Anda di halaman 1dari 23

TUGAS KELOMPOK

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS


CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis


Dosen Pembimbing: Ns. Dwi Mulianda, S.Kep

Disusun oleh:

1. Akylah Mutiara Dewi (17.003)


2. Friska Sarafia (17.035)
3. Mukhamad Yaqub (17.059)
4. Shinta Putri (17.080)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM IV/DIPONEGORO
SEMARANG
2018-2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jantung merupakan organ berotot yang memompa darah lewat
apembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang. Jantung salah satu
organ terpenting dalam tubuh yang apabila mengalami masalah dapat
berakibat kepada kematian. Adapun salah satu jenis penyakit jantung adalah
gagal jantung kongestif atau Kongestif Heart Failure (CHF).CHF adalah
penurunan fungsi jantung yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke
organ-organ dan jaringan keseluruh tubuh (Black& Hawks, 2009).
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu masalah
kesehatan utama di negara maju maupun berkembang. Penyakit inimenjadi
penyebab nomor satu kematian di dunia dengan diperkirakan akan terus
meningkat hinggamencapai 23,3 juta pada tahun 2030 (Yancy, 2013; Depkes,
2014). Masalah tersebut juga menjadi masalah kesehatan yang progresif
dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di Indonesia
(Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler, 2015).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI Tahun 2013,
prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia mencapai 0,13% dan yang
terdiagnosis dokter sebesar 0,3% dari total penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Prevalensi gagal jantung tertinggi berdasarkan diagnosis dokter berada di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar 0,25% (Depkes, RI 2014;
PERKI, 2015). Prevelensinya yang terus meningkat akan memberikan
masalah penyakit, kecacatan dan masalah sosial ekonomi bagi keluarga
penderita, masyarakat, dan Negara (Depkes RI, 2014, Ziaeian, 2016).
Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta didapatkan data jumlah penderita congestive heart failure (CHF)
yang dirawat pada tahun 2015 dan 2016 tanpa penyakit penyerta selain
penyakit pernafasan sebanyak 328 pasien (Rekam Medis PKU Yogya, 2017).
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks dengan
gejala-gejala yang tipikal dari sesak nafas dan mudah lelah yang dihubungkan
dengan kerusakan fungsi maupun struktur dari jantung yang menggangu
kemampuan ventrikel untuk mengisi dan mengeluarkan darah ke sirkulasi
(Syamsudin, 2011). Prevalensi gagal jantung sangat meningkat secara
eksplonensial dengan sejalannya pertambahan usia dengan 6-10% pada usia di
atas 65 tahun. Menurut World Health Organisation (WHO) pada tahun 2016,
menyebutkan bahwa 17,5 juta orang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular pada tahun 2008, yang mewakili dari 31% kematian di dunia.
Di Amerika Serikat penyakit gagal jantung hampir terjadi 550.000 kasus
pertahun.Sedangkan di negara-negara berkembang di dapatkan kasus
sejumlah 400.000 sampai 700.000 per tahun (WHO, 2016).
Pengobatan yang lama dan sering keluar masuk rumah sakit akan
memberikan dampak terhadap kualitas hidup pasien terhadap penyakit yang
dialaminya. Dampak yang dialami merupakan reaksi psikologis terhadap
dampak dari gagal jantung yang dihadapi oleh pasien (Zaviera, 2007).Hampir
semua pasien yang mempunyai penyakit jantung menyadari bahwa jantung
adalah organ terpenting dan ketika jantung mulai rusak maka kesehatan juga
terancam. Hal ini yang menyebabkan pasien gagal jantung merasa cemas,
kesulitan tidur, merasa deprsesi dan merasa putus asa akan penyakit yang
dideritanya (Black, 2005).
Hal ini yang menyebabkan kualitas hidup pasien gagal jantung
sangat rendah.Hal ini terkait dengan tingginya tingkat kematian, sering rawat
inap, fisik yang melemah dan kognitif menurun serta mengurangi kualitas
hidup pasien tersebut (American Heart Assosiation, 2015). Mempertahankan
kualitas hidup yang baik adalah sama pentingnya dengan kelangsungan hidup
bagi sebagian besar pasien yang hidup dengan penyakit progresif atau kronis
(Lewis et. al, 2007).
Pada tahun 2012 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita CHF dan
menjalani rawat inap selain itu, penyakit yang paling sering memerlukan
perawatan ulang di rumah sakit adalah gagal jantung (readmission), walau
pengobatan dengan rawat jalan telah diberikan secara optimal. pada
ekstremitas, penurunan output urin, sianosis, akral dingin, asidosis
jaringan, gelisah, kelemahan, selain itu gagal jantung ini juga dapat
mengakibatkan kongesti pulmonalis yang pada akhirnya terjadi edema paru
dan menyebabkan pasien menjadi sesak napas (Muttaqin, 2009).
Salah satu tindakan keperawatan mandiri yang bisa dilakukanoleh
perawat pada pasien dengan penururnan curah jantung adalah pemberian
posisi semi fowler, bertujuan untuk meningkatkan ventilasi oksigen

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan CHF?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan
CHF.

2. Tujuan Khusus
Yaitu agar pembaca mengetahui dan memahami tentangdefinisi CHF,
etiologi CHF, patofisiologi CHF, pathway CHF manifestasi klinik CHF,
penatalaksanaan medis, serta Asuhan Keperawatan yang harus di berikan
kepada klien dengan CHF.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) merupakan
kondisi terminal pada banyak jenis penyakit jantung , keadaan ini merupakan
kondisi patologik ketika fungsi jantung yang terganggu itu membuat jantung
tidak mampu mempertahankan curah jantung yang cukup umtuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh (Robbins, 2009).
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-
sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan
peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak
untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku
dan menebal.Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang
singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa
dengan kuat.Sebagai akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air
dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa
organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh
klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2010).
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal
(Mansjoer dan Triyanti, 2008).

B. Etiologi
Menurut Wajan Juni Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif
(CHF) dikelompokan berdasarkan faktor etiologi eksterna maupun interna,
yaitu:
1. Faktor eksterna (dari luar jantung): hipertensi renal, hipertiroid, dan
anemia kronis/ berat.
2. Faktor interna (dari dalam jantung):
a. Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum
Defect (ASD), stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
b. Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.
d. Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut

C. Patofisiologi
Lokasi organ di jantung yang sering terkena dengan CHFialah ventrikel
(bilik) kiri (Muttaqin, 2009).Ventrikel kiri mempunyai tugas yang paling berat. Jika
ventrikel kiri tidak mampu memompakan darah, maka akan timbul 2 hal:
1. Darah yang tinggal didalam bilik kiri akan lebih banyak pada akhir sistole
daripada sebelumnya dan karena pengisian saat sistole berlangsung terus, maka
akan terdapat lebih banyak darah di dalam bilik kiri pada akhir diastole.
Peninggian volume dari salah satu ruang jantung, dalam hal ini bilik kiri
(preload). Jika penyakit jantung berlanjut, maka diperlakukan peregangan yang
makin lama makin besar untuk menghasilkan energy yang sama. Pada satu saat
akan terjadi bahwa peregangan diastolic yang lebih besar tidak lagi
menghasilkan kontraksi yang lebih baik dan jantung akan gagal melakukan
fungsinya (dekompensasi).
2. Jika bilik kiri tidak mampu memompakan darahnya yang cukup ke aorta untuk
memenuhi kebutuhan dari organ yang terletak di perifer, berarti curah jantung
sangat rendah. Curah jantung yang rendah menimbulkan perasaan lesu.

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan


kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari
normal. Dapat dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah
jantung (CO: Cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart
Rate) x Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah
jantung berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung
untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal
untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume
sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan
curah jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap
kontraksi, yang tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim
dengan Hukum Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah
yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan
oleh panjangnya regangan serabut jantung); (2) Kontraktilitas (mengacu pada
perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan
dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3) Afterload
(mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan
arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang
terjadi baik pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua
ventrikel berkurang akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat
meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua
ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang serabut
miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi
singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi
ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi dengan baik
tapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan
dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik.
Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi
cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik.
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan
tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa
sistem saraf dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan
memacu kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan
meningkatkan volume darah sentral yang selanjutnya meningkatkan preload.
Meskipun adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output,
adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu, takikardi dan
peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada
pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan preload
dapat memperburuk kongesti pulmoner.
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer.
Adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital,
tetapi jika aktivasi ini sangat meningkat malah akan menurunkan aliran ke
ginjal dan jaringan. Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah
penurunan aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus,
yang akan menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-
aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resistensi vaskuler
perifer selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi
sodium dan cairan.
Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin
dalam sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi
cairan. Pada gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat
peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi
terhadap efek natriuretik dan vasodilator.
Klasifikasi gagal jantung kongesif berdasarkan kapasitas fungsional
menurut New York Heart Association :
a. Kelas I : Pasien masih mampu beraktivitas fisik dengan normal tanpa
menyebabkan sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.
b. Kelas II: Pasien sedikit mengalami keterbatasan dalam beraktivitas fisik dan
mulai merasakan sedikit sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.
c. Kelas III : Pasien mengalami keterbatasan dalam dalam beraktivitas fisik dan
mulai merasakan sedikit sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.
d. Kelas IV: Pasien tidak mampu beraktivitas fisik. Saat beristirahat gejala bisa
muncul dan saat melakukan aktivitas fisik maka gejala akan meningkat
(European Society of Cardiology, 2016).

Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari


gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut:
a) Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi
belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda
dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal
jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
b) Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya
kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala
dari gagal jantung tersebut.Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien
dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit
valvular simptomatik.
c) Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi
kerusakan.Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat
melakukan aktivitas berat.
d) Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun
intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat,
serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.
D. Pathway

Penurunan Curah Jantung


Penurunan curah jantung
Penurunan curah jantung
E. Manifestasi Klinik
Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume intravaskuler.Kongesti
jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah
jantung pada kegagalan jantung.Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat
menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru
yang dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek.Meningkatnya tekanan vena
sistemik dapat mengakibatkan edema prifer umum dan penambahan berat badan
(Smeltzer & Bare, 2001).
1. Gagal jantung sisi kiri dan kanan
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah.Gagal ventrikel kiri
paling sering mendahului gagal ventrikel kanan.Gagal ventikel kiri murni sinonim dengan
edema paru akut.Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu
ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jringan.Tetapi manifestasi kongesti dapat
berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
2. Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru.Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan
cairan terdorong kejaringan paru.Manifestasi klinis yang terjadi meliputi dispnu, batuk, mudah
lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi jantung S3, kecemasan dan kegelisahan.
3. Gagal jantung kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera dan jaringan perifer.Hal
ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat
sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi
vena.

Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang
biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran
hepar), distensi vena leher, asites (penimbunan cairan didalam rongga peritoneum), anoreksia
dan mual, nokturia dan lemah.

F. Pemeriksaan Penunjang
Diagnostik sangat perlu ditegakkan sebelum mulai memberikan penatalaksanaan.Alat
diagnostic dasar untuk gagal jantung semuanya bersifat non-invasif, yaitu
ekokardiografi, elektrokardiografi (EKG), dan foto sinar X dada (Muttaqin, 2009).
1. Ekokardiografi
Ekokardiografi sebaiknya digunakan sebagai alat pertama dalam diagnosis dan
manajemen gagal jantung.Sifatnya tidak invasive, dan segera dapat memberikan
diagnosis disfungsi jantung serta informasi yang berkaitan dengan
penyebabnya.Pemeriksaan ekokardiografi dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran
dan fungsi ventrikel kiri.
2. Rontgen Dada
Foto sinar X dada posterior dan anterior dapat menunjukkan adanya hipertensi vena,
edema paru, atau kardiomegali.Bukti pertama adanya peningkatan tekanan vena paru
adalah adanya diversi aliran darah ke daerah atas dan adanya peningkatan ukuran
pembuluh darah.
3. Pemeriksaan Lab meliputi : Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang
rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na, Cl,
Ureum, gula darah.
4. Elektrokardiografi
Meskipun memberikan informasi yang berkaitan dengan penyebab, EKG tidak dapat
menunjukkan gambaran yang spesifik. EKG normal menimbulkan kecurigaan akan
adanya diagnosis yang salah.
Gambar EKG pada klien gagal jantung:

Sumber: Samudera-fox.com

Pada pemeriksaan EKG pada klien gagal jantung di atas, ditemukan kelainan EKG, yaitu:
1. Tidak menunjukkan adanya RBBB atau LBBB.
2. Terdapat depresi ST dan T inversi pada V1-V5, menunjukkan adanya penyakit
jantung iskemik.
3. Terdapat S yang dalam pada V1-V3, menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri
karena adanya beban tekanan (adanya stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi).
ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN DIAGNOSA CONGESTIVE HEART FAILURE

A. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Circulation
a. Nadi lemah , tidak teratur
b. Takikardi
c. TD meningkat / menurun
d. Edema
e. Gelisah
f. Akral dingin
g. Kulit pucat, sianosis
h. Output urine menurun
2) Airways
a. Sumbatan atau penumpukan sekret
b. Wheezing atau krekles
3) Breathing
a. Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
b. RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
c. Ronchi, krekles
d. Ekspansi dada tidak penuh
e. Penggunaan otot bantu nafas terdiri dari: (otot sela iga, otot leher, otot
prut).
f. Retraksi dada terdiri dari:
a) Sub sterna: di bawah trakea
b) Supra sternal: di atas klavikula
c) Inter kostal: kosta
d) Sub kosta: dibawah kosta
b. Pengkajian Sekunder
a) Riwayat Keperawatan
1. Keluhan
a. Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat).
b. Palpitasi atau berdebar-debar.
c. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak
nafas saat beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur harus pakai bantal
lebih dari dua buah.
d. Tidak nafsu makan, mual, dan muntah.
e. Letargi (kelesuan) atau fatigue (kelelahan
f. Insomnia
g. Kaki bengkak dan berat badan bertambah
h. Jumlah urine menurun
i. Serangan timbul mendadak/ sering kambuh.
2. Riwayat penyakit: hipertensi renal, angina, infark miokard kronis,
diabetes melitus, bedah jantung, dan disritmia.
3. Riwayat diet: intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alkohol.
4. Riwayat pengobatan: toleransi obat, obat-obat penekan fungsi jantung,
steroid, jumlah cairan per-IV, alergi terhadap obat tertentu.
5. Pola eliminasi orine: oliguria, nokturia.
6. Merokok: perokok, cara/ jumlah batang per hari, jangka waktu
7. Postur, kegelisahan, kecemasan
8. Faktor predisposisi dan presipitasi: obesitas, asma, atau COPD yang
merupakan faktor pencetus peningkatan kerja jantung dan
mempercepat perkembangan CHF.

b) Pemeriksaan Fisik
1. Evaluasi status jantung: berat badan, tinggi badan, kelemahan,
toleransi aktivitas, nadi perifer, displace lateral PMI/ iktus kordis,
tekanan darah, mean arterial presure, bunyi jantung, denyut jantung,
pulsus alternans, Gallop’s, murmur.
2. Respirasi: dispnea, orthopnea, suara nafas tambahan (ronkhi, rales,
wheezing)
3. Tampak pulsasi vena jugularis, JVP > 3 cmH2O, hepatojugular
refluks
4. Evaluasi faktor stress: menilai insomnia, gugup atau rasa cemas/ takut
yang kronis
5. Palpasi abdomen: hepatomegali, splenomegali, asites
6. Konjungtiva pucat, sklera ikterik
7. Capilary Refill Time (CRT) > 2 detik, suhu akral dingin, diaforesis,
warna kulit pucat, dan pitting edema.

B. Diagnosa Keperawatan
1. (00029) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas jantung
2. (00031) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi
yang tertahan.
3. (00032) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru.
4. (00204) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang proses penyakit.

C. Intervensi

DIAGNOSA
TUJUAN DAN
NO. KEPERAW INTERVENSI
KRITERIA HASIL
ATAN
1. 1. (00029) Setelah dilakukan asuhan (4254)Manajemen Syok:
Penurunan keperawatan selama 1 x 24 Jantung
curah jam, diharapkan masalah a. Monitor tanda dan gejala

jantung pernafasan dapat teratasi. penurunan curah jantung.


Dengan kriteria hasil: b. Auskultasi suara napas
berhubunga a. Denyut nadi perifer terhadap bunyi crackles
n dengan ditngkatkan dari skala 3 atau suara tambahan
perubahan (Dviasi sdang dari lainnya.
kontraktilit kisaran normal) ke skala c. Catat tanda dan gejala
as jantung 5 (Tidak ada deviasi dari penurunan curah jantung.
kisaran normal). d. Monitor dan evaluasi
b. Disritmia ditingkatkan indikator hipoksia jaringan
dari skala 3 (sedang) ke (saturasi darah campuran
skala 5 (tidak ada). vena, saturas oksigen vena
c. Edema perifer sentral, nilai serum laktat,
ditingkatkan dari skala 2 kapnometri
(cukup berat) ke skala 5 e. Monitor adanya
(tidak ada). ketidakadekuatan perfusi
d. Pucat ditingkatkan dari arteri koroner (perubahan
skala 3 (sedang) ke skala ST dalam EKG,
5 (tidak ada). peningkatana enzim
jantung, angina) sesuai
kebutuhan.
f. Berikan oksigen, sesuai
kebutuhan.
g. Pertahankan preload
optimal dengan pemberian
cairan IV atau diuretik,
sesuai kebutuhan.

2. (00030)Gang Setelah dilakukan asuhan (3140)Manajemen jalan napas


guan keperawatan selama 1 x 24 a. Membuka jalan nafas,
pertukaran jam, diharapkan masalah dengan menggunakan
gas pertukaran gas (pernapasan) teknik jaw thrust yang
berhubungan dapat teratasi. sesuai.
dengan Dengan kriteria hasil: b. Posisikan pasien untuk
perubahan e. (040301) frekuensi memaksimalkan potensi
membran pernafasan dari skala 1 ventilasi
kapiler (berat) ditingkatkan ke c. Mengidentifikasikan
alveolus. skala 5 (tidak ada) reguingactual/potensi nafas
f. (040302) irama penyisipan pasien
pernafasan dari skala 1 d. Masukkan jalan nafas
(berat) ditingkatkan ke melalui mulut atau
skala 5 (tidak ada) nasofaring yang sesuai
g. (040303) kedalaman e. Melakukan fisioterapi dada
inspirasi dari skala 1 yang sesuai
(berat) ditingkatkan ke f. Bersihkan sekret dengan
skala 5 (tidak ada) menganjurkan batuk atau
h. (040309) penggunaan suction
otot bantu nafas dari g. Mendorong lambat balik
skala 2 (berat) pernafasan dan batuk
ditingkatkan ke skala 5 h. Menggunakan teknik
(tidak ada) menyenangkan untuk
i. (040313) dipsnea saat mendorong pernafasan
istirahat dari skala 2 dalam untuk anak-anak
(berat) ditingkatkan ke i. Mengintruksikan cara batuk
skala 5 (tidak ada) efektif
j. (040314) dipsnea saat j. Membantu dengan
latihan dari skala 2 spirometer insetif yang
(berat) ditingkatkan ke sesuai
skala 5 (tidak ada) k. Auskultasi bunyi nafas,
mencatat daerah menurun
atau hilangnya ventilasi
atau bunyi tambahan
l. Melakukan endotrakea
pengisapan yang sesuai.
3. (00032) Setelah dilakukan tindakan (3140)Manajemen jalan napas
Ketidakefekti keperawatan selama 1x24 a. Membuka jalan nafas,
fan pola jam di harapkan masalah dengan menggunakan
napas pola pernafasan dapat teknik jaw thrust yang
berhubungan teratasi dengan kriteri hasil: sesuai.
dengan posisi a. Frekuensi pernapasan b. Posisikan pasien untuk
tubuh yang ditingkatkan dari skala 3 memaksimalkan potensi
menghambat (Deviasi sedang dari ventilasi
ekspansi paru. kisaran normal) ke skala c. Mengidentifikasikan
5 (Tidak ada deviasi dari reguingactual/potensi nafas
kisaran normal). penyisipan pasien
b. Suara auskultasi napas d. Masukkan jalan nafas
ditingkatkan dari skala 3 melalui mulut atau
(Deviasi sedang dari nasofaring yang sesuai
kisaran normal) ke skala e. Melakukan fisioterapi dada
5 (Tidak ada deviasi dari yang sesuai
kisaran normal). f. Bersihkan sekret dengan
c. Sianosis ditingkatkan menganjurkan batuk atau
dari skala 3 (Cukup) ke suction
skala 5 (Tidak ada). g. Mendorong lambat balik
d. Mendesah dtingkatkan pernafasan dan batuk
dari skala 3 (Cukup) ke h. Menggunakan teknik
skala 5 (Tidak ada). menyenangkan untuk
mendorong pernafasan
dalam untuk anak-anak
i. Mengintruksikan cara batuk
efektif
j. Membantu dengan
spirometer insetif yang
sesuai
k. Auskultasi bunyi nafas,
mencatat daerah menurun
atau hilangnya ventilasi
atau bunyi tambahan
l. Melakukan endotrakea
pengisapan yang sesuai
m. Mengelola bronkodilator
yang sesuai

4. (00204) Setelah dilakukan asuhan Manajemen sensasi perifer


Ketidakefekti keperawatan selama 3 x 24 a. Monitor adanya daerah
fan perfusi jam, diharapkan toleransi tertentu yang hanya peka
jaringan terhadap aktivitas dapat terhadap
perifer terpenuhi. panas/dingin/tajam/tumpul
berhubungan Dengan kriteria hasil: b. Monitor adanya paretese
dengan a. Tekanan systole dan c. Instruksikan keluarga untuk
kurang diastole dalam rentang mengobservasi kulit jika
pengetahuan yang diharapkan ada lsi atau laserasi
tentang b. Tidak ada ortostatik d. Gunakan sarun tangan
proses hipertensi untuk proteksi
penyakit. c. Tidak ada tanda tanda e. Batasi gerakan pada kepala,
peningkatan tekanan leher dan punggung
intrakranial (tidak lebih f. Monitor kemampuan BAB
dari 15 mmHg) g. Kolaborasi pemberian
analgetik
h. Monitor adanya
tromboplebitis
i. Diskusikan menganai
penyebab perubahan sensas
D. Evaluasi

2. Kebutuhan aktivitas kembali terpenuhi

3. Volume cairan kembali normal

4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas dapat di cegah

5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dapat dicegah

6.Klien memahami kondisi kesehatan dan program pengobatan nya


1.
2. Adanya peningkatan curah jantung yang adekuat
3. Keefektifan bersihan jalan napas dengan tidak adanya dengan sekresi yang
tertahan.
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru.
5. (00204) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang proses penyakit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan tanda dan gejala ) ditandai
oleh sesak nafas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
Keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal.
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang
akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume
dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal
ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan
menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama,
maka akan terjadi dilatasi ventrikel.
Klasifikasi gagal jantung kongesif berdasarkan kapasitas fungsional menurut
New York Heart Association :
1. Kelas I: Pasien masih mampu beraktivitas fisik dengan normal.
2. Kelas II: Pasien sedikit mengalami keterbatasan dalam beraktivitas fisik dan mulai
merasakan sedikit sesak nafas.
3. Kelas III : Pasien mengalami keterbatasan dalam dalam beraktivitas fisik dan mulai
merasakan sedikit sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.
4. Kelas IV: Pasien tidak mampu beraktivitas fisik.
Pemeriksaan penunjang CHF dapat di lakukan dengan cara ekokardiografi,
elektrokardiografi (EKG), dan foto sinar X dada.
Beberapa diagnosa yang dapat muncul pada pencerita CHF yaitu penurunan
curah jantung, ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola nafas.
B. Saran

Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Chronik Heart


Failure (Askep CHF ) atau gagal jantung kongestif di perlukan pengetahuan dan
pemahaman tentang konsep dan teori penyakit bagi seorang perawat.

Informasi yang adekuat dan penkes sangat bermanfaat bagi klien, agar klien
mampu mengatasi masalahnya secara mandiri
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, M.,et all. 2009.Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Mc Closkey, C.J., Iet all. 2009.Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition.New Jersey: Upper Saddle River

Santosa, Budi. 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2015-2017. Jakarta:


Prima Medika

Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

Dhana (2010).Pfizer untuk Mengobati Gagal Jantung.

World Health Organization (WHO).(2014). SF Kuisioner.

Black & Hawk. (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for Positive
Outcome. St. Louis: Elseveir-Saunder

Kumar, Cotran, Robbins. 2009. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC.

Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wahyu IW dan setiowulan W.2008. Kapita Selekta


Kedokteran, Jilid 2 Edisi 3, Jakarta: Media Aesculapius

Muttaqin, Arief. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Kardiovaskuler.


Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai