Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi pada neonatus sering terjadi dan menjadi penyebab tersering

morbiditas dan mortalitas.1 Menurut Konference international pediatric sepsis

2005 , sepsis neonatal didefinisikan sebagai sindrom respon inflmasi sistemik

terhadap kecurigaan ataupun bukti fokus infeksi pada neonatus. Infeksi bisa

disebabkan oleh bakteri, virus , jamur. Sepsis neonatus mencakup berbagai

variasi infeksi sistemik bayi baru lahir seperti septicemia, meningitis,

pneumonia, arthritis , osteomyelitis dan lain lain.2

Sepsis bertanggung jawab terhadap 30-50% kematian total neonatus di

negara berkembang. Insiden sepsis neonatorum bervariasi dari 9 kasus per

1000 kelahiran hidup tapi lebih tinggi kejadiannya pada BBLR. Sepsis

merupakan penyebab kematian penting pada mortalitas neonatum. WHO

memperkirakan hampir 5 juta neonatus meninggal pertahun dimana 98%

terjadi pada negara berkembang. 3,4,5

Banyak agen penyebab yang menginfeksi bayi baru lahir di utero, intra

dan post-partum. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan

protozoa.2

1
1.2 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami

tentang sepsis pada anak dari segi definisi, epidemiologi, etiologi,

patogenesis, diagnosis, tatalaksana dan prognosis.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan yang

merujuk kepada berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sepsis Neonatorum

Sepsis neonatorum adalah sindroma klinis dengan gejala infeksi sitemik dan
diikuti dengan bakteremia yang terjadi pada bulan pertama kehidupan.6 Sepsis neonatal
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas baik pada bayi aterm maupun
bayi preterm, infeksi aliran darah bersifat invasif dan ditandai ditemukannya bakteri
dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih. Keadaan ini
sering terjadi pada bayi berisiko, misalnya pada berat bayi lahir rendah (BBLR), bayi
dengan sindrom gangguan nafas atau bayi lahir dari ibu berisiko. Sepsis merupakan
suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik,
disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.7
Walaupun terdapat kemajuan di dalam perawatan neonatus dengan meningkatnya
survival, dan menurunnya komplikasi pada bayi preterm, namun sepsis masih
menyebabkan kesakitan dan kematian, terutama pada BBLR < 1500 gram di ruang
Neonatus Intensive Care Unit (NICU).8

Gambar 2.1. Hubungan antara respon inflamasi sistemik sindrom ( SIRS), sepsis dan
infeksi. Infeksi tidak selalu disertai dengan respon inflamasi dan SIRS dapat terjadi
tanpa disertai oleh infeksi. Bila SIRS terjadi bersama-sama dengan infeksi disebut
sebagai sepsis.7

3
Dari Child Health Research Project Special Report: Reducing perinatal and
neonatal mortality (1999) dikemukakan bahwa 42% kematian bayi terjadi karena
berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis
dan infeksi gastrointestinal. Morbiditas tetanus neonatal sudah banyak mengalami
perbaikan, tetapi kematian disebabkan sepsis belum memperlihatkan perbaikan
bermakna. Di Negara yang sedang berkembang, lebih dari setengah kematian neonatus
disebabkan oleh sepsis neonatal. Tingginya angka kematian ini karena banyaknya
kendala yang dihadapi dalam penanganan sepsis neonatus. Hambatan utama dalam
tatalaksana tersebut adalah kesulitan diagnosis dini.8
Berdasarkan umur dan onset timbulnya gejala, sepsis neonatorum dapat dibagi
menjadi dua sebagai berikut:9
1. Sespis awitan dini (SAD)/Early onset sepsis neonatal, merupakan infeksi
perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan
biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran. Menurut Sagori, Early Onset
Neonatal Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bakteri pada darah maupun
cairan otak dari bayi yang berumur 7 hari pertama dari kehidupannya. Penyebab
infeksi saluran genital ibu, organisme penyebab diantaranya Streptococcus group
B, Eschericia coli, Listeria non typic, Haemophilus influenza dan enterococcus.10
Incidence rate sepsis neonatorum awitan dini adalah 3,5 kasus per 1.000
kelahiran hidup dan 15-50% pasien tersebut meninggal. Di Amerika Serikat
insiden Early Onset Neonatal Sepsis adalah 3-4 kasus per 1000 kelahiran.
Dengan berkembangnya perawatan di bidang kebidanan dan neonatus, akan
menurunkan insiden SAD. Centres for Disease Control and Prevention (CDC)
Amerika Serikat merekomendasikan pemakaian antibiotika sebagai profilaksis
intrapartum untuk mencegah penyakit-penyakit perinatal oleh karena group β
Streptococcus. Saat ini insiden group β Streptococcus khususnya pada SAD
terjadi penurunan menjadi 0,3 - 0,4 kasus per 1000 kelahiran.
2. Sepsis awitan lambat (SAL)/Late onset sepsis neonatal, merupakan infeksi
pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau
rumah sakit (infeksi nosokomial). Disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal, dengan angka mortalitas 10-20%.

4
Berat lahir memegang peranan penting pada terjadinya sepsis neonatal. BBLR
adalah bayi lahir dengan berat < 2500 gram, tanpa memperhatikan usia kehamilan.
Dilaporkan bahwa bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko 3 kali lebih
tinggi terjadi sepsis dari pada bayi dengan berat lahir > 2500 gram. Makin rendah
berat lahir, makin tinggi angka kejadian sepsis yang biasanya disertai defisiensi
imun.11,12

2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya sepsis neonatus adalah infeksi bakteri, virus, jamur, atau
protozoa. Penyebab paling sering sepsis awitan dini adalah Streptococcus group B
dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kelamin ibu. Sepsis awitan lambat dapat
disebabkan oleh Streptococcus group B, virus herpes simplek (HSV), enterovirus dan
E. Coli.8
Pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, Candida dan stafilokokus
koagulase-negatif, merupakan patogen paling sering pada sepsis. Di FK UI / RSCM
selama tahun 2002 kuman yang ditemukan pada awitan dini berturut-turut
Enterobacter Sp., Acinetobacter dan E. Coli Sp.13,14
Berlainan dengan awitan dini, pada awitan lambat kuman yang ditemukan
biasanya terdiri dari kuman nosokomial. Keadaan ini sering terjadi pada bayi yang
dirawat di ruang intensif neonatus, bayi kurang bulan yang mengalami perawatan lama,
nutrisi parenteral berlarut-larut, infeksi yang bersumber dari peralatan perawatan bayi,
infeksi nosokomial atau reaksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medis yang merawat
bayi. Dalam penelitian di FKUI/RSCM pada awitan lambat tersebut ditemukan kuman
Enterobacter Sp., Klebsiella Sp., dan Acinetobacter Sp., dan E. Coli Sp. Selain
perbedaan kuman, faktor risiko juga berbeda pada kedua kelompok sepsis neonatal.15

5
Tabel 2.1. Organisme yang dapat diisolasi dari neonatus yang terinfeksi.7
Organisme Persentase isolate
Gram Negatif
Escherichia coli 30,6 – 56 %
Klebsiella pneumonia 3,7 – 12,9 %
Actinobacillus species 8 – 19 %
Enterobacter species 3,5 – 5,7 %
Pseudomonas aeruginosa 2,8 – 4,7 %
Citrobacter species 4,7 %
Pasteurella species 3,7 %
Salmonella species 2,8 – 3,7 %
Serratia marcescens 2,8 – 3,7 %
Gram-positif
β-hemolytic streptococci 1,2 – 5,6 %
Other streptococci 7,1 %
Staphylococcus species 2,8 – 3,7 %
Clostridium species 2,4 – 3,7 %

Pada sepsis awitan dini faktor risiko biasanya mencakup:16


Faktor Ibu : persalinan dan kelahiran kurang bulan, ketuban pecah dini lebih dari 24
jam, korioamnionitis, persalinan dengan tindakan, infeksi saluran kencing ibu, demam
pada ibu (temperatur > 38-40 0C), faktor sosial ekonomi dari gizi ibu.

Faktor Anak : asfiksia perinatal, berat lahir rendah, bayi kurang bulan, prosedur
invasif, kelainan bawaan.

2.3 Gejala Klinis


Gambaran klinis pasien-pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gambaran klinis sepsis
neonatus bervariasi, karena itu kriteria diagnostik harus mencakup pemeriksaan
penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya.

6
Tabel 2.2. Gambaran klinis sepsis neonatal.14

Variabel klinik :
1. Suhu tubuh yang tidak stabil.
2. Laju nadi > 100 x/menit atau < 100 x/menit.
3. Laju nafas < 60 x/menit dengan retraksi atau desaturasi oksigen.
4. Letargi
5. Intoleransi glukosa (plasma glukosa > 10 mmol/L.
6. Intoleransi minum.

Variabel Hemodinamik :
1. Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi.
2. Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari).
3. Tekanan sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)

Variabel perfusi jaringan :


1. Pengisian kembali kapiler/capillary refill > 3 detik
2. Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel Inflamasi :
1. Leukositosis (> 34.000 x 109/L)

2. Leukopenia (< 5.000 x 109/L)

3. Neutrofil muda > 10%


4. Neutrofil muda/total neutrofil (I/T ratio) > 0,2

5. Trombositopenia < 100.000 x 10 9/L

6. C Reactive Protein > 10 mg/dl atau > 2 SD dari nilai normal


7. Procalcitonin > 8,1 mg/dl atau > 2 SD dari nilai normal
8. IL-6 atau IL-8 > 70 pg/ml
9. 16 S rRNA gene PCR : positip

7
Divisi Perinatologi FK UI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis
dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan dalam 2 kelompok yaitu
faktor risiko mayor dan minor (tabel 2.).13
Tabel 2.3. Pengelompokan faktor risiko.13
Risiko Mayor Risiko Minor

1. Ketuban pecah > 24 jam 1. Ketuban pecah > 12 jam


2. Ibu demam saat intrapartum 2. Ibu demam saat intrapartum suhu >

suhu > 38 0C 37,5 0C

3. Korioamnionitis 3. Nilai Apgar rendah (menit ke 1 < 5,


4. Denyut jantung bayi menit ke 5 : < 7)
menetap > 160 x/menit 4. Bayi berat lahir sangat rendah
5. Ketuban berbau (BBLSR) < 1500 gram
5. Usia gestasi < 37 minggu
6. Kehamilan ganda
7. Keputihan pada ibu
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih
(ISK) / tersangka ISK yang tidak
diobati

Tabel 2.4. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal:17


Penemuan Skor
- Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat 1
Tanda infeksi pada sistem pernafasan,
gastrointestinal, hematologi, kardiovaskuler dan
kulit).
- Jumlah leukosit total < 10.000 atau > 1

20.000/mm3

- Jumlah neutrofil absolut < 1000/mm3 1


- Rasio neutrofil batang : neutrofil matur ≥ 0,1 1
- Usia > 1 minggu 1

8
Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat ≥ 2 faktor tersebut, dan hal ini
mempunyai sensitivitas 93 % dan spesifisitas 88 %. Kriteria di atas juga dapat
mendeteksi sepsis neonatus awitan lambat dengan sensitivitas dan spesifisitas
berturut-turut: 88 % dan 74 %.

2.4 Patofisiologi dan perjalanan penyakit infeksi pada neonatus.


Inflamasi merupakan respon jaringan terhadap adanya injury atau adanya
mikroorganisme dan sangat penting peranannya oleh karena dapat memicu pergerakan
sel fagosit dan molekul-molekul pertahanan tubuh, seperti immunoglobulin, dan
komplemen dari darah ke tempat infeksi atau trauma jaringan. Pada tahap pertama
proses pengenalan trauma jaringan atau adanya invasi mikroba. Sel-sel yang mengalami
injury akan melepaskan mediator (histamin) dan mensintesa substansi proinflamasi
meliputi eicosanoids, seperti prostaglandin, thromboxane, leukotrin dan interleukin 1
(IL-1) dan TNF-α. (Gambar2.2)8

Gambar 2.2. Hubungan antara faktor-faktor proinflamasi, antiinflamasi dan mediator


lainnya di dalam terjadinya infeksi, SIRS dan syok septik.8

9
Infeksi oleh gram negatif merupakan penyebab sepsis terbanyak pada
neonatus, lipopolisakarida (LPS) biasanya turut terlibat di dalamnya. Saat masuk ke
dalam sirkulasi LPS berikatan dengan LPS-binding protein (LBP), kemudian ikatan
LPS kompleks berikatan dengan reseptor yang terdapat pada permukaan sel fagosit
mononuklear (mCD14) atau di dalam sirkulasi (sCD14). CD14 juga berikatan dengan
PG dan LTA dari bakteri gram positif. Ini menunjukkan jalur aktivasi seluler infeksi
bakteri gram positif. LPS-LBP-CD14 atau PG-LTA-CD14 kompleks kemudian
bereaksi terhadap aktivasi seluler dari fagosit mononuklear melalui TLR mengirim
sinyal melalui membran sel. Berbagai tipe TLRs dapat diidentifikasi pada sepsis
mamalia spesies dan beberapa bukti menyatakan bahwa tipe TLR ini dapat digunakan
untuk membedakan mikrobial patogen.8
Aktivasi seluler juga terjadi sebagai akibat dari terbentuknya reaksi stres oksidatif
di dalam fagosit mononuklear diikuti stimulasi oleh proinflamasi seperti TNFα,
endotoksin atau exotoksin. Respon inflamasi terjadi tergantung pada dihasilkannya
terutama oleh fagosit mononuklear beberapa mediator inflamasi meliputi sitokin
proinflamasi (TNFα, IL-1, IL-6), enzim proinflamasi (seperti inducible ntric oxide

synthese, phospholipase A2, cyclooxygenase-2) dan molekul adhesi (selectins,

intracellular adhesion molecules).8


Pada awalnya perubahan yang terjadi berupa suatu respon inflamasi terjadi
sebagai akibat vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
disebabkan oleh efek dari mediator vasoaktif yang dilepaskan oleh adanya trauma
(injury) atau infeksi pada sel. Faktor-faktor ini meliputi histamine, serotonin, kinins,
eicosanoids, platelet activating factor, fibrin degradation product, dan produk
komplemen, C3 dan C5a.
Pada neonatus terdapat berbagai kelainan berupa defisiensi imun atau
pertahanan tubuh sehingga respon sistemik pada janin dan neonatus akan berlainan
dengan orang dewasa. Pada infeksi awitan dini, respon sistemik pada neonatus
mungkin terjadi saat masih dalam kandungan dan keadaan ini dikenal dengan Fetal
Inflamatory Response Syndrome (FIRS), dimana infeksi janin atau neonatus terjadi
karena penyebaran infeksi kuman vagina, ascending infection atau infeksi menjalar
secara hematogen dari ibu yang menderita infeksi. Dengan demikian konsep infeksi
pada neonatus, khususnya pada awitan dini, perjalanan penyakit bermula dengan

10
FIRS, kemudian terjadi sepsis, sepsis berat, syok septik, disfungsi multi organ, dan
akhirnya kematian.6,14
Tabel 2.5 Patofisiologi dan perjalanan penyakit infeksi pada neonatus.14
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan :
- Laju nafas > 60x/mnt dengan / tanpa
retraksi dan desaturasi O2.

- Suhu tubuh tidak stabil (<36 0C atau

> 37 0C) FIRS


- Capillary Refill time > 3 detik.

- Hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau

> 34.000 x 109/L.

- CRP > 10 mg/dl.


- IL-6 atau IL-8 > 70 pg/ml.
- 16S rRNA gene PCR (+)
Adanya ≥1 kriteria FIRS disertai gambaran Sepsis
klinis infeksi seperti terlihat pada tabel 4.
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ Sepsis Berat
tunggal.
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan Syok Sepsis
resusitasi cairan dan obat-obat inotropik.
Adanya disfungsi multi organ pada pasien Sindrom disfungsi multi
yang mendapatkan pengobatan optimal. organ.

Tahap awal mungkin terbatas hanya gejala seperti takipnea, apnea, atau
takikardia, namun gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium secara menyeluruh
akan menggambarkan kelainan lainnya. Berbagai gejala bisa mengesankan penyakit
respiratorik, gastrointestinalis, atau sistem saraf pusat, kejang bisa disebabkan oleh
hipokaemia, hipoglikemia akibat septikemia atau oleh peradangan sistem saraf
pusat.14,17

11
2.5 Diagnosis
Paparan infeksi neonatus dapat terjadipada saat proses kehamilan, persalinan
dan kelahiran atau dapat pula timbul beberapa waktu setelah bayi lahir. Biasanya
dikelompokkan dalam bentuk infeksi paparan dini SAD, dimana gambaran sepsis
terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah lahir. Setelah proses kelahiran, infeksi biasanya
berasal dari kuman lingkungan sekitar dan invasi terjadi melalui saluran pernafasan,
saluran pencernaan atau melalui kulit yang terinfeksi. Kelompok sepsis ini dikenal
sebagai bentuk SAL (Late Onset Sepsis). Selain berbeda dari waktu paparan, kedua
infeksi ini berbeda juga dalam faktor risiko dan kuman penyebab infeksi. Selanjutnya
baik patogenesa dan gambaran klinisnya penderita tidak banyak berbeda.18,19
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang di dalam menegakkan
diagnosis sepsis adalah: 20,21,22,10
1. Kultur Darah
Kultur darah (biakan darah) merupakan baku emas (gold standar) dalam
diagnosis, dan membutuhkan waktu 3-5 hari untuk mendapatkan hasilnya.
Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis awitan dini maupun sepsis
awitan lambat.
2. Pewarnaan Gram
Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah
bakteri penyebab sepsis termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram
negatif. Pemeriksaan atau identifikasi awal kuman dengan pengecatan gram
dapat dilaksanakan di rumah sakit dengan fasilitas laboratorium terbatas dan
bermanfaat dalam menentukan diagnosis sepsis sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur darah.
3. Pemeriksaan Hematologi.
Langkah diagnosis sepsis pada neonatus meliputi hitung sel darah putih/WBC
(White Blood Cell) dengan diferensiasinya, hitung trombosit, I/T ratio,
Pemeriksaan darah untuk sepsis neonatus: hitung sel darah putih dan
diferensiasinya, hitung neutrofil absolut dan ratio immature terhadap neutrofil
total dalam darah telah digunakan dengan luas sebagai tes penyaring adanya
sepsis pada neonatus, namun tidak satupun dari pemeriksaan ini dapat
digunakan dalam menetapkan penyebab utama sepsis pada neonatus.21,22

12
Nilai neutrofil normal, tergantung pada usia bayi, dengan nilai tertinggi pada

umur 12-14 jam pertama kehidupan bayi (range 7.800 – 14.500 sel/mm3).

Selama 72 – 240 jam dari kehidupan awal bayi, nilainya berkisar 2.700 (5th

percentile) – 13.000 sel/mm3 (95th percentile) pada bayi cukup umur (full

term). Hitung imatur neutrofil absolut tertinggi pada 12 jam pertama setelah
lahir. Bila rasio neutrofil imatur dibanding neutrofil total > 0,16 hal ini
menunjukkan adanya infeksi bakteri.17,23
Sebaliknya nilai maksimum ratio immature terhadap hitung total sel
darah putih (I/T ratio) 0,16 saat lahir dan mencapai nilai terendah (Nadir) 0,12
sejalan dengan waktu setelah lahir. NIlai tunggal I/T ratio (>0,3) mempunyai
nilai negative predictive value (NPV) 99 %, tetapi nilai PPV sangat jelek (25 %)
untuk sepsis neonatus.17
Ada dua metoda pemeriksaan untuk menghitung nilai I/T ratio sebagai berikut :
a. Metoda Manual
Rumus untuk menghitung I/T ratio adalah sebagai berikut :
Imatur Granulosit + Stab
I/T ratio =
Total Neutrofil

b. Metoda Otomatis
Metoda ini menggunakan inovasi baru yang telah menemukan alat
hematologi otomatis untuk mengidentifikasi dan menghitung granulosit muda
sehingga dapat meningkatkan kualitas dan biaya dalam pemeriksaan
laboratorium. Hasil pembacaan jenis leukosit dibaca dengan alat CELL-DYN
Rubby kemudian dilakukan perhitungan sesuai rumus perhitungan I/T ratio.24
4. Procalcitonin (PCT)
PCT adalah sebagai alat diagnostik untuk mengidentifikasi infeksi bakteri
berat dan dapat diandalkan untuk mengindikasikan suatu komplikasi sekunder
akibat inflamasi sistemik pada tubuh, sebagai petanda diagnosis sepsis bakterial.
Jumlah PCT meningkat dalam kasus sepsis serta reaksi inflamasi sistemik berat
yang lain. PCT lebih dapat diandalkan untuk mengikuti perjalanan penyakit
pasien dalam kondisi sepsis serta reaksi inflamasi berat yang lain jika

13
dibandingkan dengn parameter lain yang juga meningkat dalam kondisi
tersebut.8,20

2.6 Diagnosis Banding

Berbagai macam kondisi non-infeksi bisa terjadi bersamaan dengan sepsis

neonatus atau membuat diganosis sepsis lebih sulit. Respiraory distress syndrom

akibat defisensi surfaktsn bisa terjadi bersamaan dengan pneumonia bakterial. Karena

sepsis bakterail sangan cepat mengalami progresif, petuga kesehatan harus waspada

akan gejala dan tanda sepsis. Diferensial doagnosis untuk sepsis antara lain di tabel

2.6. 1

Tabel 2.6 Diagnosis banding untuk sepsis. 1

14
2.7 Tatalaksana
Terapi terhadap kecurigaan sepsis ditentukan oleh pola penyakit dan

organisme sesua dengan umur neonatus dan flora yang ada di bangsal. Ketika

hasil kultur sudah diperoleh pemberian terapi antibiotik harus segera dilakukan

baik secara intravena maupun intramuskular (jarang). Terapi empirik awal untuk

early onset of sepsis adalah ampisilin dan aminoglikosida (biasanya

gentamisin),dimana efektif melawan patogen seperti GBS, bakteri gram negatif

dan listeria.1,5

Infeksi nosokomial yang didapat di NICU lebih sering disebabkan oleh

stafilokokus, berbagai macam enterokokus, spesies pseudomonas, spesies

kandida. Oleh karena itu obat antistafilokokus (oxacillin atau nafcillin untuk S.

Aureus atau lebih sering vankomisisn untuk stafilokokus koagulase negatif atau

metisilin resistent S aureous) harus menggantikan ampisilim. 1

Beberapa ahli menyatakan bahwa pemberian terapi antifungal profilaksis

dengan flukonazol untuk BBL resiko tinggi yaitu BBLSR (<1000gram) atau umur

kehamilan kurang bulan (<27 minggu). 1

Ketika hasil kultur sudah dan sensitifity test sudah didapatkan, terapi

antbiotik disesuaikan. Untuk hampir bakteri enterik gram negatif ampisilin dan

aminoglikosida atau sephalosporin generasi ke tiga (cefotaxime atau ceftazidime)

harus digunakan. Enterokokus harus diterapi dengan penisilin (ampisilin atau

piperasilin) dan aminoglikosida. Klindamisin atau metrodinazole unuk antibiotik

anaerob. 1

15
Terapi dilanjutkan sampai hari ke 7 atau ke 10 atau paling sedikit 5

sampai 7 hari setelah didapatkan respon klinis. Kemudian kultur darah 24-48 jam

setelah terapi inisial harus dilakukan. Biasanya hasilnya akan negatif, jika hasil

kultur darah tetap positif kemungkinan kateter yang terinfeksi, endokarditis,

adanya trombus infeksi, abses yang tersumbat, level antibiotik subterapioutik,

atau terjadinya resistent. 1

Tabel 2.7 Terapi antibiotik untuk sepsis neonatal. 8

16
2.8 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi sepsis neonatorum akbiat bakteri anatar lain endokarditis,

emboli septik, pembentukan abses, septik join dengan disabiility residual dan

osteomielitis serta penghancuran tulang. Kandidinemia bisa memicu vaskulitis ,

endokarditis, endoftalmitis dan abses pada ginjal, hepar, paru, dan otak. Sekuele

dari sepsis dihasilkan dari syok septik, DIC, organ failure 1,5

Mortality rate untuk keseluruhan sepsis adalah 10%. Untuk masing-

masing penyebab bakteri ada di tabel 2.8.

Tabel 2.8 Mortality rate untuk sepsis neonatal menurut bakteri penyebab. 1

17
2.9 Pencegahan
GBS sudah dinyatakan sebagai penyebab utama early neonatal sepsis

pada negara berkembang. Untuk pencegahan dapat dilakukan skrening wanita

hamil pada pemeriksaan antenatal dan pemberian atibiotik bila ditemukan kuman

pada pemeriksaan vagina. 1

Imunisasi maternal melalui pemberian vaksin untuk virus rubella,

hepatitis B, VZV, tetanus. Toksoplasmosis dapat dicegah dengan diet yang

cukuop dan menghindari paparan terhadap feses kucing. Managemen progresif

terhadap kecurigaan korioamnionitis adalah dengan memberikan antibiotik

selama persalinan.1 Tabel 2.9 prinsip pencegahan nosokomial neonatal di NICU.1

Tabel 2.9 Prinsip Pencegahan Nosokomial Neonatal di NICU. 1

18
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : By. Ny J

Umur / tanggal lahir : 7 hari / 21 Mei 2019

Jenis Kelamin : Perempuan

No. MR : 52.11.55

Nama Ibu Kandung : Jusnaini

Alamat : Jalan Bypass Koto Bawah Puai Anak

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bayi sesak sejak lahir

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Bayi baru lahir dengan Berat badan 3400 gram, Panjang Badan 47 cm, lahir SC

a.i. Fetal Distress Polihidramnion, preterm di tolong oleh dokter, cairan ketuban

jernih.

- Saat lahir, bayi tidak langsung menangis, 1 menit kemudian bayi menangis tidak

kuat, tidak tampak kebiruan, tidak tampak kuning.

- Sesak nafas sejak lahir, sudah dibantu dengan tetapi resusitasi aktif tetapi sesak

tidak berkurang.

- Demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada

- BAK belum keluar, mekonium sudah keluar

- Telah diberikan inj Vit K 0,5 mg dan obat tetes mata gentamisin ODS

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Ibu tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus


- Saudara pasien tidak ada riwayat sesak nafas saat lahir

19
Riwayat Persalinan :

Lama hamil : kurang bulan Di tolong oleh : dokter

Cara lahir : sectio cesaria Berat lahir : 3400 gr

Indikasi : Fetal distress dan Polihidramnion Panjang lahir : 47 cm

Saat lahir langsung menangis : tidak kuat , tidak biru

Kesan : anak lahir SC a.i. Fetal distress dan Polihidramnion kurang bulan

ditolong dokter dengan berat badan lahir cukup.

Riwayat Makanan dan Minuman :

Bayi : ASI : umur : 0-sekarang Bulan

Susu Formula : umur : - Bulan

Kesan : diberikan ASI

Riwayat Imunisasi : Belum pernah di imunisasi

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Belum dapat dinilai

Riwayat Keluarga :

Ayah Ibu

Nama : Martoni Jusnaini

Umur : 37 tahun 35 tahun

Pendidikan : SMA SMP

Pekerjaan : Wiraswasta IRT

Penghasilan : +1.500.000 -

Perkawinan : pertama pertama

Penyakit yang pernah diderita : Tidak ada Tidak ada

20
Saudara Kandung Umur Keadaan sekarang

1. Perempuan 7 tahun Sehat

2. Laki-laki 3 tahun Sehat


3. Perempuan 7 hari pasien

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : berat Berat Badan : 3400 gram

Kesadaran : composmentis Panjang Badan : 47 cm

Tekanan darah :- Frekuensi nadi : 182 kali / menit

Frekuensi nafas : 72 kali/ menit Suhu : 37,20C

Edema : tidak ada Anemia : tidak ada

Ikterus : tidak ada Sianosis : tidak ada

Kulit : kemerahan

Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran KGB

Kepala : bulat, simetris, ubun-ubun datar

Rambut : warna hitam tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : mikrotia pada telinga kiri

Hidung : Napas cuping hidung ada

Tenggorok : Tonsil dan faring tidak hiperemis

Leher : Tidak teraba pembesaran kgb leher

21
Thorax :

Paru : Inspeksi : Normochest, retraksi epigastrium dan intercosta ada

Palpasi : Fremitus sulit dinilai

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada,

Wheezing tidak ada

Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba LMCS RIC V

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : Irama jantung regular, bising tidak terdengar

Abdomen : Inspeksi : Distensi ada

Palpasi : Hepar teraba ¼ - ¼ dengan tepi tajam, permukaan

rata, lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+)

Punggung : Tidak ditemukan kelainan

Genitalia :

Anggota gerak : akral hangat, CRT > 3 detik, turgor kembali lambat

22
Pemeriksaan Laboratorium (22-05-2019)

Darah :

Hb : 12,4 gr/dL Natrium : 134,4 mmol/L

Leukosit : 25.140 / mm3 Kalium : 3,67 mmol/L

Trombosit : 85.000/ mm3 Calsium : 7,33 mg/dL


Hematokrit : 37,4% Klorida : 101,5 mmol/L

Hitung jenis : 0/2/3/40/53/2

Kesan : Leukositosis

Trombositopenia

DAFTAR MASALAH

- Sesak napas

- Preterm

DIAGNOSIS KERJA

NBBLC BMK gravid 34-35 mg (3400 gr)


Suspect Respiratory Distress ec sepsis

DIAGNOSIS BANDING

Respirasi Distress Syndrome ec HMD

PENATALAKSANAAN

IVFD D10% + Ca Glukonas 10 cc gtt/i

Amphisilin 2x170 mg IV

Gentamisin 1 x 107 mg IV

Pemasangan CPAP FiO2 30% peep 6mmH2

23
FOLLOW UP PASIEN
22 Mei 2019
S/ Sesak nafas sudah berkurang
Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Muntah tidak ada
BAK sudah keluar, BAB belum

O/ HR : 140 kali/menit RR : 42 ventilator T : 37,20c

Bayi rawat dalam inkubator


Warna cairan lambung kecoklatan, untuk sementara pasien puasa
Terpasang CPAP FiO2 45% peep 7

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), cekung


Thorax : Retraksi dinding dada (+)
Suara nafas bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Irama jantung regular, bising tidak ada
Abdomen : distensi ada, bising usus (+) normal, turgor kembali lambat
Ekstremitas: CRT > 3 detik

A/ Respiratory Distress ec susp sepsis

P/ CPAP FiO2 30% peep 6 mmH2


Inj. Ampicilin 2x170 mg
Inj. Gentamicin 1x17 mg
Cek DL, IT
Cek GDR I, GDR II
IVFD D10% + Ca Glukonas 10 cc

24
FOLLOW UP PASIEN
23 Mei 2019
S/ Sesak tidak ada
Demam tidak ada
Kejang 1 x
OGT mengalir warna kecoklatan
BAB (-), BAK (+)
O/ Bayi dalam incubator
Kurang aktif
HR : 135 kali / menit RR: 56 x ventilator T=37,50C
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Retraksi dinding dada minimal
Suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Irama jantung regular, bising tidak ada
Abdomen : distensi ada, bising usus (+) normal, turgor kembali lambat
Ekstremitas: CRT < 3 detik
Hasil Lab
Albumin : 3,23 g/dl
Total protein : 4,6 g/dl
GDR I : 26
GDR II : 48
CaAs : 7,33
A/ Early Onset Sepsis
Hipoglikemi
Hipoalbuminemia
Hipokalsemi
P/ Inj Ampicilin 170 mg 2x1 Advise
Inj Gentamicin 17 mg 1x1 I. Ca 1,7 + aqua 1,7 selama 1 jam
Sibital 0,8 cc IM II. Ca 6,8 +aqua 6,8 selama 6 jam
IVFD : D 10% + ca glukonas 100 cc 9 tpm Koreksi Calsium
Aminosteni infan 60 cc/24 jam
Transfusi Albumin 17 ml selama 10 jam

25
FOLLOW UP PASIEN
24 Mei 2019
S/ Sesak (+)
Oedema (+)
Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Muntah tidak ada
Cairan lambung coklat
BAB (+), BAK (+)
O/ Kurang aktif
HR : 139 kali/ menit RR: 65 x/mnt T=37,1 0C
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Retraksi dinding dada (-)
Suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Irama jantung regular, bising tidak ada
Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal
Ekstremitas: CRT < 3 detik
Bayi rawat dalam incubator, terpasang CPAP
Bayi masih puasa OGT dekompresi
Koreksi kalsium sudah selesai jam 20.00 wib
Transfusi albumin sudah selesai jam 23.30 wib
Hasil lab
Ca : 9,60 K : 3,48 Cl: 103,3 Na : 135,1 GDR : 96
A/ Early Onset sepsis perbaikan
Hipokalemia
P/ Terapi lanjut
CPAP FiO2 25% peep 7 mmHg
IVFD Kogtil 11ml/jam
Ampicilin 2 x 170 mg
Gentamicin 1 x 17 mg
Sibital 2 x 8 mg IV
Aminosteni Infan 80 ml/24 jam
Ranitidin 2x 3,5 mg iv

26
FOLLOW UP PASIEN
25 Mei 2019
S/ Sesak (+)

Oedema (+)
Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Muntah tidak ada
BAB (+), BAK (+)
Bayi rawat dalam incubator terpasang CPAP
Intake masuk, toleransi baik
O/ HR : 146 kali / menit RR: 66 x/mnt T=36,90C
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Retraksi dinding dada (+)
suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Irama jantung regular, bising tidak ada
Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal
Ekstremitas: CRT < 3 detik
A/ Early onset sepsis perbaikan
P/ Lanjutkan terapi
Transfusi albumin ke 2 jam 11.00
IVFD kogtil 7cc/jam
Aminostenil infan 3,3 cc/jam
Inj Ampicilin 2 x 170mg
Inj Gentamicin 1 x 17mg
Oral care 3 x 0,1 ml

27
FOLLOW UP PASIEN
26 Mei 2019
S/ Sesak (+)
Oedema (+)
Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Muntah tidak ada
Tampak kuning seluruh tubuh
BAB (-), BAK (+)
Cairan lambung jernih, Lendir (+)
Bayi rawat dalam incubator terpasang CPAP
Intake masuk, toleransi baik

O/ HR : 129 kali / menit RR: 62 x/mnt T=36,90C


Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Retraksi dinding dada (+) minimal
suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Irama jantung regular, bising tidak ada
Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal
Ekstremitas: CRT < 3 detik

A/ Early onset sepsis perbaikan


Ikterus Grade IV

P/ Lanjutkan terapi
ASI 8x8 ml/OGT
IVFD kogtil 9cc/jam
Aminostenil infan 5,5 cc/jam
Inj Ampicilin 2 x 165 mg
Inj Gentamicin 1 x 16 mg
Fototerapi
Cek Albumin, elektrolit, Bilirubin total, direct, indirect

28
FOLLOW UP PASIEN
27 Mei 2019
S/ Sesak (+) berkurang
Oedema (+)
Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Muntah tidak ada
Tampak kuning seluruh tubuh
BAB (-), BAK (+)
Cairan lambung jernih, Lendir (+)
Bayi rawat dalam incubator terpasang CPAP
Intake masuk, toleransi baik
O/ HR : 140 kali / menit RR: 61 x/mnt T=37,80C
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Retraksi dinding dada (-)
suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Irama jantung regular, bising tidak ada
Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal
Ekstremitas: CRT < 3 detik
Hasil Lab
Albumin : 3,18 Kalium : 3,64 HT : 41,5%
Bill D : 14,03 Natrium : 140,8 Trombosit : 16.000
Bill I : 19,03 Khlorida : 110 Diffcount : 0/5/8//40/39/7
CaAs : 8,1 Hb : 14,3 IT:Metamielosit: 2%,B :20% S :78%
TP : 5.0 Leukosit : 13,370
A/ Ikterus Grade IV
Trombositopenia
Hiperbilirubinemia
P/ Lanjut Terapi Inj Ampicilin 2x165 mg
CPAP Inj Gentamicin 1x16 mg
ASI 8x14 ml/OGT Urfafalk 3x20 mg
IVFD kogtil 9cc/jam Transfusi PRC
Aminostenil infan 5,5 cc/jam

29
BAB IV

DISKUSI

Seorang bayi perempuan, usia 7 hari, masuk ke NICU RSAM Bukittinggi

pada tanggal 21 Mei 2019 dengan keluhan utama sesak napas sejak lahir. Berat badan

lahir 3400 gram dan panjang badan 47 cm, lahir sectio cesaria atas indikasi Preterm,

Fetal Distress dan Polihidramnion, langsung menangis, tidak kuat dan ketuban jernih.

Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan faktor resiko, baik dari ibu maupun

anak, gejala klinis sepsis dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini ditemukan satu

resiko mayor sepsis yaitu denyut jantung bayi lebih dari 160 kali per menit dan dua

resiko minor sepsis yaitu Bayi lahir dengan APGAR rendah yaitu 5/6 dan usia gestasi

kurang dari 37 minggu. Sehingga kecurigaan Sepsis pada bayi ini tidak bisa

disingkirkan.

Gambaran klinis yang ditunjukkan dari bayi ini juga mengarah kepada sepsis

yaitu peningkatan laju denyut jantung bayi lebih dari 160 kali per menit, pernafasan

lebih dari 60 kali per menit disertai dengan adanya retraksi dinding dada , pengisian

capiller refilling time lebih dari tiga detik, peningkatan jumlah leukosit lebih dari

25.000 mm3 dan penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000 mm3.

Berdasarkan sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal didapatkan skor

pada bayi ini adalah 2, yaitu terdapat tanda infeksi dan melibatkan dua atau lebih

organ yang terlibat dan didapatkan hasil leukosit diatas 20.000 mm3. Pasien dikatakan

sepsis jika skor > 2.

Diagnosis banding pada bayi ini adalah Respiratory Distress ec Hialin

Membran Disease atau RDS (Respiratory Distress Syndrome). Hal ini merupakan

sindrom gawat nafas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang

30
lahir dengan masa gestasi yang kurang. Berdasarkan etiologi terjadinya RDS, pada

pasien ini ditemukan tiga etiologi yaitu bayi lahir prematur, Asfiksia perinatal

dikarenakan riwayat fetal distress dan bayi prematur yang lahir dengan cara Sectio

Caesaria. Riwayat ibu diabetes pada kasus ini disangkal dan perlu untuk ditelusuri

lebih jauh agar bisa memperkuat diagnosa pada kasus ini.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian antibiotik

spektrum luas, diberikan Amphisilin 2 x 170 mg dan Gentamisin 1 x 17 mg. Terapi

empirik awal untuk early onset of sepsis adalah ampisilin dan aminoglikosida

(biasanya gentamisin), dimana efektif melawan patogen seperti GBS, bakteri gram

negatif dan listeria.

Pasien juga diberikan terapi oksigen untuk mengatasi sesak nafas, pada

pasien ini didapatkan Down score nya adalah 4, sehingga pasien diberikan CPAP

(Continous Positive Airway Pressure) , pemasangan CPAP ini juga berdasarkan

indikasi Neonatus Preterm dengan Respiratory Distress Syndrom (RDS).

Pada rawatan hari ke-2 pasien kejang, hal ini bisa terjadi karena infeksi telah

sampai ke otak (meningitis). Gangguan pada otak mengakibatkan terganggunya pengaturan

motorik, sensorik, dan otonom tubuh. Pada pasien ini juga ditemukan kadar glukosa darah

yang rendah yaitu GDR I : 26 mg/dl, GDR II : 48 mg/dl, dan kadar kalsium dalam

darah yang rendah yaitu 7,33. Bayi hipoglikemia, dengan kadar glukos darah <45

mg/dl yang berkepanjangan akan mengakibatkan dampak pada susunan saraf pusat.

Keadaan ini dapat bersifat sementara akibat kekurangan produksi glukosa karena

kurangnya depot glikoden di hepar atau menurunnya glukoneogenesis lemak dan

asam amino. Bila pembentukan energi dari glukosa turun, akan terjadi kerusakan neuron..

Kelainan elektrolit seperti hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia juga

menyebabkan kejang pada neonatus.

31
Pada pasien juga didapatkan penurunan kadar Albumin, yaitu 3,23 g/dl. Pada

sepsis terjadi pelepasan sitokin proinflamasi oleh makrofag dengan mediator-

mediatornya mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan

menghasilkan kerusakan endotel. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi

pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pem-bentukan

mikrotrombin sehingga menyebabkan kerusakan organ. Inflamasi sel-selendotelial

menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah dan dapat terjadi

peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.

Kebocoran kapiler ini menyebabkan terjadinya difusi albumin dari intravaskuler ke

ekstravaskuler. Hal ini dapatmemicu terjadinya hipoalbuminemia.24

Pasien diberikan terapi sibital 0,8 cc IM untuk mengatasi kejang, dan koreksi

kadar glukosa darah dan elektrolit. Pasien juga diberikan transfusi albumin 17 ml

selama 10 jam. Pada kejang neonatorum dengan Hipoglikemia diberikan terapi

Glukosa 10% : 2ml/kg BB IV dan fenobarbital: 20 mg /Kg BB selama 10-15 menit

IV, IM.Jika diberikan IM dosis dinaikkan 10-15% dari dosis IV, jika masih terdapat

kejang dosis dapat ditambahkan 5 mg/kg BB sampai mencapai dosis maksimal 40

mg/kg BB. 25

Pada hari rawatan ke-6 pasien tampak kuning diseluruh tubuh, dan

didapatkan peningkatan kadar bilirubin direct 14,03 dan bilirubin indirect 19,03.

Bakteri yang menyebabkan sepsis dapat menyerang hepar yang dapat menyumbat

saluran hepar dan menyebabkan kolestasis. Kemudian dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan destruksi eritrosit sehingga terjadi pemecahan hemoglobin yang

berlebihan di dalam sistem retikulo endotelial oleh enzim heme oksigenase menjadi

biliverdin, selanjutnya oleh enzim biliverdin reduktase dirubah menjadi bilirubin

indirek.26 Karena terjadinya penyumbatan pada ductus biliaris dan destruksi eritrosit

32
sehingga terjadi pemecahan hemoglobin yang berlebihan memicu peningkatan kadar

bilirubin pada neonatus, dan bayi akan tampak kuning.

Terapi yang diberikan untuk mengatasi kuning pada bayi adalah pemberian

Urdafalk 3x20 mg. Urdafalk adalah obat dengan kandungan Ursodeoxycholic acid
,merupakan asam empedu tersier endogen yang disintesis di hepar dari 7
ketolithicolic acid, yang merupakan hasil produk dari oksigenasi asam

kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus. Pada keadaan kolestasis karena terjadi
hambatan aliran empedu ke usus, asam empedu tersebut akan merusak hati yang bila
berlangsung lama akan menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan

UDCAterdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara AKDK,


asam deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCAmemegang peranan penting
dalam pengobatan kolestasis.27

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, R.E., Geme J.W, Schor, N., Stanton B., Kliegman R. Nelson

Textbook of pediatrics 19th.2011. Elsavier

2. Gebremedin D, Berhe H., Gebrekirston. Risk Factors for Neonatal Sepsis in

Public Hospitals of Mekelle City, North Ethiopia 2015: Unmatched Case

Control Study. 2015. PLOS ONE | DOI:10.1371/journal.pone.0154798 May

10, 2016

3. Shah B,A., Padbury J. Neonatal sepsis An old problem with new insights.

2014. Virulence 5:1, 170–178; January 1, 2014; c 2014 Landes Bioscience

4. Verma et al. Neonatal sepsis: epidemiology, clinical spectrum, recent

antimicrobial agents and their antibiotic susceptibility pattern. 2015. Verma P

et al. Int J Contemp Pediatr. 2015 Aug;2(3):176-180

5. Lopez E.S., Guiral E.,Soto S. Neonatal Sepsis by Bacteria: A Big Problem for

Children. 2013. Saez-Lopez et al., Clin Microbial 2013, 2:6

6. Assicot M, Gendrel D, Carsin H, Raymond J, Guilbaud, Bohnon C. High

Serum Procalcitonin Concentration in Patient with Sepsis and Infection.

Lancet, 1993; 341; 515-518.

7. Haque KN, Definition of Blood Streamy Infection in the New Born. Pediatr

Crit Care Med 2005; 6; 545-9.

8. Darni Fayanti, Guslihan, Dasa Tjipta, Rusdidjas, Bugis Mardiana Lubis.

Immature to Total Neutrophyl Ratio as an Early Diagnostic tool of Bacterial

Neonatal Sepsis. Pediatr Indones, 2015, May; vol 55 (33); 153-7.

9. Polin RA. Management of Neonates with Suspected or Proven Early Onset

Bacterial Sepsis. Pediatr, May, 2012; vol 129/issue 5.

34
10. Herry Garna. Pedoman Diagnosis dan Terapi IKA, edisi 3, Bagian IKA FK

Unpad, Bandung, 2005:109-112.

11. Ekrem Guler, Mehmet Davutoglu, Hasan Ucmak, Hamza Karabiber and faruk

Kokoglu. An Outbreak of Serratia marcescens Septicemia in Neonates. Indian

Pediatric Journal, volume 46, Januari 17, 2009: 61-69.

12. Michael Meisner. Procalcitonin – Biochemistry and Clinical Diagnosis Ist

Eds. Bremen, Uni-Med, 2010.

13. Sepsis neonatorum. Standar Pelayanan Medik Divisi Perinatologi FKUI

/RSCM 2004.

14. Asril Aminullah. Diagnosis dan Tatalaksana Sepsis pada Bayi Baru Lahir.

Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM Jakarta, 2004.

15. Sagori Mukhopadhyay and Karen M. Puopolo. Risk Assessment in Neonatal

Early-Onset Sepsis. Semin Perinatol, 2012 Dec; 36(6); 408-415.

16. Minoo Adib, Zahra, Bakhshiani, Hamidreza Kazem Zadeh. Procalcitonin a

reliable for the Diagnosis of Neonatal Sepsis. Iran J Basic Med Sci, 2012 Mar-

Apr; 15 (2): 777-782.

17. Dandona P, Nix D, Wilson MF, Aljade, Lone J, Ascot M. Procalcitonin

Increase after Endotoxin Injection in Normal Subject. J. Clin Endocrinal

Metab, 1994; 79; 1605-1608 (Pubmed).

18. Eviridiki K. Vouloumanov, Eleni Plessa Drosos E, Kara Georgo Povles, Elpis

Manta Dakis, Mattew E. Falagas. Serum Procalcitonin as a Diagnostic Marker

for Neonatal Sepsis : a systematic review and metaanalysis. Intensive Care

Med (2011) 37;747-762.

35
19. Wacker C, Prkno A, Brunkhorst FM, Schlattmann P. Procalcitonin as a

diagnostic marker for sepsis: a systemic review and meta-analysis. Lancet

Infect. Dis. 2013 May; 13(5); 426-35.

20. Balamurugan Senthilnayagam, Treshul Kumar, Jayapriya Sukumaran, Jeya M,

Ramesh Rao K. Automated Measurement of Immature Granulocytes:

Performance Characteristics and Utility in Routine Clinical Practice.

Pathology Research International Volume 2012 (2012); Artcle ID 483670, 6

pages http://dx.doi.org/10.1155/2012/483670.

21. Christensen RD, Bradley PP, Rothstein G. The Leukocyte left shift in clinical

experimental neonatal sepsis (Abstract). J. Pediatr. 1981 Jan; 98(1): 101-5.

22. A Ng-AT, Honk, Chia SE. The Usefullness of CRP and I/T Ratio in Early

Diagnosis of Infections. The Journal of the Singapore Pediatric Society. 1990;

32(3-4);159-163. nobi. nlm. nih. gov.

23. Lehto T, Hedberg P. Performance evaluation of Abbott CELL-DYN Ruby for

routine use. Int J Lab Hematol, 2008 Oct; 30 (5): 400-7. Doi:1111/j.1751-

553X.2007.x.

24. Ballmer PE. Causes and mechanisms of hypoalbuminaemia. Clinical


Nutrition. 2001; 20(3): 271-3.
25. Riviello Jr JJ. Drug therapy for neonatal seizures: Part 1. NeoReviews 2004;
5:215-20.
26. Chang, N. & Sanyal, A.J. Sepsis-Induced Cholestasis. Hepatology. 2007: 45
(1).
27. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. medical and nutritional management
of cholestasis. In: Suchy F, Sokol R, Balisteri W, editors. Liver disease in
children. Edisi ke-2 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. h.
195-225.

36

Anda mungkin juga menyukai