Anda di halaman 1dari 21

HUBUNGAN BUDAYA DAN GIZI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah gizi yang kurang saat ini masih tersebar luas dinegara-negara berkembang, termasuk
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM. Pada sisi lain, masalah gizi di Negara
maju, yang juga mulai terlihat di Negara-negara berkembang,termasuk Indonesia sebagai
dampak keberhasilan di bidang ekonomi. Penyuluhan gizi secara luas perlu digerakan bagi
masyarakat guna perubahan prilaku untuk meningkatkan keadaan gizinya.
Kualitas gizi di Indonesia Sangat memprihatinkan, hal ini dapat dilihat dari rendahnya nilai gizi
masyarakat, banyak gizi buruk, busung lapar di daerah-daerah karena tingginya tingkat
kemiskinan. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor ekonomi,
sosial budaya, kebiasaan dan kesukaan. Kondisi kesehatan termasuk juga pendidikan atau
pengetahuan. Selain tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan masyarakat, banyak faktor yang
mempengaruhi status gizi seseorang, baik faktor individu, keluarga maupun masyarakat.
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari sabang
sampai merauke dengan latar belakang dari etnis,suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda
satu dengan yang lainnya hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat
yang turut memenuhi menu makanan maupun pola makanan. Banyak sekali penemuan para ahli
sosiologi dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan terhadap proses
terjadinya kebiasaan makanan dan bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang
menimbulkan berbagai masalah gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan baik oleh kita
yang mengkonsumsi. Kecenderungan muncul dari suatu budaya terhadap makanan sangat
bergantung pada potensi alamnya atau faktor pertanian yang dominan.

1.2 Identifikasi Masalah


Sesuai dengan judul makalah ini “Hubungan Budaya dan Gizi”.
Berkaitan dengan judul tersebut, maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Bagaimana hubungan budaya dengan gizi ?


2. Apakah pengaruh budaya terhadap gizi berdampak buruk bagi kesehatan ?

1.3 Tujuan

Tujuan penulis menulis makalah ini karena penulis merasa hal ini perlu diperhatikan. Maka dari
itu penulis menulis makalah ini dengan tujuan tak lain adalah :

1. Agar masyarakat lebih mengetahui secara spesifik bagaimana budaya berpengaruh pada gizi.
2. Supaya masyarakat sadar bahwa tidak semua budaya baik bagi kesehatan.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Hakikat Budaya


Secara ringkas, budaya terdiri dari suku kata yakin budi dan daya (akal). Dalam bahasa inggris
disebut culture yang berarti segala upaya dan kegiatan manusia untuk mengelolah alam. Secara
definiti, hakikat budaya memenga kompleks karena mencakup ideologi, kepeercayaan, moral,
hukum, adat dan lain sebaginya.
Kebudayaan jika dimaknai secara bebas adalah hasil cipta manusia, yang dilandasi dari
kebiasaan, kepedulian yang dibangun dengan sentuhan karya seni, yang bertujuan menunjukan
eksitensi sebuah komunitas masyarakat. Kebasaan-kebiasaan ini berlangsung sejak lama dan
diteruskan dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.
Ketika budaya tubuh pada sebuah komunitas masyarakat, maka masing-masing anggota
masyarakan wajib memelihara budaya tersebut agar identitasnya tak luntur.

Sifat Budaya
Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan sifat kebudayaan.
• Terjadi karena perubahan perilaku kebiasaan (habit) manusia.
• Cenderung berkembaang dalam setiap zaman.
• Tradisi tertentu masih perlu melakukan ritual tertentu karena mengan manusia, menganggap
ada kekuatan lebih besar selain dari manusia, yakni tuhan.
• Kebudayaan seperti musik cenderung abadi. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya
langgam-langgam lawas yang dirilis ulang.
• Hukum dan budaya menghadapi persoalan yang serius. Hal ini sering terjadi ketika penentuan
tanah berdasarkan hukum adat dan ungdang-undang agraria negara.

Budaya dan Kebudayaan


Budaya dan kebudayaan adalah hasil dari Perbuatan sehari-hari yang kemudian tumbuh menjadi
kebiasaan. Ingat, setiap budaya memiliki standar logika dan etika yang berbeda-beda. Budaya
orang sunda, jawa dan sumatera, berbeda dengan budaya orang kalimantan, sulawesi atau papua.
Budaya tidak melulu produk kebiasaan atau kesenian. Tetapi juga melahirkan teknologi digdaya
yang berguna bagi kehidupan orang banyak.

2.2 Hakikat Gizi

Istilah gizi berasal dari bahasa Arab “Giza“ yang berarti zat makanan, dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi. Lebih luas diartikan
sebagai suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui
proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat
gizi untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh serta untuk
menghasilkan tenaga.

Fungsi dari Gizi


Gizi memiliki beberapa fungsi yang berperan dalam kesehatan tubuh makhluk hidup, yaitu:
1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh
yang rusak
2. Memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari
3. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh
yang lain
4. Berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit (protein)

2.3 Status Gizi

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan
oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan
yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Budaya dan Gizi


Malnutrisi erat kaitannya dengan kemiskinan dan kebodohan serta adanya faktor budaya yang
memengaruhi pemberian makanan tertentu. Banyaknya penderita kekurangan gizi dan gizi buruk
di sejumlah wilayah di Tanah Air disebabkan ketidaktahuan akan pentingnya gizi seimbang.
Faktor budaya sangat berperan penting dalam status gizi seseorang. Budaya memberi peranan
dan nilai yang berbeda terhadap pangan dan makanan.Misalnya tabu makanan yang masih
dijumpai di beberapa daerah. Tabu makanan yang merupakan bagian dari budaya menganggap
makanan makanan tertentu berbahaya karena alasan-alasan yang tidak logis. Hal ini
mengindikasikan masih rendahnya pemahaman gizi masyarakat dan oleh sebab itu perlu
berbagai upaya untuk memperbaikinya. Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk
mengonsumsi suatu jenis makanan tertentu karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman
terhadap yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis yaitu adanya
kekuatan supernatural yang berbau mistik yang akan menghukum orang-orang yang melanggar
pantangan atau tabu tersebut.
Di Bogor masih ada yang percaya bahwa kepada bayi dan balita laki-laki tidak boleh diberikan
pisang ambon karena bisa menyebabkan alat kelamin/skrotumnya bengkak. Balita perempuan
tidak boleh makan pantat ayam karena nanti ketika mereka sudah menikah bisa diduakan suami.
Sementara di Indramayu, makanan gurih yang diberikan kepada bayi dianggap membuat
pertumbuhannya menjadi terhambat. Untuk balita perempuan, mereka dilarang untuk makan
nanas dan timun. Selain itu balita perempuan dan laki-laki juga tidak boleh mengonsumsi ketan
karena bisa menyebabkan anak menjadi cadel. Mereka menganggap bahwa tekstur ketan yang
lengket menyebabkan anak tidak bisa menyebutkan aksara ‘r’ dengan benar.
Selain itu unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang
kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Kebiasaan makan adalah tingkah laku
manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi
sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi, 1989). Suhardjo (1989) menyatakan
bahwa kebiasaan makan individu atau kelompok individu adalah memilih pangan dan
mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya.
Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan pangan, pola
sosial budaya dan faktor-faktor pribadi (Harper et al., 1986). Hal yang perlu diperhatikan dalam
mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan
terhadap makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu
(Wahyuni, 1988). Khumaidi (1989) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang
baik atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat
terpenuhinya kecukupan gizi), seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan
konsep-konsep gizi. Menurut Williams (1993), masalah yang menyebabkan malnutrisi adalah
tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik.
Kebiasaan makan dalam rumahtangga penting untuk diperhatikan, karena kebiasaan makan
mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi tinggi
rendahnya mutu makanan rumahtangga.
Oleh karena itu, penyuluhan gizi penting untuk terus menerus dilakukan untuk memperbaiki
pengetahuan gizi dan kebiasaan makan masyarakat. Penyuluhan gizi menjadi landasan terjadinya
perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kelembagaan penyuluhan gizi seperti Posyandu
perlu lebih diperkuat sehingga aktivitas penyuluhan tidak terabaikan.

3.2 Dampak Pengaruh Budaya Terhadap Gizi Bagi Kesehatan

Pengaruh budaya terhadap gizi ada dampak buruk dan baiknya. Dampak buruk pengaruh budaya
terhadap gizi bagi kesehatan masyarakat adalah timbulnya masalah kekurangan gizi dimasyrakat
sekitar, karena masih banyak masyarakat yang mempercayai hal-hal tabu dalam budaya mereka.
Sehingga membuat apa yang seharusnya dibutuhkan oleh tubuh tidak terpenuhi, yang
menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit gizi. Contohnya

Akseptabilitas (daya terima) Aseptabilitas menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap


makanan yang terkait dengan cara memilih dan menyajikan pangan.
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam catatan antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian


masyarakat. Tahap pertama (gelombang hidup pertama) ditandai dengan adanya peradaban
manusia yang didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa
itu dengan makan makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan
memakan hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu kemudian dimakan.

Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban yang pertama, manusia beranjak pada tahapan
agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi berburu dan meramu, melainkan sudah
pada tahap bercocok tanam. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun adalah
makanan hasil olahan.

Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan
persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat. Oleh
karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya berbeda akan
menunjukkan persepsi ini terhadap makanan yang berbeda.

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola makan dan gaya hidup
masyarakat menjadi semakin modern. Hal tersebut juga merubah stuktur sosial dan kebudayaan
masyarakat. Perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan pola konsumsi, produksi, dan
distribusi pangan.

Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji (fast food). Hal ini
mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan
kerja keras. Padahal, dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki
kandungan garam yang sangat tinggi.

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung


pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Budaya berkembang karena kita hidup bersama orang lain di masyarakat. Hidup dengan orang
lain menimbulkan kebutuhan untuk menentukan perilaku apa saja yang dapat diterima semua
anggota kelompok. Norma budaya dilandasi oleh nilai-nilai, keyakinan dan sikap yang dipegang
oleh anggota kelompok masyarakat tertentu. Sistem nilai mempunyai dampak dalam perilaku
membeli, misalnya orang yang memperhatikan masalah kesehatan akan membeli makanan yang
tidak mengandung bahan yang merugikan kesehatannya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya dan Komsumsi

1. Pengertian Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitubuddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.
Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:

1) Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan,


kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang
didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

2) M. Jacobs dan B.J. Stern

Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi,
dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.

3) Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

4) Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia
dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.

5) William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang
dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.

6) Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

2. Pengertian Komsumsi

Komsumsi adalah kegiatan manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa (baik
mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa) untuk memenuhi kebutuhan
dan memperoleh kepuasan.

Berikut ini definisi-definisi komsumsi yang dikemukakan beberapa ahli:

a. Menurut drs. Hananto dan Sukarto T.J

Konsumsi adalah bagian dari penghasilan yang dipergunakan untuk membeli barang-barang atau
jasa-jasa guna memenuhi hidup.

b. Menurut Albert C Mayers

Konsumsi adalah penggunaan barang-barang dan jasa yang langsung dan terakhir guna
memenuhi kebutuhan hidup manusia

c. Menurut ilmu ekonomi

Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang maupun jasa
untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga kelangsungan hidup.

B. Pola Konsumsi Pangan

Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk mengetahui kenyataan apa yang dimakan
oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengatur status gizi dan menemukan faktor diet
yang dapat menyebabkan malnutrisi.

1. Refleksi Pola Pangan


Secara sederhana pola makan yang benar dapat kita terjemahkan sebagai upaya untuk mengatur
agar tubuh kita terdiri dari sepertiga padatan (berupa makanan), seperti cairan dansepertiganya
adalah ruangan kosong untuk udara. Prinsip sepertiga padatan,sepertiga cairan dan sepertiga
ruang kosong tersebut mengajarkan kepada kita suatu pola keseimbangan tubuh melakukan
metabolisme secara wajar.

Dewasa ini berbagai penyakit akibat infeksi dan gizi kurang telah berhasil di tekan berkat
kemajuan ilmu kesehatan,teknologi pangan dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi
meningkatnya kemakmuran masyarakat Indonesia yang disertai gaya hidup santai (sedentary life
style) dan perubahan pola makan, menyebabkan meningkatnya berbagai penyakit akibat gizi
lebih,dan penyakit degenaratif (seperti jantung,diabetes,kanker,osteoporosit,dll).

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan refleksi dari apa yang kita makan sehari-hari,
status gizi dikatakan baik apabila pola makan kita seimbang, artinya banyak dan jenis makanan
yang nkita maakan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Apabila yang dimakan melebihi
kebutuhan tubuh maka tubuh akan kegemukan, sebaliknya bila yang dimakan kurang dari yang
dibutuhkan maka tubuh akan kurus dan sakit-sakitan. Kedua keadaan tersebut sama tidak
baiknya sehingga disebut gizi salah.

Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendapatan,
pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan
gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang jadi konsumtif dalam pola makanya sehari-hari.
Dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan
selera ketimbang gizi.

Dewasa ini meningkatnya arus globalisasi, termasuk globalisasi pola konsumsi makanan, tidak
dapat dibendung, kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis siap
santap (fast food) seperti ayam goreng, pizza, hamburger dan lain-lain, telah meningkatkan tajam
terutama dikalangan generasi muda dan kelompok masyarakat ekonomi menengah keatas dikota-
kota besar, dipihak lain, kecintaan masyarakat terhadap makanan tradisional Indonesia mulai
menurun.

Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakaat, pengaruh promosi melalui iklan, serta
kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan timbulnya kebutuhan
psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi menengah keatas. Kebutuhan psikogenik
(semata-mata timbul karena faktor psikogenik) ini ditandai dengan pemilihan bahan-baahan
mkanan yang terlalu mewah, padat kalori dan protein, serta berharga mahaal,yang
sesungguhnyantidak diperlukan tubuh untuk hidup sehat.

The national Academy of Sciences menyatakan, faktor makanan bertanggung jawab atas 60%
kasus kanker pada wanita dan 40% pada pria. Beberapa cara untuk mencegah kanker yang dapat
disarankan adalah ; menghindari obesitas; mengurangi berlemak; meningkatkan makanan
berserat, meningkatkan konsumsi anti oksidan berupa vitamin A, C, dan E, menghindari
penggunaan alkohol, serta membatasi makanan yang diawetkan dengan garam, asap dan nitrat.

2. Variasi Makanan

Didunia ini tidak ada satupun bahan pangan yang mengandung sekaligus semua unsur gizi yang
kita perlukan, dalam jumlah yang cukup. Dengan demikian bila kita ingin memenuhi kebutuhan
semua zat gizi, baik macam maupun jumlahnya, maka tidak ada cara lain kecuali menambah
keragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari.

Dengan kombinasi konsumsi yang beragam, maka unsur-unsur gizi dari bahan pangan tersebut
akan saling melengkapi satu sama lain, kekurangan zat gizi dari bahan pangan satu, akan ditutupi
oleh bahan pangan lainnya. Dengan demikian maka konsumsi pangan yang beragam akan lebih
baik bagi kesehataan tubuh, dibandingkan dengan pola konsumsi yang hanya mengandalkan
kepada bahan pangan tunggal tertentu.

Contoh diversifikasi konsumsi pangan adalah mengkombinasikan sumber karbohidrat yang


berupa jagung,umbi dan sagu dengan ikan dan kacang-kacangan sebagai sumber protein dan
sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral. Supaya suatu bahan menarik perhatian maka harus
diolah dan divariasikan, sehingga diperoleh produk pangan denagn penampilan bentuk, tekstur,
warna, aroma, dan cita rasa yang memikat.

3. Pola Pangan 4 Sehat 5 Sempurna

Pola pangan 4 sehat 5 sempurna diciptakan pada tahun 1950-an oleh Prof. Poerwo Soedarmo
yang sering disebut juga sebagai bapak gizi Indonesia. slogan “Empat sehat lima sempurna’’
berisikan lima kelompok makanan yaitu :

1) Makana pokok

2) Lauk pauk

3) Sayur-sayuran

4) Buah-buahan dan

5) Susu.

Kelima kelompok makanan ini dituangkan dalam suatu logo berbentuk lingkaran yang
menempatkan makanan satu sampai empat disisi dalam lingkaran mengelilingi kelompok ke-5
yaitu susu dibagian tengah. Karena ada kesan perbedaan mengenai susu, maka kemudian ada
upaya untuk merubah kesan tersebut, sehingga pada tahun 1991 Departemen Kesehatan
menerbitkan buku pedoman menyusun menu nsehat bergizi untuk keluarga. 4 sehat sempurna
dengan logo yang telah mengalami perubahan , jadi golongan makanan disusun dalam lingkaran
dan terdiri dari lima belahan (menurut arah putaran jarum jam); 1) makanan pokok, 2)sayur-
sayuran, 3) susu, 4) buah-buahan dan yang 5) lauk-pauk.

4. Pedoman Umum Gizi Seimbang

Pada tahun 1992 di Roman, Italia diadakan kongres gizi internasional yang merekomendasikan
agar setiap negara menyusun Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) untuk menghasilkan
sumber tenaga manusia yang handal. Oleh karena itu indonesia melalui Direktorat Bina Gizi
masyarakat, Departemen Kesehatan (Depkes) membuat pedoman umum gizi seimbangdengan
logo yang berbentuk kerucut atau tumpeng yang berbentuk dari 3 tngkat,yaitu :

1) Tingkat dasar menggambarkan zat tenaga, yaitu padi-padian, umbi-umbian, dan tepung-
tepungan

2) Diisi dengan kelompok makanan zat pengatur, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan

3) Kelompok makanan zat pembangun, yaitu gabungan makanan hewani (termasuk susu) dan
nabati.

Dangan melihat perkembangan yang ada pada tahun 2002 Depkes telah merampungkan revisi
terhadap PUGS tahun 1994. Bentuk logo PUGS sama dengan tahun 1994, yaitu kerucut atau
tumpeng tetapi menjadi terdiri dari 4 bagian, refisi tersebut adalah :

· Pertama jumlah tingkat kerucut yang sebelumnya tiga menjadi empat tingkat yaitu :
tingkat dasar bahan makanan sumber tenaga, karbohidrat, tingkat kedua sayur dan buah, tingkat
ketiga protein hewani dan nabati dan ke empat golongan lemak dan minyak

· Kedua terdapat tingkat tiga yang berisi makanan sumber zat pembangun/protein, terbuat
secara terpisah antara hewani dan nabati (sebelum digabungkan)

· Ketiga penempatan lemak dan minyak pada puncak tertinggi tumpeng yang sebelumnya
tidak ada

· Keempat adanya petunjuk penggunaan masing-masing golongan makanan tersebut dalam


bentuk porsi.

Di indonesia PUGS tersebut dijabarkan sebagai 13 pesan dasar yang dapat dijadikan pedoman
bagi setiap penduduk, adalah sebagai berikut :

a) Makanlah aneka ragam makanan, yaitu makanan sumber zat tenaga (kerbohidrat), zat
pembangun (protein), serta zat pengangkut (vitamin dan mineral).

b) Makanlah makanan untuk memenuhi kebutuhan energi, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi
dari tiga sumber utama, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak.
c) Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi. Konsumsi gula
sebaiknya dibatasi 5% dari jumlah kecukupan energi atau sekitar 3-4 sendok perhari, 50-60%
kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat kompleks, setara dengan 3-4 piring nasi.

d) Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi.
Mengkonsumsi lemak hewani secara berlebihan dapat menyebabkan penyempitan pembuluh
darah arteri dan penyakit jantung karoner.

e) Gunakan garam beryodium,untuk mencegah timbulnya gangguan akibat kekurangan


iodium (GAKI).

f) Makanlah makanan sumber zat besi, untuk mencegah anemia besi.

g) Pemberian ASI saja pada bayi sampai 6 bulan. Pemberian ASI secara eksklusif ini sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.

h) Biasakan makan pagi, untuk memelihara ketahanan fisik dan meningkatkan produktifitas
kerja

i) Minumlah air bersih aman dan cukup jumlahnya, yaitu minimal 2 Liter atau setara dengan
8 gelas perhari.

j) Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur, untuk mencapai berat badan normal
dan mengimbangi konsumsi energi yang berlebihan.

k) Hindari minum-minuman berakhohol

l) Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan, yaitu bebas dari cemaran bahan kimia dan
mikroba berbahaya yang dapat menyebabkan sakit.

m) Bacalah label pada makanan yang dikemas, untuk mengetahui komposisi bahan penyusun
(ingridien), komposisi gizi serta kadarluasanya.

i. (31-05-2010 medicastore.com)

5. Konsumsi Energi dan Protein

Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VI, 1998, terjadi perubahan
tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein menjadi 2200 Kalori/kapita/hari (AKE) dan 48
gram/kapita/hari (AKP). Mengacu pada standar anjuran tersebut dan data pada Tabel 3, terlihat
tingkat konsumsi energi rumah tangga di Indonesia termasuk di propinsi Jawa Barat masih
dibawah standar yang dianjurkan. Sebaliknya tingkat konsumsi protein rumah tangga sudah
melebihi anjuran bahkan sejak sebelum krisis ekonomi.

Terdapat kecenderungan tingkat konsumsi energi di desa lebih tinggi daripada di kota dan
sebaliknya tingkat konsumsi protein di desa lebih rendah daripada kota. Fenomena ini
menunjukkan bahwa pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan memprioritaskan pada
pangan dengan harga murah seperti pangan sumber energi, kemudian dengan semakin
meningkatnya pendapatan, akan terjadi perubahan preferensi konsumsi yaitu dari pangan dengan
harga murah beralih ke pangan yang harganya mahal seperti pangan sumber protein.

Dalam konsumsi pangan, selain kuantitas juga harus diperhatikan masalah kualitas pangan.
Walaupun secara kuantitas terpenuhi namun pangan yang dikonsumsi kurang beraneka ragam
dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Permasalah ini
yang masih serius dihadapi oleh masyarakat Indonesia

Di negara maju, sudah banyak orang yang mengubah pola konsumsi pangan hewaninya, dari red
meat (daging-dagingan) kewhite meat (ikan-ikanan), karena makan ikan lebih menyehatkan
daripada makan daging. Namun kondisi di Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi daging masih
tinggi dan cenderung meningkat, apalagi untuk daging ayam. Konsumsi daging sapi masih
rendah karena harga daging relatif mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat mampu
membelinya.

Indonesia adalah negara maritim yang merupakan negara penghasil berbagai jenis ikan, justru
masyarakatnya cenderung meninggalkan ikan dan menyenangi daging yang bahan baku pakan
ternaknya masih diimpor. Kecenderungan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak
terutama dari pemerintah. Orientasi kebijakan ekspor ikan untuk memperoleh devisa jangan
sampai menyebabkan harga ikan domestik menjadi mahal, sehingga sulit dijangkau oleh
masyarakat luas. Padahal peranan ikan dalam peningkatan kualitas sumberdaya sangat erat,
karena asam amino yang diperlukan untuk kecerdasan pada ikan lebih lengkap dan juga efek
sampingnya lebih sedikit. Mengkonsumsi ikan dapat terhindar dari penyakit jantung dan
penyakit degeneratif lainnya.

Sebenarnya konsumsi ikan masih bisa ditingkatkan mengingat potensi sumberdaya perikanan
cukup besar baik dari perikanan tangkap (terutama untuk daerah pesisir) maupun hasil budidaya
terutama ikan tawar. Selain itu pangan dari ikan tersedia di pasar dengan berbagai kualitas mulai
dengan harga yang murah sampai harga mahal, sehingga masyarakat dapat memilih sesuai
dengan daya beli yang bersangkutan, mungkin perlu penyuluhan pentingnya mengkonsumsi ikan
dan hasil olahannya.

C. Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola konsumsi pangan dan gizi
penduduk

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap terhadap makanan,
penyebab penyakit, kelahiran anak, dan produksi pangan. Dalam hal sikap terhadap makanan,
masih banyak terdapat pantangan, tahyul, tabu dalam masyarakat yang menyebabkan konsumsi
makanan menjadi rendah. Konsumsi makanan yang rendah juga disebabkan oleh adanya
penyakit, terutama penyakit infeksi saluran pencernaan. Disamping itu jarak kelahiran anak yang
terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam
keluarga. Konsumsi zat gizi keluarga yang rendah, juga dipengaruhi oleh produksi pangan.
Rendahnya produksi pangan disebabkan karena para petani masih menggunakan teknologi yang
bersifat tradisional.

Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola konsumsi pangan dan gizi penduduk

1. Makanan Sebagai Identitas Kelompok

Nasi adalah satu komoditas makanan utama bagi masyarakat Sunda-Jawa. Semantara jagung
menjadi komoditas makanan utama masyarakat Madura. Bagi orang barat mereka tidak
membutuhkan nasi setelah mengkonsumsi roti karena roti merupakan makanan utama dalam
budaya barat. Persepsi dan penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya
utama sebuah masyarakat, oleh karena itu tidak menghjerankan bila orang sunda, kendati sudah
makan roti kadang kala masih berkata belum makan kerena dirinya belum makan nasi.

Karena ada kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan instan, banyak di antara
masyarakat kota yang sudah mulai pidah ketradisi vegetarian. Bagi kelompok “gang’’,
meenghirup ganja, narkoba, dan merokok merupakan ciri kelompoknya. Kacang diidentikan
sebagai makan yang biasa menemani orang menonton sepak bola, merokok menjadi teman untuk
menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman dan persepsi inilah lebih merupakan sebuah
persepsi budaya tandingan (counter-cultulre) terhadap budaya domuinan.

Selain mengandung budaya dominan dan budaya tandingan, makanan pun menjadi bagian dari
budaya populer. Bakso merupakan makanan populer bagi perempua. Trakhir makanan sebagai
makanan khusus untuk kelompok tertentu. Makanan sub kultural misalnya daging babi bagi
kalangan nasrani, ketupat bagi kalangan muslim di hari lebaran, dodol bagi Cina dihari imlek,
coklat menjadi icon budaya dalam menunjukan rasa cinta dan kasih.

Berdasarkan talaahan ini, makanan mengandung makna sebagai:

a) Identitas arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan menjadi kebutuhan
utama masyarakat.

b) Budaya tandingan (counterculture), yaitu menghindari arus utama akibat adanya kesangsian
atau ketidak sepakatan dengan budaya arus utama, dan

c) Makanan sebagai identitas budaya bagi suatu kelompok tertentu (subculture)

2. Makanan sebagai keunggulan etnik

Bila orang mendengar kata gudek, maka akan terbayang kota Yogyakarta, mendengar kata
pizzahat akan terbayang Italia, mendengar kata dodol dan jeruk terbayang kota Garut, tetapi bila
mendengar jeruk bangkok atau ayam bangkok sudah tentu akan terbayang Bangkok-Thailand.
Contoh tersebut menunjukan bahwa makanan merupakan unsur budaya yang membawa makna
budaya komunitasnya. Di dalam makanan itu, orang tidak hanya mengkonsumsi material
makananya melainkan mengkonsumsi kretivitas dan keagungan budaya. Tidak ada yang heran
bila ada orang yang makan tahu sumedang terasa hampa makna bila tahu itu dibeli diluar
sumedang dan dirinya pun tidak pegi kesumedang. Begitu pula sebaliknya, masyarakat akan
memiliki kebanggaan tertentu bila mengkonsumsi moci yang dibeli asli dari Cianjur.

Makanan adalah icon keunggulan budaya masyarakat. Semakin variatif makanan itu dikenal
publik semakin tinggi apresiasinya masyarakat daerah itu, semakin luas distribusi wilayah pasar
dari makanan tersebut, menunjukan kualitas makanan tersebut diakui oleh masyarakat.

3. Perubahan Produksi pangan

Secara tradisional, makanan diperoleh melalui pertanian. Dengan meningkatnya perhatian


dalam agribisnis atas perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki pasokan makanan
dunia melalui paten pada makanan yang dimodifikasi secara genetis, telah terjadi tren yang
sedang berkembang menuju pertanian berkelanjutan praktek. Pendekatan ini, sebagian didorong
oleh permintaan konsumen, mendorong keanekaragaman hayati , daerah kemandirian
dan pertanian organik metode.

Peralatan yang digunakan dalam proses produksi pangan secara tradisional adalah alat yang
sederhana. Contohnya adalah kompor tungku, pemanggang yang menggunakan bara api, piring
yang terbuat dari tanah, dan sebagainya. Sedangkan produksi secara modern menggunakan
teknologi yang canggih. Kelebihan menggunakan teknologi adalah dapat mempermudah dan
mempecepat proses produksi pangan. Contohnya adalah oven, kompor listrik, mikrowave, dan
sebagainya.

Dalam budaya populer, produksi massal produksi pangan, khususnya daging seperti ayam dan
daging sapi, mendapat kecaman dari berbagai dokumenter mendokumentasikan pembunuhan
massal dan perlakuan buruk terhadap binatang, terutama padaperusahaan-perusahaan besar.
Produksi serealia pun dilakukan secara massal dan menggunakan peralatan modern.

Produksi pangan yang dilakukan secara modern dapat mempermudah proses produksi. Hal
tersebut juga dapat mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan. Contohnya adalah jika
produksi pangan dilakukan secara tradisional maka masyarakat akan saling bekerja sama dan
saling bergotong-royong, dan dapat meningkatkan hubungan sosial antar masyarakat.
Sedangkan produksi pangan yang dilakukan secara modern menggunakan alat-alat canggih dapat
meregangkan hubungan antar masyarakat. Karena dalam proses produksi hanya dibutuhkan
tenaga kerja dengan jumlah yang relatif sedikit.

4. Perubahan Konsumsi Pangan


Pola konsumsi pangan masyarakat di setiap daerah berbeda-beda, yaitu perbedaan pola konsumsi
pada masa pra-ASI, balita, anak-anak, remaja, dewasa, ibu hamil, dan lanjut usia.

Pada masa sebelum adanya pengetahuan masyarakat tentang gizi, para orang tua mengambil
peran penting dalam memperhatikan kebutuhan gizi keluarganya. Pengetahuan orang tua yang
minim dapat mempengaruhi status gizi keluarganya.

Sebelum adanya panduan tentang gizi, makanan pra-ASI yang dikonsumsi bayi dibawah 6 bulan
adalah madu, air tajin, pisang, air kelapa, dan kopi. Masyarakat belum mengetahui bahwa bayi
berumur dibawah 6 bulan tidak boleh diberi makanan lain kecuali ASI. Setelah adanya panduan
ilmu gizi yang menyebar di masyarakat, pemberian makanan pra-ASI yang salah semakin
berkurang.

Pada kalangan anak-anak dan remaja, pola konsumsi makanan dipengaruhi oleh budaya
masyarakat yang menganggap bahwa makanan memiliki pantangan atau tabu untuk dimakan.
Contohnya bagi anak-anak dan balita dilarang memakan makanan yang asam, pedas, anyir,
karena dapat mengakibatkan perut menjadi panas bahkan sakit perut. Di era globalisasi, pola
konsumsi anak-anak dan remaja beralih ke makanan cepat saji (fast food), snack, dan konsumsi
gula yang berlebihan. Hal tersebut dapat memperburuk status gizi dan kesehatan.

Masyarakat beralih pada tempat-tempat yang menjual makanan cepat saji, yaitu restoran, cafe,
pizza hut, dan outlet-outlet lainnya. Kepercayaan masyarakat terhadap makanan tertentu dapat
mempengaruhi pola konsumsi pangan pada setiap kalangan. Perubahan pola konsumsi pangan
tersebut dapat menjadikan status gizi lebih baik ataupun menjadi semakin buruk.

5. Perubahan Distribusi Pangan

Secara sederhana, proses distribusi pangan hanya menggunakan alat transportasi sederhana, yaitu
gerobak sapi, angkutan umum, truk, dan sebagainya. Di era modern, peralatan yang digunakan
adalah teknologi canggih yang dapat mempermudah proses distribusi pangan. Bahkan, proses
distribusi dapat melibatkan hubungan kerja antar negara. Alat transportasi yang digunakan pun
semakin modern, seperti pesawat, helikopter, paket kilat, dan sebagainya.

Pemasaran Makanan menyatukan produsen dan konsumen. Ini adalah rangkaian kegiatan yang
membawa makanan dari petani ke piring. Pemasaran bahkan produk makanan tunggal dapat
menjadi proses rumit yang melibatkan banyak produsen dan perusahaan. Sebagai contoh, lima
puluh enam perusahaan yang terlibat dalam pembuatan satu dapat dari mie sup ayam. Usaha ini
meliputi tidak hanya ayam dan prosesor sayuran tetapi juga perusahaan-perusahaan yang
mengangkut bahan dan orang-orang yang mencetak label dan pembuatan kaleng. Sistem
pemasaran pangan adalah tidak langsung terbesar langsung dan non-pemerintah majikan di
Amerika Serikat.
Di era pra-modern, penjualan makanan surplus berlangsung seminggu sekali saat petani
mengambil barang-barang mereka pada hari pasar, ke pasar desa setempat. Berikut makanan
dijual kegrosir untuk dijual di toko-toko lokal mereka untuk membeli oleh konsumen lokal.
Dengan terjadinya industrialisasi, dan pengembangan industri pengolahan makanan, yang lebih
luas makanan dapat dijual dan didistribusikan di jauh lokasi. Biasanya toko-toko kelontong awal
akan kontra didasarkan toko di mana pembeli kepada toko-penjaga apa yang mereka inginkan,
sehingga toko-penjaga bisa mendapatkannya untuk mereka.

Pada abad ke-20 supermarket lahir. Supermarket membawa mereka self service pendekatan
untuk belanja menggunakanshopping cart, dan mampu menawarkan makanan berkualitas dengan
biaya yang lebih rendah melalui skala ekonomi dan mengurangi biaya staf. Di bagian akhir abad
ke-20, ini telah lebih jauh merevolusi oleh perkembangan luas gudang berukuran, luar kota
supermarket-, menjual berbagai macam makanan dari seluruh dunia.

Tidak seperti pengolahan makanan, ritel makanan adalah pasar lapis dua di mana sejumlah kecil
sangat besar perusahaanmengendalikan sebagian besar supermarket. Raksasa supermarket
menggunakan daya beli yang besar atas petani dan prosesor, dan pengaruh yang kuat atas
konsumen. Namun demikian, kurang dari sepuluh persen dari belanja konsumen pada makanan
pergi ke petani, dengan persentase lebih besar akan iklan , transportasi, dan perusahaan
menengah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan
persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.

Pola konsumsi pangan berupa variasi makanan, pola 4 sehat 5 sempurna, pola menu seimbang,
konsumsi energi dan protein sangat mempengaruhi status gizi seseorang.

Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola konsumsi pangan dan gizi penduduk
yaitu berupa perubahan produksi pangan, perubahan konsumsi pangan, dan perubahan distribusi
pangan.

Perubahan status gizi di Indonesia dapat terjadi karena adanya pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan pola produksi, konsumsi, dan distribusi pangan juga dapat
mempengaruhi terjadinya perubahan status gizi di Indonesia.
Pada era sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan, pola pangan masyarakat masih dipengaruhi
oleh persepsi yang berkembang di masyarakat. Setiap masyarakat memiliki persepsi yang
berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai
dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.

Di era globalisasi dan semakin berkembangnya mobilitas membuat pola pangan masyarakat
menjadi berubah. Perubahan pola pangan tersebut dipengaruhi oleh gaya hidup dan lingkungan
sekitar. Semakin menjamurnya restoran, cafe, pizzahut, KFC, dan tempat makan cepat saji lain
membuat masyarakat semakin sering mengonsumsi makanan cepat saji. Makanan cepat saji yang
mengandung banyak lemak dan kolesterol dapat memperburuk status gizi dan resiko terhadap
penyakit semakin tinggi.

Perubahan sosial dan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tidak hanya mengubah pola
pangan tetapi juga dapat mengubah status gizi, resiko terhadap penyakit, dan gaya hidup tidak
sehat yang semakin merugikan.

Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat yang mengonsumsi, memproduksi, dan
mendistribusikan pangan harus pintar dalam menjaga asupan makanan yang masuk ke dalam
tubuh, menjaga status gizi dan melakukan gaya hidup sehat disertai dengan aktifitas fisik secara
teratur.

B. Saran

Semoga dapat makalah ini dapat bermanfaat bagi saya maupun orang lain yang membaca serta
yang menjadikan makalah ini sebagai referensi.

Kita ada diera modern, namun kita jangan sampai diperbudak oleh teknologi yang semakin maju.
Makan yang ita konsumsi juga harus kita pelajari yang mana sehat dan bermanfaat bagi tubuh
kita konsumsi.
Pengaruh Budaya Teh terhadap Status Gizi

a. Budaya minum teh di Indonesia

Tradisi minum teh telah menjadi kebudayaan besar dalam sejarah manusia. Tercatat dalam beberapa ke
budayaan, minum teh menjadi tradisi yang membutuhkan keterampilan tersendiri untuk menyajikannya
, bahkan dibuatkan upacara segala untuk menikmatiny. Di indonesia teh pertama kali dikenal pada tahu
n 1686, yaitu ketika Dr. Andreas Cleyer yang berkebangsaan Belanda membawa tanaman ini ke Indonesi
a sebagai tanaman hias. Pada tahun 1728 pemerintah Belanda mulai membudidayakan tanaman ini -
terutama di pulau Jawa- dengan mendatangkan biji-
biji teh dari China. Semenjak itu dimulailah kebiasaan untuk minum teh.

Teh menjadi sedemikian berakar dalam kehidupan masyarakat indonesia, bahkan rakyat jawa mempuny
ai filsafat teh. Teh, adalah salah satu minuman yang tidak asing di Indonesia. Minuman ini bisa didapatka
n di hampir seluruh wilayah Indonesia. Seperti di kota Jogja. Setiap malam, terutama sepanjang jalan Ma
lioboro, akan terlihat banyak sekali tempat-
tempat minum teh yang biasa disebut “angkringan“. Masyarakat dari berbagai kalangan dan status sosi
al seperti pengemudi becak, pedagang asongan, seniman dan pelajar/mahasiswa, tak segan-
segan berkumpul dan mengobrol dengan santainya di tempat ini. Angkringan ini awalnya hanya tempat
untuk minum teh sambil mengaso, tetapi pada perkembangannya, angkringan juga berfungsi sebagai wa
rung makan sekaligus tempat bersantai. Walaupun sudah tersedia aneka macam makanan dan minuman
, “wedang teh” tetap menjadi menu utama dari angkringan ini. Minuman teh yang menjadi favorit para
pengunjung adalah “Nasgitel”, kepanjangan dari panas-legi-kenthel atau panas-
manis dan kental”. enis teh yang dihidangkan dan cara meminumnya pun agak berbeda, Nasgitel mengg
unakan “teh merah” atau “teh hitam” yang dipadu dengan “gula batu” yang sangat manis. Penyajiannya
biasanya berupa kotokan (daun teh kering) yang diseduh dengan air mendidih, disajikan dalam gelas plu
s beberapa butir gula batu yang disajikan terpisah. Setelah seduhan teh dihidangkan, pelanggan biasany
a segera memasukkan gula batu kedalamnya. Proses ini sampai dengan wedang teh siap diminum meme
rlukan waktu sekitar 10 menit, sambil menunggu biasanya pelanggan akan menikmati makanan kecil sep
erti ketela goreng, pisang goreng, singkong rebus, uli (juadah) dan lain sebagainya.

Demikian juga mengenai kebiasaan minum teh di tataran Sunda. Dahulu, mereka meminum teh memak
ai mangkok dari batok kelapa dan tatakan dari bambu sambil menghangatkan badan di dekat perapian.
Kebiasaan ini biasa disebut sebagai “nganyeut”. Sedangkan di wilayah Jawa Timur khususnya Surabaya,
walaupun di daerah Lawang-Wonoasri Jatim terdapat berhektar-
hektar kebun teh, minuman ini masih dianggap sesuatu yang mewah untuk menyuguhi tamu. Dan samp
ai saat ini, jika teh disajikan tanpa gula adalah minuman aneh, tidak mengherankan jika teh hijau kemasa
n yang non sugar di supermarket- supermarket di Surabaya selalu rapi tak tersentuh.

Jika dilihat dari nilai filosofi, sosial, agama dan seni, kebiasaan minum teh di masyarakat kita tidak bisa di
sepadankan dengan budaya Jepang dan China. Untuk mereka, minum teh adalah satu seni yang mempu
nyai banyak sekali aturan dan tata cara yang harus dilalui. Sebenarnya, cara meminum teh di Indonesia y
ang menggunakan Poci tanah liat (Teh Poci), juga memiliki nilai lebih, karena didalamnya juga mengandu
ng filosofi. Hanya saja kebiasaan ini memang belum memberikan apresiasi lebih terhadap teh itu sendiri.

(wonojoyo.com/ ratna.wina@oktomagazine.com)

b. Pengaruh the terhadap asupan gizi

2.5 Mengatasi Budaya tersebut yang mempengaruhi asupan gizi seseorang

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Daftar Pustaka

Anonim.2012.Obesitas.http://www.susukolostrum.com/data-penyakit/gangguan- nutrisi-
danmetabolisme/obesitas.html.Di akses 28 Oktober 2012.

Anonim.2012.Pengaruh badan dan hormon.http://meetdoctor.com/article/pengaruh-berat- badan-dan-


hormon.Di akses 28 Oktober 2012.

Colby, S Diane. 1988. Ringkasan Biokimia Harper. EGC : Jakarta.

Harianto,Yudika. 2011. Oksidasi Asam Lemak.

Mulligan, K dkk.2009. The effects of recombinant human leptin on visceral fat,

Anda mungkin juga menyukai