) kasus termasuk dalam kelas sosial ekonomi rendah diikuti oleh 13 (24,1%)
korban yang termasuk dalam status sosial ekonomi menengah. Temuan ini berbeda
dengan hasil studi prospektif oleh Vijayakumari N. Mayoritas penelitian saat ini 40
(74,1%) dari korban adalah buta huruf, 8 (14,8%) dari korban adalah berpendidikan
dan 6 (11,1%) dari korban tidak diketahui. Ini berbeda dengan penelitian Pathak
menjelaskan penyebab kematian Asfiksia sehubungan dengan usia dan jenis kelamin,
diamati bahwa terlepas dari jenis kelamin, Insiden Maksimum dapat ditemui pada
kelompok usia 31-40 tahun diikuti oleh 21-30 tahun.
Kematian karena bunuh diri merupakan slot utama kematian akibat asfiksia
mekanis. Dalam penelitian ini 72,22% kematian akibat asfiksia mekanik berasal dari
bunuh diri, diikuti oleh pembunuhan (16,67%) dan tidak disengaja (11,11%). Dari 54
kematian karena sengketa keluarga asfiksia mekanik adalah motif pada 17 kematian,
depresi pada 14 kematian, motif yang tidak disebutkan dalam 12 kematian, pelecehan
dalam 6 kematian, kesehatan yang buruk dalam 3 kematian dan masalah keuangan
menjadi motif pada 2 kematian. Pada laki-laki 10 kematian disebabkan oleh sebab-
sebab yang tidak disebutkan, depresi adalah penyebab dalam 6 kematian, perselisihan
keluarga adalah penyebab dalam 6 kematian. Di antara perselisihan keluarga
perempuan adalah penyebab utama dalam 11 kematian, depresi adalah penyebab
dalam 8 kematian diikuti oleh pelecehan adalah penyebab dalam 5 kematian. Studi ini
menunjukkan bahwa sebagian besar faktor Penentu Asphyxial Deaths Precipitatory
dikaitkan yang berputar di sekitar Perselisihan keluarga, Masalah Keuangan, Depresi,
21

Pelecehan dll. Pada perempuan, perselisihan keluarga, pelecehan dan depresi adalah
penyebab utama terutama pada perempuan. Di mana seperti pada laki-laki,
perselisihan dan depresi keluarga adalah penyebab utama.

KESIMPULAN
Studi kami menunjukkan dari 1035 kasus kematian tidak wajar yang
dilakukan otopsi dalam periode 1 tahun 54 (5,21%) kasus adalah kematian Mekanis
Asfiksia di mana 35 (64,8%) kasus mati dengan menggunakan metode gantung diri
terlepas dari Usia dan Jenis Kelamin. . Oleh karena itu jumlah kasus gantung bunuh
diri meningkat dari hari ke hari. Disarankan kepada Publik untuk mengatasi masalah
saat ini yang menyebabkan tekanan mental pada gilirannya disebabkan oleh
Pengangguran, masalah keuangan, perselisihan Keluarga, dll dan bagi generasi muda
berkaitan dengan studi dan masalah cinta. Menyarankan media untuk tidak
mengeksploitasi situasi. Dalam skenario ini, ada begitu banyak faktor yang memicu
kematian akibat bunuh diri yaitu Pengangguran, Stres Mental, Masalah Keuangan,
Perselisihan Keluarga, Pelecehan, Stres Pendidikan, dan Hubungan Cinta. Untuk stres
ini, orang mungkin menjadi tumpul dengan gangguan kehidupan sosial yang
mengarah ke depresi akhirnya mengarah ke bunuh diri. Untuk menghindari faktor-
faktor ini, dapat diselesaikan dengan cara sederhana untuk mendiskusikan dan
berbagi fakta dengan teman dekat, anggota keluarga dan kolega dan melakukan
latihan Meditasi, Yoga dll, untuk menghilangkan stres mental dan konsekuensinya.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Asfiksia


Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.27
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah
neuron yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen.
Kerentanan bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.28

3.2. Etiologi Asfiksia


Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:26,27
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

22
23

3.3. Fisiologi Asfiksia


Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)27
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
a. Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di
tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas
dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan
asfiksia murni atau sufokasi.
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus
alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)27
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)28
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup
tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas
macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)28
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung
perlahan.
24

b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

3.4. Jenis-jenis Asfiksia


Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:29
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)
2. Sufokasi
3. Pembengkapan (Smothering)
4. Tenggelam (Drowning)
5. Crush Asphyxia
6. Keracunan CO dan SN

3.5. Patofisiologi Asfiksia


Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan,
yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)29,30
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan
oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen,
dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan
basal ganglia.
25

Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal
dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer
tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)30
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk
kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan
cepat. Keadaan ini didapati pada:
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
b. Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan
dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena
cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan,misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

3.6. Gejala Klinis


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis,
yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam
plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga
gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan
meningkatnya amplitude dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-
otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata
menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat dan mulai tampak tanda-
26

tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan ini berlanjut,
maka masuk ke fase kejang.27
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf
pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang
klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme
opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan
darah perlahan akan ikut menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat
yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2 dan penderita akan
mengalami kejang.29
3. Fase Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan
menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun,
pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan
dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan
denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih
berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak.28
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih
berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia
timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4
menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka
waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan
lengkap.30
27

3.7. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian
akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut
yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama
pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit
dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata.
Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga
terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus,
mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.30

Tardieu’s spot
Bintik perdarahan pada jantung
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan
ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi
akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi
pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah
mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).30
28

3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang
tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus
ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum
sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis
hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang
kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher
dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.30
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran
tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada
kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan
yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah
proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut
diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis
asfiksia30

3.8. Tanda Khusus Asfiksia Didapati sesuai dengan jenis asfiksia, yaitu:
1. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut. Dapat
berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir luka akibat
penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau tengkuk akibat
penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang tidak berdaya. Bila
dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan tanda-tanda
kekerasan.
2. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat
badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher.
Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila korban cukup lama
tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila
29

segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh.
Muka korban lebih sering pucat, karena peristiwa kematian berlangsung cepat,
tidak sempat terjadi proses pembendungan. Pada pembukaan kulit di daerah leher,
didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan
dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang
lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang
letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan
tekanan tali pada leher. Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang
digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-
tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik.29

3.9. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


Pemeriksaan Jenazah

a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan:31

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.


2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi
dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan
mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadangkadang bercampur darah akibat
pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada
jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan
subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
30

5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah


konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula
dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga
dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-
bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot. Penulis lain
mengatakan bahwa Tardieu’s spot ini timbul karena permeabilitas kapiler
yang meningkat akibat hipoksia

b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan:31

1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis
paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris,
kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa
epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).31
31

Pemeriksaan Jenazah mati gantung (hanging)

a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher, yaitu:29
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik,
tidak bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan,
kering seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan
vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas
jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati
juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras
(seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan
lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak begitu jelas.
Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung,
berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati
leher dibeliti beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung,
dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada
satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan
letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera
diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab,
bintik perdarahan Tardieu’s spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan
kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut, sianose,
kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki
dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di
dapati di bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh
sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya
darah.
32

b. Pemeriksaan Dalam Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan:29


1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan
congested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat
Tardieu’s spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna
gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan
yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red
line) pada tunika intima dari arteri karotis interna.

Pemeriksaan luar korban tenggelam

1. Pakaian / mayat basah, kadang bercampur pasir, lumur dan benda-benda asing lain yangterdapat
dalam air.
2. Cutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh, terutama pada ekstremitas akibatkontraksi
otot errector pilli yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya air (sebagaigambaran seperti saat
seseorang berdiri bulu kuduknya / “merinding”)
3. Kulit telapak tangan dan kaki, kadang menyerupai washer woman hand/skin, yakni berwarna
keputihan dan berkeriput yang disebabkan imbibisi cairan ke dalam kulit dan
biasanyamembutuhkan waktu lama (sebagai gambaran sepert tangan / kulitnya orang setelah
mencuci)
4. Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban
berusahamenyelamatkan diri dengan memegang apa saja benda-benda disekitarnya, seperti
rumputatau benda lain dalam air. (sebagai gambaran : tangan korban menggenggam erat
hinggasulit dibuka dan biasanya terdapat benda air, misalnya rumput/lumut dalam
genggamannya).
5. Buih halus dari mulut dan hidung berbentuk seperti jamur (mushroom-like mass) yangterbentuk
akibat edema pulmo akut, berwarna putih dan persisten (tetap diproduksi terus,meskipun korban
sudah meninggal). Buih semakin banyak jika dada ditekan.
6. Luka memar/lecet/robek bisa ditemukan pada beberapa bagian tubuh, akibat benturandengan
benda-benda keras dalam air (misalnya batu sungai atau karang laut) pada saat tenggelam.
33

Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam:31

1. Pada saluran nafas (trakhea & bronkhus) terdapat buih.


2. Emphysema aquosum, yakni keadaan paru-paru membesar dan pucat seperti paru-paru
penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran sepertimarmer,
bila permukaannya ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih berair.
3. Bercak hemolisis pada dinding aorta. Bercak “paltauf” yaitu bercak perdarahan
yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi inter alveolar dan sering terlihatndi
bawah pleura.
4. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yang berasal dari bilik jantungkiri dan
kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam dari jantung kiri
lebih rendah dari jantung kanan, sedangkan pada tenggelam di air asin
terjadisebaliknya
5. Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain.
6. Benda air (diatom) di jaringan paru, darah, ginjal, tulang.

Pemeriksaan Khusus Pada Tenggelam


Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan pada kasus tenggelam adalah: Percobaan
getah paru (Longsap proof), Pemeriksaan darah secara kimia (Gettler test), Tes
Destruksi & analisa isi lambung, Pemeriksaan histopatolgi jaringan paru,
Menentukan berat jenis plasma (BJ plasma).

1. Pemeriksaan Diatom (Destruction Test)


Keseluruhan prosedur dalam persiapan bahan untuk analisa diatom meliputi
contoh air dari dugaan lokasi tenggelam, contoh jaringan dari hasil otopsi korban,
jaringan yang dihancurkan untuk mengumpulkan diatom, konsentrasi diatom, dan
analisa mikroskopis. Pengumpulan bahan dari media tenggelam yang diduga
harus dilakukan semenjak penemuan jenazah, dari air permukaan dan dalam,
menggunakan 1 hingga 1,5 L tempat steril untuk disimpan pada suhu 4°C, di
34

dalamnya disimpan bahan-bahan dari korban dugaan tenggelam yang diambil


dengan cara steril., kebanyakan berasal dari paru-paru, ginjal, otak, dan sumsum
tulang. Usaha untuk mencari diatome (binatang bersel satu) dalam tubuh korban.
Karena adanya anggapan bahwa bila orang masih hidup pada waktu tenggelam,
maka akan terjadi aspirasi, dan karena terjadi adanya usaha untuk tetap bernafas
maka terjadi kerusakan bronkioli/bronkus sehingga terdapat jalan dari diatome
untuk masuk ke dalam tubuh. Syaratnya paru-paru harus masih dalam keadaan
segar, yang diperiksa bagian kanan perifer paru-paru, dan jenis diatome harus
sama dengan diatome di perairan tersebut.
2. Pemeriksaan Getah Paru
Merupakan pemeriksaan patognomonis untuk kasus-kasus tertentu. Dicari
benda-benda asing dalam getah paru yang diambil pada daerah subpleura, antara
lain: pasir, lumpur, telur cacing, tanaman air, dll.
3. Pemeriksaan DNA
Metode lain dalam pengidentifikasian diatom adalah dengan amplifikasi DNA
ataupun RNA diatom pada jaringan manusia, analisa mikroskopis pada bagian
jaringan, kultur diatom pada media, dan spectrofluophotometry untuk menghitung
klorofil dari plankton di paru-paru. Metode pendeteksi diatom di darah meliputi
observasi secara langsung diatom pada membrane filter, setelah darah dihemolisa
menggunakan sodium dodecyl sulfate, atau dengan metode hemolisa kombinasi, 5
mm pori membrane filter. Dicampur dengan asam nitrat, dan disaring ulang.
Setelah pencampuran selesai diatom dapat diisolasi dengan metode sentrifuse
atau membrane filtration. Siklus sentrifuse mengkonsentrasikan diatom dan
menyingkirkan semua sisa asam dengan pencucian berulang, supernatant diganti
tiap beberapa kali dengan air distilled. Penggunaan saring nitroselulose adalah
bagi bahan dengan jumlah diatom yang rendah dan diikuti dengan analisa LM.32
BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil journal reading yang telah dilakukan, dapat disimpulkan


hasil sebagai berikut :
A. Asfiksia adalah keadaan dimana oksigen (O2) dalam darah berkurang yang
disertai peningkatan kadar karbondioksida (CO2). Asfiksia merupakan penyebab
kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia
mekanik paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana.
B. Jenis-jenis asfiksia yaitu strangulasi, sufokasi, pembekapan, tenggelam
(drowning), crush asphyxia, keracunan CO dan SN.
C. Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis,
yaitu fase dispnea, fase kejang, fase apnea dan fase akhir.
D. Pada autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, didapatkan beberapa
tanda klasik asfiksia, seperti: Tardieu’s spot (Petechial hemorrages), Kongesti
dan Oedema, Sianosis, darah tetap cair.
E. Pemeriksaan luar jenazah pada keadaan asfiksia didapatkan sianosis pada bibir,
ujung-ujung jari dan kuku, pembendungan sistemik maupun pulmoner dan
dilatasi jantung kanan, warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, kapiler yang lebih mudah
pecah serta gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan palpebra.
F. Pada hasil studi dari jurnal yang kami bahas menunjukkan dari 1035 kasus
kematian tidak wajar yang dilakukan otopsi dalam periode 1 tahun 54 (5,21%)
kasus adalah kematian yang disebakan oleh asfiksia mekanik di mana 35 (64,8%)
kasus mati dengan menggunakan metode gantung diri terlepas dari Usia dan
Jenis Kelamin. Dalam hal ini, ada begitu banyak faktor yang memicu kematian
akibat bunuh diri yaitu Pengangguran, Stres Mental, Masalah Keuangan,
Perselisihan Keluarga, Pelecehan, Stres Pendidikan, dan Hubungan Cinta. Untuk

35
36

menghindari faktor-faktor ini, dapat diselesaikan dengan cara sederhana untuk


mendiskusikan dan berbagi fakta dengan teman dekat, anggota keluarga dan
kolega dan melakukan latihan Meditasi, Yoga dll, untuk menghilangkan stres
mental dan konsekuensinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997;
56-7.
2. Payne-James J, Jones R, Karch SB, Manlove J. Asphyxia. In: Simpson’s Forensic
Medicine. 13th edition. London: Hodder & Stoughton. 2011: 151.
3. Arun M, Yoganarasimha K, Kar N, Palimar V, Mohanty MK. Methods of suicide:
a Medicolegal perspective. JIAFM. 2006; 28(1): 22-6.
4. Ajay KS, Chandan V, Rudresh VY, Govindaraju HC, Gouda S. Study of violent
asphyxia deaths in Chitradurga district of Karnataka. IJBAR. 2013;4(12):868-71.
5. Prabowo KN. Gambaran Kasus Asfiksia Mekanik Yang Ditangani Di Instalasi
Kedokteran Forensik Rsup Dr. Sardjito Tahun 2007-2012. Diss. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada; 2013.
6. DiMaio VJ, DiMaio D. Asphyxia. In: Geberth VJ, series editor. Forensic
pathology, 2nd edition. Boca Raton, FL: CRC Press. 2001;229–77.
7. Oehmichen M, Auer RN, Kçnig HG. Forensic types of ischemia and asphyxia. In:
Oehmichen M, editor. Forensic neuropathology and associated neurology. Berlin:
Springer-Verlag. 2005; 293–313.
8. Azmak D. Asphyxial deaths: a retrospective study and review of the literature.
Am J Forensic Med Pathol. 2006; 27(2):134–44.
9. Shkrum MJ, Ramsay DA. Asphyxia. In: Karch SB, series editor. Forensic
pathology of trauma: common problems for the pathologist. Totowa, NJ: Humana
Press. 2007; 65–179.
10. Saukko P, Knight B. Suffocation and ‘asphyxia’. In: Ueberberg A, project editor.
Knight’s forensic pathology, 3rd edition. London. UK: Arnold Publishers.
2004;352–67.
11. Gordon I, Shapiro HA. Deaths usually initiated by hypoxic hypoxia or anoxic
anoxia. In: Gordon I, Shapiro HA, editors. Forensic medicine: a guide to
principles, 2nd edition. Edinburgh, UK: Churchill Livingstone. 1982;95–129

37
38

12. Nixon JW, Kemp AM, Levene S, Sibert JR. Suffocation, choking and
strangulation in childhood in England and Wales: epidemiology and prevention.
Arch Dis Child. 1995; 72:6–10.
13. Simpson K. Asphyxia. In: Simpson K, editor. Forensic medicine, 8th edition.
London, UK: Edward Arnold. 1979;91–112.
14. Ferris JA. Asphyctic deaths. In: Siegel JA, Saukko PJ, Knupfer GC, editors.
Encyclopedia of forensic sciences. London, UK: Academic Press. 2000;308–16.
15. McNie AB. Asphyxial deaths. In: Fisher RS, Petty CS, editors. Forensic
pathology. United Kingdom: Castle House Publications. 1980; 123–8.
16. Walker A, Milroy CM, Payne-James J. Asphyxia. In: Payne-James J, Byard RW,
Corey TS, Henderson C, editors. Encyclopedia of forensic and legal medicine.
Oxford, UK: Elsevier Academic Press. 2005;151–7.
17. Dolinak D, Matshes EW. Asphyxia. In: Dolinak D, Matshes EW, Lew EO,
editors. Forensic pathology: principles and practice. Amsterdam: Elsevier
Academic Press. 2005;201–24.
18. Adams VI, Flomenbaum MA, Hirsch CS. Trauma and disease. In: SpitzWU,
Spitz DJ, editors. Spitz and Fisher’s medicolegal investigation ofdeath: guidelines
for the application of pathology to crime investigation, 4th edition. Springfield,
IL: Charles C Thomas. 2006;436–59.
19. Mant KA. Mechanical asphyxia. In: Mant KA, editor. Forensic medicine:
observation and interpretation. Chicago, IL: Year Book Publishers. 1960;110–45.
20. Strassmann G, Mass W. Mechanical asphyxia. In: Gradwohl RBH, editor. Legal
medicine. St-Louis, MO: The C.V. Mosby Company. 1954;260–84.
21. Spitz WU. Asphyxia. In: Spitz WU, Spitz DJ, editors. Spitz and Fisher’s
medicolegal investigation of death: guidelines for the application of pathology to
crime investigation, 4th edn. Springfield, IL: Charles C Thomas. 2006;783–845.
22. Saukko P, Knight B. Fatal pressure on the neck. In: Ueberberg A, project editor.
Knight’s forensic pathology, 3rd edn. London, UK: Arnold Publishers. 2004;368–
94.
39

23. Shkrum MJ, Ramsay DA. Bodies recovered in water. In: Karch SB, series editor.
Forensic pathology of trauma: common problems for the pathologist. Totowa, NJ:
Humana Press. 2007;243–93.
24. DiMaio VJ, DiMaio D. Death by drowning. In: Geberth VJ, series editor.
Forensic patholog, 2nd edn. Boca Raton, FL: CRC Press. 2001; 399–407.
25. Spitz DJ. Investigation of bodies in water. In: Spitz WU, Spitz DJ, editors.Spitz
and Fisher’s medicolegal investigation of death: guidelines for the application of
pathology to crime investigation, 4th edition. Springfield, IL: Charles C Thomas.
2006;846–81.
26. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia
Mekanik, Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: Universitas Indonesia. 1997.
27. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik.Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2000.
28. Iedris M, Tjiptomartono AL. Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan.Sagung Seto. Jakarta: 2008.
29. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke-2, Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2007.
30. Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik
Kasus Tindak Pidana Kejahatan. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 2009.
31. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A, Sidhi, et al. Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1997.
32. Apuranto H. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, edisi
ketujuh. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. Editor Hoediyanto. 2010. Hal 86-94

Anda mungkin juga menyukai