Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
a. Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan suatu organ yang terletak pada anterior leher bagian
bawah, di antara muskulus sternokleidomastoideus, yang terdiri dari dua buah
lobus lateral yang dihubungkan oleh sebuah istmus.Terdapat di bagian tengah
diantara jakun dan tulang dada teratas. Dalam keadaan biasa tiroid tidak dapat
dilihat dari luar bisa terlihat bentuknya dari luar apabila kelenjar itu membesar,
lebih besardari bentuk normalnya,beratnya 10-30 gram (Dr.Sri Hartini,2017).
Kelenjar tiroid terletak di leher, dibawah kartilago krikoid dan berbentuk seperti
huruf H (Black & Hawks, 2009). Dan menurut (Newton, Hickey, &Marrs,2009),
kelenjar tiroid terletak di pangkal leher di kedua sisi bagian bawah laring dan
bagian atas trakea. Panjang kelenjar tiroid kurang lebih 5 cm dengan lebar 3 cm.
Kegiatan metabolik pada kelenjar tiroid cukup tinggi, ditandai dengan aliran darah
yang menuju kelenjar tiroid sekitar 5 kali lebih besar dari aliran darah ke dalam
hati (Skandalakis, 2009).

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid (Sumber : Louis, F, 2011)

Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang berbeda, yaitu tiroksin
(T4), triiodotironin (T3) yang keduanya disebut dengan satu nama, hormon tiroid dan
kalsitonin. Triiodotironin (T3) memiliki efek yang cepat dalam jaringan. Dibutuhkan
waktu 3 hari untuk T3 dan 11 hari bagi T4 dalam mencapai titik puncak efek pada
jaringan. Sehingga T3 merupakan bentuk aktif dari hormon tiroid.Pelepasan hormon
tiroid T3 dan T4 distimulasi oleh tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormon)
yang disekresi oleh kelenjar hipofisis.Pengeluaran TSH diatur oleh TRH (Thyrotropin
Releasing Hormon) yang disekresikan oleh hipotalamus. Penurunan suhu tubuh dapat
meningkatkan sekresi TRH. Pengeluaran TSH begantung pada kadar T3 dan T4 yang
biasa disebut sebagai pengendalian umpan balik atau feedback control. Kalsitonin
merupakan hormon penting lain yang disekresi kelenjar tiroid yang tidak dikendalikan
oleh TSH. Fungsi kalsitonin adalah menjaga keseimbangan kadar kalsium plasma
dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium pada tulang dan menurunkan
reabsorpsi kalsium pada ginjal, dengan demikian kadar kalsium plasma tidak menjadi
tinggi (Black & Hawks, 2009).

Yodium yang telah terserap dalam darah akan diambil oleh kelenjar tiroid dan
akan dipekatkan dalam sel kelenjar tiroid. Molekul yodium yang telah diambil akan
bereaksi dengan tirosin (asam amino) untuk membentuk hormon tiroid. Kelenjar
tiroid mengatur fungsi metabolism tubuh, dimana tubuh menghasilkan energi yang
berasal dari nutrisi dan oksigen yang mempengaruhi fungsi tubuh penting, seperti
tingkat kebutuhan energi dan detak jantung (ATA, 2013).

Selain itu kelenjar tiroid juga berfungsi meningkatkan kadar karbohidrat,


meningkatkan ukuran dan kepadatan mitokondria, meningkatkan sintesis protein dan
meningkatkan pertumbuhan pada anak-anak. Sel-sel sasaran untuk hormon tiroid
adalah hampir semua sel di dalam tubuh.(Black & Hawks, 2009).

b. Struma Nodosa
Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau
struma. Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut
struma nodosa (Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap
membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat
terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon
tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipertiroidisme) (Black
and Hawks, 2009).
Menurut Penelitian Framingham, setiap orang berisiko 5-10% untuk menderita
struma nodosa dan perempuan berisiko 4 kali lipat dibanding laki-laki (Incidence
and Prevalence Data, 2012).
Kebutuhan hormon tiroid meningkat pada masa pertumbuhan, masa kehamilan
dan menyusui. Pada umumnya struma nodosa banyak terjadi pada remaja, wanita
hamil dan ibu menyusui. Struma nodosa terdapat dua jenis, toxic dan non toxic.
Struma nodusa non toxic merupakan struma nodusa tanpa disertai tanda- tanda
hipertiroidisme (Hermus& Huysmans, 2009). Pada penyakit struma nodusa non
toxic tiroid membesar dengan lambat. Struma nodosa toxic ialah keadaan dimana
kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai fungsi yang
otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid. Dampak struma nodosa
terhadap tubuh dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di
bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma
nodosa dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita
suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia (Rehman, dkk 2009). Hal
tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta
cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher
yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan
disfagia.

Gambar 2.3 Penderita Struma Nodosa

(Sumber :http://www.webmd.com/a-to-z-guides/goiter, 2013 )

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu (Roy,


2011):

Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa. Berdasarkan
kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk nodul tiroid yaitu nodul
dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila penangkapan yodium tidak ada atau
kurang dibandingkan dengan bagian tiroid sekitarnya. Hal ini menunjukkan aktivitas
yang rendah. Nodul hangat apabila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid lainnya. Dan nodul panas bila
penangkapan yodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan
aktivitas yang berlebih. Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat
keras.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2010) :

1. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan


2. Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
3. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
4. Derajat III : terlihat pada jarak jauh.

Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat diklasifikasikan sebagai berikut


(Rehman, dkk, 2009) :

a.Eutiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang


disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau
struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada
leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.

b.Hipotiroidisme

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga


sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi
berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.

c.Hipertiroidisme

Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat didefenisikan


sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid
yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi
dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi
hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala
hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat
berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat
gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat dibedakan menjadi


(Tonacchera, dkk, 2009):

a.Struma nodosa toxic

Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa toxic dan
struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar luas ke
jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma
nodosa multinodular toxic). Struma nodosa diffusa toxic (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang
berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari
oleh pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk
reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.

b.Struma nodosa non toxic

Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang dibagi
menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non toxic. Struma
nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma nodosa ini
disebut sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau struma
nodosakoloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
B. Etiologi

Penyebab utama struma nodosa ialah karena kekurangan yodium (Black and
Hawks, 2009). Defisiensi yodium dapat menghambat pembentukan hormon tiroid
oleh kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam
jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan
tiroglobulin dalam jumlah yang besar ke dalam folikel, dan kelenjar menjadi
bertambah besar. Penyebab lainnya karena adanya cacat genetik yang merusak
metabolisme yodium, konsumsi goitrogen yang tinggi (yang terdapat pada obat, agen
lingkungan, makanan, sayuran), kerusakan hormon kelenjar tiroid, gangguan
hormonal dan riwayat radiasi pada kepala dan leher (Rehman dkk, 2010).

Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa non toxic adalah respon
dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar tiroid pada tiap
individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-sel dalam folikel
yang sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain (IGF dan EGF) sangat
bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat bereplikasi tanpa stimulasi TSH dan
sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat bereplikasi. Sel-sel akan bereplikasi
menghasilkan sel dengan sifat yang sama. Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang
tinggi ini tidak tersebar merata dalam satu kelenjar tiroid sehingga akan tumbuh
nodul-nodul.

C. Patofisiologi

Struma yang terjadi akibat kekurangan yodium. Yodium merupakan bahan utama
yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung
yodium diserap usus, masuk kedalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak
oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH) kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam
molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul triiodotironin (T3).

Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan balik negatif dari seksesi TSH dan
bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon metabolik
yang tidak aktif. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat
bertambah berat sekitar 300-500 gram. Beberapa obat dan keadaan dapat
mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat
sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan
pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran
kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur,
struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar
penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol
kebagian depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral.

D. Gambaran Klinis
Beberapa penderita struma nodosa non toxic tidak memiliki gejala sama
sekali. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat
mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga
terjadi gangguan menelan. Peningkatan seperti ini jantung menjadi berdebar-debar,
gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, dan kelelahan. Beberapa diantaranya
mengeluh adanya gangguan menelan, gangguan pernapasan, rasa tidak nyaman di
area leher, dan suara yang serak. Pemeriksaan fisik struma nodosa non toxic
berfokus pada inspeksi dan palpasi leher untuk menentukan ukuran dan bentuk
nodular. Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.
Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen
yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada
saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher
dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan
menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita. Struma nodosa tidak
termasuk kanker tiroid, tapi tujuan utama dari evaluasi klinis adalah untuk
meminimalkan risiko terhadap kanker tiroid.

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi.

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran


struma yang pada umumnya secara klinis sudah bias diduga, foto rontgen pada
leher lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG).

Manfaat USG dalam pemeriksaan tiroid :Untuk menentukan jumlah nodul.


Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik. Dapat mengukur volume
dari nodul tiroid. Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang
tidak menangkap yodium, dan tidak terlihat dengan sidik tiroid.Untuk mengetahui
lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi terarah.

c. Pemeriksaan sidik tiroid


Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah tentang ukuran, bentuk,
lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid, normalnya uptake
15-405 dalam 24 jam bila uptake> normal disebut hot area sedangkan juka
uptake < normal disebut cold area (pada neoplasma)
d. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy).
Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu
keganasan.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Penatalaksanaan konservatif

Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini


bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk
menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil
(PTU) dan metimasol/karbimasol.

Terapi Yodium Radioaktif .

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium
radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran
terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker,
leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul
atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat
minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.

2. Penatalaksanaan operatif
a. Tiroidektomi

Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid


adalah tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal akan
menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi
total, yaitu pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A., dkk.,
2009).
Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang relative aman dengan
morbiditas kurang dari 5 %. Menurut Lang (2010), terdapat 6 jenis tiroidektomi,
yaitu:

1. Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah satu lobus
2. Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus
3. Tiroidectomy dengan isthmusectomy, yaitu pengangkatan satu lobus dan istmus
4. Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, istmus dan sebagian besar lobus
lainnya.
5. Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar.
6. Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan kelenjar limfatik
servikal.

Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk tiroidektomi.


Komplikasi pasca operasi utama yang berhubungan dengan cedera berulang pada saraf
laring superior dan kelenjar paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan eksisi sengaja dari
satu atau lebih kelenjar paratiroid dapat menyebabkan hipoparatiroidisme dan
hipokalsemia, yang dapat bersifat sementara atau permanen. Pemeriksaan yang teliti
tentang anatomi dan suplai darah ke kelenjar paratiroid yang adekuat sangat penting
untuk menghindari komplikasi ini. Namun, prosedur ini umumnya dapat ditoleransi
dengan baik dan dapat dilakukan dengan cacat minimal (Isti Chayani,2013). Komplikasi
lain yang dapat timbul pasca tiroidektomi adalah perdarahan, thyrotoxic strom, edema
pada laring, pneumothoraks, hipokalsemia, hematoma, kelumpuhan syaraf laringeus
reccurens, dan hipotiroidisme (Grace & Borley, 2009). Tindakan tiroidektomi dapat
menyebabkan keadaan hipotiroidisme, yaitu suatu keadaan terjadinya kegagalan kelenjar
tiroid untuk menghasilkan hormon dalam jumlah adekuat, keadaan ini ditandai dengan
adanya lesu, cepat lelah, kulit kering dan kasar, produksi keringat berkurang, serta kulit
terlihat pucat. Tanda-tanda yang harus diobservasi pasca tiroidektomi adalah
hipokalsemia yang ditandai dengan adanya rasa kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari
tangan dan kaki, dan kedutan otot pada area wajah (Urbano, FL, 2010). Keadaan
hipolakalsemia menunjukkan perlunya penggantian kalsium dalam tubuh. Komplikasi
lain yang mungkin terjadi adalah kelumpuhan nervus laringeus reccurens yang
menyebabkan suara serak. Jika dilakukan tiroidektomi total, pasien perlu diberikan
informasi mengenai obat pengganti hormon tiroid, seperti natrium levotiroksin
(Synthroid), natrium liotironin (Cytomel) dan obat-obatan ini harus diminum selamanya.
G. Pathway

Dampak gangguan sistem terhadap KDM pada pre operasi

Defisiensi yodiumKelainan metabolik kongenital yang mengandung hormon


tyroidPenghambatan sintesa hormon oleh zat kimia/obat-obatan

Pengurangan tyroditiroksin dan tetratiroksikosisMencegah inhibisi umpan


balik TSH yang normal

Peningkatan massa thyroid

Penekanan pada tyroid Hyperplasia kelenjar thyroid (Struma)

pembuluh darah Perubahan status kesehatan klien


Involusi kelenjar
Merangsang hypothalamus
Klien selalu bertanya tentang
Benjolan pada kelenjar
Peningkatan kerja
penyakitnya dan perosedur
sarafSimpatis
pembedahan Gangguan Bodi image

Nyeri Penekanan pada


Informasi yang diberikan
esophagus
Tidak akurat
Gangguan menelan

Berkurangnya aliran di sekitar Kurang pengetahuan


leher Intake tidak adekuat
Suplai O2 ke jaringan Stressor meningkat
berkurang
Kebutuhan nutrisi
Anxietas Anxietas kurang dari kebutuhan
Iskemia tubuh

Kelemahan fisik

Cepat lelah
Kurang Defisit
motivasi diri Perawatan
Diri
Dampak gangguan sistem terhadap KDM pada post operasi

Struma

Strumectomi
Resiko cedera pada
trakhea (Tindakan pembedahan) Cedera pita suara

Terputusnya kontinuitas Jaringan


Kemungkinan terjadinya Gangguan fungsi
suara
pendarahan Pelepasan neurotransmitter
mediator kimia (bradikinin, Gangguan
Resiko terjadi obstruksi
komunikasi Verbal
serotonin, prostaglandin dan
Resiko tinggi terhadap
histamin)
bersihan jalan nafas
Merangsang ujung-ujung
tidak efektif
saraf tepi
Dihantarkan ke hipothalamius
dan korteks cerebri

Nyeri

Terdapat luka pos operative tiroidectomi subtotal

Resiko infeksi

Sumber: https://id.scribd.com/document/268728132/PATHWAY-STRUMA-docx

Anda mungkin juga menyukai