Anda di halaman 1dari 6

Contoh Kritik

Gerbong Gagasan Marhalim Zaini


Catatan atas Antologi Langgam Negeri Puisi

Antologi Langgam Negeri Puisi karya Marhalim


Zaini, berisi 69 puisi yang dibagi dalam tiga bagian
subjudul yaitu “Tersebab Laut”, Nocturno Burung Api”,
dan “Surat Cinta Beracun”. Pada bagian awal cukup
membantu menemukan semacam pintu masuk dari
sejumlah pintu lain yang disediakan penyairnya.
Sebagaimana lazimnya hampir semua kata selalu
menggiring kita (pembaca) memasuki wilayah
apresiasinya. Ia kerap menyihir dan membuat kita
malas atau sebaliknya menantang kita untuk bekerja
keras melakukan penggalian lebih jauh. Maka, kita
harus mengapresiasi dengan bijaksana sekaligus coba
mempertanyakan kembali dengan kritis. Dalam hal ini,
kita menerima sambil membuka diri kita atas
kemungkinan hadirnya alternatif lain dan sekaligus
mencari pintu lain yang belum dimasuki. Jika mungkin,
sekaligus memasuki setiap kamar, lalu melakukan
identifikasi, dan berkenalan dengan para penghuninya.
Membaca Langgam Negeri Puisi (LNP), memang
kita seperti memasuki sebuah rumah dengan berbagai
bentuk kamarnya yang luas dan sempit. Manakala kita
masuk, serentak kita berhadapan langsung dengan
para penghuninya yang beragam. Dari merekalah kita
disodori setumpuk kisah tentang pengalaman batin,
lompatan-lompatan pikiran, keliaran gagasan,
kegelisahan , kerinduan, obsesi, dan serangkaian
gumam dari sebuah keinginan untuk memberontak.
Bagaimana hubungan penghuni kamar yang satu
dengan yang lain ? Mungkin tidak saling mengenal,
mungkin juga di sana terjadi perselingkuhan dan
hubungan gelap atau permufakatan untuk
merencanakan sesuatu.
Sampai di situ, muncul sesuatu yang mengejutkan.
Saya harus melakukan penafsiran, pemaknaan,
apresiasi, dan mengaitkan penghuni kamar yang satu
dengan yang lain. Juga berusaha melakukan
identifikasi, menerjemahkan dan menjelaskan para
penghuninya. Tetapi, tiba-tiba saya ada sesuatu yang
kurang pas jika itu dikatakan sebagai rumah, beserta
deretan kamar-kamarnya.
Pertanyaan itu membawa saya ke sebuah daerah
yang bernama Freudian, wilayah Sigmund Frued
dengan kekuasaan psikoanalisanya. Di sana ada
Christopher Bollas, teoritikus terdepan yang kerap
dijadikan acuan dalam kajian psikoanalisa dewasa ini.
LNP lebih pas tak disebut rumah dengan sejumlah
kamarnya yang lebar dan sempit. LNP seperti sebuah
kendaraan yang bergerak mengusung dan mengangkut
setumpukan gagasan. Ia melaju dinamis. Rangkaian
gagasan itu seolah-olah dia membeku ketika sekedar
dipandangi belaka. Dan, tiba-tiba saja ia seperti
menerkam kita dan memberondong dengan rentetan
peluru gagasan. Lompatan-lompatan berbagai pikiran,
bisa ditarik ulur kesana kemari. Asosiasi dan
metafornya kadang kala liar atau muncul secara hati-
hati. Ia bisa berkisah tentang sebuah peristiwa yang
tanpa disadarinya telah mengembalikannya ke masa
lalu, kultur leluhur, tanah kelahiran. Ia rindu kampung
halaman, tetapi cukuplah ditempatkan sebagai
persoalan dirinya yang menyadari akan segala
keterbatasan. Maka, yang mungkin dan dapat
dilakukannya adalah renungan refleksi, kegelisahan
yang disadarinya sendiri tidak menyelesaikan masalah.
Dan disitulah gagasan Chirstopher Bollas relevan
dalam menerjemahkan LNP. Citraan dan asosiasi LNP
dihadirkan dalam lompatan pikiran yang terkait pada
masa lalu dan sekaligus tak dapat menyembunyikan
obsesinya untuk melepaskan diri dari ikatan itu. Maka,
pikiran-pikiran itu bergerak bebas dalam sebuah
kendaraan yang terus melaju, dan kadang kala
bergoncang-goncang. Itulah gerbong–gerbong
gagasan, kereta pikiran yang berpenumpang emosi dan
obsesi, berbusana imaji (citraan), asosiasi dan
metafora. Sebuah metode asosiasi bebas yang didesain
untuk mengungkapkan gerbong-gerbong gagasan.
Dengan cara itu, penyair dapat mengungkapkan
serangkaian jalur-jalur pikiran yang lain yang dapat
dihubungkan dengan semacam logika tersembunyi.
Mungkin gagasan-gagasan itu seperti tidak
berkaitan satu sama lain. Boleh jadi juga urutan pikiran
itu terungkap melalui mata rantai gagasan yang
kelihatannya juga tdak saling berhubungan. Meski
begitu, di sana ada logika yang disembunyikan. Maka,
harus kita jabarkan logikanya gar jelas, bagaimana
mata rantai gagasan yang seprti tidak berhubungan itu
dapat diterjemahkan. Harus dilacak pula maknanya,
pesan dibaliknya, dan barulah kemudian ditandai
identitasnya.
Kecenderungan membawa gerbong-gerbong
gagasan dalam kereta pikiran itu sesungguhnya sudah
tampak pada antologi puisi Marhalim Zaini yang terbit
sebelumnya “Segantang Bintang Sepasang Bulan”.
Kehidupan masyarakat persekitaran yang penuh koyak-
koyak luka itu menjadi pemandangan yang
menggelisahkan. Dari sanalah tuntutan untuk bersuara
nyaring hadir tidak sekedar bentuk tanggung jawab
sosial sebagai warga sepuak, tetapi sebagai perjuangan
sosio-kultur mengangkat marwah melayu. Kalau kita
mencermati seluruh Puisi yang terdapat pada LNP,
akan sia-sia kita menemukan kata melayu. Tidak ada
satu pun kata Melayu di sana, lantaran Marhalim Zaini
menyulapnya dengan kata lain yang tidak sekedar
mewakili sebuak puak. Hal yang menarik dari citraan
yang dikembangkan Marhalim Zaini adalah
keterikatannya pada laut sebagai medan kehidupan,
waktu sebagai sebuah perjalanan yang terikat pada
masa lalu dan harapan dimasa depan, dan sajak
sebagai keputusan, sikap, atau alat perjuangan yang
dalam banyak puisinya diposisikan dalam keadaan
kalah, sia-sia, dan pesimistis.
Bagaimanapun juga, tradisi adalah sebuah
orientasi ke masa lalu bagi yang sadar atau tidak tentu
akan sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku masa
kini. Itulah yang disebut Christopher Bollas sebagai
asosiasi bebas yang nongol dan mencolot begitu saja
dari ruang ketidaksadaran individu. Ketidaksadaran itu
tentu tidak terlepas dari masa lalu. Inilah sebabnya
Marhalim Zaini tidak dapat melepaskan diri dari masa
lalu, dari sebuah tradisi besar yang telah membentuk
ruh dan sikap kulturalnya. Marhalim Zaini telah
menjelma menjadi manusia pascatradisional, begitu
menurut Anthony Giddens yang menempatkan betapa
kuatnya pengaruh tradisi dalam diri seseorang.
Membaca LNP dan mencoba membuat apresiasi
terhadapnya, dalam banyak hal, harus diakui memberi
keasyikan tersendiri. Asosiasi bebasnya membawa kita
ke berbagai tempat, peristiwa, dan perkara yang ringan
maupun berat tergantung dari perspektif mana kita
memasukinya. Dalam konteks kepenyairan Riau,
Marhalim Zaini melenggang sendiri, seperti tidak
berpengaruh pada tarikan kekuatan penyair di
sekitarnya. Meski begitu, sebagai makhluk sosial yang
dilahirkan dari sebuah tradisi besar puak Melayu, ia
terus menerus dibayangi masa lalu yang disadari tak
kuasa ditinggalkannya. Dan itu dirasakan benar sebagai
problem psikis manakala ia berada di luar puaknya.
Dalam beberapa puisinya, tampak adanya jejak
Amir Hamzah da Chairil Anwar, meskipun tidak begitu
menonjol. LNP jelas telah membangun diri dengan
berbagai perlengkapannya. Kekayaan penciptaan
metafor, paradok, atau majas yang lain, tidak hanya
memancarkan keindahan puitik tetapi juga
menghadirkan apa yang disebut sebagai mukjizat
komunikasi. Demikian pula citraan yang dibangunnya
terasa segar dan khas. Sekedar contoh sebutlah kata ,
menyiangi usia, kabut mencuri angin, sekuntum sunyi,
sejengkal lagi kekal, diam berarti terbenam. Pola itu
jauh dari klise dan Marhalim zaini telah berhasil
memanfaatkan secara optimal. Satu usaha
menunjukkan keseriusan penyair yang menempatkan
puisi sebagai salah satu alat perjuangan budaya. Tetapi
dalam hal usaha penciptaan menyelimuti pesan
ideologinya, puisi-puisi Marhalim Zaini agak dekat pada
apa yang pernah dirintis Toto Sudarto Bachtiar.
Akhirnya harus saya katakan , membaca Langgam
Negeri Puisi seperti memasuki deretan gerbong yang
penuh berisi gagasan. Itulah kereta pikiran, dan
Marhalim Zaini tidak menempatkan dirinya sebagai
masinis. Lalu siapa masinisnya ? Kita sebagai pembaca
sekaligus sebagai penikmat bertindak sebagai masinis
yang akan membawa kereta pikiran itu menuju stasiun
individual.

Anda mungkin juga menyukai